16
pendidikan memiliki perbedaan dari definisi pembahasannya dengan epistemologi secara umum dalam filsafat ilmu. Secara garis besarnya, Epistemologi dalam filsafat ilmu dapat diartikan sebagai tahapan untuk menjawab how to get knowlege.
Acuannya terdapat pada penjelasan arti kata “episteme” dari bahasa Yunani bisa diartikan “pengetahuan” dan dengan asal kata epitemai diartikan sebagai menempatkan, mendudukkan dan meletakkan. Juga kata logos yang berarti perkataan, dan pikiran. Dalam bahasa Yunani kata “episteme” sebagai pengetahuan, juga menggunakan kata “gnosis” Sehingga menurut sejarahnya epistemology juga pernah disebut gneseologi. Jadi definisi dari epistemologi di sini ialah dasar-dasar dari teori pengetahuan atau bias juga disebut sebagai theory of knowledge or erkenntnistheorie.1
The Liang Gie mengutip teori dari Arthur Pap (in his journal ‘an introduction to the Philosopy of Science’ in British Journal for the Philosophy of Science, 1963) menyatakan bahwa kajian pada filsafat ilmu itu ada dua bagian yaitu:
1. Filsafat Ilmu secara umum (Philosophy of Science in General) yang mengkaji beberapa konsep dan metode yang berkaitan dengan semua
1 Zaprulkhan, Filsafat Ilmu: Sebuah Analisis Kontemporer, (Depok: Rajawali Press, 2021) h. 63
ilmu, contohnya mulai dari pengertian penjelasan, generalisasi, sampai pada kebenaran ilmu tersebut.
2. Filsafat ilmu secara khusus (Philosophies of Specific Science) seperti filsafat psikologi yang menelaah konsep-konsep khusus dalam lingkup pembahasannya, salah satunya hubungan varibel sela dalam psikologi dan lain sebagainya.2
Mengacu pada kedua jenis kajian filsafat ilmu di atas, maka kajian epistemology yang digunakan penulis lebih condong pada kajian Philosophies of Specific Science terkhusus dalam filsafat pendidikan pada lingkup epistemologi pendidikan dengan cakupan bahasan yang disebutkan oleh Watson bahwa Epistomology of education can be devided into two broad areas, demarcates by distinct but closely related questions; what is education and what are the aims of education. It was concering the nature, aims and practice of education”3 tidak berbeda juah dengan pendapat Lani, Adam dan Ben berpendapat mengenai epistemology of education yang berkaitan dengan isu-isu pendidikan, dengan beberapa kategori sebagai berikut4:
a. konsep pendidikan,
b. isu-isu secara epistemology (pengajaran, pembelajaran dan pendidikan),
c. tujuan pendidikan secara epistemic
2 Zaprulkhan, Filsafat ….. h. 43
3 Lani Watson, The Epistemology Of Education, University Of Endiburgh In Philosophy Compass, 2016, h. 146
4 J. Adam Carter & Ben Kotzee, Epistemology Of Education, (Forthcoming, Oxford Bibliographies Online, 2015) h. 2
d. dasar intelektual dan pendidikan e. rasioanal
f. berpikir kritis dan pendidikan g. pemahaman (understanding) h. Knowlegde (pengetahuan) i. Nilai pendidikan
j. Dan cara mengetahui nilai pendidikan.
Sedangkan pengertian tentang epistemology pendidikan as epsitemolgy in education dalam pendidikan secara kontemporer dengan mengacu dalam pengetahuan social (social science) menurut Maren dan Anders ialah berdasarkan fakta bahwa “tidak adanya konsistensi pada pedidikan secara tradisional dengan makna apa itu menjadi seseorang yang berpendidikan5”. Dengan kata lain dalam diskusi tentang epistemology pada pendidikan bertujuan untuk menjadikan seseorang yang berpendidikan (educated person).
Hal ini dibuktikan lewat penelitian lapangan yang dilakukan dalam lingkungan social pada anak berusia enam tahun, dengan hasil diskusi bahwa proses pendidikan saling berhubungan antara lingkungan sekolah dan keluarga (di rumah). Dengan mempraktikan memberikan satu pandangan pada beberapa pilihan dan kemungkinan (as a possibilities) pada siswa dapat menjadikan kualiatas pendidikan sebagai suatu yang responsive dan bermanfaat pada kehidupannya sehari-hari. Jadi dialog antara epistemology dalam pendidikan lebih dari transisi
5 Maren Seehawer, Anders Briedlid, Dialogue Between Epistemologies As Quality Education. Integrating Knowledges In Sub-Saharan African Classrooms To Foster Sustainability Learning And Contextually Relevant Education, Elsevier: Social Sciences And Humanities Open 4, 2021, h. 3
system pengetahuan seseorang yang terangkum dalam kurikulum, tetapi juga pada tujuan yang melengkapi system pengetahuan, tantangan dan perkembangannya satu sama lain.
Dari beberapa definisi epistemologi pendidikan di atas, secara garis besarnya membahas tentang bagaimana idealnya pendidikan secara keseluruhan, baik itu dari sifat alamiah (karakter) pendidikan (pengajaran, proses pembelajaran) maupun tujuan pendidikan. Bahkan sampai pada kurikulum yang mencakup perencanaan, strategi, metode, dan evaluasi pembelajaran.
Maka jika melihat dari beberapa teori tentang epistemology pendidikan diatas. Maka secara umum permasalahan yang menjadi perdebatan dalam filasafat pendidikan yaitu pada tiga hal berikut:
1. Nature of Education
Nature (sifat alamiah) pendidikan yang dimaksud ialah pada interaksi epistemolog seperti testimony dan perdebatan rasional (I mean it’s refer to critical thinking). Epistemologi memberikan perhatiannya kepada pengetahuan individu dan konteks social yang tertuju pada apa yang diperoleh dan dikembangkan.
Dengan kata lain dalam pendididikan as education dapat diartikan sebagai teaching untuk mengetahui dari apa yang diperoleh dan learning untuk menganalisis dalam pembelajaran apa yang harus dikembangkan. Maka, dalam hal ini nature of education bisa dikatakan sebagai watak pendidikan atau ciri khas yang menandakan bahwa sesuatu itu disebut pendidikan.
Pembahasan ini sudah menjadi topic yang lazim didiskusikan pada tahun 1950 sampai 1960an oleh beberapa ahli pendidikan seperti Bertrand Russell,
Ludwig Wittgenstein, atc dengan poin pembahasan tentang epistemologi pendidikan mencakup pada Pengajaran (teaching), Pembelajaran (learning), dan Pendidikan (education) itu sendiri. Karakteristik jenis epistemology pendidikan bisa didapatkan dari berbagai literature. Secara fundamental analisis pendidikan tertuju pada pengembangan kualitas seseorang yang melihat pada hal yang telah diketahuinya. Secara konseptual koneksi antara pendidikan dengan pengetahuan ialah pada nilai pengetahuan sebagai teori pengetahuan dalam persoalan secara sifat alamiah (the nature) pendidikan.
Di samping itu, terdapat pula pendapat epistemology tentang pendidikan yang merupakan konsep nilai dari beberapa literature, seperti menurut Peter dalam the concept of education (1967) bahwa pendidikan tidak dapat terpisahkan dari pertimbangan tentang nilai. Beberapa analisis lainnya menyatakan bahwa projek epistemology secaraa kontemporer menegaskan bahwa konsep pendidikan berdasarkan pada persoalan tentang nature, acquisition (kemahiran) dan transmission (of a message)6 penyebaran dari manfaat epistemology.
Adam dan Kontzee juga berasumsi mengenai konsep pendidikan yang berdasarkan pada – konsep learning (pembelajaran) dengan adanya perubahan pada individu dari yang tidak tahu menjadi tahu akan pengetahuan; - konsep teaching (pengajaran) keadaan dimana seseorang memberikan instruksi kepada yang lain supaya terjadi proses pembelajaran; dan konsep education (pendidikan) secara garis
6 Lani Watson, The Epistemology... h. 149
besarnya konsep ini adalah adanya pelaksanaan pembelajaran dengan cara mengajar dan lain sebagainya7.
2. Tujuan Pendidikan (The Aims of Education)
Watson yang mengkategorikan tujuan pendidikan pada tiga kata kunci, yaitu; the goods-based, skills-based, and character-based accounts of the aims of education dengan uraian penjelasan masing-masing unsur tujuan pendidikan sebagai berikut:
a. Dasar yang baik secara konvensional lebih diutamakan pada penyebaran (transmission dan kemahiran (keahlian as acquisition) dalam kepercayaan dan pengetahuan. Seperti pada pendapat Goldman bahwa aim of education is emphasizing the centrality of truth (kepercayaan). Jadi secara signifikan Goldman berpendapat bahwa pendidikan ditanamkan secara mendalam dan bertujuan membentuk karakter sehingga dasar pendidikan yang bail lebih ke arah
‘characteristic’ goal. Hal ini bias didapatkan siswa lewat pemahaman (understanding) secara konseptual.
b. Skill Dasar merupakan hal yang diindentifikasikan dalam tujuan pendidikan as the skill of learner (kemampuan pembelajar). Tujuannya berorientasi pada dua implikasi yaitu antara teori dan praktek. Seperti pada pendapat Paulo Friere bahwa “Kemerdekaan pendidikan terdiri atas kegiatan kognitif, bukan pada perpindahan informasi”. Dalam hal ini secara detailnya mengacu pada berpikir kritis dan indetifikasi pada
7 J. Adam Carter & Ben Kotzee, Epistemology... h. 5
enam kunci skill kognitif (interpretasi, analisis, evaluasi, menyimpulkan, menjelaskan dan self-regulation sebagai pengaturan diri sendiri).
c. Dasar karakter dalam tujuan pendidikan diutamakan pada pengasuhan dan pengembangan yang bisa dilaksanakan dengan adanya pembiasaan (behavior). Sejalan dengan teori ini Ammy Guttman berpendapat bahwa “seluruh pendidikan seharusnya mendidikan siswa untuk bisa berpartisipasi dalam kondisi yang terjadi di lingkangan mereka.” Hal ini bertujuan untuk memproduksi individu yang baik atau masyarakat baik. Lebih tepatnya ialah ada kooperatif (kerja sama) yang bisa dilakukan oleh seseorang. Terdapat pendapat bahwa “dasar intelektual terdapat pada rendah hati dan berpikiran terbuka as open-minded8, sama halnya pendapat Watson bahwa dasar utamanya terletak pada adanya rasa ingin tahu seseorang.
Selain Lani Watson, Florentina Avram juga mengangkat Epistemologi Pendidikan dari ilmu sosial as education epistemology yang percaya bahwa kita dapat mentransfer ilmu dari penjelasan fungsi normatif, dari bidang filsafat pendidikan yang melihat dari konsep lapangan dalam ilmu pendidikan, dengan kata lain meninjau pada konsep pendidikan dan metodologi yang dikembangkan dalam ilmu sosial.
Oleh karena itu, penting bagi pendidik untuk memiliki penjelasan dan pemahaman pada beberapa macam dan metode kognitif secara spesifik, serta isu-
8 Lani Watson, The Epistemology... h. 155
isu yang berkaitan dengan sumber pengetahuan. Beberapa aspek ini mengikuti pada perkembangan ilmu pengetahuan yang terjadi antara teori dengan prakteknya di lapangan. Kita dapat mengidentifikasi beberapa objek dan topik yang berkaitan dengan perkembangan ilmu pendidikan, seperti pengertian konsep, gagasan, peristiwa, aksi, dan fakta pendidikan.9
Hal ini sejalan dengan tujuan pendidikan yang diuraikan oleh Bryan Adam dan Bent Kontzee bahwa terdapat tiga argument yang mengklaim bahwa pendidikan seharusnya bertujuan untuk membantu perkembangan ‘sifat karakter intelektual’ seperti rasa ingin tahu, berwawasan luas, intelektual dalam keberanian, intelektual dalam kejujuran, dan diskusi tentang pengajaran, serta strategi yang terkait untuk mencapai tujuan tersebut.10
Jika tujuan pendidikan memiliki keterkaitan dengan strategi, maka ini sejalan dengan asumsi lain tentang tujuan utama dari definisi pendidikan adalah pada kurikulum11 yang mencakup pendekatan pedagogi yang objektif dan sesuai dengan tujuan pendidikan secara umum. Terdapat hubungan yang komplek antara penetapan tujuan pendidikan, sasaran, dan keputusan pendidikan dalam praktek aktivitas di kelas. Tujuan hubungan ketiga aspek tersebut bisa dartikan dengan defenisi kompetensi. Kompetensi ini dapat dicapai dengan adanya hubungan interpersonal antaran guru dan siswa untuk mencapai konsep pembentukan karakter dan indentisas manusia (memanusiakan manusia).
9 Florentina Avram, Education Epistemology-A Border Subject In The Context Of New Social Sciences, Procedia - Social And Behavioral Sciences 203 ( 2015 ), - h. 278
10 J. Adam Carter & Ben Kotzee, Epistemology... h.11
11 Magrini, James, "How The Conception Of Knowledge Influences Our Educational Practices: Toward A Philosophical Understanding Of Epistemology In Education" (2009).
Philosophy Scholarship, h. 3
Jadi, secara ringkasnya kombinasi pendidikan dari beberapa teori di atas dapat dilakukan dengan cara diskusi toeri dan aplikasi praktek. Bagaimana pun epistemology pendidikan lebih tepatnya dalam meta analisis mengenai metodologi filsafat. Kolaborasi pada berbagai macam sifat ilmu terapan menandainya sebagai hal yang menarik dan berharga dalam penyelidikan (inquiry) filsafat kontemporer.
Kurikulum Sebagai Tujuan Utama Pendidikan
Pembahasan ini diambil dari pernyataan bahwa “the goals and aims of education determine the planning, writing, and implementation of the curriculum,”12 dan telah dijelaskan pula oleh Robert bahwa kurikulum merupakan salah satu unsur yang harus dikuasai guru untuk mendapatkan sertifikasi guru.
Secara etimologi kata kurikulum berasal dari bahasa latin curre (infinitif) or corro (present active) dengan beberapa arti berikut speed, hasten, run, travel, processed (as a transitive) and race (as a transitive) dalam bahasa Indonesia berarti kecepatan, berlari, mempercepat, perjalanan, proses (sebagai kata kerja) dan berlomba (sebagai kata kerja). Kemudian diadobsi ke dalam bahasa Inggris as a racesoure or racetrack, yang berarti lapangan pacuan kuda, dan artikan pula bahwa currere refers to the running of race (lapangan lomba lari). Kemudian kurikulum muncul dalam di dunia pendidikan dengan beberapa istilah berikut: 1) curriculum (as a singgular/kata tunggal); 2) curricula and curriculums (as a plural/ kata jamak) dalam sumber belajar pada materi pelajaran di sekolah, semua unsur belajar
12 Magrini, James, "How the Conception... h. 2
yang digunakan di sekolah, dan apapun program atau perencanaan aktiitas sekolah13.
Sedangkan definisi kurikulum secara umum diartikan sebagai suatu program yang direncanakan dan dilaksanakan dalam rangka mencapai tujuan- tujuan pendidikan tertentu.14 Dan secara terminologinya kurikulum diartikan sebagai mata pelajaran atau sejumlah pengetahuan yang harus dijalani dan dilewati oleh siswa untuk mencapai tujuan pendidikan dan kompetensi yang telah ditentukan dengan adanya bukti ijazah atau setifikat. Jika dikembangkan dalam pembelajaran di sekolah kurikulum mengandung mata pelajaran, kegiatan-kegiatan, segala sesuatu yang berpengaruh pada pembetukan karakter siswa, dan tujuan pendidikan yang telah ditetapkan oleh pemerintah atau lembaga pendidikan.15
Kurikulum juga didefinisikan sebagai “content” (muatan) pembelajaran, dengan kata lain dinamakan silabus atau sumber belajara (course outline). Silabus itu sendiri diartikan sebagai ringkasan dari muatan materi yang akan diajarkan dalam pembelajaran, baik itu sumber maupun unit/materinya16. Akan tetapi, kurikulum mengandung pengertian yang lebih luas lagi daripada silabus.
Zakiah Dradjat mengulas pengertian kurikulum modern secara umum bahwa “the term curriculum include all of the experience of childern for which the school accepts responsibility.” Dengan kata lain dikatakan bahwa kurikulum merupakan semua kegiatan atau aktivitas yang memberikan pengalaman kepada
13 Syafuddin Sabda, Pengembangan Kurikulum (Tijauan Teoritis), (Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2016) h. 21
14 Zakiah Dradjat, Dkk., Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2020) h. 122
15 Baderiah, Pengembangan Kurikulum, (Palopo: IAIN Palopo, 2018) h. 7
16Innocent Mutale Mulenga, Conceptualization And Definition Of Curriculum, Journal Of Lexicography And Terminology, Volume 2, Issue 2, 2018, h. 5
siswa di bawah bimbingan atau tanggungjawab sekolah baik itu dalam lingkungan sekolah maupun di luar lingkungan sekolah17.
Definisi pendidikan dalam filsafat ditandai dengan banyaknya pensoalan tentang kurikulum. Keputusan tentang kurikulum yang digunakan dalam suatu lembaga pendidikan berdasarkan pada klasifikasi pemikiran filosofi yang untuk memudahkan menentukan aktivitas dalam pendidikan individu.
Jalaluddin dan Abdullah Idi (2009:25) berpendapat bahwa ruang lingkup filsafat pendidikan meliputi:
a. Merumuskan secara tegas sifat hakikat pendidikan (the nature of education).
b. Merumuskan sifat hakikat manusia, sebagai subyek dan obyek pendidikan (tha nature of man).
c. Merumuskan secara tegas hubungan antara filsafat, filsafat pendidikan, agama dan kebudayaan.
d. Merumuskan hubungan antara filsafat, filsafat pendidikan dan teori pendidikan.
e. Merumuskan hubungan antara filsafat negara (ideologi), filsafat pendidikan dan politik pendidikan (sistem pendidikan).
f. Merumuskan sistem nilai dan norma atau isi moral pendidikan yang merupakan tujuan pendidikan18.
17 Zakiah Dradjat, Metodologi Pengajaran Agama Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008) h.
83
18 Afifudin Harisah, Pendidikan Islam, Prinsip, Dan Dasar Pengembangan. (Yogyakarta:
Deepublish CV Budi Utama, 2018) h. 7
3. Teaching and Learning (Pengajaran Dan Pembelajaran)
Pengajaran dan pembelajaran berkaitan erat dengan analisis pada disiplin, dan identifikasi pada tujuan pendidikan yang mungkin dipertimbangkan dari perspektif historis. Hirst berpendapat bahwa “tidak ada pengajaran tanpa bertujuan untuk mewujudkan pembelajaran.” Hal ini dikarenakan dalam pembelajaran terdapat proses belajar dan mengajar. Sama halnya dengan mengajar merupakan karakteristik tujuan untuk mencapai penilaian dari hasil belajar.
Pembelajaran bisa didapatkan dengan berbagai cara yang berbeda, jadi seseorang bisa belajar dari pengalaman, kesadaran diri, bahkan dari kecelakaan atau kesalahan yang terjadi, bagaimana pun caranya pembelajaran seseorang tetap merupakan sesuatu yang didapat dari adanya pengajaran (teaching). Seseorang bisa saja mengajarkan seseorang dengan cara memberitahukan sesuatu yang baru, mengajar dengan cara memberitahu bagaimana atau mempraktikkan suatu skill (keahlian) dengan kata lain menggunakan cara menunjukkan as showing. Yang menjadi pertanyaan besar dalam hal pengajaran ini adalah bagaimana mewujudkan pengajaran yang berbeda (terkhusus) dan menjadi lebih intensional (memiliki tujuan), pembicara yang semestinya, dari penjelasan yang logis dengan menggunakan mode drill (latihan) atau praktek, maupun yang tidak logis, seperti pengindoktrinasian19.
Jika melihat di lapangan dalam prakteknya pada konteks belajar di kelas biasanya dilakukan dengan cara pertukaran pendapat juga perdebatan memiliki implikasi epistemologi pendidikan mengenai sifat dan praktik pengajaran dan
19 J. Adam Carter & Ben Kotzee, Epistemology... h. 7
pembelajaran. Dalam hal ini Goldman menyatakan bahwa “guru biasanya mengharapkan murid menerima pendapatnya tanpa didukung dengan bukti.”
Karena kebiasaan ini membuat hanya sedikit siswa yang mengingat apa yang disampaikan guru, olehnya perlu bagi guru memberikan alasan yang dapat diterima oleh siswa agar dapat mencapai pemahaman sehingga belajar dapat dikatakan efektif. Paul berasumsi bahwa bentuk pembelajaran yang paling berharga difokuskan pada pemikiran (apa yang dilakukan pikiran) bukan pada tindakan di dunia (apa yang dilakukan tubuh). Jadi “the self-reflective person is committed to belief on authority”20 yakni seseorang merefleksikan dirinya untuk berkomitmen pada kepercayaannya pada otoritas. Maka pandangan ini berimplikasi pada sifat dan praktik pembelajaran dengan metode dan isinya yang sesuai.
Seperti pada contoh pelajaran matematika di mana guru memperkenalkan pengurangan dengan cara menghitung mangkuk yang dibawa ke kelas untuk membangkitkan rasa keingintahuan siswa terhadap pelajaran yang akan mereka peroleh21. Jadi metode praktik yang digunakan guru pada contoh ini membuat pengetahuan tidak hanya ingin berikan oleh guru, tetapi juga ingin didapatkan oleh siswa sehingga tercapai pembelajaran efektif dalam kelas.
Adanya usaha yang dilakukan oleh guru ini merupakan salah satu usaha agar menjadi guru yang intensional (guru yang bertujuan), dengan kata lain guru yang bersertifikat. Dalam psikologi pendidikan terdapat beberapa aspek yang harus
20 Lani Watson, The Epistemology.... h.153
21 Robert E. Slavin, Psikologi Pendidikan-Teori Dan Praktik, (Jakarta: Pt Indeks, 2008) h.
281
dicapai dalam sertifikasi guru yang dirangkum secara umum dalam praxis principles of learning and teaching
1) Pengetahuan mata pelajaran, yakni pemahaman guru terahap konsep- konsep inti, sarana, penyelidikan, dan struktur mata pelajaran yang sedang diajarkan kepada siswa.
2) Pengetahuan perkembangan dan pembelajaran manusia; yakni pemahaman tentang bagaimana cara belajar siswa dan perkembangannya agar dapat menyediakan ruang belajar yang dapat mendukung perkembangan intelektual, social, spiritual dan karakter pribadi anak.
3) Penyesuaian pengajaran untuk kebutuhan masing-masing individu, di mana guru memahami berbagai cara macam-macam pendekatan siswa agar dapat menciptakan peluang belajar yang beragam sesuai kebutuhannya.
4) Menggunakan berbagai strategi pengajaran yang dapat mendorong perkembangan berpikir kritis, pemecahan masalah, sampai pada kemampuan kinerja siswa.
5) Motivasi dan manajemen ruang kelas untuk menciptakan lingkungan belajar yang mendorong perkembangan interaksi sosial, keterlibatan aktif dalam belajar, serta motivasi diri.
6) Kemampuan komunikasi, baik itu komunikasi verbal, non-verbal, maupun komunikasi media yang efektif dalam pembelajaran.
7) Kemampuan perencanaan pengajaran, hal secara keseluruhan berkaitan dengan kurikulum yang digunakan
8) Penelitian pembelajaran siswa, hal ini berkaitan dengan evaluasi dan mengembangkan intelektual, sosial, dan fisik siswa secara berkelanjutan.
9) Komitmen dan tanggungjawab professional
10) Kemitraan, yakni adanya hubungan kerjasama antara sekolah, orang tua, serta lembaga pendidikan yang terdapat dalam lingkungan masyarakat.22 B. Epistemologi Pendidikan Islam
Dalam pengertian Epistemologi Pendidikan Islam berlandaskan pada dua terma yaitu “Epistemologi” dan “Pendidikan Islam”. Telah diketahui bahwa epistemologi merupakan knowledge atau teori pengetahuan yang membahas tentang bagaimana cara mendapatkan ilmu pengetahuan dari objek yang dipikirkan.
Sesuai dengan beberapa sub yang terdapat dalam filsafat yakni ontologi (hakikat suatu objek), epistemologi (metode dan cara mengetahui suatu objek) dan aksiologi (kegunaan, manfaat, dan fungsi) dari ilmu pengetahuan23.
Sedangkan khusus Pendidikan Islam sendiri dalam pandangan Ali Khalil al- Ainan yang mengemukakan lima karakter pendidikan Islam:
a. Pendidikan Islam mencakup semua ranah kehidupan manusia (ranah fisik, mental, akidah, akhlak, estetika, sosial dan emosional)
b. Memiliki tujuan untuk mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat
22 Robert E. Slavin, Psikologi... h. 31
23 Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam Dari Metode Rasional Hingga Metode Kritik, h. 1
c. Memiliki tujuan mengembangkan aktivitas manusia dalam interaksinya dengan orang lain dengan penerapan pada prinsip integritas dan keseimbangan.
d. Pendidikan Islam dilaksanakan secara kontinu tanpa batas waktu tertentu, yakni pendidikan sepanjang hidup.
e. Pendidikan Islam melalui prinsip integritas, universal dan keseimbangannya bermaksud mencetak manusia yang memikirkan bagaimana kebahagiaannya baik di dunia maupun di akhirat.
Maka dalam hal ini, pendidikan Islam ditujukan untuk membentuk manusia memiliki “sistem hidup yang sempurna.”24 Jika dikaitkan antara epistemologi dengan pendidikan Islam,
Dikarenakan definisi epistemologi masih mengacu pada filsafat pendidikan Islam dengan objek epistemology yang dibahas dalam pendidikan sebagai berikut:
a. Filsafat pendidikan Islam yang berlandaskan Islam, yakni al-Qur‟an, As-Sunnah, dan Ijtihad Ulama.
b. Filsafat Pendidikan Islam mengenai pendidikan Islam c. Dan filsafat pendidikan Islam tentang pendidikan.25
Dari ketiga jenis objek epistemologi dalam filsafat pendidikan Islam, dapat diketahui bahwa epistemologi pendidikan Islam merupakan filsafat pendidikan Islam tentang pendidikan.
24 Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam: Menguatkan Epistemologi Islam Dalam Pendidikan, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2014) h. 22
25 Mahfud Junaedi, Paradigma Baru Filsafat Pendidikan Islam, (Depok: Kencana, 2017) h. 85
Pendidikan dari segi bahasa berasal dari kata didik yang berarti memelihara atau memberi latihan, ajaran, pimpinan mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran26. Jika mengacu pada pengertian secara bahasa dalam ajaran Islam berasal dari kata
“tarbiyah” (tarbiyah) dengan asal kata “rabba” yang berarti mendidik. Istilah ini sudah digunakan sejak zaman Nabi Muhammad Saw. Dengan mengacu pada firman Allah Swt dalam Q.S. al-Isra ayat 17 berikut:
ا ًرْي ِصَب ۢا ًرْيِب َخ ٖهِداَب ِع ِبْوُن ُذِب َكِ بَرِب ىٰف َ كَو ٧١
Sesuai dengan kata “rabba” pada ayat di atas yang ditunjukkan kepada Tuhan yang memiliki sifat mendidik, memelihara, serta menciptakan makhluk dan semesta alam. Pendidikan dalam agama Islam secara bahasa juga berasal dari kata
“allama” seperti pada firman Allah Swt dalam Q. S. al-Baqarah ayat 31 berikut:
ا َه َّ
ل ُ
ك َءۤاَم ْس َ ا ْ
لا َم َد ٰ ا َم َّ
لَع َو ْمُت ْ
ن ُ ك ْ
ن ِا ِءۤا َ
ل ُؤ ٰٓه ِءۤاَم ْس َ
اِب ْي ِن ْو ُٔـِبۢ ْنَا َلاَقَف ِةَكِٕىٰۤلَمْلا ىَلَع ْمُه َض َر َع َّمُث
َنْي ِق ِد ٰص ١٧
Pada ayat di atas terdapat kata “allama” berati mengajarkan, jika dijadikan istilah dalam pendidikan disebut ta’lim dengan tujuan untuk pendidikan yang tidak hanya memberikan pengetahuan, tetapi juga pembinaan kepribadian. Hal ini membuat pendidikan juga mengacu pada kata “addaba” sesuai hadist Nabi berikut27
)نابح نبإ هور( ىبِْيَْتَ َنَسْحَأَف ىِبَّر ىنَِبَّدَا
26 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasioan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008) H. 235
27 Zakiah Dradjat, Ilmu.... h. 25-27
Di mana “addabani” yang berarti “mendidikku (Nabi Muhammad)”
menurut Muhammad Naquib al-Attas ditujukan pada hal yang mendasar, yakni pada pengenalan pada perubahan tingkah laku manusia secara praktif terformulasikan pada nilai-nilai tanggung jawab dan pengabdian manusia pada sang pencipta28.
Maka pendidikan dalam agama Islam yang mengacu pada kata tarbiyah dijelaskan sebagai upaya mendidik seseorang lewat ilmu pengetahuan. Lalu pada kata ta’lim berarti mengajarkan ilmu pengetahuan dan pada kata ta’dib memiliki maksud mendidik seseorang dengan tujuan perubahan tingkah laku yang sesuai dengan ajaran agama Islam.
Dalam hal ini Ayed Muhammad an-Naquib al-Attas sebaiknya memiliki konsep yang jelas mengenai manusia dalam pendidikan. Seperti yang dinyatakan oleh Marimba bahwa manusia adalah istilah insan kamil yang mana menurut Muhammad Quthb diartikan sebagai manusia sejati. Sebab al-Abrasyi menyebutkan dalam pendidikan Islam sebagai “manusia yang mencapai akhlak sempurna” sesuai dengan ajaran agama Islam.29
Oleh karena itu untuk membangun pendidikan Islam yang berdasarkan pada landasan filosofis dan teologis di atas, perlu diingatkan kembali bahwa hakikat
“manusia adalah subjek pendidikan, sekaligus juga objek pendidikan.”30 Manusia sebagai subjek pendidikan, dewasanya memiliki tanggungjawab secara moral atas
28 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Islam (Yogyakarta: CV Budi Utama, 2018 ) h. 42
29 Afiffudin Harisah, Filasafat Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Deepublish CV Budi Utama, 2018) h. 17-21
30 Dukha Yunitasari, Mengupas Hakikat Manusia Sebagai Makhluk Pendidikan, Jurnal Ppkn Dan Hukum, Volume 13 No. 1 , April 2018, h. 80
perkembangan pribadi anak-anak mereka, mengembangkannya secara jasmani maupun rohaninya. Dan manusia sebagai objek pendidikan adalah dalam artian bahwa manusia sebagai sasaran yang ‘dibina’. Walaupun sering didapati bahwa perkembangan kepribadiannya didapat dari perkembangan aktivitas dan kreativitasnya.
Tentu membangun pendidikan Islam pada diri manusia sebagai khalifatullah bukan hanya dari teorinya saja yang sering didapatkan dalam penjelasan di ruang kelas, namun harus bisa diterapkan dalam kebiasaannya hidup bersih dan sehat (al-Basyar), perkembangannya ilmu pengetahuannya (al-Insan), lalu diterapkan pula dalam hubungannya kepada sesama manusia di masyarakat (an-nas) dan hubungan/pengabdiannya kepada Allah (al-ins). Sehingga manusia bisa menyatukan visi dan misinya dalam pendidikan Islam tanpa memandang perbedaan suku, bangsa, dan negara karena manusia bersaudara dalam satu sisilah keturanan Nabi Adam a. s. (bani Adam).
Maka epistemologi pendidikan Islam yang dimaksud dari beberapa penelitian terdahulu sejalan dengan perwujudannya dengan yang didefinisikan oleh Kamrani Buseri secara ringkas bahwa Epistemologi Islam dalam konteks pendidikan adalah bagaimana Islam memberikan dasar pijak dan prinsip-prinsip berkenaan dengan isu memanusiakan manusia menjadi manusia menurut pandangan Islam. Atas dasar pijak dan prinsip itulah dipadukan dengan pengalaman emprik para tokoh pendidik Muslim akan menelorkan sejumlah gagasan bagaimana
memproses manusia menjadi manusia menurut pandangan Islam, dan atas semua itulah akan menelorkan ilmu pendidikan Islam31.
Dalam hal ini pada epistemologi pendidikan Islam memerlukan pertimbangan epistemologi pada aspek perilaku individual, societal, dan civilasasional. Urgensi epistemologi yang mengidentifikasi cara mengetahui (a way of knowing) sesuatu sebagai ilmu, dapat membuat kolaborasi pandangan dunia Islam pada isu-isu kontemporer yang diharapkan dapat membangun peradaban Islam yang ‘dipercaya’ terjaga kestabilan eksistensinya.
Untuk menjaga kestabilan eksistensi Islam, Tauhid sebagai dasar epistemologi Islam sangat dibutuhkan dalam membangun premis seluruh pengetahuan yang semulanya adalah milik Allah. Sebab mengacu pada Q.S. al- Baqarah ayat 31 berikut:
َءۤاَم ْس َ ا ْ
لا َم َد ٰ ا َم َّ
لَع َو ْمُت ْ
ن ُ ك ْ
ن ِا ِءۤا َ
ل ُؤ ٰٓه ِءۤاَم ْس َ
اِب ْي ِن ْو ُٔـِبۢ ْنَا َلاَقَف ِةَكِٕىٰۤلَمْلا ىَلَع ْمُه َض َر َع َّمُث اَهَّلُك
َنْي ِق ِد ٰص ١٧
Terdapat premis bahwa Dia lah yang mengajarkan segala sesuatu. Premis ini pula yang menjadi doktrin bahwa pertama kali bentuk pendidikan dan pengajaran ialah yang dilakukan Allah kepada manusia.32
Definisi epistemology pendidikan Islam mengacu pada epistemology Islam yang berdasarkan pada nilai Tauhid, sumber agama Islam baik itu dari al- Qur’an Hadist, maupun ijtihad para ulama terdahulu.
31 Kamrani Buseri, Dasar, Asas Dan Prinsip Pendidikan Islam, (Banjarmasin: IAIN Antasari, 2014) H. 15
32 Mujammil Qomar, Epistemologi.... h. 165-166
Kembali melihat epistemologi pendidikan Islam, yang sebagian besar membahas pada proses perkembangan pengetahuan mengenai pendidikan Islam dari salah tokoh pendidikan Islam seperti pandangan tentang epistemologi pendidikan Ibn Qayyim al-Jawziyyah dari hakikat ilmu pengetahuan sebagai proses transfer ilmu (objek) yang diketahui dari luar (empirik) dan membuatnya menjadi menetap dalam jiwa seseorang yang diketahui melalui amal perbuatannya (Aktivitas) dalam kehidupannya33.
Selain mempelajari hakikat pengetahuan, perbedaan epistemologi pendidikan secara umum dengan epistemologi pendidikan Islam terdapat pada hukum mempelajari ilmu pengetahuan. Al-Ghazali menegaskan bahwa setiap umat Islam wajib menuntut ilmu, dengan kata lain hukumnya ialah fardhu.34
Triyo Supriyatno mengulas lebih dalam tentang hukum menuntut ilmu ini dalam kajian epistemologi pendidikan Ibn Qayyim al-Jawziyah bahwa wajib bagi setiap petinggi pemerintahan untuk mewajibkan pada rakyatnya untuk mempelajari dan memiliki skill (keahlian) tertentu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sebagai manusia, seperti bertani, mengajar, mengembala dan lain sebagainya. Hal inilah yang membuat sebagian penganut mazhab Imam Ahmad dan Imam Syafii bahwa mempelajari ilmu atau keahlian ini hukumnya fardhu kifayah35, mengingat keahlian ini dipelajari khusus pada kebutuhannya yang mendesak.
33 Trio Supriyatno, Epistemologi... h.41
34Abu Hamid Al-Ghazāli , Ihya ‘Ulum Al Dîn, Jilid I (Lebanon; Dar Al-Fikr, T.T.,) h.14- 15
35 Trio Supriyatno, Epistemologi... h. 57
Selain dari hukum mempelajarinya, dalam epistemologi Islam terdapat tiga alat epistemologi untuk mencapai ilmu pengetahuan menurut Muhammad Abid Al- Jabiri, di antaranya adalah:
a. Metode bayani, merupakan metode observasi atau menggunakan indera yang melihat dasar-dasar pengetahuan dari teks, konsesus, dan ijtihad dengan tujuan membangun pengetahuan abstraksi tasawwuf dari keyakinan Islam.
b. Metode irfani atau intuitif, merupakan metode pencarian pengetahuan yang menggunakan intuisi atau hati (qalb) untuk menjangkau ilmu pengetahuan lewat teori al-Kasyf.
c. Metode burhani yakni metode demostrasi/ deduksi logis, merupakan metode pencarian ilmu pengetahuan dengan menggunakan akal sebagai alat untuk membuktikan lewat eksperiment rasional.
Ketiga metode di atas dijadikan acuan untuk mengidentifikasi “tipologi nalar Arab-Islam”. Jika melihat dalam perjalanan sejarahnya, ilmu Islam terbentuk melalui proses nalar al-Mukawwin (nalar pembentuk) dan al-Mukawwan (yang dibentuk).
Dengan adanya metode atau alat untuk mencapai ilmu pengetahuan ini, Ibn Araby juga membagi macam ilmu pengetahuan menjadi tiga macam , yaitu:36
1) Al-‘ilm al-aql, ilmu yang diperoleh dari akal
36 Andi Luqmanul Qosim, Melacak Akar Epsitemologi Pendidikan Islam (Studi Tentang Pemikiran Sa’id Ali Ismail Ali), (Tesis: Tidak Diterbitkan, 2015) h. 10-13
2) Al-‘ilm al-ahwal, ilmu yang diperoleh dari ahwal atau keadaan sebagai hasil dari eksperiment,
3) Dan al-‘ilm al-asrar, ilmu pengetahuan rahasia sejenis dengan wahyu.
Dari definisi mengenai epistemologi dan pendidikan Islam yang mengacu peda filsafat pendidikan Islam, maka epistemology pendidikan Islam merupakan salah satu cabang ilmu filsafat Islam yang membahas tentang pendidikan, terutama pendidikan Islam. Epistemology Pendidikan Islam memiliki perbedaan yang identik daripada epistemology pendidikan secara umunya. Perbedaan tersebut terdapat dari hukum memperlajari ilmu pengetahuan (fardhu), sumber ilmu pengetahuan Islam (Qur’an, Hadist, akal, dan ijtihad ulama terdahulu), serta metode memperoleh ilmu pengetahuan (bayani, irfani, dan burhani). Makki menulis dalam jurnalnya bahwa terdapat beberapa metode epistemologi pendidikan Islam sebagai berikut:
a) Metode Rasional/ Manjhaj ‘Aqly
Metode Rasional merupakan metode yang menggunakan pertimbangan kebenaran yang dapat diterima akal untuk memperoleh ilmu pengetahuan.
Pengetahuan pendidikan Islam menggunakan metode ini dengan sifat apriori.37 Metode rasional digunakan sesuai dengan pembenaran dalam agama Islam dalam al-Qur’an. Karena dalam rangka mendapatkan ilmu pengetahuan yang terdapat dalam al-Qur’an itu sendiri, dibutuhkan pemikiran yang rasional atau penggunaan akal sebagai alat atau media. Dan mekanisme metode rasional ini dilakukan dengan
37 Merupakan Toeri Yang Berdasarkan Dengan Deduksi Teoritis/Belum Bertemu Dengan Pengalaman.
cara mengembangkan objek pembahasan untuk mencapai pengetahuan pendidikan Islam.
b) Metode Intuitif/ Manhaj Zauqi
Metode ini menggunakan intuisi dalam mendapatkan perkembangan ilmu pengetahuan dalam epistemology pendidikan Islam. Jika dalam epistemology pendidikan Barat, metode ini tidak digunakan dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Muhammad Iqbal menyebutkan metode intuisi ini sebagai metode
“cinta” yang menggunakan pengalaman kalbu.
Dalam pendidikan Islam metode ini menggunakan manusia sebagai objek material, dan kemampuan manusia sebagai objek formalnya. Metode ini mengistemewakan intuisi (zawaq) lebih dari akal dan indera. Melihat pada sumber pengetahuan dari pengalaman para Nabi yang berbentuk wahyu dan ilham dari pengalaman manusia biasa. Oleh karena itu, metode ini menjadi metode yang mengembangkan atau menyusun konsep pendidikan Islam yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
c) Metode Dialogis/ Manhaj Jadali
Metode dialogis merupakan metode yang menggunakan karya tulis yang memuat percakapan atau dialog dari beberapa ahli dalam bidangnya yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah untuk menggali pengetahuan pendidikan agama Islam. Metode ini menggunakan sandaran teologis yang tepat dengan upaya menggali jawaban-jawaban yang tepat baik menurut pandangan Islam maupun sudut pandang ilmu pengetahuan umum.
Objek penelitian yang digunakan dalam metode ini ada berbagai macam, diantaranya adalah: 1) ketentuan-ketentuan wahyu/konsep-konsep normatif baik itu dari al-Qur’an maupun Hadist Nabi; 2) pendapat-pendapat para pakar pendidikan Islam; dan 3) pengamatan-pengamatan terhadap pengalaman pelaksanaan pendidikan Islam/ konsep-konsep empiris baik itu dari masa lampau maupun masa sekarang. Jenis objek ini mengacu pada Islam yang berbentuk wahyu (dari al- Qur’an dan Hadist), serta Islam yang berbentu budaya (dari pengalaman, pemikiran, dan tradisi Islam).
d) Metode Komparatif/ Manhaj Muqaran
Metode komparatif merupakan metode memperoleh pengetahuan lewat cara membandingkan pengetahuan pendidikan Islam dengan sesame pendidikan Islam lainnya atau dengan pendidikan umum dan sebagainya. Perbandingan yang dicari dari metode ini adalah keunggulan-keunggulan dari teori-toeri yang didapatkan untuk mempertegas maksud dari pengetahuan pendidikan Islam yang diteliti.
Objek penelitian dalam metode komparatif ini meliputi: 1) perbandingan antara ayat al-Qur’an tentang pendidikan dengan ayat al-Qur’an lainnya; 2) perbandingan antara ayat al-Qur’an dengan hadist Nabi mengenai pendidikan; 3) perbandingan hadist tentang pendidikan dengan hadist lainnya terkait topic yang sama; dan 4) perbandingan sesame pemikiran ahli tentang pendidikan, baik itu yang muslim maupun non-muslim.
e) Metode Kritik/ Manhaj Naqdi
Metode kritik ini merupakan usaha mendapatka pengetahuan dengan cara menggali dan mengoreksi kelemahan-kelemahan dari teori terdahulu tentang
konsep pendidikan, lalu memberikan solusi alternative untuk memecahkan masalah yang ditemukan. Metode kritik digunakan dalam upaya untuk membangun atau mengembangkan pengetahuan terdahulu. Karena kejanggalan yang didapat bisa diperbaiki dan diluruskan demi kemashlahatan bersama.
f) Metode ‘ibrah
Metode ibrah ialah upaya mencari pengetahuan pendidikan Islam dari sejarah pendidikan Islam itu sendiri. Salah satunya sejarah dari kisah-kisah yang terdapat dalam al-Qur’an. Metode ini digunakan dengan cara mengambil pelajaran dari kisah-kisah masa lampau atau sejarah pendidikan agama Islam terdahulu, sehingga bisa diambil hal yang bermanfaat dan meninggalkan hal yang memiliki mudharat dari pelajaran yang didapat. 38
38 Makki, Epistemologi Pendidikan Islam: Memutus Dominasi Barat Terhadap Pendidikan Islam, Musannif: Journal Of Islamic Education And Teacher Learning, Volume 1, Nomor 02, P- ISSN: 2657-2362, E-ISSN: 2684-7736, 2019, h. 116-120