• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN TEORI. Pada bab ini menjelaskan tentang 1) Konsep BPH, 2) Konsep Dasar Nyeri dan 3)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN TEORI. Pada bab ini menjelaskan tentang 1) Konsep BPH, 2) Konsep Dasar Nyeri dan 3)"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

7 BAB 2

TINJAUAN TEORI

Pada bab ini menjelaskan tentang 1) Konsep BPH, 2) Konsep Dasar Nyeri dan 3) Konsep Asuhan Keperawatan pada klien Post Operasi TURP.

2.1 Konsep BPH ( Benigna Prostat Hyperplasia )

2.1.1 Definisi

Benigna Prostate Hiperplasia merupakan pertumbuhan nodulnodul fibroadenomatosa majemuk prostat, pertumbuhan tersebut dimulai dari bagian periuretral sebagai proliferasi yang terbatas dan tumbuh dengan menekan kelenjar normal yang tersisa, prostat tersebut mengelilingi uretra, dan pembesaran bagian periuretral menyebabkan obstruksi leher kandung kemih dan yang menyebabkan aliran kemih menuju kandung kemih terganggu (Price dan Wilson, 2016)

BPH ( Benigna Prostat Hyperplasia ) adalah suatu keadaan dimana kelenjar prostat mengalami pembesaran, memanjang ke atas ke dalam kandung kemih dan menyumbat aliran urine dengan menutup orifisium uretra (Smeltzer dan Bare, 2013).

Benigna Prostate Hiperplasia merupakan suatu keadaan yang sering terjadi pada pria umur 50 tahun atau lebih yang ditandai dengan terjadinya perubahan pada prostat yaitu prostat mengalami atrofi dan menjadi nodular, pembesaran dari beberapa bagian kelenjar ini dapat mengakibatkan obstruksi urine (Bradero et al,. 2017)

(2)

8 2.1.2 Etiologi BPH

Menurut Prabowo dkk (2014) etiologi BPH sebagai berikut:

1. Peningkatan DKT (dehidrotestosteron)

Peningkatan 5 alfa reduktase dan resepto androgen akan menyebabkan epitel dan stroma dari kelenjar prostat mengalami hyperplasia.

2. Ketidak seimbangan esterogen-testosteron

Ketidak seimbangan ini terjadi karena proses degeneratif. Pada proses penuaan, pada pria terjadi peningkan hormone estrogen dan penurunan hormon testosteron.

Hal ini yang memicu terjadinya hiperplasia stroma pada prostat.

3. Interaksi antar sel struma dan sel epitel prostat

peningkatan kadar epidermal growth factor atau fibroblast growth factor dan penurunan transforming growth factor beta menyebabkan hiperplasia stroma dan epitel, sehingga akan terjadi BPH

4. Berkurangnya kematian sel ( apoptosis )

Estrogen yang meningkat akan menyebabkan peningkatan lama hidup stroma dan epitel dari kelenjar prostat.

5. Teori stem sel

Sel stem yang meningkat akan mengakibatkan proliferasi sel transit dan memicu terjadi BPH

2.1.3 Tanda Dan Gejala BPH

Menurut Hariono ,(2012) tanda dan gejala BPH meliputi:

1. Gejala obstruktif

a. Hesitansi, yaitu memulai kencing yang lama dan sering kali disertai dengan mengejan.

(3)

9

b. Intermittency, yaitu terputus-putusnya aliran kencing yang disebabkan oleh ketidak mampuan otot destrussor dalam mempertahankan tekanan intra vesika sampai berakhirnya miksi.

c. Terminal dribbling, yaitu menetesnya urin pada akhir kencing.

d. Pancaran lemah, yaitu kelemahan kekuatan dan kaliber pancaran destrussor memerlukan waktu untuk dapat melampaui tekanan di uretra.

e. Rasa tidak puas setelah berakhirnya buang air kecil dan terasa belum puas.

2. Gejala iritasi

a. Urgensi, yaitu perasaan ingin buang air kecil yang sulit di tahan.

b. Frekuensi, yaitu penderita miksi lebih sering miksi dari biasanya dapat terjadi pada malam dan siang hari.

c. Disuria, yaitu nyeri pada waktu kencing.

2.1.4 Klasifikasi BPH

Menurut R. Sjamsuhidajat dan Wim De Jong ( 2010 ), klasifikasi BPH meliputi :

a. Derajat 1 : Biasanya belum memerlukan tindakan bedah, diberi pengobatan konservatif.

b. Derajat 2 : Merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan biasanya dianjurkan reseksi endoskopik melalui uretra ( trans urethral resection / TUR).

c. Derajat 3 : Reseksi endoskopik dapat dikerjakan, bila diperkirakan prostate sudah cukup besar, reseksi tidak cukup 1 jam sebaiknya dengan pembedahan terbuka, melalui trans retropublik / perianal.

d. Derajat 4 : Tindakan harus segera dilakukan membebaskan klien dari retensi urine total dengan pemasangan kateter.

(4)

10 2.1.5 Patofisiologi

Pertama kali BPH terjadi salah satunya karena faktor bertambahnya usia, dimana terjadi perubahan keseimbangan testosterone, esterogen, karena produksi testosterone menurun, produksi esterogen meningkat dan terjadi konversi testosteron menjadi estrogen pada jaringan adipose di perifer. Keadaan ini tergantung pada hormon testosteron, yang di dalam sel-sel kelenjar prostat hormon ini akan dirubah menjadi dehidrotestosteron (DHT) dengan bantuan enzim alfa reduktase. Dehidrotestosteron inilah yang secara langsung memacu m-RNA di dalam sel-sel kelenjar prostat untuk mensistesis protein sehingga mengakibatkan kelenjar prostat mengalami hyperplasia yang akan meluas menuju kandung kemih sehingga mempersempit saluran uretra prostatika dan penyumbatan aliran urine. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan intravesikal. Untuk dapat mengeluarkan urin, buli-buli harus berkontraksi lebih kuat guna melawan tahanan itu (Presti et al, 2013). Kontraksi yang terus- menerus ini menyebabkan perubahan anatomi dari buli-buli berupa hipertrofi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan divertikel buli-buli. Fase penebalan otot detrusor ini disebut fase kompensasi. Perubahan struktur pada buli-buli dirasakan oleh pasien sebagai keluhan pada saluran kemih sebelah bawah atau lower urinary tract symptom (LUTS) yang dahulu dikenal dengan gejala-gejala prostatismus. Dengan semakin meningkatnya resistensi uretra, otot detrusor masuk ke dalam fase dekompensasi dan akhirnya tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi urin. Retensi urine ini diberikan obat-obatan non invasif tetapi obat- obatan ini membutuhkan waktu yang lama, maka penanganan yang paling tepat adalah tindakan pembedahan, salah satunya adalah TURP (Joyce, 2014).

TURP adalah suatu operasi pengangkatan jaringan prostat lewat uretra menggunakan resektroskop, dimana resektroskop merupakan endoskop dengan

(5)

11

tabung 10-3-F untuk pembedahan uretra yang dilengkapi dengan alat pemotongan dan counter yang disambungkan dengan arus listrik. Trauma bekas resectocopy menstimulasi pada lokasi pembedahan sehingga mengaktifkan suatu rangsangan saraf ke otak sebagai konsekuensi munculnya sensasi nyeri (Haryono, 2012)

2.1.6 Patway

Gambar 2.1 Patway BPH (Benign Prostatic Hyperplasia) Prabowo,Dkk (2014) Faktor

Usia Lanjut

Perubahan Keseimbangan Hormon testosterone dan

esterogen

Kadar Testosteron Meningkat

Kadar Testosteron Menurun

Memacu m-RNA didalam sel-sel kelenjar prostat

Hiperplasi sel Prostat

Poliferasi Sel Prostat

BPH

Tindakan Pembedahan

Trauma bekas Resectopy

Merangsang saraf eferen

NYERI AKUT

(6)

12 2.1.7 Komplikasi

Menurut Widijanto ( 2011 ) komplikasi BPH meliputi :

a. Aterosclerosis b. Infark jantung c. Impoten

d. Haemoragik post operasi e. Fistula

f. Struktur pasca operasi dan inconentia urin g. Infeksi

2.1.8 Penatalaksanaan

Menurut Haryono (2012) penatalaksaan BPH meliputi :

1. Terapi medikamentosa

a. Penghambat adrenergik, misalnya prazosin, doxazosin, afluzosin.

b. Penghambat enzim, misalnya finasteride c. Fitoterapi, misalnya eviprostat

2. Terapi bedah Waktu penanganan untuk tiap pasien bervariasi tergantung beratnya gejala dan komplikasi, adapun macam-macam tindakan bedah meliputi:

a. Prostatektomi

1) Prostatektomi suprapubis , adalah salah satu metode mengangkat kelenjar melalui insisi abdomen yaitu suatu insisi yang di buat kedalam kandung kemih dan kelenjar prostat diangkat dari atas.

2) Prostaktektomi perineal, adalah mengangkat kelenjar melalui suatu insisi dalam perineum.

(7)

13

3) Prostatektomi retropubik, adalah suatu teknik yang lebih umum di banding [endekatan suprapubik dimana insisi abdomen lebih rendah mendekati kelenjar prostat yaitu antara arkuspubis dan kandung kemih tanpa memasuki kandung kemih.

b. Insisi prostat transurethral (TUIP) Yaitu suatu prosedur menangani BPH dengan cara memasukkan instrumen melalui uretra. Cara ini diindikasikan ketika kelenjar prostat berukuran kecil (30 gr / kurang) dan efektif dalam mengobati banyak kasus dalam BPH.

c. Transuretral Reseksi Prostat (TURP) Adalah operasi pengangkatan jaringan prostat lewat uretra menggunakan resektroskop dimana resektroskop merupakan endoskopi dengan tabung 10-3-F untuk pembedahan uretra yang di lengkapi dengan alat pemotong dan counter yang di sambungkan dengan arus listrik.

2.1.9 Pemeriksaan Penunjang

Menurut Haryono (2012) pemeriksaan penunjang BPH meliputi :

1. Pemeriksaan colok dubur

Pemeriksaan colok dubur dapat memberikan kesan keadaan tonus sfingter anus mukosa rectum kelainan lain seperti benjolan dalam rectum dan prostat.

2. Ultrasonografi (USG)

Digunakan untuk memeriksa konsistensi volume dan besar prostat juga keadaan buli-buli termasuk residual urine.

3. Urinalisis dan kultur urine

Pemeriksaan ini untuk menganalisa ada tidaknya infeksi dan RBC (Red Blood Cell) dalam urine yang memanifestasikan adanya pendarahan atau hematuria (prabowo dkk, 2014).

(8)

14 4. DPL (Deep Peritoneal Lavage)

Pemeriksaan pendukung ini untuk melihat ada tidaknya perdarahan internal dalam abdomen. Sampel yang di ambil adalah cairan abdomen dan diperiksa jumlah sel darah merahnya.

5. Ureum, Elektrolit, dan serum kreatinin

Pemeriksaan ini untuk menentukan status fungsi ginjal. Hal ini sebagai data pendukung untuk mengetahui penyakit komplikasi dari BPH.

6. PA(Patologi Anatomi)

Pemeriksaan ini dilakukan dengan sampel jaringan pasca operasi. Sampel jaringan akan dilakukan pemeriksaan mikroskopis untuk mengetahui apakah hanya bersifat benigna atau maligna sehingga akan menjadi landasan untuk treatment selanjutnya.

2.2 Konsep Nyeri

2.2.1 Definisi Nyeri

Nyeri merupakan sensasi yang rumit, unik, universal dan bersifat individual.

Dikatakan bersifat individual karena respons individu terhadap sensasi nyeri beragam dan tidak bisa disamakan satu dengan lainnya. Hal tersebut menjadi dasar bagi perawat dalam mengatasi nyeri pada klien (Asmandi, 2018).

Nyeri merupakan kondisi berupa perasaan yang tidak menyenangkan, bersifat sangat subjektif. Perasaan nyeri pada setiap orang berbeda dalam hal skala ataupun tingkatannya, dan hanya orang tersebutlah yang dapat menjelaskan atau mengevaluasi rasa nyeri yang dialaminya (Tetty, 2016)

Nyeri adalah pengalaman sensori nyeri dan emosional yang tidak menyenangkan yang berkaitan dengan kerusakan jaringan aktual dan potensial yang

(9)

15

tidak menyenangkan yang terlokalisasi pada suatu bagian tubuh ataupun sering disebut dengan istilah distruktif dimana jaringan rasanya seperti di tusuk-tusuk, panas terbakar, melilit, seperti emosi, perasaan takut dan mual (Judha, 2017)

2.2.2 Klasifikasi Nyeri

Nyeri dapat diklasifikasikan berdasarkan durasinya dibedakan menjadi nyeri akut dan nyeri kronis.

1. Nyeri akut

Nyeri Akut adalah nyeri yang terjadi setelah cedera akut, penyakit atau intervensi bedah dan memiliki awitan yang cepat, dengan ukuran intensitas yang bervariasi (ringan sampai berat) dan berlangsung untuk waktu singkat. Nyeri akut dapat dijelaskan sebagai nyeri yang berlangsung dari beberapa detik hingga enam bulan (Smeltzer & Bare, 2016).

Nyeri akut terkadang disertai oleh aktivasi sistem saraf simpatis yang akan memperlihatkan gejala-gejala seperti peningkatan respirasi, peningkatan tekanan darah, peningkatan denyut jantung, diaphoresisdan dilatasi pupil. Secara verbal klien yang mengalami nyeri akan melaporkan adanya ketidaknyamanan berkaitan dengan nyeri yang dirasakan. Klien yang mengalami nyeri akut biasanya juga akan memperlihatkan respon emosi dan perilaku seperti menangis, mengerang kesakitan, mengerutkan wajah atau menyeringai (Andarmoyo, 2017).

2. Nyeri Kronis

Nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermiten yang menetap sepanjang suatu periode waktu. Nyeri kronik berlangsung lama, intensitas yang bervariasi dan biasanya berlangsung lebih dari 6 bulan. Manisfestasi klinis yang tampak pada nyeri kronis sangat berbeda dengan yang diperlihatkan oleh nyeri akut.

Dalam pemeriksaan tanda-tanda vital, sering kali didapatkan masih dalam batas

(10)

16

normal dan tidak disertai dilatasi pupil. Manisfestasi yang biasanya muncul berhubungan dengan respon psikososial seperti rasa keputusasaa, kelesuan, penurunan libido, penurunan berat badan, perilaku menarik diri, iritabel, mudah tersinggung, marah dan tidak tertarik pada aktivitas fisik. Secara verbal klien mungkin akan melaporkan adanya ketidaknyamanan, kelemahan dan kelelahan (Andarmoyo, 2017).

2.2.3 Alat Ukur Nyeri

Menurut (Saifullah, 2017) Penilaian intensitas nyeri dengan menggunakan skala sebagai berikut :

1) Numeric Rating Scale (NRS)

Metode Numeric Rating Scale (NRS) ini didasari pada skala angka 1-10 untuk menggambarkan kualitas nyeri yang dirasakan pasien. NRS diklaim lebih mudah dipahami, lebih sensitif terhadap jenis kelamin, etnis, hingga dosis. NRS juga lebih efektif untuk mendeteksi penyebab nyeri akut ketimbang VAS dan VRS.

Gambar 2.2 Numeric Rating Scale (Saifullah,2017)

NRS di satu sisi juga memiliki kekurangan, yakni tidak adanya pernyataan spesifik terkait tingkatan nyeri sehingga seberapa parah nyeri yang dirasakan tidak dapat diidentifikasi dengan jelas. Keterangan :

a) 0: Tidak nyeri

(11)

17

b) 1-3 : Nyeri ringan, secara objektif pasien dapat berkomunikasi dengan baik.

c) 4-6 : Nyeri sedang, secara objektif pasien mendesis, menyeringai, dapat menunjukkan lokasinyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti perintah dengan baik.

d) 7-9 : Nyeri berat, secara objektif pasien terkadang tidak dapat mengikuti perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi nafas panjang dan distraksi.

e) 10 : Nyeri sangat berat, pasien sudah tidak mampu lagi berkomunikasi.

2.2.4 Proses Terjadinya Nyeri

Menurut (Andarmoyo, 2017) ada beberapa tahapan dalam proses terjadinya nyeri, yaitu :

1) Stimulasi

Persepsi nyeri reseptor, diantarkan oleh neuron khusus yang bertindak sebagai reseptor, pendeteksi stimulus, penguat dan penghantar menuju sistem saraf pusat.

Reseptor khusus tersebut dinamakan nociceptor.

2) Transduksi

Transduksi merupakan proses ketika suatu stimuli nyeri (noxious stimuli) diubah menjadi suatu aktivitas listrik yang akan diterima ujung-ujung saraf.\

3) Transmisi

Transmisi merupakan proses penerusan impuls nyeri dari nociceptori safar perifer melewati cormu dorsalis dan corda spinalis menuju korteks serebri.

4) Modulasi

Modulasi adalah proses pengendalian internal oleh sistem saraf, dapat menigkatkan atau mengurangi penerusan impuls nyeri.

(12)

18 5) Persepsi

Persepsi adalah hasil rekonstruksi susunan saraf pusat tentang impuls nyeri yang diterima.

2.2.5 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Nyeri

Faktor-faktor yang mempengaruhi nyeri menurut (Potter & Perry, 2016) yaitu:

1) Usia

Persepsi nyeri dipengaruhi oleh usia, yaitu semakin bertambah usia maka semakin mentoleransi rasa nyeri yang timbul, kemampuan untuk memahami dan mengontrol nyeri kerap kali berkembang dengan bertambahnya usia.

2) Jenis kelamin

Jenis kelamin merupakan faktor pernting dalam merespons adanya nyeri.

Umumnya tidak ada perbedaan yang signifikan antara laki-laki dalam merespon nyeri tetapi pada perempuan lebih cenderung menangis bila mengalami nyeri dibandingkan anak lakilaki.

3) Lingkungan

Lingkungan akan mempengaruhi persepsi nyeri, lingkungan yang ribut dan terang dapat meningkatkan intensitas nyeri.

4) Keadaan umum

Kondisi fisik yang menurun, misalnya kelelahan dan kurangnya asupan nutrisi dapat meningkatkan intensitas nyeri yang dirasakan klien. Begitu juga rasa haus, dehidrasi dan lapar akan meningkatkan persepsi nyeri.

5) Endorfin

Tingkatan endorphin berbeda-beda antara satu orang dan yang lainnya. Hal inilah yang sering menyebabkan rasa nyeri yang dirasakan oleh seseorang berbeda dengan yang lainnya.

(13)

19 6) Situasional

Pengalaman nyeri klien pada situasi formal akan terasa lebih besar dari pada saat sendirian. Persepsi nyeri juga dipengaruhi oleh trauma jaringan.

7) Status emosi

Status emosional sangat memegang peranan penting dalam persepsi rasa nyeri karena akan meningkatkan persepsi dan membuat impuls rasa nyeri lebih cepat disampaikan. Adapun status emosi yang sangat mempengaruhi persepsi rasa nyeri pada individual antara lain: kecemasan, ketakutan dan kekhawatiran.

8) Pengalaman yang lalu

Adanya pengalaman nyeri sebelumnya akan mempengaruhi respons nyeri pada klien. Contohnya, pada wanita yang mengalami kesulitan, kecemasan dan nyeri pada persalinan sebelumnya akan meningkatkan respons nyeri.

2.2.6 Penatalaksanaan Nyeri

Penatalaksanaan nyeri dibagi menjadi dua (Potter & Perry, 2016) yaitu:

1) Penatalaksanaan nyeri secara farmakologis

Penatalaksanaan nyeri secara farmakologis efektif untuk nyeri sedang dan berat. Penanganan yang sering digunakan untuk menurunkan nyeri biasanya menggunakan obat analgesic yang terbagi menjadi dua golongan yaitu analgesik non narkotik dan analgesik narkotik. Penatalaksanaan nyeri dengan farmakologis yaitu dengan menggunakan obat-obat analgesik narkotik baik secara intravena maupun intramuskuler. Pemberian secara intravena maupun intramuskuler misalnya dengan meperidin 75 – 100 mg atu dengan morfin sulfat 10 – 15 mg, namun penggunaan analgesic yang secara terus menerus dapat mengakibatkan ketagihan obat. Namun demikian pemberian

(14)

20

farmakologis tidak bertujuan untuk meningkatkan kemampuan pasien sendiri untuk mengontrol nyerinya.

2) Penatalaksanaan nyeri secara non farmakologis

Penatalaksanaan nyeri secara non farmakologi dapat dilakukan dengan cara terapi fisik (meliputi stimulasi kulit, pijatan, kompres hangat dan dingin, TENS, akupuntur dan akupresur) serta kognitif dan biobehavioral terapi (meliputi latihan nafas dalam, relaksasi , rhytmic breathing, terapi musik, bimbingan imaginasi, biofeedback, distraksi, sentuhan terapeutik, meditasi, hipnosis, humor dan magnet) (Blacks dan Hawks, 2016). Pengendalian nyeri non farmakologi menjadi lebih murah, mudah, efektif dan tanpa efek yang merugikan (Potter & Perry, 2016).

2.3 Konsep Terapi Distraksi Dan Relaksasi

2.3.1 Definisi Konsep Distraksi

Distraksi merupakan sistem aktivasi retikular yang dapat menghambat stimulus meyakitkan jika seseorang menerima masukan sesnsori yang cukup ataupun berlebihan. Stimulus yang menyenangkan dapat melepaskan hormon endorphin.

Distraksi merupakan kegiatan mengalihkan perhatian klien ke hal lain dan dengan demikian dapat menurunkan ketakutan terhadap nyeri bahkan dapat meningkatkan toleransi terhadap nyeri (Potter & Perry, 2012).

Teknik distraksi adalah suatu proses pengalihan dari fokus satu ke fokus yang lainnya atau perhatian pada nyeri ke stimulus yang lain. Distraksi digunakan untuk memfokuskan perhatian a agar melupakan rasa nyerinya. Melalui teknik distraksi kita dapat menanggulangi nyeri yang didasarkan pada teori bahwa aktivasi retikuler menghambat stimulus nyeri. Jika seseorang menerima input sensori yang banayak

(15)

21

dapat menyebabkan terhambatnya impuls nyeri ke otak (nyeri berkurang atau tidak dirasakan sama sekali oleh pasien). Stimulus yang membahagiyakan dari luar juga dapat merangsang sekresi endorfin, sehingga stimulus nyeri yang dirasakan oleh pasien berangsur-angsur menurun. Oleh karena itu, stimulasi penglihatan, pendengaran dan sentuhan barangkali akan lebih berhasil dalam menurunkan nyeri dibanding stimulasi satu indera saja (Soeparmin, 2010).

2.3.2 Jenis Terapi Distraksi

Menurut Soeparmin (2010) teknik distraksi dibagi menjadi 5, yaitu:

1. Distraksi Visual dan Audio Visual

Cara yang sering di gunakan pada teknik ini adalah dengan mengalihkan perhatian pasien pada hal-hal yang digemari seperti: melihat filem keluarga, menonton televisi, membaca koran, melihat pemandangan, melihat gambar- gambar, dan melihat buku cerita bergambar, bermain game. Teknik audio visual adalah salah satu teknik yang efektif dalam melakukan pendekatan pada anak.

Cara ini digunakan dengan cara mengalihkan perhatian anak pada hal – hal yang disukai seperti menonton animasi animasi.

2. Distraksi pendengaran

Seperti mendengarkan music, mendengarkan radio yang disukai atau suara burung dan binatang yang lainnya serta gemercik air. Individu dianjurkan untuk memilih musik yang disukai dan musik tenang seperti musik klasik, bacaan ayat ayat suci, dan diminta untuk berkonsentrasi pada lirik dan irama lagu. Pasien juga diperkenankan untuk menggerakkan tubuh mengikuti irama musik seperti, menngeleng gelengkan kepala, menggerakan jari-jemari atau mengayun ayunkan kaki. Salah satu distraksi yang efektif adalah dengan mendengarkan musik, cara ini dapat menurunkan nyeri fisiologis, stress, dan

(16)

22

kecemasan dengan mengalihkan perhatian seseorang dari rasa nyeri. Musik terbukti dapat menurunkan frekuensi denyut jantung, mengurangi kecemasan dan depresi, menghilangkan nyeri, menurunkan tekanan darah, dan mengubah persepsi waktu (Guzetta, 1989) dalam (Potter & Perry, 2012). Perawat dapat menerapkan teknik distraksi dengan mendengarkan musik di berbagai situasi klinis.

3. Distraksi pendengaran

Bernafas ritmik dianjurkan pada pasien untuk memandang fokus pada satu objek atau memejamkan mata dan melakukan inhalasi perlahan melalui hidung dengan hitungan mundur 4 – 1 dan kemudian mengeluarkan nafas melalui mulut secara perlahan dengan menghitungan mundur 4 – 1 (dalam hati).

Anjurkan pasien untuk fokus pada irama pernafasan dan terhadap gambar yang memberi ketenangan, teknik ini di lakuhkan hingga terbentuk pola pernafasan yang ritmik.

4. Distraksi intelektual

Kegiatan mengisi teka-teki silang, bermain kartu, bermain catur melakukan kegiatan yang di gemari (di tempat tidur) seperti mengumpulkan perangko, menggambar dan menulis cerita.

5. Imajinasi terbimbing

Adalah kegiatan membuat suatu hayalan yang menyenangkan dan fokuskan diri pada bayangan tersebut serta berangsur-angsur melupakan diri dari perhatian terhadap rasa nyeri. Imaginasi terbimbing membuat sibuk memusatkan perhatiannya pada suatu aktivitas yang menarik dan menyenangkan, dan merubah persepsi rasa sakit.

(17)

23 2.3.3 Definisi Teknik Relaksasi Nafas Dalam

Menurut Potter & Perry (2012) relaksasi adalah kebebasan mental dan fisik dari ketegangan dan stres. Teknik relaksasi dapat memberikan individu kontrol diri ketika terjadi rasa tidak nyaman atau nyeri, stres fisikm dan emosi pada nyeri. Teknik ini dapat digunakan pada kondisi sehat dan sakit.

Pengertian teknik distraksi nafas dalam adalah bentuk asuhan keperawatan, hal ini perawat mengajarkan cara teknik distraksi nafas dalam, nafas berlahan dan menghembuskan nafas secara berangsurangsur, hal tersebut dapat menurunkan rasa nyeri, ventilasi paru dapat meningkat dan oksigen darah meningkat (Smeltzer & Bare, 2002)

2.3.4 Tujuan Teknik Relaksasi Nafas Dalam

Tujuan dari teknik relaksasi menurut Potter & Perry (2012) antara lain:

1. menurunkan nadi, tekanan darah, dan pernapasan.

2. penurunan konsumsi oksigen.

3. penurunan ketegangan otot.

4. penurunan kecepatan metabolisme.

5. peningkatan kesadaran secara umum.

6. kurang perhatian terhadap stimulus lingkngan.

7. tidak ada perubahan posisi yang volunter.

8. perasaan damai dan sejahtera.

9. periode kewasapadaan yang santai, terjaga, dan dalam.

Tujuan teknik distraksi nafas dalam ialah agar dapat meningkatkan ventilasi alveoli, menjaga pertukaran gas, mengurangi atelektasi paru, mengefektifkan batuk, mengurangi stress dan menurunkan kecemasan (Smeltzer & Bare, 2002). Pernapasan

(18)

24

yang di gunakan iyalah pernafasan diafragma yang mengacu ke pendataran kubuh diafragma sampai abdomen mengalami pembesaran bagian atas desakan udara masuk selama inspirasi.

2.3.5 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Teknik Relaksasi Nafas Dalam

Teknik relaksasi nafas dalam terhadap penurunan nyeri dan di percaya menurunkan intensittas nyeri melelui mekanisme:

1. Dengan mengendurkan otot-otot sekelet yang mengalami spasme yang di akibatkan meningginya prostaglandin dan menjadi vasodilatasi pembuluh darah akan mengalirkan ke spasme dan iskemik.

2. Teknik relaksasi nafas dalam akan merangsang tubuh untuk melepaskan opoiod endogen

3. Gampang di lakuhkan, tidak memerlukan alat dan dapat di lakuhkan sewaktu- waktu.

Prinsip pokok yang mendasar turunnya nyeri oleh teknik distraksi nafas dalam terletak pada fisiologis sistem saraf otonom yang merupakan dari sistem saraf perifer yang menahan homestatis internal individu. Saat pelepasan mediator kimia seperti bradikinin yang akhirnya metabolise otot dan menimbulkan pengiriamn implus nyeri dari medulla spinalis ke otak dan dan di rasakan sebagai nyeri.

2.4 Konsep Asuhan Keperawatan Post Operasi BPH

2.4.1 Pengkajian

a. Identitas : identitas digunakan untuk mengetahui klien yg mengalami BPH yang sering dialami oleh laki –laki diatas umur 45 tahun (Rendy clevo, 2012). Ras kulit hitam memiliki resiko lebih besar dibanding dengan ras kulit putih. Status social ekonomi memili peranan penting dalam terbentuknya fasilitas kesehatan yang

(19)

25

baik. Pekerjaan memiliki pengaruh terserang penyakit ini, orang yang pekerjaanya mengangkat barang-barang berat memiliki resiko lebih tinggi.

b. Keluhan Utama

pada klien post operasi BPH biasanya muncul keluhan nyeri, sehingga yang perlu dikaji untk meringankan nyeri (provocative/ paliative), rasa nyeri yang dirasakan (quality), keganasan/intensitas (saverity) dan waktu serangan, lama, (time) (Judha, dkk. 2012)

c. Riwayat Penyakit Sekarang

Keluhan yang sering dialami klien BPH dengan istilah LUTS (Lower Urinary Tract Symtoms). Antara lain: hesistansi, pancaran urin lemah, intermittensi, ada sisa urine pasca miksi, frekuensi dan disuria (jika obstruksi meningkat).

d. Riwayat Penyakit Dahulu

Kaji apakah memiliki riwayat infeksi saluran kemih (ISK), adakah riwayat mengalami kanker prostat. Apakah pasien pernah menjalani pembedahan prostat / hernia sebelumnya. (Bickley, 2015)

e. Riwayat Penyakit Keluarga

Kaji adanya keturunan dari salah satu anggota keluarga yang menderita penyakit BPH. (Bickley, 2015)

2.4.2 Pemeriksaan Fisik

a. Vital sign (tanda vital)

1) Pemeriksaan temperature dalam batas normal

2) Pada klien post operasi BPH mengalami peningatan RR (Ackley, 2011) 3) Pada klien post operasi BPH mengalami peningkatan nadi.

4) Pada klien post operasi BPH mengalami peningkatan tekanan darah (Prabowo,2014).

(20)

26 b. Pemeriksaan Fisik Persistem (B1-B6)

a) B1 (Breating)

1) Inspeksi : Bentuk simetris kanan kiri, inspirasi dan ekspirasi pernapasan, irama, gerakkan cuping hidung.

2) Palpasi : Pergerakkan simetris kanan kiri, taktil premitus sama antara kanan kiri dinding dada.

3) Perkusi : Adanya suara-suara sonor pada kedua paru, suara redup pada batas paru.

4) Auskultasi : Terdengar adanya suara visikoler di kedua lapisan paru, suara ronchi dan wheezing

b) B2 (Bold)

1) ) Inspeksi: Bentuk dada simetris 2) Palpasi: Frekuensi nadi,

3) Parkusi: Suara pekak

4) Auskultasi: Irama regular, systole/ murmur.

c) B3 (Brain)

Kaji tingkat kesadaran pasien dan reflek pupil. Kaji juga tingkat nyeri yang di alami pasien. Biasanya pada pasien BPH terdapat nyeri supra pubis, panggul atau punggung, tajam, kuat, nyeri punggung bawah.

d) B4 (Blader)

Menurut Purnomo, 2009 pemeriksaan abdomen meliputi:

1) Perkusi : Pada klien post operasi BPH dilakukan perkusi pada 9 regio abdomen untuk mengetahui ada tidaknya residual urine.

(21)

27

2) Palpasi : Teraba kistus di daerah suprasimfisis akibat retensi urin dan sering dilakukan teknik bimanual untuk mengetahui adanya hidronefrosis dan pyelonefrosis.

Pada klien post operasi BPH terpasang treeway folley kateter dan biasanya terjadi hematuria setelah tindakan pembedahan, sehingga terdapat bekuan darah pada kateter. Dan dilakukan spolling dengan Ns 0,9% / PZ, ini tergantung dari warna urine yang keluar.

Bila urine sudah jernih spolling dapat dihentikan dan pipa spolling di lepas ( Jitowiyono, dkk. 2010) Pada pemeriksaan penis, uretra dan skrotum tidak ditemukan adanya kelainan, kecuali adanya penyakit penyerta seperti stenosis meatus, striktur uretralis, urethralithiasis, Ca penis, maupun epididimitis (Prabowo, 2014). Kaji apakah ada masalah tentang efek kondisi/terapi pada kemampua seksual akibat adanya penurunan kekuatan ejakulasi dikarenakan oleh pembesaran dan nyeri tekan pada prostat.

e) B4 (Bowel)

1) Inspeksi : Pada inspeksi perlu diperliatkan, apakah abdomen membuncit atau datar , tepi perut menonjol atau tidak, lembilikus menonjol atau tidak, apakah ada benjolan-benjolan / massa.

2) Palpasi: Adakah nyeri tekan abdomen, adakah massa ( tumor, teses) turgor kulit perut untuk mengetahui derajat bildrasi pasien, apakah tupar teraba, apakah lien teraba?

3) Perkusi: Abdomen normal tympanik, adanya massa padat atau cair akan menimbulkan suara pekak ( hepar, asites, vesika urinaria, tumor,)

(22)

28

4) Auskultasi: Secara peristaltic usus dimana nilai normalnya 5- 35 kali permenit.

f) B6 (Bone)

Pada klien post opersi BPH perlu dikaji kekuatan otot dikarenakan mengalami penurunan kekuatan otot (Prabowo, 2014).

2.4.3 Diagnosa Keperawatan A. Diagnosa Keperawatan :

Nyeri Akut (D.0077) adalah Pengalaman sensorik atau emosional yang berkaitan dengan keruksakan jaringan actual dan fungsional, dengan onset mendadak atau lambat dan berintensitas ringan hingga berat yang berlangsung kurang 3 bulan.

B. Penyebab

1) Agen Pencedera Fisiologis (Mis.Inflamasi, iskemia,Neoplasma) 2) Agen Pencedera Kimiawi (Mis. Terbakar,bahan kimia iritan)

3) Agen Pencedera Fisik (Mis.Abses, amputasi, terbakar, terpotong, mengangkat berat, Prosedur operasi, trauma, latihan fisik berlebihan).

C. Gejala dan Tanda Mayor Subjektif : Mengeluh Nyeri Objektif :

1) Tampak Meringis

2) Bersikap protektif (mis.Waspada,Posisi menghindari Nyeri) 3) Gelisah

4) Frekuensi Nadi Meningkat 5) Sulit Tidur

D. Gejala dan Tanda Minor Subjektif : (Tidak Tersedia)

(23)

29 Objektif :

1) Tekanan Darah Meningkat 2) Pola Napas Berubah 3) Nafsu Makan Berubah 4) Proses berpikir terganggu 5) Menarik Diri

6) Berfokus Pada Diri Sendiri 7) Diaforesis

2.4.4 Intervensi Keperawatan DIAGNOSA

KEPERAWATAN

TUJUAN DAN KRITERIA HASIL

INTERVENSI KEPERAWATAN

Nyeri Akut Berhubungan Dengan Agen Pencedera

fisiologis (D.0077)

Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam diharapkan nyeri berkurang dengan kriteria hasil:

(L.08066)

1. Keluhan nyeri menurun (skala 5)

2. Meringis menurun (skala 5)

3. Gelisah menurun (skala 5)

4. Kesulitan tidur menurun (skala 5)

Manajemen Nyeri (I.08238)

Observasi

1. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri

2. Identifikasi skala nyeri

3. Identifikasi respon nyeri non verbal

4. Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri

5. Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri

(24)

30

5. Frekuensi nadi membaik (skala 5)

6. Identifikasi pengaruh budaya terhadap respon nyeri • Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup

7. Monitor keberhasilan terapi komplementer yang sudah diberikan

8. Monitor efek samping penggunaan analgetik

Terapeutik

1. Berikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri (mis. TENS, hypnosis, akupresur, terapi musik, biofeedback, terapi pijat, aroma terapi, teknik imajinasi terbimbing,kompres

hangat/dingin, terapi bermain) 2. Control lingkungan yang

memperberat rasa nyeri (mis.

Suhu ruangan, pencahayaan, kebisingan)

3. Fasilitasi istirahat dan tidur 4. Pertimbangkan jenis dan sumber

(25)

31

nyeri dalam pemilihan strategi meredakan nyeri

Edukasi

1. Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri

2. Jelaskan strategi meredakan nyeri

3. Anjurkan memonitor nyri secara mandiri

4. Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat

5. Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri Kolaborasi

6. Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu

Tabel 2.1 Intervensi Masalah Keperawatan Nyeri Akut

(26)

32 2.4.5 Implementasi

Implementasi adalah realisasi rencana tindakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, kegiatannya meliputi pengumpulan data berkelanjutan, mengobservasi respon klien selama dan sesudah pelaksanaan tindakan (Purnomo, 2016).

2.4.6 Evaluasi

Evaluasi merupakan penilaian dengan cara membandingkan perubahan keadaan klien (hasil yang dimati) dengan tujuan dan kriteria hasil yang dibuat pada tahap perencanaan (Purnomo, 2016).Evaluasi keperawatan pada post operasi BPH meliputi:

a) Skala nyeri berkurang.

b) Tanda vital dalam rentang normal :

TD : 100-140 / 60- 90 mmHg N : 60-100x/menit S : 36,5 -37,5 °C RR : 16- 24x/menit

c) Dapat mengidentifikasi (skala, intensitas, frekuensi dan tanda nyeri) ketika berlangsung.

d) Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan tehnik nonfarmakologi seperti tehnik distraksi dan relaksasi, kompres hangat, imajinasi terbimbing, dan hypnosis diri untuk mengurangi nyeri, mencari bantuan).

e) Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen nyeri.

f) Tidak terdapat gangguan konsentrasi.

g) Menyatakan kenyamanan

h) Klien tidak terbangun karena nyeri.

i) Wajah menjadi segar dan tidak meringis kesakitan.

j) Tidak takut terjadinya cidera

Referensi

Dokumen terkait

a) Bila pegawai mendengar tanda alarm bahaya/ledakan, maupun adanya bahaya bahan beracun segera melapor kepada Petugas Bidang Keselamatan atau Petugas Unit

Tujuan dari penelitian ini adalah 1 untuk mengetahui bagaimana citra diri dan peran keluarga family influence secara parsial pada mahasiswa pria yang membeli produk skincare di

Pada analisis deskriptif, data yang berskala kategorial seperti jenis kelamin, kategori derajat keparahan gagal ginjal kronik dan sebagainya akan dinyatakan sebagai

1) Perbandingan hasil tangkapan utama dan hasil tangkapan sampingan alat tangkap cantrang berturut – turut adalah 51% dan 49%. Total hasil tangkapan pada penelititan

Kata melinting tidak hanya nama sebuah daerah secara administratif, juga merupakan nama sebuah tarian tradisional dari Lampung Timur, namun kata melinting juga

1 Lakukan salah satu dari yang berikut: Panduan Pengguna: Versi Lengkap berisi petunjuk penggunaan printer dan informasi lain seperti: · Cara menggunakan perangkat lunak (pada

Badan Pemberdayaan Masyarakat, Perempuan dan Keluarga Berencana mempunyai tugas membantu Bupati dalam melaksanakan penyusunan dan pelaksanaan kebijakan daerah dalam