• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

10 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori 1. Tinjauan mengenai Peran

Peran merupakan aspek yang dinamis dari kedudukan (status), keduanya memiliki keterkaitan yang sangat erat. Peran merupakan seperangkat tingkah laku individu terhadap seseorang agar kedudukannya dalam suatu sistem berjalan dengan baik. Peran dipengaruhi oleh keadaan sosial baik dari dalam maupun dari luar dan bersifat sosial (Soekanto, 2002).

Pentingnya peran dikarenakan mengatur perilaku seseorang atau lembaga yang juga menyebabkan seseorang atau lembaga pada batas tertentu, sehingga orang atau lembaga yang bersangkutan dapat menyesuaikan perilaku sendiri dengan perilaku orang-orang kelompoknya. Menurut Soekanto (2005) menjelaskan bahwa terdapat tiga hal yang mencakup suatu peran, yaitu:

a. Peran meliputi norma-norma yang berhubungan dengan posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat meliputi rangkaian peraturan yang membimbing seseorang dalam kehidupan bermasyarakat.

b. Peran adalah konsep perihal apa yang dilakukan oleh individu dalam masyarakat dalam organisasi.

c. Peran juga dapat dikatakan sebagai perilaku individu yang penting bagi struktur sosial masyarakat.

Peran dapat disimpulkan sebagai suatu perilaku yang dilakukan seseorang agar dapat membentuk keadaan sosial yang baik.

Soekanto juga menyatakan bahwa diperlukan beberapa syarat untuk dapat disebut sebagai kelompok sosial karena tidak semua himpunan manusia bisa dikatakan sebagai kelompok sosial atau komunitas. Syarat- syarat tersebut diantanya:

a. Adanya kesadaran dari anggota kelompok sebagai bagian dari kelompok tersebut

(2)

b. Adanya hubungan timbal balik antara satu anggota dengan anggota lainnya

c. Adanya faktor yang dimiliki bersama yang menyebabkan hubungan semakin erat. Faktor tersebut berupa kepentingan bersama, tujuan yang sama, nasib yang sama, ideologi politik yang sama, dan sebagainya.

Lebih lanjut terdapat jenis-jenis peran dibagi menjadi tiga, yaitu:

a. Peran aktif yaitu peran yang dilakukan secara aktif dalam tindakan di dalam organisasi atau lembaga sosial yang dimiliki

b. Peran partisipatif ialah peran yang dilakukan hanya berdasarkan jangka atau waktu tertentu.

c. Peran pasif yaitu peran yang tidak dilakukan, hanya digunakan sebagai symbol dalam keadaan tertentu dalam kehidupan masyarakat.

Menurut Ife dan Frank (2008), peran kerja masyarakat dikelompokkan dalam empat golongan, yaitu:

a. Peran dan keterampilan memfasilitasi yaitu berkaitan dengan stimulasi dan penunjang pengembangan masyarakat. Di kategori ini, peran spesifik ditemukan, diantaranya adalah

1) Semangat Sosial, dapat diidentifikasikan dalam aspek yang dapat menjadi focus tentang peran kerja masyarakat. Pertama yaitu antusiasme, pekerja memiliki antusiasme murni lalu menyampaikan antusiasme tersebut kepada yang lain karena antusiasme murni cenderung menular dibandingan antusiasme palsu yang hanya akan mudah berlalu (membuang-buang waktu untuk berpura-pura antusias terhadap suatu proyek). Kedua, yaitu komitmen. Pekerja harus berkomitmen kuat agar tercapai dua tujuan hak asasi manusia/keadilan sosial dan pelestarian ekologi. Selanjutnya adalah integritas. Integritas dapat dengan mudah tersampaikan kepada orang lain apabila pekerja masyarakat terlihat tulus, terpercaya, konsisten dan tidak menipu dalam kesepakatan. Komunikasi juga merupakan komponen penting dalam semangat sosial. Jika dapat berkomunikasi dengan jelas dan tepat maka akan menjadi penyemangat yang baik.

(3)

Banyaknya kesuksesan semangat sosial sebenarnya berasal dari pemahaman dan analisis pekerja masyarakat yang pada akhirnya melibatkan kepribadian pekerja sangat penting dalam semangat sosial. Seorang pekerja harus mawas diri terhadap kepribadiannya dan memanfaatkan sampai pada dampak yang maksimal, tidak harus bersikap extrovert karena terkadang seseorang yang introvert justru bisa melakukan pendekatan tergantung pada orang yang dituju.

2) Mediasi dan negosiasi

Pekerja masyarakat harus memainkan peran sebagai mediator untuk menghadapi berbagai konflik. Harus memiliki keterampilan untuk mendengar dan memahami. Seringkali pekerja masyarakat diidentifikasikan di satu sisi atau mengekspresikan satu pandangan tertentu atas isu yang ada. Saat pekerja masyarakat benar diidentifikasi di satu sisi konflik, dan mediasi menjadi suatu yang tidak mungkin. Dalam kondisi demikian, pekerja masyarakat masih tetap bisa memerankan peran negosiasi. Peran negosiator mensyaratkan pekerja untuk bisa mewakili satu pihak dari suatu konflik. Keahlian mediasi dan negosiasi melibatkan kemampuan untuk mengintervensi isu tanpa harus berpihak pada satu sisi, untuk mengetahui legitimasi berbagai pandangan yang berbeda dan untuk mendorong orang lain melakukan hal yang sama, untuk memisahkan berbagai isu dari pribadi sehingga penduduk bisa tidak setuju tanpa harus menjadi satu serangan pribadi.

3) Dukungan

Peran penting pekerja masyarakat adalah memberi dukungan bagi orang-orang yang terlibat dalam berbagai struktur dan aktivitas masyarakat yang mencakup mengafirmasi penduduk, mengenali dan mengakui konstribusi mereka, memberi dorongan, menyediakan diri ketika mereka perlu membicarakan atau menanyakan sesuatu.

4) Membangun konsensus adalah sebuah perluasan dari peran mediasi yang mencakup perhatian terhadap berbagai tujuan bersama,

(4)

mengidentifikasi landasan umum dan membantu orang untuk bergerak menuju suatu konsensus yang dapat diterima oleh semua.

5) Fasilitasi kelompok

Seorang pekerja masyarakat berperan memfasilitasi kelompok yang mampu membantu kelompok untuk mencapai tujuannya dengan cara yang efektif.

6) Mengorganisasi

Peran penting lain adalah sebagai pengatur atau dapat dikatakan menjadi pribadi yang memastikan berbagai hal dapat terjadi dengan melibatkan kemampuan untuk berpikir mengenai sesuatu yang perlu diselesaikan tanpa harus melakukannya seorang diri.

7) Komunikasi Pribadi

Pekerja masyarakat perlu keterampilan komunikasi antarpribadi karena pasti akan menghabiskan waktu untuk berkomunikasi dan berhubungan dengan penduduk setempat.

b. Peran dan Keterampilan Mendidik

Peran yang melibatkan pekerja dalam merangsang dan mendukung berbagai proses masyarakat, pekerja harus memiliki banyak peran aktif.

Pengembangan masyarakat merupakan sebuah proses terus menerus untuk belajar. Pekerja mempelajari berbagai keterampilan baru, berbagai cara baru dalam berpikir, serta berbagai cara baru dalam berinteraksi dengan orang lain. Berbagai peran mendidik seorang pekerja masyarakat adalah:

1) Peningkatan kesadaran

Dimaksudkan untuk memberikan kesadaran terhadap berbagai struktur dan strategi perubahan sosial hingga orang dapat berpartisipasi dan mengambil tindakan efektif.

2) Memberikan informasi

Memberikan informasi yang relevan pada penduduk termasuk informasi demografis seperti struktur umur, angka bunuh diri, angka kriminalitas anak muda dan berbagai hal yang dapat membangun sebuah profil masyarakat.

(5)

3) Pelatihan

Pekerja akan membantu kelompok untuk menemukan sesorang yang dapat memberikan pelatihan yang dibutuhkan.

c. Peran dan Keterampilan Representasi

Menunjukkan berbagai peran pekerja masyarakat dalam berinteraksi dengan pihak luardemi kepentingan atau agar bermanfaat bagi masyarakat.

Peran representasi antara lain:

1) Menggunakan media

Pekerja perlu memanfaatkan media secara efektif agar dapat membantu untuk menempatkan masyarakat pada agenda publik.

2) Humas dan presentasi publik

Melibatkan pekerja dalam beragam peran seperti berbicara ketika pertemuan kelompok, menaruh pemberitahuan dalam koran.

Maksudnya dalam hal ini adalah kemampuan untuk membuat berbagai presentasi publik.

3) Jaringan kerja (networking)

Mendirikan jalinan hubungan dengan beragam orang dan mampu memanfaatkan untuk menghasilkan perubahan.

Dari beberapa pernyataan di atas, kesimpulannya sependapat dengan Jim Ife dan Frank (2008) bahwa komunitas memiliki beberapa peran yaitu sebagai fasilitator, pendidik dan representasi.

2. Tinjauan mengenai Komunitas

Komunitas berasal dari bahasa latin communitas yang berarti

“kesamaan”. Komunitas diartikan sebuah kelompok sosial yang terdiri dari berbagai organisme dari berbagai lingkungan, yang umumnya memiliki ketertarikan dan habitat yang sama. Dalam komunitas manusia, individu di dalamnya dapat memiliki maksud, kepercayaan terhadap sumber daya, prefensi, kebutuhan, resiko dan sejumlah kondisi lain yang serupa (Asmani, 2014: 46).

(6)

Soenarno (2002) menyebutkan bahwa “komunitas adalah sebuah identifikasi dan interaksi sosial yang dibangun dengan berbagai dimensi kebutuhan fungsional”. Pendapat lain mengatakan komunitas adalah suatu kelompok yang dibentuk untuk kemudahan administratif (misalnya wilayah pemilihan umum, sebuah kelas disekolah atau sebuah kelompok ditempat kerja) tetapi memiliki beberapa ciri dari suatu perkumpulan atau perhimpunan, di mana orang termasuk sebagai anggota dan di mana perasaan memiliki dianggap penting dan dengan jelas diakui (Jim Ife & Frank Tesoriero, 2008: 189)

Lebih lanjut, komunitas merupakan sebuah lingkungan sosial yang merupakan bagian dari lembaga sosial. Lembaga sosial merupakan alat yang digunakan untuk melakukan serangkaian peran dalam masyarakat untuk menanamkan nilai-nilai dan norma-norma sosial. Beberapa lembaga sosial tersebut adalah keluarga, lembaga pendidikan, media massa, lembaga keagamaan, dan lingkungan sosial. Lembaga tersebut yang kemudian sering disebut sebagai agen/media sosialisasi (Setiandi dan Kolip, 2011: 177). Dari beberapa pendapat di atas, komunitas dapat disimpulkan sebagai kelompok sosial yang terdiri dari banyak orang dan memiliki maksud ataupun tujuan yang sama.

Komunitas menurut Crow dan Alan (2008: 89) dapat dibagi menjadi dua komponen, yaitu:

a. Berdasarkan lokasi atau tempat wilayah adalah tempat sebuah komunitas dapat dilihat sebagai tempat dimana sekumpulan orang mempunyai sesuatu yang sama secara geografis.

b. Berdasarkan minat kelompok orang yang mendirikan suatu komunitas karena mempunyai ketertarikan dan minat yang sama, misalnya pekerjaan, agama, suku, ras maupun berdasarkan kelainan seksual.

Penelitian yang peneliti lakukan mengacu pada komponen ini.

Kesimpulannya, sependapat dengan Crow dan Alan (2008) komunitas terdiri dari dua komponen yaitu berdasarkan lokasi atau tempat wilayah dan berdasarkan minat kelompok.

(7)

Menurut Montagu dan Matson terdapat sembilan konsep komunitas yang baik dan empat kompetensi masyarakat, yakni: a) Setiap anggota komunitas berinteraksi berdasarkan hubungan pribadi dan hubungan kelompok; b) Komunitas memiliki kewenangan dan kemampuan mengelola kepentingannya secara bertanggungjawab; c) Memiliki viabilitas, yakni kemampuan memecahkan masalah sendiri; d) Pemerataan distribusi kekuasaan; e) Setiap anggota memiliki kesempatan yang sama untuk berpartisipasi demi kepentingan bersama; f) Komunitas memberi makna pada anggota; g) adanya heterogenitas dan beda pendapat; h) Pelayanan masyarakat ditempatkan sedekat dan secepat kepada yang berkepentingan; i) Adanya konflik dan managing conflict. Sedangkan kompetensi untuk melengkapi sebuah komunitas adalah: 1) kemampuan mengidentifikasi masalah dan kebutuhan komunitas; 2) menentukan tujuan yang hendak dicapai dan skala prioritas; 3) kemampuan menemukan dan menyepakati cara dan alat mencapai tujuan; 4) kemampuan bekerjasama secara rasional dalam mencapai tujuan (Ambar Sulistiyani, 2004: 81-82).

Menurut Haryanto dan Nugrohadi (2011), komunitas atau kelompok sosial terbagi menjadi dua yaitu Gemeinschaft (Paguyuban) dan Gesellschaft (Patembayan). Gemeinschaft merupakan “bentuk kehidupan bersama dimana anggotanya diikat oleh hubungan batin yang murni dan bersifat alamiah serta kekal”. Sedangkan Gesellschaft adalah ikatan lahir yang bersifat pokok dan biasanya untuk jangka pendek. Bentuk kelompok ini lebih sering terdapat pada hubungan atau ikatan perjanjian berdasarkan pada ikatan timbal balik.

Jasmadi (2008) menyatakan komunitas memiliki empat ciri utama, yaitu terdapat anggota di dalamnya, saling mempengaruhi satu sama lain, saling membaur dan memenuhi kebutuhan antar anggota, terdapat ikatan emosional antar anggota.

Selanjutnya, Wenger (2002) menjelaskan komunitas mempunyai berbagai macam bentuk dan karakteristik, diantaranya:

(8)

a. Besar atau Kecil

Pada suatu komunitas terdiri atas besar atau kecilnya bukanlah menjadi masalah. Biasanya banyaknya anggota dibagi menjadi sub divisi berdasarkan wilayah sub tertentu.

b. Terpusat atau terbesar

Komunitas berawal dari sekelompok orang yang bekerja di tempat yang sama atau tempat tinggalnya berdekatan. Mereka (anggota komunitas) berinteraksi secara tetap serta ada pula beberapa komunitas yang tersebar di berbagai wilayah.

c. Berumur panjang atau berumur pendek

Komunitas memerlukan waktu dalam perkembangannya, jangka waktu keberadaan komunitas juga sangat beragam. Ada komunitas yang dapat bertahan lama atau tahunan, ada pulakomunitas yang berumur pendek.

d. Internal atau Eksternal

Sebuah komunitas dapat bertahan sepenuhnya dalam unit bisnis atau bekerja sama dengan organisasi yang berbeda.

e. Homogen atau heterogen

Latar belakang pada suatu komunitas ada yang sama ada pula yang berbeda. Umumnya, komunitas yang berlatar belakang sama komunikasi mereka akan terjalin lebih mudah, sebaliknya jika latar belakang berbeda maka perlu sikap saling menghargai dan toleransi yang tinggi satu sama lain.

f. Spontan atau disengaja

Terdapat komunitas yang terdiri tanpa adanya intervensi atau usaha pengembangan dari suatu organisasi. Ada yang bergabung secara spontan karena kebutuhan akan informasi dan memiliki minat yang sama. Ada pula komunitas yang sengaja didirikan secara spontan atau disengaja tidak menentukan formal atau tidaknya suatu komunitas.

(9)

g. Tidak dikenal atau dibawahi suatu institusi

Komunitas pasti mempunyai berbagai macam hubungan dengan organisasi, baik komunitas yang tidak dikenal maupun komunitas yang berdiri dibawah institusi.

Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa komunitas memiliki ciri atau karakteristik yaitu setiap anggotanya saling berinteraksi, saling mempengaruhi, saling bekerja sama, dan terbentuk atas dasar kebutuhan akan informasi.

3. Tinjauan mengenai Community Civics a. Pengertian Community Civics

Dalam perkembangan, civics mengalami perluasan. The National Education Associaton (1915) menetapkan The Teaching of Community Civics sebagai perluasan pengertian civics yang melebihi mekanisme pemerintahan (the mechaniery of goverment) dengan memasukkan kesejahteraan masyarakat sehingga dikenal community civics, economy civics, dan vocational civics. Awal terbentuknya community civics yaitu

“untuk lebih fungsionalnya pelajaran tersebut bagi pelajar dengan menghadapkan pelajar kepada lingkungan atau kehidupan sehari-hari dalam hubungannya dengan ruang lingkup lokal, nasional maupun internasional”. Namun tujuan community civics saat ini lahir akibat adanya keprihatinan terhadap pelajaran civic yang pada waktu itu hanya mempelajari konstitusi dan pemerintah tanpa mempelajari lingkungan sosial.

Good dalam Rusnaini (2018: 42) menjelaskan bahwa “Civics Community merupakan sebuah cabang studi kewarganegaraan yang menekankan hubungan individu dengan lingkungan sosialnya yang dipahami sebagai komunitas yang terus berkembang, baik ditingkat daerah (lokal) maupun tingkat nasional. Civics Community memfokuskan pada civic engangement atau tanggung jawab warga”.

(10)

Dunn (Saxe, 1991: 22) menyebutkan bahwa konsep community civics merupakan suatu gerakan yang bermakna, bermula dari teori ke praktek dalam ilmu sosial. Selanjutnya, definisi lain menurut Carter van Good, community civics merupakan a branch of study of the civics that emphasizes the individual‟s relation to his sosial environment which is conceived as a series of successively enlarge communities, local, state an national (Wahab dan Sapriya, 2011: 4)

Lebih lanjut, Dunn dan Rueben menjelaskan bahwa komunitas kewarganegaraan atau Community Civics merupakan paradigma baru dalam IPS yang fokusnya pada upaya mendidik siswa sebagai warga masyarakat, bangsa, negara untuk lebih berpartisipasi aktif melalui peran-peran sosialnya dalam berbagai bidang realitas, isu dan atau masalah dalam kehidupan komunitasnya dengan memberikan pengalaman langsung yang beragam dari berbagai konteks kehidupan komunitas terdekat (keluarga) hingga terjauh (dunia) (Moh Imam F, 2014: 268-269).

Kesimpulannya, Community Civics yaitu sebuah ilmu yang menekankan hubungan antara individu dengan lingkungan sosialnya sehingga akan mempengaruhi untuk berkembang.

b. Unsur Community Civics

Pada konstruksi kajian pedagogis terdapat tiga unsur komunitas kewarganegaraan, yaitu

1) Individu

Diharapkan dapat memberikan nilai edukatif terhadap peserta didik sebagai „clientele‟ mengenai status, dan makna dari peran serta atau partisipasinya di dalam kehidupan komunitas dan negara.

2) Komunitas

Merupakan unsur yang diharapkan dapat memberikan nilai-nilai edukatif kepada peserta didik sebagai „clientele‟ tentang kehidupan komunitas lokal hingga global sebagai “actual civic situations”.

(11)

3) Negara

Unsur ini ada dengan harapan nilai-nilai edukatif dapat diberikan kepada peserta didik sebagai „clientele‟ mengenai status, peran (operasi dan mekanisme kerja) negara juga pemerintah dalam melindungi tujuan serta kebaikan bersama (Dun, 2004).

Sedangkan perspektif komunitarian yang menekankan pada kelompok etnis atau kelompok budaya, solidaritas diantara orang-orang yang memiliki sejarah atau tradisi yang sama, kapasitas kelompok tersebut untuk menghargai identitas orang-orang yang dibiarkan “teratomisasi” oleh kecenderungan yang mengakar pada masyarakat liberal (Ronald Beiner, 1995). Komunitarianisme menekankan peranan komunitas dalam mendefinisikan dan membentuk individu. Kaum komunitarian percaya bahwa nilai komunitas tidak cukup diakui dalam teori-teori liberal tentang keadilan.

Kemunculan teori ini berlandaskan pandangan bahwa identitas dan karakter pribadi tidak mungkin terbentuk tanpa dukungan lingkungan masyarakat.

Berbeda dengan teori kewarganegaraan liberal dimana masyarakat terbentuk dari pilihan-pilihan bebas individu, teori ini berpendapat justru masyarakatlah yang menentukan dan membentuk individu baik karakternya, nilai dan keyakinan-keyakinannya (Winarno, 2009: 46).

Teori komunitarian dapat disimpulkan bahwa individu terbentuk atas dukungan dari lingkungan masyarakat. Berdasarkan penjelasan teori tersebut, berkaitan dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti karena komunitas Jaga Sesama memiliki peran untuk membentuk dan memperkuat sikap individu melalui beberapa kegiatan komunitas.

4. Tinjauan mengenai Sikap

Secord dan Backmand menjelaskan “sikap adalah keteraturan tertentu dalam hal perasaan (afeksi), pemikiran (kognisi) dan predisposisi (konasi) seseorang terhadap suatu aspek di lingkungan sekitarnya” (Azwar, 1995: 5).

Menurut L. L Thurstone dalam Abu Ahmadi (1999: 163) menyatakan “sikap sebagai tindakan kecenderungan yang bersifat positif atau negatif yang

(12)

berhubungan dengan obyek psikologi. Obyek psikologi meliputi simbol, kata- kata, slogan, orang, lembaga, ide, dan sebagainya”. Kemudian Mueller menjabarkan sikap menjadi empat hal, yaitu 1) pengaruh atau penolakan; 2) penilaian; 3) suka atau tidak suka; 4) kepositifan atau kenegatifan terhadap suatu obyek psikologis (Mueller, 1986). Sejalan dengan paparan di atas, Walgito (2003: 107) mengungkapkan bahwa,“dengan mengetahui sikap seseorang maka akan mendapatkan gambaran kemungkinan perilaku yang timbul dari orang yang bersangkutan. Keadaan ini menggambarkan hubungan sikap dan perilaku”.

Lebih lanjut Walgito menjabarkan ciri-ciri sikap antara lain yaitu 1) sikap tidak dibawa sejak lahir, 2) selalu berhubungan dengan objek sikap, oleh karena itu sikap selalu terbentuk atau dipelajari dalam hubungannya dengan objek-objek tertentu, 3) sikap tertuju pada satu objek saja, tetapi juga dapat tertuju pada sekumpulan objek-objek, 4) sikap dapat berlangsung lama atau sebentar, 5) sikap mengandung faktor perasaan dan motivasi (Walgito, 2003:

131-133).

Sutarjo Adi (2014 : 68) mendefinisikan sikap menurut para ahli yaitu:

1) Chaplin mendefinisikan sikap sebagai tingkah laku terhadap obyek, lembaga, persoalan yang cenderung relatif stabil dan berlangsung secara terus-menerus.

2) Fishbein, menurutnya sikap adalah predisposisi emosional untuk merespons segala konsisten terhadap suatu objek.

3) Horocks, sikap yaitu variabel laten yang mendasari, mengarahkan dan memengaruhi perilaku.

4) Trow, sikap sebagai kesiapan mental atau emosional pada jenis tindakan dalam situasi yang tepat.

5) Gable, sikap merupakan kesiapan mental atau saraf yang tersusun melalui pengalaman dan memberikan pengaruh langsung pada respons individu terhadap semua objek.

Jadi kesimpulannya, sikap adalah perilaku atau tindakan yang bersifat positif ataupun negatif yang timbul dari orang yang bersangkutan.

(13)

5. Tinjauan mengenai Sikap Religius a. Pengertian Religius

Religius disebut sebagai sikap dan perilaku yang patuh dalam menjalankan ajaran agama sesuai yang dianutnya, bertoleransi dan hidup rukun terhadap penganut agama lain (Kemendiknas, 2010: 27). Religius ialah sikap dan perilaku yang patuh melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain (Fadlilah dan Lilif, 2013: 190).

Religius atau yang sering disebut agama menurut Vuruddin (2003: 126) merupakan sistem kepercayaan yang tidak stagnan dan berkembang sesuai dengan tingkat kognisi seseorang. Asraf telah menjelaskan “agama sebagai sikap individu terhadap agama secara umum, tidak hanya aspek agama tetapi juga intensitas individu untuk menjadi religius. Dengan demikian, agama termasuk kondisi seseorang untuk berpikir, berperilaku dan bertindak sesuai dengan ajaran agamanya” (Ima Amalia, dkk, 2016).

Keyes dan Reitzes (2007) mengatakan bahwa keterlibatan agama dalam kehidupan untuk memfasilitasi kesejahteraan dengan meningkatkan hubungan sosial dan hubungan individu.

Jadi dapat ditarik kesimpulan religus merupakan sikap dan perilaku patuh dalam melaksanakan ajaran agama.

b. Aspek Religius

Glok dan Stark dalam Lies Arifah (2009: 12) membagi aspek religius dalam lima dimensi sebagai berikut:

1) Religious belief (aspek keyakinan), yaitu adanya keyakinan terhadap Tuhan dan semua yang berhubungan dengan dunia gaib serta menerima hal dogmatik dalam ajaran agamanya.

2) Religious practice (aspek peribadatan), yaitu aspek yang berkaitan tingkat keterikatan dimana perilaku itu telah ditetapkan oleh agama seperti tata cara menjalankan ibadah dan aturan agama.

3) Religious felling (aspek penghayatan), yaitu gambaran bentuk perasaan yang dirasakan dalam beragama atau seberapa jauh seseorang dapat menghayati pengalaman dalam ritual agama yang dilakukannya misalnya kekhusyukan ketika melakukan sholat.

4) Religious knowledge (aspek pengetahuan), yaitu aspek yang berkaitan dengan pemahaman dan pengetahuan seseorang terhadap

(14)

ajaran-ajaran agamanya untuk menambahkan pengetahuan tentang agama yang dianutnya.

5) Religious effect (aspek pengamalan), yaitu penerapan tentang apa yang telah diketahuinya dari ajaran-ajaran agama yang dianutnya kemudian diaplikasikan melalui sikap dan perilaku dalam kehidupan sehari-hari.

Maka kesimpulannya, aspek religius terdiri dari aspek keyakinan yaitu yakin terhadap Tuhan YME., aspek kepribadian berkaitan dengan kesesuaian perilaku terhadap aturan agama, aspek penghayatan berkaitan dengan pengalaman batin dalam ritual agama yang dilakukan, aspek pengetahuan berkaitan dengan pemahaman dan pengetahuan terhadap ajaran agama, aspek pengalaman berhubungan dengan penerapan mengenai hal yang telah diketahui dari ajaran agamanya.

c. Indikator Sikap Religius

Muhammad Alim (2006: 12) menyebutkan bahwa manusia religius yaitu 1) berkomitmen terhadap perintah dan larangan agama, 2) memiliki semangat dalam mengkaji ajaran agama, 3) aktif dalam kegiatan agama, 4) menghargai simbol-simbol keagamaan, 5) akrab dengan kitab suci, 6) pendekatan agama digunakan untuk menentukan pilihan, dan 7) ajaran agama sebagai sumber pengembangan ide.

Lain halnya pendapat dari Hendricks dan Ludeman dalam Sahlan (2009: 67-68), terdapat sikap religius yang tampak dalam diri individu dalam menjalankan tugasnya, yaitu:

1) Kejujuran

Kejujuran merupakan sifat yang tulus hati dan lurus hati. Kejujuran merupakan hal penting yang harus dimiliki oleh individu agar hidupnya tentram dan damai.

2) Keadilan

Merupakan sifat atau perbuatan yang seimbang atau tidak berat sebelah, tidak sewenang-wenang dan berpegang pada kebenaran.

Seseorang yang religius adalah yang mampu bersikap adil pada siapapun bahkan disaat-saat yang mendesak.

(15)

3) Bermanfaat bagi Orang Lain

Artinya dapat memberikan keuntungan bagi orang lain karena manusia sebagai makhluk sosial sehingga membutuhkan pertolongan atau bantuan orang lain. Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain.

4) Rendah Hati

Yaitu bersikap tidak sombong, mau mendengarkan orang lain, serta tidak memaksakan kehendaknya.

5) Bekerja Efisien

Sikap di mana mampu untuk menjalankan tugas dengan tepat, cermat, berguna, tidak membuang waktu, tenaga serta biaya.

Individu harus mampu fokus atau memusatkan perhatian pada suatu pekerjaan saat itu dan juga selanjutnya.

6) Visi ke Depan

Kemampuan individu dalam memiliki rencana untuk mewujudkan cita-cita serta memiliki cita-cita yang hendak dicapai juga bersikap realistis masa kini.

7) Disiplin tinggi

Yaitu mampu melaksanakan sesuatu tepat waktu dan taat aturan.

8) Keseimbangan

Yaitu sikap yang sebanding dalam hal pekerjaan, komunitas dan spiritualitas.

Roughen (2013) menyatakan bahwa sikap religius terkait dengan kepercayaan terhadap Tuhan, komitmen dalam beragama, memiliki perasaan terhadap kitab suci, serta sadar dan percaya Tuhan akan memberi hukuman pada orang-orang yang melanggarnya.

Kesimpulannya, beberapa indikator untuk mencerminkan sikap religius yaitu berkomitmen terhadap perintah dan larangan agama, semangat mengkaji ajaran agama, aktif dalam kegiatan agama, jujur, bersikap adil, rendah hati, mampu bekerja efisien, memiliki visi

(16)

mewujudkan cita-cita, bersikap seimbang dalam pekerjaan , komunitas maupun spiritualitas.

d. Faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Sikap Religius

Jalaludin (2010: 303-314) mengatakan sikap keagamaan terbentuk oleh dua faktor yaitu faktor internal dan eksternal.

1) Faktor Internal

a) Hereditas merupakan faktor bawaan yang diwariskan turun menurun.

b) Tingkat usia, yaitu perkembangan dipengaruhi oleh perkembangan berpikir anak maka perkembangan agama ditentukan oleh tingkat usia.

c) Kepribadian. Kepribadian yang dimiliki oleh tiap manusia berbeda-beda. Perbedaan kepribadian tersebut berpengaruh terhadap perkembangan aspek kejiwaan individu termasuk aspek jiwa keagamaan.

d) Kondisi kejiwaan yang dipengaruhi oleh fungsi tubuh yang dominan pada individu

Faktor internal yang mempengaruhi sikap religius terdiri dari faktor bawaan yang diwariskan turun temurun, adanya perkembangan dalam berpikir sebagai bentuk dari pertumbuhan usia, kepribadian yang berpengaruh terhadap perkembangan kejiwaan individu termasuk agama serta kondisi kejiwaan.

2) Faktor Eksternal

a) Lingkungan Keluarga

Keluarga dinilai sebagai faktor paling dominan sebagai dasar perkembangan jiwa keagamaan.

b) Lingkungan Institusional (Sekolah)

Pendidikan agama di lembaga pendidikan akan memberikan pengaruh bagi pembentukan jiwa keagamaan pada anak.

Sekolah melaksanakan program pendidikan tersebut seperti pendidikan agama.

(17)

c) Lingkungan Masyarakat

Di lingkungan masyarakat, anak harus mampu menyesuaikan diri (bersosialisasi) dengan nilai dan norma yang diterapkan.

Lingkungan yang memiliki tradisi keagamaan yang kuat akan berpengaruh positif bagi perkembangan jiwa keagamaan anak.

Dalam artikel yang berjudul Spiritual development in childhood and adolescence: toward a field of inquiry oleh Benson et. al. (2003) menjelaskan bahwa motivasi untuk mengikuti kegiatan keagamaan di kalangan pemuda dipengaruhi oleh teman sebaya.

Kesimpulannya, faktor ekternal dipengaruhi oleh lingkungan keluarga sebagai dasar perkembangan keagamaan. Lingkungan institusional yang mana pendidikan agama di sekolah berpengaruh terhadap pembentukan jiwa keagamaan anak. Serta lingkungan masyarakat yang tradisi keagamaannya kuat akan berpengaruh positif.

6. Tinjauan mengenai Sikap Toleransi a. Pengertian Toleransi

Toleransi merupakan penafsiran negatif dengan membiarkan dan tidak menyakiti orang lain serta penafsiran positif yaitu membutuhkan bantuan dan dukungan orang lain atau kelompok lain (Nur Achmad, 2001: 13). Menurut Ngainun Naim (2010: 77), toleransi yaitu suatu keyakinan bahwa keanekaragaman agama terbentuk disebabkan adanya sejarah baik meliputi ruang, waktu, prasangka, keinginan serta kepentingan yang berbeda antar agama. Pada perspektif sosio-politik menurut Marjani (dalam Virgiana, 2017: 25), toleransi memiliki kepercayaan yang berbeda dan menerima kenyataan karena mengakui kebebasan hak setiap orang dalam pikiran mereka. Lain halnya Azhar Basyir (2013: 23), toleransi beragama menurut Islam memberikan penegasan bahwa Islam adalah agama yang benar di hadirat Allah namun Islam mewajibkan untuk menghormati terhadap keyakinan lain dan baik

(18)

dalam berbuat serta bersikap adil. Sedangkan menurut Nurcholis (1995:

91) menyatakan “logika toleransi dan kerukunan ialah adanya sikap saling menghargai antar umat beragama, yang pada urutannya mengandung logika titik temu, meskipun terbatas hanya pada hal-hal prinsipil”.

Kesimpulannya, toleransi merupakan suatu sikap yang mana kita dapat menerima persamaan ataupun perbedaan yang dimiliki oleh orang lain.

b. Bentuk Toleransi

Ali Anwar Yusuf (2002) membagi bentuk toleransi menjadi dua, yaitu:

1) Toleransi Agama

Bentuk ini menyangkut keyakinan atau akidah. Quraisy Shihab menyatakan ada tiga aspek keagamaan yang perlu disadari guna menghindari terjadinya intoleransi. Konsep keragaman cara ibadah (tanawwu’ al ibadah). Keragaman cara ibadah merupakan hasil interpretasi umat terhadap tata cara ibadah Nabi yang diperoleh dari hadis dan riwayat nabi. Perbedaan cara beribadah tidak harus menjadi penyebab perpecahan umat, maka diperlukan adanya toleransi dari berbagai pihak yang berbeda.

Toleransi beragama bukan berarti dapat bebas menganut agama dan berpindah atau mengikuti ibadah agama lain sesuka hati tetapi harus dipahami sebagai pengakuan terhadap agama-agama lain selain agama kita entah dari sistem ataupun tata cara peribadatannya.

2) Toleransi Sosial

Dalam ajaran Islam, Allah SWT tidak melarang umat Islam untuk hidup bermasyarakat dengan yang tidak seiman dan seagama.

Toleransi sosial dalam masyarakat yang beraneka ragam, baik ras, tradisi, keyakinan/agama, ajaran islam menegakkan kedamaian hidup bersama dan melakukan kerjasama dalam batas-batas tertentu yang dilakukan tanpa mengorbankan akidah dan ibadah yang telah diatur dan ditentukan secara rinci dan jelas dalam ajaran Islam.

(19)

Dari pendapat Yusuf (2002) dapat disimpulkan bahwa toleransi agama artinya memberikan kebebasan kepada orang lain untuk menganut agama tanpa kita harus mengikuti ibadah orang lain. Sedangkan toleransi sosial dapat dilakukan dengan cara mau menerima keanekaragaman ras, agama, tradisi dan menjaga kedamaian tanpa mengorbankan agama yang dianut.

c. Unsur-Unsur Toleransi

Umar Hasyim (1997: 24) menjelaskan unsur-unsur toleransi yaitu

1) Mengakui hak setiap orang, yaitu dengan tidak melanggar hak orang lain agar kehidupan dalam bermasyarakat lebih tentram. Hak tersebut antara lain hak individu terhadap negara maupun antar kelompok dan antar individu seperti hak beragama, hak mengemukakan pendapat.

2) Menghormati keyakinan orang lain. Tidak memaksakan kehendak sendiri terhadap orang lain, berlapang dada dalam menghormati dan membiarkan pemeluk agama untuk menghormati dan melaksanakan ibadah menurut ajaran dan ketentuan agama masing-masing.

3) Setuju dalam perbedaan (Agree in Disagreement), adalah perbedaan tidak harus ada permusuhan, pertentangan. Setiap pemeluk agama jika mempelajari dan memahami kebenaran agamanya pasti akan menerima perbedaan-perbedaan agama disamping persamaan yang dianut oleh orang lain.

4) Saling mengerti. Dengan adanya rasa saling mengerti akan menimbulkan sikap saling menghormati antar sesama manusia.

Jadi kesimpulannya, toleransi mempunyai unsur-unsur yang meliputi mengakui hak setiap orang, menghormati keyakinan orang lain, mau menerima perbedaan serta memiliki rasa saling mengerti.

d. Prinsip Toleransi

Suatu negara yang berdasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa harus selalu menjunjung tinggi penghormatan terhadap nilai-nilai agama.

Negara wajib mewujudkan keharmonisan hidup dalam kehidupan

(20)

bermasyarakat dan bernegara, menjamin kerukunan antar agama dan antar pemeluk agama. Prinsip-prinsip berikut diadakan agar toleransi dapar terwujud, prinsip tersebut diantaranya yaitu:

1) Prinsip kebebasan beragama (religius freedom). Meliputi prinsip kebebasan perorangan dan kebebasan sosial (individual freedom and sosial freedom)

2) Prinsip acceptance, yaitu mau menerima orang lain seperti adanya.

Tidak menurut proyeksi atau bayangan yang dibuat sendiri.

3) Berfikir positif dan percaya (positive thinking and trustworty).

Berpikir positif adalah sikap yang sangat perlu dilakukan terus menerus (Al Munawar, 2005).

Selain itu, sesuai pasal 29 ayat 2 UUD RI 1945 yang berbunyi “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”, yang artinya:

1) Tidak memaksakan agama yang kita yakini kepada orang lain yang beda agama

2) Bersikap toleran terhadap keyakinan dan ibadah yang dilaksanakan oleh keyakinan dan agama yang berbeda

3) Ajaran agama dilaksanakan dengan baik

4) Tidak memandang rendah dan tidak menyalahkan agama yang berbeda dan dianut oleh orang lain (http://kamuspkn.upi.edu/materi- 152-menunjukan-sikap-toleran-terhadap-keberagaman-dalam-

bingkai-bhineka-tunggal-ika.html)

Maka dapat disimpulkan bahwa toleransi berprinsip untuk memberikan kebebasan pada perorangan dan juga kebebasan sosial, mau menerima orang lain, selalu berpikir positif, tidak memaksakan agama, melaksanakan ajaran agama dengan baik, dan saling menghargai agama yang dianut orang lain.

(21)

7. Tinjauan mengenai Nilai Ketuhanan Yang Maha Esa

Pancasila merupakan istilah yang diperkenalkan oleh Ir. Soekarno saat sidang BPUPKI I yang kemudian dijadikan landasan berdirinya negara Indonesia. Pancasila berisi lima sila yang merupakan ideologi bangsa Indonesia. Isi Pancasila yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945 tentang sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa (Bahar dan Hudawatie dalam Winarno, 2011) menjelaskan sebagai berikut:

“Prinsip ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan Tuhannya sendiri.

Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa Al Masih, yang Islam bertuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad SAW , orang Budha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita semuanya ber-Tuhan. Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada “egoisme-agama”. Dan hendaknya Negara Indonesia satu Negara yang bertuhan! Marilah kita amalkan, jalankan agama, baik Islam, maupun Kristen, dengan cara yang berkeadaban. Apakah cara yang berkeadaban itu? Ialah hormat-menghormati satu sama lain”.

Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila harus diaplikasikan dalam kegiatan sehari-hari termasuk sila pertama seperti pendapat Soejadi bahwa Sila Ketuhanan Yang Maha Esa mengandung nilai religius yaitu:

a. Kepercayaan terhadap adanya Tuhan Yang Maha Esa yang mempunyai sifat sempurna dan suci seperti Maha Kuasa, Maha Pengasih, Maha Adil, Maha Bijaksana, dan sebagainya

b. Ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, yakni menjalankan semua perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Penerapan sila ini seperti menyayangi binatang dan tumbuhan, menjaga kebersihan, menjaga serta merawat lingkungan (Darmadi, 2017: 122)

(22)

Menurut Nurhadianto (2014) nilai Ketuhanan Yang Maha Esa terdapat nilai-nilai berupa:

a. Bangsa Indonesia menyatakan kepercayaan dan ketakwaannya terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

b. Manusia Indonesia percaya dan takwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa sesuai agama dan kepercayaan masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.

c. Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama antara pemeluk agama dan penganut kepercayaan yang berbeda.

d. Membina kerukunan hidup diantara sesama umat beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

e. Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah masalah yang menyangkut hubungan pribadi manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa

f. Mengembangkan sikap saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing.

g. Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa kepada orang lain.

Dalam MPR No. II/MPR/1978 tentang Eka Prasetia Pancakarsa yang menjabarkan asas dalam Pancasila menjadi beberapa butir pengamalan sebagai pedoman praktis pelaksanaan Pancasila. Sila Pertama yaitu

a. Percaya dan taqwa kepada Tuhan yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab

b. Hormat menghormati dan bekerja sama antar pemeluk agama dan penganut kepercayaan yang berbeda-beda sehingga terbina kerukunan hidup.

c. Saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai agama dan kepercayaannya

d. Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan kepada orang lain Kesimpulannya, nilai Ketuhanan Yang Maha Esa mengandung arti bahwa bangsa Indonesia percaya dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berkeyakinan sesuai dengan kepercayaan atau agama masing-masing, menghormati antar pemeluk beragama, saling membina kerukunan baik sesama maupun antar umat beragama, dan tidak memaksakan agama kepada

(23)

orang lain. Dari penjelasan di atas, pada nilai Ketuhanan Yang Maha Esa tercermin dua sikap yaitu sikap religius dan toleransi.

B. Kerangka Berpikir

Kerangka berpikir adalah alur pemikiran atau penalaran seseorang yang didasarkan pada masalah penelitian yang digambarkan dengan skema secara sistematik. Atau dapat juga menjelaskan suatu variabel yang mengacu pada kajian pustaka yang dijelaskan. Berdasarkan kajian pustaka di atas, maka peneliti dapat menyusun kerangka berpikir sebagai berikut:

Seperti yang kita ketahui, komunitas merupakan suatu kelompok yang terdiri dari banyak orang yang memiliki visi misi yang sama. Adanya pemuda yang berlatar belakang kelam atau bermasalah membuat mereka kebingungan mencari wadah yang dapat menampung dan menerima mereka dalam memperoleh hak untuk memperdalam ajaran agamanya. Oleh sebab itu, komunitas Jaga Sesama sebagai kajian dari Community Civics yang merupakan salah satu cabang Ilmu Kewarganegaraan melalui kegiatan komunitas berupaya untuk membantu para pemuda agar menjadi pribadi yang lebih baik, dapat memperoleh haknya untuk mendapat ilmu agama sekaligus bersikap religius dan toleransi sehingga dapat mewujudkan nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa.

(24)

Bagan 2.1. Kerangka Berpikir Masyarakat

Muslim Non Muslim

Komunitas Jaga Sesama

Kegiatan Komunitas

Sikap Religius

Sikap Toleransi

Ketuhanan Yang Maha Esa Vocational

Civics

Ilmu

Kewarganegaraan

Community Civics Economic

Civics Sikap/Perilaku

Baik

Sikap/Perilaku Buruk Mengkaji

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan informasi bagi masyarakat khususnya wanita yang mengenakan jilbab tentang pengaruh pemakaian jilbab terhadap

Selain itu, ada beberapa keuntungan yang diperoleh ketika menggunakan permainan dalam proses pembelajaran di kelas, yaitu: memberikan kesempatan kepada siswa untuk menggunakan

Benih sengon yang telah mendapat perlakuan perendaman dengan air daun sirih mampu melindungi kulit benih sengon terhindar dari kerusakan atau mengalami perubahan

Dari hasil analisis perancangan firewall pada jaringan WLAN SMK Muhammadiyah Prambanan Sleman dengan metode sechedule task pembatasan akses game online PUBG dan

dengan perangkat lunak yang dibuat, dalam hal ini adalah sistem informasi spare parts berbasis web serta membantu mempertegas teori-teori yang ada serta memperoleh data

Penelitian bertujuan untuk menemukan teknik yang efektif dalam proses isolasi dan purifikasi DNA Capsicum frutescens cv.. Cakra Hijau melalui beberapa

Perlindungan Hukum Bagi Kedudukan Personal Guarantor Yang Telah Melepaskan Hak Istimewanya Dalam Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) Studi Kasus Putusan

Gambaran Histopatologi Insang, Usus, dan Otot pada Ikan Mujair (Oreochromis mossambicus) di Daerah Ciampea Bogor.. Skripsi Fakultas Kedokteran Hewan Institut