• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PIHAK TERTANGGUNG DAN ASURANSI - Perlindungan Pihak Tertanggung Dalam Asuransi Terhadap Tuntutan Ganti Kerugian dari Pihak Ketiga (Studi pada PT Asuransi Intra Asia)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PIHAK TERTANGGUNG DAN ASURANSI - Perlindungan Pihak Tertanggung Dalam Asuransi Terhadap Tuntutan Ganti Kerugian dari Pihak Ketiga (Studi pada PT Asuransi Intra Asia)"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PIHAK TERTANGGUNG DAN

ASURANSI

A. Pengertian Hak dan Kewajiban Pihak Tertanggung

Asuransi Konvensional Menurut Pasal 246 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian, dimana penanggung mengikat diri terhadap tertanggung dengan memperoleh premi, untuk memberikan kepadanya ganti rugi karena suatu kehilangan, kerusakan, atau tidak mendapat keuntungan yang tidak diharapkan, yang mungkin akan diderita karena suatu peristiwa yang tidak pasti”.7

Yusuf Shofie mengutarakan bahwa bisnis perasuransian di Indonesia hampir sama tuanya dengan bisnis perbankan.8

Pengertian tertanggung adalah perorangan atau badan hukum tertentu, menurut definisi dalam masing-masing polis, yang telah mengajukan aplikasi asuransi secara tertulis kepada penanggung dan telah memenuhi segala ketentuan dan syarat penutupan yang ditetapkan, misalnya dalam hal pembayaran.9 Sebagai contoh, dalam Director’s and Officer’s Liability Insurance, tertanggung adalah para direktur dan pejabat perusahaan (misalnya presiden direktur dan komisaris), baik yang pernah, sedang, maupun akan duduk di jabatan tersebut. Dalam Medical malpractice, tertanggung adalah rumah sakit, para dokter, serta praktisi medis.

Dalam Profesional Identity, tertanggung adalah para professional yang telah

7

Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.

8

Yusuf Shofie, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hal. 161.

9

(2)

memiliki sertifikasi atau izin kerja yang diakui secara hukum, seperti dokter, pengacara, akuntan, arsitek, insinyur, dan lain-lain.

Tertanggung merupakan pihak yang kedudukannya sangat penting disamping penanggung. Sebab ia dapat menentukan kehendak secara bebas, apakah akan melanjutkan perjanjian pertanggungan ataukah akan menghentikannya.

Adapun hak-hak dari tertanggung itu antara lain :

1. hak untuk menunjuk orang yang akan menerima uang pertanggungan 2. hak untuk merubah siapa-siapa yang menjadi tertunjuk dalam

batas-batas tertentu

3. hak untuk menebus kembali polis

4. hak untuk mengubah polis menjadi bebas premi

5. hak untuk mengadakan pengawasan terhadap penanggung 6. hak untuk menggadaikan polis.10

Untuk mengalihkan suatu risiko kepada pihak lain (penanggung), tertanggung mempunyai beberapa kewajiban disamping juga mempunyai hak. Salah satu kewajiban membayar premi.

Kewajiban lain dari seorang tertanggung dapat juga disebutkan antara lain: 1. Kewajiban untuk memberitahukan kepada penanggung hal-hal yang perlu

diberitahukan dengan benar (Pasal 251, 283, dan 654 KUHD);

2. Berusaha untuk menghindari timbulnya kerugian atau setidak-tidaknya ia berusaha untuk memperkecil kemungkinan timbulnya kerugian (Pasal 283 dan 655 KUHD);

3. Kewajiban-kewajiban yang ditentukan dalam polis sebagai suatu perjanjian asuransi dalam rangka adanya kebebasan berkontrak antara pen

10

(3)

anggung dengan tertanggung.11

Tentang Kewajiban pembayaran premi ini dari tertanggung kepada penanggung telah disinggung dalam Pasal 246 KUHD sebagai suatu prestasi dari pihak tertanggung kepada penanggung. Bahkan dinyatakan lagi dalam Pasal 256 sub 7 bahwa di dalam polis harus dinyatakan jumlah uang premi yang harus dibayar tertanggung kepada penanggung. Apabila uang premi tidak dibayar tertanggung maka penanggung dapat menuntut melalui pengadilan agar tertanggung dihukum untuk membayar uang premi itu.

Premi ini biasanya ditentukan dalam suatu presentase dari jumlah yang dipertanggungkan, dimana dalam presentase tercermin penilaian risiko dari penanggung. Penilaian atau penghargaan dari penaggung mengenai risiko ini, dapat berbeda-beda pada beberapa penanggung, akan tetapi selalu dikuasai oleh hukum penawaran dan permintaan.

B.Jenis-Jenis dan Dasar Hukum Asuransi

Jenis-jenis asuransi menurut pembagian klasik ada dua jenis asuransi yaitu asuransi sejumlah uang (sommen verzekering) dan asuransi ganti kerugian (schade verzekering).12 Dalam perkembangannya usaha perasuransian muncul satu jenis asuransi lagi yaitu asuransi varia (varia verzekering).13

Dikatakan asuransi sejumlah uang karena besarnya uang asuransi sudah ditentukan sebelumnya tanpa perlu ada suatu hubungan antara kerugian yang diderita dengan besarnya jumlah uang yang diberikan penanggung.

11

Ibid, hal. 31.

12

Ibid., hal. 11.

13Ibid

(4)

Berbeda halnya dengan asuransi kerugian, disini ganti rugi yang diberikan penanggung kepada tertanggung harus seimbang dengan kerugian yang diderita dan kerugian itu adalah akibat dari peristiwa untuk mana asuransi itu diadakan. Perusahaan asuransi kerugian merupakan perusahaan asuransi yang memberikan jasa dalam penanggulangan risiko atas kerugian, kehilangan manfaat, dan tagging jawab hukum kepada pihak ketiga, yang timbul dari peristiwa yang tidak pasti.14

Asuransi varia disebut juga dengan asuransi campuran karena merupakan campuran (kombinasi) unsur-unsur yang ada dalam asuransi sejumlah uang dan asuransi ganti kerugian.15 Timbulnya ganti rugi yang akan dibayar oleh penanggung tidak lagi digantungkan pada besar kecilnya kerugian tetapi sudah ditentukan besarnya jumlah uang.

KUHD membagi asuransi dalam lima jenis, yaitu : 1. Asuransi kebakaran

2. Asuransi yang mengancam hasil-hasil pertanian disawah 3. Asuransi jiwa

4. Asuransi di lautan dan perbudakan

5. Asuransi perbudakan darat dan di sungai-sungai serta di perairan-perairan pedalaman.16

Adapun yang menjadi dasar hukum asuransi adalah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Kitab Undang Hukum Dagang (KUHD), dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian.

14

Herman Darmawi, Manajemen Asuransi, Bumi Aksara, Jakarta, 2000, hal. 101.

15

(5)

Menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, Asuransi adalah perjanjian antara dua pihak, yaitu perusahaan asuransi dan pemegang polis, yang menjadi dasar bagi penerimaan premi oleh perusahaan asuransi sebagai imbalan untuk:

a. memberikan penggantian kepada tertanggung atau pemegang polis karena kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita tertanggung atau pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti; atau

b. memberikan pembayaran yang didasarkan pada meninggalnya tertanggung atau pembayaran yang didasarkan pada hidupnya tertanggung dengan manfaat yang besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana.17

Menurut Molenggraaff, Asuransi kerugian ialah persetujuan satu pihak, penanggung-mengikatkan diri terhadap yang lain, tertanggung untuk mengganti kerugian yang dapat diderita oleh tertanggung, karena terjadinya suatu peristiwa yang telah ditunjuk, dan yang belum tentu serta kebetulan, pula tertanggung berjanji untuk membayar premi.18

Asuransi Kerugian terbagi atas beberapa jenis asuransi, salah satunya Asuransi Tanggung Jawab. Pengertian Asuransi Tanggung Jawab adalah produk asuransi yang memberikan jaminan perlindungan kepada tertanggung, terhadap risiko yang timbul karena adanya tuntutan dari pihak lain (pihak ketiga),

17

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian.

18

(6)

sehubungan dengan aktivitas personal/perusahaan milik tertanggung. Produk Asuransi tanggung jawab tidak terlepas dari Tanggung Jawab Hukum pihak ketiga(TJH).

Tanggung Jawab Hukum pihak ketiga adalah kewajiban menurut polis yang harus dipenuhi tertanggung terhadap pihak ketiga, apabila risiko-risiko yang dijamin oleh polis menyebabkan pihak ketiga tersebut mengalami kerugian. Hal yang dijamin oleh asuransi tanggung jawab adalah kewajiban tertanggung membayar ganti rugi atau kompensasi atas kerugian yang diderita oleh pihak ketiga.

Kerugian-kerugian yang diderita oleh orang lain (pihak ketiga) karena perbuatan seseorang adalah menjadi tanggung jawab seseorang tersebut. Tanggung jawab ini adalah menurut hukum, artinya bahwa apabila karena perbuatan seseorang atau kelalaian seseorang, orang lain menderita kerugian maka menurut hukum harus bertanggung jawab atas kerugian itu.

Ganti rugi atau kompensasi diberikan kepada pihak ketiga sehubungan dengan kerusakan harta benda(property damage), cedera badan (Bodily Injury), kerugian keuangan (financial loss), atau kehilangan keuntungan (Consequential loss) yang dideritanya.

(7)

C. Prinsip-Prinsip Dasar dan Syarat Sahnya Perjanjian Asuransi

Prinsip mendasar yang harus dimiliki adalah prinsip adanya itikad baik atau utmost go faith atau uberrimai fides.19 Perjanjian asuransi merupakan perjanjian khusus yang diatur dalam KUHD. Sebagai perjanjian khusus, maka selain asas-asas hukum perjanjian pada umumnya, dalam perjanjian asuransi mengharuskan diterapkannya prinsip-prinsip perjanjian asuransi sebagai berikut:

1. Prinsip kepentingan yang dapat diasuransikan (Insurable Interest) 2. Prinsip iktikad baik (Utmost Goodfaith)

Insurable Interest atau kepentingan yang dapat diasuransikan merupakan syarat mutlak untuk dapat diadakan kontrak asuransi. Ketiadaan Insurable Interest menyebabkan kontrak asuransi ilegal, atau batal demi hukum. Insurable Interest sebagaimana dinyatakan oleh Chris Parsons, David Green, and Mike Mead (1995) merupakan “legal right to insure arising out of financial relationship, recognized

at law, between the insured and the subject-matter of insurance”, Insurable

Interest merupakan hak hukum bagi seseorang untuk mengasransikan subject-matter of insurance (objek pertanggungan) karena adanya hubungan atau kepentingan keuangan yang diakui hukum antara tertanggung dengan subject-matter of insurance.21

19

Ketut Sendra, Klaim Asuransi Gampang, BMAI, Jakarta, 2009, hal. 53.

20

Tuti Rastuti, Op.Cit, hal. 47.

21

(8)

Lebih lanjut, seseorang dikatakan memiliki kepentingan atas obyek yang diasuransikan apabila ia menderita kerugian keuangan akibat kehilangan atau kerusakan atas obyek yang diasuransikan tersebut. Menurut M. Suparman Sastrawidjaja, diharuskan ada Insurable Interest dalam perjanjian asuransi dengan maksud untuk mencegah agar asuransi tidak menjadi permainan dan perjudian.22

Hal itu disebabkan, apabila seseorang yang tidak mempunyai kepentingan terhadap suatu obyek asuransi, dapat mengasuransikan obyek tersebut, maka akibatnya, tanpa menderita kerugian orang tersebut akan mendapat ganti kerugian apabila terjadi peristwa yang tidak dikehendaki menimpa obyek yang dimaksud.

Sri Rejeki Hartono, memberikan metode bagaimana mendeteksi apakah seseorang mempunyai Insurable Interest atau tidak, dengan menggunakan indikator sebagai berikut:

a. Seberapa jauh keterkaitan tertanggung terhadap benda/obyek perjanjian asuransi terhadap terjadinya peristiwa yang diperjanjikan.

b. Apakah peristiwa yang terjadi menyebabkan kerugian atau tidak terhadap tertanggung.23

Adapun penerapan Insurable Interest ini bisa berbeda-beda. Tergantung jenis asuransinya.

1. Life Insurance

Sejatinya setiap orang memiliki Insurable Interest yang tidak tergantung batas atas dirinya dan secara teori setiap orang dapat mengasuransikan dirinya untuk sejumlah nilai pertanggungan berapapun. Dalam praktek, kemampuan

22

(9)

seseorang untuk membayar premi akan membatasi jumlah uang pertanggungan yang diinginkan. Disamping seseorang memilik Insurable Interest atas dirinya sendiri, seseorang yang hidup dalam ikatan perkawinan dapt pula memiliki Insurable Interest atas pasangan hidupnya. Sang suami dapat mengasuransikan istrinya, demikian sebaliknya

2. Property Insurance

Insurable Interest untuk asuransi harta benda relatif lebih mudah diidentifikasi dengan menggunakan pendekatan kepemilikan,. Pemilik dari harta benda pasti akan mengalami kerugian apabila harta benda miliknya mengalami kerusakan atau musnah.

Dalam kaitan dengan Part or Joint Owners, kepemilikan atas sebagian harta benda dapat mengasuransikan harat benda tersebut secaa penuh. Ini tidak berarti bahwa pihak yang mengasuransikan akan memperoleh ganti rugi atas hilang atau rusaknya harta benda secara penuh pula. Ganti rugi yang diterima tetap disesuaikan dengan bagian atau kerugian yang diderita atas kepemilikan bersama tersebut. Sebagai contoh badan Trustee dapat mengasuransikan dalam jumlah penuh harta benda yang diamanahkan kepadanya.

Dalam hal terjadi Klaim, maka kelebihan atas sejumlah kepentingannya harus diserahkan kepada pihak lain yang juga memiliki kepentingan yang sama. 3. Mortgagees & Mortgagors

(10)

tak bergerak untuk menjamin pembayaran suatu hutang dengan kentuan bahwa penyerahan itu akan dibatalkan pada waktu pembayaran.

Adapun para pihak yang terlibat dalam mortgage adalah Mortgage(pemberi pinjaman atau pemegang surat hipotek) dan mortgagor(pembeli atau orang yang berhutang dengan jaminan hipotek). Kedua belah pihak memiliki insurable insurance. Mortgagor sebagai pemilik rumah dan mortgagee sebagai kreditor.

Kepentingan mortgagee sebatas jumlah uang yang dipinjamkan. Biasanya pihak mortgagee memasukkan klausul dalam perjanjian asuransinya bahwa mortga gee juga menjadi pemilik atas rumah dimaksud.

4. Executor & Trustee

Executor & Trustee sering memiliki hak atas asuransi harta benda yang berada dalam penguasaannya. Secara hukum mereka bertanggung jawab atas harta benda yang dititipkan, sehingga menimbulkan atau memberikan insurable insurance pada mereka terhadap harta benda yang dititpkan

5. Bailees

(11)

6. Agents

Seorang prinsipal atau majikan memiliki Insurable Insurance atas agennya dan dapt mengasuransikan atas namanya.

7. Marine Insurance

Hukum Inggris memberi batasan autentik untuk kepentingan yang dapat diasuransikan dalam Pasal 5 marine Insurance Act 1906 di bidang asuransi laut. Pasal tersebut menyatakan bahwa tertanggung mempunyai kepentingan yang dapat diasuransikan jika ia dapat menikmati keselamatan barangnya atau dapat menderita kerugian jika barang tersebut musnah atau rusak.

2. Utmost Good Faith

Prinsip Utmost Good Faith yaitu kewajiban tertanggung menginformasikan segala sesuatu yang diketahuinya mengenai objek yang dipertanggungkan secara benar.24

Praktik asuransi sebagai suatu sarana pengendalian risiko telah berkembang selama bertahun-tahun, sehingga telah menjadi suatu ilmu pengetahuan yang semakin rumit dan butuh pengkajian lebih dalam. Ilmu asuransi telah dikembangkan melalui berbagai cara, sarana, dan teknis perasuransian yang mencakep bidang-bidang dokumentasi, penjaminan (underwriting), pemasaran, klaim, dan sebagainya.

Pengertian dari Utmost Good Faith atau Uberrima Fides diterjemahkan sebagai “itikad baik yang terbaik”.25

Dalam kontrak asuransi , itikad baik saja belum cukup tapi dituntut yang terbaik dari itikad baik dari calon tertanggung atau

24

Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika , Jakarta, 2008, hal.162.

25

(12)

tertanggung. Penalarannya sebagaimana disimpulkan oleh Scrutton L J dalam perkara Rozannes V. Bowen bahwa “as the underwriter knows nothing and the

man who comes to him to ask him to insure knows everything, it is the duty of the

assured…. To make a full disclosure to the underwriter without being asked of all

the material circumstances”.

Dikarenakan tertanggung yang dinilai lebih memahami tentang obyek yang akan dipertanggungkan, maka tertanggung harus mengungkapkan seluruh fakta material (material facts) yang berkaitan obyek pertanggungan tersebut secara akurat dan lengkap kepada underwriter.

Baik diminta atau tidak diminta, sepanjang fakta material tersebut dinilai dapat mempengaruhi keputusan underwriter untuk menerima atau menolak risiko yang akan dipertanggungkan, maka wajib hukumnya bagi calon tertanggung dinilai memenuhi underwriting standards, maka permohonan penutupannya akan diterima dengan premi standar, tapi jika calon tertanggung gagal atau tidak dapat memenuhi underwriting standards, maka underwriter akan menolak atau dapat menerima dengan mengenakan premi yang lebih mahal.

(13)

Menurut Gunarto, prinsip Utmost Good Faith menyangkut kewajiban yang harus dipenuhi para pihak sebelum kontrak ditutup dan bukan dalam rangka pelaksanaan kontrak yang sudah ditutup seperti itikad baik yang dimaksud Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.26

Untuk asuransi laut di Inggris hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 18 marine Insurance Act 1906, yang menyatakan bahwa principle of utmost good

faith harus diindahkan atau dilaksanakan sebelum kontrak. Salah satu contohnya ialah ketika tertanggung meminta suransi barang muatan kapal yang semula diakui bernilai £2.800, padahal nilai sebelumnya ternyata hanya £970. Karena penilaian berlebihan tersebut berasal dari tertanggung, maka penanggung berhak membatalkan polis atau menolak membayar klaimnya. Tapi pendapat berbeda disampaikan oleh Chris Parsons, David Green, dan Mike Mead, bahwa durasi kewajiban untuk memberikan fakta-fakta penting bisa berbeda, tidak selalu sebelum kontrak asuransi dilakukan. Berikut perbedaan mengenai kewajiban untuk memberikan fakta-fakta penting tersebut berlaku, yaitu:

1. Common Law. Bermula saat negosiasi kontrak dilakukan dan berakhir pada saar kontrak disetujui oleh para pihak

2. Contractual Duty. Mensyaratkan tidak menyembunyikan fakta-fakta penting selama kontrak masih berlaku dan memberikan hak kepada penanggung menolak untuk meng-underwrite perubahan yang terjadi. 3. Position at renewal. Keharusan untuk mengungkapkan fakta-fakta penting

tergantung jenis kontraknya:

a. Long-term business: untuk jenis asuransi (asuransi jiwa dan asuransi kesehatan), penanggung diwajibkan untuk menerima premi perpanjangan kontrak jika tertanggung menghendaki untuk memperpanjang kontraknya dan tidak ada kewajiban untuk mengungkapkan fakta-fakta material pada saat perpanjangan

26

(14)

b. Other business: untuk jenis asuransi lain, pada saat perpanjangan tetap dibutuhkan persetujuan dari penanggung dengan mengungkapkan kembali fakta-fakta penting.

4. Alternations to the contract. Pada saat terjadi peubahan pada kontrak asuransi antara lain mengenai peningkatan niai pertanggungan atau perubahan deskripsi dari obyek pertanggungan, berlaku kewajiban untuk mengungkapkan fakta-fakta penting. Ketentuan ini juga berlaku bagi long-term business dan other business.27

Pendapat senada juga dikemukakan AM Hasan Ali, yang mencoba mengambil intisari penerapan Utmost Good Faith bahwa kewajiban untuk memberikan fakta-fakta penting tersebut berlaku:

1. Sejak perjanjian mengenai perjanjian asuransi dibicarkan sampai kontrak asuransi selesai dibuat, yaitu pada saat para pihak menyetujui kontrak tersebut.

2. Pada saat perpanjangan kontrak tersebut

3. Pada saat terjadi perubahan pada kontrak asuransi dan mengenai hal-hal yang ada kaitannya dengan perubahan-perubahan itu.28

Dari berbagai pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa kata kunci dari penerapan Utmost Good Faih adalah kejujuran atau itikad baik yang harus selalu ada dari tertanggung untuk mengungkapakan fakta material yang dinilai akan berpengaruh terhadap keputusan seorang underwriter. Dan idealnya prinsip tersebut berlaku sebelum dan selama kontrak asuransi tersebut masih berlaku.

Sebenarnya prinsip ini bukanlah hal yang baru dikenal. Prinsip ini merupakan bahasa lain dari penerapan norma dan etika yang memang seharusnya menjadi bagian yang integral dari diri seorang manusia yang beradab.

27

(15)

Selain itu, menurut Kepler A. Marpaung sangat sering terjadi kesalhpahaman atas penerapan prinsip ini dalam bisis asuransi. Utmost Good Faith seolah-olah hanya menjad kewajiban tertanggung, sedangkan penanggung tidak perlu atau seakan-akan tidak memiliki kewajiban untuk beritikad baik kepada tertanggung.

Banyak penanggung mengklaim bahwa tertanggung tidak melaksanakan itikad baik (breach of utmost good faith) sehingga klaim asurangsi yang diajukan ditolak perusahaan asuransi. Dalam banyak kasus, sering kali nit baik tertanggung untuk melakukan sesuatu berkaitan dengan klaim asuransi menjadi boomerang karena ternyata tindakan itu dianggap melanggar ketentuan kontrak.

Dalam setiap perjanjian asuransi unsur saling percaya antara penanggung dan tertanggung akan memberikan segala keteranggannya secara benar. Di lain pihak, tertanggung juga percaya bahwa kalau terjadi peristiwa penanggung akan membayar ganti rugi.

Disisi lain, si tertanggung sendiri kadang tidak mengetahui bahwa niat baik itu ternyata bakal merugikannya. Hal semacam ini inilah yang pada akhirnya menjadi gray area timbunya konflik dari tuntutan ganti rugi.

(16)

Adalah menjadi kewajiban si penanggung untuk menjelaskan semua hal yang berkaitan dengan kontrak asuransi, termasuk sebelum dimulai kontrak. Apabila si penanggung tidak menjelaskan hak dan kewajiban si tertanggung, maka penanggung telah melanggar prinsip Utmost Good Faith. Karena itu, kelak terjadi klaim dan merugikan kepentingan tertanggung, maka penanggung dapat dituntut dan harus bertanggung jawab atas ganti rugi yang diderita tertanggung.

Adapun bentuk dari penerapan Reciprocal Duty bagi penanggung, antara lain:

1. Tidak menyembunyikan informasi dari tertanggung bahwa tertanggung berhak atas discount premi Asuransi kebakaran atas pemasangan speinkle (alat pemadam kebakaran) pada bangunan;

2. Tidak menerima penutupan asuransi yang diketahui tidak terjamin atau tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang beraku;

3. Tidak memberikan pernyataan yang tidak benar selama melakukan negosiasi kontrak.

3. Idemniteit Principle

Penerapan Idemniteit Principle dalam asuransi sekaligus menjadi pembeda bahwa asuransi tidak identik dengan perjudian. Dalam perjudian, tidak dikenal ganti rugi bagi yang kalah. Kerugian akibat kekalahan yang diterima oleh penjudi adalah konsekuensi yang harus diterima.Sedangkan dalam asuransi, ganti rugi merupakan tujuan. Bahwa asuransi merupakan risk transfer mechanism.29 Mengalihkan atau membagi risiko yang kemungkinan diderita atau dihadapi oleh

(17)

tertanggung ataus suatu peristiwa yang tidak dikehendaki dan belum pasti terjadi. Harapannya, beban financial tertanggung menjadi lebih pasti. Fixed cost dalam bentuk premi.

Namun satu hal yang perlu digarisbawahi dalam prinsip Indemnity, tertanggung tidak diperkenankan unutk memperoleh keuntungan dari ganti rugi yang diberikan oleh penanggung. Besarnya ganti rugi yang diterima oleh tertanggung harus seimbang atau sama dengan kerugian yang dideritanya.

Untuk menciptakan keseimbangan antara kerugian dengan ganti rugi, maka harus diketahui terlebih dahulu berapa nilai atau harga dari obyek yang diasuransikan. Dengan dasar tersebut, maka Idemniteit Principle hanya berlaku bagi asuransi yang kepentingannya dapat dinilai dengan uang, yaitu asuransi umum (generalinsurance) yang berkaitan dengan kerugian material.

Adapun kepentingan didalam asuransi jumlah (manfaat) seperti dalam asuransi jiwa yang tidak dapat diukur secara financial kerugian yang diderita, prinsip indemnity tidak berlaku. Bentuk kontraknya agreement to pay a specified sum. Besar yang dibayarkan kepada tertanggung ditentukan oleh berapa nilai

pertanggungan (manfaat) yang dikehendaki dan kesanggupan dari tertanggung dalam mebayar preminya. Semakin besar nilai pertanggungan yang dikehendaki, maka semakin besar pula premi yang harus dibayarkan.

Dalam penerapan Idemniteit Principle, terdapat beberapa metode pembayaran/pengganti kerugian, antara lain:

(18)

2. Perbaikan (repair). Penanggung menunjuk bengkel tertentut untuk memperbaiki kerusakan kendaraan tertanggung. Jadi, tertanggung tidak perlu membayar biaya perbaikan kendaraan tersebut;

3. Membangun kembali (reinstate). Biasanya metode ini berlaku unutk kerugian terhadap property. Misalnya bangunan yang diasuransikan rusak atau terbakar. Maka penaggung bertanggung jawab untuk membangun kembali bangunan tersebut;

4. Mengganti (replace). Dalam hal mesin-mesin, atau kendaraan mengalami kerusakan total (total loss) yang tidak mungkin diperbaiki atau bias juga karena hilang dicuri, maka penaggung akan memberikan penggantian sesuai dengan spesifikasi mesin atau kendaraan tersebut.30

4. Subrogation Principle

Subrogasi merupakan pendukung konsep indemnity karena subrogasi mencegah tertanggung untuk mendaatkan recovery lebih dari kerugian yang dideritanya. Sehingga subrogasi disebut juga Corollary of indemnity.31

Subrogasi merupakan peralihan hak dari tertanggung kepada penanggung untut menuntut ganti rugi kepada pihak lain yang mengakibatkan timbulnya kerugian terhadap obyek pertanggungan dari tertanggung sesaat setelah penanggung membayar ganti rugi tersebut kepada tertanggung sesuai jaminan polis.32 Tapi satu hal yang perlu digarisbawahi, subrogasi ini hanya berlaku untuk contract of indemnity.

Pemahaman tersebut senada dengan ketentuan dalam Pasal 284 KUHD yang mengatur subrogasi sebagai berikut:

“ seorang penanggung yang telah membayar kerugian suatu barang yang

diasuransikan, menggantikan kerugian dalam segala hak yang dipeolehnya terhadap orang-orang ketiga berhubung dengan penerbitan kerugian tersebut dan

30

Kun Wahyu Wardana, Op.Cit, hal. 40.

31

(19)

tertanggung itu adalah bertanggung jawab untuk setiap perbuatan yang dapat merugikan hak penanggung terhadap orang-orang ketiga itu”

Namun penerapan pasla ini sepatutnya tidak mutlak dan kaku. Agar tertanggung tidak dirugikan. Sebab jika kerugian yang diderita tertanggung seluruhnya sudah dikompensasikan oleh penanggung, meamang tidak menjadi masalah. Akan tetapi, bagaimana jka kerugian yang diderita oleh tertanggung hanya diganti sebagian oleh penaggung. Apakah hak tertanggung untuk meminta recovery atas selisih kurang tersebut kepada pihak yang menimbulkan kerugian, kemudian ikut tercabut juga dan kemudian menjadi keuntungan bagi penanggung karena bisa mendapatkan recovery melebihi dari nilai ganti rugi yang diberikan kepada tertanggung. Tentu penafsiran ini tidak sejalan dengan prinsip asuransi di satu sisi dan merugikan kepentingan tertanggung di sisi lain.

Oleh karena itu Diplock L J menandaskan dalam kasus Glen Line V. Attorney General (1930) bahwa “….the simple principle which I apply is that the

insurer cannot recover under rhe doctrine of subrogation…. Anything more than

he had paid”. Maknanya penerapan subrogasi pun tidak rigid. Apabila penggantian kerugian hanya sebagian saja diberikan oleh penaggung, maka tertanggung mensubrogasi haknya hanya untuk sejumlah kerugian yang telah di recovery dari penanggung. Hak-hak selebihnya dari tertanggung terhadap pihak ketiga yang menyebabkan terjadinya kerugian, masih tetap dipegang tertanggung.33

33

(20)

Sejatinya prinsip subrogasi ini timbul karena dalam hukum berlaku Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang mengharuskan pihak yang menyebabkan kerugian tersebut bertanggung jawab dengan mengganti kerugian tersebut kepada pihak yang dirugikan. Atau dalam bahasa lain, pihak yang dirugikan dapat menuntut ganti rugi kepada pihak yang menyebabkan kerugian.

Dengan demikian, apabila tertanggung mengalami kerugian akibat kelalaian atau kesalahan pihak ketiga, maka penanggung setelah memberikan ganti kerugian kepada tertanggung, maka penanggung menggantikan kedudukan tertanggung dalam mengajukan tuntutan kepada pihak ketiga tersebut.34

5. Causaliteit Principle

Causaliteit Principle/Proximate Principle merupakan salah satu prinsip penting dalam penyelesaian santunan. Dengan menggunakan prinsip ini, maka suatu peristiwa dapat ditentukan penyebabnya. Penggantian kerugian oleh Perusahaan Asuransi hanya akan dibayarkan apabila peristiwa yang dominan menimbulkan kerugian itu termasuk dalam jaminan Polis Asuransi yang bersangkutan.35

Adapun pengertian Proximate Cause sebagaimana dikutip dari pandangan hakim dalam kasus Pawsey V. Scotttish Union and National (1908) adalah “the

active, efficient cause that sets in motion a train of events which brings about a

result, without intervention of any forcestarted and working activelyfrom a new

and independent source”. Secara bebas diterjemahkan bahwa Proximate Cause

merupakan sebab utama yang aktif dan efisien yang menyebabkan timbulnya

34

(21)

suatu kerugian dalam suatu rangkaian peristiwa yang terjadi secara berkesinambungan dan tidak terputus-putus oleh suatu peristiwa lainnya yang berasal dari luar, atau tidak terputus oleh suatu sebab yang baru.36

Untuk memudahkan memahaminya, cara kerja proximate cause ini sama dengan ‘efek domino’ dalam permainan kartu domino yang ditegakkan dan

disusun memanjang seperti ular. Apabila kartu domino yang tertimpa kartu domino sebelumnya akan terjatuh dan menimpa kartu berikutnya. Demikian seterusna hingga seluruh kartu domino itu terjatuh sampai kartu domino terakhir.

Sepanjang tidak ada intervensi untuk menghentikan efek domino tersebut, dengan menahan atau mengambil kartu domino dari tengah, maka proximate cause dari terjatuhnya kartu domino terakhir adalah kartu domino yang paling awal dijatuhkan.

Namun dalam praktek, terkadang tidak semudah itu menentukan proximate cause dari suatu peristiwa. Sebagai ilustrasi, kasus yang sering kali dijadikan rujukan dalam berbagai literatur asuransi adalah kasus Leyland Shipping Co. V. Norwiich Union Fire Insurance Society Ltd (1918).

Ketika itu sedang berkecamuk perang. Kapal milik Leyland Shipping Co mengalami kerusakan parah dibagian tubuh lambung dsebabkan hantaman torpedo musuh. Akibatnya kapal tersebut terancam tenggelam. Nahkoda kapal yang meyadari bahaya tersebut, berupaya mengarahkan kapal ke pelabuhan terdeka untuk diperbaiki. Usahanya berhasi, tapi baru saja pekerjaan perbaikan dimulai, badai mulai berhembus dengan kuat dan mulai menerjang pelabuhan.

36

(22)

Syah Bandar menyadari kemungkinan kapal tersebut akan karam di pelabuhan semakin pasti. Karena badai terus menghantam pelabuhan yang menyebabkan air laut masuk ke dalam kapal melalui lubang yang menganga di lambung kapal yang belum sempat diperbaiki. Dikhawatirkan jika kapal tersebut karam di pelabuhan, maka akan menghalangi kapal-kapal lain untuk bersandar. Untuk menghindarkan hal tersebut, Syah Bandar kemudian memaksa kapal tersebut ke luar dari pelabuhan.

Namun tak lama berselang setelah kapal berlayar menjauhi pelabuhan, akhirnya karam dihantam badai. Dalam kasus peril manakah yang menjadi proximate cause yang menyebabkan kerusakan pada lambung kapal atau karena badai yang menyebabkan air laut masuk ke dalam kapal hingga tenggelam.

Sepintas mungkin akan menyimpulkan bahwa badailah yang menjadi penyebab tenggelamnya kapal tersebut. Jadi badai adalah hakim House of Lord, UK dalam putusannya berpendapat bahwa: “what does proximate here mean? To

treat proximate cause as if it was the cause which is proximate in time is, as I

have said, out of the question. The cause which is truly proximate is that which is

proximate in efficiency. That efficiency may have been preserved although other

causes may meantime have sprung up which have yet not destroyed remains the

(23)

Bisa saja efisiensi suatu sebab tetap eksis meski sebab lain timbul dalam rangkaian peristiwa tersebut.37

Dalam kasus tersebut menjadi penting untuk menentukan proximate cause-nya apakah karena perang atau badai. Karena polis asuransi kapal tersebut

mengecualikan peril yang disebabkan perang.

Memang benar bahwa pada saat air laut masuk melalui lubang dilambung kapal yang menyebabkan kapal tenggelam. Tapi harus diingat bahwa kerusakan yang ditimbulkan torpedo sama sekali belum sirna. Efektifitas peril masih terus berlangsung hingga tenggelamnya kapal. Bahkan masuknya air laut adalah melalui kerusakan kapal yang disebabkan torpedo. Dengan demikian klaim Leyland Shipping ditolak. Karena peril perang yang dikecualikan dalam polis.

6. Contribution Principle

Apabila dalam suatu polis ditandatangani oleh beberapa peanggung, maka masing-masing penanggung itu menurut imbangan dari jumlah untuk mana mereka menandatangani polis, memikul hanya harga yang sebenarnya dari kerugian itu yang diderita oleh tertanggung.

Prinsip kontribusi ini terjadi apabla ada asuransi berganda (double insurance) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 278 KUHD, yang menyatakan

sebagai berikut:

“Apabila dalam satu-satunya polis, meskipun pada hari-hari yang berlainan, oleh

berbagai penanggung yang melebihi harga, maka mereka itu bersama-sama, menurut keseimbangan daripada jumlah-jumlah untuk mana mereka telah

37

(24)

menandatangani polis tadi, memikul hanya harga sebenarnya yang dipertanggungkan”.38

Tertanggung dapat saja mengasuransikan harta benda yang sama pada beberapa perusahaan asuransi. Namun bila terjadi kerugian atas objek yang diasuransikan, maka secara otomatis berlaku konsep kontribusi. Prinsip kontribusi berarti bahwa, apabila penanggung telah membayar penuh ganti rugi yang menjadi hak tertanggung, maka penanggung berhak menuntut perusahaan-perusahaan lain yang terlibat suatu pertanggungan (secara bersama-sama menutup asuransi harta benda milik tertanggung) untuk membayar bagian kerugian masing-masing yang besarnya sebanding dengan jumlah pertanggungan yang ditutupnya.

Prinsip kontribusi atau saling menanggung ini pada hakikatnya bukan hanya berlaku dalam hal asuransi, melainkan juga berlaku dalam hal reasuransi. Hubungan mendasar antara penanggung pertama dan penanggung ulang prinsip ganti kerugian yang juga menganut ketentuan tolak ukur ganti kerugian dan ketentuan lainnya yang telah dijelaskan, kontribusi juga dipakai sebagai dasar menentukan pembagian risiko dan/atau sesi kepada para pihak yang bersangkutan termasuk pembagian beban klaim yang harus ditanggng bersama seusai dengan saham atau penyertaannya dalam hal asuransi, ko-asuransi dan reasuransi.

Dalam hal asuransi dibawah harga kontribusi dilaksanakan antara penanggung dan tertanggung. Sebab, dalam hal ini tertanggung dianggap ikut serta menanggung sebagian risiko atas kepentingan yang dipertanggungkan,

(25)

sedangkan dalam hal reasuransi, kontribusi dilaksanakan antara penanggung pertama dan pihak penanggung ulang.

7. Cause Principle

Prinsip penyebab utama yang aktif dan efisien menimbulkan suatu kerugian dalam suatu kejadian.Apabila kepentingan yang diasuransikan mengalami musibah atau kecelakaan, maka pertama-tama kami akan mencari sebab-sebab yang aktif dan efisien yang menggerakkan suatu rangkaian peristiwa tanpa terputus sehingga pada akhirnya terjadilah musibah atau kecelakaan tersebut.

Suatu prinsip yang digunakan untuk mencari penyebab kerugian yang aktif dan efisien adalah: “Unbroken Chain of Events” yaitu suatu rangkaian mata rantai peristiwa yang tidak terputus.39

Perjanjian asuransi atau pertanggungan merupakan salah satu perjanjian khusus yang diatur dalam KUHD.40 Sebagai suatu perjanjian, maka ketentuan syarat-syarat sah suatu perjanjian dalam KUHPrdt berlaku juga bagi perjanjian asuransi. Karena perjanjian asuransi merupakan perjanjian khusus, maka disamping ketentuan sayarat-syarat sah suatu perjanjian, berlaku juga syrat – syarat khusus yang diatu dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang. Supaya sahnya suatu perjanjian asuransi atau pertanggungan haruslah memenuhi semua syarat-syarat yang disebut untuk sesuatu perjanjian. Dalam Pasal 1320 Kitab

39

http://tripakarta.co.id/new/profil/sejarah-dan-pengertian-dasar-asuransi/, diakses pada tanggal 3 Januari 2015.

40

(26)

Undang-Undang Hukum Perdata untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat:

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan 3. Suatu hal tertentu

4. Suatu sebab yang halal.41

Syarat-syarat yang dikemukakan diatas juga merupakan syarat sah untuk mengadakan Asuransi Tanggung Jawab. Berikut dibawah ini akan diuraikan satu persatu syarat-syarat tersebut ditambah dua syarat-syarat sah pertanggungan lainnya.

1. Sepakat Mereka yang Mengikatkan Dirinya (Persetujuan Kehendak)

Antara pihak-pihak yang mengadakan pertanggungan harus ada persetujuan kehendak (consensus, toestemming, meeting of minds). Artinya kedua belah pihak menyetujui tentang benda yang menjadi objek perjanjian dan tentang syarat-syarat tertentu yang berlaku bagi perjanjian tersebut.

Apa yang disetujui oleh pihak penanggung, disetujui juga oleh pihak tertanggung. maka menurut Pasal 1321 KUH Perdata maka adanya paksaan, kekeliruan dan penipuan dari persesuaian kehendak menyebabkan persesuaian kehendak itu tidak berlaku. Dengan demikian tercapai suatu pengertian yang sama antara kedua belah pihak tentang syarat-syarat yang berlaku bagi perjanjian itu.

(27)

2. Kecakapan untuk Membuat Suatu Perikatan

Kedua belah pihak yang mengadakan pertanggungan harus cakap melakukan perbuatan hukum (bekwaam, authorized). Artunya kedua belah pihak itu sudah dewasa, tidak dibawah pengampuan (curatele), tidak dalam keadaan sakit ingatan, tidak dalam keadaan Pailit. Demikian juga apabila pihak-pihak itu mewakili pihak lain mengadakan pertanggungan perlu menyebutkan untuk kepentingan itu.

Kedua belah pihak dapat berupa manusia pribadi dan dapat juga berupa badan hukum, biasanya berbentuk suatu badan usaha. Pihak penanggung selalu dalam bentuk badan usaha yang pekerjaannya bergerak dalam bidang pertanggungan.

3. Suatu Hal Tertentu

Dalam setiap pertanggungan harus ada benda yang dipertanggungkan (voorwerp der verzekering, object of insurance). Karena yang mempertanggungkan benda itu adalah tertanggung, maka tertanggung harus mempunyai hubungan langsung atau tidak langsung dengan benda yang dipertanggungkan itu. Dikatakan ada hubungan langsung, apabila tertanggung memiliki benda tersebut. Dikatakan ada hubungan yang tidak langsung, apabila tertanggung mempunyai kepentingan atas benda tersebut.

(28)

pertanggungan batal (nietig, null and coid). Undang-undang tidak akan mentolerir orang yang tidak mempunyai kepentingan dalam pertanggungan.

Walaupun orang yang mengadakan pertanggungan itu tidak mempunyai kepentingan atas benda yang dipertanggungkan, ia harus menyebutkan untuk kepentingan siapa pertanggungan itu diadakan. Dianggap tidak mempunyai kepentingan, orang yang mempertanggungkan benda yang dilarang oleh undang-undang. Jika diadakan pertanggungan juga, pertanggungan itu batal (Pasal 599 KUHD).

4. Suatu Sebab yang Halal

Yang dimaksud dengan sebab (causa) yang halal (diperbolehkan) disini adalah bahwa isi dari perjanjian pertanggungan itu tidak dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum, dan tidak bertentangan dengan kesusilaan. Misalnya isi pertanggungan itu ialah mempertanggungkan benda yang dilarang undang-undang, disini tidak ada causa yang halal.

5. Pembayaran premi (premie betaling, premium payment)

Asuransi ialah suatu kemauan untuk menetapkan kerugian-kerugian kecil (sedikit) yang sudah pasti sebagai pengganti (substitusi) kerugian-kerugian besar yang beum pasti.42

Untuk mengadakan suatu perjanjian asuransi ada kewajiban-kewjiban yang harus dipenuhi oleh tertanggung salah satunya pembayaran premi. Premi ini biasanya ditentukan dalam suatu presentase dari jumlah yang diasuransikan, di dalam presentase mana tercermin penilaian risiko dari penanggung. Penilaian atau

42

(29)

penghargaan dari penanggung mengenai risiko dapat berbeda-beda pada beberapa penanggung, akan tetapi tetap selalu dikuasai oleh hukum penawaran dan permintaan.

Asuransi itu adalah perjanjian timbal balik, maka kedua belah pihak harus berprestasi. Penanggung menerima peralihan risiko atas benda yang dipertanggungkan, sedangkan tertanggung harus membayar sejumlah premi sebagai imbalannya. Besar atau kecil jumlah premi bukan soal penting. Hal terpenting adalah kedua belah pihak telah mencapai suatu persetujuan. Jika premi dibayar, risiko beralih. Jika premi tidak dibayar, risiko tidak beralih.

6. Kewajiban Pemberitahuan

Kewajiban pemberitahuan (notificatie, notification) ini ada pada tertanggung. Tertanggung wajib memberitahukan kepada penanggung tentang keadaan benda yang dipertanggungkan. Kewajiban ini dilakukan pada saat mengadakan persetujuan. Jika tertanggung lalai, mengakibatkan pertanggungan itu batal.

Kewajiban pemberitahuan Pasal 251 KUHD ini tidak digantungkan kepada apakah karena ada iktikad baik atau tidak dari tertanggung. Apabila tertanggung keliru memberitahukan, tanpa disengaja, juga mengakibatkan batalnya pertanggungan, kecuali apabila pihak-pihak telah memperjanjikan lain. Biasanya perjanjian semacam itu dinyatakan dengan tegas di dalam polis dengan klausula “sudah diketahui”.

(30)

adanya paksaan, kekeliruan, dan penipuan dari persesuaian kehendak menyebabkan persesuaian kehendak itu tidak berlaku.

Pembentukan Undang-Undang menganggap bahwa peraturan ini masih kurang cukup untuk member perlindungan bagi penanggung sehingga diatur lagi dalam Pasal 251 KUHD yaitu tentang keharusan adanya pemberitahuan dari semua keadaan-keadaan yang diketahui oleh si tertanggung mengenai benda yang dipertanggungkan. Dan mengenai syarat nomor 4 itu dipandang hanya ada, apabila di dalam pertanggungan itu ada kepentingan yang dipertanggungkan.

Perjanjian pertanggungan itu adalah bebas dalam bentuknya. Untuk terjadinya perjanjian itu tidak diahruskan adanya syarat-syarat yang lebih dari apa yang tlah ditetapkan di dalam Pasal 1320 BW. Menurut Pasal 257 KUHD perjanjian pertanggungan itu ada, segera setelah tercapai persesuaian kehendak antara kedua belah pihak.

Untuk berlaku sah perjanjian asuransi atau pertanggungan, tidak tergantung pada adanya suatu syarat formalitas atau akta. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sifat perjanjian pertanggungan itu adalah konsensuil. Akan tetapi adalah bijaksana apabila dibuat suatu akta. Sebab perjanjian sedemikian itu adalah mengenai nilai keuangan yang jumlahnya sangat besar dari tentang pemberitahuan dari semua keadaan-keadaan yang diketahui oleh si tertanggung mengenai benda yang dipertanggungkan adalah sangat diperlukan.

(31)

Undang-Undang dengan mengatakan bahwa pembuktian tentang adanaya suatu pertanggungan tidak dapat dibuktikan terhadapnya selain dengan suatu pembuktian tidak terulis.

Ketentuan yang disebut dalam Pasal 255 KUHD yang berbunyi: pertanggungan harus diadakan secara tertulis dengan sepucuk akta yang bernama polis, adalah seolah-olah menggambarkan, bahwa Perjanjian Pertanggungan itu baru berlaku sah kalau terjadinya adalah dengan suatu polis. Sehingga dapat dikatakan bahwa polis itu merupakan suatu syarat untuk adanya perjanjian itu (bestaanvoorwaarde).

Akan tetapi kalau membaca apa yang ditentukan dalam Pasal 257 ayat 1 KUHD, maka gambaran dari Pasal 255 itu tadi akan menjadi hilang. Sebab Pasal 257 ayat 1 itu menetapkan bahwa Perjanjian Pertanggungan itu telah ada, segera setelah diadakan hak-hak dan kewajiban timbale balik dari penanggung dan tertanggung mulai sejak saat itu, bahkan sebelum polis ditanda tangani.

Dari Pasal 257 ayat 1 ini bahwa polis itu bukan merupakan syarat untuk adanya perjanjian pertanggungan, akan tetapi merupakan hanya suatu alat pembuktian saja. Lebih lanjut dapat didasarkan atas ketentuan di dalam Pasal 258 ayat 1 KUHD yang menetapkan : Bahwa untuk membuktikan diadakannya perjanjian itu diharuskan pembuktian dengan surat, akan tetapi semua upaya pembuktian akan diperkenankan, bilamana ada permulaan pembuktian dengan surat.

(32)

Pasal 255 ayat 1 KUHD, sedangkan upaya-upaya pembuktian lain, yaitu yang disebutkan didalam Pasal 1866 BW, dapat diperkenankan bila telah ada permulaan pembuktian dengan surat.

Suatu pandangan yang jauh, masih diberikan oleh undang-undang yaitu pengaturan mengenai tenggang yang harus diindahkan antara diikatnya perjanjian pertanggungan itu dengan penyerahan dari polis. Dalam jarak waktu antara keduanya itu, mengenai janji-janji (bedingen) khusus dan syarat-syarat yang dibuat berhubungan dengan pertanggungan, itu dapat dibuktikan dengan semua upaya pembuktian, lihat Pasal 258 ayat2 KUHD.

Hanya ada suatu pengecualian, yaitu mengenai janji pada beberapa pertanggungan yang harus tegas-tegas disebutkan didalam polis (seperti yang disebut dalam Pasal 272 ayat 2, 263 ayat 2 dan 606 KUHD) harus dibuktikan deidalam jarak waktu itu dengan suatu tulisan jika terjadi suatu perselisihan mengenai hal itu.

Pasal 255 KUHD ayat (1) mengatakan bahwa perjanjian pertanggungan harus diadakan dengan membuat suatu akta, yang disebut polis. Polis merupakan suatu bukti yang sempurna (vollegigbewijs) tentang apa yang mereka perjanjikan di dalam perjanjian pertanggungan itu, dan tanpa polis, pembuktian akan menjadi sulit dan terbatas.

(33)

membuat polis adalah pihak tertanggung. Tetapi pada prakteknya perusahaan-perusahaan besar asuransi memakai polis mereka sendiri-sendiri dan mengisinya menurut kepentingan keadaannya atau memakai standard kontrak polis atau polis bursa seperti polis bursa Amsterdam dan polis bursa Rotterdam yang sangat terkenal. Di dalam polis bursa tersebut banyak sekali syarat-syarat/kausula-klausula yang ditentukan oleh para penanggung.

Menurut ketentuan Pasal 264 KUHD pertanggungan tidak hanya dapat diadakan untuk kepentingan sendiri, tetapi juga untuk kepentingan pihak ketiga (verzekering voor rekening van een derde, insurance for the liability of the third party), baik berdasarkan atas kausa umum atau khusus, maupun diluar

pengetahuan pihak ketiga itu. Apabila pertanggungan itu diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, maka hal itu harus disebutkan secara tegas dinyatakan didalam polis. Jika tidak demikian, maka tertanggung dianggap telah mengadakan pertanggungan untuk dirinya sendiri (Pasal 267 KUHD).

Maksud dari pengertian ini ialah jika terjadi peristiwa yang menimbulkan kerugian, pihak ketiga itu tidak berhak menuntut ganti kerugian karena ia bukan pihak, sedangkan pihak tertanggung itu sendiri tidak mempunyai kepentingan. Dengan demikian, meskipun pertanggungan telah dibuat, tetapi tidak mempunyai kekuataan apa-apa bagi tertanggung, sedangkan penanggung tidak mempunyai kewajiban membayar ganti kerugian (Pasal 250 KUHD).

(34)

lain (misalnya A) yang mungkin berkepentingan (or for whom it may concern). Dengan adanya klausula ini didalam polis, sudah dianggap cukup untuk menyatakan bahwa pertanggungan itu diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, atau orang yang kemudian akan menjadi pemilik atau mempunyai kepentingan atas benda pertanggungan.

Pertanggungan untuk kepentingan pihak ketiga dapat dilakukan dengan jalan:

1. pemberian kuasa umum (general authorization) 2. pemberian kuasa khusus (special authorization) 3. tanpa kuasa (without authorization).

cara tersebut dapat diketahui dari ketentuan Pasal 265 KUHD. Menurut ketentuan pasal ini, pertanggungan untuk kepentingan pihak ketiga dilakukan dengan pemberian kuasa atau tanpa diketahui oleh yang bersangkutan, yang demikian itu harus disebutkan dengan tegas didalam polis.

Dalam hal adanya pemberian kuasa, apabila orang yang berkepentingan sendiri telah lebih dulu mempertanggungkan kepentingan atas benda itu ditempat lain, yang terjadi lebih dulu itulah yang berlaku. Sedangkan pertanggungan yang terjadi kemudian itu dibebaskan; jika pertanggungan yang terjadi lebih dulu itu tidak dengan jumlah penuh pertanggungan yang terjadi kemudian itu berlaku untuk jumlah selebihnya (Pasal 277 KUHD)

(35)

pertanggungan untuk kepentingan pihak ketiga, berkedudukan sebagai pihak dalam pertanggungan (contract party), jadi dia bertindak atas nama sendiri. Jika terjadi peristiwa yang menimbulkan kerugian, dialah yang berhak mengajukan tuntutan pembayaran ganti kerugian kepada penanggung, bukan pihak yang berkepentingan.

Penanggung berdasarkan perikatannya yang timbul dari pertanggungan itu adalah wajib untuk menanda tangani polis yang ditawarkan kepadanya dalam waktu tertentu dan menyerahkannya kembali kepada tertanggung. Mengenai waktunya adalah ditentukan oleh undang-undang sendiri.

Apabila pertanggungan itu langsung diikat antara penanggung sendiri dengan tertanggung atau oleh orang yang diberi wewenang untuk itu, maka polis ditanda tangani dan diserahkan kembali oleh penanggung di dalam waktu 24 jam setelah penawaran (Pasal 259 KUHD).

Tetapi apabila perjajian pertanggungan itu diikat dengan perantaraan seorang makelar di dalam pertanggungan, maka waktu dimana polis harus ditanda tangani dan diserahkan kembali, ialah di dalam waktu 8 hari setelah perjanjian pertanggungan ini diikat (Pasal 260 KUHD). Apabila ada kealpaan mengenai ketentuan-ketentuan waktu, baik mengenai yang pertama atau kedua, maka menurut Pasal 261 KUHD penanggung atau makelar diwajibkan membayar ganti kerugian yang mungkin ditimbulkan kealpaan itu.

(36)

Referensi

Dokumen terkait

Perjanjian Asuransi diatur dalam Pasal 246 Kitab Undang – Undang Hukum Dagang ( KUHD ) adalah Suatu perjanjian dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada

Pengertian asuransi atau pertanggungan menurut Pasal 246 Kitab Undang Undang Hukum Dagang (KUHD) Buku I Bab .IX adalah suatu persetujuan dimana penanggung dengan menikmati suatu

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) pasal 246 dijelaskan bahwa yang dimaksud asuransi atau pertanggungan merupakan suatu perjanjian antara pihak penaggung

Pasal pertama dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) yang mengatur perjanjian asuransi dimulai dalam Pasal 246 yaitu dengan memberikan batasan perjanjian asuransi

Pasal 246 Kitab Undang-undang Hukum Dagang( KUHD) di sebutkan “ Asuransi adalah suatu perjanjian dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seseorang

Bab IV merupakan bab yang membahas mengenai perlindungan pihak tertanggung dalam asuransi terhadap tuntutan ganti kerugian dari pihak ketiga (studi: PT Asuransi

Di dalam skripsi ini, permasalahan yang dibahas adalah hal-hal yang menyebabkan tertanggung dituntut ganti kerugian oleh pihak ketiga, perlindungan pihak

27 Sedangkan pengertian otentik asuransi sendiri terdapat dalam Pasal 246 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, yaitu:28 “ Asuransi atau pertanggungan adalah suatu persetujuan, di mana