• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN"

Copied!
51
0
0

Teks penuh

(1)

27 BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian 1. Ekokritik dalam Novel Kekal Karya Jalu Kancana

Novel Kekal mengandung banyak kritik ekologi yang disampaikan secara tersurat dan tersirat. Penulis secara gamblang menyoroti berbagai bentuk perusakan lingkungan di beberapa daerah melalui karyanya. Hal tersebut juga didukung hasil wawancara yang dilaksanakan, Warsno selaku guru Bahasa Indonesia kelas XII yang menyatakan, ―Saya rasa novel ini sangat bagus untuk dijadikan bahan bacaan. Biasanya kan novel remaja banyak yang bertema cinta atau perjuangan, tetapi novel ini berbeda, temanya lebih ke kritik ekologi. Saya rasa ini juga relevan dengan kondisi lingkungan kita saat ini, jadi pembaca bisa sadar akan pentingnya menjaga lingkungan,‖. Peserta didik pun merasakan adanya hubungan yang nyata antara novel Kekal dengan lingkungan. Hal ini terlihat dari pertanyaan tentang adakah kritik ekologi pada novel Kekal, Tegar Taryan M. Selaku siswa kelas XII menjawab, ―Ada, yang saya ingat itu tentang Perusahaan P yang merusak Cagar Alam Kamojang,‖.

Ekokritik dalam novel Kekal karya Jalu Kancana tergolong dalam bentuk ekokritik sastra antropogenik. Sebagaimana disebutkan Endraswara (2016: 45) ekokritik sastra antropogenik adalah karya sastra yang terfokus pada karya yang menggambarkan kerusakan, kepunahan, kehancuran lingkungan akibat ulah manusia. Bukan rahasia lagi, dewasa ini kemajuan tehnologi dan modernisasi yang merambah seluruh aspek kehidupan memberi dampak bagi pola hidup dan pola pikir manusia. Manusia yang diberkati oleh daya nafsu sering melakukan tindakan yang merusak lingkungan demi mendapat keuntungan pribadi maupun kelompok. Tindakan destruktif inilah yang banyak menjadi sorotan ekokritik dalam novel Kekal. Secara garis besar, peneliti menemukan lima bentuk ekokritik dalam novel Kekal karya Jalu Kancana.

(2)

a. Penjamahan Cagar Alam

Daerah pertama dan utama yang disoroti penulis dari sudut pandang ekokritik adalah wilayah cagar alam. Penulis, dalam novel Kekal menekankan tentang keawaman dan minimnya pengetahuan masyarakat tentang cara berhubungan dengan cagar alam.

Cagar Alam Kamojang dalam novel Kekal merupakan latar yang didasarkan pada dunia nyata. Hal ini mendasari keterkaitan keadaan ekologi Cagar Alam Kamojang di dunia nyata dengan kritik ekologi yang disampaikan dalam novel Kekal ini. Cagar alam merupakan wilayah yang seharusnya tidak dimasuki oleh manusia. Tempat ini diperuntukkan hanya untuk flora dan fauna tanpa adanya gangguan atau campur tangan dari manusia. Hal ini secara jelas telah dikemukakan dalam UU No. 5 Tahun 1990 pasal 21 ayat (1) dan (2) yang bunyinya adalah sebagai berikut:

(1) Setiap orang dilarang untuk :

a. mengambil, menebang, memiliki, merusak, memusnahkan, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan tumbuhan yang dilindungi atau bagian-bagiannya dalam keadaan hidup atau mati;

b. mengeluarkan tumbuhan yang dilindungi atau bagian- bagiannya dalam keadaan hidup atau mati dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia.

(2) Setiap orang dilarang untuk :

a. menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup;

b. menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan mati;

c. mengeluarkan satwa yang dilindungi dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia;

d. memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh, atau bagian-bagian lain satwa yang dilindungi atau barang- barang yang dibuat dari bagian-bagian tersebut atau mengeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia;

e. mengambil, merusak, memusnahkan, memperniagakan, menyimpan atau memiliki telur dan atau sarang satwa yang dillindungi.

(3)

Melalui novel Kekal penulis menggambarkan bahwa pengetahuan tentang pentingnya menjaga kelestarian alam, terutama cagar alam tidak disadari oleh masyarakat luas. Banyak kegiatan penjamahan terhadap Cagar Alam Kamojang yang disoroti oleh penulis. Pertama, penulis menyoroti kegiatan para pengendara motor trail dan pendaki yang melakukan aktivitas di kawasan Cagar Alam Kamojang.

1) Pengendara Motor Trail dan Pendaki Memasuki Wilayah Cagar Alam Kamojang

Alit dan teman-temannya yang tergabung di dalam kegiatan Save Ciharus mendapati fakta bahwa banyak pengendara motor trail yang memasuki kawasan Cagar Alam Kamojang. Peneliti menemukan empat data yang menunjukkan adanya kegiatan pengendara motor trail di kawasan Cagar Alam Kamojang.

a) Rupanya di sana terdapat empat pengendara motor trail yang baru saja selesai mengaso (Kancana, 2019: 6).

b) ―Sebelumnya, kami di sini mau memohon bantuan dan kerja samanya untuk mengabari rekan-rekan pengendara motor trail lainnya, supaya tidak lagi berkegiatan di kawasan ini. Saya mohon, Kang.‖ (Kancana, 2019: 7).

c) Ah! Bising yang tak seharusnya ada di tempat seelok ini (Kancana, 2019: 7).

d) SK25 itu, Perusahaan P bersengsek itu, kelompok motor trail itu, sosialisasi itu, Ciharus, nyawaku sendiri, hingga bahkan sosok Renata bersama masa depan kami yang bernama Kelana itu, semuanya akan kupikul sepanjang perjalanan nanti (Kancana, 2019: 59).

Dari keempat data di atas, dapat dilihat ada beberapa tokoh dalam novel, yakni beberapa pengendara motor trail yang sedang beristirahat di kawasan Cagar Alam Kamojang. Secara tersirat, penulis ingin menyampaikan dampak aktivitas balapan motor trail yang mengakibatkan rusaknya struktur tanah. Hal ini menyebabkan tanah

(4)

yang menjadi jalur balapan menjadi tandus dan tidak ditumbuhi tumbuhan atau pepohonan. Suara bising dari mesin dan knalpot motor trail juga membuat hewan-hewan yang ada di Cagar Alam Kamojang menjadi terganggu. Suara bising ini dapat mengakibatkan stres terhadap hewan-hewan tertentu. Selain itu kegiatan fauna untuk mencari makan, minum, dan berburu akan terganggu karena aktivitas manusia.

2) Perluasan Pertambangan Panas Bumi oleh Perusahaan P hingga Memasuki Cagar Alam Kamojang

a) ―Kita semua tahu ada pertambangan panas bumi di luar kawasan Cagar Alam Kamojang itu. Tapi ternyata, dalam kawasan cagar alamnya pun punya potensi yang lebih besar. Terlebih di sekitar Danau Ciharus,‖ jelas Pepep. (Kancana, 2019: 16).

b) ―Direktur utama Perusahaan P sama timnya itu, enggak sengaja terekam waktu mereka survei buat lokasi pembukaan lahan pertambangan di Ciharus!‖ (Kancana, 2019: 55).

c) ―Ciharus, Ki, Ciharus. Semakin lama aku buang-buang waktu di sini, semakin cepat perkembangan si mafia tengik dari Perusahaan P itu merusak Ciharus. Ada proyek pembukaan lahan baru untuk pertambangan panas bumi yang dilegalkan SK25 di sana.‖

(Kancana, 2019: 119).

d) Perusaaan P itu berdiri sejak tahun 1928, bersamaan dengan era awal penelitian panas bumi di sana, maka wajar saja jika para penggiat Save Ciharus mengalami babak belur seperti itu (Kancana, 2019: 154).

Salah satu tokoh antagonis di dalam novel Kekal adalah Perusahaan P yang digambarkan ingin memperluas wilayah tambang panas bumi hingga memasuki wilayah Cagar Alam Kamojang. Hal ini tentu merupakan pelanggaran hukum, sebab pada UU No 5 Tahun 1990 Pasal 19 ayat (1) yang disebutkan ―setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap

(5)

keutuhan kawasan suaka alam‖. Pembukaan lahan baru untuk pertambangan panas bumi ini akan mengakibatkan perubahan yang besar terhadap kekayaan alam hayati di Cagar Alam Kamojang.

Pengeboran untuk mengakses panas bumi akan merusak struktur tanah dan batuan. Pembangunan pertambangan juga akan merusak struktur hutan alami. Perusahaan juga pasti akan melakukan penebangan pohon yang berdampak pada berkurangnya sumber makanan bagi hewan herbivora. Selain itu, dalam pengoperasian pertambangan tersebut maka manusia akan keluar masuk kawasan Cagar Alam Kamojang setiap hari. Hal ini akan menyebabkan ketidaknyamanan terhadap hewan-hewan di sekitar pertambangan dan juga memungkinkan adanya stress pada fauna di sekitar. Dampaknya, aktivitas perburuan oleh hewan herbivora akan terganggu, bahkan hewan-hewan tertentu, seperti Owa Jawa tidak dapat kawin karena terganggu oleh aktivitas manusia dan pertambangan.

Melalui konflik ini penulis berusaha memberikan kritik terhadap perusahaan pertambangan, khususnya di Indonesia yang bersikap semena-mena terhadap flora dan fauna. Konflik ini menunjukkan dengan jelas betapa kebutuhan manusia akan materi, terutama uang selalu diletakkan pada kepentingan paling atas.

Keserakahan manusia terhadap uang membuatnya lupa akan pentingnya menjaga keseimbangan alam dan menaati peraturan.

3) Pembiaran BBKSDA terhadap Aktivitas Manusia di Cagar Alam Kamojang

a) Perlu kututurkan segala perihal Save Ciharus yang kuperjuangkan bersama Pepep dan kawan-kawan yang lain. Bagaimana kami selama sepuluh hari melakukan kampanye di dalam cagar alam.

Menyebarkan selembaran kepada siapa saja yang masuk ke sana karena badan pemerintah yang bernama BBKSDA itu melakukan pembiaran (Kancana, 2019: 24).

(6)

b) ―Bukannya ini fatal?! BBKSDA sudah membiarkan pelanggaran UU No. 5 Tahun 1990 kalau begitu.‖ (Kancana, 2019: 55).

Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam adalah badan yang bertugas melakukakan konservasi SDA yang ada. Mengkonservasi pada dasarnya menjaga, namun pada kenyataannya lembaga pemerintah tersebut malah melakukan pembiaran terhadap aktivitas manusia di dalam kawasan Cagar Alam Kamojang yang berdampak pada kerusakan kekayaan alam hayati yang ada. Melalui masalah yang dikisahkan ini, penulis ingin mengkritik masalah kelalaian lembaga pemerintah dalam melaksanakan tanggung jawabnya dalam mengkonservasi sumber daya alam. Dampak kelalaian ini sangat besar, masyarakat dan oknum-oknum tertentu akan tambah tidak peduli terhadap kelestarian sumber daya alam. Mereka akan semakin leluasa dalam menjamah cagar alam karena BBKSDA tidak memberikan peringatan atau sanksi terhadap pelanggaran yang dilakukan.

4) Media Tidak Peduli Akan Kerusakan Ciharus

Selain BBKSDA, media cetak sebagai media penyebaran informasi kepada masyarakat luas juga tidak peduli terhadap pentingnya konservasi Cagar Alam Kamojang. Hal ini dapat dilihat dari kutipan penulis yang berbunyi ―Lihat koran-koran itu. Sudah berapa kali kita minta bantu sama mereka. Hasilnya? Mereka enggak peduli sama Ciharus. Mereka malah turun ke jalan demonstrasi memperjuangkan hutan Kota Bandung bekas bangunan Palaguna itu.

Mereka peduli sama tata kota, bukan tata hutan! Mereka enggak peduli sama Ciharus. Sama sekali enggak!‖ (Kancana, 2019: 45). Dari kutipan tersebut jelas, media cetak lokal sama sekali tidak tertarik untuk mengangkat masalah konservasi cagar alam.

Pada bagian ini, penulis menunjukkan fakta dunia media massa yang lebih banyak memberitakan hal-hal yang dapat menarik perhatian masyarakat luas. Penulis menyoroti betapa isu mengenai konservasi cagar alam tidak mendapatkan perhatian yang cukup dari media massa.

(7)

Hal ini pun diperkuat dengan berbagai media massa yang banyak memberitakan dan menginformasikan hal-hal fenomenal namun mengesampingkan hal-hal yang fundamental.

5) Penurunan Status Kawasan Bukit Barisan untuk Kepentingan Pertambangan

Penelitian itu direncanakan Pak Siam jauh-jauh hari setelah pemerintah menurunkan status kawasan Bukit Barisan untuk dijadikan lahan garapan pertambangan. Saat itu, Pak Siam benar-benar marah dan sakit hati terhadap penurunan status itu (Kancana, 2019: 145).

Kutipan tersebut menunjukkan tokoh Pak Siam kecewa atas penurunan status kawasan Bukit Barisan. Kritik ekologi yang disoroti penulis dari kutipan ini adalah adanya kecurangan terhadap alam oleh oknum- oknum tertentu untuk kepentingan pribadi. Pasalnya banyak kegiatan industri, pertambangan, atau kegiatan-kegiatan penggerak ekonomi yang mengesampingkan kelestarian alam. Penurunan status kawasan ini tentu berdampak pada kegiatan konservasi sumber daya alam hayati.

Kawasan yang seharusnya tidak diakses dan dijamah manusia malah dijadikan sebagai taman wisata, yang artinya manusia dapat dengan mudah mengakses Kawasan Bukit Barisan. Terlebih lagi aktivitas pertambangan juga akan memberi berbagai dampak buruk terhadap ekologi Kawasan Bukit Barisan.

6) Kolusi untuk Merusak Cagar Alam demi Kepentingan Ekonomi

Menurut KBBI (1988: 527) kolusi adalah persekongkolan rahasia untuk maksud atau tujuan tidak terpuji. Dalam novel Kekal, penulis berusaha menyampaikan kritik terhadap kolusi untuk menggagalkan kegiatan konservasi kekayaan alam hayati.

a) Penerbitan SK25 Tanpa Penyebarluasan Kepada Masyarakat (1) Surat tersebut menjelaskan bahwa kawasan Cagar Alam

Kamojang dan Papandayan diturunkan fungsinya menjadi taman wisata alam. Dan telah diresmikan semenjak satu tahun

(8)

yang lalu tanpa pemberitahuan kepada siapa pun, termasuk kepada para pegiat alam bebas (Kancana, 2019: 56).

(2) Maka dengan caranya yang licik, mereka mempermainkan hukum dan kaum akademisi supaya memiliki akses guna mengekploitasi cagar alam. Dengan SK25 itu, mereka akan kebal oleh apa pun. Semudah itu hukum dipermainkan!

(Kancana, 2019: 61).

(3) Kini perusahaan tua itu merambah Lubuk Kilangan atas bantuan izin dari pemerintah melalui penurunan kawasan.

Persis seperti kasus SK25 ini, di mana aku dan kawan-kawan di Bandung mesti melawan perusahaan pertambangan di Ciharus.

(Kancana, 2019: 154)

Berdasarkan penggambaran yang disampaikan oleh penulis, SK25/MENLHK/SETJEN/PLA2/1/2015 adalah SK yang diterbitkan oleh Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

SK tersebut menjelaskan bahwa kawasan Cagar Alam Kamojang dan Papandayan diturunkan fungsinya menjadi taman wisata alam.

Selain itu, penulis juga menggambarkan bahwa SK tersebut merupakan pesanan Perusahaan P agar dapat melakukan penambangan panas bumi yang terdapat di dekat Danau Ciharus.

Melalui masalah ini, penulis memberikan kritik terhadap pemerintah yang bersekongkol dengan perusahaan tertentu untuk mengeruk kekayaan alam hayati yang seharusnya dijaga. Meskipun tidak dijelaskan keuntungan atau imbalan apa yang diperoleh oleh Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, namun jelas adanya persengkongkolan atau kolusi dalam kegiatan ini. Terlebih lagi, penulis menekankan SK25 tersebut diterbitkan tanpa adanya penyebarluasan terhadap khalayak ramai. Hal ini menandakan ada hal yang ingin disembunyikan, karena sudah pasti jika penerbitan SK25 ini diketahui oleh para pegiat alam, akan ada penentangan dan penuntutan untuk mencabut SK tersebut, sebab jelas SK25 ini

(9)

merugikan keberlangsungan kelestarian sumber daya alam hayati di kawasan Cagar Alam Kamojang dan Papandayan.

b) Rekayasa Hasil Penelitian Oleh Oknum-Oknum Tertentu

(1) ―Lantas, riset mereka enggak masuk akal.‖ (Kancana, 2019:

57)

(2) ―Di laporan penelitian mereka, dijelaskan seolah-olah mereka pergi ke lapangan dan mengumpulkan data-data paling mutakhir. Tapi mereka menggunakan data-data usang. Dan mereka hanya melakukan penelitian itu dalam waktu lima hari, dengan cagar alam yang sebegitu luasnya, ....‖ (Kancana, 2019:

57)

(3) ―Hasilnya, tentu saja, denggak sedikit pun ada keberpihakan mereka terhadap flora dan fauna. Mereka berpihak pada ekonomi negara, bukan pada ekologi yang jadi kebutuhan paling mendasar buat kita.‖ (Kancana, 2019: 57)

Bukan hanya penerbitan SK25 yang dilakukan secara diam- diam, teryata SK tersebut diterbitkan atas dasar hasil riset yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Penulis menggambarkan tokoh antagonis Perusahaan P melakukan kolusi dengan oknum-oknum dari lembaga riset dan sebuah universitas ternama. Kolusi ini menghasilkan data riset yang menguntungkan perusahaan P agar dilakukan penurunan status kawasan terhadap Cagar Alam Kamojang dan Papandayan. Riset atau penelitian dilakukan hanya selama lima hari dan data yang dihasilkan tidak benar-benar memberikan gambaran terhadap kekayaan alam hayati yang ada di Cagar Alam Kamojang dan Papandayan. Dari hasil riset yang direkayasa ini, Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memutuskan untuk menurunkan status kawasan kedua cagar alam tersebut. Dengan demikian, rencana Perusahaan P untuk melakukan perluasan wilayah pertambangan panas bumi ke

(10)

kawasan Danau Ciharus tidak akan melanggar hukum dan dapat terlaksana tanpa adanya protes dari para pegiat alam.

c) Oknum Kepolisian Membantu Perusahaan C untuk Mengeruk Kekayaan Alam di Sumatera

Bahkan menurut Triyogo, terdapat oknum-oknum dari pihak kepolisian dan pemerintah yang terlibat. Tak heran kiranya jika ponsel-ponsel yang mereka gunakan rentan disadap, dan gerak-gerik mereka pun dapat terpantai, sehingga teror serta ancaman sering berdatangan menghantui (Kancana, 2019: 187).

Melalui kutipan tersebut, penulis hendak menyampaikan kritik kepada kecurangan dan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh oknum-oknum polisi. Kongkalikong antara Perusahaan C dengan oknum-oknum tersebut bertujuan untuk menggagalkan usaha konservasi yang dilakukan oleh para pegiat alam dalam novel Kekal. Oknum-oknum tersebut bahkan melakukan pelanggaran privasi dengan melakukan penyelidikan latar belakang para pegiat alam bahkan melakukan penyadapan terhadap telepon genggam yang digunakan.

b. Perusakan Hutan dan Pembukaan Lahan

1) Penebangan Hutan untuk Pembukaan Pertambangan Mineral

Menurut Bapak, dulu, Kakek menyaksikan betul bagaimana tanah negeri ini dikeruk ketika dirinya bertugas sebagai anggota militer di pedalaman rimba pada tahun 1967. Banyak investor asing yang turut campur tangan dalam pengerukan mineral di sana. Belantara yang lebat; tabungan oksigen umat manusia, diratakan demi perusahaan pertambangan asing. Seluas 10.000 Ha pohon-pohon ditumbangkan, dan tempat tinggal hewan-hewan digusur seolah mereka menjadi pengganggu roda ekonomi negara. Mengerikan! (Kancana, 2019: 33- 34).

Data di atas menunjukkan penulis ingin menyampaikan bahwa perusakan alam, terutama hutan sudah terjadi dalam kurun waktu yang lama. Penebangan hutan seluas 10.000 Ha dalam novel Kekal ini menunjukkan kepentingan manusia untuk mengeruk kekayaan alam memberikan dampak yang sangat besar. Penebangan ini menyebabkan

(11)

bekurangnya pohon yang menjadi sumber oksigen. Selain itu, pastilah hewan-hewan yang semula tinggal di kawasan pepohonan tersebut telah kehilangan habitatnya. Selain penebangan hutan, perusahaan asing juga melakukan pengerukan mineral, yang artinya terjadi kerusakan struktur tanah. Hal ini pastilah menyebabkan berkurangnya sumber air di kawasan tersebut.

2) Pembukaan Lahan untuk Perkebunan Sawit, Kopi, dan Karet

Peneliti menemukan 12 data yang menunjukkan adanya pembukaan hutan untuk perkebunan yang ada di novel Kekal. Berikut adalah kutipan data yang dimaksud.

a) ―Iya. Penelitian Kakek yang jadi alasan supaya enggak ada lagi pembukaan lahan untuk sawit itu, tentu saja dibantu sama orang- orang lokal di sana.‖ (Kancana, 2019: 35).

b) Dari generasi ke generasi, mereka berjuang menyuarakan tuntutanya kepada pemerintah untuk mengadakan cagar alam—

yang benar-benar cagar alam—di provinsi mereka, sebelum hutan- hutan di beberapa wilayahnya menjadi kawasan industri lahan perkebunan oleh perusahaan asing. Anang menyebutnya seba gai Perusahaan C (Kancana, 2019: 70).

c) Bahkan kebakaran tersebut merugikan kebun sawit milik warga hingga miliaran rupiah (Kancana, 2019: 71)

d) ―Sekuat apa pun kelompok semacam kalian, pembukaan lahan untuk proyek bosku pasti terlaksana ....‖ (Kancana, 2019: 78-79).

e) Dari Lubuklinggau ke arah utara, pemandangan disominasi perkebunan dan hutan. Sawit, karet, kopi, rawa, begitu terus.

Sesekali terdapat perdesaan, atau rumah makan yang menyediakan tempat peristirahatan bagi sopir truk (Kancana, 2019: 94).

f) ―Persoalannya banyak. Hasil Status Lingkungan Hidup Daerah Jambi di tahun 2014 saja, menghitung pengurangan hutan di Jambi sampai 75% dari sebelumnya.‖ (Kancana, 2019: 105).

(12)

g) ―Lihat perkebunan sawit di hutan-hutan kami, pertambangan di kawasan Lahat atau Sumatra Barat, perdagangan karbon di Jambi dan Riau, atau produsen kertas yang berebut pohon akasia dengan gajah-gajah di lingkungan taman nasional, dan masih banyak lagi eksploitasi persahaan-perusahaan asing dan lokal di sini.‖

(Kancana, 2019: 119-120).

h) Sedang di Sumatra Selatan, aku mendapati pula kelompok orang yang menuntut pengadaan cagar alam, supaya perusahaan- perusahaan lokal dan asing tidak terus menggerogoti rimba-rimba indahnya (Kancana, 2019: 150).

i) Perlakuan perusahaan asing bernama C bersama antek-anteknya yang menjadi akar permasalahan para pegiat alam di pulau ini (Kancana, 2019: 170)

j) ―Penebangan hutan yang berdampak buruk terhadap ekosistem di sana, yang bahkan mengantongi izin dari pemerintah dikelola olah anak perusahaan dari Perusahaan C.‖ (Kancana, 2019: 183)

k) ―Untuk kasus Deliana, dari informasi yang kami kumpulkan, perusahaan C rupanya memiliki proyek pembukaan lahan sawit di kawasan Rawa Singkil.‖ (Kancana, 2019: 183)

Indonesia merupakan salah satu negara tropis yang kaya akan hutan beserta berbagai macam komoditas alam lainnya. Hutan-hutan yang dimiliki sebagian besar berfungsi untuk menyediakan oksigen, bahkan hutan Indonesia mendapat julukan julukan sebagai paru-paru dunia. Namun, dewasa ini hutan alami atau hutan liar sudah banyak dijamah oleh manusia. Penjamahan yang paling umum dilakukan adalah pembukaan hutan untuk menjadi lahan perkebunan. Sejak zaman penjajahan, hutan-hutan di Indonesia mulai mengalami penurunan yang drastis. Dari fakta yang ada, penulis novel Kekal juga menyoroti masalah tersebut dan mengemasnya sedemikian rupa sehingga pembaca dapat menyadari fenomena pembukaan hutan ini sudah sangat marak terjadi.

(13)

Dalam novel Kekal penulis memberikan kritik melalui penggambaran kegiatan Perusahaan P, Perusahaan C, dan masyarakat yang kerap melakukan pembukaan hutan. Umumnya, hutan yang telah dibabat akan difungsikan menjadi perkebunan sawit, kopi, dan karet.

Sekali lagi, penulis memberikan gambaran yang nyata bahwa kebutuhan ekonomi selalu diutamakan dan berakibat pada dilupakannya hal-hal penting lain, terutama mengenai pentingnya menjaga keseimbangan ekologi dan kelestariannya.

3) Pembakaran Hutan

Pada novel Kekal penulis memberikan kritik terhadap Perusahaan C yang melakukan pembakaran hutan di Riau dengan sengaja. Kegiatan ini tentu saja melanggar hukum dan pelakunya harus dikenakan sanksi hukum. Namun dalam novel Kekal jelas sekali pihak dari perusahaan C mengkambinghitamkan tokoh Pak Murat dan anak- anak didikannya atas kejadian tersebut. Dijelaskan dalam novel, kegiatan konservasi alam yang dilakukan Pak Murat bersama para anak didiknya menghalangi proyek-proyek Perusahaan C. Berikut ini adalah data yang peneliti temukan pada novel Kekal berkenaan dengan masalah pembakaran hutan.

a) ―... Makannya segala hal soal kebakaran hutan di Riau itu kami selidiki sampai ke akarnya. Itu pun dibantu kelompok-kelompok lain.‖ (Kancana, 2019: 72).

b) Tampak di sana kegiatan beberapa orang yang tengah menyulut api di tengah hutan (Kancana, 2019: 78).

c) Selang beberapa menit, sebagian dari mereka melakukakn pembakaran pada tumpukan daun kering di dekat belukar.

Sebagian lagi mengguyurkan suatu cairan ke batang-batang pepohonan. Mungkin itu bensin atau cairan-cairan yang mudah terbakar (Kancana, 2019: 79).

d) Seketika, asap membumbung tinggi. Jilatan api begitu cepat merambat pepohonan yang sebegitu tingginya. Burung-burung

(14)

tampak berterbangan dari lebatnya pepohonan. Bajing-bajing tampak berlarian dari satu pohon ke pohon lain. Ini kali pertama aku Menyaksikan kerusakan hutan yang disertai tawa manusia (Kancana, 2019: 79-80).

e) ―Termasuk kejadian pembakaran hutan yang dijadikan fitnah kepada mendiang Pak Murat di Riau‖ (Kancana, 2019: 170).

f) ―Pertama, kasus tuduhan kebakaran hutan di Riau, yang melibatkan mendiang Pak Murat, selaku guruku, juga rupanya melibatkan Ridho dari Pekanbaru. Bukan begitu, Ridho?‖ (Kancana, 2019:

182).

Pembakaran hutan di Riau oleh Perusahaan C ini tentu memberikan dampak buruk yang sangat besar terhadap berbagai macam sektor ekologi. Pertama, fauna yang tinggal di hutan tersebut akan kehilangan habitat dan sumber makanannya. Kedua, sumber daya alam yang seharusnya bisa dimanfaatkan menjadi terbuang sia-sia.

Ketiga, berkurangnya luas hutan Indonesia yang seharusnya mampu menyediakan oksigen dan menyerap karbon. Keempat, terjadi pencemaran udara berupa asap dan pelepasan karbon dioksida dalam jumlah banyak ke atmosfer bumi. Selain itu, butuh waktu yang lama dan tenaga yang banyak untuk merestorasi daerah hutan yang terbakar agar kembali menjadi hutan alami.

4) Manusia Menjadikan Hutan sebagai Akomodasi Petualangan

a) ―... Hutan, gunung, dan laut hanya jadi akomodasi petualangan saja bagi mereka. Bahkan aku berani bertaruh, kebanyakan orang-orang tidak tahu adanya kawasan-kawasan yang diperuntukkan buat pelestarian. Setahu mereka barangkali hutan rimba itu tempat bagi para petualang untuk dijamah. Kan, begitu?‖ (Kancana, 2019: 166).

b) Catatan Pak Siam menunjukkan hal tersebut, penurunan jumlah hutan secara signifikan terjadi di Sumatra dan Kalimantan. Paru- paru dunia ini mulai berkurang diganti kebutuhan ekonomi manusia (Kancana, 2019: 167).

(15)

Berdasarkan dua data di atas, penulis berusaha menyoroti berbagai kegiatan para pecinta alam yang semena-mena memasuki hutan tanpa memikirkan dampak buruknya. Bukan suatu rahasia lagi bahwa dewasa ini alam memang menjadi sarana rekreasi yang menantang dan mulai diminati oleh kaum muda. Tidak terkecuali kegiatan mengekplorasi hutan. Keserakahan dan sifat egois manusia mendorong untuk menunjukkan kehebatannya dalam berpetualang di alam bebas. Maka, mulailah berkembang suatu penilaian bahwa semakin liar hutan yang dijamah, manusia tersebut akan semakin bangga. Kegiatan ini tidak jarang membawa dampak buruk terhadap ekologi dan menghalangi kegiatan konservasi hutan-hutan yang memang diperuntukkan sebagai cagar alam.

5) Perambahan Hutan Gambut di Suaka Margasatwa Rawa Singkil

Ia aktif mengamati konflik perambahan hutan gambut di Suaka Margasatwa Rawa Sangkil (Kancana, 2019: 178). Penulis, melalui tokoh Deliana memberikan kritikan terhadap aktivitas perambahan hutan gambut. Tokoh Deliana berupaya melakukan pengamatan terhadap aktivitas perusahaan C yang mulai merusak lahan gambut di Suaka Marga Satwa Rawa Singkil. Menurut Joosten dalam Agus dan I.

G. M. Subiksa (2008: 17) lahan gambut hanya meliputi 3% dari luas daratan di seluruh dunia, namun menyimpan 550 Gigaton C. Artinya, lahan gambut memiliki peran dalam mengurangi gas rumah kaca. Hal ini menunjukkan betapa berbahayanya dampak perambahan hutan gambut yang digambarkan pada novel Kekal. Pembukaan lahan gambut untuk perkebunan akan melepaskan emisi gas rumah kaca ke atmosfer yang tentunya akan memperburuk pemanasan global.

c. Perusakan Lingkungan

1) Membuang Sampah Sembarangan

Selain perusakan lingkungan berskala besar, novel Kekal juga menyoroti masalah perusakan lingkungan yang berskala kecil. Meski demikian perusakan lingkungan berskala kecil ini sering dilakukan

(16)

dalam kehidupan sehari-hari sehingga memberikan dampak kerusakan lingkungan yang besar. Hal tersebut dapat dilihat dari kutipan novel kekal berikut. Jangankan proses penyediaan air alami yang ada di Cagar Alam Kamojang ini, trotoar dan jalan raya saja jadi banyak berserakan sampah. Puncak dan jalur gemunung pun dipenuhi jutaan sampah plasik bekas para pendaki (Kancana, 2019: 10). Tidak jauh berbeda dengan keadaan jalur pendakian pegunungan Cagar Alam Kamojang, Gunung Kerinci juga menjadi daerah yang sering menampung sampah plastik hasil peninggalan pendakinya. Hal ini digambarkan oleh penulis pada kutipan ―O ya, adalagi puncak tertinggi Sumatra: Gunung Kerinci, di sana bertumpuk-tumpuk sampah di bawah semak cantingginya, sampah-sampah di sepanjang jalur pendakiannya.‖ (Kancana, 2019: 120).

Selain menyebabkan pemandangan menjadi tidak elok, sampah plastik juga membutuhkan waktu yang sangat lama untuk terurai sehingga memengaruhi kualitas tanah. Namun, para pendaki, seperti yang digambarkan dalam novel Kekal tidak memiliki cukup kesadaran untuk tidak membuang sampah sembarangan. Mereka hanya peduli dengan kesenangan yang diperoleh dari kegiatan mendaki, namun mengesampingkan dampak dari sampah plastik yang mereka tingggalkan.

Penulis, selain memberikan kritikan langsung terhadap pelaku pembuangan sampah sembarangan juga memberikan kritik secara implisit terhadap pihak-pihak tertentu. Pemerintah belum memberikan aturan atau sanksi yang tegas terhadap aktivitas pembuangan sampah sembarangan ini. Tidak adanya pendidikan moral yang cukup juga memengaruhi rendahnya kesadaran untuk menjaga lingkungan. Selain itu, pengadaan penanganan sampah plastik yang tepat juga perlu segera diadakan mengingat plastik merupakan barang yang digunakan manusia setiap hari dalam berbagai macam kegiatan.

(17)

2) Pembuangan Limbah ke Sungai

Peneliti menemukan data yang menunjukkan kritik penulis terhadap aktivitas pembuangan limbah pabrik ke sungai. Limbah diruahkan ke sungai oleh pabrik-pabrik. Polusi ditiupkan ke udara (Kancana, 2019: 10). Kutipan novel tersebut menunjukkan pencemaran juga terjadi pada sungai. Padahal sungai adalah sumber utama untuk memenuhi kebutuhan berbagai makhluk hidup terhadap air. Jika limbah yang dibuang ke sungai tentu akan menurunkan kualitas air sungai sehingga berdampak pada fauna air yang hidup di dalamnya. Sungai merupakan tempat bagi hewan-hewan untuk minum, menjadi bahan utama bagi tumbuhan untuk berfotosintesis, dan menjadi seumber utama bagi manusia akan air minum, pertanian, mck, dan masih banyak lagi. Air sungai yang tercemah oleh limbah pabrik tidak jarang menjadi sumber penyakit bagi makhluk-makhluk yang menggunakannya, misalnya menyebakan diare atau gatal terhadap manusia.

3) Penggerusan Karst

a) ―... Penelitian Lubuk Kilangan bakal jadi salah satu senjata supaya pabrik semen itu enggak terus menggerus karst-karst persediaan air kita‖ (Kancana, 2019: 150).

b) ―Kerusakan karst di sini juga?‖ tanya Riski (Kancana, 2019: 171).

c) ―Dari penyelidikan Triyogo, Perusaan C tengah mengembangkan sahamnya ke dalam pertambangan semen di Sumatra Barat.

Namun, penelitian dari pihak kalian di Payakumbuh dan Lubuk Kilangan jadi penghalang mereka untuk mengeruk karst-karst di sana. Perusahaan C dengan perusahaan lainnya bekerja sama di Lubuk Kulangan, sehingga hanya proyek di Lubuk Kilangan saja yang lolos‖ (Kancana, 2019: 185).

Perusahaan C yang disebutkan hampir menguasai seluruh akses untuk mengeruk kekayaan di Pulau Sumatera juga melebarkan sayapnya untuk mengeksploitasi batuan karst di Lubuk Kilangan.

(18)

Batuan karst berfungsi sebagai penampung air sehingga menyediakan sumber air bagi manusia. Namun dalam novel Kekal digambarkan nilai jual semen yang menjanjikan keuntungan bagi perusahaan C membuat manusia lupa akan pentingnya menjaga keutuhan batuan karst tersebut.

Penambangan batuan karst yang dilakukan setiap hari dan terus- menerus tentu akan membuat lapisan batuan ini menipis. Dengan demikian ketersediaan air akan berkurang.

4) Perusakan Terumbu Karang

Di sini, perusahaan C memporakporandakan hutan bakau dan terumbu karang di wilayah Natuna (Kancana, 2019: 185). Data terse- but menunjukkan adanya aktivitas Perusahaan C yang berdampak pada rusaknya terumbu karang di wilayah Natuna. Pada bagian ini, penulis memberikan kritik ekologi berdasarkan pada kenyataan yang terjadi di dunia nyata. Terumbu karang berfungsi sebagai penyokong kehidupan spesies ikan dan pelindung pantai dari abrasi atau pengikisan yang terjadi oleh air laut. Namun demikian, pada kenyataan berdasarkan studi tahun 2018 yang dilakukan oleh LIPI menunjukkan bahwa dari 18 seitus terumbu karang di Natuna, 5 situs berstatus cukup, sedangkan 13 situs lainnya berstatus jelek (Hadi, 2020). Perusakan terumbu karang ini tentu akan memengaruhi ekosistem laut yang berdampak pada menurunnya populasi ikan atau spesies laut tertentu karena kehilangan habitat, yakni terumbu karang.

d. Perdagangan Karbon

1) Perdagangan Karbon Oleh Oknum Tertentu

a) ―Ya, di Jambi ini sama di Riau sana marak perdagangan karbon, Lit. Belum pernah dengar?‖ (Kancana, 2019: 104)

b) ―Kalau begitu, hutan jadi komoditas dagang, dong?‖ ―Tepat! Selain kayunya, fungsi mereka pun diperjualbelikan.‖ (Kancana, 2019:

105)

(19)

c) ―Sementara penanaman jenis pohon penyerap karbon di Taman Nasional Barbak itu malah mengurangi hutan alami yang sudah berkurang sebanyak 75% itu.‖ (Kancana, 2019: 105).

d) ―... Lihat di Sumatra persoalan konservasi juga sama buruknya.

Bahkan bisa kukatakan lebih buruk. Lihat perkebunan sawit di hutan-hutan kami, pertambangan di kawasan Lahat atau Sumatra Barat, perdagangan karbon di Jambi dan Riau, atau produsen kertas yang berebut pohon akasia dengan gajah-gajah di lingkungan taman nasional, dan masih banyak lagi eksploitasi persahaan-perusahaan asing dan lokal di sini (Kancana, 2019: 119- 120).

e) Seperti yang pernah kuketahui dari Kastia, ada juga para pegiat alam bebas yang terjun bermain uang, menuai keuntungan dari alam raya yang semestinya mereka sayangi, salah satunya mereka yang direkrut jadi navigator proyek perdagangan karbon, seperti para peneliti yang pernah berkonsultasi kepada Riski pula (Kancana, 2019: 163)

f) ―Jambi bagaimana? Soal penyalahgunaan perdagangan karbon itu?‖ (Kancana, 2019: 171).

Perdagangan karbon merupakan kegiatan memperjualbelikan fungsi hutan. Secara sederhana konsepnya adalah, setiap negara yang menghasilkan emisi karbon di atas 5% memiliki kewajiban untuk mengurangi emisi karbon tersebut. Pengurangan dilakukan dengan menjaga hutan sehingga pohon-pohon yang ada dapat menyerap karbon. Dikarenakan tidak semua negara memiliki hutan yang cukup, maka diakanlah perdagangan karbon ini. Biasanya negara maju yang menghasilkan emisi karbon di atas 5% akan memberikan dana bagi negara lain yang memiliki cukup hutan yang memiliki kapasitan penyerapan karbon yang banyak, salah satunya Indonesia. Dana yang diberikan ini dapat difungsikan untuk menjaga kelestarian hutan yang ada, sehingga tetap memiliki nial jual dalam perdangan karbon. Selain

(20)

itu juga dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang tinggal di sekitar hutan tersebut.

Konsep perdagangan karbon ini merupakan jual beli yang saling menguntungkan. Akan tetapi, pada kenyatannya, keserakahan manusia tidak dapat dibendung, sehingga terjadi penyalahgunaan perdagangan karbon, seperti yang disebutkan dalam novel Kekal.

Masalah yang disoroti oleh penulis adalah penanaman jenis pohon penyerap karbon yang berdampak pada berkurangnya hutan alami.

Selain itu ada juga oknum-oknum yang menyalahgunakan kekuasaan dan wewenang untuk mengorupsi uang hasil perdagangan karbon ini.

Tentu saja kebocoran dana ini berdampak pada kurang maksimalnya pelestarian hutan penyerap karbon dan masyarakat di sekitar hutan pun tidak memperoleh kesejahteraan seperti yang telah dijanjikan. Sekali lagi, penyalahgunaan pedagangan karbon ini menguntungkan pihak- pihak tertentu saja dan banyak merugikan pihak-pihak lainnya.

e. Ketidakpedulian terhadap Hewan Liar dan Habitatnya 1) Pembunuhan Hewan Liar

a) Lebih buruk lagi, pada video lainnya, kusaksikan seekor gajah ditusuk-tusuk secara sengaja oleh sekelompok orang yang sama.

Sorot mata gajah itu seolah memohon belas kasihan kepada manusia-manusia buas yang memperlakukan dirinya sebegitu liarnya (Kancana, 2019: 80).

b) Pembakaran hutan, pembunuhan gajah dan harimau, dan tindakan- tindakan bejat lainnya jelas tampak pada layar (Kancana, 2019:

185).

Penulis pada bagian ini memberikan kritik terhadap manusia yang tidak memiliki hati nurani. Secara jelas digambarkan adanya oknum dari pihak safari yang melakukan penyiksaan terhadap gajah dan harimau. Hal ini menunjukkan betapa manusia yang digambarkan dalam novel Kekal tidak peduli terhadap makhluk lainnya. Mereka lupa bahwa alam ini bukan hanya milik manusia, tetapi juga

(21)

merupakan tempat hidup bagi tumbuhan dan hewan. Manusia, yang disebut sebagai makhluk berakal malah melakukan penyiksaan terhadap hewan liar, yang tentunya menyebabkan luka, cacat, bahkan menyebabkan kematian. Penganiayaan ini menggambarkan betapa liar dan buasnya manusia yang serakah dan telah tertutup hati nuraninya untuk saling mengasihi sesama makhluk hidup. Sekali lagi, kepentingan ekonomi menjadi alasan utama terjadinya kegiatan yang tidak etis ini.

2) Berkurangnya Habitat Gajah

a) Pabrik Kertas yang Mengganggu Habitat Gajah di Sungai Teso dan Nilo

Di dunia nyata wilayah Sungai Teso dan Nilo merupakan tempat pelestarian gajah. Kancana, dalam novelnya menyebutkan belum lagi dari Pangkalan Kerinci yang memperjuangkan habitat gajah yang terganggu oleh pabrik kertas di wilayah Sungai Teso dan Nilo (Kancana, 2019: 151). Penulis membawa masalah yang sebenarnya benar dihadapi di dunia nyata ini ke dalam novelnya untuk menunjukkan rintangan-rintangan yang dihadapi dalam melakukan pelestarian gajah. Habitat gajah telah direbut oleh pabrik kertas. Pabrik tersebut lebih memilih menebang pohon untuk dijadikan kertas, dibandingkan membiarkan dan menjaga pohon-pohon tersebut untuk tetap tumbuh. Dampaknya, habitat gajah semakin menyempit dan sumber makanan mereka semakin menipis. Selain itu, aktivitas manusia menebang pohon, melakukan pengangkutan, dan kegiatan-kegiatan lainnya juga mengganggu aktivitas gajah. Hal ini dapat menyebabkan stress pada gajah bahkan menyebabkan perubahan perilaku gajah.

3) Terancamnya Habitat Harimau

a) Kegiatan Industri yang Mengancam Habitat Harimau Sumatera

(22)

(1) Mereka serupa pengawas nonformal yang cukup aktif dalam kegiatan-kegiatan industri di sana—industri yang mengancam habitat harimau tentunya (Kancana, 2019: 177).

(2) Di sana, sama halnya dengan Ridho, permasalahannya adalah konflik harimau dengan manusia, yang berawal dari penebangan hutan di kawasan Desa Hatapang oleh sebuah perusahaan yang mengelola kayu. Dampaknya adalah mengecilnya kawasan harimau dan berkurangnya jumlah mangsa mereka sehinga harimau turun ke pemukiman kemudian menjadi ancaman bagi warga sekitar (Kancana, 2019: 177).

Berdasarkan dua data yang peneliti kutip, terlihat penulis memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai dampak industri pengelolaan kayu terhadap keberlangsungan hidup harimau. Selain habitat dan mangsa yang berkurang, harimau juga turun ke pemukiman penduduk. Hal ini tentu lebih membahayakan, karena penduduk akan mengusir, melukai, bahkan membunuh harimau yang masuk ke pemukiman. Dampak lanjutan dari kegiatan ini adalah berkurangnya spesies harimau. Padahal, Harimau Sumatera merupakan spesies langka. Jika aktivitas industri ini terus mengganggu habitat harimau, maka bukan hal yang tidak mungkin spesies Harimau Sumatera akan punah.

2. Nilai Pendidikan Karakter dalam Novel Kekal Karya Jalu Kancana Kemendiknas (2010: 9) menyatakan ada 18 aspek nilai-nilai pendidikan karakter yakni: religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab. Novel Kekal selain sarat dengan kritik ekologi juga mengandung banyak nilai pendidikan karakter. Suparno selaku guru Bahasa Indonesia kelas XII menyatakan, ―Siswa bisa mencontoh nilai-nilai pendidikan karakter yang

(23)

baik seperti kerja keras, dan disiplin. Novel ini kan menggambarkan perjuangan tokoh yang sangat luar biasa ditengah-tengah arus media sosial yang seperti ini. Saya rasa ini bagus untuk dijadikan contoh bagi siswa siswi,”. Azizah Tsary Sekar P. selaku siswa kelas XII menyatakan adanya nilai tolong menolong dan menjaga kelestarian lingkungan yang terkandung dalam novel Kekal. Hal yang sama disampaikan oleh Rahmawan Aditya P.

yang mengatakan adanya nilai peduli lingkungan, pantang menyerah, dan kerja keras dalam novel Kekal. Dari hasil analisis yang dilaksanakan, peneliti menemukan 7 aspek nilai-nilai pendidikan karakter dalam novel Kekal karya Jalu Kancana. Nilai-nilai yang dimaksud adalah sebagai berikut.

a. Peduli Lingkungan

Kemendiknas (2010:10) mendeskripsikan peduli lingkungan sebagai sikap dan tidakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi. Semua kehidupan manusia bersumber dari lingkungan, maka sudah sepantasnya manusia merawatnya. Novel Kekal memang mengangkat tema konservasi sumber daya alam, maka di dalam novel ini banyak ditemukan nilai pendidikan karakter peduli lingkungan yang dimiliki oleh tokoh-tokohnya.

Nilai pendidikan karakter peduli lingkungan pertama yang dapat dilihat dalam novel ini adalah usaha beberapa tokoh dalam menjaga ekologi. Para tokoh yang terlibat dalam kegiatan Save Ciharus paham bahwa cagar alam hanya diperuntukkan bagi flora dan fauna. Maka, mereka melakukan tindakan menjaga kelestariannya, seperti terihat pada kutipan berikut.

―Sebelumnya, kami di sini mau memohon bantuan dan kerja samanya untuk mengabari rekan-rekan pengendara motor trail lainnya, supaya tidak lagi berkegiatan di kawasan ini. Saya mohon, Kang.‖ (Kancana, 2019: 7)

Maka dari itulah kami terpaksa memasuki kawasan Hutan Ciharus ini karena pengendara motor trail dan para pendaki kerap memasukinya. (Kancana, 2019: 8-9)

(24)

Para pegiat Save Ciharus menyadari adanya aktivitas manusia memasuki kawasan Cagar Alam Kamojang. Ada beberapa pengendara motor trail yang melakukan balapan dan para pendaki yang memasuki kawasan tersebut. Balapan motor trail ini menyebabkan kerusakan tanah dan kebisingan. Sementara itu, para pendaki meninggalkan sampah plastik yang merusak keasrian Cagar Alam Kamojang. Oleh karenanya, para pegiat Save Ciharus terpaksa melakukan camp di cagar alam tersebut untuk memberi peringatan secara langsung. Mereka memberikan selebaran berisi tentang informasi untuk tidak memasuki kawasan cagar alam dan meminta secara baik-baik agar tidak melakukan aktivitas apapun di dalamnya.

Usaha menjaga ekologi ini juga dilakukan oleh tokoh Kakek, seperti terlihat pada kutipan-kutipan berikut.

Kata Bapak, itulah penyesalah seumur hidup Kakek, sehingga dua tahun setelahnya, Kakek memutuskan untuk menyelamatkan biosfer di Sumatra setelah pensiun dari pekerjaannya.

Meradangnya perkebunan sawit di pulau tersebut menjadi alasan Kakek (Kancana, 2019: 34)

―... Di Sumatra pun enggak kalah rusak. Perkebunan sawit sejak era penjajahan Belanda terus menjamur memakan hutan-hutan.

Tugas kakekmu itulah yang justru berbalapan melawan perkembangan sawit di sana. Kakek terus membuat penelitian tentang flora-fauna supaya jadi alasan enggak ada lagi pembukaan lahan untuk sawit.‖ (Kancana, 2019: 34)

Kakek bersama rekan-rekannya itu melakukan penelitian tentang flora-fauna di Sumatra ini, supaya perusahaan sawit tidak semudah itu membuka lahan (Kancana, 2019: 89)

Tokoh Kakek menyadari bahwa biosfer di Sumatera sudah semakin rusak.

Perkebunan sawit sejak era penjajahan Belanda terus menjamur memakan hutan-hutan. Tokoh Kakek sadar, jika kegiatan ini terus dilakukan, maka hutan-hutan di Sumatera akan habis. Oleh karenanya, ia bergabung dengan IUCN dan melakukan penelitian flora-fauna di Pulau Sumatera. Kakek dibantu dengan kawan-kawannya berusaha mengumpulkan data-data yang

(25)

menunjukkan bahwa flora dan fauna juga memiliki hak atas hutan-hutan tersebut. Hasil penelitian-penelitan yang dilakukan Kakek dan kawan- kawannya, setidaknya dapat menghambat penggundulan hutan di Sumatera.

Usaha menjaga ekologi ini juga terlihat dari usaha tokoh-tokoh dalam menyelamatkan biosfer di Sumatera. Seperti terlihat pada kutipan monolog tokoh Alit berikut.

Barangkali, di sudut-sudut tak terjamah di negeri ini, banyak juga orang-orang seperti mereka: melakukan hal besar hingga mengorbankan nyawanya sendiri demi keutuhan flora dan fauna (Kancana, 2019: 178)

Ia menyadari banyak hal dari hari perjalanannya di Sumatera. Ia mengira sudah tidak banyak orang yang peduli terhadap alam. Namun, pada kenyatannya, ia menemui banyak orang yang peduli dan mau berjuang demi menjaga kelestarian alam. Ia juga bertemu dengan kelompok pegiat alam yang mengucurkan dana besar demi terlaksananya usaha konservasi, seperti terlihat pada kutipan berikut.

Uang sebegini banyaknya rela dialirkan demi kebutuhan kawasan konservasi (Kancana, 2019: 194).

Penyelenggaraan kampanye Sadar Kawasan di Bukit Serelo adalah salah satu langkah besar pegiat alam untuk menyelamatkan dan menjaga ekologi. Tokoh-tokoh ini rela menyibukkan diri di tahun baru tatkala orang lain bersantai dan berlibur. Mereka berencana untuk menuntut Perusahaan C agar berhenti mengeruk kekayaan di Sumatera. Agar pesan mereka tersampaikan, mereka rela membuat event besar, yakni soloing (pendakian tanpa alat bantu) di Bukit Serelo. Banyak hal yang harus mereka persiapkan sehingga membutuhkan banyak uang dan tenaga.

Namun mereka tetap rela melakukannya demi lestarinya alam, seperti terlihat pada kutipan berikut.

Mereka itu orang-orang hebat. Tatkala banyak orang di luar sana merayakan pergantian tahun, mereka justru mempersiapkan hal besar untuk konservasi (Kancana, 2019: 198)

(26)

Semangat usaha menjaga ekologi ini juga terlihat dari tokoh Hendra. Hal ini terihat pada cuplikan berikut.

Lelaki berpangkat kominsaris tersebut telah lama melakukan penyelidikan terkait pelanggaran terhdap UU No. 5 Tahun 1990 di Sumatra ini. Terlebih, dia adalah pendiri Himpunan Mahasiswa Pecinta Alam tempat Triyogo bernaung (Kancana, 2019: 206) Pendiri Himpala itu menyambut keberhasilan kami, karena dengan begitu, dirinya bisa melakukan penyelidikan secara leluasa terhadap Perusahaan C beserta antek-anteknya (Kancana, 2019:

227)

Hendra adalah seorang polisi yang memiliki kepedulian terhadap ekologi.

Ia tidak bisa terlibat langsung dalam kampanye Sadar Kawasan. Ia lebih berperan banyak dibalik layar. Dengan memanfaatkan jabatan yang ia miliki, ia akan menyelidiki Perusahaan C. Melalui jabatannya, ia menjalankan peran untuk mengadili mereka yang berbuat curang terhadap alam. Pengetahuan tentang hukum yang ia miliki, dimanfaatkan untuk menuntut perusahaan P atas perusakan-perusakan yang telah dilakukan di pulau Sumatera.

Nilai pendidikan karakter peduli lingkungan yang kedua terlihat pada tokoh Tama yang berkeinginan untuk melakukan kampanye darurat konservasi.

―Terakhir kali aku jenguk dia, Tama bilang, setelah benar-benar sembuh, dia berencana pergi ke timur meminta bantuan soal Save Ciharus ini. Dia bakal kampanye soal darurat konservasi ke tiap- tiap pegiat alam di timur sana.‖ (Kancana, 2019: 46)

Dalam rangka menyelamatkan Ciharus tokoh Tama bersedia melakukan kampanye mengenai darurat konservasi. Ia berniat untuk menggalang dukungan dari para pegiat alam di Indonesia Bagian Timur demi melawan perusahaan P. Ia masih ingin berjuang menyelamatkan biosfer Ciharus meskipun ia telah menjadi korban penembakan.

(27)

Karakter peduli lingkungan yang ketiga adalah usaha untuk melakukan pendidikan konservasi. Tokoh Pak Murat

Ternyata, Pak Murat merupakan pembina dari kelompok K8 ini.

Bertahun-tahun, kelompok mereka mendapatkan pendidikan konservasi dari Pak Murat (Kancana, 2019: 70)

―Kata beliau: ‗Manusia memang tidak pernah bisa menciptakan.

Mereka hanya mampu menemukan, memindahkan, mengubah, mengatur, dan menggunakan. Paling tidak, karena kita tidak bisa menciptakan, kita bisa menanam satu pohon lain yang sudah kita tebang‘.‖ (Kancana, 2019: 150)

Di Pulau Sumatera, tokoh Pak Murat berperan aktif dalam mendidik kelompok K8 dalam hal konservasi. Ia meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran agar ilmu yang ia miliki terus turun-temurun ke setiap anak-anak didiknya. Dengan demikian, akan selalu ada konservasionis yang bersedia peduli dan mau untuk menjaga kelestarian SDA yang dimiliki Indonesia.

Pendidikan konservasi ini juga dilakukan oleh tokoh Alit. Hal ini terlihat pada dua kutipan berikut.

―Baguslah kalau begitu. Ini saatnya menggabungkan Pulau Sumatra dengan Pulau Jawa dalam hal kawasan konservasi.

Setidaknya, di Jawa Barat terlebih dahulu. Selanjutnya Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan, Sulawesi, Papua, dan pulau- pulau lainnya, semoga juga tiba juga isu Sadar Kawasan ini di sana.‖ (Kancana, 2019: 201)

Aku tersenyum. ―Barangkali begitu. Aku memang berencana menggabungkan Save Ciharus sama kampanye Sadar Kawasan ini.

Biar Ciharus menjadi isu pertama yang bergabung dari luar Sumatra.‖ (Kancana, 2019: 215)

Setelah melihat kesuksesan kampanye Sadar Kawasan yang di Sumatera, Alit berniat untuk menyebarkan semangat ini ke Jawa. Ia ingin menggabungkan kegiatan Save Ciharus dengan kampanye Sadar Kawasan.

Jadi, selain bertujuan untuk menyelamatkan Ciharus, Alit juga berniat untuk mendidik masyarakat tentang pentingnya sadar kawasan. Alit berkeinginan agar masyarakat paham ada etiket yang perlu manusia jaga

(28)

agar alam tetap lestari. Ia berharap, setiap daerah di Indonesia memiliki masyarakat yang sadar akan etiket ini. Maka, langka pertama yang ia lakukan adalah memulainya dari Jawa Barat, tepatnya di Ciharus.

b. Kerja Keras

Kerja keras memiliki deskripsi sebagai perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya (Kemendiknas, 2010: 10). Karakter kerja keras perlu dimiliki setiap manusia agar bisa mencapai tujuan yang ingin dicapai. Karakter kerja keras ini membantu untuk kembali bangkit dan berjuang setiap kali ada hambatan dalam mencapai tujuan.

Karakter kerja keras ini dimiliki oleh tokoh Alit. Hal ini tergambar pada kutipan-kutipan berikut.

―Justru, Pep, kalau sampai kita engak meneruskan Save Ciharus ini, nyawa Nugi bakal sia-sia...‖ (Kancana, 2019: 17)

Untuk Ciharus, apa pun rela kukorbankan. Asal jangan Ibu dan Renata (Kancana, 2019: 21)

Aku memang terbilang baru dan masih belum tahu apa-apa perihal yang dihadapi Save Ciharus ini. Maka segala risiko mesti kuhadapi! (Kancana, 2019: 41)

Untuk itu, Pak, jalan menuju seorang konservasionis ini akan kulaju melalui Ciharus. Mereka telah membangkitkanku setelah gagal berkali-kali (Kancana, 2019: 163)

Tokoh Alit terus bekerja keras untuk mewujudkan keinginannya untuk menjadi konservasionis. Cita-citanya menjadi konservasionis ia tempuh dengan bergabung dan turut aktif dalam kegiatan Save Ciharus.

Bersama anggota-anggota lain, ia terus bekerja keras untuk menyelamatkan Cagar Alam Kamojang agar tetap lestari. Namun dalam perjalanannya menjadi konservasionis, ternyata hambatan yang ia hadapi sangat besar. Perusahaan P berusaha menggagalkan setiap usaha kelompok

(29)

Save Ciharus agar bisa melakukan tambang panas bumi di kawasan Cagar Alam Kamojang.

Banyak hal yang dilakukan Perusahaan untuk menghentikan kegiatan Save Ciharus. Beberapa diantaranya adalah, memata-matai dan menyadap ponsel anggota kelompok Save Ciharus, melakukan teror dan mengancam agar kegiatan Save Ciharus dihentikan, bahkan melakukan penembakan hingga menewaskan salah satu anggota Save Ciharus, Nugi.

Semua hal buruk ini dilakukan Perusahaan P agar para pegiat Save Ciharus berhenti mengkampanyekan pelestarian Kawasan Cagar Alam Kamojang. Namun, Tokoh Alit tetap bekerja keras untuk melanjutkan tujuannya mengkonservasi Kawasan Cagar Alam Kamojang. Ia sadar dampak buruk apa saja yang akan terjadi jika penambagan panas bumi di kawasan cagar alam tersebut diizinkan oleh pemerintah. Maka ia memutuskan untuk pergi ke Sumatera, mencari bantuan anggota IUCN yang dulu menjadi kawan kakeknya.

Tidak hanya di Jawa, dalam perjalanannya mencari tiga orang anggota IUCN, Alit menghadapi berbagai macam hambatan. Hal ini dapat dilihat dari beberapa kutipan berikut.

Pak Murat dan Pak Siam telah meninggal. Satu harapan lainnya masih ada: Pak Oentoeng. Tujuanku selanjutnya berarti Sumatra Barat (Kancana, 2019: 110)

Jumlahnya sekira 250 artikel. Aku berharap, honor yang kutuai nanti benar-benar besar. Sebagiannya akan kukirimkan pada Pepep untuk biaya pengobatan Ibu, sedang sisanya kugunakan untuk pulang (Kancana, 2019: 158)

Kubenarkan ucapan Hassan. Tak sepatutnya aku lekas menyerah atas kegagalan ini. Semestinya, hal tersebut jadi penanda bahwa orang-orang picik seperti mafia-mafia tengik ini kerap menyulitkan (Kancana, 2019: 162)

Tiga kutipan di atas menunjukkan selama di Sumatra banyak hal yang membuat Alit semakin jauh dari tujuannya. Pertama, Alit menemui Pak Murat, namun ternyata Pak Murat mendapat fitnah atas pembakaran

(30)

hutan di Riau dan harus bersembunyi dari kejaran polisi. Meski demikian, ia tidak menyerah, ia malah membantu membersihkan nama Pak Murat, sebagai imbalannya Pak Murat akan membawa kasus Ciharus ke IUCN.

Namun sayangnya, sebelum menepati janji, Pak Murat meninggal. Tidak hanya itu, dua orang lain yang dianggap bisa membantunya ternyata tidak bisa membantu Alit. Pak Oentoeng telah meninggal dan Pak Siam mengalami alzeimer, sehingga tidak bisa membantu Alit.

Kegagalan demi kegagalan yang Alit temui, tidak membuatnya putus harapan. Ia memutuskan untuk membuat penelitian studi banding sehingga bisa menunjukkan bahwa data menjadi dasar penerbitan SK25 adalah data usang dan tidak benar. Di sinilah, sekali lagi Alit menemui halangan. Ibunya tiba-tiba sakit dan Pepep memintanya untuk pulang.

Selain itu, uang yang dimiliki Alit sudah mulai habis. Namun, sekali lagi Alit tidak menyerah. Ia bekerja keras membuat tulisan SEO untuk membayar biaya rumah sakit ibunya dan sebagian lagi untuk biayanya hidup di Sumatera. Akhirnya kerja keras Alit membuahkan hasil.

Tujuannya untuk membawa permasalahan Ciharus ke dunia internasional mulai tercapai, seperti terlihat dalam kutipan-kutipan berikut.

Saat ini, kurasakan beban runtuh dari pundak (Kancana, 2019: 220) Organisasi TRAFFIC yang dibentuk IUCN dan WWF sudah mulai melakukan penyelidikan terhadap perusahaan C beserta perusahaan-perusahaan yang dinaunginya (Kancana, 2019: 230) Akan tetapi, yang paling hebat lagi, Oka yang masih berada di palembang guna berkoordinasi secara intens dengan TRAFFIC, mulai menyingung kasus Ciharus di Jawa Barat. Itu berarti tujuanperjalananku ke pulau ini sudah tuntas (Kancana, 2019: 230) Kerja keras Alit untuk melawan Perusahaan P dan menyelamatkan Ciharus ternyata membawanya berperan dalam penyelamatan sumber daya alam di Sumatera. Para pegiat alam di Sumatera mencetuskan gerakan Sadar Kawasan. Hak ini yang mendasari Alit untuk melakukan gerakan yang sama di Pulau Jawa, dimulai dari Ciharus. Penelitian yang Alit susun

(31)

dengan bantuan Pepep akhirnya mampu membuat TRAFFIC mulai menyelidiki perusahaan C. Masyarakat sekitar juga mulai sadar bahaya dari penurunan status kawasan sehingga mulai ada yang menuntut untuk mencabut SK25.

Karakter kerja keras ini juga dimiliki oleh tokoh Renata. Renata dalam novel Kekal digambarkan sebagai kekasih Alit. Ia memiliki peran yang besar dalam membangkitkan semangat Alit untuk kembali melanjutkan kuliah. Ia rela berkunjung ke rumah Alit setiap dua atau tiga hari dalam seminggu. Hal ini ia lakukan agar Alit bangun dan mau berangkat kuliah. Renata juga menyemangati Alit untuk mulai menata hidupnya, ia menemani Alit bekerja menulis SEO sampai larut malam.

Kerja keras Renata ini membuahkan hasil yang manis. Alit bisa mulai mengejar ketinggalan kuliahnya dan mulai menata kehidupannya, salah satunya terlibat dengan kegiatan positif konservasi sumber daya alam di bawah naungan Save Ciharus. Berikut adalah kutipan-kutipan yang menunjukkan karakter kerja keras yang dimiliki oleh tokoh Renata.

Canduku itu, merupakan gadis yang gigih dalam merampas reruntuhan semangatku dulu (Kancana, 2019: 25)

Dua atau tiga hari dalam seminggu, ia rela berkunjung ke rumahku tepat pukul enam pagi (Kancana, 2019: 25)

Belum lagi waktu luang yang ia sempatkan untuk menemaniku bekerja di malam hari (Kancana, 2019: 26)

Semuanya ia lakukan hanya untuk satu tujuan: ia hanya ingin aku melanjutkan kuliahku yang berantakan dan membenahi hidupku yang juga sudah berantakan (Kancana, 2019: 26)

c. Peduli Sosial

Peduli sosial adalah sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan kepada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan (Kemendiknas, 2010: 10). Karakter peduli sosial ini sangat penting, sebab pada dasarnya manuusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup

(32)

tanpa bantuan orang lain. Karakter ini terlihat pada tokoh Pepep, seperti pada cuplikan berikut.

―Aku hanya mampu bantu sebesar ini. Sebagian aku sisihkan buat Tama nanti. Tabunganku habis semua. Ambillah.‖ (Kancana, 2019:

47)

Ketika Alit memutuskan untuk hitchhike dari Bandung ke Sumatera, Pepep memberikan bantuan uang kepadanya. Pada saat itu, Pepep tahu Alit membutuhkan uang untuk biaya perjalanan dan hidupnya di Sumatera.

Sedangkan, Tama yang dirawat karena luka tembak juga membutuhkan uang untuk biaya rumah sakit. Sebagai bentuk kepeduliannya, Pepep memberikan uang tabungannya kepada dua temannya yang membutuhkan.

Pepep juga menunjukkan karakter peduli sosialnya ketika Ibu Alit sakit, sementara Alit berada di Sumatera. Sekali lagi ia memberikan bantuan secara finansial seperti terlihat dalam cuplikan berikut.

―Biaya opname Ibu siapa yang tanggug, Pep?‖

―Adikmu.‖

―Siapa lagi?‖

―Enggak ada‖

―Ayolah! Enggak mungkin dia tanggung semuanya.‖

Pepep terdiam.

―Kamu, Pep?‖

―Hanya sebagian kecil,‖ jelasnya sedikit berat (Kancana, 2019:

156-157)

―Sudahlah. Soal biaya jangan dihiraikan dulu, sebaiknya kamu fokus sama mandat perihal ‘tuntas’ yang dibilang Ibu barusan.

Kamu harus memikirkan itu. Soal biaya, sekali lagi, lebih baik digunakan buat kebutuhanmu di sana dulu.‖ (Kancana, 2019: 161)

Alit hendak mengirimkan uang untuk biaya pengobatan ibunya, namun Pepep melarangnya. Pepep meminta Alit untuk fokus pada tujuannya ke Sumatera, yakni untuk menyelamatkan Ciharus. Pepep tahu Alit membutuhkan uang untuk kebutuhan hidupnya di Sumatera. Oleh karenanya, Pepep meminta Alit untuk tidak mengkhawatirkan biaya rumah sakit ibu Alit.

(33)

Pepep juga merelakan waktunya untuk merawat ibu Alit, terlihat pada cuplikan berikut.

―Dia menunggui Ibu waktu rawar inap di rumah sakit selama satu minggu. Dia juga yang antar Ibu pulang. Pepep anak yang baik. Beruntung kamu punya teman sebaik dia.‖ (Kancana, 2019: 238).

Bukan hanya secara finansial, Pepep juga meluangkan waktu dan tenaganya untuk merawat ibu Alit. Selama seminggu Pepep menunggui ibu Alit di rumah sakit dan mengantarnya pulang setelah perawatan selesai.

Hal ini Pepep lakukan tanpa pamrih. Ia tahu Alit memiliki tanggung jawab yang harus segera diselesesaikan. Maka dari itu, Pepep merawat Alit, agar bisa meringankan bebannya dan segera menuntaskan tugasnya di Sumatera.

Karakter peduli sosial juga dimiliki oleh tokoh Alit. Hal ini terlihat pada dua cuplikan berikut.

Segera kususuri rotoar yang entah mengarah ke mana. Setelah berjalan beberapa saat, kutemui mal besar. Di sana, kucari tempat jual-beli alat elektronik. Laptop dan ponsel itu segera terkonversi jadi beberapa lembar uang. Sedikit lebih banyak dari nominal yang disebutkan Kastia (Kancana, 2019: 115)

Penjelasannya membuatku paham bahwa dirinya benar-benar merasa serba salah karena menerima uang dariku tanpa alasan yang jelas (Kancana, 2019: 128)

Tokoh Kastia memiliki hutang yang cukup besar. Ia dijebak oleh seorang mucikari yang membuatnya menjadi pekerja seks komersial. Mucikari yang meminjamkan uang kepada Kastia meminta bunga yang besar. Hal ini membuat Kastia tidak pernah bisa melunasi hutannya dan terus terjebak menjadi pekerja seks komersial. Mengetahui hal ini, Alit memutuskan untuk menjual ponsel dan laptop yang ia miliki. Alit ingin membantu membebaskan Kastia dari hutang agar ia bisa hidup selayaknya manusia normal.

Selama melakukan hitchhike di Sumatera, Alit banyak menemukan kesulitan. Meski demikian, ia bertemu banyak orang baik yang mau

(34)

menolongnya. Ketika ia tidak memiliki tempat untuk tidur, Riski menawarkan bantuan. Riski mempersilakan Alit untuk tidur di rumahnya, seperti terlihat pada cuplikan berikut.

―Kalau malam ini masih di daerah sini dan engak ada tempat menginap, di rumah saya saja, ya.‖ (Kancana, 2019: 99)

Selain Riski, di wakti dan tempat yang berbeda, Kastia juga menawarkan bantuan yang sama. Kastia mengizinkan Alit untuk tidur di rumahnya karena ia tidak memiliki tempat tujuan. Hal ini terlihat pada kutipan berikut.

Syukurlah aku bertemu Kastia. Gadis itu menawari untuk menginap beberapa hari di tempat tinggal (Kancana, 2019: 107) Dalam perjalannannya, Alit juga bertemu dengan banyak sopir yang memberikan tumpangan. Salah satunya terlihat pada cuplikan berikut.

Kuteriakkan kata, ―Terima kasih,‖ kepada si Sopir karena telah memberiku tumpangan (Kancana, 2019: 125)

Berkali-kali Alit menumpang pada orang yang tidak ia kenal. Orang-orang tersebut tidak mengharapkan imbalan dari Alit. Bahkan ada yang memberikan uang untuk Alit agar ia bisa naik travel.

Sopir itu menyodorkan beberapa lembar uang. Aku terkejut.

―Ini? Untuk apa, Pak?‖

―Pakai travel saja. Tengah malam begini belum tentu ada kendaraan yang melintas.‖ (Kancana, 2019: 96)

Sopir yang ditumpangi Alit sama sekali tidak dikenalnya. Meski demikian ia rela memberikan tumpangan dan uang kepada Alit. Hal ini menunjukkan kepedulian sosial bisa datang dari siapa saja. Berbuat baik dan menolong orang bisa dilakukan kepada siapa saja. Ketika kita mampu dan mau, maka tidak ada salahnya meringankan beban orang lain, meskipun orang yang tidak dikenal.

d. Mandiri

Kemendiknas (2010:10) mendeskripsikan mandiri sebagai sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam

(35)

menyelesaikan tugas-tugas. Setiap orang dituntut untuk bisa menjadi mandiri, terutama ketika telah menginjak usia dewasa. Sama halnya dengan tokoh Alit, ia dihadapkan pada situasi yang menuntutnya untuk mandiri. Ayahnya telah meninggal, ibunya sedang bekerja di luar negeri, sedang adiknya tinggal di tempat yang berbeda karena tuntutan pekerjaan.

Meski masih berstatus sebagai mahasiswa, namun Alit sudah tidak bergantung 100% kepada ibunya. Ia mulai kuliah sambil bekerja menjadi penulis SEO untuk menambah uang saku. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut.

―Renata, sekarang pun aku sudah dapat honor dari tulisan SEO-ku itu,‖ balasku meredakan kekhawatiran. Meskipun kecil-kecilan. Itu cukup untuk uang sakuku (Kancana, 2019: 27)

Meski demikian, ternyata di mata Renata menjadi penulis SEO tidaklah cukup. Pada saat itu Renata menilai Alit terlalu fokus dengan kegiatannya bersama kelompok Save Ciharus sehingga melupakan kewajibannya sebagai mahasiswa dan tidak memikirkan masa depannya bersama Renata. Renata pun memberi nasehat kepada Alit seperti pada kutipan berikut.

―Kamu harus kerja mumpuni, Lit. Cari uang yang benar-benar bisa kasih jaminan kamu. Kalau kamu mengulur kelulusan, bakal makin lama kamu berkarier. Semakin lama kamu hidup mandiri ....‖

(Kancana, 2019: 25)

Karakter kemandirian juga ditunjukkan tokoh Alit ketika dalam menyelesaikan masalahnya saat mendapat ancaman dari perusahaan P.

Awalnya ia berangkat ke Sumatera untuk meminta bantuan anggota UICN untuk membawa masalah Ciharus ke dunia internasional. Pada kenyataannya, banyak halangan yang ia temui yang membuat tujuannya tidak tercapai. Akhirnya Riski, salah seorang konservasionis yang ia temui memberikan saran untuk melawan Perusahaan P dengan kekuatannya sendiri, yakni melalui sebuah penelitian komparatif.

(36)

Riski menambahkan rencana baru, yakni membuat penelitian perbandingan yang lebih autentik dari penelitian LIPI dan universitas di Bogor tersebut (Kancana, 2019: 122).

―Ya, studi komparatif. Kau bisa mengumpulkan data cagar alam di sepanjang Sumatra ini dan membandingkannya dengan Ciharus.‖

(Kancana, 2019: 123).

―Supaya mereka tahu, dengan tindakan kecilnya itu, kerusakan di Indonesia ini cukup besar. Tidak hanya di Ciharus, tetapi juga terjadi di sini dan belahan alam lainnya di negara ini. Bisa kau jelaskan bahwa kemerosotan fungsi alam benar-benar terjadi. Kau bisa menyerang mereka menggunakan data-data yang jitu. Begitu maksudku.‖ (Kancana, 2019: 123).

Berdasarkan ketiga kutipan di atas, tokoh Riski memberikan saran kepada Alit untuk membuat studi komparatif cagar alam Kamojang dan cagar alam di Sumatera. Hasil penelitian ini akan digunakan untuk menandingi hasil penelitian LIPI dan Universitas Bogor yang sebagian besar datanya telah usang. Riski memberikan saran ini sebab, di Sumatera sendiri para pegiat alam sedang menghadapi berbagai masalah sama beratnya dengan Ciharus. Sudah banyak orang yang ditemui Alit dan dimitai tolong, namun hasilnya nihil. Awalnya Alit menolak saran Riski dan menganggap saran yang diberikan sebagai bentuk ketidakpedulian terhadap Ciharus. Setelah menyadari semua usahanya untuk meminta tolong kepada konservasionis di Sumatera memang tidak membuahkan hasil, Alit mulai mempertimbangkan saran Riski. Hal ini terlihat pada kutipan berikut.

Benar juga yang dikatakannya. Tak berguna jadi corong meminta pertolongan ke sana kemari. Nyatanya aku gagal mendapat simpati IUCN melongok Ciharus. Kuncinya memang riset. Itu memang senjata mutakhir untuk menghadapi sebuah sistem (Kancana, 2019:

164).

Alit sadar, ia tidak bisa bertidak seperti anak kecil yang merengek meminta bantuan kesana-kemari. Ia merasa menjadi lemah karena benar semua perkataan Riski. Para pegiat alam dan konsevasionis di Sumatera

Gambar

Tabel 4.1. KI dan KD Pelajaran Bahasa Indonesia Kurikulum 2013  untuk Siswa SMA Kelas XII

Referensi

Dokumen terkait

Dalam kajian kelembagaan dari perspektif “aturan” atau “norma”, penelitian ini menunjukkan telah adanya sejumlah aturan pada ketiga lokasi penelitian, yang oleh masyarakat

Strategi Pengembangan Tari Topeng Sebagai Daya Tarik Wisata Budaya Di Kabupaten Cirebon Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu.. BAB I

Akan tetapi pada generator sinkron yang dipergunakan untuk pembangkitan dengan kapasitas besar, belitan atau kumparan jangkar ditempatkan pada stator sedangkan belitan

Nilai SI yang ditunjukkan oleh model juga dapat dikatakkan bahwa pasien memiliki gangguan sensitivitas insulin atau pasien mengalami resistansi insulin sesuai

Produk wisata unggulan lainnya adalah adanya makam Syekh Maulana Maghribi di daerah ini yang letaknya diatas bukit dengan ketinggian 0-25m , dan berbatasan

Tahap FTA digunakan untuk mengetahui kejadian atau kombinasi kejadian dasar penyebab kerusakan jaringan distribusi listrik, sedangkan tahap FMEA digunakan untuk mengetahui modus,

Ketepatan (berasal dari kata dasar “tepat” yang berarti cocok atau betul) data kita artikan sebagai ketepatan dalam hal waktu pengumpulan, jenis dan macam data,

Apabila perjanjian kerja sama ini diperparjang PARA PIHAK melakukan koordinasi atas rancangan perpaljangan kerja sama, atau dalam hal salah satu pihak berkeinginar