• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penggunaan Metode Augmentative and Alternative Communication Untuk Meningkatkan Kemampuan Bantu Diri Pada Anak Dengan Autisme (Penelitian Subyek Tunggal Pada 3 Individu Dengan Autisme Yang Berusia 4-6 Tahun di Character Developmental and Learning Center B

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penggunaan Metode Augmentative and Alternative Communication Untuk Meningkatkan Kemampuan Bantu Diri Pada Anak Dengan Autisme (Penelitian Subyek Tunggal Pada 3 Individu Dengan Autisme Yang Berusia 4-6 Tahun di Character Developmental and Learning Center B"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

Program Magister Psikologi iv Universitas Kristen Maranatha ABSTRAK

Penelitian yang berjudul Penggunaan Metode Augmentative and

Alternative Communication Untuk Meningkatkan Kemampuan Bantu Diri Pada

Anak Dengan Autisme (Penelitian Subyek Tunggal Pada 3 Individu Dengan

Autisme Yang Berusia 4-6 Tahun Di Character Developmental and Learning Centre Bandung), bertujuan untuk mengetahui seberapa efektif penggunaan metode Augmentative and Alternative Communication dengan alat bantu berupa Picture Exchange Communication System dapat membantu meningkatkan kemampuan bantu diri berupa makan dengan sendok garpu dan mencuci tangan pada anak dengan autisme.

Metode penelitian yang digunakan adalah studi kasus dengan design eksperimental. Adapun yang menjadi subyek dalam penelitian ini adalah 3 anak dengan autisme yang berusia 4-6 tahun yang mengalami hambatan dalam kemampuan bantu diri namun memiliki kemampuan motorik halus yang cukup sesuai dengan standar peneliti.

Alat ukur yang digunakan untuk mengukur kemampuan bantu diri adalah Denver Developmental Screening Test II yang dikembangkan oleh Frankenburg (1975). Alat ukur DDST II sudah baku dengan validitas alat ukur berkisar antara 0,73–0,92 dan reliabilitas sebesar 0,90. Dengan demikian dapat dikatakan alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah valid dan reliabel.

Dari hasil penelitian ini diperoleh kesimpulan bahwa kemampuan bantu diri setiap anak meningkat dengan diberikan treatment menggunakan metode AAC dengan alat bantu berupa PECS meskipun peningkatan yang ditunjukkan masing-masing anak berbeda.

Apabila dilihat berdasarkan faktor pendukung untuk setiap anak, Klien I mengalami peningkatan yang lebih signifikan dibandingkan dengan klien II dan klien III, hal ini dikarenakan klien I memiliki motorik halus yang cukup baik dan selalu diberikan pengulangan di rumah, selain itu masih diberikan terapi okupasi dan les tambahan seperti berenang, menggambar, dan hiking. Klien II lebih mellihatkan peningkatan yang lebih baik dibanding klien III dikarenakan kemampuan motorik halus sudah cukup baik dan orang tua selalu mengajarkan pada klien II namun orang tua klien II tidak memantang makanan yang seharusnya dipantang oleh klien II. Klien III kemampuan motorik halus kurang baik dibandingkan dengan klien I dan klien II serta sulit dilakukan pendekatan serta kemampuan komunikasi kurang dan hanya akan terlaksana terapinya apabila ibu yang memberikan terapi sehingga kemampuan bantu diri yang ditunjukkan klien III mengalami peningkatan yang minim.

(2)

Program Magister Psikologi v Universitas Kristen Maranatha ABSTRACT

The thesis of “The Use of Augmentative and Alternative Communication (AAC) Methods to Enhance Self-Help Capabilities of Children with Autism (Single Subject Research Involving 3 Individuals with Autism between the Age of 4-6 Years in Character Development and Learning Center, Bandung),” aims to determine how effective the use of Augmentative and Alternative Communication Methods using Picture Exchange Communication System (PECS) as its tool in improving self-help capabilities of children with autism to eat with spoon and fork and to wash their hands.

Research methodology uses a case study with experimental design. The subject in this research is three children with autism at the age between four to six years who had difficulties in helping themselves but still had fine motor skills in accordance to research standards.

The instrument to measure the self-help capabilities is Denver Developmental Screeting Test II developed by Frankenburg (1975). DDST II is already standardized with the validity of the instrument in the range of 0,73-0,92 and the reliability of the instrument in the range of 0,90. Thus, it can be said that this research is considered valid and reliable.

From the result of this research, it was concluded that the self-help capability of children can improve when treatment is given using AAC methods with PECS. However, the result shown by each child is various.

When viewed based on the supporting factors for each child, Client I experienced a more significant outcome than Client II and Client III. The reason is because Client I has a fine motor skills and he/she obtained some repetition lessons at home. Furthermore, Client I was given occupational therapy and extra tutoring services such as swimming, drawing and hiking. The second Client shows a more satisfying result than the third one due to his/her fine motor skills and enough helps from the parents. Unfortunately, the parents of Client II did not prohibit certain foods for consumptions. Lastly, the motor skill of Client III is not as fine as the former ones because of difficulty approaches, lack of communication skills and possibility therapy of only by his/her mother.

(3)

Program Magister Psikologi xi Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR ISI

Lembar Pengesahan ... ii

Lembar Persembahan ... iii

Abstraksi ... iv

Abstract ... v

Kata Pengantar ... vi

Daftar Isi... xi

Daftar Skema ... xiv

Daftar Tabel ... xv

Daftar Grafik ... xvi

Lampiran...xvii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Identifikasi Masalah ... 8

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian ... 8

1.4 Kegunaan Penelitian ... 9

1.5 Metode Penelitian ... 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Komunikasi ... 12

2.2 Augmentative and Alternative Communication ... 14

(4)

Program Magister Psikologi xii Universitas Kristen Maranatha

2.2.2 Sejarah PECS ... 18

2.3 Autisme ... 23

2.3.1 Definisi Autis ... 23

2.3.2 Gejala-Gejala Autis ... 26

2.3.3 Macam-Macam Terapi Autis ... 31

2.4 Adaptive dan Kemampuan Bantu Diri ... 34

2.4.1 DDST ... 40

2.5 Teori Perkembangan ... 42

2.6 Character Developmental and Learning Center ... 49

2.7 Kerangka Pemikiran ... 53

BAB III METODE PENYUSUNAN PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian ... 61

3.2 Variable Penelitian dan Definisi Operasional ... 62

3.2.1 Definisi Konseptual ... 62

3.2.2 Definisi Operasional ... 63

3.3 Subyek Penelitian ... 65

3.3.1 Karakteristik Subyek ... 65

3.4 Alat Ukur ... 65

3.4.1 AlatUkur Kemampuan Bantu Diri ... 65

3.5 Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ... 69

3.5.1 Validitas ... 69

(5)

Program Magister Psikologi xiii Universitas Kristen Maranatha

3.6 Teknik Analisis Data ... 70

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Klien I ... 71

4.2 Hasil Klien II ... 84

4.3 Hasil Klien III ... 95

4.4 Pembahasan Umum...105

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan...107

5.2 Saran...108

DAFTAR PUSTAKA...109

DAFTAR RUJUKAN...110

(6)

Program Magister Psikologi xiv Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR SKEMA

(7)

Program Magister Psikologi xv Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR TABEL

Tabel 2.5 Tabel Perkembangan Anak ... 47

Tabel 4.1.1 Hasil Treatment PECS Klien I ... 76

Tabel 4.1.2 Tahapan PECS Klien I ... 77

Tabel 4.2.1 Hasil Treatment PECS Klien II ... 87

Tabel 4.2.2 Tahapan PECS Klien II ... 88

Tabel 4.3.1 Hasil Treatment PECS Klien III ... 97

(8)

Program Magister Psikologi xvi Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR GRAFIK

(9)

Program Magister Psikologi xvii Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Modul Penelitian Lampiran 2 : Test DDST II

Lampiran 3 : Data Pribadi dan Penunjang

(10)

Program Magister Psikologi 1 Universitas Kristen Maranatha

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang Masalah

Saat ini, prevalensi anak penyandang autisme telah mengalami peningkatan di seluruh dunia. Jumlah penyandang autis di Indonesia naik delapan kali lipat dalam 10 tahun ini. Jumlah itu juga lebih tinggi daripada angka rata-rata autis di dunia. .Autisme secara umum telah diketahui terjadi empat kali lebih sering pada anak laki-laki dibandingkan terjadi pada anak perempuan dengan perbandingan 4:1. Dokter sekaligus motivator anak berkebutuhan khusus, Kresno Mulyadi SpKJ, pada peluncuran bukunya berjudul Autism is Treatable, mengemukakan bahwa peluang bayi terlahir autis di Indonesia meningkat drastis, yakni 1 kasus dari 165 kelahiran bayi (Kompas, 2011).

Autism spectrum disorder (ASD) atau autisme adalah gangguan perkembangan yang kompleks dengan karakteristik kelainan pada fungsi sosial, bahasa dan komunikasi, serta tingkah laku dan minat yang tidak biasa. Autisme mencakup seluruh aspek dalaminteraksi anak dalam dunianya, melibatkan banyak bagian dalam otak, dan melemahkan sifat tanggung jawab sosial, kemampuan komunikasi, dan perasaan kepada orang lain. Autis terdiri dari bermacam-macam tipe, seperti autistic spectrum disorder (ASD), asperger’s disorder, rett’s disorder, PDD-NOS, dan disintegrative disorder

(11)

2

Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha

susunan syaraf pusat yang disebabkan oleh taksoplasmosis, rubella, cytomegali, dan herpes selama 3 semester pertama kehamilan serta adanya gangguan organik saat kelahiran (Tesis Yuspendi, 2003).

Menurut DSM IV-TR gejala-gejala dari autis adalah hambatan dalam komunikasi, misal: berbicara dan memahami bahasa, kesulitan dalam berhubungan dengan orang lain atau obyek di sekitarnya serta menghubungkan peristiwa-peristiwa yang terjadi, bermain dengan mainan atau benda-benda lain secara tidak wajar, sulit menerima perubahan pada rutinitas dan lingkungan yang dikenali, gerakan tubuh yang berulang-ulang atau adanya pola-pola perilaku tertentu.

(12)

3

Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha

kehidupan sehari-hari (Johnson, Myers, and the Council on Children with Disabilities, 2007 dalam Mash & Wolfe, 2010).

Dasar dari kemampuan bantu diri yaitu komunikasi. Komunikasi adalah bentuk interaksi manusia yang saling mempengaruhi satu sama lainnya, sengaja atau tidak sengaja. Tidak terbatas pada bentuk komunikasi menggunakan bahasa verbal, tetapi juga dalam hal ekspresi muka, lukisan, seni, dan teknologi (Shannon & Weaver, 1949). Komunikasi juga dilakukan guna membentuk saling pengertian antar manusia (Jalaluddin Rahmat, 2004). Salah satu konsep yang dapat digunakan untuk mengajarkan komunikasi pada anak autis guna meningkatkan kemampuan bantu dirinya adalah dengan metode augmentative and alternative communication (AAC).

(13)

4

Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha

tersendiri atau dikombinasikan untuk mengkomunikasikan berbagai pesan. AAC bisa mendapat bantuan atau tidak, menggunakan teknologi canggih maupun tidak. Teknologi yang biasa digunakan dalam AAC ada 2 macam, yaitu low-tech didefinisikan sebagai alat yang tidak memerlukan batere, listrik atau elektronik untuk memenuhi kebutuhan komunikasi tetapi menempatkan huruf, kata, frase, gambar, dan/atau symbol pada papan atau di buku, sedangkan high-tech adalah alat elektronik yang bisa menyimpan dan diambil pesannya, yang kebanyakan penggunanya bisa berkomunikasi dengan orang lain menggunakan speech output.

Pada penelitian kali ini, digunakan low-tech ketika treatment bagi anak dengan autisme guna meningkatkan kemampuan bantu dirinya. Pemilihan penggunaan low-tech diberikan atas dasar pertimbangan bahwa low-tech akan lebih menghemat biaya, mudah dibuat dan digunakan, lebih individualisme dan standar, serta lebih sesuai dengan budaya Indonesia. Salah satu alat yang dapat digunakan dalam low-tech berupa Picture Exchange Communication System (PECS). PECS adalah alat bantu komunikasi bagi individu berkebutuhan khusus yang berupa gambar atau simbol-simbol yang dapat dipindah-pindahkan.

(14)

5

Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha

Berdasarkan hasil jurnal penelitian menggunakan subyek tunggal yang dilakukan oleh Hanley and Beck (2007), diperoleh hasil bahwa dari 4 anak dengan autisme, usia 7-9 tahun, diberikan intervensi dengan konsep AAC menggunakan low-tech (PECS) selama periode 6 minggu untuk melatih kemampuan bahasanya guna meningkatkan kemandirian dalam memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Dari seluruh peserta berhasil menunjukkan peningkatan kemampuan bahasa lisannya. Adapun jurnal penelitian dari Shu-li Lin, National Taiwan Normal University, Department of Special Education pada anak usia 5 tahun 11 bulan yang didiagnosa hearing impairment, dan lack of language ability, treatment dilakukan dengan memberikan PECS 6 fase dan hasilnya positif setelah PECS diberikan selama 2 minggu.

Menurut keterangan dari seorang terapis wicara, Allen (2009), AAC dengan menggunakan PECS telah membantunya dalam memberikan terapi bagi Yesaya, di mana Yesaya adalah anak berusia 8 tahun yang didiagnosa autis serta kehilangan kemampuan komunikasinya sejak usia 1,5 tahun. Setelah Yesaya diberikan AAC dengan menggunakan PECS, maka dia dapat berkomunikasi dengan orang-orang sekitar untuk mengutarakan keinginan dan kebutuhannya (Center for AAC & Autism, 2009).

(15)

6

Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha kompleks. Misalkan, Max ingin minum, Max tidak hanya berkata, ”saya ingin”

atau ”minum” saja tetapi Max akan berkata, ”saya ingin minum susu coklat”. Bahkan jika Max sedang pergi jalan-jalan bersama ibunya, Max dapat memberitahukan arah kepada ibu dengan menggunakan GPSnya (Center for AAC & Autism, 2009).

Meskipun low-tech berupa PECS dianggap dapat membantu dalam meningkatkan pengembangan komunikasi guna menunjang kemampuan bantu diri anak dengan autisme, namun belum ada penelitian yang dapat membuktikan secara valid dan benar bahwa PECS dapat membantu meningkatkan pengembangan komunikasi anak berkebutuhan khusus terutama yang mengalami hambatan dalam komunikasi verbal dan non verbal (Wendt, 2007).

Berdasarkan pernyataan yang ada mengenai benar atau tidaknya PECS dapat membantu mengembangkan komunikasi guna menunjang kemampuan bantu diri ABK, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian menggunakan konsep AAC dengan teknik low-tech. Suatu alat yang akan digunakan pada penelitian ini adalah modifikasi dari PECS yang telah dikembangkan oleh Bondy & Frost (1999) berupa simbol gambar realistik dengan warna atau hitam putih, atau gambar garis sederhana. Simbol bisa hanya visual saat ditempatkan pada papan atau layar yang dibuat dari kertas mika. Dengan sistem ini, gambar ada pada kartu yang bisa dipindah-pindahkan oleh pengguna untuk membentuk pesan.

(16)

7

Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha

orang dengan usia sekitar 2,5-6 tahun. Di Character Developmental and Learning Center mayoritas anak diberikan terapi wicara, namun dalam terapi tersebut hanya diberikan treatment secara verbal tanpa diberikan pengenalan konsepnya terlebih dahulu, maka dari itu menurut seorang Psikolog di pusat terapi tersebut diperlukan adanya pemberian treatment untuk mengajarkan konsep terlebih dahulu sebelum anak diajarkan komunikasi secara verbal guna mendukung peningkatan kemampuan bantu dirinya di mana treatment tersebut jadi dapat saling melengkapi dengan terapi wicara.

Setelah dilakukan wawancara dengan orang tua dari D (perempuan, 4 tahun), didapatkan keterangan bahwa D didiagnosa autis yang mengalami hambatan dalam berkomunikasi. D bisa mengerti instruksi yang sangat sederhana dan mampu mengucapkan kata per kata, misalnya ”makan”, ”minum” namun bantu diri yang dapat D lakukan hanya setara dengan anak usia 3 tahun setelah ditest dengan alat ukur Denver Development Screening Test (DDST), misalnya D belum bisa memakai bajunya sendiri.

DA (laki-laki, 3 tahun), anak yang didiagnosa autis dan sudah mengikuti terapi wicara selama kurang lebih 3 minggu. Dalam terapi wicara, DA masih dilatih stimulasi oralnya sehingga kata per kata yang DA ucapkan masih belum jelas. D juga masih kurang mampu mengerti instruksi sederhana yang diberikan sehingga bantu dirinya setara dengan anak usia 1,5 tahun, yaitu DA belum bisa makan dengan memegang serta menyuapkan makanannya sendiri.

(17)

8

Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha

bantu dirinya meskipun sesuai dengan usia perkembangannya namun belum sempurna karena W belum bisa memahami instruksi yang diberikan kepadanya, misalnya W sudah bisa mencuci tangan sendiri namun W mencuci tangan satu per satu tanpa dibilas.

Berdasarkan fakta-fakta dari lapangan serta harapan dari orang tua bahwa anak mereka di usianya saat ini, jika mengikuti tahap perkembangan hendaknya sudah bisa makan menggunakan sendok dan garpu serta mencuci tangan sendiri dengan benar, hal ini yang mendorong peneliti untuk melakukan penelitian mengenai efektivitas metode AAC dengan teknik low-tech, di mana alat bantu yang akan digunakan untuk treatment adalah PECS yang telah dimodifikasi guna membantu meningkatkan bantu diri pada anak dengan autisme di Character Developmental and Learning Center Bandung.

I.2. Identifikasi Masalah

Sejauh mana penggunaan metode AAC dengan alat bantu PECS dapat meningkatkan kemampuan bantu diri berupa makan sendiri dengan sendok dan garpu serta mencuci tangan pada anak dengan autisme?

I.3. Maksud dan Tujuan Penelitian

I. 3. 1. Maksud Penelitian

(18)

9

Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha

kemampuan bantu diri berupa makan dengan sendok garpu serta mencuci tangan sendiri di Character Developmental and Learning Center Bandung.

I. 3. 2. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui kemajuan bantu diri berupa makan dengan sendok garpu serta mencuci tangan sendiri pada anak dengan autisme selama 1,5 bulan dengan diberikan treatment menggunakan metode AAC yang memakai alat bantu berupa PECS di Character Developmental and Learning Center Bandung.

I.4. Kegunaan Penelitian

I. 4. 1. Kegunaan Teoritis

- Memberikan sumbangan bagi pengembangan Psikologi Klinis Anak serta Psikologi Perkembangan dalam meningkatkan kemampuan bantu diri anak terutama bagi anak autis.

- Memberikan sumbangan bagi pengembangan metode AAC di Indonesia yang menggunakan teknik low-tech dengan alat bantu berupa PECS untuk meningkatkan kemampuan bantu diri anak autis.

(19)

10

Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha

I. 4. 2. Kegunaan Praktis

- Memberikan masukan bagi pusat terapi berkaitan dengan metode AAC yang menggunakan alat bantu berupa PECS yang diberikan pada anak autis untuk meningkatkan kemampuan bantu diri berkaitan dengan kelebihan dan kekurangan dalam metode maupun prosedur saat pemberian treatment.

- Bagi orang tua, pemahaman dan keterampilan mengenai metode AAC dengan alat bantu PECS diharapkan dapat membantu mereka untuk mendidik anak-anak mereka yang berkebutuhan khusus dalam proses belajarnya.

(20)

11

Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha

I.5. Metodologi

Penelitian ini merupakan studi kasus dengan menggunakan Design Quasi Eksperimental di mana subjekya adalah 3 anak autis berusia 3-5 tahun yang sedang melakukan terapi di Character Developmental and Learning Center Bandung. Subjek dipilih berdasarkan kriteria yang telah ditentukan, yaitu didiagnosa autism spectrum disorder (ASD), mengalami keterbatasan dalam komunikasi verbal namun sudah memiliki kemampuan koordinasi motorik yang cukup. Teori yang digunakan adalah teori komunikasi dan metode Augmentative and Alternative Communication (AAC) dari David Beukelman (Institut AAC, Amerika) guna mencapai peningkatan kemampuan bantu diri dengan target perilaku berupa makan sendiri dengan menggunakan sendok dan garpu serta mencuci tangan sendiri. Alat bantu yang digunakan dalam memberikan treatment berupa Picture Exchange Communication System (PECS) yang telah dimodifikasi, di mana alat bantu tersebut berupa simbol gambar yang ditempel di kertas mika serta dapat dipindah-pindahkan.

Pre test Post test

Efektivitas

Dibandingkan Intervensi

(21)

Program Magister Psikologi 107 Universitas Kristen Maranatha

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh gambaran efektifitas metode Augmentative and Alternative Communication untuk membantu meningkatkan kemampuan bantu diri bagi anak dengan autisme adalah sebagai berikut:

1.Kemampuan bantu diri dari ketiga klien meningkat secara beragam setelah diberikan intervensi dengan menggunakan alat bantu PECS, dimana klien I yang memiliki kemampuan bahasa dan motorik yang cukup baik, diberikan pengulangan pembelajaran di rumah serta tidak adanya pantangan makanan menunjukkan hasil peningkatan yang lebih signifikan dibandingkan klien II yang tidak memantang makanan ketika pemberian treatment dan klien III yang sulit dilakukan pendekatan.

2.Teman sebaya, masyarakat, terutama pengulangan pembelajaran di rumah oleh orang tua, dan jenis gambar PECS turut berperan dalam meningkatkan kemampuan bantu diri anak dengan autisme.

(22)

108

Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha

5.2. Saran

Berdasarkan penelitian yang telah dilaksanakan ini, maka saran-saran yang dapat diberikan adalah:

1. Bagi orang tua yang memiliki anak dengan autisme, hendaknya lebih memperhatikan, mendukung, membantu, dan banyak meluangkan waktu untuk mengulang pelajaran pada anak di rumah yang telah anak terima baik di sekolah maupun pelajaran ketika anak diberikan intervensi dengan menggunakan alat bantu berupa PECS guna meningkatkan kemampuan bantu diri anak agar lebih maksimal, yaitu kemampuan bantu diri makan dengan sendok dan garpu serta mencuci tangan setelah makan.

2. Bagi orang tua juga hendaknya memperhatikan cara dan pola makan apakah ada makanan yang harus dipantang, sehingga anak jadi tidak terlalu aktif dan ketika pemberian intervensi anak dapat duduk tenang dalam waktu yang relatif lama dan bisa memberikan atensi serta fokus.

3. Bagi guru dan helper untuk lebih memperhatikan tentang peningkatan kemampuan bantu diri anak dengan melakukan pengulangan PECS di sekolah setiap akan melakukan kegiatan makan dan mencuci tangan setelah makan. 4. Bagi peneliti lain, untuk meneliti kontribusi efektivitas Augmentative and

(23)

Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR PUSTAKA

Aarons, M., & Gittens, T. (1992). The handbook of autism a guide for parents and professionals. London: Tavistock/Routledge.

American Psychiatric Association. 1994. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (DSM-IV)-4th ed. Washington, DC

Beukelman & Mirenda. 2006. Augmentative & Alternative Communication: Supporting Children & Adults With Complex Communication Needs, US: Paul H Brookes Pub Co

Bondy AS, Frost LA (1994). The Picture Exchange Communication System. Focus on Autism and Other Developmental Disabilities, US

Cafiero, Joanne M. 2005. Meaningfull Exchange for People With Autism: An Introduction to Augmentative & Alternative Communication. USA: Woodbine House

Frankenburg, William, 1975. Denver Developmental Screening Test. Colorado Medical Center

Hurlock. 1978. Psikologi Perkembangan. Jilid I. terj. Agus Dhama. Jakarta: Erlangga Hurlock. 1997. Psikologi Perkembangan. Jilid II. terj. Meitasari Tjandrasa. PT.

Gelora Aksara Pratama

Jalaluddin, Rahmat. 2006. Psikologi Komunikasi. Remaja Rosdakarya Mash, Eric J. 2005. Abnormal Child Psychology–3th ed. London: Wadsworth Mash, Eric J. 1996. Child Psychopathology. London: The Guilford Press

Mash, Eric J. 1989. Treatment of Childhood Disorders. London: The Guilford Press Matson, Johnny L. 2009. Applied Behavior Analysis for Children with Autism

Spectrum Disorders, USA: Springer

Santrock, John W. 2004. Life Span Development – 5th ed: Perkembangan Masa Hidup, Edisi 5 Jilid II. Jakarta: Erlangga.

(24)

Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR RUJUKAN

Baron-Cohen, S. 1995. Mindblindness: An essay on autism and theory of mind. Cambridge, Massachusetts: The MIT Press.

Tincani, M. & Devis, K. (2010). Quantitative synthesis and component analysis of single-participant studies on the Picture Exchange Communication System. Remediation and Special Education (Online First), 1-13

Yuspendi, 2003, Tesis: “Efektivitas Program Terapi ABA Pada Anak Autis di Pusat Terapi “X” Kodya bandung”, Universitas Pajajaran, Bandung.

http://www.edst.purdue.edu/aac/Wendt%20AAC%20Autism%20London%202007.p df

http://www.aacandautism.com/real-communication-stories http://www.aacandautism.com/real-communication-stories http://www.boleh.com/?mn=dtnews&s=hotspot&id=107). http://homepbs.com/prevalensi.html

http://homepbs.com/pecs.html

http://health.kompas.com/read/2011/07/11/06190924/Bayi.Terlahir.Autis.Terus.Meni ngkat

Referensi

Dokumen terkait

Kotoran ayam petelur dan konsentrasi EM4 (K2 dan K3) memiliki tingkat pertumbuhan dan produktivitas yang kurang baik terhadap rumput Setaria sphacelata yaitu dengan

Busana yang tetap mengikuti pakem (aturan) salah satu budaya lokal yaitu Jawa tetapi tidak menyimpang dari aturan berbusana umat Islam tersebut dikonsumsi oleh para

Simpulan yang dapat ditarik adalah sapi bali di daerah Ungasan, Kutuh, dan Peminge telah tertular rabies, serta kerugian yang di alami oleh peternak dari tiga

Bab ini membahas tentang obyek penelitian dan menganalisis dan menguraikan praktik-praktik akuntansi komersial dalam laporan keuangan dan penyesuaian dalam

Perancangan adalah usulan pokok yang mengubah sesuatu yang sudah ada menjadi sesuatu yang lebih baik, melalui tiga proses: mengidentifikasi masalah-masalah, mengidentifikasi

Suhu optimal proses SFS adalah 38°C, yang merupakan perpaduan suhu optimal hidrolisis (45–50°C) dan suhu optimal fermentasi (30°C). Proses SFS memiliki keunggulan

Perbandingan Penggunaan Arus Tanpa Karbon Aktif dan Menggunakan Karbon Aktif Setelah melihat perbandingan massa karbon aktif terhadap arus yang digunakan dan terhadap

Dari hasil analisis data yang telah dilakukan, disimpulkan bahwa ada hubungan positif yang signifikan antara kepemimpinan kepala keluarga dan minat belajar dengan