KAJIAN YURIDIS KEDUDUKAN DAN PERLINDUNGAN HUKUM TERTANGGUNG AKIBAT KLAIM YANG TIDAK DIBAYAR JIKA
PERUSAHAAN ASURANSI MENGALAMI KEPAILITAN
Penulisan Hukum (Skripsi)
Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Guna Memperoleh Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh :
INDAH TRI RATNA SETYANINGRUM NIM. E0006019
UNIVERSITAS SEBELAS MARET FAKULTAS HUKUM
SURAKARTA
commit to user ii
commit to user iii
commit to user iv
commit to user v ABSTRAK
Indah Tri Ratna Setyaningrum, E 0006019. KAJIAN YURIDIS KEDUDUKAN DAN PERLINDUNGAN HUKUM TERTANGGUNG AKIBAT KLAIM YANG TIDAK DIBAYAR JIKA PERUSAHAAN ASURANSI MENGALAMI KEPAILITAN. Fakultas Hukum. Universitas Sebelas Maret.
Penelitian hukum ini bertujuan untuk mengetahui kedudukan hukum dari tertanggung sebagai pemegang polis jika perusahaan asuransi yang dimaksud mengalami kepailitan, serta bentuk-bentuk perlindungan hukum pihak tertanggung sebagai pemegang polis dalam perjanjian asuransi yang mengajukan permohonan klaim yang tidak bisa dibayar oleh perusahaan asuransi yang mengalami kepailitan.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif. Jenis data yang digunakan yaitu data sekunder mencakup bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Pendekatan penelitian ini menggunakan pendekatan undang- undang. Sedangkan teknik pengumpulan data dengan studi dokumen dan bahan pustaka. Analisis data deduksi dengan menggunakan silogisme dan interpretasi.
Bahwa kedudukan tertanggung sebagai pemegang polis berdasarkan Kitab Undang- Undang Hukum Perdata dan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menjadi kreditur konkuren karena tertanggung pemegang polis bukan merupakan kreditur pemegang hak istimewa. Di dalam materi Kitab Undang-Undang Hukum Dagang tidak menyinggung secara eksplisit mengenai kedudukan tertanggung jika terjadi kepailitan perusahaan asuransi. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian mengatur kedudukan tertanggung pemegang polis menjadi kreditur yang diutamakan. Dengan berlakunya asas lex specialis derogate lex generalis maka kedudukan hukum tertanggung sebagai pemegang polis menggunakan Undang- Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian. Perlindungan hukum yang didapatkan oleh tertanggung sebagai pemegang polis dapat dilakukan secara preventif maupun represif dengan menggunakan ketentuan di dalam Kitab Undang- Undang Hukum Dagang, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, serta Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian.
Tertanggung dapat mengajukan gugatan dengan jalur litigasi di badan peradilan maupun di luar litigasi melalui badan yang telah ditunjuk oleh pemerintah.
Kata kunci : perusahaan asuransi, kepailitan, perlindungan tertanggung
commit to user vi
commit to user vii MOTTO
Jangan serahkan harapanmu atau hasilmu kepada keputusasaan disebabkan apa yang ada di masa lalu, karena meratapi sesuatu yang tidak bisa kembali adalah kelemahan manusia yang terburuk.
(Kahlil Gibran)
Kemenangan paling berharga dalam hidup bukanlah tidak pernah gagal, melainkan bagaimana kita bisa bangkit setiap kali menemui kegagalan.
(Nelson Mandela)
Selalu ada hikmah di setiap kejadian, walaupun merupakan hal buruk tapi tidak selalu kejadian buruk yang akan terjadi
(Mario Teguh)
Mengapa kita terkadang dibiarkan untuk jatuh? Karena kita diajarkan untuk bisa bangkit dan berjuang kembali.
(Penulis)
Syukuri apa yang telah kita miliki sebagai jalan untuk mencapai apa yang belum kita miliki
(Penulis)
commit to user viii
PERSEMBAHAN
Karya kecil ini penulis dedikasikan untuk :
Ø Bapak, Ibu, Kakak-Kakak dan keluarga besar penulis, baru ini yang bisa aku persembahkan untuk semua yang telah kalian berikan sampai saat ini.
Ø Seorang jauh yang terasa sangat dekat denganku, terima kasih atas segala dukungan yang kamu berikan.
Ø Almamater Fakultas Hukum UNS dan Bumi Khatulistiwa, Indonesia, besar inginku memberikan yang lebih dari ini.
commit to user ix
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur Penulis panjatkan pada Tuhan Yang Maha Esa, atas rahmat- Nya sehingga dapat menyusun dan menyelesaikan Penulisan Hukum yang berjudul “ KAJIAN YURIDIS KEDUDUKAN DAN PERLINDUNGAN HUKUM TERTANGGUNG AKIBAT KLAIM YANG TIDAK DIBAYAR JIKA PERUSAHAAN ASURANSI MENGALAMI KEPAILITAN”, Penulisan Hukum atau Skripsi merupakan tugas wajib yang harus diselesaikan oleh setiap mahasiswa untuk melengkapi syarat memperoleh derajat sarjana dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Dalam Penulisan Hukum ini tidak terlepas dari bantuan baik moril maupun materiil serta doa dan dukungan dari berbagai pihak, oleh karena itu Penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Ibu Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H.,M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2. Bapak Prof. Dr. Jamal Wiwoho, S.H.,M.Hum. selaku pembimbing akademik.
3. Ibu Wida Astuti, S.H. selaku Ketua Pengelola dan Penulisan Hukum (PPH) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
4. Bapak Munawar Kholil, S.H.,M.Hum. dan juga Ibu Anjar Sri Ciptorukmi Nugraheni, S.H.,M.Hum selaku dosen pembimbing yang dengan sabar memberikan masukan, pengarahan dan dukungan dalam menyelesaikan skripsi ini.
5. Bapak dan Ibu Dosen, Karyawan/Karyawati, serta Staf Perpustakaan Fakultas Hukum UNS.
6. Bapak dan Ibu tercinta atas cinta dan kasih sayang, doa, dukungan, semangat dan segala yang telah diberikan yang tidak ternilai harganya.
commit to user x
7. Kakak-kakakku yang selama ini telah memberikan kasih sayang, doa, dukungan, ikatan persaudaraan sehingga dapat terselesaikannya skripsi ini. Mas Eko, Mbak Nana, Mas Aris dan Mbak Liza terima kasih atas semua bantuannya.
8. Sahabatku Kikie, yang selalu membantu dan menemaniku dalam menyelesaikan skripsi ini.
9. Teman-teman yang selalu memberikan dorongan, semangat, dan informasi sehingga dapat terselesaikannya skripsi ini, yaitu Agung, Prasetyo, Detin, Dian, Nana, Bayu, Dwi, Ucok, Tiara, dan Niken.
10. Dan semua pihak yang telah membantu penyusunan skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu.
Penulis menyadari bahwa Penulisan Hukum atau skripsi ini masih jauh dari sempurna baik dari segi substansi maupun teknis penulisan. Untuk itu sumbang saran dari berbagai pihak yang bersifat konstruktif, sangat diharapkan demi perbaikan atau penyempurnaan penulisan hukum selanjutnya. Demikian semoga penulisan hukum ini dapat memberikan manfaat kepada semua pihak, baik untuk penulisan, akademisi, praktisi maupun masyarakat umum.
Surakarta, 28 Agustus 2012
Penulis
commit to user xi DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN PERNYATAAN ... iv
ABSTRAK ... v
ABSTRACT ... vi
HALAMAN MOTTO ... vii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... viii
KATA PENGANTAR ... ix
DAFTAR ISI ... xi
DAFTAR GAMBAR ... xiv
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 5
C. Tujuan Penelitian ... 6
D. Manfaat Penelitian ... 7
E. Metode Penelitian ... 8
F. Sistematikan Penulisan Hukum ... 11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 13
A. Kerangka Teori ... 13
1. Tinjauan tentang Asuransi ... 13
2. Tinjauan tentang Perlindungan Hukum ... 31
3. Tinjauan tentang Kepailitan ... 34
B. Kerangka Pemikiran... 53
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... 55 A. Kasus Pengajuan Permohonan Kepailitan Dirinya Sendiri oleh
commit to user xii
PT. Asuransi Prisma Indonesia ... 55 1. Alur Peristiwa PT. Asuransi Prisma Indonesia Mengajukan
Permohonan Pailit ... 55 2. Analisis Kasus Pengajuan Permohonan Pailit PT. Asuransi
Prisma Indonesia ... 61 B. Kedudukan Hukum Pihak Tertanggung Jika Terjadi Kepailitan
Perusahaan Asuransi Berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia ... 65 1. Akibat Hukum yang Timbul jika Perusahaan Asuransi
Mengalami Kepailitan ... 65 2. Kedudukan Hukum Pihak Tertanggung jika Terjadi Kepailitan
pada Perusahaan Asuransi Berdasarkan Peraturan
perundangan-undangan di Indonesia ... 77 a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ... 77 b. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang ... 81 c. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan
dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ... 82 d. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang
Usaha Perasuransian ... 85 C. Perlindungan Hukum Tertanggung jika Perusahaan Asuransi
Mengalami Pailit ... 91 1. Perlindungan Preventif dan Represif Tertanggung Berdasarkan
Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia... 92 1. Perlindungan Preventif... 93 2. Perlindungan Represif... 103 2. Upaya yang Seharusnya Dilakukan Pemerintah dalam
Perlindungan Hukum Setelah Pencabutan Izin Usaha
Perasuransian ... 106
commit to user xiii
3. International Best Practise Dalam Penanganan Perusahaan
Asuransi yang Dicabut Izin Usahanya ... 111
BAB IV PENUTUP ... 113
A. Simpulan... 113
B. Saran... 114
DAFTAR PUSTAKA ... 116 LAMPIRAN
commit to user xiv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Bagan Prosedur Pengajuan Permohonan Pailit oleh Kreditur Melalui Menteri Keuangan
Gambar 2. Bagan Kerangka Pemikiran
Gambar 3. Bagan Daftar Kreditur PT. Asuransi Prisma Indonesia Gambar 4. Bagan Berlakunya Akibat Hukum Pada Proses Kepailitan Gambar 5. Bagan Kedudukan Hukum Tertanggung
Gambar 6. Bagan Perlindungan Preventif Terhadap Tertanggung Gambar 7. Bagan Perlindungan Represif Terhadap Tertanggung
commit to user BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam rangka mewujudkan perekonomian nasional yang mampu tumbuh dengan stabil dan berkelanjutan, menciptakan kesempatan kerja yang luas dan seimbang di semua sektor perekonomian, serta memberikan kesejahteraan secara adil kepada seluruh rakyat Indonesia maka program pembangunan ekonomi nasional harus dilaksanakan secara komprehensif dan mampu menggerakkan kegiatan perekonomian nasional yang memiliki jangkauan yang luas dan menyentuh ke seluruh sektor riil dari perekonomian masyarakat Indonesia.
Program pembangunan ekonomi nasional juga harus dilaksanakan secara transparan dan akuntabel yang berpedoman pada prinsip demokrasi ekonomi sebagaimana diamanatkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Untuk mencapai tujuan tersebut, program pembangunan ekonomi nasional perlu didukung oleh tata kelola pemerintahan yang baik yang dalam sistem perekonomian nasional. Salah satu komponan penting dalam sistem perekonomian nasional dimaksud adalah sistem keuangan dan seluruh jasa keuangan yang menjalankan fungsi intermediasi bagi berbagai kegiatan produktif di dalam perekonomian nasional.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup individu di dalam kehidupan bermasyarakat maka seorang manusia pasti akan menghadapi suatu ketidakpastian akan masa depannya. Ketidakpastian adalah sesuatu yang tidak bisa diprediksi atau sesuatu yang tidak dapat dipastikan kapan akan terjadi.
Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya maka manusia akan melakukan beberapa kepentingan dalam kegiatan ekonominya. Dengan adanya gerakan dinamika masyarakat, tentu saja kepentingan-kepentingan antar individu sangat berbeda,
sehingga akan terjadi benturan-benturan kepentingan tersebut di dalam kehidupan bermasyarakat. Prof. Dickson dan W.M Steir menandaskan bahwa
”the concept of uncertainty implies doubt about the future based on the lack of knowledge, or imperfect knowledge. In this way, uncertainty exists regardless of whether or not this doubt has been recognised by those who may be most directly involved”. Ketidakpastian itu berjalan dengan keraguan akan masa depan yang didasarkan pada kurangnya pengetahuan atau ketidaksempurnaan pengetahuan. Kendati demikian, ketidakpastian tetap ada meskipun keraguan akan masa depan tidak menghinggapi sebagian besar dari kita. Pendapat ini mengajarkan untuk bersikap antisipatif dan cermat if worst comes to worst risiko terjadi, maka kerugian dapat diminimalisir (Dickson dan W.M Steir dalam Kun Wahyu Wardana, 2009;36).
Berdasarkan uraian tersebut, sejatinya yang menjadi fokus utama adalah risiko di balik ketidakpastian itu yang umumnya tidak dikehendaki, yaitu risiko yang membawa derita kerugian baik secara materiil maupun immateriil. Pada titik inilah asuransi bekerja untuk memberikan jaminan atas suatu peristiwa yang belum pasti terjadinya, mengubah ketidakpastian menjadi sesuatu yang pasti. Bukan dalam pengertian, suatu peristiwa di masa depan itu kemudian menjadi diketahui atau niscaya terjadinya, tapi potensi kerugian yang merupakan ketidakpastian diubah menjadi sebuah kepastian yaitu dengan membayar sejumlah premi kepada perusahaan asuransi, sehingga terjadi pengalihan risiko (risk transfer) dari tertanggung kepada perusahaan asuransi.
Kerugian yang semestinya diderita tertanggung jika terjadi risiko, dialihkan kepada perusahaan asuransi sesuai dengan nilai pertanggungan yang ditetapkan.
Di dalam hukum pertanggungan perjanjian asuransi itu mempunyai tujuan yang spesifik dan pasti berkisar pada manfaat ekonomi bagi kedua pihak yang mengadakan perjanjian. Sampai saat ini di Indonesia secara umum, perjanjian asuransi diatur dalam dua peraturan perundang-undangan baik dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian maupun
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang. Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tercantum berbagai cakupan khusus mengenai asuransi, sedangkan dalam pasal pertama Kitab Undang-Undang Hukum Dagang yang mengatur perjanjian asuransi dimulai dalam Pasal 246 yaitu yang memberikan batasan perjanjian asuransi. Perjanjian asuransi tidak termasuk perjanjian yang secara khusus diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, akan tetapi pengaturannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, walaupun demikian berdasarkan Pasal 1 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang mengenai ketentuan umum perjanjian dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dapat berlaku pula bagi perjanjian asuransi.
Keberadaan asuransi tidak terlepas dari hakekat asuransi sebagai penerima pengalihan risiko. Ancaman kerugian terhadap harta benda maupun jiwa seseorang dapat datang sewaktu-waktu tanpa diduga sebelumnya. Dalam tujuan untuk menanggung beban itulah asuransi hadir dengan maksud agar kerugian tersebut dapat dipulihkan. Asuransi menerima peralihan risiko dari adanya evenemen. Pada saat masyarakat melakukan perjanjian asuransi maka secara tidak langsung akan terikat dalam peraturan-peraturan yang terdapat di dalam perjanjian tersebut. Di dalamnya terdapat asas-asas yang harus ditaati oleh pihak-pihak yang berkepentingan yakni pihak penanggung (perusahaan asuransi) dan pihak tertanggung (pemegang polis). Hal itu seperti tercantum dalam Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyebutkan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya, sehingga apa yang tertuang dan tertulis harus ditaati dan dilaksanakan berdasarkan atas apa yang elah disepakati oleh pihak yang berkepentingan di dalamnya.
Pada hakekatnya jika terjadi peristiwa atau risiko yang dapat merugikan tertanggung sebagai pemegang polis maka tertanggung dapat mengajukan klaim kepada perusahaan asuransi. Pada keadaan normal jika ada pihak tertanggung yang mengajukan klaim maka pihak penanggung akan segera memberikan ganti
kerugian kepada pihak tertanggung dengan berdasarkan atas perjanjian asuransi yang telah dibuat sebelumnya. Namun apabila pihak tertanggung mengalami evenemen dan mengajukan klaim terhadap perusahaan asuransi, akan tetapi perusahaan asuransi tersebut tidak dapat memberikan ganti rugi atas klaim pihak tertanggung sebagai akibat jika perusahaan asuransi tersebut telah dinyatakan pailit, maka secara tidak langsung pihak tertanggung yang paling menderita kerugian.
Hal ini yang terjadi pada PT. Asuransi Prima Indonesia. Perusahaan itu dicabut izin usahanya oleh Menteri Keuangan pada tahun 2008 karena permasalahan keuangan yang tidak bisa lagi menyokong kegiatan usaha dari perusahaan asuransi tersebut. Paska pencabutan izin usaha oleh Menteri Keuangan pada tanggal 13 Mei 2008 maka PT. Asuransi Prima Indonesia dengan sukarela untuk membubarkan diri (likuidasi). Hal ini disebabkan karena perusahaan terus merugi dan tidak bisa menstabilkan keuangan mereka. Menteri Keuangan sebenarnya tidak serta merta mencabut izin usaha dari perusahaan ini akan tetapi memberikan peringatan (somasi) terlebih dahulu bahkan sudah merekomendasikan agar perusahaan ini melakukan usaha-usaha untuk dapat menanggulangi semua utang-utangnya dan reasuransi. Akan tetapi hingga batas waktu yang ditentukan oleh Menteri Keuangan PT. Asuransi Prima Indonesia tidak bisa memenuhi semua ketentuan dan syarat-syarat yang diberikan oleh Menteri Keuangan, sehingga izin usaha dari PT. Asuransi Prima Indonesia dicabut oleh Menteri Keuangan pada tanggal 13 Mei 2008. Paska pencabutan izin usaha tersebut maka perusahaan otomatis sudah tidak bisa menjalankan usahanya di bidang perasuransian, maka melalui Rapat Umum Pemegang Saham dewan direksi memutuskan untuk membubarkan diri (likuidasi) dan memberitahukan bagi kreditur untuk mengambil alih aset mereka dalam jangka waktu tuga bulan sejak pemberitahuan tersebut diumumkan. Karena jumlah aset yang perusahaan miliki dengan jumlah utang yang harus ditanggung sangat tidak berimbang maka perusahaan ini mengajukan permohonan kepailitan atas
dirinya sendiri melalui Pengadilan Niaga Jakarta (http://hukumonline.com/baca/berita).
Bagi masyarakat pengguna jasa asuransi, istilah kepailitan merupakan sebuah tema yang menakutkan. Menakutkan karena ada rasa khawatir dana yang sudah ditanamkan dalam bentuk premi tidak bisa ditagih, baik yang sudah jatuh tempo ataupun yang sedang berjalan. Ketakutan itu beralasan karena besar kemungkinan skenario kepailitan sengaja dilakukan oleh debitur (perusahaan asuransi) itu sendiri dalam rangka melepaskan diri dari tanggung jawabnya selaku debitur (penanggung). Tetapi bisa juga skenario itu datang dari satu atau lebih kreditur, baik yang berstatus tertanggung maupun di luar tertanggung yang memiliki hak tagih (piutang) yang tidak bisa dipenuhi oleh perusahaan asuransi sebagai debitur. Kepailitan asuransi ini tentu membawa dampak tidak menguntungkan bagi tertanggung-tertanggung lain yang jumlahnya begitu banyak yang terlanjur memiliki hubungan hukum dengan perusahaan asuransi yang dipailitkan.
Berdasarkan uraian fakta dan penjelasan di atas, maka penulis merasa perlu untuk mengkaji lebih dalam mengenai permasalahan tersebut melalui suatu tinjauan hukum terhadap suatu kedudukan hukum dan perlindungan hukum pihak tertanggung jika perusahaan asuransi pailit. Oleh karena itu, penulis mengangkat suatu permasalahan untuk dibahas dan merumuskannya dalam suatu judul ” KAJIAN YURIDIS KEDUDUKAN DAN PERLINDUNGAN HUKUM TERTANGGUNG AKIBAT KLAIM YANG TIDAK DIBAYAR OLEH PERUSAHAAN ASURANSI YANG MENGALAMI KEPAILITAN”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah yang telah dijelaskan, maka penulis merumuskan beberapa rumusan masalah untuk dibahas secara
lebih rinci pada bab pembahasan. Adapun rumusan masalah yang akan dibahas adalah
1. Bagaimana kedudukan hukum pihak tertanggung jika terjadi kepailitan pada perusahaan asuransi berdasarkan peraturan perundang-undangan di Indonesia?
2. Bagaimana perlindungan hukum terhadap tertanggung jika perusahaan asuransi mengalami pailit?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian merupakan suatu fokus sasaran yang hendak dicapai penulis dalam penyusunan penulisan hukum. Tujuan penelitian harusnya disajikan secara ringkas dan jelas agar dapat memberi manfaat baik bagi penulis maupun pembaca dalam menyelesaikan permasalahan. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Tujuan Obyektif
a. Mengetahui kedudukan hukum tertanggung jika pengajuan klaim tidak bisa dibayar sebagai akibat jika perusahaan asuransi mengalami kepailitan.
b. Mengetahui perlindungan hukum pihak tertanggung di dalam perjanjian asuransi jika perusahaan asuransi pailit dengan berdasarkan hukum positif.
2. Tujuan Subyektif
a. Menambah wawasan dan pengetahuan bagi penulis serta pembaca pada umumnya di bidang hukum perdata, khususnya pada hukum asuransi.
b. Memenuhi persyaratan akademis dalam meraih gelar kesarjanaan (Strata 1) dalam bidang ilmu hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
c. Sebagai pedoman untuk menerapkan ilmu dan teori-teori hukum yang telah penulis peroleh dalam kehidupan sehari-hari agar bermanfaat bagi masyarakat.
D. Manfaat Penelitian
Dalam suatu penelitian penulisan hukum hendaknya diharapkan dapat memberikan manfaat khususnya bagi ilmu pengetahuan di bidang penelitian tersebut. Adapun manfaat yang diharapkan penulis dalam penelitian ini adalah : 1. Manfaat teoritis
a. Dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu hukum khususnya dalam bidang hukum perdata.
b. Diharapkan dapat menjadi suatu referensi serta masukan data ataupun literatur bagi penulisan hukum selanjutnya yang berguna bagi pihak yang berkepentingan.
2. Manfaat praktis
a. Dapat memecahkan masalah-masalah yang timbul terkait dengan penelitian.
b. Dapat lebih mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir dinamis serta untuk mengetahui kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu yang diperoleh.
c. Dapat memberikan masukan yang bermanfaat bagi para pihak terkait dalam usaha perasuransian jika mengalami kepailitan agar informasi ini dapat saling menguntungkan.
E. Metode Penelitian
Adapun metode yang digunakan penulis dalam penyusunan penulisan hukum ini adalah :
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan penulis dalam penyusunan penulisan hukum ini adalah jenis penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan. Metode penelitian hukum normatif adalah suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya. (Johnny Ibrahim, 2006:57)
Penelitian hukum normatif memiliki definisi yang sama dengan penelitian doktrinal (doctrinal research) yaitu penelitian berdasarkan bahan- bahan hukum (library based) yang fokusnya pada membaca dan mempelajari bahan-bahan hukum primer dan sekunder. (Johnny Ibrahim, 2006:44)
2. Sifat Penelitian
Penelitian hukum adalah proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi. Hal ini sesuai dengan karakter prinsip hukum. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan di dalam keilmuan yang bersifat deskriptif yang menguji kebenaran ada tidaknya suatu fakta yang disebabkan faktor tertentu. Penelitian hukum dilakukan untuk menghasilkan argumentasi, teori, atau konsep baru sebagai preskripsi dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi (Peter Mahmud Marzuki, 2009:35). Sifat penelitian hukum ini memiliki sifat yang sama dengan sifat ilmu hukum itu sendiri. Sifat dari ilmu hukum adalah preskriptif dan terapan (Peter Mahmud Marzuki, 2009:22).
3. Pendekatan Penelitian
Menurut Peter Mahmud Marzuki dalam bukunya penelitian hukum, disebutkan bahwa di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan.
Dengan pendekatan tersebut, peneliti akan mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu yang akan dicari jawabannya. Pendekatan- pendekatan yang digunakan di dalam penelitian hukum adalah pendekatan undang-undang (statue approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan komparatif (comparative approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach) (Peter Mahmud Marzuki, 2009:42).
Adapun dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan perundang-undangan. Pendekatan perundang-undangan dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang terkait dengan isu hukum yang sedang ditangani.
4. Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber data sekunder. Namun, dalam bukunya penelitian hukum, Peter Mahmud Marzuki mengatakan bahwa pada dasarnya penelitian hukum tidak mengenal adanya data, sehingga yang digunakan adalah bahan hukum yakni bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer trediri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim. Sedangkan bahan-bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar tentang putusan pengadilan. (Peter Mahmud Marzuki, 2006:141)
Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Sedangkan bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberi penjelasan terhadap bahan hukum primer, meliputi buku-buku di bidang hukum, makalah, kamus hukum, dan jurnal-jurnal hukum.
5. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan bahan hukum yang akan digunakan sebagai sumber di dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan. Studi kepustakaan merupakan pengumpulan bahan hukum dengan jalan membaca peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen resmi maupun literatur-literatur yang erat kaitannya dengan permasalahan yang dibahas berdasarkan bahan hukum sekunder. Dari bahan hukum tersebut, kemudian dianalisis dan dirumuskan sebagai bahan hukum penunjang di dalam penelitian ini.
6. Analisis Data
Setelah data atau bahan hukum terkumpul langkah selanjutnya yang dapat dilakukan adalah mengolah atau menganalisis data atau bahan hukum.
Teknik analisis bahan hukum yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah interpretasi dan silogisme, dengan menggunakan pola berpikir deduktif. Silogisme yang penulis gunakan adalah menggunakan silogisme pendekatan deduktif yaitu proses penafsiran yang bermula dari keadaan umum ke keadaan khusus, kemudian ditarik kesimpulan sebagai pernyataan akhir yang mengandung kebenaran. Keadaan umum yang dimaksud yaitu keadaan dari suatu analisis secara keseluruhan dan menuju analisis yang mengerucut mengenai pendekatan-pendekatan yang sesuai dengan suatu permasalahan yang diangkat di dalam penulisan hukum. Sedangkan interpretasi atau penafsiran yang digunakan penulis adalah berdasarkan
interpretasi perundang-undangan, yakni merupakan metode penemuan hukum yang memberi penjelasan yang gamblang terkait teks perundang- undangan agar ruang lingkup kaidah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu.
Metode penalaran yang dipilih oleh penulis adalah metode penalaran deduktif, yaitu hal-hal yang dirumuskan secara umum diterapkan pada keadaan khusus. Dalam penelitian ini penulis mengkritisi teori-teori ilmu hukum yang bersifat umum untuk kemudian menarik kesimpulan yang sesuai dengan isu hukum yang diteliti atau dianalisa.
F. Sistematika Penulisan Hukum
Untuk memberikan gambaran secara menyeluruh tentang penulisan hukum yang disusun oleh penulis, maka penulis telah menyiapkan suatu sistematika penulisan hukum yang sesuai dengan standar baku penulisan karya ilmiah. Adapun sistematika penulisan hukum yang disusun oleh penulis adalah sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN
Dalam Bab I mengenai Pendahuluan diuraikan mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metodologi penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Selanjutnya dalam Bab II mengenai Tinjauan Pustaka terdiri dari Kerangka Teori dan Kerangka Pemikiran. Kerangka teori yang dijelaskan dalam penulisan hukum ini terdiri dari tinjauan tentang asuransi, tinjauan tentang perlindungan hukum, dan tinjauan tentang pailit.
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dalam Bab III mengenai Hasil Penelitian dan Pembahasan, penulis menjawab permasalahan yang telah ditentukan sebelumnya, pertama yaitu bagaimana kedudukan hukum pihak tertanggung jika terjadi kepailitan pada perusahaan asuransi berdasarkan peraturan perundang-undangan di Indonesia; dan bagaimana perlindungan hukum terhadap tertanggung jika perusahaan asuransi mengalami pailit.
BAB IV PENUTUP
Bab IV mengenai Penutup terdiri dari simpulan jawaban permasalahan yang penulis teliti dan saran-saran dari penulis yang bertujuan untuk membangun bagi pihak yang bersangkutan.
commit to user BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Tentang Asuransi a. Pengertian Asuransi
Asuransi artinya transaksi pertanggungan, yang melibatkan dua pihak, tertanggung dan penanggung, dimana penanggung menjamin pihak tertanggung, bahwa ia akan mendapatkan penggantian terhadap suatu kerugian yang mungkin akan dideritanya, sebagai akibat dari suatu peristiwa yang semula belum tentu akan terjadi atau yang semula belum dapat ditentukan saat atau kapan terjadinya. Sebagai kontraprestasinya si tertanggung diwajibkan membayar sejumlah uang kepada si penanggung, yang besarnya sekian prosen dari nilai pertanggungan, yang biasa disebut premi (http://portalbugis.wordpress.com/asuransi/pengertian-asuransi/).
Pengertian asuransi sendiri diatur dalam 2 (dua) peraturan perundang- undangan, yaitu menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.
1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian menyebutkan bahwa:
”Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara 2 (dua) belah pihak atau lebih dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan menerima premi asuransi untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggalnya atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan”.
Badan yang menyalurkan risiko disebut tertanggung, dan badan yang menerima risiko disebut penanggung. Perjanjian antara kedua badan ini disebut sebuah kontrak legal yang menjelaskan setiap istilah dan kondisi yang dilindungi. Biaya yang dibayar oleh tertanggung kepada penanggung untuk risiko yang ditanggung disebut premi. Ini biasanya ditentukan oleh penanggung untuk dana yang bisa diklaim di masa depan, biaya administratif, dan keuntungan (http://click- gtg.blogspot.com/2008/10/hukum-asuransi.html).
2) Kitab Undang-undang Hukum Dagang
Definisi Asuransi menurut Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) dituangkan dalam Bab 9 Pasal 246 yaitu :
"Asuransi atau Pertanggungan adalah suatu perjanjian dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung, dengan menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tak tertentu.”
Pasal 246 KUHD dikenal sebagai pasal yang memberi definisi mengenai suatu perjanjian asuransi. Dari pasal tersebut dapat dilihat pengertian lebih lanjut dari asuransi, khususnya mengenai unsur-unsur atau sifat-sifat dari perjanjian asuransi (Djoko Prakoso, 2000:24)
b. Unsur Asuransi
Berdasarkan definisi asuransi dapat diuraikan unsur-unsur asuransi atau pertanggungan, sebagai berikut :
1) Pihak-pihak
Subjek asuransi adalah pihak-pihak dalam asuransi, yaitu penanggung dan tertanggung yang mengadakan perjanjian asuransi.
Penanggung dan tertanggung adalah pendukung kewajiban dan hak.
Penanggung wajib memikul risiko yang dialihkan kepadanya dan berhak memperoleh pembayaran premi, sedangkan tertanggung wajib membayar
premi dan berhak memperoleh penggantian jika timbul kerugian atas harta miliknya yang diasuransikan.
2) Objek asuransi
Objek asuransi dapat berupa benda dan hak atau kepentingan yang melekat pada benda. Melalui objek asuransi tersebut ada tujuan yang ingin dicapai oleh pihak-pihak. Penanggung bertujuan memperoleh pembayaran sejumlah premi sebagai imbalan pengalihan risiko. Tertanggung bertujuan bebas dari risiko dan memperoleh penggantian jika timbul kerugian atas harta miliknya.
3) Peristiwa asuransi
Peristiwa asuransi berupa objek asuransi, peristiwa tidak pasti (evenemen) yang mengancam benda asuransi, dan syarat-syarat yang berlaku dalam asuransi. Persetujuan atau kesepakatan bebas tersebut dibuat dalam bentuk tertulis berupa akta yang disebut polis. Polis ini merupakan satu-satunya alat bukti yang dipakai untuk membuktikan telah terjadi asuransi (Abdulkadir Muhammad, 2002:8-9).
c. Prinsip Asuransi
Asuransi suatu perjanjian dilengkapi juga dengan beberapa prinsip.
Hal ini supaya sistem perjanjian asuransi itu dapat dipelihara dan dipertahankan, sebab suatu norma tanpa dilengkapi dengan prinsip cenderung untuk tidak mempunyai kekuatan mengikat. Prinsip-prinsip yang terdapat dalam sistem hukum asuransi tersebut antara lain :
1) Prinsip Kepentingan yang dapat diasuransikan (Insurable Interest)
Prinsip ini dijabarkan dalam Pasal 250 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang yang menentukan bahwa:
“Apabila seorang yang telah mengadakan pertanggungan untuk diri sendiri atau apabila seorang, yang untuknya telah diadakan suatu pertanggungan, pada saat diadakannya pertanggungan itu tidak mempunyai kepentingan terhadap barang yang dipertanggungkan itu, maka penanggung tidaklah diwajibkan memberikan ganti rugi”.
Apabila disimpulkan, maka saat ditutupnya perjanjian asuransi itu harus ada kepentingan.
Menurut Molengraff, kepentingan di sini mempunyai arti luas, yaitu kepentingan yang dapat dinilai dengan uang maupun kepentingan yang tidak dapat dinilai dengan uang. Ini seperti hubungan kekeluargaan, jiwa, dan anak-istri. Secara luas dapat dikatakan bahwa seseorang yang mempunyai hak berarti mempunyai kepentingan yaitu kepentingan terlaksananya hak itu yang juga berarti pemenuhan kewajiban yang dibebankan kepada pihak lain. Prinsip kepentingan yang dapat diasuransikan merupakan dasar dari struktur asuransi. Syarat ini menunjukkan perbedaan hukum antara usaha asuransi dengan taruhan pada balapan kuda. Sebagai contoh, asuransi jiwa dalam Pasal 264 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang menentukan bahwa asuransi dapat diadakan tidak hanya untuk kepentingan diri sendiri melainkan juga untuk kepentingan orang ketiga (Molengraff dalam bukunya Man Sastrawidjaja,2004:53).
2) Prinsip Itikad Baik (Utmost Goodfaith)
Dalam perjanjian asuransi unsur saling percaya antara penanggung dan tertanggung itu sangat penting. Penanggung percaya bahwa tertanggung akan memberikan segala keterangan dengan benar. Di lain pihak tertanggung juga percaya kalau terjadi peristiwa, penanggung akan membayar ganti rugi. Saling percaya ini pada dasarnya adalah itikad baik.
Prinsip itikad baik harus dilaksanakan dalam setiap perjanjian (Pasal 1338 ayat 3 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) termasuk dalam perjanjian asuransi.
3) Prinsip Keseimbangan (Indemniteit Principle)
Asuransi sebagaimana dapat disimpulkan dari Pasal 246 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang merupakan penggantian kerugian. Ganti rugi di sini mengandung arti bahwa penggantian kerugian dari
penanggung harus seimbang dengan kerugian yang sungguh-sungguh diderita oleh tertanggung. Keseimbangan yang demikianlah yang dinamakan prinsip keseimbangan. Salah satu contohnya pada Pasal 252 KUHD. Unsur indemniteit atau ganti rugi yang seimbang itu harus ada pada asuransi kerugian adalah berdasarkan ratio untuk mencegah seseorang untuk memperkaya diri sendiri melawan hukum.
4) Prinsip Subrogasi (Subrogation Principle)
Apabila peristiwa yang tidak diharapkan terjadinya itu dalam perjanjian asuransi terjadi, maka tertanggung dapat menuntut penanggung untuk memberikan ganti rugi. Akan tetapi apabila sebab terjadinya kerugian itu diakibatkan oleh pihak ketiga maka berarti tertanggung itu dapat menuntut penggantian kerugian dari dua sumber. Sumber pertama dari penanggung serta sumber kedua dari pihak ketiga. Untuk mencegah terjadinya penyimpangan-penyimpangan seperti di atas, undang-undang mengaturnya yaitu dalam Pasal 284 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang. Dengan adanya ketentuan demikian berarti secara otomatis berdasarkan undang-undang, apabila terjadi kerugian yang menimpa tertanggung oleh pihak ketiga, maka penanggung dapat menggantikan kedudukan tertanggung untuk melaksanakan hak-haknya terhadap pihak ketiga tersebut.
5) Prinsip sebab-akibat (Causaliteit Principle)
Timbulnya kewajiban penanggung untuk mengganti kerugian kepada tertanggung apabila peristiwa yang menjadi sebab timbulnya kerugian itu disebutkan dalam polis. Akan tetapi tidaklah mudah untuk menentukan suatu peristiwa itu merupakan sebab timbulnya kerugian, sehingga timbulnya kerugian yang dijamin oleh polis. Terlebih apabila peristiwa itu merupakan sebab timbulnya kerugian, sehingga dapat ditentukan, apakah hal tersebut masuk bagian tanggungjawab penanggung atau tidak.
6) Prinsip kontribusi
Apabila dalam suatu polis ditandangani oleh beberapa penanggung, maka masing-masing penanggung itu menurut imbangan dari jumlah untuk mana mereka menandatangani polis, memikul hanya harga yang sebenarnya dari kerugian itu yang diderita oleh tertanggung. Prinsip kontribusi ini terjadi apabila ada asuransi berganda (double insurance) sebagaimana dimaksud Pasal 278 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.
7) Prinsip Follow The Fortunes
Prinsip ini hanya berlaku bagi reasuransi, sebab di sini hanya penanggung pertama dengan penanggung ulang. Dalam hal ini penanggung ulang mengikuti penanggung pertama. Prinsip ini menghendaki bahwa tindakan penanggung ulang tidak boleh mempertimbangkan secara tersendiri terhadap obyek asuransi. Akibatnya segala sesuatu termasuk peraturan dan perjanjian yang berlaku bagi penanggung pertama berlaku pula bagi penanggung ulang (H. Man Sastrawidjaja, 2004:55).
d. Istilah dalam Asuransi
Di dalam perasuransian terdapat beberapa istilah-istilah yang berhubungan dengan asuransi, yaitu sebagai berikut :
1) Pengertian Evenemen
Evenemen atau peristiwa tidak pasti adalah peristiwa terhadap mana asuransi diadakan tidak dapat dipastikan terjadi dan tidak diharapkan akan terjadi. Evenemen adalah istilah yang diadopsi dari bahasa Belanda yaitu evenement, sedangkan dalam bahasa Inggris yaitu fortuitous event.
Ciri-ciri evenemen ada 4 (empat), yaitu sebagai berikut : a) Peristiwa yang terjadi itu menimbulkan kerugian;
b) terjadinya itu tidak diketahui, tidak dapat diprediksi terlebih dahulu;
c) berasal dari faktor ekonomi, alam dan manusia;
d) kerugian terhadap diri, kekayaan dan tanggung jawab seseorang.
2) Pengertian Risiko
Dalam hukum asuransi, ancaman bahaya yang menjadi beban penanggung merupakan peristiwa penyebab timbulnya kerugian, cacat badan, atau kematian atas objek asuransi. Selama belum terjadi peristiwa penyebab timbulnya kerugian, selama itu pula bahaya yang mengancam objek asuransi disebut risiko. Risiko tersebut tertuju pada pribadi, kekayaan atau tanggung jawab finansial seseorang. Selama tidak terjadi peristiwa, selama itu pula risiko menjadi beban ancaman penanggung sampai asuransi berakhir. Jadi, dapat dipahami ciri risiko dalam asuransi adalah sebagai berikut :
a) Bahaya yang mengancam benda atau objek asuransi;
b) Berasal dari faktor ekonomi, alam atau manusia;
c) Diklasifikasikan menjadi risiko pribadi, kekayaan dan tanggung jawab;
d) Hanya berpeluang menimbulkan kerugian.
Terdapat lima cara mengatasi risiko agar risiko tersebut tidak menimbulkan kerugian yang lebih besar, yaitu :
a) Menghindari risiko (risk avoidance), tidak melakukan kegiatan yang memberi peluang kerugian
b) Mengurangi risiko (risk reduction), memperkecil terjadi kerugian c) Menahan risiko (risk retention), tidak melakukan apa-apa terhadap
risiko karena dapat menimbulkan kerugian
d) Membagi risiko (risk sharing), membagi risiko dengan pihak lain e) Mengalihkan risiko (risk transfer), memindahkan risiko kepada pihak
lain (Robert Mehr dalam bukunya Abdulkadir Muhammad, 2002:124).
Agar risiko dapat diasuransikan, maka perlu dipenuhi kriteria sebagai berikut :
a) dapat dinilai dengan uang;
b) harus risiko murni, artinya hanya berpeluang menimbulkan kerugian;
c) kerugian timbul akibat bahaya atau peristiwa tidak pasti;
d) tertanggung harus memiliki insurable interest;
e) tidak dilarang oleh peraturan perundang-undangan dan tidak bertentangan dengan ketertiban umum.
Berdasarkan klasifikasi objek asuransi, risiko yang dapat diasuransikan digolongkan menjadi tiga jenis, yaitu :
a) Risiko pribadi, yaitu risiko yang ancamannya mengurangi atau menghilangkan kemampuan diri seorang untuk memperoleh penghasilan atau keuntungan.
b) Risiko harta, yaitu risiko yang ancamannya menghilangkan, menghancurkan, merusakkan kekayaan seseorang.
c) Risiko tanggung gugat, yaitu risiko yang ancamannya mengganti kerugian kepada pihak ketiga akibat perbuatan tertanggung.
3) Pengertian Polis
Polis merupakan bentuk tertulis dari keterikatan antara penanggung dan tertanggung. Menurut Pasal 255 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang perjanjian pertanggungan harus dibuat secara tertulis dalam suatu akta yang disebut polis. Polis berfungsi sebagai alat bukti tertulis bahwa terjadi pertanggungan antara tertanggung dan penanggung.
Dalam Pasal 257 dan Pasal 258 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang menyimpulkan bahwa polis dalam perjanjian asuransi tidak merupakan syarat mutlak tetapi hanya merupakan alat bukti saja.
Meskipun demikian sesuai dengan asas kebebasan berkontrak yang tersimpul dari Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata diperkenankan saja apabila para pihak memperjanjikan bahwa perjanjian asuransi baru berlangsung setelah polis selesai atau setelah diserahkan kepada tertanggung. Dalam hal yang demikian berarti polis dijadikan
sebagai syarat mutlak pada perjanjian asuransi yang bersangkutan (Djoko Prakoso, 2000:144).
Dalam perjanjian asuransi sering dimuat janji-janji khusus yang dirumuskan dengan tegas dalam polis, yang lazim disebut klausula asuransi. Maksud klausula tersebut adalah untuk mengetahui batas tanggung jawab penanggung dalam pembayaran ganti kerugian apabila terjadi peristiwa yang menimbulkan kerugian. Jenis-jenis klausula asuransi itu ditentukan oleh sifat objek asuransi, bahaya yang mengancam dalam setiap asuransi. Klausula-klausula yang dimaksud antara lain : a) Klausula Premier Risque
Klausula ini biasanya digunakan pada asuransi pembongkaran dan pencurian (burglary insurance) serta asuransi tanggung jawab (liability insurance). Klausula ini menyatakan bahwa apabila pada asuransi di bawah nilai benda terjadi kerugian sebagian (partial loss), penanggung akan membayar ganti kerugian seluruhnya sampai maksimum jumlah yang diasuransikan (Pasal 253 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Dagang).
b) Klausula All Risk
Klausula ini menentukan bahwa penanggung memikul segala risiko atas benda yang diasuransikan. Ini berarti penanggung akan mengganti semua kerugian yang timbul akibat peristiwa apapun, kecuali kerugian yang timbul karena kesalahan tertanggung sendiri (Pasal 276 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang) dan karena cacat sendiri bendanya (Pasal 249 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang).
c) Klausula Sudah Diketahui (All Seen)
Klausula ini digunakan pada asuransi kebakaran (fire insurance).
Klausula ini menentukan bahwa penanggung sudah mengetahui betul keadaan konstruksi, letak dan cara pemakaian bangunan yang diasuransikan. Dengan demikian, klausula ini menghilangkan tuduhan
bahwa tertanggung menyembunyikan hal-hal tertentu dari bangunan objek asuransi (Pasal 251 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang).
d) Klausula Renunsiasi (Renunciation)
Renunsiasi artinya pelepasan hak. Klausula ini berhubungan dengan ketentuan Pasal 251 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang yang berarti melepaskan hak gugat berdasarkan ketentuan pasal tersebut. Menurut klausula ini penanggung tidak akan menggugat tertanggung dengan alasan Pasal 251 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, kecuali jika Hakim menetapkan bahwa pasal tersebut harus diberlakukan secara jujur (fair) atau dengan iktikad baik (in good faith) dan sesuai dengan kebiasaan. Ini berarti apabila timbul kerugian akibat evenemen bagi tertanggung, padahal tertanggung tidak memberitahukan keadaan benda objek asuransi kepada penanggung, maka penanggung tidak akan mengajukan alasan Pasal 251 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dan penanggung akan membayar klaim ganti kerugian kepada tertanggung. Akan tetapi, jika diperkarakan ke pengadilan dan pengadilan memutuskan bahwa Pasal 251 Kitab Undnag-Undang Hukum Dagang berlaku terhadap kasus itu maka penanggung tidak berkewajiban membayar ganti kerugian walaupun asuransi berklausula renunsiasi.
e) Klausula Free From Particular Average (FPA)
Klausula ini digunakan pada asuransi pengangkutan laut.
Average artinya peristiwa kerugian laut. Klausula ini mempunyai arti bahwa penanggung dibebaskan dari kewajiban membayar ganti kerugian yang timbul akibat peristiwa khusus di laut (particular average) seperti ditentukan dalam Pasal 709 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang. Berdasarkan klausula ini, penanggung menolak pembayaran ganti kerugian yang diklaim oleh tertanggung yang sebenarnya timbul akibat peristiwa khusus yang sudah dibebaskan
oleh klausula free from particular average (FPA). Penanggung hanya berkewajiban membayar ganti kerugian yang timbul dari peristiwa laut yang bukan merupakan particular average seperti yang tertulis di dalam polis (Abdulkadir Muhammad, 2002:100)
4) Pengertian Premi
Berdasarkan rumusan Pasal 246 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dapat diketahui bahwa premi adalah salah satu unsur penting dalam asuransi karena merupakan kewajiban utama yang wajib dipenuhi oleh tertanggung kepada penanggung. Dalam hubungan hukum asuransi, penanggung menerima pengalihan risiko dari tertanggung dan tertanggung membayar sejumlah premi sebagai imbalannya. Apabila premi tidak dibayar, asuransi dapat dibatalkan atau setidak-tidaknya asuransi tidak berjalan. Premi harus dibayar lebih dahulu oleh tertanggung karena tertanggung merupakan pihak yang berkepentingan
Untuk mencegah terjadi pembatalan asuransi karena premi tidak dibayar biasanya pihak-pihak mencantumkan klausula dalam polis yang menyatakan premi harus dibayar di muka. Jika premi tidak dibayar pada waktu yang telah ditentukan, asuransi tidak akan berjalan. Jika terjadi peristiwa yang menimbulkan kerugian, penanggung tidak berkewajiban mambayar klaim tertanggung.
Premi asuransi merupakan syarat mutlak untuk menentukan perjanjian dilaksanakan atau tidak. Kriteria premi asuransi adalah sebagai berikut :
a) dalam bentuk sejumlah uang;
b) dibayar lebih dahulu oleh tertanggung;
c) sebagai imbalan pengalihan risiko;
d) dihitung berdasarkan prensentase terhadap nilai risiko yang dialihkan (Abdulkadir Muhammad, 2002:103).
e. Usaha Perasuransian 1) Jenis usaha perasuransian
Istilah perasuransian melingkupi kegiatan usaha yang bergerak di bidang usaha asuransi dan usaha penunjang usaha asuransi. Pasal 2 huruf (a) Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian menentukan :
”Usaha asuransi adalah usaha jasa keuangan yang dengan menghimpun dana masyarakat melalui pengumpulan premi asuransi memberikan perlindungan kepada anggota masyarakat pemakai jasa asuransi terhadap kemungkinan timbulnya kerugian karena suatu peristiwa yang tidak pasti atau terhadap hidup atau meninggalnya seseorang”.
Sedangkan Pasal 2 huruf (b) menjelaskan usaha penunjang usaha asuransi yaitu sebagai berikut :
”Usaha penunjang usaha asuransi adalah usaha menyelenggarakan jasa keperantaraan, penilaian kerugian asuransi, dan jasa aktuaria”.
Dalam Pasal 3 huruf (a) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, usaha asuransi dikelompokkan menjadi 3 (tiga) jenis, yaitu :
a) Usaha asuransi kerugian
Usaha asuransi kerugian yang memberikan jasa dalam penanggulangan risiko atas kerugian, kehilangan manfaat, dan tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga, yang timbul dari peristiwa tidak pasti.
b) Usaha asuransi jiwa
Usaha asuransi jiwa yang memberikan jasa dalam penanggulangan risiko yang dikaitkan dengan hidup atau meninggalnya seseorang yang dipertanggungkan.
c) Usaha reasuransi
Usaha reasuransi yang memberikan jasa dalam asuransi ulang terhadap risiko yang dihadapi oleh perusahaan asuransi kerugian dan/atau perusahaan asuransi jiwa.
Dalam Pasal 3 huruf (b) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992, tentang Usaha Perasuransian, usaha penunjang usaha asuransi dikelompokkan menjadi 5 (lima) jenis, yaitu :
a) Usaha pialang asuransi
Usaha pialang asuransi yang memberikan jasa keperantaraan dalam penutupan asuransi dan penanganan penyelesaian ganti kerugian dengan bertindak untuk kepentingan tertanggung
b) Usaha pialang reasuransi
Usaha pialang reasuransi yang memberikan jasa keperantaraan dalam penempatan reasuransi dan penanganan penyelesaian ganti kerugian reasuransi dengan bertindak untuk kepentingan perusahaan asuransi.
c) Usaha penilaian kerugian asuransi
Usaha penilaian kerugian asuransi yang memberikan jasa penilaian terhadap kerugian pada objek asuransi yang dipertanggungkan
d) Usaha konsultan aktuaria
Usaha konsultan aktuaria yang memberikan jasa konsultasi aktuaria e) Usaha agen asuransi
Usaha agen asuransi yang memberikan jasa keperantaraan dalam rangka pemasaran jasa asuransi untuk dan atas nama penanggung (Abdulkadir Muhammad, 2002:23).
Pengelompokan jenis usaha perasuransian dalam Pasal 3 tersebut didasarkan pada pengertian bahwa perusahaan yang melakukan usaha asuransi adalah perusahaan yang menanggung risiko asuransi. Selain itu, di bidang perasuransian terdapat pula perusahaan-perusahaan yang kegiatannya dikelompokkan sebagai usaha penunjang usaha asuransi.
Selain pengelompokan menurut jenis usahanya, usaha asuransi dapat pula dibagi berdasarkan sifat dari penyelenggaraan usahanya menjadi 2 (dua) kelompok, yaitu :
a) Usaha asuransi sosial
Usaha asuransi sosial dalam rangka penyelenggaraan Program Asuransi Sosial yang bersifat wajib (compulsory) berdasarkan undang- undang dan memberikan perlindungan dasar untuk kepentingan masyarakat
b) Usaha asuransi komersial
Usaha asuransi komersial dalam rangka penyelenggaraan Program Asuransi Kerugian dan Asuransi Jiwa yang bersifat kesepakatan (voluntary) berdasarkan kontrak asuransi dengan tujuan memperoleh keuntungan (motif ekonomi).
2) Bentuk hukum usaha perasuransian
Menurut ketentuan Pasal 7 ayat (1) UndangUndang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, usaha perasuransian hanya dapat dilaksanakan oleh badan hukum yang berbentuk :
a) Perusahaan Perseroan (Persero) b) Koperasi
c) Perseroan Terbatas (PT) d) Usaha Bersama (Mutual)
Namun tanpa mengurangi ketentuan ayat (1) usaha konsultan aktuaria dan usaha agen asuransi dapat dilakukan oleh Perusahaan Perseorangan (ayat 2). Mengenai bentuk hukum Usaha Bersama diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang Usaha Perasuransian ayat (3).
Mengingat undang-undang mengenai bentuk hukum Usaha Bersama belum ada, maka untuk sementara ketentuan mengenai bentuk hukum ini akan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Akan tetapi, sayangnya hingga sekarang peraturan tersebut belum ada.
Apabila badan hukum yang menjalankan usaha perasuransia itu berbentuk PT dan/atau Persero maka pendiriannya harus mengikuti ketentuan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang PT. Khusus badan hukum Persero perlu juga mengikuti ketentuan PP Nomor 12 Tahun 1998 tentang Persero. Apabila badan hukum itu berbentuk Koperasi, maka untuk memperoleh status badan hukum Koperasi pendiriannya harus mengikuti ketentuan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian.
f. Perusahaan Perasuransian 1) Jenis perusahaan perasuransian
Setiap usaha perasuransian dijalankan oleh perusahaan perasuransian. Perusahaan perasuransian meliputi perusahaan asuransi dan perusahaan penunjang usaha asuransi. Dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, perusahaan asuransi dikelompokkan menjadi 3 (tiga) jenis sebagai berikut :
a) Perusahaan Asuransi Kerugian
Perusahaan asuransi kerugian hanya dapat menyelenggarakan usaha dalam bidang asuransi kerugian, termasuk reasuransi.
b) Perusahaan Asuransi Jiwa
Perusahaan asuransi jiwa hanya dapat menyelenggarakan usaha dalam bidang asuransi jiwa, asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan diri, dan usaha anuitas, serta menjadi pendiri dan pengurus dana pensiun sesuai dengan peraturan perundang-undangan dana pensiun yang berlaku.
c) Perusahaan Reasuransi
Perusahaan reasuransi hanya dapat menyelenggarakan usaha asuransi ulang.
Berdasarkan ketentuan ini, setiap perusahaan asuransi hanya dapat menjalankan jenis usaha yang telah ditetapkan, tidak dimungkinkan
adanya suatu perusahaan asuransi yang sekaligus menjalankan usaha asuransi kerugian dan asuransi jiwa.
Setiap usaha penunjang usaha asuransi dijalankan oleh perusahaan penunjang usaha asuransi. Dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, perusahaan penunjang usaha asuransi dikelompokkan menjadi 5 (lima) jenis sebagai berikut :
a) Perusahaan Pialang Asuransi
Perusahaan pialang asuransi dapat menyelenggarakan usaha dengan bertindak mewakili tertanggung dalam rangka transaksi yang berkaitan dengan kontrak asuransi.
b) Perusahaan Pialang Reasuransi
Perusahaan pialang reasuransi hanya dapat menyelenggarakan usaha dengan bertindak mewakili perusahaan asuransi dalam rangka teransaksi yang berkaitan dengan kontrak reasuransi.
c) Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi
Perusahaan penilai kerugian asuransi hanya dapat menyelenggarakan usaha jasa penilaian kerugian atas kehilangan atau kerusakan yang terjadi pada objek asuransi kerugian.
d) Perusahaan Konsultan Aktuaria
Perusahaan konsultan aktuaria hanya dapat menyelenggarakan usaha jasa di bidang aktuaria. Jasa di bidang aktuaria mencakup antara lain konsultasi tentang hal-hal yang berkaitan dengan analisis dan penghitungan cadangan, penyusunan laporan aktuaria, penilaian kemungkinan terjadi resiko dan perancangan produk asuransi jiwa.
e) Perusahaan Agen Asuransi
Perusahaan agen asuransi hanya dapat memberikan jasa pemasaran asuransi bagi 1 (satu) perusahaan asuransi yang memiliki izin usaha dari Menteri Keuangan.
2) Persyaratan perusahaan perasuransian
Dalam rangka melaksanakan kegiatan usahanya, perusahaan perasuransian harus memenuhi ketentuan sebagai berikut :
a) Dalam anggaran dasar dinyatakan bahwa maksud dan tujuan pendirian perusahaan hanya untuk menjalankan salah satu jenis usaha perasuransian, dan perusahaan tidak memberikan pinjaman kepada pemegang saham.
b) Susunan organisasi perusahaan sekurang-kurangnya meliputi fungsi- fungsi sebagai berikut :
(1) Bagi perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi, yaitu fungsi pengelolaan risiko, pengelolaan keuangan dan pelayana.
(2) Bagi perusahaan pialang asuransi dan perusahaan pialang reasuransi, yaitu fungsi pengelolaan keuangan dan pelayanan.
(3) Bagi perusahaan agen asuransi, perusahaan penilai kerugian asuransi dan perusahaan konsultan aktuaria, yaitu fungsi teknis sesuai dengan bidang jasa yang diselenggarakannya.
c) Memenuhi ketentuan permodalan sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
d) Mempekerjakan tenaga ahli sesuai dengan bidang usaha dalam jumlah yang memadai untuk mengelola kegiatan usahanya. Pelaksanaan pengelolaan perusahaan sekurang-kurangnya didukung oleh :
(1) Sistem pengembangan sumber daya manusia (2) Sistem administrasi
(3) Sistem pengelolaan data.
3) Pencabutan izin usaha dan kepailitan
Dalam hal tindakan untuk memenuhi rencana mengatasi penyebab dari pembatasan kegiatan usaha telah dilaksanakan, dan apabila pelaksanaan tersebut dapat disimpulkan bahwa perusahaan yang bersangkutan tidak mampu atau tidak bersedia menghilangkan hal-hal
yang menyebabkan pembatasan termaksud, maka Menteri Keuangan mencabut izin usaha perusahaan. Pencabutan izin usaha diumumkan oleh Menteri Keuangan dalam media massa di Indonesia yang memiliki peredaran yang luas (Pasal 18 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian). Akan tetapi, apabila perusahaan telah berhasil melakukan tindakan dalam rangka mengatasi penyebab dari pembatasan kegiatan usahanya dalam jangka waktu 4 (empat) bulan, maka perusahaan yang bersangkutan dapat melakukan usahanya kembali (Pasal 19 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian).
Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan dalam Undang- Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, dalam hal terdapat pencabutan izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, maka Menteri Keuangan berdasarkan kepentingan umum dapat meminta kepada pengadilan agar perusahaan yang bersangkutan dinyatakan pailit. Hak pemegang polis atas pembagian harta kekayaan perusahaan asuransi kerugian dan perusahaan asuransi jiwa yang dilikuidasi merupakan hak utama (Pasal 20 Undang- Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian).
Apabila suatu perusahaan asuransi telah dicabut izin usahanya, maka kekayaan perusahaan tersebut perlu dilindungi agar para pemegang polis tetap dapat memperoleh haknya secara proporsional. Untuk melindungi kepentingan para pemegang polis tersebut, Menteri Keuangan diberi wewenang berdasarkan undang-undang ini untuk meminta pengadilan agar perusahaan asuransi yang bersangkutan dinyatakan pailit, sehingga kekayaan perusahaan tidak dipergunakan untuk kepentingan pengurus atau pemilik perusahaan tanpa mengindahkan kepentingan para pemegang polis.
Selain itu, dengan adanya kewenangan untuk mengajukan permintaan pailit tersebut, maka Menteri Keuangan dapat mencegah
berlangsungnya kegiatan tindakan sah dari perusahaan yang telah dicabut izin usahanya, sehingga kemungkinan terjadi kerugian yang lebih luas pada masyarakat dapat dihindarkan. Dalam hal jika perusahaan asuransi yang mengikatkan diri dengan tertanggung atau pemegang polis terjadi kepailitan, maka pemegang polis mempunyai hak utama, artinya hak pemegang polis mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada hak pihak-pihak lain, kecuali dalam kewajiban untuk negara, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Abdulkadir Muhammad, 2002;24-25).
2. Tinjauan Tentang Perlindungan Hukum a. Pengertian Perlindungan Hukum
Keberadaan hukum di masyarakat merupakan suatu sarana untuk menciptakan ketentraman dan ketertiban masyarakat, sehingga dalam hubungan antar anggota masyarakat yang satu dengan yang lainnya dapat terjaga kepentingannya. Hukum tidak lain adalah perlindungan kepentingan manusia yang berbentuk norma atau kaidah.
Hukum sebagai kumpulan peraturan atau kaedah mengandung isi yang bersifat umum dan normatif, umum karena berlaku bagi setiap orang, dan normatif karena menentukan apa yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan, serta menentukan bagaimana cara melaksanakan kepatuhan pada kaedah.
(Sudikno Mertokusumo, 2003:39)
Wujud dari peran hukum bagi masyarakat adalah memberikan perlindungan hukum kepada anggota masyarakat yang kepentingannya terganggu. Persengketaan yang terjadi di dalam masyarakat harus diselesaikan menurut hukum yang berlaku, sehingga dapat mencegah perilaku main hakim sendiri sendiri. Tujuan pokok hukum sebagai perlindungan kepentingan manusia adalah menciptakan tatanan masyarakat yang tertib, sehingga terwujud kehidupan yang seimbang.
Menurut Sudikno Mertokusumo, bahwa hukum itu bertujuan agar tercapainya ketertiban dalam masyarakat sehingga diharapkan kepentingan manusia dapat terlindungi untuk mencapai tujuannya dan bertugas membagi hak dan kewajiban antar perorangan dalam masyarakat, membagi wewenang dan mengutamakan pemecahan masalah hukum serta memelihara kepastian hukum. (Sudikno Mertokusumo, 2003:57-61)
Pada hakikatnya terdapat hubungan antara subjek hukum dengan objek hukum yang dilindungi oleh hukum dan menimbulkan hak dan kewajiban.
Hak dan kewajiban yang timbul dari hubungan hukum tersebut harus dilindungi oleh hukum, sehingga anggota masyarakat merasa aman dalam melaksanakan kepentingannya. Hal ini menunjukkan bahwa perlindungan hukum dapat diartikan sebagai suatu pemberian jaminan atau kepastian bahwa seseorang akan mendapatkan apa yang telah menjadi hak dan kewajibannya, sehingga yang bersangkutan akan merasa aman.
Kesimpulan dari hal tersebut di atas, bahwa perlindungan hukum dalam arti sempit adalah sesuatu yang diberikan kepada subjek hukum dalam bentuk perangkat hukum, baik yang bersifat preventif maupun represif, serta dalam bentuk yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Dengan kata lain, perlindungan hukum dapat diartikan sebagai suatu gambaran dari fungsi hukum, yaitu ketentraman bagi segala kepentingan manusia yang ada di dalam masyarakat sehingga tercipta keselarasan dan keseimbangan hidup bermasyarakat. Sedangkan perlindungan hukum dalam arti yang luas adalah perlindungan tersebut tidak hanya diberikan kepada seluruh makhluk hidup maupun segala ciptaan Tuhan dan dimanfaatkan bersama-sama dalam rangka kehidupan yang adil dan damai.
b. Prinsip-prinsip Perlindungan Hukum
Prinsip-prinsip perlindungan hukum bagi rakyat Indonesia berlandas pada Pancasila sebagai dasar ideologi dan dasar falsafah negara. Prinsip-
prinsip yang mendasari perlindungan hukum bagi rakyat berdasarkan Pancasila adalah :
1) Prinsip-prinsip perlindungan hukum bagi rakyat terhadap tindakan pemerintah yang bersumber pada konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia.
Pengakuan akan harkat dan martabat manusia pada dasarnya terkandung dalam nilai-nilai Pancasila yang telah disepakati sebagai dasar negara.
Dengan kata lain, Pancasila merupakan sumber pengakuan dan harkat dan martabat manusia. Pengakuan akan harkat dan martabat manusia berarti mengakui kehendak manusia untuk hidup bersama yang bertujuan diarahkan pada usaha untuk mencapai kesejahteraan bersama.
2) Prinsip Negara Hukum
Pancasila sebagai dasar falsafah negara serta adanya asas keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan asas kerukunan tetap merupakan elemen pertama dan utama karena Pancasila, yang pada akhirnya mengarah pada usaha tercapainya keserasian dan keseimbangan dalam kehidupan. (Philipus M. Hadjon, 1987:19-20)
c. Bentuk-bentuk Perlindungan Hukum
Philipus M. Hadjon membagi bentuk perlindungan hukum menjadi 2 (dua), yaitu :
1) Perlindungan hukum yang preventif
Perlindungan hukum ini memberikan kesempatan kepada rakyat untuk mengajukan keberatan (inspraak) atas pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitif. Perlindungan hukum ini bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa dan sangat besar artinya bagi tindak pemerintah yang didasarkan pada kebebasan bertindak.
Maka dari itu dengan adanya perlindungan hukum yang preventif ini mendorong pemerintah untuk berhati-hati dalam mengambil keputusan yang berkaitan dengan asas freies ermessen, dan rakyat dapat mengajukan
keberatan atau dimintai pendapatnya mengenai rencana keputusan tersebut.
2) Perlindungan hukum yang represif
Perlindungan hukum ini berfungsi untuk menyelesaikan apabila terjadi sengketa. Indonesia dewasa ini terdapat berbagai badan yang secara partial menangani perlindungan hukum bagi rakyat, yang dikelompokkan menjadi 3 (tiga) badan, yaitu :
a) Pengadilan dalam lingkup Peradilan Umum
Dewasa ini dalam praktek telah ditempuh jalan untuk menyerahkan suatu perkara tertentu kepada Peradilan Umum sebagai perbuatan melawan hukum oleh penguasa.
b) Instansi Pemerintah yang merupakan lembaga banding administrasi Penanganan perlindungan hukum bagi rakyat melalui instansi pemerintah yang merupakan lembaga banding administrasi adalah permintaan banding terhadap suatu tindak pemerintah oleh pihak yang merasa dirugikan oleh tindakan pemerintah tersebut. Instansi pemerintah yang berwewenang untuk mengubah bahkan membatalkan tindakan pemerintah tersebut.
c) Badan-badan khusus
Merupakan badan yang terkait dan berwenang untuk menyelesaikan suatu sengketa. Badan-badan khusus tersebut antara lain adalah Kantor Urusan Perumahan, Pengadilan Kepegawaian, Badan Sensor Film, Panitia Urusan Piutang Negara, serta Peradilan Administrasi Negara.
(Philipus M. Hadjon, 1987:2-5)
3. Tinjauan Tentang Kepailitan a. Pengertian Kepailitan
Menurut Peter Mahmud kata pailit berasal dari bahasa Prancis
”failite” yang berarti kemacetan pembayaran. Dalam bahasa Belanda