• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEGAGALAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM PADA SEKOLAH Oleh : M. Abduh (Widyaiswara Balai Diklat Keagamaan Palembang)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "KEGAGALAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM PADA SEKOLAH Oleh : M. Abduh (Widyaiswara Balai Diklat Keagamaan Palembang)"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

KEGAGALAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM PADA SEKOLAH Oleh : M. Abduh

(Widyaiswara Balai Diklat Keagamaan Palembang)

PENDAHULUAN

Kegagalan pendidikan agama saat ini menuntut perhatian serius oleh semua pihak baik pemerintah, pengusaha, legislative, masyarakat, maupun keluarga. Hal ini cukup beralasan karena saat ini moral anak bangsa telah berada pada suatu titik yang sangat memperihatinkan. Maraknya tauran antar pelajar, meningkatnya penyalahgunaan narkoba, merebaknya seks bebas di kalangan pelajar selalu kita dengar dan saksikan setiap hari melalui berbagai media.

Berdasarkan penelitian tauran antar pelajar dari tahun ke tahun semakin meningkat di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan, tingkat tawuran antar pelajar sudah mencapai ambang yang cukup memprihatinkan. Data di Jakarta misalnya (Bimmas Polri Metro Jaya), tahun 1992 tercatat 157 kasus perkelahian pelajar. Tahun 1994 meningkat menjadi 183 kasus dengan menewaskan 10 pelajar, tahun 1995 terdapat 194 kasus dengan korban meninggal 13 pelajar dan 2 anggota masyarakat lain. Tahun 1998 ada 230 kasus yang menewaskan 15 pelajar serta 2 anggota Polri, dan tahun berikutnya korban meningkat dengan 37 korban tewas. Terlihat dari tahun ke tahun jumlah perkelahian dan korban cenderung meningkat. Bahkan sering tercatat, dalam satu hari di Jakarta terdapat sampai tiga kasus perkelahian di tiga tempat sekaligus (www.smu-net. com).

Sementara penyalahgunaan narkoba, Badan Narkotika Nasional (BNN) menyebutkan jumlah pengguna narkoba di lingkungan pelajar SD, SMP, dan SMA pada tahun 2006 mencapai 15.662 anak. Rinciannya, untuk tingkat SD sebanyak 1.793 anak, SMP sebanyak 3.543 anak, dan SMA sebanyak 10.326 anak. Dari data tersebut, yang paling mencengangkan adalah peningkatan jumlah pelajar SD pengguna narkoba. Pada tahun 2003, jumlahnya baru mencapai 949 anak, namun tiga tahun kemudian atau tahun 2006, jumlah itu meningkat tajam menjadi 1.793 anak (www.pikiran- rakyat.com). Selain itu, kalangan pelajar juga rentan tertular penyebaran penyakit HIV/AIDS. Misalnya di kota Madiun-Jatim, dari data terakhir yang dilansir Yayasan Bambu Nusantara Cabang Madiun, organisasi yang konsen masalah HIV/AIDS, menyebutkan kasus Infeksi Seksual Menular (IMS) yang beresiko tertular HIV/AIDS menurut kategori pendidikan sampai akhir

(2)

Oktober 2007 didominasi pelajar SMA/SMK sebanyak 51 %, pelajar SMP sebesar 26%, mahasiswa sebesar 12% dan SD/MI sebesar 11% (news.okezone. com).

Demikian juga seks bebas, berdasar data penelitian pada 2005-2006 di kota-kota besar mulai Jabotabek, Medan, Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Makassar, masih berkisar 47,54 persen remaja mengaku telah melakukan hubungan seks sebelum nikah. Namun, hasil survey tahun 2008 meningkat menjadi 63 persen. Sementara dari data survey Kesehatan Reproduksi Remaja (15-19 tahun) oleh Badan Pusat Statistik (2009) tentang perilaku remaja terhadap kesehatan reproduksi menunjukkan fakta yang mencengangkan.

Data tersebut menyebutkan bahwa dari 10.833 remaja laki-laki yang disurvei, 72 persen diantaranya mengaku sudah berpacaran. Dan dari 72 persen itu diperoleh data 10,2 persen mengaku telah melakukan hubungan seks (seks di luar nikah). 62 persen mengaku telah melakukan petting. Sedang dari hasil survei terhadap 8.340 remaja putri diperoleh data 6,3 persen mengaku telah melakukan hubungan seks bebas dengan pacarnya. 63 persen mengaku telah melakukan petting. (hhtp:// regional kompasiana.com)

Kenakalan remaja yang cukup mengkhawatirkan tersebut semakin hari semakin meningkat volumenya. Hal ini membawa kita pada pertanyaan bagaimana peran pendidikan agama yang dilakukan di sekolah. Mengapa pendidikan agama belum secara maksimal mampu mengatasi kenakalan remaja, apa yang salah dengan pendidikan agama, lalu bagaimana pendidikan agama seharusnya dilakukan.

Artikel sederhana ini mencoba melihat realitas pendidikan agama yang terjadi dan menarik benang merahnya untuk menjawab berbagai persoalan yang ada. Oleh karena itu beberapa hal penting yang akan diangkat dalam artikel ini antara lain aspek kurikulum sekolah, aspek keteladan guru, dan aspek keluarga dan masyarakat.

KURIKULUM

Sejak tahun 2006 system pendidikan nasional menggunakan kurikulum tingkat satuan pendidikan yang disingkat dengan KTSP. Secara umum KTSP memiliki beberapa kelebihan dari kurikulum sebelumnya antara lain, bahwa KTSP mendorong para guru, kepala sekolah, dan pihak manajemen sekolah untuk semakin meningkatkan kreativitasnya dalam penyelenggaraan program-program pendidikan. Dengan berpijak pada KTSP, sekolah diberi kebebasan untuk merancang, mengembangkan dan mengimplementasikan kurikulum sekolah sesuai dengan situasi, kondisi dan potensi keunggulan local yang dimunculkan sekolah.

(3)

Kebebasan tersebut tentu saja memberikan peluang bagi guru untuk menciptakan proses pembelajaran yang lebih menarik dan bermakna. Meskipun demikian bukan berarti KTSP tidak menyisakan permasalahan, justru persoalannya sekarang adalah terletak pada kemampuan guru untuk melaksanakannya di lapangan. Khususnya yang terkait dengan metode dan pendekatan pembelajaran.

Berkaitan dengan metode, para guru dituntut untuk menguasai berbagai metode pembelajaran selanjutnya terampil menggunakannya sesuai dengan topik pelajaran. Saat ini penguasaan metode sekaligus keterampilan menggunakannya dalam proses pembelajaran masih menjadi momok bagi para guru. Hal ini dapat terlihat dimana metode ceramah masih menjadi satu-satunya metode yang banyak digunakan para guru dalam pembelajaran agama. Ini tentu saja berimplikasi baik pada proses pembelajaran yang monoton tidak menarik dan cenderung membosankan juga pada hasil yang lebih bersifat teoritis dan tidak menyentuh aspek pembentukan pribadi dan watak

Demikian pula berkaitan dengan pendekatan dalam proses pembelajaran agama masih lebih menekankan pada aspek kognitif. Aktifitas hafalan menjadi corak dalam pembelajaran agama. Sementara aspek afektif dan psikomotorik sangat jarang tersentuh.

Seperti yang diungkapkan oleh Amin Abdullah, bahwa pembelajaran pendidikan agama yang berjalan hingga sekarang lebih banyak terfokus pada persoalan-persoalan teoritis keagamaan yang bersifat kognitif semata. Pendidikan Agama terasa kurang terkait atau kurang concern terhadap persoalan bagaimana mengubah pengetahuan agama yang bersifat kognitif menjadi “makna” dan “nilai” yang perlu diinternalisasikan dalam diri peserta didik lewat berbagai cara, media dan forum. Selanjutnya “makna” dan “nilai” yang telah terkunyah dan terhayati tersebut dapat menjadi sumber motivasi bagi peserta didik untuk bergerak-berbuat-berprilaku secara konkrit agamis dalam wilayah kehidupan praksis sehari-hari (Kasinyo Harto, 2009 : 2-3)

Hal senada juga diungkapkan oleh Ahmad Tafsir, menurutnya telah terjadi kesalahan paradigma dalam proses pembelajaran agama. Kesalahan paradigma itu, sambungnya, adalah pengejaran terhadap aspek kognitif sebagai prioritas. Padahal, agama adalah akhlak yang berkaitan dengan sikap, perkataan, dan perilaku keseharian.

Pada aspek materi, tampak lebih dominan aspek ritualnya dengan disiplin ilmu fiqh sebagai pilihan. Hal ini mungkin juga disebkan oleh sedikitnya jam yang tersedia untuk pelajaran agama ini sehingga aspek aqidah dan akhlak tidak terlalu mendalam.

(4)

Selain itu, bahwa sebagian besar guru agama kita masih terperangkap pada ketuntasan kurikulum. Pembelajaran dianggap sukses jika target kurikulum tercapai. Oleh karena itu tidak heran jika selama ini pembelajaran hanya sebatas pengajaran bukan pendidikan, hanya sebatas transfer of knowledge tidak diiringi transfer of value.

Sebenarnya hal yang sama juga terjadi pada orang dewasa dalam menjalankan agama ini. kuantitas selalu menjadi target dibanding dengan kualitas. Sebagai contoh ketika bulan Ramadhan, kaum muslimin biasa mengkhatamkan al-Qur’an berkali-kali dan terkadang menjadi target, tapi sangat disayangkan hanya sedikit yang berusaha untuk memahami makna kandungan al-Qur’an. Padahal pemahaman ini sangat penting karena dapat mempengaruhi jiwa dan tingkah laku.

Kondisi di atas tentu saja menjadikan pendidikan agama tidak maksimal dan sangat wajar jika belum bisa membentuk pribadi siswa yang berakhlak. Oleh karena itu, guru sebagai pendidik, harus menyadari kondisi ini dan berusaha secara kontinyu meningkatkan kualitas diri. Guru dituntut senantiasa mengembangkan diri dalam segi pengetahuan dan wawasan tentang berbagai metode, konsep, dan pendekatan baru dalam dunia pendidikan, karena keberhasilan pendidikan agama di sekolah banyak bergantung pada guru.

KETELADANAN

Keteladanan merupakan upaya konkret dalam menanamkan nilai-nilai luhur kepada peserta didik. Karena secara psikologis anak memang senang meniru; tidak saja yang baik, yang jelekpun ditirunya. Menurut Khalid bin Hamid al-Khazimi bahwa pentingnya teladan itu disebabkan karena beberapa hal: 1.)Manusia itu saling mempengaruhi antara yang satu dengan yang lain, dalam perkataan,perbuatan, orientasinya, pemikirannya, tradisinya dan segala sikap prilaku yang lainnya. 2) Menyaksikan sendiri suatu sikap atau prilaku dalam pendidikan lebih dapat diterima dari pada melalui susunan kata-kata, dengan kata lain bahasa sikap lebih dapat diterima dari pada bahasa lisan. 3)Manusia itu pada hakekatnya membutuhkan kepada sosok yang mampu meluruskan pengetahuan atau anggapan- anggapan atau konsep-konsep yang salah yang ada pada dirinya 4) Adanya pahala pada teladan yang baik dan adanya dosa pada teladan yang jelek, karena adanya pahala itu mempertegas terhadap pentingnya teladan. Sabda Nabi Saw : "Barang siapa yang menetapkan suatu kebaikan dalam islam maka baginya adalah pahala dan pahala orang yang melakukannya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun dan barang siapa yang

(5)

menetapkan kejelekan dalam islam maka dia harus menanggung dosa itu dan dosa orang yang melakukannya tanpa mengurangi dosa-dosa mereka (HR. Muslim)".

Meskipun keteladan penting, tapi masih banyak guru dalam mengajar tidak memulainya dengan keteladanan yang baik, bahkan terkadang justru memberikan contoh yang tidak semestinya kepada para siswa. Bagaimana mungkin guru mengajarkan agar saling menghargai antar sesama, tapi di saat bersamaan hubungan antar guru tidak harmonis. Bagaimana mungkin guru mengajarkan kasih sayang kepada sesama, jika disaat bersamaan justru guru bersifat otoriter dan kasar. Antara ucapan dan perbuatan tidak ada keselarasan.

Oleh karena itu para ahli merumuskan kriteria guru yang baik yakni tidak hanya dituntut menguasai ilmu di bidangnya, tetapi harus memiliki sifat-sifat tertentu dalam mendidik siswa. Seperti yang diungkapkan Zakiah Darajat yang menyebutkan bahwa untuk menjadi seorang guru harus memenuhi syarat-syarat yaitu : bertakwa kepada Allah, berilmu, sehat jasmani, dan berkelakuan baik. Lebih lanjut menurutnya budi pekerti guru sangat penting dalam pendidikan watak murid. Guru harus menjadi suri teladan, karena anak-anak bersifat suka meniru. Oleh karena itu berkaitan dengan budi pekerti atau akhlak, seorang guru harus mencintai jabatannya, bersikap adil terhadap murid, berlaku sabar dan tenang, berwibawa, gembira, bersifat manusiawi, bekerjasama dengan guru-guru lain, dan bekerjasama dengan masyarakat.(Zakiah Darajat, 2000 : 41-44)

KELUARGA DAN MASYARAKAT

Ada dua persepsi yang keliru dan menyesatkan yang terjadi di keluarga maupun masyarakat, pertama adanya anggapan bahwa tugas mendidik anak hanya dibebankan kepada sekolah. Anggapan ini sangat keliru yang menyebabkan fungsi pendidikan dalam keluarga terabaikan. Perhatian kepada anak hanya berupa pemenuhan kebutuhan yang bersifat materi semata seperti kebutuhan makan, pakaian, dan tempat tinggal. Sementara masalah pembentukan akhlak atau budi pekerti diserahkan bulat-bulat kepada sekolah.

Anak kehilangan perhatian dan kasih sayang orang tua, sehingga mencari penggantinya di luar rumah. Akibatnya, ketika anak mengalami persoalan yang pelik justru narkoba sebagai tempat sandarannya. Hal itu dianggap sebagai tempat mengadu yang tepat ketimbang membicarakannya kepada orang tua.

Kedua, ada asumsi bahwa keberhasilan pendidikan seseorang diukur oleh nilai ekonomis yang dicapai seseorang ketika selesai menamatkan jenjang pendidikannya.

(6)

Keyakinan seperti ini menjadikan materi sebagai tujuan utama pendidikan. Akibatnya pendidikan agama tidak menjadi focus perhatian dan hanya sebagai pelengkap kurikulum.

Hal ini tentu saja tidak sejalan dengan tujuan pendidikan nasional yakni agar peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Kondisi di atas bukan hanya menjadi faktor penghambat bagi keberhasilan pendidikan di sekolah, bahkan bisa memperburuk kondisi yang sudah ada. Di sekolah menerima pendidikan agama dengan baik namun menjadi rusak ketika berada di tengah keluarga dan masyarakatnya.

Oleh karena itu, keluarga sebagai unsur terkecil dalam masyarakat harus menyadari pentingnya meletakan dasar-dasar nilai agama pada anak sejak dini. Apalagi orang tua sebagai keluarga terdekat mempunyai tanggung jawab yang besar terhadap seorang anak di dunia dan akherat. "hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka".(QS. At-Tharim : 6).

Dan untuk penanaman jiwa keagamaan pada diri manusia ini, sulit rasanya mengabaikan peran keluarga di dalamnya. Makanya tak mengherankan jika Gilbert Highest menyatakan bahwa kebiasaan yang dimiliki anak sebagian besar terbentuk oleh pendidikan keluarga.

Sejak dari bangun tidur hingga tidur kembali, anak-anak menerima pengaruh dan pendidikan dari lingkungan keluarga. Orang tua merupakan pendidik pertama dan utama bagi anak-anaknya. Dikatakan pendidik pertama karena di tempat inilah anak mendapatkan pendidikan untuk pertama kalinya sebelum ia menerima pendidikan yang lainnya.

Kemudian dikatakan pendidikan utama karena pendidikan dari tempat ini mempunyai pengaruh yang dalam bagi kehidupan anak di kelak kemudian hari (Nur Uhbiyati, 1998:

225). Pendidikan keluarga merupakan pendidikan dasar bagi pembentukan jiwa keagamaan. Untuk itulah tidak mengherankan jika Rasul menekankan tanggung jawab itu kepada orang tua. Ada semacam rangkaian ketentuan yang dianjurkan kepada kedua orang tua, yaitu mengazankan ke telinga bayi yang baru dilahirkan, mengakikahkan, memberi nama yang baik, mengajarkan membaca al-Qur`an dan shalat lima waktu. Inilah dasar bagi perkembangan jiwa keagamaan anak. Oleh karena itu tidaklah tepat jika para orang tua menggantungkan harapan penuh kepada kepala sekolah yang merupakan lembaga pendidikan formal untuk menghasilkan anak-anak yang cerdas secara intlektual, emosional, dan spiritual secara menyeluruh.

(7)

PENUTUP

Untuk menangkal berbagai macam bentuk kenakalan remaja yang saat ini cukup memperihatinkan tidak lain dengan cara menanamkan nilai-nilai agama kepada anak sejak dini. Nilai-nilai agama yang telah tertanam dalam jiwa anak akan menjadi filter terhadap kemungkinan tergelincirnya kepada perbuatan-perbuatan yang tidak dibenarkan oleh agama.

Tanggung jawab dalam menanamkan nilai-nilai agama tersebut, bukan hanya tanggung jawab guru atau pendidik, tetapi juga tanggung jawab keluarga dan masyarakat.

Bahkan keluarga sebagai lembaga pendidikan pertama memiliki peran yang besar dalam meletakkan dasar-dasar nilai agama sejak dini.

Internalisasi nilai-nilai agama melalui proses pembelajaran dan keteladanan adalah hal penting yang perlu dilaksanakan di sekolah. Sebab untuk menanamkan nilai agama tidak cukup hanya sebatas pengajaran yang diberikan.

REFERENSI

Darajat, Zakiah, 2000. “Ilmu Pendidikan Islam”, Jakarta : Bumi Aksara

Harto, Kasinyo dan Abdurrahmasyah, 2009. “Metodologi Pembelajaran Berbasis Aktiv Learning : Arah baru pembelajaran PAI di sekolah dan madrasah”, Palembang : Grafika Telindo.

Syahidin, 2001. “Metode Pendidikan Qur`ani : Teori dan Aplikasi”, Jakarta : Misaka Galiza

Uhbiyati, Nur, 1998. “ Ilmu Pendidikan Islam”. Bandung : Pustaka Setia hhtp:// smu-net. com

hhtp:// pikiran- rakyat.com hhtp://news.okezone. com hhtp:// regional kompasiana.com

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Alamat : Kecamatan Kerajaan Kabupaten Pakpak Bharat.. Alamat : Kecamatan Salak, Kabupaten

Dalam hal ini yang dimaksud adalah “hak-hak istimewa ekstrateritorial”, yakni suatu istilah yang dipakai untuk melukiskan suatu keadaan dimana status seseorang atau

Umumnya dua jaringan yang terpisah yang menggunakan Firewall yang sejenis, atau seorang remote user yang terhubung ke jaringan dengan menggunakan software client

- Menerima bit stream dari lapisan fisik dan mengubahnya menjadi frame untuk diteruskan ke lapisan Jaringan - Bertanggung jawab untuk pengiriman frame yang bebas error

Prekursor ZnO yang digunakan dalam penelitian adalah Zn(NO 3 ) 2 .6H 2 O yang dihasilkan menggunakan metode sol-gel sedangkan material yang akan dicoating adalah baja karbon

[r]

Berdasarkan hal terebut diatas dapat dikatakan bahwa Pemalsuan Kartu ATM ataupun Kartu Kredit dari Bank tertentu dapat digolongkan sebagai suatu bentuk tindak