14 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum tentang Tindak Pidana dan Pemidanaan 1. Pengertian Tindak Pidana dan Jenis Sanksi Pidana
Istilah tindak pidana sendiri dalam Bahasa belanda disebut sebagai (strafbaar). Pada umumnya suatu rumusan tindak pidana memuata beberapa hal: 1) Subjek hukum yang menjadai sasaran norma tersebut (addressaat norm); 2) Perbuatan yang diarang (strafbaar), baik dalam bentuk melakukan sesuatu (commission) atau tidak melakukan sesuatu (omission) dan menimbulkan akibat (kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan); dan 3) Ancaman pidana (strafmaat), sebagai sarana memaksakan keberlakuan atau dapat ditaatinya ketentuan tersebut.1
Istilah „sanksi‟ merupakan istilah yang kerap digunakan dalam berbagai aturan hukum di kalangan masyarakat, salah satunya yaitu dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Sehingga penggunaan kalimat sanksi dalam KUHP, lebih sering disebut sebagai sanksi pidana atau bahkan hanya disebut pidana saja (punishment). Sanksi pidana adalah ancaman hukuman yang bersifat penderitaan dan siksaan. Hukuman merupakan suatu pengertian umum, sebagai suatu sanksi yang menderitakan atau nestapa yang sengaja ditimpahkan kepada seseorang. Sedangkan pidana merupakan pengertian khusus yang berkaitan dengan hukum pidana. Sebagai pengertian
1 Chairul Huda, Pola Pemberatan Ancaman dalam Hukum Pidana Khusus, Makalah disampaikan pada Focus Group Discussion (FGD) di Badan Pembinaan Hukum Nasional, Jakarta, 21 Oktober 2010, hlm. 101
15 khusus, masih ada persamaannya dengan pengertian umum, sebagai suatu sanksi atau nestapa yang menderitakan.2
Istilah hukuman adalah istilah umum yang digunakan untuk semua jenis sanksi baik dalam rana hukum perdata, administrative, disiplin dan pidana, sedangkan istilah pidana diartikan secara sempit, yaitu hanya “sanksi” yang berkaitan dengan hukum pidana.3
Dalam banyak literatur, istilah sanksi seringkali didefinisikan sama dengan pemidanaan. Hal tersebut dapat dimengerti karena memang antara kedua hal tersebut merupakan hal yang berkaitan, sanksi bisa dipahami sebagai hasil dari pemidanaan (merujuk pada kata kerja). Untuk itu bagian ini akan menguriakan mengenai konsep-konsep atau ruang lingkup secara umum mengenai sanksi dan pemidanaan.
Jika pengertian pemidanaan diartikan secara luas, menurut Barda Nawawi Arief menjadi suatu proses pemberian atau penjautahan sanksi pidana oleh hakim, artinya sistem pemidanaan mencakup keseluruhan ketentuan perundang-undangan yang mengetur tentang hukum pidana itu diterapkan secara konkret sehingga seseorang dijatuhui sanksi pidana.4
Menurut Soedarto hukum pidana merupakan sistem sanksi yang negatif, diimplementasi jika sarana lain sudah tidak memadai, maka hukum pidana mempunyai fungsi yang subsider. Pidana termasuk juga tindakan (maatregelen), suatu penderitaan, suatu yang dirasakan tidak enak oleh orang
2 Andi Hamzah, Stelsel Pidana dan Pemidanaan di Indonesia, Jakarta, Pradnya Paramita, 1993, hlm. 1
3 Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta, Rineka Cipta, 2008, hlm. 27
4 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2002, hlm. 129
16 lain yang dikenai, oleh karena itu hakikat dan tujuan pidana dan pemidanaan untuk memberikan alasan pembenaran (justification) pidana itu.5
Lebih lanjut, N.A Algra dkk. mengemukakan bahwa saknsi adalah pengukuhan, persetujuan dari atasan, penguatan suatu tindakan yang tanpa itu tidak akan sah menurut hukum dalam hukum. Sanksi juga diartikan sebagai alat pemaksa, salain oleh hukuman, juga untuk menaati ketetapan yang ditentukan dalam peraturan atau perjanjian, syarat yang diadakan. Esensi sanksi adalah hukuman dan alat pemaksa.6
Secara normatif, sanksi pidana secara tegas telah ditentukan dalam Pasal 10 KUHP berupa Pidana Pokok yang terdiri atas, a) pidana mati, b) pidana penjara, c) pidana kurungan, d) pidana denda. Pidana tambahan yakni 1) pencabutan hak-hak tertentu, 2) perampasan barang-barang tertentu, 3) pengumuman keputusan hakim. Pidana pokok merupakan hoofstraf sedangkan hukuman tambahan merupakan pelengkap dari hukuman pokok artinya bahwa hukuman pokok dapat dijatuhi dengan atau tanpa hukuman tambahan, sedangkan hukuman tambahan harus mengikuti hukuman pokok. Dengan kata lain, tidak mungkin menjatuhkan hukuman tambahan tanpa adanya hukuman pokok; sebaliknya hukuman pokok tidak selalu diikuti dengan hukuman tambahan. Hakim berwenang untuk menentukan jenis hukuman yang akan dijatuhkan.7 Untuk lebih jelas berikut tabel jenis sanksi di dalam KUHP:
5 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Jakarta, Rajawali Pers, 2010, hlm. 7
6 N.E. Algra, dkk. Kamus Istilah Hukum Fockema Belanda Indonesia, Jakarta, Binacipta, 1982, hlm. 496
7 M. Ali Zaidan, Norma, Sanksi dan Teori Pidana Indonesia, Jurnal Yuridis, Vol. 1 No. 1, Juni 2014, hlm. 111
17 Tabel. 3
Jenis-Jenis Sanksi dalam KUHP8
No Jenis Sanksi Aturan Pemidanaan
Pidana Pokok
1 Pidana Mati - Pidana mati sebagai pidana pokok yang terberat yang diancamkan kepada tindak pidana yang sangat berat selalu disertai dengan alternatif pidana sumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 tahun.
- Menurut UU No. 2/PNPS/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang Dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer dilaksanakan dengan cara tembak mati
2 Pidana Penjara - Lamanya dapat seumur hidup atau selama waktu tertentu (Minimal umum 1 hari, maksimal umum 15 tahun) - Boleh 20 tahun berturut-turut, jika: ada alternatif pidana
mati, penjara seumur hidup, atau penjara selama waktu tertentu, ada pembarengan, pengulangan, atau kejahatan yang dilakukan oleh pejabat (Pasal 52)
- Tidak boleh melebihi 20 tahun.
- Dapat ditambah pidana tambahan
- Masa percobaan Pasal 492, 504, 505, 506, dan 536 paling lama 3 tahun dan pelanggaran lainnya 2 tahun.
- Masa percobaan dimulai saat keputusan hakim berkekuatan hukum tetap.
3 Pidana Kurungan - Lamanya minimal umum 1 hari maksimal umum 1 tahun - Jika ada pembarengan, pengulangan, atau dilakukan oleh
pejabat maka maksimal 1 tahun 4 bulan.
4 Pidana Denda - Minimal umum Rp 3,75
- Jika tidak dibayar diganti kurungan pengganti.
- Kurungan pengganti minimal 1 hari maksimal 6 bulan.
Tapi jika ada perbarengan, pengulangan, atau dilakukan pejabat maka maksimal 8 bulan.
Pidana Tambahan 1 Pencabutan Hak-
Hak Tertentu
Hak-hak yang dapat di cabut itu tercantum dalam Pasal 35 ayat (1) yaitu: i. Hak menjabat segala jabatan atau jabatan tertentu (pemberhentian dari jabatan, berdasarkan putusan hakim itu dilakukan oleh atasan yang bersangkutan) ii. Hak masuk angkatan bersenjata (A.B) iii. Hak pilih: aktif dan pasif iv. Hak jadi penasehat, wali, wali pengawas, kurator anaknya. v. Kuasa bapak, wali dan curatele atas anak (No.
8 Diolah dari Mudzakkir, et.al., Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional Bidang Hukum Pidana dan Sistem Pemidanaan (Politik Hukum dan Pemidanaan), Jakarta, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Badan Pembinaan Hukum Nasional, 2018, hlm. 13
18 iv dan v ini tidak dapat dilakukan atas orang yang berlaku B.W., Pasal 35 ayat 2) vi. Hak melakukan pekerjaan tertentu.
2 Perampasan Barang-barang
tertentu
Di antara pidana tambahan, maka pidana tambahan yang berupa perampasan barang-barang tertentu ini yang terbanyak dijatuhkan. Pasal 39 menentukan dalam hal apa pidana perampasan barang-barang tertentu ini dapat dijatuhkan:
Ayat (1): barang kepunyaan terpidana, yang: 1. Diperoleh dengan kejahatan, atau 2. Yang disengaja di pakai akan melakukan kejahatan
Ayat (2): Jika dijatuhkan pidana lantaran kejahatan tiada sengaja atau pelanggaran hanya dapat dijatuhkan pidana merampas barang-barang yang tertentu itu, kalau ditentukan dalam pasal-pasal yang bersangkutan
3 Pengumuman
Putusan Hakim
Pengumuman putusan hakim yang dimaksud ialah publikasi ekstra dari putusan hakim itu. Hakim bebas menentukan di mana atau bagaimana publikasi itu harus dijalankan. Biayanya dibebankan kepada narapidana, maksud pidana ini ialah disamping mencegah orang lain berbuat jahat, juga supaya masyarakat umum berhati-hati.
Tidak tiap putusan dapat di publikasikan ekstra itu, tetapi hanya yang tegas disebutkan dalam undang-undang.
Perlu dihahami bahwa peraturan perundang-undangan di bidang pidana terdiri dari aturan materil dan aturan khusus formil. Menurut Barda Nawawi Arief pemidanaan bukan hanya berbicara mengenai sanksi yang dijatuhkan tetapi juga berkaitan dengan prosedur penjatuhan sanksi beserta hukum yang mengatur baik secara materil maupun secara formil tersebut.9
2. Tujuan Pemidanaan
Menentukan tujuan pemidanaan menjadi persoalan yang cukup dilematis, oleh karena pemidanaan mempunyai beberapa tujuan yang bisa diklasifikasikan berdasarkan teori-teori tentang pemidanaan. Teori tentang
9 Barda Nawawi Arief, Op.Cit., 135
19 tujuan pemidanaan yang berkisar pada perbedaan hakikat ide dasar tentang pemidanaan dapat dilihat dari beberapa pandangan.10
Herbert L. Packer menyebutkan terdapat dua pandangan konseptual yang masing-masing memiliki implikasi moral yang berbedasatu sama lain, yakni pandangan retributive (retributive view) dan pandangan utilitarian (utilitarian view). Sementara Muladi membagi teori-teori tentang tujuan pemidanaan menjadi 3 kelompok yakni: a) Teori absolut (retributif); b) Teori teleologi; dan c) Teori retributif teleologi.11 Agar tidak terjebak pada t banyak penggunaan istilah tujuan pemidanaan, untuk itu penulis akan merangkum beberapa tujuan pemidanaan yang umum dalam pandangan teori:
Pertama, tujuan absolut (pembalasan/retributif). Teori absolut memandang bahwa pemidanaan merupakan pembalasan atas kesalahan yang telah dilakukan, jadi berorientasi pada perbuatan dan terletak pada kejahatan itu sendiri. Pemidanaan diberikan karena si pelaku harus menerima sanksi itu dari kesalahannya.12 Tujuan pembalasan dalam teori ini dibagi menjadi dua, yakni teori pembalasan yang objektif berorientasi pada pemenuhan kepuasan dari perasaan dendamdi kalangan masyarakat. Sanksi pidana yang diberikan merupakan kerugian yang seimbang dengan perbuatan yang diberikan oleh pelaku. Kemudian teori pembalasan yang subjektif berorientasi pada penjahatnya. Menurut teori ini kesalahan si pembuat kejahatanlah yang harus mendapat balasan.13
10 Lukman Hakim, Penerapan dan Implementasi Tujuan Pemidanaan dalam RKHUP dan RKUHAP, Yogyakarta, Deeppublish, 2020, hlm. 10
11 Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Bandung, Alumni, 2002, hlm. 49-51
12 Ayu Efritadewi, Modul Hukum Pidana, Tanjungpinang, UMRAH Press, 2020, hlm. 7
13 A. Fuad Usfa, Moh. Najih, Tongat, Pengantar Hukum Pidana, Cetakan Kedua, Malang, UMM Press, 2004, hlm. 145-146
20 Kedua, tujuan relatif atau nisbi. Menurut teori ini dasar pidana itu ialah tujuan pokok, yaitu mempertahankan ketertiban masyarakat. Teori ini ditujukan kepada hari yang akan datang yaitu dengan maksud mendidik orang yang telah berbuat jahat agar orang bisa menjadi baik kembali. Asumsi teori ini lain adalah bahwa perilaku jahat dapat dicegah jika orang takut dengan hukuman.14
Teori ini memandang pemidanaan bukan sebagai pembalasan atas kesalahan pelaku, namun sebagai sarana mencapai tujuan bermanfaat untuk melindungi masyarakat menuju kesejahteraan. Tujuan hukuman harus dipandang secara ideal, selain dari itu, tujuan hukuman adalah untuk mencegah(prevensi) kejahatan.15
Ketiga, tujuan gabungan. Tujuan pemidanaan gabungan ini merujuk pada pengambungan pada kedua tujuan sebelumnya, uakni tujuan absolut (pembalasan) dan tujuan relative (nisbih). Tujuan pemidanaan didasarkan pada pembalasan dan tujuan pidana itu sendiri. Untuk itu harus ada keseimbangan antara pembalasan dan tujuan pemidanaan terhadap seseorang yang melakukan kejahatan agar tecapai rasa keadilan dan kesejahteraan masyarakat.
Tujuan ini didasari oleh teori yang memiliki kesitimewaan dari segi proses resosialisasi pelaku sehingga diharapkan mampu memulihkan kualitas sosial moral agar bisa berintegrasi lagi ke dalam masyarakat.16
Keempat, tujuan pembenaran pemidanaan terpadu. Tujuan ini didasarkan oleh berbagai teori yang memegang prinsip rehabilitasi atau pemulihan dengan
14 Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Cetakan Keempat, Bandung, Refika Aditama, 2011, hlm. 23
15 Ayu Efritadewi, Op.Cit., hlm. 9
16 Ibid., hlm. 10
21 asumsi bahwa hukuman badan tidak lagi relevan. Terdapat beberapa pendektan yang ada dalam tujuan ini: 1) retribution 2) Utilitarian prevention:
Detterence 3) Special Detterence or Intimidation 4) Behavioral prevention:
Incapacitation 5) behaviroal prevention: rehabilitation. Inti dari tujuan ini adalah untuk membenahi seseorang. Asumsi yang dimiliki adalah bahwa para penjahat adalah orang sakit yang memerlukan pengobatan. Sepertidokter yang menuliskan resep obat, penghukum harus memberikan hukuman yang diprediksikan paling efektif untuk membuat para penjahat menjadi orang baik kembali. Hukuman dijatuhkan harus cocok dengan kondisi penjahat, bukan dengan sifat kejahatan. Dalam hal ini pemidanaan mengarah kepada individualisasi pidana.17
B. Tinjauan Umum tentang Tindak Pidana Khusus Cukai 1. Pengertian Tindak Pidana Khusus
Tindak pidana khusus pertama kali dikenal dari istilah hukum pidana khusus, saat ini umumnya dikenal dengan istilah hukum tindak pidana khusus.
Hukum pidana khusus diartikan sebagai keseluruhan dari kaidah-kaidah atau norma-norma hukum yang mengkaji dan menganalisis tentang perilaku, jenis- jenis pidana dan sanksi pidana yang terdapat di berbagai peraturan perundang- undangan, baik yang disebutkan Namanya secara khusus ataupun yang tidak disebutkan secara khsusu, namun tercantum sanksi pidananya.18
17 Salman Luthan, Kebijakan Kriminalisasi di Bidang Keuangan, Yogyakarta, FH UII Press, 2014, hlm. 128-130
18 Rodliyah & H. Salim, Hukum Pidana Khusus: Unsur dan Sanksi Pidananya, Jakarta, Rajawali Pers, 2019, hlm. 4
22 Menurut T.N. Syamsah pengertian tindak pidana khusus perlu dibedakan dari pengertian ketentuan pidana khusus. Pidana khusus pada umunya mengatur pidana yang dilakukan dalam bidang tertentu atau khusu seperti pada bidang imigrasi, perpajakan, perbankan yang tidak diatur secara umum dalam KUHP atau yang diatur diluar dari ketentuan tidank pidana umum.
Sedangkan, tidak pidana khsus adalah tidak pidana yang diatur tersendiri dalam undang-undang khususm yang memberikan peraturan khusus tentang tata cara sistem pidana yang berbeda dari ketentuan yang dimuat dalam KUHP yang lebih ketat atau lebih berat.19 Secara sederhana unsur tindak pidana itu terdiri dari adanya perbuatan jahat, adayan subjek pidana, dan sifat perbuatannya. Sehingga apabila dikaitkan dengan tindak pidana khusus, maka segala perbuatan jahat, subjek pidana, dan sifat perbuatan yang diatur diluar dari KUHP dan memiliki ciri yang khusus.20
Ruang lingkup titik tolak kekhususan suatu peraturan perundang- undangan khusus dapat dilihat dari perbuat yang diatur, mulai dari subjek tindak pidana, jenis pidana, dan sistem pemidanaannya. Ruang lingkup Tindak Pidana Khusus tidak bersifat tetap, tetapai dapat berubah sesuai dengan apakah ada penyimpangan atau menetapkan sendiri ketentuan khusus dari Undang-Undang pidana yang mengatur substansi tersebut.21 Sebagai contoh beberapa tindak pidana khusus adalah sebagai berikut:
a. Tindak pidana korupsi
b. Tindak pidana pencucian uang c. Tindak pidana narkotika
19 T.N. Syamsah, Tindak Pidana Perpajakan, Bandung, Alumi, 2011, hlm. 51
20 Rodliyah & H. Salim, Op.Cit., hlm. 4
21 Azis Syamsuddin, Tindak Pidana Khusus, Jakarta, Sinar Grafika, 2011, hlm. 13
23 d. Tindak pidana pencemaran dan perusakan lingkungan hidup dan
kehutanan
e. Tindak pidana perikanan
f. Tindak pidana dalam bidang ekonomi g. Dan lain-lain
Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa tindak pidana khusus memiliki perkembangan yang sangat pesat sehingga tidak memiliki ruang lingkup yang bersifat tetap. Untuk mengetahui apakah tindak pidana cukai tergolong sebagai tindak pidana khusus akan diuraikan lebih lanjut pada bagian di bawah ini.
2. Tindak Pidana Cukai sebagai Tindak Pidana Khusus
Tindak pidana cukai merupakan tindak pidana yang dilakukan oleh subyek hukum (perorangan atau badan hukum) yang membubuhi atau memalsukan cap resmi negara baik itu materai maupun merek.22 Lebih spesifik tindak pidana cukai dibidang rokok adalah rokok yang diproduksi dan peredarannya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, diantaranya adalah tidak diletaki pita cukai, diletaki cukai palsu, atau peletakan pita cukai yang tidak sesuai dengan peruntukkannya.
Dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP), pengaturan mengenai tindak pidana Pemalsuan diatur dalam buku ke-II Bab XIII tindak pidana pemalsuan segel, materai, cap Negara dan merek, bagian ketiga tentang pemalsuan dan penggunaan merek dagang Pasal 452 dan bagian keempat tentang pengedaran materai, cap, atau
22 Yudijaya Kurniadi, Eko Sopnyono, Purwoto, Kebijakan Hukum Pidana dalam Upaya Perbuatan Pemalsuan Pita Cukai Berdasarkan UU Cukai (Putusan Nomor 64/PID.B/2013/PN.WNSB), Diponegoro Law Review, Vol. 5, No. 2, 2016, hlm. 1
24 merek yang palsu Pasal 453 dan Pasal 454. Muatan materi tidak jauh berbeda dengan KUHP, yang paling membedakan adalah mengenai penjatuhan sanksi pidana dan sanksi denda terhadap pelaku, sebagaian besar sanksi pidana yang dijatuhkan berkisar 4 tahun.
Apabila melihat konstruksi dari tindak pidana cukai, maka secara sederhana dapat dikatakan bahwa tindak pidana cukai ini tergolong sebagai tindak pidana khusus karena beberapa alasan: 1) ketentuan hukum yang digunakan saat ini berada diluar KUHP; dan 2) subjek hukum (addressat norm) dan objek tindak memiliki kekhasan tersendiri, yakni dimungkinkan dilakukan oleh perorangan atau badan hukum terhadap pemalsuan cukai.
Dalam sisi kategorinya, tindak pidana cukai tergolong sebagai jenis “tindak pidana kepabeanan dan cukai”, yang mana jelas tindak pidana tersebut termasuk pada ruang lingkup tindak pidana khusus
3. Jenis-Jenis Tindak Pidana Cukai
Apabila dicermati, di dalam UU No. 39/2007terdapat dua stelsel sanksi, yakni sanksi tindakan dan sanksi pidana. Pengaturan mengenai sanksi tindakan terdapat dalam Pasal 7A sampai dengan 39 yang berupa pembekuan/pencabutan izin Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena dan disertai sanksi administrasi berupa denda. Sedangkan, ketentuan yang mengatur sanksi pidana terdapat dalam Pasal 50 sampai dengan Pasal 58A yang berupa pidana penjara dan pidana denda. Untuk melihat lebih jelas jenis- jenis tindak pidana cukai, tabel berikut ini hanya akan menyajikan stalsel sanksi pidana dalam tindak pidana cukai:
25 Tabel. 4
Jenis-Jenis Tindak Pidana Cukai
No Pasal Jenis Isi/Subtansi
1 50 Tindak
Pidana Kegiatan Usaha Ilegal
Setiap orang yang tanpa memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 menjalankan kegiatan pabrik, tempat penyimpanan, atau mengimpor barang kena cukai dengan maksud mengelakkan pembayaran cukai dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit 2 (dua) kali nilai cukai dan paling banyak 10 (sepuluh) kali nilai cukai yang seharusnya dibayar
2 52 Tindak
Pidana Memasukkan
dan Mengeluarkan
Barang Kena Cukai Tanpa
Izin
Pengusaha pabrik atau pengusaha tempat penyimpanan yang mengeluarkan barang kena cukai dari pabrik atau tempat penyimpanan tanpa mengindahkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) dengan maksud mengelakkan pembayaran cukai dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit 2 (dua) kali nilai cukai dan paling banyak 10 (sepuluh) kali nilai cukai yang seharusnya dibayar
3 53 Tindak
Pidana Pemalsuan
Dokumen Kegiatan Usaha
Setiap orang yang dengan sengaja memperlihatkan atau menyerahkan buku, catatan, dan/atau dokumen, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) atau laporan keuangan, buku, catatan dan dokumen yang menjadi bukti dasar pembukuan, dan dokumen lain yang berkaitan dengan kegiatan usaha, termasuk data elektronik serta surat yang berkaitan dengan kegiatan di bidang cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1b) yang palsu atau dipalsukan, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah) dan paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah)
4 54 Tindak
Pidana Pengedaran Barang Kena
Cukai Ilegal
Setiap orang yang menawarkan, menyerahkan, menjual, atau menyediakan untuk dijual barang kena cukai yang tidak dikemas untuk penjualan eceran atau tidak dilekati pita cukai atau tidak dibubuhi tanda pelunasan cukai lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit 2 (dua) kali nilai cukai dan paling banyak 10 (sepuluh) kali nilai cukai yang seharusnya dibayar
26
5 55 Tindak
Pidana Pemalsuan Pita Cukai
Setiap orang yang:
a. membuat secara melawan hukum, meniru, atau memalsukan pita cukai atau tanda pelunasan cukai lainnya;
b. membeli, menyimpan, mempergunakan, menjual, menawarkan, menyerahkan, menyediakan untuk dijual, atau mengimpor pita cukai atau tanda pelunasan cukai lainnya yang palsu atau dipalsukan;
atau
c. mempergunakan, menjual, menawarkan, menyerahkan, menyediakan untuk dijual, atau mengimpor pita cukai atau tanda pelunasan cukai lainnya yang sudah dipakai,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun dan pidana denda paling sedikit 10 (sepuluh) kali nilai cukai dan paling banyak 20 (dua puluh) kali nilai cukai yang seharusnya dibayar
6 56 Tindak
Pidana Kepemilikan
dan Pengedaran Barang Kena
Cukai Hasil Tindak Pidana
Setiap orang yang menimbun, menyimpan, memiliki, menjual, menukar, memperoleh, atau memberikan barang kena cukai yang diketahuinya atau patut harus diduganya berasal dari tindak pidana berdasarkan undang undang ini dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit 2 (dua) kali nilai cukai dan paling banyak 10 (sepuluh) kali nilai cukai yang seharusnya dibayar.
7 57 Tindak
Pidana Pengerusakan Segel Barang
Kena Cukai
Setiap orang yang tanpa izin membuka, melepas, atau merusak kunci, segel, atau tanda pengaman sebagaimana diatur dalam undang-undang ini dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 2 (dua) tahun 8 (delapan) bulan dan/atau pidana denda paling sedikit Rp75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah) dan paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
8 58 Tindak
Pidana Jual Beli Pita Cukai yang
Bukan Haknya
Setiap orang yang menawarkan, menjual, atau menyerahkan pita cukai atau tanda pelunasan cukai lainnya kepada yang tidak berhak atau membeli, menerima, atau menggunakan pita cukai atau tanda pelunasan cukai lainnya yang bukan haknya dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit 2 (dua) kali nilai cukai dan paling banyak 10 (sepuluh) kali nilai cukai yang seharusnya dibayar
9 58A Tindak 1) Setiap orang yang secara tidak sah mengakses sistem
27 Pidana
Peretasan Sistem Elektronik Pelayanan dan/atau Pengawasan
di Bidang Cukai
elektronik yang berkaitan dengan pelayanan dan/atau pengawasan di bidang cukai dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
2) Perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang mengakibatkan tidak terpenuhinya pungutan negara berdasarkan undang undang ini dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah)
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa dalam bidang cukai terdapat banyak jenis-jenis tindak pidana, mulai dari segi legalitas dan kesehatan legalitas usahanya, penggunaan pita cukai, pengedaran barang kena cukai secara ilegal, hingga yang paling baru adalah peretasan sistem elektronik berkaitan dengan pelayanan dan pengawasan di bidang cukai. Jika dikaitkan pada perdagangan dibidang rokok, maka semua jenis tindak pidana tersebut dimungkinkan dapat terjadi mengingat rokok adalah salah satu barang kena cukai yang tidak dapat dilepaskan dari cukai, bulai dari kegiatan produksi, barang, hingga proses pemasarannya.
C. Tinjauan Umum tentang Rokok Ilegal 1. Pengertian Rokok
Sebelum menjelaskan lebih jauh apa yang dimaksud dengan rokok ilegal maka perlu kiranya untuk mengetahui apa sebenarnya yang dimaksud dengan rokok terlebih dahulu. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), rokok diartikan sebagai gulungan tembakau (kira-kira sebesar kelingkung yang
28 dibungkus kertas atau daun nipah).23 Lebih lanjut dijelaskan menurut Nurrahman, rokok diartikan sebagai salah satu olahan tembakau dengan mengggunakan bahan ataupun tanpa bahan tambahan. Rokok berbentuk silinder dari kertas berukuran sekitar 12 milimeter dengan diameter sekitar 10 milimeter yang berisi daun-daun tembakau yang telah dicacah dan dicampur dengan bahan-bahan lainnya.24
Pengertian rokok lebih lengkap dituagkan dalam beberapa ketentuan perundang-undangan khususnya pada level peraturan pemerintah hingga peraturan menteri, diantranya: 1) Peraturan Pemerintah RI Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan; 2) Peraturan Pemerintah RI Nomor 109 Tahun 2012 Tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan; dan 3) 4 Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 56 Tahun 2017 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 28 Tahun 2013 Tentang Pencantuman Peringatan Kesehatan Dan Informasi Kesehatan Pada Kemasan Produk Tembakau, lebih lengkap disebutkan:
a. Rokok adalah hasil olahan tembakau terbungkus termasuk cerutu atau bentuk lainnya yang dihasilkan dari tanaman Nicotiana Tabacum, Nicotiana Rustica dan spesies lainnya atau sintetisnya yang mengandung nikotin dan tar dengan atau tanpa bahan tambahan.25 b. Rokok adalah salah satu produk tembakau yang dimaksudkan untuk
dibakar, dihisap dan/atau dihirup termasuk rokok kretek, rokok putih,
23 https://kbbi.web.id/rokok, diakses pada tanggal 16 Maret 2022
24 Nurrahmah, Pengaruh Rokok terhadap Kesehatan dan Pembentukan Karakter Manusia, Prosiding Seminar Nasional Universitas Cokroaminoto Palopo, 2014, hlm. 77
25 Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan
29 cerutu atau bentuk lainnya yang dihasilkan dari tanaman nicotiana tabacum, nicotiana rustica, dan spesies lainnya atau sintetisnya yang asapnya mengandung nikotin dan tar, dengan atau tanpa bahan tambahan.26
Rokok seringkali juga diistilahkan “sigaret”, di dalam Undang-Undang Nomor 39 tahun 2007 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai, sigaret diartikan sebagai hasil tembakau yang dibuat dari tembakau rajangan yang dibalyt dengan kertas dengan cara dilinting, untuk dipakai tanpa mengindahkan bahan pengganti atau bahan pembantu yang digunakan dalampembuatannya.27
Dari definisi tersebut dapat diketahui bahwa bahan-bahan utama yang terdapat dalam rokok adalah tembakau, cengkeh, saus rahasia, busa, hingga kertas. Bahan-bahan yang ada pada rokok tergantung dari jenis rokoknya.
Terdapat berbagai jenis-jenis rokok yang dapat dihimpun, misalnya, rokok klobot, rokok kawung, rokok kretek, rokok filter, rokok mild, hingga rokok cerutu.
2. Pengertian dan Kategori Rokok Ilegal
Rokok ilegal adalah rokok yang dalam produksi dan peredarannya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Dalam sisi produksi,
26 Pasal 1 angka 3 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 109 Tahun 2012 Tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan dan Pasal 1 Angka 4 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 56 Tahun 2017 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 28 Tahun 2013 Tentang Pencantuman Peringatan Kesehatan Dan Informasi Kesehatan Pada Kemasan Produk Tembakau
27 Lihat dalam Penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 39 tahun 2007 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai
30 rokok dikatakan ilegal karena menggunakan bahan baku dan tata cara yang bertentangan dan/atau melampui batasan dari ketentuan yang ada. Dalam sisi peredaran rokok dikatakan ilegal apabila tidak dilekati cukai atau dilekati cukai namun cukai palsu atau rokok itu merupakan hasil dari tindak pidana.
Adapun kategori-kategori rokok ilegal antara lain adalah:
a. Rokok tanpa dilekati dengan pita cukai b. Rokok dilekati dengan cukai palsu
c. Rokok dilekati pita cukai yang bukan peruntukannya dan bukan haknya
d. Rokok menggunakan pita cukai bekas e. Produksi rokok tanpa izin
f. Produksi rokok selain yang diizinkan dalam NPPBKC (Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai)
g. Pelanggaran administrasi
D. Tinjauan Umum tentanng Putusan Pengadilan 1. Pengertian Putusan Pengadilan
Menurut Sudikno Mertokusumo arti putusan hakim adalah suatu pernyataan yang oleh hakim sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak.28 Dalam peradilan pidana, Pasal 200 KUHAP memberikan arti bahwa putusan pengadilan merupakan pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang
28 Moh. Taufik Makarao, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata, Jakarta, Rineka Cipta, 2009, hlm. 124
31 pengadilan yang terbuka yang dapat berupa pemidanaan atau bebas lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut tata cara yang diatur dalam KUHAP.
Berdasarkan arti yang ditentukan KUHAP tersebut terdapat 2 (dua) hal, yaitu mengenai tata cara pengucapan putusan dan bentuk-bentuk putusan pengadilan. Pertama, dalam hal tata cara pengucapan putusan definisi tersebut mengatakan bahwa putusan tersebut harus diucapkan oleh Majelis hakim dalam sidang yang terbuka untuk umum. Bila hal tersebut tidak dilakukan, maka putusan tersebut tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum.
Kedua, putusan akhir dalam definisi ini terdiri dari 3 (tiga) macam, yaitu:
putusan pemidanaan, putusan bebas dari dakwaan, dan putusan lepas dari segala tuntutan hukum. Terkait bentuk-bentuk putusan ini akan diuraikan lebih lengkap dalam uraian berikutnya.
Pada dasarnya putusan pengadilan dibagi menjadi 2 (dua) jenis. Pertama adalah putusan akhir atau eind vonnis, yang menurut definisi gramatikalnya merupakan putusan yang mengakhiri perkara. Putusan akhir baru dapat dijatuhkan bilamana telah dilalui proses persidangan yang dimulai dari pernyataan persidangan terbuka untuk umum sampai pernyataan pemeriksaan ditutup.Jenis putusan inilah yang didefinisikan oleh KUHAP sebagai putusan pengadilan. Kedua, putusan yang bukan putusan akhir, jenis putusan ini diajukan sebelum persidangan berakhir, dapat berupa penetapan atau putusan sela (tussen vonnis) sebagaimana diatur dalam Pasal 156 ayat (1) KUHAP.
Adapun jenis-jenis putusan yang berkaitan dengan permohonan kasasi atau peninjauan kembali secara umum terbagi atas 3 (tiga) jenis, yakni putusan
32 yang menyatakan permohonan tidak dapat diterima, putusan yang menyatakan permohonan ditolak, dan putusan yang menyatakan permohonan diterima.
Pengertian putusan dalam penelitian ini adalah putusan yang dikeluarkan oleh hakim dalam proses peradilan yang vonis untuk mengakhir sebuah kasus pidana. Uraiakan ini dipaparkan untuk memberikan batasan makan terhadap putusan pengadilan.
2. Bentuk-Bentuk Putusan Pengadilan Menurut Sifatnya a. Putusan Pemidanaan
Pengaturan terkait putusan pemidanaan ini terdapat dalam Pasal 193 ayat (1) KUHAP. Pasal tersebut mengatur bahwa bila pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana. Rumusan pasal tersebut mendapat catatan kritis dari para ahli, Andi Hamzah dan Irdan Dahlan mengatakan bahwa seharusnya setelah kata “kepadanya”
ditambahkan dengan “dan merupakan perbuatan yang dapat dipidana.” Hal ini disebabkan karena ada perbuatan yang telah terbukti dengan sah dan meyakinkan tetapi tidak dapat dipidana misal dengan adanya alasan pemaaf atau terdakwa tidak dapat dipertanggungjawabkan.29
Putusan pemidanaan menurut Yahya Harahap sebagai ukuran dapat dibuktikannya suatu perbuatan dan kesalahan terdakwa maka proses pembuktian harus memenuhi 2 (dua) asas, yaitu memenuhi asas
29 Andi Hamza dan Irdan Dahlan, Op.Cit., hlm. 12
33 pembuktian menurut undang-undang secara negatif (Negatief Wettelijk Bewijstheorie) dan memenuhi asas batas minimum pembuktian.30
b. Putusan Lepas dari Segala Tuntutan Hukum
Putusan lepas sari segala tuntutan hukum diatur dalam Pasal 191 ayat (2) KUHAP. Putusan berupa pelepasan terdakwa dijatuhkan bila pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana. Sebagai contoh misalnya adanya suatu hubungan keperdataan yang terkait dengan masalah wanprestasi yang oleh penuntut umum malah dibawa kedalam persidangan pidana. Hal ini disebabkan karena penuntut umum menilai perkara tersebut termasuk dalam lingkup tindak pidana penipuan yang diatur dalam Pasal 387 KUHP.
Putusan lepas dari segala tuntutan hukum juga dapat dijatuhkan bilamana terdapat unsur-unsur penghapus pidana, baik unsur penghapus umum atau unsur penghapus khusus, baik yang menyangkut perbuatannya sendiri ataupun menyangkut diri pelaku. Unsur-unsur penghapus pidana secara umum oleh doktrin dibagi menjadi dua jenis berbeda, yaitu yang menjadi alasan pemaaf (schulduitsluitingsgrond) dan yang menjadi alasan pembenar (rechtsvaardigingsgrond).31 Yahya Harahap berpendapat bahwa apa yang dimaksud dengan putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum dapat dilihat dari beberapa segi, yaitu:
30 Evasari M. Pangaribuan, Kajian Terhadap Alasan-Alasan Pengajuan Permohonan Upaya Hukum Kasasi Atas Putusan Bebas dalam Doktrin dan Praktik Hukum Acara Pidana Di Indonesia (Studi terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 892 K/Pid/1983, Putusan Mahkamah Agung Nomor 759 K/Pid/1984, Mahakamah Agung Nomor 1455 K/Pid/2002, dan Putusan Mahakamah Agung Nomor 1384 K/Pid/2007), Skripsi pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia Program Sarjana Reguler Program Kekhususan Praktisi Hukum, 2009, hlm. 15-16
31 Lilik Mulyadi, Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana, Bandung, PT.Citra Aditya Bakti, 2007, hlm. 165
34 1) Segi Pembuktian
Putusan lepas dapat dijatuhkan bila apa yang didakwakan kepada terdakwa cukup terbukti secara sah, baik dari kualifikasi pembuktian negatif menurut undang-undang maupun dari segi batas minimum pembuktian yang diatur Pasal 183 KUHP.
Meskipun demikian, perbuatan yang terbukti itu tidak merupakan tindak pidana. Artinya perbuatan tersebut tidak diatur dan tidak berada dalam lingkup hukum pidana tapi berada dalam lingkup hukum lain.
2) Penuntutan
Pada hakekatnya terjadi karena apa yang didakwakan kepada terdakwa bukan merupakan perbuatan tindak pidana, atau hanya dalam bentuk quasi pidana.32
Sebagai konsekuesi dari dijatuhkannya putusan lepas dari tuntutan hukum ini, maka terdakwa tidak menjalani hukuman atau tidak dapat dipidana. Sehingga bilamana sebelum putusan dijatuhkan putusan telah berstatus tahanan, maka dalam risalah putusan harus dibarengi dengan perintah untuk membebaskan terdakwa dari tahanan sesuai dengan tata cara yang diatur berdasarkan Pasal 191 ayat (3) dan Pasal 192 KUHAP.33 c. Putusan Berupa Pembebasan dari Segala Dakwaan
Putusan bebas dari segala dakwaan atau pembebasan terdakwaatau dinyatakan bebas dari tuntutan hukummerupakan istilah yang berasal dari bahasa Belanda yaitu “Vrijspraak”.34 Menurut Pasal 191 ayat (1) KUHAP, putusan bebas dari segala dakwaan adalah putusan pengadilan yang dijatuhkan kepada terdakwa karena dari hasil pemeriksaan persidangan kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya dinyatakan tidak dapat dibuktikan secara sah dan meyakinkan.
32 Yahya Harahap, Op.Cit., hlm. 352
33 Ibid., 353
34 Vrijspraak berarti pembebasan dalam perkara pidana, atau memutuskan pembebasan terhadap tuduhan, atau dinyatakan tidak terbukti melakukan peristiwa yang dituduhkan. Ibid., hlm.
864
35 Menurut Yahya Harahap dengan bertitik tolak dari Pasal 183 KUHAP yang dihubungkan dengan Pasal 191 ayat (1) KUHAP bahwa putusan bebas dari segala dakwaan salah satunya adalah tidak memenuhi asas batas minimum pembuktian. Terdapat beberapa alasan sehingga dikatakan demikian, yaitu:
1) Kesalahan terdakwa sebagaimana yang didakwakan sama sekali tidak terbukti. Semua alat bukti yang diajukan di persidangan baik berupa keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa tidak dapat membuktikan kesalahan terdakwa.
2) Secara nyata hakim menilai pembuktian terhadap kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa tidak memenuhi ketentuan batas minimum pembuktian. Misal: alat bukti yang diajukan hanya seorang saksi yang kemudian otomatis bertentangan dengan Pasal 185 ayat (2) KUHAP yang menegaskan adanya prinsip unus testis nullum testis (seorang saksi bukan saksi).
3) Dapat didasarkan atas penilaian, kesalahan yang terbukti itu tidak didukung oleh keyakinan hakim sehingga meskipun secara formal dapat dinilai cukup terbukti, tidak dapat membuat kesalahan terdakwa tersebut terbukti secara sah dan meyakinkan karena tidak adanya keyakinan hakim ini.35
E. Tinjauan Umum tentanng Kepastian Hukum
35 Ibid., hlm. 348
36 1. Pengertian dan Tujuan Kepastian Hukum
Kepastian memiliki arti suatu ketentuan, atau ketetapan, sedangkan jika kata kepastian itu digabung dengan kata hukum menjadi kepastian hukum, yang memiliki arti sebagai suatu ketentuan atau ketetapan hukum suatu negara yang mampu menjamin hak dan kewajiban setiap warga negara. E. Fernando M. Manulang mengemukakan pengertian kepastian hukum merupakan nilai yang pada prinsipnya memberikan perlindungan hukum bagi setiap warga negara dari kekuasaan yang sewenang-wenang, sehingga hukum memberikan tanggungjawab pada negara untuk menjalankannya dalam hal ini tampak relasi antara persoalan kepastian hukum dengan negara.36 Lebih lanjut Soedikno Mertokusumo menyebutkan kepastian hukum sebagai perlindungsn yustisiabel terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu.37
Asas dalam negara hukum dalam perundangan tersebut yaitu kepastian hukum dapat dipahami dari dua pengertian, yaitu pertama, kepastian hukum dari penyelenggaraan negara, berdasarkan asas legalitas, kepatutan dan keadilan. kedua, kepastian hukum dalam suatu aturan (kepastian norma) agar tidak menimbulkan kabur (tidak jelas) atau konflik norma. Kepastian hukum merupakan wujud asas legalitas (legaliteit) dimaknai oleh Sudargo Gautama dari dua sisi, yakni:
a. Dari sisi warga negara, sebagai kelanjutan dari prinsip pembatasan kekuasaan negara terhadap perseorangan adalah pelanggaran terhadap hak-hak individual itu hanya dapat dilakukan apabila diperbolehkan dan berdasarkan peraturan-peraturan hukum.
36 Darji Darmodihardjo dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 1999, hlm. 128
37 Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan, Bandung PT Alumni, 2002, hlm. 10.
37 b. Dari sisi negara, yaitu tiap tindakan negara harus berdasarkan hukum. Peraturan perundang-undangan yang diadakan terlebih dahulu merupakan batas kekuasaan bertindak negara.38
Jaminan bahwa hukum dijalankan, bahwa yang berhak menurut hukum dapat memperoleh haknya dan bahwa putusan dapat dilaksanakan. Kepastian hukum merupakan perlindungan yustisable terhadap tindakan sewenang- wenang yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Hukum bertugas menciptakan kepastian hukum karena bertujuan untuk menciptakan ketertiban dalam masyarakat.
Kepastian hukum menjadi ciri yang tidak dapat dipisahkan dari hukum, terutama untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian hukum akan kehilangan makna karena tidak lagi dijadikan pedoman perilaku bagi semua.39
2. Ruang Lingkup Kepastian Hukum
Kepastian hukum sebagai salah satu cita hukum merupakan ciri yang tidak dapat dipisahkan dari hukum, terutama untuk norma hukum tertulis.
Gustav Radburch memberikan pendapat yang cukup mendasar terkait kepastian hukum. Menurutnya terdapat 4 (empat) ruang lingkup yang berhubungan dengan makna kepastian hukum, antara lain:
a. Bahwa hukum itu positif yakni perundang-undangan;
b. bahwa hukum itu didasarkan pada fakta atau hukum yang ditetapkan itu pasti;
c. bahwa kenyataan (fakta) harus dirumuskan dengan cara yang jelas sehingga menghindari kekeliruan dalam pemaknaan di samping mudah dilaksanakan; dan
38 Sudargo Gautama, Pengertian tentang Negara Hukum, Yogyakarta, Liberty, 1999 hlm. 9
39 Fence M. Wantu, Antinomi Dalam Penegakan Hukum Oleh Hakim. Yogyakarta, Jurnal Berkala Mimbar Hukum, Vol. 19 No. 3, 2007, hlm. 395
38 d. hukum hukum positif tidak boleh mudah berubah.40
Menurut Jan Michiel Otto, kepastian hukum yang sesunggunya memang lebih berdimensi yuridis. Namun, ia memberikan batasan kepastian hukum yang lebih jauh. Karena itu ia mendefinisikan kepastian hukum sebagai kemungkinan bahwa dalam situasi tertentu:
a. Tersedia aturan-aturan yang jelas (jernih) konsisten dan mudah diperoleh (accessible), ditertibkan oleh dan diakui karena (kekuasaan negara);
b. bahwa instansi-instansi penguasa (pemerintah) menerapkan aturan- aturan hukum tersebut secara konsisten dan juga tunduk dan taat kepadanya;
c. warga secara prinsipil menyesuaikan prilaku mereka terhadap aturan-aturan tersebut;
d. hakim-hakim (peradilan) yang mandiri dan tidak berpihak (independent and impartial judges) menerapkan aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten sewaktu mereka menyelesaikan sengketa hukum; dan
e. bahwa keputusan peradilan secara konkrit dilaksanakan.41
Menurut Soehardjo S.S, bahwa untuk menentukan batasan kepastian hukum diperlukan tiga syarat. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut:
a. Hukum itu harus positif dalam arti dibentuk secara formal syah dan berlaku secara final;
b. Hukum harus dalam dirinya sendiri dalam arti berdasarkan hukum tertulis (peraturan perundang-undangan);
c. Ataupun, sekiranya berdasarkan pada hukum yang tidak tertulis, sejauh itu nyata-nyata ditaati/dianut secara lestari, konsisten oleh masyarakat bukan atas suatu hukum yang elastis, seperti itikad baik/buruk, kesusilaan atau kebiasaan baik (goeden zeden), dan lain sebagainya.42
Berdasarkan uraian tersebut apabila dikaitkan dengan isu hukum dalam penelitian ini mengenai permasalahan putusan hakim, maka kepastian hukum
40 A.W. Sanjaya, Kewenangan Penyidikan Tindak Pidana Pencucian Uang Yang Dilakukan Oleh Anggota Tentara Nasional Indonesia. Jember, Tesis pada Program Studi Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Jember, 2015, hlm. 169-170
41 Jan Michiel Otto, et.al., Kajian Sosio-Legal-Kepastian Hukum Yang Nyata Di Negara Berkembang. Bali, Pustaka Larasan, 2012, hlm. 122-123
42 Soehardjo S.S dalam Kamri ahmad, Batas-Batas Kepastian Hukum (Legality Principles):
Suatu Tinjauan Empirikal-Yuridis dalam Konsorsium Hukum Progresif 2013 Dekontruksi Dan Gerakan Pemikiran Hukum Progresif. Yogyakarta, Thafa Media, 2013, hlm. 216
39 dalam putusan dapat disimpulkan bahwa putusan tersebut didasarkan pada hukum positif yakni perundang-undangan, putusan itu didasarkan pada fakta atau hukum yang ditetapkan secara sah, putusan hakim dibuat secara cermat, konsisten, dan tidak memihak.