• Tidak ada hasil yang ditemukan

RESTRUKTURISASI INDUSTRI GULA: PROSPEK DAN TANTANGAN 1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "RESTRUKTURISASI INDUSTRI GULA: PROSPEK DAN TANTANGAN 1"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

RESTRUKTURISASI INDUSTRI GULA: PROSPEK DAN TANTANGAN1

Beberapa fakta berikut harus dipahami dalam membahas kebijakan dan program restrukturisasi industri gula nasional. Pertama, produksi dan produktivitas gula nasional terus merosot sementara permintaan terus meningkat pesat, baik untuk konsumsi maupun untuk industri. Akibatnya impor gula terus meningkat. Kedua, pasar gula dunia mengalami distorsi berat akibat kebijakan “protektif” hampir di semua negara, termasuk negara-negara yang selama ini dikenal sebagai produsen gula utama dunia.

Akibat dari kebijakan protektif tersebut harga gula pasar dunia menjadi sangat rendah, jauh lebih rendah dibandingkan biaya produksi gula rata-rata pabrik gula di beberapa negara termasuk Indonesia. Ketiga, sebagian besar pabrik gula di Indonesia berstatus

Erwidodo

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Jl. A. Yani 70 Bogor 16161

PENDAHULUAN

Keinginan politik untuk melakukan restrukturisasi industri gula nasional menuju industri yang efisien dan kompetitif patut didukung karena beberapa alasan berikut.

Pertama, permintaan gula nasional akan terus meningkat seiring dengan terus meningkatnya jumlah penduduk dan berkembangnya industri makanan dan minuman.

Kalau saat ini saja total konsumsi gula mencapai 3,5 juta ton diperkirakan lima tahun ke depan konsumsi gula bisa mencapai 6-7 juta. Kedua, jika Indonesia sepenuhnya menggantungkan kebutuhan gulanya dari impor maka akan rawan terhadap kemungkinan goncangan perdagangan gula di pasar dunia. Ketiga, kenyataan bahwa Indonesia pernah menjadi eksportir gula dunia memperlihatkan bahwa sebagai negara di wilayah tropis, Indonesia secara potensial mempunyai keunggulan komparatif sebagai produsen gula tebu, dan jika dikelola dengan baik bisa sangat kompetitif (Erwidodo, 2003).

Rencana restrukturisasi sebenarnya telah digulirkan 7-8 tahun lalu, sebelum Indonesia mengalami krisis ekonomi. Beberapa langkah konkrit telah diambil, termasuk pendirian pabrik gula baru di Luar Jawa dan penutupan beberapa pabrik gula yang dinilai tidak efisien dan terlalu mahal untuk disehatkan. Sayangnya langkah restrukturisasi tersebut tidak mengalami kemajuan yang berarti, dan saat ini cenderung tidak lagi menjadi isu penting. Kebijakan gula yang diambil belakangan ini terkesan ad hoc, berjangka pendek dan terlalu reaktif. Langkah restrukturisasi menjadi kehilangan arah, diwarnai kegamangan, dan penuh konflik kepentingan.

1 Makalah disampaikan pada Seminar Nasional: Industri Rafinasi dalam Kerangka Restrukturisasi Industri Gula Indonesia”, tanggal 18 Februari 2004, di Auditorium Binakarna, Kompleks Bidakara, Jakarta.

(2)

BUMN yang berlokasi di Jawa. Keempat, kondisi pabrik gula di Jawa umumnya sudah tua, berskala kecil, dan sebagian besar tidak efisien. Kelima, jumlah produksi, produktivitas dan kualitas tebu cenderung terus merosot, sementara pengembangan areal tanam tebu (di Jawa) semakin terbatas dan harus bersaing dengan tanaman lain, khususnya padi dan palawija.

Makalah ini mencoba mengangkat kembali pentingnya program restrukturisasi industri sebagai upaya integral untuk menyelamatkan dan menyehatkan industri gula nasional. Dalam makalah ini, penulis tidak bermaksud membahas seluruh langkah restrukturisasi, tetapi hanya memberikan pencermatan kemungkinan masalah dan tantangan dalam pelaksanaan beberapa langkah restrukturisasi yang penulis nilai penting. Pada bagian kedua disajikan secara ringkas situasi produksi, permintaan dan impor gula. Bagian ketiga mengulas program restrukturisasi yang telah dirumuskan oleh Dewan Ketahanan Pangan. Pada bagian keempat dikemukakan refleksi dan evaluasi kebijakan pergulaan nasional selama ini, disambung bagian kelima tentang prospek dan tantangan ke depan. Kesimpulan dan rekomendasi kebijakan disajikan pada bagian keenam, yang merupakan bagian terakhir.

PRODUKSI, PERMINTAAN DAN IMPOR GULA

Produksi gula domestik pada saat ini belum mampu memenuhi kebutuhan gula yang terus meningkat. Total produksi gula (kristal putih) domestik saat ini mencapai 1,7 juta ton, sementara konsumsi mencapai 3,2-3,3 juta ton. Akibatnya Indonesia, mau tidak mau dan suka tidak suka, harus mengimpor gula sebanyak 1,5-1,6 juta ton setiap tahunnya. Saat ini Indonesia merupakan salah satu importir gula terbesar dunia.

Dalam kurun 10 tahun terakhir (1975-2001), luas area tebu dan produktivitas lahan, ditinjau dari bobot, kualitas tebu maupun hablur gula yang diperoleh, telah mengalami penurunan secara nyata. Luas areal menyusut sebesar 42,0 persen, sedangkan bobot tebu, rendemen dan hablur menurun berturut-turut 6,4 persen, 20 persen dan 25 persen2

2 Ditjen Bina Produksi Perkebunan. 2002. Program Akselerasi Peningkatan Produktivitas nasional.

Sekretariat Dewan Gula Nasional, Direktorat Jendral Bina Produksi Perkebunan.

(Ditjen Perkebunan-Dewan Gula Nasional, 2001). Terjadinya penurunan luas tanam dan produktivitas (bobot) tebu tersebut menyebabkan pabrik gula bekerja di bawah kapasitas terpasang.

Pada Tabel 1 disajikan data produktivitas tebu, rendemen dan produktivitas hablur (gula) dari tahun 1990-2002. Angka rendemen rata-rata selama 14 tahun terakhir adalah 7,23 persen, jauh lebih rendah dibandingkan potensi rendemen varietas unggul yang tersedia yakni sekitar 14 persen. Rendemen terbaik (the best practice rendement) yang dapat dicapai berada dalam kisaran 8-10 persen.

(3)

Tabel 1. Produktivitas Tebu dan Gula per Hektar, 1990-2002.

Tahun Tebu

(ton/ha) Rendemen

(%) Hablur

(ton/ha)

1989 78,90 7,64 6,02

1990 76,90 7,55 5,80

1991 72,90 7,99 5,83

1992 79,20 7,21 5,71

1993 78,60 7,52 5,91

1994 71,30 8,05 5,73

1995 71,50 6,97 4,98

1996 70,90 7,32 5,19

1997 72,50 7,83 5,68

1998 72,20 5,49 3,96

1999 62,60 6,97 4,36

2000 71,00 7,03 4,99

2001 73,00 6,86 5,01

2002 72,80 6,87 5,00

Rata-rata 73,20 7,23 5,30

Sumber: Dikutip dari Untung Murdiyatmo (2003)

Pada saat ini, lebih dari 80 persen bahan baku tebu pabrik gula (PG) di Jawa berasal dari tebu rakyat. Produktivitas lahan dan harga gula rendah serta biaya produksi yang semakin meningkat menyebabkan keuntungan usahatani tebu rendah dan bahkan merugi di beberapa tempat. Agar dapat bertahan, petani tebu berupaya menekan biaya produksi antara lain dengan mengepras tanamannya secara berulang-ulang (lebih dari 7-10 kali) dan menggunakan bibit-bibit pucukan yang mengabaikan kaidah dasar teknik budidaya tebu. Akibatnya, areal tanaman tebu keprasan semakin meluas, persentase campuran varietas tinggi dan serangan hama-penyakit meningkat.

Perluasan areal tanam tebu di Jawa menghadapi berbagai kendala teknis maupun ekonomis. Perluasan areal tanam tebu di sawah irigasi tidak mudah dilakukan karena harus menghadapi persaingan dengan tanaman padi dan pangan lainnya, yang mungkin lebih menguntungkan. Secara potensial, perluasan areal hanya mungkin dilakukan di sawah tadah hujan dan lahan kering (Tabel 2). Masalahnya adalah bahwa ketersediaan teknologi budidaya tebu di lahan kering belum sebaik lahan sawah, di samping sarana prasarana pendukung khususnya sarana irigasi belum tersedia.

Keadaan ini menjadi salah satu penyebab merosotnya produktivitas (bobot) tebu dan produksi hablur gula 10 tahun terakhir.

Gambaran suram juga terjadi pada PG, khususnya PG di Jawa yang berstatus BUMN. Sebagian besar PG di Jawa kesulitan meningkatkan efisiensinya karena di samping mesin dan peralatan pabrik yang sudah tua, PG harus menghadapi mutu tebu

(4)

yang rendah dan pasokan tebu harian kurang. Hasil kajian terdahulu memperlihatkan bahwa 26 PG (50%) tidak efisien baik secara teknis maupun ekonomis3

Tahun

. Hasil kajian Booker Tate Indonesia (BTI) berhasil mengidentifikasi pabrik-pabrik yang tidak efisien.

Selanjutnya BTI merekomendasikan rasionalisasi pabrik-pabrik gula di Jawa termasuk penutupan beberapa pabrik yang dinilai tidak efisien dan terlalu mahal untuk diselamatkan. Ada 19 pabrik yang disarankan ditutup, lima pabrik kemungkinan untuk ditutup dan satu pabrik dikonversi menjadi pabrik gula rafinasi (BTI, 1999).

Tabel 2. Tanaman Tebu menurut Peruntukan Lahan (ooo ha)

Sawah Lahan Kering Total Area

1980 105 28 133

1990 137 134 271

1996 136 139 275

2000 84 125 209

Sumber: Dewan Gula Nasional

Sementara produksi gula nasional merosot, angka permintaan (konsumsi) gula tercatat terus meningkat secara nyata. Peningkatan tidak terlepas dari peningkatan konsumsi rumahtangga, dan terutama merupakan akibat langsung dari berkembang pesatnya industri makanan dan minuman yang membutuhkan bahan baku gula tebu.

Selama lima tahun terakhir, permintaan gula meningkat dengan laju 5,3 persen per tahun, yakni meningkat dari 2,7 juta ton pada tahun 1997 menjadi sekitar 3,5 juta ton pada tahun 2002. Sebagaimana tersaji pada Tabel 3, sebagian dari kebutuhan gula harus dipenuhi dari impor. Selama kurun waktu 1998-2001, volume impor gula mengalami kenaikan dengan laju 7,7 persen per tahun, yakni dari 1,2 juta ton pada tahun 1998 meningkat menjadi 1,5 juta ton tahun 2002.

Tabel 3. Neraca Produksi, Kebutuhan dan Impor Gula Indonesia, 1998-2001 (ton)

Uraian 1998 1999 2000 2001

Produksi 1.496.027 1.498.000 1.691.000 1.725.000

Kebutuhan 2.729.000 3.000.000 3.100.000 3.200.000

Impor 1.232.973 1.502.000 1.409.000 1.475.000

Sumber: BPS

Laju pertumbuhan permintaan gula untuk bahan baku industri makanan jauh lebih tinggi dibandingkan laju pertumbuhan untuk konsumsi rumah tangga, terlihat dari terus meningkatnya pangsa permintaan gula untuk bahan baku industri. Pangsa

3 Tim Kecil Persiapan Revitalisasi Pergulaan Indonesia (1999): Analisis dan Rekomendasi Kebijakan Pergulaan Indonesia

(5)

permintaan gula untuk bahan baku industri pengolahan makanan dan minuman pada tahun 1985 tercatat 20,7 persen dari total permintaan gula nasional, selanjutnya meningkat menjadi 30,9 persen pada tahun 1990, dan menjadi 41,4 persen pada tahun 1995 (Tabel 4).

Tabel 4. Pangsa Permintaan Gula oleh Rumah Tangga dan Industri Pengolahan (%)

Permintaan 1985 1990 1995

Industri Pengolahan 20,7 30,9 41,4

Rumah Tangga 75,8 65,8 52,9

Permintaan lain 3,5 3,3 5,7

Total 100 100 100

Sumber: Tabel I/O 1985, 1990, 1995 (BPS)

Data tentang pangsa permintaan mempunyai implikasi yang sangat penting dalam melihat prospek pengembangan industri gula nasional, mengingat gula untuk konsumsi rumahtangga bukan merupakan “perfect substitutes” dari kebutuhan sebagian industri pengolahan makanan dan minuman. Mengingat pangsa permintaan gula untuk industri tumbuh lebih cepat dibandingkan untuk konsumsi rumah tangga, maka industri gula nasional perlu diarahkan untuk memenuhi kebutuhan ini.

PROGRAM RESTRUKTURISASI INDUSTRI GULA NASIONAL

Pada tahun 2003, Dewan Ketahanan Pangan telah memprakarsai penyusunan kebijakan komprehensif (restrukturisasi) industri gula nasional. Di samping membentuk Tim Khusus untuk melakukan kajian akademis, Dewan Ketahanan Pangan juga membentuk Tim Kebijakan Lintas Departemen yang bertugas merumuskan program restrukturisasi tersebut. Langkah koordinasi antarinstansi sengaja dilakukan sejak awal agar diperoleh kesepahaman mulai dari perumusan program sampai pelaksanaan di lapangan.

Proses perumusan kebijakan dan program tidak dilakukan dengan merombak kebijakan yang telah ada, namun lebih bersifat merekonstruksi dan menyempurnakan kebijakan yang ada agar lebih terintegrasi, konsisten dan lebih efektif dalam mencapai sasaran. Secara garis besar, program restrukturisasi industri gula mencakup: (1) rehabilitasi pertanaman dan budidaya tebu, (2) penyehatan dan peningkatan efisiensi pabrik gula, (3) tataniaga dan pengendalian impor gula, dan (4) kebijakan pendukung yang mencakup perbaikan sarana dan prasarana, perbaikan kelembagaan pergulaan, revitalisasi lembaga dan kegiatan penelitian dan pengembangan (Sekretariat Dewan Ketahanan Pangan, 2003).

Ada dua peran utama pemerintah dalam program restrukturisasi: (i) menye- hatkan pabrik gula di Jawa, yang hampir semuanya BUMN, dan (ii) membantu petani

(6)

dalam meremajakan tanaman tebunya. Untuk peran pertama, Booker Tate Indonesia (BTI) dalam laporan hasil kajiannya merekomendasikan beberapa program yang harus dilakukan pemerintah yakni rehabilitasi dan modernisasi pabrik, penggabungan operasi beberapa pabrik, dan penutupan beberapa pabrik yang dinilai tidak bisa (terlalu mahal untuk) diselamatkan.

Kemampuan produksi gula domestik yang terus menurun terutama disebabkan oleh penurunan produktivitas dan efisiensi industri secara keseluruhan, mulai dari budidaya tebu sampai ke pabrik gula. Produktivitas tanaman tebu rendah karena sebagian besar dihasilkan dari tanaman ratoon yang telah dikepras lebih dari tiga kali dan bahkan hingga belasan kali dengan tingkat pemeliharaan yang kurang memadai.

Pengelolaan proses tebang-angkut-giling yang kurang optimal juga memberikan kontribusi pada rendahnya produktivitas tebu per hektar.

Pada pabrik gula, rendahnya efisiensi terutama disebabkan sebagian besar pabrik gula berkapasitas kecil kurang dari 3000 ton tebu per hari. Mesin yang sudah tua dan kualitas bahan baku tebu yang rendah menyebabkan rendahnya produktivitas gula hablur (kristal). Produktivitas hablur rata-rata secara nasional terus menurun dari sekitar sembilan ton per ha pada dekade 1960-1970-an menjadi 5,4 ton per ha pada dekade 1980-90-an dan terus menurun menjadi 4,8 ton per ha pada periode 1999-2001. Di samping itu terdapat masalah manajemen perusahaan yang pada gilirannya berdampak pada rendahnya efisiensi pabrik.

Rendahnya harga gula di pasar internasional akibat surplus pasokan dan distorsi kebijakan negara eksportir dan importir, semakin menurunkan insentif bagi upaya pengembangan dan restrukturisasi gula nasional. Hampir semua negara produsen gula memproteksi pasar domestiknya dengan tarif dan kuota impor, sebagai reaksi terhadap kebijaksanaan sangat protektif yang diterapkan oleh EU, US dan Jepang terhadap industri gula mereka. Tanpa proteksi, para pelaku industri gula nasional senantiasa dihadapkan pada situasi persaingan usaha yang tidak adil. Situasi inilah yang menjadi alasan pemerintah menerapkan kebijakan proteksi berupa pembatasan impor.

Revitalisasi Subsistem Budidaya Tebu

Revitalisasi subsistem budidaya tebu yang ditujukan untuk meningkatkan produksi dan produktivitas tebu (ton tebu per hektar) maupun rendemen telah dirumus- kan dalam Program Akselerasi Peningkatan Produktivitas Gula Nasional (PAPPGN), yang telah disusun bersama antara Direktorat Jendral Perkebunan bersama pihak stakeholders. Belum jelas, apakah PAPPGN telah melalui pembahasan di tingkat rapat koordinasi menteri perekonomian atau belum. Yang jelas, pelaksanaan PAPPGN menghadapi banyak hambatan, termasuk tersendatnya pencairan kredit untuk rehabilitasi kebun tebu. Fokus dari program ini adalah merehabilitasi tanaman ratoon yang telah dikepras berulang-kali dengan tanaman baru, memperbaiki teknologi budidaya, memperluas areal tanaman tebu, dan memperbaiki manajemen panen.

(7)

Program yang telah dan masih dilaksanakan dalam kerangka PAPPGN, antara lain, adalah: (1) penyediaan bibit bermutu untuk rehabilitasi tanaman, (2) peningkatan mutu budidaya dan mutu tebu, (3) perbaikan manajemen tebang-angkut-muat, dan (4) penyediaan input dan modal kerja melalui Kredit Ketahanan Pangan (KKP) dan dana bergulir Pinjaman Langsung Masyarakat (PLM).

Penyediaan kredit modal kerja, di samping pagunya yang rendah (kurang mencukupi), persetujuan dan pencairannya mengalami keterlambatan, baik yang disalurkan melalui KKP dengan dana perbankan maupun dana bergulir PLM yang bersumber dari APBN Departemen Pertanian. Dalam hal penyaluran KKP, dijumpai persyaratan yang berbeda antarbank, sehingga memerlukan proses perundingan yang memakan waktu lama. Di samping itu, manajemen perbankan yang sentralistis kurang memberikan fleksibilitas kantor cabang untuk melakukan penyesuaian di lapangan.

Penyehatan dan Peningkatan Efisiensi Pabrik Gula

Penyehatan pabrik gula ditujukan untuk meningkatkan efisiensi teknis maupun ekonomis pada proses pengolahan tebu menjadi gula. Dalam kerangka PAPPGN, telah dicanangkan program-program berikut: (1) perbaikan manajemen industri gula, menca- kup desentralisasi kewenangan dan tanggung jawab, keterbukaan, dan penerapan manajemen audit masing-masing stasiun, (2) perbaikan efisiensi pengolahan gula mencakup optimalisasi kapasitas giling, minimalisasi jam berhenti giling, minimalisasi kehilangan gula dan rehabilitasi pabrik, (3) pengembangan produk mencakup pemanfaatan produk samping dan integrasi proses pengolahan, dan (4) pengelolaan lingkungan untuk mencegah pencemaran.

Terdapat beberapa kelemahan dalam desain maupun pelaksanaan program peningkatan efisiensi pabrik gula dari PAPPGN yang telah berjalan sejak 2002. Ada dua aspek penting yang belum tercakup dalam PAPPGN yakni privatisasi BUMN/PTPN- Gula, dan konsolidasi areal tebu rakyat kedalam sistem manajemen PG. Dalam kajiannya, Tim Khusus (2003) menyarankan agar kedua aspek tersebut menjadi bagian integral (bahkan menjadi prakondisi) dalam melakukan penyehatan pabrik gula. Secara rinci, rumusan Program Penyehatan Pabrik Gula disajikan dalam laporan “Usulan Alternatif Kebijakan Pengembangan Agribisnis Gula Nasional” (Sekretariat Dewan Ketahanan Pangan, 2003), dilengkapi dengan langkah-langkah privatisasi PTPN-Gula yang telah dilaksanakan oleh Kantor Meneg BUMN.

Tataniaga dan Pengendalian Impor

Kebijakan tataniaga dan pengendalian impor ditujukan untuk menjaga stabilitas harga gula di pasar domestik dalam rangka melindungi kepentingan produsen dan konsumen. Beberapa kebijakan pemerintah telah dikeluarkan dalam dua tahun terakhir, antara lain: (1) Keputusan Menperindag No 141/MPP/Kep/3/2003 yang mengharuskan importir delapan komoditas, termasuk gula, untuk memiliki Nomor Pengenal Importir

(8)

Khusus (NPIK), (2) Keputusan MenKeu No 324/KMK.01/07/2002 yang menetapkan tarif impor gula putih (white sugar) sebesar Rp700 per kg (meningkat dari Rp600 per kg) dan gula mentah (raw sugar) menjadi Rp550 per kg (meningkat dari Rp450 per kg), (3) Keputusan Menperindag No 643/MPP/Kep/09/2002 tentang tataniaga impor gula, yang memberikan hak impor gula mentah dan gula rafinasi kepada importir produsen (IP), dan memberikan hak impor gula putih kepada empat perusahaan sebagai importir terdaftar (IT), yaitu PTPN IX, PTPN X, PTPN XI, dan PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI), yang memenuhi persyaratan di mana minimal 75 persen bahan bakunya berasal dari tebu rakyat.

Kebijakan Pendukung

Kebijakan pendukung sangat diperlukan bagi efektivitas pelaksanaan program restrukturisasi industri gula nasional, baik di subsistem budidaya, pabrik gula, maupun tataniaga dan pengendalian impor. Kebijakan pendukung antara lain mencakup investasi publik untuk perbaikan sarana dan prasarana, perbaikan kelembagaan pergulaan, revitalisasi lembaga dan kegiatan penelitian dan pengembangan (R&D)

KEBIJAKAN GULA NASIONAL: SEBUAH REFLEKSI DAN EVALUASI Harus dipahami, kebijakan pemerintah sampai 1997, terutama dalam kebijakan tataniaga gula yang dilaksanakan BULOG, telah memberikan perlindungan “non-tariff”

yang sangat besar yang memungkinkan pabrik gula yang tidak efisien tetap bertahan.

Pembatasan impor gula (non-tariff) tersebut memungkinkan pabrik gula untuk menjual gula (dibeli oleh pemerintah lewat BULOG) dengan harga di atas harga paritas impor.

Akan tetapi, kebijakan pemerintah selama ini ternyata tidak mampu mendorong, mungkin malah menghambat, langkah restrukturisasi industri secara keseluruhan, khususnya upaya peningkatan produktivitas dan efisiensi pabrik. Kebijakan TRI dan pengaturan areal tanam tebu (geblagan) secara tidak langsung juga menghilangkan kesempatan bagi petani, pemilik lahan, untuk memperoleh penerimaan dan keuntungan yang lebih tinggi dari pengusahaan tanaman lain.

Sejak 1998, menyusul penandatanganan Letter of Intent (LOI) antara pemerintah dengan IMF, pemerintah memberlakukan liberalisasi perdagangan, di mana monopoli BULOG dalam tataniaga dan impor gula dihapuskan, dan sejak itu impor gula dilakukan secara bebas oleh importir umum (general importer). Semua subsidi sarana produksi, termasuk subsidi pupuk, dihapuskan. Industri gula, yang sebelumnya memang telah mengalami kesulitan, semakin merosot kinerjanya. Areal tebu terus merosot, demikian pula total produksi dan produktivitas, serta rendemen dan produktivitas gula hablur. Relatif rendahnya harga gula di pasar dunia, dibebaskannya impor gula, dan terus meningkatnya permintaan gula domestik telah mampu meminimumkan dampak negatif dari depresiasi nilai tukar rupiah pada waktu itu. Sebagai akibatnya, volume impor gula mengalami peningkatan.

(9)

Gula impor yang murah terus mengalir dan menjadi ancaman bagi industri gula nasional. Pada tahun 2000, kebijakan pembebasan impor mulai dikoreksi dan terus dikoreksi sejak saat itu. Pemerintah menetapkan tarif impor sebesar 20 persen untuk gula mentah dan 25 persen untuk gula putih. Sejak pertengahan 2002, tarif ad valorem tersebut dinaikkan dan sekaligus digantikan tarif spesifik, sebesar Rp550 per kg untuk gula mentah dan Rp700 per kg untuk gula putih. Akhir tahun 2002, kebijakan tersebut dikombinasikan impor kuota yang diberikan kepada sejumlah importir terdaftar (IT) untuk gula putih, dan importir produsen (IP) untuk gula mentah.

Harus pula diakui bahwa masalah industri gula nasional (khususnya di Jawa) bukanlah masalah baru, atau masalah yang muncul akibat krisis ekonomi, atau masalah akibat dibebaskannya perdagangan gula pada tahun 1998 (LOI-IMF), tetapi lebih merupakan masalah akut yang mencerminkan ketidakmampuan dari pabrik gula di Jawa untuk berproduksi secara efisien dan bersaing dengan produsen gula lain di pasar dunia. Ketidakefisienan sebagian besar pabrik gula di Jawa telah diketahui jauh sebelum krisis, dan pemerintah sudah menyatakan perlunya restrukturisasi industri gula, di antaranya melalui konsolidasi operasi pabrik-pabrik gula kecil di Jawa, rehabilitasi pabrik, dan mulai merelokasi produksi gula ke luar Jawa. Bahkan akhir tahun 1990an, pemerintah telah membuat keputusan untuk menutup 27 dari 57 pabrik gula milik negara.

Kebijakan pembatasan perdagangan gula saat ini hampir mirip dengan kebijakan sebelum krisis ekonomi. Bedanya, kalau dulu menggunakan instrumen nontarif dan monopoli BULOG, saat ini mengkombinasikan instrumen tarif dan nontarif.

Pembatasan impor menguntungkan produsen tetapi merugikan konsumen dan menciptakan inefisiensi ekonomi (deadweight loss) bagi perekonomian. Konsumen secara keseluruhan dipaksa membayar harga gula di atas harga paritas impor. Semakin tinggi tarif impor atau semakin ketat hambatan nontarif, maka semakin bertambah beban yang harus ditanggung konsumen. Usahatani tebu dan agribisnis gula menjadi

“tampak” menguntungkan dibandingkan usahatani komoditas lainnya. Proteksi terhadap satu komoditas merupakan tambahan biaya untuk komoditas lain. Jika tidak hati-hati, proteksi berlebihan terhadap industri gula dapat mengancam produksi beras nasional, khususnya di Jawa (Erwidodo, 2002).

Apakah dampak positif dari proteksi yang diberikan kepada industri gula?

Argumentasi yang paling sering dikemukakan oleh pendukung langkah protektif, antara lain, adalah: (1) memasok bagian terbesar dari kebutuhan gula domestik akan memberikan kepada pemerintah kendali yang lebih baik atas pergolakan harga gula, (2) melindungi industri gula domestik akan mengamankan cukup banyak lapangan kerja, dan (3) melindungi industri gula sekarang akan memberikan kesempatan kepada pabrik gula untuk berbenah diri dan pada saatnya lebih bersaing. Kenyataan selama ini memperlihatkan bahwa ketiga argumentasi di atas tidak sepenuhnya benar. Proteksi yang diberikan terhadap industri gula selama ini ternyata tidak membuat pabrik-pabrik gula berkembang (ber-ekspansi), menjadi efisien dan mampu bersaing di pasar global.

(10)

Masih dapat diperdebatkan apakah kesempatan kerja yang diselamatkan (diper- tahankan) dengan mempertahankan industri gula lebih besar dibandingkan kesempatan kerja yang diciptakan dengan berkembangnya industri baru.

Adalah suatu kenyataan bahwa pasar gula dunia terdistorsi akibat dari kebijakan protektif di hampir semua negara, termasuk negara-negara yang dikenal sebagai produsen gula utama dunia. Kebijakan sangat protektif terutama terjadi di negara industri seperti EU, USA dan Jepang. Akibat langsung, harga gula di pasar dunia menjadi sangat murah seiring dengan terus meningkatnya surplus gula dunia.

Harga gula di dunia jauh lebih rendah dibandingkan biaya produksi gula di sebagian besar negara produsen. Beberapa negara produsen menerapkan kebijakan subsidi ekspor dan bantuan domestik di satu pihak, serta melakukan pembatasan impor melalui tarif impor di lain pihak.

Dalam menghadapi pasar gula global yang tidak “fair”, langkah perlindungan terhadap industri gula domestik menjadi beralasan dan masuk akal. Kalau tidak ada pengendalian (pembatasan) impor dapat dipastikan industri gula akan terpuruk dan sulit untuk bangkit lagi. Masalahnya adalah: (1) sampai tingkat berapa dan sampai kapan proteksi akan terus diberikan, apakah sampai pasar global menjadi “fair”? (2) kalau tidak selamanya, bagaimana skedul dan mekanisme pengurangan proteksi tersebut? (3) bagaimana implikasi manfaat yang diperoleh dan biaya yang harus ditanggung untuk setiap pilihan kebijakan?

PROSPEK DAN TANTANGAN KE DEPAN

Banyak faktor yang diperkirakan mempengaruhi keberlanjutan dan keberha- silan dari program restrukturisasi industri gula nasional. Sebagian merupakan faktor internal dan sebagian lainnya eksternal. Keberlanjutan dan tingkat keberhasilan program ditentukan oleh kemampuan para pelaku industri, khususnya manajemen PG dan petani tebu, untuk memanfaatkan keunggulan dan kekuatan yang dimiliki serta menggunakan setiap kesempatan sebaik-baiknya dalam menghadapi setiap masalah dan tantangan. Berikut ini dikemukakan beberapa masalah dan/atau tantangan program restrukturisasi industri gula nasional pada saat ini dan pada masa depan.

Kebutuhan Bahan Baku Tebu dan Pengembangan Tebu Lahan Kering

Beberapa hasil penelitian terdahulu memperlihatkan bahwa tanah irigasi bisa lebih menguntungkan untuk ditanami padi (dua kali) dan tanaman palawija (jagung atau kedele), dibandingkan ditanami tebu. Alasan ekonomi inilah yang sebenarnya melatarbelakangi perlunya “paksaan” kepada petani di Jawa untuk menamam tebu pada masa lalu. Tanpa paksaan ini, budidaya tebu di lahan beririgasi akan tergusur. Kondisi ini diperkirakan akan terjadi meskipun pemerintah menerapkan tarif impor yang sangat

(11)

tinggi. Respons yang agak berbeda terjadi pada lahan kering. Karena tanaman lain tidak terlalu menguntungkan untuk diusahakan dan risiko kegagalan cukup tinggi maka petani lebih senang menaman tebu (karena ada perlindungan dari pemerintah) atau menyewakan lahannya ke pabrik gula.

Tanah perkebunan di Jawa yang telah diperuntukan untuk menanam tebu pada masa lalu menghadapi masa depan yang tidak pasti. Jika pabrik mampu bertahan, mungkin para petani pemilik lahan akan terus menanam tebu. Namun pertimbangan biaya oportunitas lahan (opportunity cost of land), memperbesar peluang bagi para petani pemilik lahan untuk mengusahakan tanaman dengan keuntungan yang lebih besar. Pada masa mendatang industri pergulaan di Jawa, akan menghadapi masalah kelangkaan bahan baku tebu akibat semakin tingginya biaya oportunitas lahan sawah.

Apakah petani mau dipaksa untuk menanam tebu di lahan sawahnya? Kalau tidak mau, bagaimana pabrik gula di Jawa memperoleh pasokan tebu untuk digiling?

Pengembangan areal tebu lahan kering merupakan alternatif yang paling mungkin, baik untuk di Jawa maupun luar Jawa. Dalam kaitan ini, pengembangan sarana irigasi skala kecil, baik sarana irigasi sederhana seperti embung dan semacamnya maupun pompa air, dinilai menjadi faktor penentu sukses pengembangan pertanaman tebu lahan kering. Untuk itu, dukungan pemerintah melalui kebijakan fiskal yang memadai amat penting dalam mendorong pergeseran pertanaman tebu dari lahan sawah beririgasi ke lahan kering, dan sekaligus untuk meningkatkan produktivitas gula nasional. Di samping untuk membangun infrastruktur, dukungan dana yang memadai perlu diberikan untuk kegiatan penelitian dan pengembangan (R&D) teknologi tebu lahan kering. Pengembangan lahan kering akan berdampak positif terhadap usaha mengurangi kemiskinan yang umumnya terkonsentrasi di wilayah ini, serta mengurangi kesenjangan kesejahteraan antarkawasan4

Langkah privatisasi PTPN-Gula merupakan salah satu tahap restrukturisasi industri yang paling sarat konflik kepentingan. Diperkirakan, privatisasi PTPN-Gula menjadi faktor penghambat keberlanjutan program restrukturisasi industri gula.

Keberadaan BUMN tidak dapat dilepaskan dari kepentingan sekelompok elit partai .

Privatisasi Pabrik Gula dan Keberlanjutan Program Restrukturisasi

Restrukturisasi suatu industri merupakan program berjangka menengah dan panjang, yang tidak mungkin diselesaikan dalam satu kurun waktu pemerintahan.

Pertanyaannya, masih dapatkah program restrukturisasi industri gula tersebut terus berlanjut meskipun terjadi pergantian kabinet atau pemerintahan? Adakah mekanisme politik yang dapat menjamin keberlanjutan suatu program berjangka panjang?

Pengalaman “ganti menteri ganti kebijakan” perlu diantisipasi agar tidak mengulangi kesalahan yang sama.

4 Insiden kemiskinan secara dominan terjadi di daerah pedesaan. Menurut data BPS (2002), jumlah orang miskin di pedesaan mencapai 22.7 juta orang, atau sekitar 64% dari total orang miskin di Indonesia.

(12)

politik dan birokrat yang sedang berkuasa. Dalam situasi penegakan hukum yang lemah, keberadaan BUMN sering dijadikan sebagai sumber pendanaan bagi semua partai berkuasa, serta menjadi ajang terjadinya korupsi, kolusi dan konspirasi. Partai yang tidak berkuasa bisa saja menjadi pengontrol praktek KKN, tetapi dapat pula terlibat kolusi dan konspirasi dengan partai penguasa dalam memanfaatkan sumberdaya publik di suatu BUMN. Situasi seperti ini terus berulang dari satu rezim pemerintahan ke pemerintahan berikutnya.

Dominasi pemerintah dalam industri dan bisnis pergulaan diperkirakan menjadi salah satu hambatan utama pelaksanaan restrukturisasi industri gula nasional.

Dominasi kepemilikan PG oleh pemerintah senantiasa melahirkan konflik kepentingan.

Keberadaan pemerintah yang seharusnya menjadi regulator, fasilitator dan wasit tidak dapat terlaksana karena pada saat yang sama pemerintah juga terjun sebagai pemain bisnis. Oleh karena itu, agenda restrukturisasi industri gula hanya mungkin dilaksanakan jika (dan hanya jika) ada kemauan politik yang kuat untuk (secara bertahap dan sistematis) melakukan privatisasi PTPN-Gula dan pabrik gula di Jawa, menjadi perusahaan terbuka (Tbk). Dengan langkah ini konflik kepentingan diharapkan bisa dikurangi, pemerintah bisa bertindak sebagai fasilitator dan regulator, dan manajemen PG bisa lebih professional, independen dan akuntabel.

Seperti dikemukakan sebelumnya, privatisasi PTPN mencakup, antara lain, (a) mencari strategic partner bagi PTPN dan/atau PG, (b) melakukan “initial public offering (IPO)” bagi PTPN yang dapat memenuhi persyaratan, dan (c) skim khusus privatisasi PG, yakni memperhitungkan lahan sebagai penyertaan modal petani tebu dalam manajemen PG. Untuk ini diperlukan rencana komprehensif dan sistematis program privatisasi PTPN-Gula. Mengingat privatisasi merupakan keputusan politik maka perlu memperoleh dukungan politik lewat pembahasan di DPR.

Langkah konsolidasi lahan sebagai bentuk penyertaan modal petani tebu dalam manajemen PG merupakan langkah strategis saling menguntungkan antara PG dan petani tebu. Langkah ini merupakan skim khusus dari langkah privatisasi PG (PTPN), dan merupakan alternatif yang lebih baik dibandingkan sistem sewa maupun sistem TRI. Dengan skim ini, terjadi rasa memiliki dari petani terhadap PG dan sebaliknya pihak gula juga akan ikut bertanggung jawab terhadap kualitas kebun tebu.

Dengan skim ini, pihak PG dan petani tebu akan menanggung risiko (risk sharing) dan menikmati keuntungan (profit sharing) secara bersama-sama sesuai dengan standar pembagian keuntungan dari sebuah perusahaan terbuka (Tbk).

Privatisasi PG diharapkan menjadi kunci sukses restrukturisasi industri gula nasional. Manajemen PG diharapkan lebih professional dan terbebas dari konflik kepentingan birokrasi dan politik. Dengan manajemen seperti ini, PG dapat lebih responsif terhadap perkembangan dan sinyal pasar. PG dapat lebih responsif terhadap tuntutan konsumen, termasuk tuntutan konsumen terhadap kualitas gula yang lebih baik. Dalam rencana, penyehatan PG tidak secara eksplisit menyebut upaya modernisasi mesin dan peralatan pabrik untuk meningkatkan efisiensi dan kualitas gula

(13)

yang dihasilkan. Dengan manajemen PG yang baru, upaya peningkatan mutu gula diharapkan menjadi bagian integral penyehatan PG.

Sampai Kapan Proteksi Diberlakukan?

Pengalaman memperlihatkan bahwa sekali proteksi diberlakukan maka tidak mudah untuk menghapuskannya. Pihak-pihak yang selama ini menikmati manfaat dari proteksi akan berupaya dengan berbagai cara, termasuk lobi politik, agar proteksi tidak dikurangi apalagi dihapuskan. Meskipun Menteri Pertanian berulang kali menyatakan bahwa proteksi hanya akan diberikan sampai 2007, tidak ada jaminan pernyataan ini secara konsisten akan dilaksanakan setelah ganti pemerintahan. Masing-masing pihak (stakeholders) akan melakukan langkah-langkah untuk mengamankan kepentingannya.

Menteri yang baru, misalnya, akan menghadapi tuntutan yang sama dari produsen gula, sama seperti saat ini, dan kemungkinan akan mengabulkan tuntutan tersebut selama masa pemerintahannya.

Pertanyaannya, apakah dengan perlindungan yang diberikan saat ini dan dijanjikan Mentan sampai 2007 akan dapat memacu peningkatan produktivitas dan efisiensi? Atau, apakah surplus yang dinikmati diinvestasikan untuk pembenahan internal termasuk rehabilitasi dan modernisasi mesin-mesin pabrik? Mampukah Asosiasi Petani Tebu Rakyat (APTR) melakukan kontrol terhadap pabrik agar melakukan upaya peningkatan produktivitas dan efisiensi, karena inefisiensi di dalam pabrik gula sebagian akan dibebankan kepada petani. Ini pertanyaan empiris dan memerlukan bukti empiris.

Pengalaman selama ini menggiring kita untuk menjawab “tidak”, artinya kita akan kembali mendengar tuntutan proteksi dari produsen gula pada tahun 2007, 2010, dan mungkin pada tahun 2020.

Proteksi dapat memberikan manfaat dalam jangka panjang jika industri yang diproteksi sadar bahwa proteksi tidak mungkin diberikan terus menerus. Dengan kesadaran ini mereka berbenah diri pada saat proteksi diberlakukan dan pada saatnya proteksi dihilangkan atau dikurangi, mereka sudah siap untuk kembali bersaing dengan produsen dari negara eksportir. Inilah esensi dari mekanisme “counter dumping measure” ataupun “special safeguard” yang masih dalam pembahasan di forum WTO.

Argumen “infant industry” tidak lagi relevan diterapkan dalam kasus proteksi kepada pabrik gula di Indonesia, karena di samping sudah tidak lagi “bayi”, pemberian proteksi sudah berlangsung lama.

Agar efektif dalam mencapai tujuan, pemberian proteksi (baik dengan tarif maupun nontarif) harus dirancang untuk jangka waktu tertentu, dan dari awal harus ditetapkan jadwal pengurangan sampai saat penghapusannya. Semua pelaku industri gula, khususnya PG, harus mematuhi jadwal waktu yang ditetapkan dan disepakati sejak awal. Departemen Pertanian, misalnya, telah membuat rencana strategis restrukturisasi industri gula nasional, dan menetapkan proteksi hanya akan diberikan sampai dengan 2007, dan sejak itu secara bertahap akan dikurangi dan pada akhirnya dihapuskan pada tahun 2010.

(14)

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

Masalah fundamental yang dihadapi sebagian besar PG nasional adalah inefisiensi dan produktivitas yang rendah dan cenderung terus menurun. Rendahnya produktivitas (biaya per unit yang tinggi) ini terjadi baik di usahatani tebu (on-farm), tebang-angkut, maupun di penggilingan (PG). Oleh karena itu, agenda restrukturisasi industri gula harus mencakup dan memecahkan permasalahan tersebut. Kebijakan tataniaga dan impor saja tidak cukup untuk restrukturisasi (menyelamatkan dan menyehatkan) industri gula nasional.

Pemberian proteksi lewat pengenaan tarif impor perlu dilakukan sepanjang tidak berlebihan dan tidak mengesampingkan pertimbangan efisiensi dan beban yang harus ditanggung oleh konsumen. Penerapan tarif impor juga tidak menyalahi ketentuan WTO. Harus dipahami bahwa pemberlakuan tarif impor yang kelewat tinggi (mendekati

“prohibitive tariff”) justru menjadi counter productive karena akan memicu praktek penyelundupan dan mendorong terjadinya misalokasi sumberdaya pertanian.

Pembatasan impor yang berlebihan hanya menguntungkan pencari rente ekonomi (rent seeker), dan tidak otomatis memacu pelaku industri melakukan pembenahan usaha untuk meningkatkan kinerja dan efisiensi industri gula. Harus ada langkah dan agenda konkrit dari pelaku industri, khususnya PG, untuk meningkatkan kinerja manajemen, meningkatkan produktivitas (rendemen gula) atau menekan biaya produksi. Keberadaan APTR harus dapat mewakili kepentingan petani tebu untuk memaksa PG melakukan peningkatan efisiensi pabrik. Secara bersamaan, subsidi dan dukungan langsung dari pemerintah baik dalam bentuk pendanaan R&D, pembangunan sarana irigasi, maupun perbaikan sarana jalan dan angkutan sangat diperlukan untuk mendorong agenda restrukturisasi industri pergulaan nasional.

Agar efektif dalam mencapai tujuan, pemberian proteksi (baik dengan tarif maupun nontarif) harus dirancang untuk jangka waktu tertentu, dan dari awal harus ditetapkan jadwal pengurangan sampai saat penghapusannya. Semua pelaku industri gula, khususnya PG, harus mematuhi jadwal waktu yang ditetapkan dan disepakati sejak awal. Departemen Pertanian, misalnya, telah membuat rencana strategis restrukturisasi industri gula nasional, dan menetapkan proteksi hanya akan diberikan sampai dengan 2007. Sejak itu secara bertahap akan dikurangi dan pada akhirnya dihapuskan pada tahun 2010.

Kebijakan pembatasan impor dan tataniaga saja tidak cukup, karena tidak secara otomatis mampu mendorong peningkatan efisiensi dan daya saing industri gula nasional. Dominasi pemerintah dalam industri dan bisnis pergulaan diduga menjadi salah satu hambatan utama pelaksanaan restrukturisasi dan revitalisasi industri gula nasional. Langkah privatisasi PTPN (secara bertahap dan sistematis) merupakan langkah “keharusan” dari program restrukturisasi dan revitalisasi industri gula nasional.

Privatisasi PTPN mencakup, antara lain: (a) mencari strategic partner bagi PTPN dan/atau PG, (b) melakukan “initial public offering (IPO)” bagi PTPN yang dapat

(15)

memenuhi persyaratan, dan (c) skim khusus privatisasi PG, yakni memperhitungkan lahan sebagai penyertaan modal petani tebu dalam manajemen PG. Untuk ini diperlukan rencana komprehensif dan sistematis program privatisasi PTPN-Gula, dengan dukungan DPR.

Langkah konsolidasi lahan sebagai bentuk penyertaan modal petani tebu dalam manajemen PG merupakan langkah strategis saling menguntungkan antara PG dan petani tebu. Langkah ini merupakan skim khusus dari langkah privatisasi PG (PTPN), dan merupakan alternatif yang lebih baik dibandingkan sistem sewa maupun sistem TRI. Dengan skim ini, pihak PG dan petani tebu akan menanggung risiko (risk sharing) dan menikmati keuntungan (profit sharing) secara bersama-sama sesuai dengan standar pembagian keuntungan dari sebuah perusahaan terbuka (Tbk).

Pada masa mendatang PG di Jawa dipastikan akan menghadapi masalah kelangkaan bahan baku tebu akibat semakin tingginya biaya oportunitas lahan sawah.

Lahan sawah beririgasi yang diperuntukan penanaman tebu pada masa lalu menghadapi ketidakpastian pada masa depan. Jika PG mampu bertahan, mungkin para petani pemilik lahan akan terus menanam tebu. Namun pertimbangan biaya oportunitas lahan memperbesar peluang bagi para petani pemilik lahan sawah beririgasi untuk mengusahakan tanaman dengan keuntungan yang lebih besar.

Pengembangan areal tebu lahan kering merupakan alternatif yang paling mungkin untuk mempertahankan PG di Jawa maupun luar Jawa. Pengembangan sarana irigasi skala kecil, baik irigasi sederhana seperti embung dan semacamnya maupun pompa air, dinilai menjadi faktor penentu sukses pengembangan pertanaman tebu lahan kering.

Dukungan pemerintah melalui kebijakan fiskal yang memadai amat penting dalam mendorong pergeseran pertanaman tebu dari lahan sawah beririgasi ke lahan kering, dan sekaligus untuk meningkatkan produktivitas gula nasional. Di samping untuk membangun infrastruktur, dukungan dana yang memadai perlu diberikan untuk kegiatan penelitian dan pengembangan (R&D) teknologi tebu lahan kering.

Pengembangan pertanaman tebu di lahan kering tidak hanya menjadi kunci sukses restrukturisasi industri gula nasional, tetapi sekaligus menjadi salah satu kunci sukses usaha mengurangi kemiskinan yang umumnya terkonsentrasi di wilayah ini, serta mengurangi kesenjangan kesejahteraan masyarakat antarwilayah.

DAFTAR PUSTAKA

Booker Tata Indonesia. 1999. Supplementary Comments on Booker Tate Indonesia’s Study of the Indonesian Sugar Industry.

Erwidodo. 2003. SK 643 tahun 2002: Antara Konsepsi dan Kenyataan. Memo Kebijakan, Badan Bimas Ketahanan Pangan (versi ringkas dimuat pada Sugar Observer).

(16)

Erwidodo, 2002. Getting the Sugar Policy Right. A Policy Brief Prepared in Conjunction with Food Policy Support Activities (FPSA) project, USAID Technical Assistance Program, which based in the Badan Bimas Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian.

Ditjen Bina Produksi Perkebunan. 2002. Program Akselerasi Peningkatan Produktivitas Nasional.

Sekretariat Dewan Gula Nasional, Direktorat Jendral Bina Produksi Perkebunan.

Murdiyatmo, Untung. 2003. Peran Teknologi dalam Peningkatan Produktivitas Tebu. Bahan Presentase/Makalah Terbatas. PTP Nusantara XI.

Sekretariat Dewan Ketahanan Pangan. 2003. Usulan Alternatif Kebijakan Pengembangan Agribisnis Gula Nasional. Sekretariat Dewan Ketahanan Pangan, Agustus 2003.

Tim Kecil Persiapan Revitalisasi Pergulaan Indonesia. 1999. Analisis dan Rekomendasi Kebijakan Pergulaan Indonesia. Direktorat Jendral Perkebunan.

Tim Khusus Pengkajian Kebijakan Agribisnis Gula Nasional. 2003. Kajian Akademis:

Penyelamatan dan Penyehatan Industri Gula Nasional. Sekretariat Dewan Ketahanan Pangan, Agustus 2003.

Referensi

Dokumen terkait

Guru pamong pada PPL di SMA Negeri 1 Kendal untuk mata pelajaran Geografi adalah Drs. Beliau memilki kemampuan yang bagus dalam membimbing praktikan. Guru pamong

1) Identifikasi ( identification ), yaitu pemahaman atau penghayatan terhadap tujuan organisasi, Identifikasi yang berwujud dalam bentuk kepercayaan anggota terhadap

Semakin tinggi rasio menyebabkan semakin besar laba dan kemungkinan peningkatan jumlah deviden yang diterima pemegang saham, hal ini menandakan kinerja keuangan perusahaan

Keimpulan dari hasil penelitian ini antara lain: (1) dari hasil pengujian SFA hubungan variabel rata-rata belanja Kota Palembang terhadap biaya administrasi berhubungan

Sistem informasi lokasi wisata ini menggunakan location based service berbasis android yang menghasilkan aplikasi “Kota Bima Tourism Maps” dengan tingkat akurasi informasi 82% dan

Selain itu hasil dari uji variasi koefisien lokal menghasilkan bahwa variabel kepala rumah tangga (KRT) bukan migran, KRT yang bekerja di sektor informal, dan KRT berpendidikan

Maka dengan demikian dapat dikatakan bahwa Jumlah wisman yang datang ke kota Palembang (X) berpengaruh positif terhadap jumlah hunian hotel oleh wisatawan

Perspektif (sudut pandang; pandangan) teori yang dapat digunakan sebagai landasan dalam memilih model, metode, dan teknik pembelajaran. Suatu proses atau perbuatan