• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tabel 2. 1 Penelitian Terdahulu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tabel 2. 1 Penelitian Terdahulu"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

22 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Literature Review

Pada bagian ini dijelaskan mengenai studi terdahulu, yang berisi tentang hasil penelitian terdahulu, fokus penelitian yang sejenis dan perbeda dengan penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti. Selain itu, hasil penelitian terdahulu ini juga menjadi bahan acuan peneliti dalam melaksanakan penelitian mengenai Collaborative Governance dalam Pengembangan Kota Layak Anak di Kota Batu.

Berikut tabel yang menerangkan tentang penelitian terdahulu:

Tabel 2. 1 Penelitian Terdahulu

No Peneliti dan Judul Teori Intisari 1 Noverman Duadji,

Novita Tresiana (2018). Kota Layak Anak Berbasis Collaborative Governance

Deskriptif Kualitatif Collaborative

Governance

- Penelitian ini membahas mengenai perumusan konsep pembangunan Kota Layak Anak yang berbasis Collaborative Governance, dengan harapan akan lahirnya berbagai kebijakan dan program mengenai KLA yang berkarakter holistik, integratif, serta berkelanjutan.

- Dalam penelitian tersebut juga dijelaskan terkait

dengan pemetaan

permasalahan utama yang bersangkutan dengan anak dalam proses pembangunan kabupaten/kota yang menyangkut permasalahan dalam bidang kesehatan, bidang hukum, bidang sosial dan kekerasan. Selanjutnya menjelaskan mengenai

model-model yang

digunakan untuk

mengaplikasikan

Collaborative Governance dalam pembangunan kabupaten/kota layak anak di

(2)

23

Provinsi Lampung.

- Model Collaborative Governance yang digunakan lebih baik berbasis dialog tatap muka agar dapat memberikan kontribusi maksimal dalam menyusun perencanaan/kebijakan pembangunan Kota Layak Anak.

2 M. Tegar Tomi Liwananda (2017).

Studi Evaluasi Kebijakan Kota Layak Anak (KLA) Dalam Pemenuhan Klaster Hak Sipil Dan Kebebasan Di Kota Semarang

Deskritif Kualitatif Teori Evaluasi Kebijakan (William Dunn)

- Penelitian ini menjelaskan mengenai evaluasi serta penghabat yang ada di Kota

Semarang dalam

pengembangan kebijakan kota layak anak dalam pemenuhan salah satu klaster KLA ialah hak sipil dan kebebasan.

- Kebijakan terkait dengan kota layak anak dalam upaya pemenuhan hak sipil dan kebebasan di Kota Semarang dapat dilihat dari beberapa sudut pandang yang meliputi efisiensi,

efektifitas,ketepatan,

kecukupan, pemerataan, dan responbilitas

- Terdapat faktor penghabat dalam pemenuhan hak sipil serta kebebasan terhadap anak di Kota Semarang yaitu terkait dengan komunikasi, sumber daya, dan regulasi pemerintah Kota Semarang.

3 Arenawati.

Lestianingrum (2017). Tinjauan Klaster Hak Sipil Dan Kebebasan Anak Dalam Mewujudkan Kota Layak Anak Di Kota Serang

Deskriptif Kualitatif Kebijakan Publik

- Dalam penelitian ini membahasa salah satu kluster dalam pengembangan kota layak anak yaitu hak sipil dan kebebasan anak.

Kluster Hak Sipil dan Kebebasan Anak adalah salah satu bagian yang harus

dipenuhi untuk

mengembangkan Kota Layak Anak. Kluster Hak Sipil ditunjukkan dengan seberapa

(3)

24

besar kepemilikan akte kelahiran dan perlindungan terhadap identitas anak.

- Hak kebebasan anak ditunjukkan dengan hak kebebasan berekpresi dan mengeluarkan pendapat, hak berfikir, berhati nurani, dan beragama, hak berorganisasi dan berkumpul secara damai, hak atas perlindungan kehidupan pribadi , hak akses dan informasi yang layak, hak bebas dari

penyiksaan dan

penghukuman yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat.

Pemenuhan hak kebebasan anak adalah dengan menyediakan berbagai sarana dan prasaran dan

kelembagaan yang

menunjang pemenuhan hak anak tersebut.

4 Inggrid Putri Pratiwi (2021).

Collaborative Governance Dalam Perlindungan Anak Kota Pekanbaru Tahun 2017-2019

Deskriptif Kualitatif Collaborative

Governance

- Pemerintah Kota Pekanbaru

melakukan model

Collaborative Governance untuk berkolaborasi dengan pimpinan daerah, jajaran perangkat daerah, lembaga legislatif, penegak hukum, dunia usaha, lembaga masyarakat, media, tokoh agama, akademisi, orangtua dan keluarga, serta seluruh masyarakat Kota Pekanbaru

untuk memberikan

perlindungan terhadap anak dari adanya tindak kejahatan dan kekerasan.

- Collaborative Governance di implementasikan pemerintah Kota Pekanbaru untuk memberikan perlindungan terhadap anak di Kota Pekanbaru tahun 2017-2019.

- Dalam menyelenggarakan

(4)

25

peningkatan Kota Layak Anak, pemerintah Kota Pekanbaru membentuk Unit Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (UPT P2A) Kota Pekanbaru berdasarkan peraturan Walikota Pekanbaru Nomor 35 Tahun 2016 tentang Pusat Pelayanan Terpadu P2A.

5 Darmini Roza dan Laurensius Arliman S.(2018). Peran Pemerintah Daerah untuk Mewujudkan Kota Layak Anak di Indonesia.

Deskriptif Kualitatif Kebijakan Publik

- Daerah layak anak merupakan suatu hal yang harus diwujudkan oleh pemerintah daerah sebagai instansi yang peduli tentang hak anak, isu anak dan perlindungan anak serta relevan dengan tujuan mewujudkan anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera.

Partisipasi pemerintah daerah ini juga sebagai bentuk komitmen dan integrasi sumber daya pemerintah dalam menjamin terpenuhinya hak anak.

- Dalam upaya mewujudkan kota/kabupaten layak anak ini ada indikator berupa 5 cluster berdasarkan konvensi hak anak dan adapun strategi yang harus dijalankan dalam mewujudkan KLA ini.

- Pemerintah daerah sebagai bagian lebih spesifik dari pemerintah pusat memiliki peran dalam mewujudkan perlindungan anak sebagai bentuk menjalankan amanat dari Undang-Undang Perlindungan Anak sekaligus berperan dalam mewujudkan 7 strategi yang sudah disebutkan sebelumnya.

6 Abdiana Ilosa dan Rusdi (2020).

Analisis

Deskriptif Kualitatif Kebijakan Publik

- Program kota layak anak

memiliki gambaran

pembangunan yang

(5)

26 Pelaksanaan

Program Kota Layak Anak (KLA) Dalam Memenuhi Hak Sipil Dan Kebebasan Anak Di Kota Pekanbaru

memerhatikan hak anak sebagai salah satu fokus dengan adanya komitmen dan integrasi sumber daya pemerintah, masyarakat, dan pihak terkait lainnya dengan perencaan yang terarah dan terprogram untuk menjamin terpenuhinya hak dan perlindungan anak. Dasar, aspek, dan indikator KLA secara penuh berkiblat pada Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child).

- Penguatan kelembagaan menjadi bahasan yang sangat berhubungan dengan topik penelitian kali ini yakni tentang cara implementasi Kota Pekanbaru dalam menjalankan program Kota Ramah Anak. Pengembangan pengorganisasian dilakukan untuk meningkatkan keikut sertaan forum anak untuk menjadi Pelapor dan Pelopor dalam Pengarusutamaan Hak Anak. Prestasi Kota Pekanbaru dalam meraih 3 penghargaan sekaligus menjadi alasan mengapa tujuan penelitian ini diadakan.

Kota Pekanbaru yang berhasil mendapatkan kota layak anak kriteria nindya, puskesma ramah anak, dan sekolah ramah anak menjadi suatu prestasi dan apresiasi yang membanggakan. Hal ini tidak terlepas dari bagaimana

penguatan lembaga

pemerintah daerah dalam hal terkait.

- Pelaksanaan di Kota Pekanbaru program kota layak Anak semakin baik perkembangnya dari

(6)

27

sebelumnya. PEMDA Kota Pekanbaru sudah memiliki peraturan turunan tentang penyelengaraan Program Kota Layak Anak dan dalam proses perumusan. Aspirasi anak di Kota Pekanbaru sudah ditamping dengan baik melalui Fankoper (Forum Anak Kota Pekanbaru). Gugus tugas pelaksanaan program Kota Layak Anak dijalankan dengan baik melalui diadaknnya latihan rutin sebagai bentuk penguatan dan monitoring. Terkait sumber dana dan lain-lain tetap menjadi PR dan akan segera diatasi.

7 Ulfiona Rizki Ashari, Hanang Ilham Yohana, dll (2016).Optimalisasi Strategi Pemerintah Daerah Kota Batu Menuju Kota Layak Anak Melalui

Perlindungan Hak- Hak Anak

Deskriptif Kualitatif Strategi Pemerintah

Daerah

- Penelitian ini mendeskripsikan mengenai strategi pemerintah daerah Kota Batu dalam pemenuhan serta perlindungan hak anak sebagai upaya menuju kota layak anak dan strategi optimalisasi perlindungan hak-hak anak di Kota Batu.

- Pemerintah Kota Batu melalui BPMPKB yang mempunyai

kewenangan dalam

pelaksanaan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak melalui sejumlah langkah yang terorganisir. Beberapa peran dalam pemenuhan hak dan perlindungan anak dijalankan guna mewujudkan kesejagteraan sosial anak serta merealisasikan program Kota Layak Anak.

- Strategi Perlindungan Anak secara langsung dilakukan dengan beberapa aksi.

Pertama, adanya sesuatu kebijakan untuk anak agar terlindungi dan dapat diselamatkan dari segala hal

(7)

28

yang membahayakan. Sebagai langkah tersebut yang dilakukan pada tingkat desa dan keluarga yang berupa aksi vocal point. Kedua, pencegahan dari segala hal yang berkaitan dengan hal yang membahayakan dan merugikan anak. Upaya ini dilakukan oleh BPMPKB bersama LPA (Lembaga Perlindangan Anak) untuk melakukan kampanye secara massive sebagai bentuk penyadaran bagi pihak-pihak yang ada pada tingkatan keluarga berkaitan dengan perlindungan anak serta pemenuhyan hak anak. Ketiga, adanya penjagaan serta pengawasan mengenai ketidak tahuan dari dalam maupun luar dirinya. Oleh karena itu BPMPKB bergerak sebagai leading sector yang melaksanakan fungsi koordinasi bersama dengan instansi terkait untuk merealisasikan upaya perlindungan anak agar terhindar dari adanya eksploitasi. Keempat, pembinaan fisik, mental dan sosial. Adanya pendekatan melalui pembinaan yang dilakukan pada korban kekerasan anak dan ABH (Anak Berhadapan dengan

Hukum). Kelima,

pemasyarakatan pendidikan formal dan informal. Upaya ini delaksanakan melalui proses memasukkan pengetahuan tentang perlindungan anak dan pemenuhan hak anak kedalam system pembelajaran yang memiliki maksud agar siswa menerima ilmu mengenai hak

(8)

29

yang harus dipenuhi dan dihargai. Keenam, pengasuhan dilakukan untuk anak terlantar yang diberikan pembinaan.

Ketujuh, pengajaran atau penghargaan, upaya ini dilakukan sebagai bentuk partisipasi anak dalam pembangunan. Kedelapan, kekuatan legal dalam perlindungan anak adalah dengan adanya peraturan perundang-undangan serta peraturan turunan lainya yang

menguatkan proses

perlindungan anak dan pemenuhan hak anak yang dapat mempermudah proses analisis dalam suatu permasalahan yang dapat merugikan anak dan menyadarkan setiap tindakan yang melanggar hak asasi utamanya yang berkaitan dengan anak.

- Strategi Perlindungan Anak Secara Tidak Langsung dilakukan dengan beberapa cara. Pertama, pencegahan kepada individu lain yang bertindak mengorbankan kepentingan anak dan merugikan dengan membuat regulasi. Kedua, peningkatan pengertian hak dan kewajiban anak, upaya ini dilakukan oleh para aktivis perlindungan anak seperti LPA Kota Batu.

Ketiga, penyuluhan mengenai pembinaan anak dan keluarga.

Keempat, pengadaan sesuatu yang dirasa menguntungkan anak. Upaya ini dilakukan dengan pemerintah Kota Batu memfasilitasi tempat bermain rekreatif dan sarana kreatifitas anak. Kelima, pembinaan (mental, fisik, dan sosial) para

(9)

30

partisipan selain anak yang bersangkutan dalam pelaksanaan perlindungan anak. Keenam, penindakan mereka yang menghalangi usaha perlindungan.

- Strategi berdasarkan Analisis SWOT terdapat kelemahan dan kekuatan dari strategi yang sudah diterapkan. Keuntungan strategi yang telah dilakukan adalah adanya kerjasama antar instansi terkait dan terdapat shelter untuk menampung korban. Sedangkan kelemahan meliputi pengasuh yang masih kurang memahami cara untuk menjadi pendamping anak serta peran forum anak masih kurang dalam menyuarkan partisipasi anak untuk berperan aktif mengikuti kegiatan Forum Anak.

8 Ceria Cantika Maulida dan Dian Purwanti.(2019).

Implementasi Pengembangan Kota Layak Anak Di Kota Sukabumi

Deskriptif Kualitatif Implementasi

- Penelitian ini menjelaskan mengenai implementasi pengembangan Kota Layak Anak di Kota Sukabumi berdasarkan teori konsep Van Meter dan Van Horn dengan enam dimensi yang meliputi tujuan serta ukuran program, asal muasal kebijakan, kordinasi antar instansi, proses pelaksanaan program, penganggaran dan politk yang harus dijakankan dengan baik sebagaimana mestinya.

9 Pradita Saldi dan Listyaningsih (2019) Penguatan

Kelembagaan Kota Layak Anak di Kota Serang

Deskriptif Kualitatif

- Penelitian ini mendeskripsikan mengenai pembangunan lembaga dan pengembangan kapasitas yang didasarkan pada varibel lembaga menurut Esman dalam Eaton (1986) yang meliputi kepemimpinan, doktrin, program, sumber- sumberdaya dan struktur.

(10)

31

- Dalam hal pengembangan kapasitas menurut Grindle dalam Saleh et.al. (2013) inti dari pada pengembangan kapasitas itu adalah peningkatan kemampuan.

Secara umum pengembangan kapasitas merupakan strategi untuk meningkatkan efisiensi, efektivitas dan responsivitas dari kinerja individu, kelompok atau organisasi serta sistem dengan memfokuskan pada beberapa dimensi.

- Pada implementasinya Kota

Sukabumi mencapai

pemenuhan 7 indikator penguatan kelembagaan dalam Kota Layak Anak dengan predikat hasil yang baik, walaupun belum secara keselurahan terpenuhi namun pemenuhan indikator terbaik adalah pada ketersediaan kebijakan/peraturan terkait pemenuhan hak anak dan ketersediaan data anak terpilah Kota Serang.

Sumber : Data Sekunder, diolah oleh peneliti

Dilihat dari tabel diatas terdapat 9 penelitian terdahulu dimana dua jurnal diatas mengunakan aspek teoritis yang berkaitan dengan kajian yang dijalankan peneliti yakni mengenai Collaborative Governance. Persamaan juga terdapat pada pengunaan tema yang sama dengan apa yang peneliti kaji yaitu membahas hal yang berkaitan dengan pengembangan Kota Layak Anak. Pemecahan masalah dalam kajian ini yang berkaitan dengan penulis lakukan memiliki kesamaan dengan penelitian sebelumnya yang ditulis oleh Noverman Duadji dan Novita Tresiana yang berjudul “Kota Layak Anak Berbasis Collaborative Governance”.

Dengan teori yang digunakan sama yaitu menggunakan teori Collaborative

(11)

32

Governance dari Ansell and Gash. Indikator Collaborative Governance yang digunakan yakni terdiri dari face to face dialogue, trust building, commitmen to process, Share Understanding, dan intermediate income atau hasil sementara.

Akan tetapi adapun perbedaan dari penelitian sebelumnya adalah pada penelitian dari Ulfiona Rizki Ashari, Hanang Ilham Yohana, Astari Lutviana Devi, dan Fahrur Rosyid yang berjudul “Optimalisasi Strategi Pemerintah Daerah Kota Batu Menuju Kota Layak Anak Melalui Perlindungan Hak-Hak Anak”. Pada Penelitian ini menjelaskan bagaimana proses dan startegi pemerintah Kota Batu dalam pengembangan kota layak anak atau KLA yang di laksanakan oleh Dinas Pemberdayaan perempuan, perlindungan anak, pengendalian penduduk, dan Keluarga Berencana Kota Batu atau disingkat DP3AP2KB dulu disebut BPMPKB. Hal ini memiliki perbedaan dengan kajian ilmiah yang dilakukan penulis karena peneliti dengan pendekatan konsep Collaborative Governance dalam pengembangan kota layak anak di Kota Batu. Dimana nantinya lebih menekankan pada bagaimana peran dari pemerintah, dunia usaha dan masyarakat dalam menjalankan kolaborasi dengan satuan gugus tugas kota layak anak untuk mewujudkan Kota Batu sebagai Kota Layak Anak.

2.2 Konsep dan Teori

2.2.1 Collaborative Governance

Collaborative governance ialah pola pengembangan kerjasama organisasi publik yang dengan pemangku kepentingan di luar aparatur negara, tertuang dalam kelompok yang ikut serta dalam proses perumusan, membuat kesepakatan, serta mempraktikkan hasil dari peraturan yang telah di sepakati. Oleh sebab itu,

(12)

33

Ansell and Gash menguraikan collaborative governance merupakan tahapan kerjasama dimana beberapa lembaga publik serta aktor-aktor yang terlibat dalam mengendalikan keputusan dari sebuah proses kebijakan dengan tujuan untuk membongkar permasalahan yang terjadi di masyarakat. Bagi Ansell and Gash, pendekatan tata kelola kolaboratif merupakan realitas jika dalam kerja sama, para aktor-aktor yang terlibat ikut serta bersama berbagi misi bersama serta memiliki arah pergerakan untuk mengapai sebuah tujuan yang hendak digapai melalui proses kerja sama, mulai menghargai antar aktor-aktor yang terlibat serta menghormati kesepakatan yang sudah di sepakati, Saling membangun kepercyaan antar aktor, keterampilan yang berragam serta kemampuan insantansi dalam menjalankan kerjasama .(Ansell & Gash, 2007).

Selain itu Ansell dan Gash juga berpendapat bahwa “Collaborative Governance is therefore a type of governance in which public and private actor work collectively in distinctive way, using particular processes, to establish laws and rules for the provision of public goods”. pola ini mendeskripsikan dimana terdapat kondisi yang menjadikan aktor swasata dan aktor publik menjalankan kerjasama melalui cara serta proses yang akan direncanakan sebagaimana kesepakatn yang sudah di ambil bersama sehingga mampu menciptakan peraturan ataupun kebijakan yang dapat di hormati oleh semua aktor yang terlibat serta legal dalam menjalankannya sesuai apa yang menjadi kebutuhan publik. Pola pikir ini dijalankan dalam pengelolan tata kelola pemerintahan. Pemerintah sebagai aktor publik sedangkan dunia usaha, perusahaan maupun organisasi bisnis adalah aktor swasta yang bersama sama bergandengan tangan untuk melebur permasalahan yang terjadi di masyarakat. (Ansell & Gash, 2007).

(13)

34

Kerja sama ialah kerjasama antar aktor, organisasi ataupun lembaga dalam menggapai tujuan yang tidak bisa dicapai ataupun dilaksanakan secara mandiri.

Kerjasama ataupun kerja sama jadi sebutan dalam bahasa Indonesia yang tidak memiliki perbandingan teori antar keduanya serta masih jadi sebutan yang dipakai secara bergantian. Para pakar memiliki definisi mengenai Collaborative Governance dalam sebagian penafsiran namun memiliki ilham arti yang sama, ialah terdapatnya kerjasama dalam penyelenggaraan pemerintahan yang mengaitkan sebagian aktor kepentingan semacam bagian publik serta zona privat.

Definisi Collaborative Governance menurut (Ansell & Gash, 2007) : Collaborative Governance merupakan serangkain pengaturan dimana satu ataupun lebih lembaga publik yang mengaitkan secara langsung stakeholder non- state di dalam proses pembuatan kebijakan yang memiliki dasar resmi, berorientasi consensus and deliberative yang bertujuan dalam mengimplementasikan maupun membuat mengendalikan program serta peraturan atau kebijakan publik.

2.2.2 Tujuan Pelaksanakan Collaborative Governance

Timbulnya Collaborative Governance karna diduga kandas dalam mengimplementasikan keadaan peraturan politik serta tingginya anggaran.

Terlebih sebagian orang berkomentar jika penyebabnya bawah buat bekerjasama bersumber dari pola peningkatan serta daya tampun dari lembaga ataupun institusi.

Pola pikir ini menampilkan kalau Collaborative Governance tidak cukup timbul seketika namun ada aspek-aspek lain yang mendukungnya. Timbulnya Collaborative Governance bisa diidentifikasi dari sudut pandang dalam memaknai kerja sama dari lembaga atau institusi sebab keterbatasan kemampuan tiap- tiap

(14)

35

lembaga guna melangsungkan programnya. Tidak hanya itu, kerjasama pula muncul karna keterbatasan ataupun minimnya penganggaran dalam suatu lembaga, sehingga dalam penganggaran untuk kerjasama tidak bersumber dari satu aktor saja, namun pula dari actor aktor lain yang terlibat dalam keikut sertaan dalam proses kolaborasi. Dalam pengelolan tata pemerintahan, kerja sama dapat mejadi salah satu kajian dalam pengembangan ilmu pemerintahan. Sebab dengan terdapatnya pola pikir collaborative governance yang memiliki fokus pada partisipasi multi aktor semacam aparatur negara, pihak swasta serta publik.

Alternatif dari kerja sama ialah untuk mengembangkan ketelibatan pihak-pihak kepentingan serta ketidak berhasilan tata kelola dalam suatu organisasi ataupun lembaga negara. Oleh sebab itu munculnya kelengkapan dalam penerapannya yang menyebabkan peningkatan dalam permintaan kerja sama serta rasa saling membutuhkan antar aktor dalam kerjasama.

Faktor-faktor yang menciptakan Collaborative Governance sebagai teori yang dijalankan sebagaimana dijelaskan oleh Ansell and Gash dibawah ini :

a. Terdapat rasa bersama serta bergantung antar instansi atas dasar kebutuhan bersama

b. Terdapatnya permasalahan antar aktor yang tidak terbuka serta susah diselesaikan

c. Sebagai bentuk pencarian metode serta pola pikir baru untuk menggapai pembenaran politik

d. Implementasi kebijakan yang gagal dalam prtiknya di lapnagan e. Mobilisasi lingkaran kepentingan

(15)

36

f. Ketidakmampuan kelompok keperntingan, paling utama sebab pembelahan rezim- rezim kekuasaan untuk memakai arena- arena institusi yang lain guna membatasi keputusan

g. Anggaran mahal serta politisasi regulasi

Komentar diatas menampilkan jika kerjasama dilaksanakan sebab kompleksitas bersama ketergantungan tiap- tiap lembaga ataupun institusi. Kerja sama pula diprediksi muncul sebab terdapatnya keragaman kepentingan antara tiap- tiap kelompok, sehingga terjalin kerja sama. Hanya dengan metode ini kerja sama sanggup memobilisasi lingkaran kepentingan. Karna minimnya anggaran, kerja sama dilihat selaku pemecahan atas ketidak efisiensinya penerapan kebijakan serta tata laksana program yang cukup dijalankan oleh satu-satunya lembaga. Demikian pula, kerja sama dapat jadi pemecahan dalam menanggulangi program yang memiliki bayaran besar.

2.2.3 Dimensi-dimensi Pada Proses Collaborative Governance

Proses kerjasama yang efisien diupayakan guna pencapaian sasaran klien, tingkatkan hubungan- hubungan antar organisasi serta pengembangan organisasi.

Dalam Junadi( 2015: 14) mengatakan bahwa tiga demensi yang berbeda ini mengambarkan jenis- jenis sasaran organisasi yang tidak sama yang dicari dari kerja sama antar organisasi selaku berikut ini :

“Dimensi pertama, pencapaian sasaran klien menunjuk pada tujuan utama dari sebagian usaha sektor publik untuk meningkatkan kolaborasi, yaitu mendapatkan sumber daya yang akan meningkatkan pelayanan. Kedua, hubungan antar organisasi ditingkatkan untuk menangkap kedua hal yakni manfaat kolektif dan potensi kolaborasi organisasi. Jika organisasi dalam kegiatan kolaboratif

(16)

37

sama baiknya, hal ini dapat meningkatkan modal social pada masyarakat yang dilayani. Hubungan yang lebih baik antara organisasi bekerja untuk meningkatkan kesempatan memecahkan masalah dan membuka jalan bagi hubungan masa depan yang lebih baik. Dimensi ketiga, pengembangan organisasi sebagian besar langsung menguntungkan organisasi. Jika kolaborasi meningkatkan pengembangan organisasi, hal ini dapat meningkatkan kapasitasnya untuk bersaing secara efektif atas kontrak masa depan dan dapat meningkatkan kemampuannya untuk mencapai misi dan tujuan.”.

2.2.4 Proses Kolaborasi

Proses dari sesuatu kerja sama dilkaukan dalam sebagian tahapan. Sesuatu tahapan model kerja sama sangat berguna untuk dapat dicermati sebagai sebuah petunjuk kebijakan dalam aspek pengelolaan sesuatu urusan publik. Walaupun proses kolaboratif susah dalam pelaksanaanya yang dikarenakan perbedaan karakter dari masing- masing stakeholder yang tergabung dalam kolaborasi. Bagi Ansell serta Gash selaku berikut:

a. Face to face dialogue

Dalam Collaborative Governance tersusun dari adanya pertemuan dan diskusi secara langsung dari masing- masing stakeholder yang terdapat dalam kerjasama ini. Sebagaimana Collaborative Governance yang memiliki dasar dari sebuah proses, adanya pertemuan dan diskusi secara mendalam sangat berarti dalam rangka menentukan kebaikan bersama. Face to face dialogue tidaklah terdiri dari sebuah negoisasi yang dijalankan oleh aktor-aktor yang tergabung dalam kerjasama. Adanya pertemuan dan dialog secara langsung ini bertujuan untuk melebur permasalahan serat

(17)

38

keterbatasan dari masing-maing aktor yang tergabung dalam kerjasama ini . Sehingga, stakeholder mampu menjalankan kolaborasi bersama sesuai dengan tujuan yang sudah direncanakan dari kerjasama ini.

b. Trust building

Ketidak percayaan antar aktor dalam kerjasama menjadi salah satu hal yang menyebabkan kegagalan dalam menjalankan proses kolaborasi.

Kerjasma antar stakeholders memang bukan hanya untuk sebuah kesepakatan bersama tetapi juga tentang bagaimana para aktor dapat saling percaya dalam menjalankan tugas serta fungsinya dari kolaborasi yang duijalankan agar tepat sasasaran serta mudah untuk mengamini tujuan yang akan dicapai. Hal ini sebagai bentuk agar para aktor tidak saling tuduh menuduh serta egosintrisme dari tiap fungsi dan tugas yang dijalankan.

Kerana hal ini sangat mempengaruhi dalam proses perjalanan sebuah kolaborasi.

c. Commitment to process

Dalam sebuah proses kolaborasi komitmen antar aktor juga sangat berpengaruh dalam menyukseskan program yanh hendak dijalankan agar sesuai dengan tujuan bersama tanpa ada untung rugi yang berarti bagi aktor- aktor yng terlibat. Kendati demikia komitmen terhadap proses menjadi tolak ukur kekuatan utama dalam menjalankan proyeksi yang hendak dicapai dalam memecahkan permaslahan pulik dengan jalan kerjasama. Hal ini dikarenakan dalam komitmen terhadap proses terdapat pola hubungan natar lembaga yang terkait untuk saling mendukung satu sama lain. Komitmen yang kuat dari setiap stakeholder diperlukan untuk mencega resiko dari

(18)

39

proses kolaborasi. Walaupun sebuah kimitmen itu sangat sulit diwijudkan tetapi hal ini merupakan sebuah tanggung jawab yang harus diemban oleh setiap aktor-aktor yang terlibat.

d. Share Understanding

Tahapan selanjutnya adalah berbagai pemahaman dalam proses berbagai pemahaman ini para aktor di harapkan dapat saling memback up tugas dan fungsi dari setiap stakeholder. Karena dengan adanya berbagai pemahaman aktor-aktor dapat engan mudah mengapai tujuan yang sudah direnacanakan.

Proses berbagai pemahaman ini dapat dijelaskan dari tujuan, visi-misi, atau gambaran umum atau ideologi yang sama ataupun pemahaman bersama.

Saling berbagi pemahaman dapat dikatakan adanya kesepakatan bersama untuk mengartikan serta memaknai suatu permasalahan publik.

e. Intermediate outcomes

Dalam proses kolaborasi hasil sementara berbentuk dalam wujud Iuaran atau output yang sesuai dengan kenyataan. Karena dalam hasil semantara ini merupakan sebuah esensi yang kritis dari sebuah pola kerjasama dari setiap aktor-aktor yang terlibat. Intermediate outcomes ini hadir ketika tujuan atau misi yang memberikan keuntungan dari kerjasamana yang mana secara jelas tergambar seperti “small wins” dari suatu kolaborasi dapat memungkinkan akan tercapai

(19)

40

Gambar 2. 1 Model Collaborative goverment Ansell dan Gash Desain Kelembagaan

Partisipatif,terdapat forum, aturan dasar yang jelas,

proses transparansi

Proses Kerjasama Dimulai dengan adanya

“dialog” antar actor yang nantinya akan membangun adanya “kepercayaan”, kemudian terjalinnya

“komitmen terhadap proses”

antar actor yang juga secara langsung akan menumbuhkan rasa dan sikap “saling

memahami” dan mengasilkan

“hasil atau “output”

Kondisi Awal

Adanya dialog face to face untuk membangun

kepercayaan, dan komitmen antar actor

Outcomes

Facilitative Leadership Kepemimpinan diperlukan untuk menyatukan para actor pemangku kepentingan

dan untuk saling berpartisipasi secara

aktif

(20)

41 2.2.5. Pengembanggan Kota Layak Anak

Adanya pengembangan kota yang layak anak di Indonesia sejalan dengan amanah Undang-undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang diturunkan menjadi Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor 02 Tahun 2009 tentang Kebijakan Kabupaten/Kota Layak Anak. Dalam Peraturan Menteri tersebut, pengertian Kota Layak Anak dijelaskan sebagai berikut. “Kabupaten/Kota Layak Anak yang selanjutnya disebut KLA adalah sistem pembangunan suatu wilayah administrasi yang mengintegrasikan komitmen dan sumber daya pemerintah, masyarakat dan dunia usaha yang terencana secara menyeluruh dan berkelanjutan dalam program dan kegiatan pemenuhan hak anak” .

Kebijakan Kota Layak Anak ialah kebijakan pemerintah pusat yang dikenalkan awal kali pada tahun 2005. Latar balik dari lahirnya kebijakan Kota Layak Anak( KLA) merupakan timbulnya keprihatinan pemerintah terhadap proteksi hak anak di Indonesia yang terus menjadi hari terus menjadi terabaikan.

Bawah hukum penerapan kebijakan pengembangan kota Iayak anak dalam rangka proteksi anak megacu kepada UU Nomor. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Sesuai dengan Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan PerIindungan Anak No. 13 Tahun 2011 tentang Panduan Pengembangan Kabupaten/kota Iayak anak (selanjutnya disebut KLA), aspekaspek pengembangan KLA meliputi (1). Persiapan, meliputi pembentukan tim gugus tugas serta penguatan komitmen dari pemerintah daerah, (2). Perencanaan, berupa

(21)

42

pendataan, analisis situasi anak, dan penyusunan rencana aksi daerah, serta (3).

Pembinaan, berbentuk monitoring, fasilitasi, pelaporan, dan evaluasi.

Dari gambaran di atas mengenai kebijakan kota layak anak maka yang diharapkan adanya desentralisasi kebijakan menenai pengembangan kota layak anak bagi pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk melaksnakan pengembangan kota layak anak di wilayah kabupaten dan kota masing-masing.

Kota Batu menjalankan program ini di dasarkan oleh adanya Peraturan Daerah Kota Batu No.1 Tahun 2019 tentang Kota Layak Anak. Hal ini menjadi salah satu bukti bahwa Kota Batu merespon kebijakan pengembang kota layak anak untuk dijalankan di Kota Batu.

Pengembangan Kota Layak Anak dapat dilakukan dengan berbagai macam bentuk rencana program kerja, dalam pengembangan kota layak anak memberikan adanya isyarat bahwa pentingnya kesadaran maupun pengendalian kegiatan anak oleh orangtua maupun bersama pihak-pihak lain yang terlibat dalam pengelolaan hak-hak anak di Kota Batu. Pengembangan Kota layak anak bisa diwujudkan dengan adanya keterpaduan sosial, kegiatan sosial, keperdulian terhadap kemanan, keterjaminan hidup anak, penyediaan fasilitas publik yang dihususkan bagi anak, bentuk aktualisasi diri pada anak, fasilitas infrastuktur bagi lingkungan sosial dan juga penyediaan sarana dan prasarana untuk pengembangan keterampilan. Dengan adanya bentuk aktualisasi ini maka pengembangan terhadap Kota layak anak akan lebih baik dalam mendukung bentuk partisipasi ,perlindungan serta memberikan ruang untuk tumbuh kembang anak (Suharta & Septiarti, 2018). Dalam proses pengembangan kota layak anak ini maka terdapat tahapan yang harus di rancang yaitu meliputi :

(22)

43 1. Tahap Persiapan

Pada tahapan persiapan pengembangan Kota Layak Anak dengan membuat konsep dan kebijakan mengenai Kota Layak Anak, selain itu juga membentuk gugus tugas Kota Layak Anak, serta pengumpulan data dasar meliputi indikator Kota Layak Anak.

2. Tahap Perencanaan

Tahap perencanaan meliputi rencana aksi daerah dalam pengembangan Kota Layak Anak dengan mengintegrasikan kedalam rencana pembangunan jangka menengah daerah, rencana kerja pemerintah dan rencana kerja OPD.

3. Tahap Pelaksanaan

Pada tahap pelaksanaan gugus tugas kota layak anak memobilisasi perangkat daerah, masyarakat, dan dunia usaha secara terencana,menyeluruh, dan berkelanjutan , selain itu gugus tugas juga mensosialisasikan dan mengadvokasikan hak-hak anak dengan memanfaatkan media yang ada.

4. Tahap Pemantauan

Tahap pemantauan dalam pengembangan kota layak anak di jalankan oleh gugus tugas kota layak anak dengan melihat perkembangan output,input dan kemajuan target yang hendak di capai untuk memenuhi indikator KLA. Pemantuan dilakukan secara berkala dengan turun ke desa/kelurahan, kecamatan, sampai pada tingkat rukun warga (RW).

5. Tahap Evaluasi

Pada tahap evaluasi ini gugus tugas menilai perkembangan dan proses yang dilakukan dalam rangka pencapaian dari seluruh indikator-indikator

(23)

44

Kota Layak Anak. Evaluasi dalam pengembangan KLA dilakukan setiap tahun. Kegiatan evaluasi KLA dilakukan oleh gugus tugas Kota Layak Anak Kota Batu dengan lembaga yang berwenang dalam pemenuhan hak dan tumbuh kembang anak.

Referensi

Dokumen terkait

Jika dilihat dari parameter Z dr tersebut ukuran droplet hujan pada ketinggian 1 km cukup besar untuk semua wilayah Jakarta, tetapi nilai Rain yang terukur tidak

Menurut SAK ETAP tujuan laporan keuangan adalah menyediakan informasi menyangkut laporan keuangan, kinerja serta perubahan posisi keuangan suatu perusahaan. Tujuan

Seiring dengan itu tuntutan akan sekuritas (keamanan) terhadap kerahasiaan informasi yang saling dipertukarkan tersebut semakin meningkat. Begitu banyak pengguna tidak

Afriza : Penerapan rencan umum tata ruang kota berkaitan dengan pemberian izin..., 2005... Afriza : Penerapan rencan umum tata ruang kota berkaitan dengan pemberian

Suatu keyakinan yang berbasis pada ajaran tentang kemahakuasaan Tuhan sebagai Creator, pemberi mandat dan sekaligus mitra kerja yang melalui Roh Kudus memampukan

17 Berdasarkan kutipan diatas penulis dapat menjelaskan bahwa pengertian pornografi menurut undang-undang No 44 tahun 2008 tentang pornografi lebih luas dari sudut

Model SWAT mempunyai beberapa keunggulan yaitu dibangun berdasarkan proses yang terjadi dengan menghimpun informasi mengenai iklim, sifat tanah, topografi, tanaman dan

Beberapa penelitian yang dilakukan dengan menggunakan WebQual 4.0 seperti Safuan dan Khuzaini (2018) meneliti kualitas website dengan dimensi kegunaan, kualitas informasi