• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERANAN KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN NEGARA 1. Oleh : Irwan Yulianto *

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PERANAN KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN NEGARA 1. Oleh : Irwan Yulianto *"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

PERANAN KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN NEGARA1

Oleh : Irwan Yulianto*

Abstrak

Penulisan ini merupakan ringkasan Disertasi A. Hamid S. Attamimi dengan judul Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden Yang Berfungsi Pengaturan Dalam Ukuran Waktu Pelita I-Pelita IV.

Dari penulisan ini, pembaca akan dibawa ke pemahaman apa bagaimana peran sesungguhnya keputusan presiden dalam ketatanegaraan di Indonesia.

Pendahuluan

Ketika Negara Republik Indonesia dibentuk pada tanggal 17 Agustus 1945 melalui Proklamasi Kemerdekaan RI, maka pada waktu itu telah ada kesepakatan tentang Cita Negara Indonesia yang menjadi dasar teori bernegara bagi bangsa Indonesia. cita negara itu adalah cita negara kekeluargaan atau cita negara persatuan, digali dari bumi Indonesia sendiri, yang lama tertanam dalam cita kehidupan paguyuban masyarakat desa yang terdapat di seluruh wilayah Indonesia, dengan berbagai nama dan berbagai bentuk.

Dalam Pembukaan UUD 1945 ditegaskan, Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia yang mencerminkan Ke-daulatan Bangsa Indonesia telah disusun dalam Undang-undang Dasar Negara Indonesia, dalam Hukum Dasar Negara Indonesia. Dalam UUD 1945 beserta penjelasannya ditegaskan, bahwa pokok-pokok pikiran yang terkandung di dalam Pembukaan UUD 1945 yang tidak lain melainkan Pancasila itu mewujudkan Cita Hukum Bangsa Indonesia dan mewujudkan norma fundamental Negara RI sekaligus.

1Bab ini disarikan dari disertasi A. Hamid S. Attamimi, 1990, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden Yang Berfungsi Pengaturan Dalam Ukuran Waktu Pelita I-Pelita IV, Jakarta : Universitas Indonesia.

* Irwan Yulianto, Dosen Tetap dan Lektor pada Fakultas Hukum Universitas Abdurachman Saleh Situbondo

(2)

1179

Dengan demikian seluruh kehidupan Rakyat Indonesia dalam bermasyarakat, berbagsa dan bernegara dikuasai oleh Cita Hukum Bangsa Indonesia dan Norma Fundamental Negara RI, oleh Pancasila.2

Dalam perjalanan sejarah kebangsaan itulah banyak sekali peristiwa penting yang menentukan perjalan hidup Rakyat, bangsa dan Negara RI yang ditetapkan dalam bentuk Keputusan (yang diambil oleh) Presiden. Hal-hal yang menentukan dalam perjalanan kehidupan kenegaraan Indonesia dituangkan antara lain dalam kebijaksanaan pengaturan yang menggunakan bentuk Keputusan Presiden atau yang semacam dengan itu namun dengan nama lain.

Hal itu bukan hanya terjadi dalam kurun pertama masa berlakunya UUD 1945 (1945-1949), melainkan juga dalam bagian pertama dari kurun waktu kedua berlakunya (atau berlakunya kembali) UUD 1945 (1959-1965) dan dalam bagian kedua kurun waktu tersebut, yakni dari tahun 1966 sampai sekarang.

Sebagai contoh pada 3 Oktober 1945 Presiden RI menetapkan tentang terbentuknya uang yang dianggap sah sebagai alat pembayaran dalam peredaran yang berlaku di Pulau Jawa, sebagaimana tertuang dalam Maklumat Pemerintah Nomor 1/10. Tentu saja ini merupakan sebuah “kejanggalan” karena menurut pasal 23 ayat (2) UUD 1945 ditegaskan bahwa “macam dan harga mata uang ditetapkan dengan undang-undang”.

Contoh lainnya adalah pada tanggal 16 Oktober 1945 Wakil Presiden RI menetapkan Maklumat Nomor X (baca Maklumat No. Eks) yang menutuskan, bahwa sebelum terbentuknya Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Komite Nasional Pusat (KNP) diserahi kekuasan legislatif dan ikut menetapkan garis-garis besar dari pada haluan negara. Maklumat tersebut juga memutuskan bahwa pekerjaan KNP sehari-hari dijalankan oleh sebuah badan pekerja yang dipilih diantara mereka dan bertanggung jawab kepada KNP. Pertimbangannya ialah karena hal itu diusulkan oleh KNP sebagai pelaksanaan pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945. Maklumat ini juga dinilai “aneh” karena pelaksanaan ketentuan UUD haruslah dengan undang-undang (UU). Bukan oleh Maklumat (apalagi Maklumat Wakil Presiden). Hal ini lebih dipertegas lagi dalam Penjelasan UUD1945 bahwa “Aturan yang menyelenggarakan aturan pokok itu diserahkan kepada undang- undang yang lebih mudah caranya membuat, merubah dan mencabut”.

Hal lain yang tak kalah mengejutkan sebagai contoh dari Keputusan Presiden terhadap praktek sejarah ketatanegaraan RI adalah yang terjadi pada tanggal 5 Juli 1959.

Keputusan maha besar dan sangat menentukan itu biasa dikenal dengan Dekrit Presiden 1959 mengenai kembalinya Rakyat dan Bangsa Indonesia kepada UUD 1945. Betapa dahsyatnya Dekrit Presiden ini, karena untuk mengganti UUD yang merupakan domain dari

2 A. Hamid S. Attamimi, 1990, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, Desertasi Untuk memperoleh Gelar Doktor Dalam Ilmu Hukum Pada Universitas Indonesia, Fakultas Pascasarjana, hlm, 367.

(3)

MPR cukup dilakukan dengan pembungkus baju yang bernama Keputusan Presiden RI, yakni Maklumat Presiden.3

Terlepas dari setuju atau tidak setuju terhadap berbagai praktik ketatanegaraan melalui dikeluarkannya Keputusan Presiden atau Maklumat Presiden maupun Wakil Presiden RI di atas, yang pasti beberapa contoh keputusan-keputusan presiden tersebut nampaknya memiliki keleluasaan-keleluasaan yang memberikan jangkauan yang jauh di bidang penyelenggaraan pemerintahan negara. Penggunaannya seolah-olah tidak mengenal batas.

Pertanyaannya : Benarkah Keputusan Presiden terutama yang berfungsi pengaturan tersebut mempunyai keleluasaan tanpa batas ?

A. Hamid S. Attamimi, mengakui bahwa dirinya yang ketika itu banyak terlibat dalam praktik penyiapan, penyusunan dan perancangan peraturan perundang-undangan pada Biro Hukum dan perundang-undangan di Sekretariat Kabinet, Sekretariat Negara RI, mengaku sangat memberi perhatian lebih atas berbagai Keputusan Presiden, khususnya Keputusan Presiden yang berfungsi pengaturan.

Hal tersebut sangat terkait dengan berbagai persoalan-persoalan dalam praktik ketatanegaraan RI terhadap lahirnya Keputusan Presiden yang bersifat mengatur atau berfungsi pengaturan yang kemudian dirumuskan sejumlah permasalahan. Yakni :

1. Apakah benar Sistem Pemerintahan Negara RI sebagaimana digariskan dalam UUD 1945, merupakan cerminan dari Teori Bernegara Bangsa Indonesia yang didasarkan atas Cita Negara Indonesia yang berasal dari kehidupan Desa Indonesia dan di kombinasikan dengan asas-asas Negara modern, sehingga dapat dikatakan bahwa Negara RI adalah sebuah Negara yang mempunyai Cita Negara dan teori bernegara yang asli Indonesia namun memiliki sistem pemerintahan Negara yang modern ? 2. Dalam Sistem Pemerintahan Negara menurut UUD 1945, kekuasaan pengaturan

oleh Presiden RI – yang di dalam Negara kita adalah Kepala, Mandataris MPR dan Penyelenggara Tertinggi Pemerintah Negara itu - merupakan bagian dari kekuasaan penyelenggaraan pemerintahan Negara, meliputi kekuasaan-kekuasaan pengaturan yang oleh Negara lain disebut kekuasaan legislatif, kekuasaan reglementer dan kekuasan eksekutif, yang masing-masing berwujud dalam Undang-undang, Peraturan Pemerintah dan Keptusan Presiden di bidang Pengaturan itu, dan bagaimana materi muatannya ?

3. Dari bentuk-bentuk Pengaturan yang diselenggarakan oleh Presiden RI, Keputusan Presiden yang berfungsi Pengaturan mempunyai peranan yang khusus dalam penyelenggaraan pemerintahan Negara, karena dapat merupakan perwujudan penyelenggaran pemerintahan yang terikat dan yang tidak terikat, yaitu masing- masing dalam bentuk Keputusan Presiden yang delegasian dari Peraturan Pemerintah dan Keputusan Presiden yang mandiri. Bagaimanakah materi muatan

3 Ibid. hlm 2-5

(4)

1181

Keputusan Presiden RI yang mandiri tersebut sehingga dapat memenuhi peranan idealnya dalam penyelenggaraan pemerintahan negara?

4. Apabila Keputusan Presiden RI yang berfungsi Pengaturan Mandiri mempunyai keleluasaan dalam pembentukannya, apakah ada asas-asas dan norma-norma yang membimbing dan membatasi keleluasaan itu sehingga Keputusan Presiden dimaksud dapat berfungsi secara ideal dan konsisten sebagaimana diharapkan?

Bagaimanakah asas-asas dan norma-norma tersebut?4

Cita Negara

Mengawali pembahasan sejumlah permasalahan yang diangkat dalam disertasinya, Attamimi mengurai tentang apa yang dimaksud dengan Cita Negara. Dirinya sangat sependapat dengan apa yang dikemukakan oleh Oppenheim, dalam pengukuhannya sebagai guru besar Universitas Leiden pada 18 Oktober 1893, yang menjelaskan Cita Negara sebagai hakikat yang paling dalam dari Negara, sebagai kekuatan yang membentuk Negara- negara.

Pendapat Oppenheim tersebut kemudian disimpulkan bahwa cita Negara adalah hakekat negara yang paling dalam yang dapat member bentuk dalam Negara, atau hakekat Negara yang menetapkan bentuk Negara.

Terkait Cita Negara Bangsa Indonesia, Attamimi mengemukakan jalan pikiran Bierens de Haan, bahwa cita Negara bangsa Indonesia berasal dari cita masyarakat bangsa Indonesia.

Attamimi juga mempertanyakan lebih jauh tentang bagaimana cita masyarakat bangsa atau cita paguyuban bangsa Indonesia itu ? Apakah cita itu ada atau tidak ? Untuk mengurai hal tersebut Attamimi banyak mengetengahkan berbagai pemikiran Soepomo dalam berbagai kesempatan dalam sidang BPUPKI. Termasuk kritik pidato Soepomo yang dikritisi oleh Marsilam Simanjuntak dengan tulisannya “Negara Integralistik”.5

Kekuasaan Pengaturan Presiden

Mengenai kekuasaan pengaturan Presiden RI, Batang Tubuh UUD 1945 hanya menyinggung dalam beberapa pasal, baik secara langsung yaitu pasal 5 ayat (1), pasal 22 ayat (1) dan pasal 5 ayat (2), maupun tidak langsung yakni pasal 4 ayat (1).

Dalam pasal 5 ayat (1) disebutkan :

4 Ibid. hlm 17

5 R. Soepomo, Hidoep Hoekoem Bangsa Indonesia (Mataram – Yogyakarta : Majelis Peroesahaan Kitab Taman Siswa, 1937), hlm. 9.

(5)

“Presiden memegang kekuasaan membentuk Undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”.

Pasal 22 ayat (1) :

”Dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang”.

Pasal 5 ayat (1) :

“Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya”.

Pasal 4 ayat (1) :

“Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan menurut Undang-undang Dasar”.

Mengenai ketentuan-ketentuan tersebut Penjelasan UUD 1945 mengemukakan hal- hal sebagai berikut, antara lain :

Tentang Pasal 5 ayat (1) :

“Kecuali eksekutif power, Presiden bersasama-sama Dewan Perwakilan Rakyat menjalankan legislatif power dalam negara.

Tentang Pasal 22 ayat (1) juga dijelaskan sebagai berikut :

“Pasal ini mengenai Noodverordeningsrecht Presiden. Aturan sebagai ini memang perlu diaadakan agar supaya keselamatan Negara dapat dijamin oleh pemerintah dalam keadaan yang genting, yang memaksa pemerintah untuk bertindak lekas dan tepat. Meskipun demikian, pemerintah tidak akan terlepas dari pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat. Oleh karena itu, peraturan pemerintah dalam pasal ini, yang kekuatannya sama dengan undang-undang harus disahkan pula oleh DPR”.

Tentang pasal 4 dan Pasal 5 ayat (2) dijelaskan :

“Presiden adalah kepala kekuasaan eksekutif dalam Negara. Untuk menjalankan undang-undang, ia mempunyai kekuasaan untuk menetapkan peraturan pemerintah (pouvoir reglementaire)”.

Dari ketentuan-ketentuan Batang Tubuh UUD 1945 dan Penjelasannya dapat diketahui, bahwa di bidang Pengaturan, Presiden RI mempunyai kekuasaan yang sangat

(6)

1183

beragam. Ia memiliki kekuasaan legeslatif, yaitu membentuk undang-undang yang dilakukan dengan persetujuan DPR, mempunyai Kekuasaan Reglementer yaitu membentuk Peraturan Pemerintah untuk menjalankan Undang-undang atau untuk menjalankan Peraturan Pemerintah Pengganti undang-undang, dan mempunyai kekuasaan eksekutif yang di dalamnya mengandung kekuasaan pengaturan, yaitu Pengaturan dengan Keputusan Presiden.6

Sebagaimana dikemukakan para penyusunnya, UUD 1945 mempunyai sistem sendiri dan tidak menganut Trias Politika seperti yang diajarkan Montesquieu yang memisahkan kekuasaan dalam Negara menjadi kekuasaan legeslatif, eksekutif dan kekuasaan yudikatif yang dilaksanakan oleh organ-organ Negara secara terpisah.

Terkait persoalan ini Ketua Panitia Kecil Perancang UUD, Soepomo, mengatakan : “Menurut pendapat saya, Tuan Ketua, dalam rancangan Undang-undang Dasar ini kita memang tidak memakai sistem yang membedakan principeel 3 b dan itu….Kita memakai sistem sendiri seperti dikatakan oleh Sukimin…”7

Jika demikian mengapa dalam Penjelasn UUD 1945 tercantum istilah legislatif power, eksekutif power, pouvoir reglementaire dan sebagainya ? secara prinsip jawaban atas pertanyaan itu adalah kembali kepada semangat para penyusun UUD 1945 yang dinilai memiliki sistem sendiri bukan atau tidak menganut Trais Politika. Jika kemudian dalam Penjelasan UUD 1945 tercantum beberapa kata yang berasal dari sistem trias politika ataupun sistem lain, kata-kata tersebut haruslah diartikan dan ditafsirkan semata-mata untuk menjelaskan apa yang dimaksud di dalam Batang Tubuh. Yakni untuk memberikan penjelasan bagaimana dalam sistem trias politika atau sistem lain ketentuan dalam Batang Tubuh tersebut dapat diperbandingkan.

Dengan kata lain jika dalam Penjelsan UUD 1945 ditemukan kata dan istilah legislatif power, eksekutif power dan pouvoir reglementarire, maka pemahamannya haruslah dalam sistem yang digunakan oleh Batang Tubuh UUD 1945 sendiri, yang memang disusun berdasar Cita Negara dan Teori Bernegara bangsa Indonesia sendiri.

Kekuasaan legislatif dijalankan oleh Presiden dengan Persetujuan DPR

Terdapat pernyataan cukup menarik dalam desertasi Attamimi yang menyatakan bahwa Kekuasaan pembentukan Undang-undang sebenarnya berada di tangan Presiden, bukan atau tidak di tangan DPR !

Hal tersebut didasarkan pada bunyi Pasal 5 ayat (1) yang menyebutkan :

“Presiden memegang kekuasan membentuk Undang-undang dengan persetujuan dewan Perwakilan Rakyat”.

6 ) A. Hamid S. Attamimi, Ibid, hlm. 144

7 Soepomo dalam H. Muh Yamin, 1959, I, Op.cit. hlm 341

(7)

Jika ketentuan tersebut ditafsirkan secara harfiyah, maka jelas Presidenlah yang memegang kekuasaan membentuk Undang-undang. Sedangkan DPR hanya berfungsi member (atau tidak member) persetujuan terhadap pelaksanaan kekuasaan yang ada pada presiden tersebut.

Penjelasan dari pasal 5 ayat (1) menyebutkan :

“Kecuali eksekutif power, Presiden bersama-sama Dewan Perwakilan Rakyat menjalankan legislatif power dalam Negara”.

Lantas, apa arti dan maksud kata “bersama-sama” itu ? Penjelasan UUD 1945 tidak menjelaskan dan tidak merinci apa yang dimaksudkannya. Selain merujuk pada Tap MPR Nomor VI/MPR/1973 tentang Kedudukan dan Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara Dengan/ Atau Antar Lembaga-lembaga Tinggi Negara, untuk mengupas persoalan di atas, Hamid Attamimi, juga mengutip berbagai pendapat para sarjana antara lain Ismail Suny, Wirjono Prodjodikoro, JCT Simorangkir maupun pendapat M Kusnadi dan Harmaily Ibrahim.8

Berbeda dengan pendapat para ahli terkait penjelasan Pasal 5 ayat (1) UUD 1945, Hamid Attamimi menegaskan bahwa perumusan pasal tersebut sangat penting bagi menetapkan tugas dan wewenang atau kompetensi presiden dan DPR dalam pembentukan Undang-undang.

Dikatakannya, “memegang kekuasaan” dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 haruslah diartikan memegang “kewenangan”. Karena suatu kekuasaan (macht), dalam hal ini kekuasaan membentuk Undang-undang (wetgevende macht), memang mengandung kewenangan membentuk Undang-undang.9

Dengan bersandar pada pendapat Kranenburg, Attamimi, kemudian mengurai bahwa pilihan kita tidak lain kecuali mengartikan kata “kekuasaan” (macht) dalam Pasal 5 ayat (1) UUD 1945, dengan Fungsi. Hal ini disebabkan karena UUD 1945 tidak menganut sistem pemisahan kekuasaan seperti ajaran Montesquieu, dan selanjutnya karena dalam melaksanakan fungsi tersebut UUD 1945 menyebutnya “dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”, yakni tidak dilaksanakan oleh presiden sendiri begitu saja. Dengan kata lain, kekuasaan pembentukan Undang-undang sesungguhnya ada pada tangan Presiden. Dan agar produk undang-undang dapat terbentuk, maka dalam melaksanakan kekuasaanya itu Presiden memerlukan persetujuan DPR.

Apabila kekuasaan pembentukan Undang-undang ada pada presiden, dan DPR memberikan persetujuan (atau tidak memberikan persetujuan) terhadap pelaksanaan kekuasaan pembentukan Undang-undang itu, lantas bagaimanakah penafsiran kita tentang istilah “Bersama-sama” dalam Penjelasan Pasal 5 ayat (1) : “Kecuali eksekutif power, Presiden Bersama-sama DPR menjalankan legelatif power dalam Negara ?”.

8 J.C.T. Simorangkir, Tentang & Sekitar Dewan Perwakilan Rakyat (Jakarta : Erlangga, 1973), hlm.12.

9 A. Hamid S. Attamimi, Ibid, hlm, 151.

(8)

1185

Terhadap hal tersebut Attamimi berpendapat bahwa kata ‘Bersama-sama” berarti

“Berbarengan dengan”, “serentak”. Jika demikian, maka dalam menjalankan legislatif power, yakni dalam pembentukan Undang-undang, Presiden melaksanakan kekuasaan pembentukannya dan DPR melaksanakan (pemberian) persetujuannya dengan berbarengan, serentak, bersama-sama.

Dengan demikian menjadi jelas, kewenangan pembentukan undang-undang tetap pada Presiden, dan kewenangan pemberian persetujuan tetap pada DPR. Agar undang- undang itu dapat terbentuk, kedua kewenangan tersebut dilaksanakan bersama-sama, berbarengan dan serentak.10

Makna Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat

Jika Sistem Pemerintahan Negara RI berdasar UUD 1945 menggariskan, bahwa kekuasaan pembentukan Undang-undang berada di tangan presiden dan dilakukan dengan persetujuan DPR, apakah sebenarnya hakikat “Persetujuan” DPR tersebut ?

Kata “Persetujuan” berarti “pernyataan setuju”; “setuju”; berarti “sepakat” dan

“menyetujui” berarti “membenarkan”, “mengiyakan”. Dengan demikian kata-kata “dengan persetujuan DPR” haruslah diartikan “dengan kesepakatan DPR” atau “dengan Persesuaian DPR. Mengenai bentuk persetujuan tersebut, maka sebagaimana halnya sesuatu persetujuan pada umumnya, segala bentuk dapat digunakan. Dan untuk dapat memahami “persetujuan DPR” dalam pembentukan undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) UUD 1945, begitu juga “persetujuan DPR” dimaksud dalam pasal 11, pasal 20 ayat (1) dan ayat (2), pasal 21 ayat (2), pasal 22 ayat (2) dan ayat (3), serta pasal 23 ayat (1), perlu diikuti pendapat Muh. Yamin dalam naskah Persiapan UUD 1945 Jilid III, Bagian V tentang Tafsiran Undang-undang Dasar RI Pasal Demi Pasal. Ketika membicarakan pasal 11, yang mengatakan tentang persetujuan DPR sebagai berikut :

“Tidak ditetapkan dalam pasal 11 bentuk yuridis lain daripada persetujuan DPR, sehingga persetujuan DPR itu sendiri berupa apapun telah mencukupi syarat formal menurut konstitusi 1945 Pasal 11”11

Pendapat Muh. Yamin mengenai “ bentuk persetujuan” dalam Pasal 11 UUD 1945 itu berlaku juga bagi bentuk persetujuan dimaksud dalam pasal-pasal lainnya dalam UUD 1945.

Dengan demikian dengan mengikuti jalan pikiran Muh. Yamin, persetujuan DPR itu bukan hanya tidak ditetapkan bentuk yuridisnya melainkan juga tidak ditetapkan bentuk ungkapannya. Persetujuan itu dapat dilakukan secara lisan atau bukan lisan, dengan perbuatan atau tanpa perbuatan, dengan demikian maka inti dari pada “persetujuan DPR”

itu ialah kesepakatan atau konsensus dalam bentuk apapun.

Pada bagian lain terhadap persoalan serupa juga dibeberkan telaah Ketetapan MPR Nomor III/MPR/1978. Tap ini menyebutkan dalam Pasal 8 ayat (3) dan ayat (4) sbb:

10 ibid.hlm .153

11 H.Muh.Yamin, 1959, III, op.cit., hlm. 784.

(9)

(3) Presiden besama-sama DPR membentuk UU termasuk menetapkan Undang- undang APBN

(4) Presiden dengan persetujuan menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain.

Jika dibandingkan, maka isi Tap MPR tersebut merupakan uraian lebih lanjut dari ketentuan UUD 1945

Pasal 5 ayat (1) :

“Presiden memegang kekuasaan membentuk Undang-undang dengan persetujuan DPR”.

Dan penjelasannya berbunyi :

“Kecuali eksekutif power, Presiden bersama-sama DPR menjalankan Legeslatif power dalam Negara”12

Jika diperhatikan, rumusan Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 11 UUD 1945 tidak terdapat perbedaan tentang fungsi DPR dalam memberikan atau tidak memberikan persetujuan.

Dalam kedua ketentuan tersebut digunakan rumusan yang sama, “dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”.

Tetapi Tap MPR No III/MPR/1978 menggunakan rumusan untuk yang satu berbeda dari pada yang lain. Untuk ayat (3) TAP tersebut menggunakan kata “bersama-sama” dan untuk ayat (4) menggunakan kata-kata seperti yang terdapat dalam pasal 11 UUD 1945, yakni “dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”

Apakah karena penjelasan Pasal 5 ayat (1) menggunakan kata-kata “bersama-sama”, maka TAP tersebut menggunakannya demikian juga ? Dan karena penjelasan Pasal 11 tidak menyebutkannya lalu TAP tersebut “mengambil alih” saja rumusan Pasal 11 tersebut dengan menggunakan kata “dengan persetujuan DPR”?13

Arti “Anggota anggota DPR berhak memajukan rancangan Undang-undang”

Pasal 21 UUD 1945 menentukan :

(1) Anggota-anggota DPR berhak memajukan rancangan Undang-undang”

(2) Jika rancangan itu, meskipun disetujui oleh DPR, tidak disahkan oleh Presiden, maka rancangan tadi tidak boleh dimajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu.

Pasal 21 ayat (1) tersebut di atas mengandung maksud bahwa anggota-anggota DPR berhak mengajukan usul inisiatif Rancangan Undang-undang. Jika rancangan usul inisiatif disetujui oleh DPR, yaitu oleh rapat pleno DPR, hal itu tidak berarti Presiden tidak dapat

12 A. Hamid S. Attamimi, Ibid, hlm, 157.

13 ibid.hlm.158

(10)

1187

tidak mengesahkannya. Disini jelas, Presiden secara yuridis tidak terikat oleh usul inisiatif DPR meskipun usul inisiatif itu telah disetujui oleh rapat pleno DPR sepenuhnya.

Rumusan “tidak disahkan oleh Presiden” dalam Pasal 21 ayat (1) tersebut dapat berarti, oleh satu dan lain pertimbangan Presiden tidak menghendaki adanya Undang- undang tersebut. Atau karena Presiden menghendaki perubahan-perubahan pada rancangan Undang-undang tersebut, ataupun karena pertimbangan-pertimbangan lain sehingga tidak disahkan oleh Presiden.

Disini jelas pula, bahwa kekuasaan dalam wujud kewenangan untuk membentuk Undang-undang berada pada Presiden, sebagaimana dinyatakan dalam pasal 5 ayat (1) UUD 1945, bukan pada DPR. Tentu saja dari pertimbangan-pertimbangan non yuridis, Presiden akan mengajukan alasan-alasan yang kuat apabila Presiden bermaksud tidak hendak mengesahkan rancangan Undang-undang usul inisiatif DPR tersebut.14

Pada umumnya, apabila tidak sangat prinsipil, rancangan Undang-undang usul inisiatif DPR, dengan beberapa perubahan dan penyempurnaan di sana-sini – melalui tahapan-tahapan pembahasannya dalam sidang-sidang di DPR, selama ini dapat diterima oleh Presiden dan disetujui untuk disahkan menjadi Undang-undang.

Dari uraian Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 tersebut maka semakin jelas pula bahwa kekuasaan atau kewenangan membentuk Undang-undang berada pada tangan Presiden, baik rancangan ini berasal dari Presiden maupun berasal dari usul inisiatif DPR.

Secara lahiriah tidak dapat diketahui begitu saja apakah suatu Undang-undang berasal dari usul Presiden atau berasal dari usul inisiatif DPR. Karena keduanya menggunakan pembukaan (aanhef) yang sama, seperti kata-kata “Presiden Republik Indonesia”,

“menimbang”, “mengingat”, “memutuskan”, “menetapkan, “disahkan oleh Presiden RI”, bahkan kata-kata pada akhir pembukaan setiap undang-undang yang berbunyi “Dengan Persetujuan DPR RI”.15

Dari yang terakhir ini jelas baik rancangan Undang-undang itu usul Presiden maupun Undang-undang usul inisiatif DPR, suatu Undang-undang akan senantiasa dinayatakan dibentuk oleh Presiden dengan persetujuan DPR. Tidak pernah sebaliknya, yaitu dibentuk oleh DPR dengan persetujuan Presiden.

Maka tanpa hendak mengurangi penghargaan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dapatlah dimengerti kesimpulan Soepomo dalam suatu rapat Panitia Perancang Undang-undang Dasar yang mempersiapkan UUD 1945, yang apabila didengar sepintas lalu seolah-olah bernada ‘aneh’ dan tidak dapat kita mengerti. Ketika dalam rapat tanggal 13 Juli 1945 Panitia Perancang Undang-undang Dasar yang dibentuk oleh Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia itu membicarakan Pasal 21 dan 22 dari rancangan UUD (sekarang menjadi pasal 20 dan 21 UUD 1945), dan anggota Latuharhary berkeberatan terhadap rumusan pasal-pasal tersebut, Soepomo selaku Ketua

14 Ibid.hlm.165

15 ibid.hlm 166

(11)

Panitia Perancang mempertahankannya melalui suatu dialog singkat yang menarik. Dialog kedua tokoh itu sebagai berikut;16

Angota Latuharhary :

Pasal 21 dan 22 tidak menjamin kedaulatan Rakyat sebaiknya ditentukan jalan lain, jika persetujuan lain tidak didapat.

Ketua Panitia Kecil :

Yang merupakan penjelmaan kedaulatan Rakyat ialah Presiden bukan Dewan Perwakilan Rakyat, karena itu tidak setuju.

Dari uraian diatas menjadi jelas apa yang dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) yang berbunyi “Anggota-angota Dewan Perwakilan Rakyat berhak memajukan rancangan undang-undang”. Arti kalimat itu ialah, bahwa sejumlah anggota DPR (yang minimnya atau maksimumnya dan kompetensinya tentunya ditetapkan oleh Undang-undang yang mengatur DPR ataupun ditetapkan pleh peraturan tata tertib DPR) berhak, dalam arti mempunyai hak tetapi bukan kewajiban, untuk mengajukan rancangan Undang-undang yang nantinya akan menjadi usul inisiatif DPR. Rancangan ini harus mendapat persetujuan Rapat Pleno DPR terlebih dulu sebelum diajukan kepada Presiden. Bagaimana prosedur memperoleh persetujuan DPR tersebut, dapat diatur dalam undang-undang yang mengatur DPR atau dalam peraturan tata tertib DPR.17

Apakah pengajuan rancangan undang-undang usul inisiatif DPR itu merupakan tindakan DPR di bidang pelaksanaan kekuasaan legislatif (een legislatieve daad) ataukah bukan, kita perlu melihatnya lebih lanjut.

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor III/MPR/1978 tentang Kedudukan Dan Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara Dengan/Atau Antar Lembaga-lembaga Tinggi Negara tidak menyinggung mengenai apa yang disebut rancangan Undang-undang usul inisiatif DPR. Mengenai Undang-undang, TAP dimaksud hanya menyinggung sebagai disebutkan dimuka, yaitu yang tercantum dalam Pasal 8 ayat (3) dan ayat (4) yang berbunyi :

Pasal 8 ayat 3;

Presiden bersama-sama Dewan Perwakilan Rakyat membentuk Undang-undang termasuk menetapkan Undang-undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Pasal 8 ayat 4;

Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian, dan perjanjian dengan Negara lain.

16Muh. Yamin, 1959, I, Op. Cit., hlm.263.

17 A. Hamid S. Attamimi, Ibid, hlm, 168

(12)

1189

Sedangkan pada Pasal 8 ayat 7 dari pasal tersebut secara tidak langsung menyinggungnya, yakni yang berbunyi;

Presiden harus memperhatikan sungguh-sungguh suara Dewan Perwakilan Rakyat.

Tetapi kita mengetahui, yang dimaksud dengan kata “suara” DPR itu berbagai- bagai ragamnya, termasuk kritik, saran, dan pendapat-pendapat DPR.

Mengenai Pasal 21 ayat (1) UUD 1945 tersebut Wirjono Prodjodikoro mempunyai kesimpilan, bahwa pengajuan rancangan Undang-undang dari DPR (usul inisiatif) dan dari Presiden (usul pemerintah) dikategorikan sama saja, sebagaimana dinyatakannya :

Bahwa hak inisiatif tidak hanya diberikan kepada Presiden, melainkan juga kepada DPR ditentukan dalam pasal 21 serupa dengan pasal 20,….18

Dari uaraiannya tersebut diatas kita dapat menarik konklusi, bahwa Wirjono tidak membedakan secara kategoris sifat dan hakekat rancangan Undang-undang yang diajukan oleh Presiden dan yang diajukan oleh DPR, padahal ada dua hal pokok, yaitu :

Pertama, Presiden adalah Penyelenggara Tertinggi Pemerintah Negara, sehingga pembentukan Undang-undang yang diperlukan bagi pengaturan perilaku kehidupan masyarakat, bangsa, dan Negara Indonesia, termasuk pengajuan rancangannya kepada DPR memang merupakan kewajiban dalam pelaksanaan tugas dan fungsi Presiden;

Kedua, Rancangan Undang-undang yang diajukan oleh Anggota-anggota DPR yang kemudian disetujui DPR itu adalah hak Anggota-anggota DPR dan bukan merupakan kewajiban dalam pelaksanaan tugas dan fungsi DPR.19

  

18 ibid.hlm.169

19 Ibid.hlm.170

Referensi

Dokumen terkait

RS ROYAL TARUMA Nama Dokter yang tidak kerjasama dengan Allianz dalam pelayanan Rawat Jalan dan Rawat Inap

Melihat masih manualnya cara yang dipergunakan oleh Barbershop untuk memprediksi penjualan pada setiap periode, maka diperlukan peramalan yang mampu mempermudah dalam

Menempatkan sumber daya aparatur sebagai tema sentral dalam kejian ilmiah, karena perannya sebagai penyeleng-gara Negara tidak hanya sebagai obyek (seperti layaknya

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, SK No : 31 Tahun 2011; 9... Badan Nasional

Streptococcus agalactiae penyebab mastitis subklinis pada kerbau perah di daerah yang lain di Kabupaten Enrekang yang digunakan sebagai tempat pengembangan

Sistem Jaminan Halal (SJH) ini merupakan sistem yang disiapkan dan dilaksanakan untuk perusahaan pemegang sertifikat halal yang bertujuan untuk menjamin proses

Adapun yang menjadi informan dalam penelitian ini adalah sebanyak 3 (tiga) orang wartawan dengan mempertimbangkan data jenuh (saturated data) yang diperoleh

Definisi promosi penjualan menurut institute of sales promotion in England: Promosi penjualan terdiri dari serangkaian teknik yang digunakaan untuk mencapai sasaran-sasaran