Kajian Sosio-Teologis Penggunaan Penjor pada Hari Raya Gerejawi bagi Gereja GKPB Jemaat Pniel Blimbingsari
TUGAS AKHIR
Diajukan kepada Program Studi Teologi, Fakultas Teologi guna memenuhi sebagian dari persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Sains Teologi
Oleh :
Komang Agus Juliawan 712015041
FAKULTAS TEOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA
2019
ii
iii
iv
v
vi
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Tuhan, karena berkat dan anugerahnya penulisan Tugas Akhir ini dapat diselesaikan. Banyak proses yang dilewati dalam penulisan ini, kebahagiaan terbesar dari penulis ialah menyelesaikan Tugas Akhir ini tepat pada waktu. Banyak hal yang mewarnai proses penulisan tugas ini, terkadang ada keragu-raguan dalam diri sendiri, apakah penulisan ini dapat diselesaikan dengan baik, dan terkadang merasa ragu dan bimbang dalam bimbingan karena masih banyak kekurangan yang dimiliki oleh penulis, dengan kesabaran yang dimiliki oleh setiap pembimbing menjadi semangat bagi penulis untuk mengerjakan karyanya. Proses yang begitu panjang dan keragu-raguan dalam diri penulis dapat dilewati, semua itu karna berkat uluran tangan Tuhan, seperti firmannya dalam 2 Korintus 12:9, “bahwa dalam kelemahanlah kuasa Tuhan menjadi sempurna”
itulah yang menjadi kekuatan dan pegangan dalam setiap proses yang dijalani penulis.
Penulis menyadar bahwa dalam setiap proses yang dijalani ini tidak terlepas dari bimbingan, arahan dan dukungan dari pihak lain. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar- besarnya kepada:
1. Bapak Dr. David Samiyono, MTS., MSLS dan Ibu Pdt. Cindy Quartyamina, M.A, selaku dosen dan pembimbing yang telah banyak memberikan waktu, tenaga, dan sabar dalam membimbing selama proses pembuatan Tugas Akhir.
2. Seluruh Dosen dan Staff Fakultas Teologi yang bersedia mebagikan ilmunya sebagai bekal masa depan penulis.
3. Bapak Pdt. Rama Tulus Pilakoannu selaku Wali Studi yang senantiasa memberikan informasi dan membantu membimbing penulis dalam proses perkulihan di Fakultas Teologi.
4. Keluarga besar yang selalu mendukung penulis dalam memberi semangat, doa untuk menyelesaikan Tugasa Akhirnya. Terlebih kepada kedua Orang Tua penulis Bapak Ketut Suburada dan Mama Putu Suryanti, saudara perempuan penulis, Mbok Putu Eka Setyani dan Mbok Kadek Novia Dewi
vii
yang selalu menyediakan waktu dan pengingatkan penulis dalam penyelesaian Tugas Akhir
5. Keluarga yang ada di Australia Bapak Dave dan Ibu Maureen Hamilton yang senantiasa memberikan dukungan doa maupun finansial sehingga penulis dalam menyelesaikan tugas dan tanggungjawabnya sebagai Mahasiswa.
6. Widhya Asih Blimbingsari yang sudah menjadi tempat penulis dalam mencari jati diri, pengalaman dan belajar tentang hidup.
7. Kepada Yayasan Widhya Asih yang senantiasa memberikan kesempatan dan waktu untuk penulis dapat menjalani proses dengan baik di UKSW, Bapak Pdt. I Made Budiarsa, M,Si. Ibu Ni Gusti Ayu Stiti Sudastri dan Bapak Florant Ridel Inger, Bapak Forman, Ibu Rut dan Ibu Nofa yang selalu membantu penulis dalam proses perkuliahannya.
8. Kekasih Tri Vera Wardani yang senantiasa memberi dorongan dan semangat kepada penulis untuk dapat menyelesaikan Tugas Akhir dan mengingatkan penulis untuk selalu dekat dan berserah kepada Tuhan, begitu juga dengan keluarga besar terkasih.
9. Terimakasih kepada teman-teman angkatan Teologi 2015 yang selalu menjadi penyemangat dalam belajar dan berbagi cerita bersama.
10. Keluarga Besar Bali di Salatiga (KBBS) atas tali persaudaraannya selama proses perkulihan di UKSW. Baik pengurus, orang tua dan teman-teman yang selalu memberikan semangat dan mendukung penulis dalam perkulihan dan nasihat dari orang tua di Salatiga yang selalu memberikan penutan kepada penulis.
viii DAFTAR ISI
COVER ... i
LEMBAR PENGESAHAN ... ii
PERNYATAAN TIDAK PLAGIAT ... iii
PERNYATAAN PERSETUJUAN AKSES ... iv
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... v
KATA PENGANTAR ... vi
DAFTAR ISI ... viii
MOTTO ... x
ABSTRAK ... xi
PENDAHULUAN ... 1
Latar Belakang ... 1
Metode Penelitian ... 2
LANDASAN TEORI ... 3
Pengertian Budaya ... 3
Unsur-Unsur Budaya dan Wujud Kebudayaan ... 4
Nilai-nilai Budaya ... 5
Simbol ... 5
Teologi Kontekstual ... 6
1. Model Terjemahan ... 7
2. Model Antropologis ... 7
3. Model Praksis ... 8
4. Model Sintesis... 8
5. Model Transendental ... 9
6. Model Budaya Tandingan ... 9
HASIL PENELITIAN ... 10
Sejarah dan Letak Geografis ... 10
Profil GKPB Jemaat Pniel Blimbingsari ... 11
Penjor ... 12
Bentuk Penjor Gereja GKPB Pniel Blimbingsari ... 13
Makna Penjor Gerejawi ... 14
Dasar Gereja Menggunakan Penjor dalam Perayaan Gerejawi ... 15
Pentingnya Penggunaan Penjor bagi Gereja ... 16
ix
ANALISIS ... 17
Analisis Penggunaan Penjor di GKPB Pniel Blimbingsari ... 17
Kajian Sosiologis Terhadap Penggunaan Penjor di GKPB Pniel Blimbingsari 18 Kajian Teologis Terhadap Penggunaan Penjor di GKPB Pniel Blimbingsari .. 20
Analisis Model Kontekstual Penggunaan Penjor di GKPB Pniel Blimbingsari 24 PENUTUP ... 27
Kesimpulan ... 27
Saran ... 28
DAFTAR PUSATAKA ... 30
LAMPIRAN ... 33
x
xi ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis pemahaman jemaat GKPB Pniel Blimbingsari terhadap penggunaan penjor pada hari raya Gerejawi. Penjor merupakan bagian penting dalam budaya Bali, sebab di dalamnya terdapat nilai dan makna filosofis yang mempunyai pengaruh pada kehidupan sosial dan keagamaan masyarakat di Bali. Penjor tidak sebatas hiasan dekoratif yang digunakan pada saat hari raya, acara pernikahan dan kegiatan penting lainnya, tetapi di dalamnya terkandung nilai-nilai yang dapat mengejawantahkan falsafah masyarakat Bali, yaitu: “Tri Hita Karana”. Penjor yang digunakan oleh umat Hindu Bali pada setiap materialnya mengandung refleksi penghayatan iman Hindu Bali. Sedangkan penjor yang digunakan umat Kristen di Bali dengan bahan-bahan alam sebagai unsur pembentuknya merefleksikan penghayatan iman Kristen. Meski demikian, secara filosofi makna penjor yang digunakan oleh umat Hindu maupun umat Kristen Bali, sama-sama mengekspresikan dasar-dasar falsafah luhur Bali.
Dengan demikian, secara kategori teologi kontekstual maka penggunaan penjor oleh Gereja GKPB Pniel Blimbingsari merefleksikan model terjemahan dan model antropologis.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan beberapa metode pengumpulan data, seperti observasi, wawancara secara mendalam dan dokumentasi. Data yang sudah terkumpul kemudian dianalisis menggunakan teori kebudayaan dan kontekstual. Pada akhirnya penulis menemukan bahwa penggunaan penjor pada hari raya gerejawi secara bersama-sama, menjadi sarana perekat sosial yang berdampak pada relasi harmonis antarmanusia. Bahan yang terbuat dari alam mempengaruhi adanya suatu perjumpaan antara manusia dengan alam, sehingga adanya interaksi yang penuh penghormatan dalam arti bahan yang diambil dan dipakai untuk pembuatan penjor, kemudian dilestarikan kembali sebagai wujud tanggungjawab dan rasa syukur atas berkat Tuhan. Dengan demikian dapat terlihat bahwa relasi yang harmonis antara sesama manusia dan juga relasi manusia dengan alam diyakini akan berdampak pada relasinya dengan Tuhan.
Kata Kunci: Penjor, Gereja GKPB, Kontekstual.
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Masyarakat yang hidup dalam suatu kebudayaan tidak dapat dilepaskan dari simbol, karena kebudayaan itu sendiri terdiri dari gagasan, simbol-simbol, dan nilai-nilai sebagai hasil karya dan perilaku manusia.1Sepanjang sejarah kehidupan manusia simbolisme telah mewarnai tindakan manusia pada umumnya. Simbol- simbol keagamaan adalah simbol-simbol yang mensintesiskan dan mengintegrasikan “dunia sebagaimana dihayati dan dunia sebagaimana dibayangkan” dan simbol-simbol ini berguna untuk menghasilkan dan memperkuat keyakinan keagamaan.2
Kehidupan religius merupakan kehidupan yang penting dalam diri manusia.
Koentjaraningrat menyatakan bahwa setiap religi merupakan suatu sistem yang terdiri dari empat komponen, yaitu: emosi keagamaan, sistem kepercayaan, sistem upacara, dan kesatuan sosial. Keempat komponen tersebut sudah tentu terjalin erat satu dengan yang lain menjadi suatu sistem yang terintegrasi secara bulat.3
Masyarakat Bali dalam kehidupan dan kepercayaanya tidak dapat dilepaskan dengan praktik-praktik keagamaan yang erat berhubungan dengan simbol-simbol budaya. Salah satu simbol religius tersebut ialah penjor. Penjor merupakan atribut yang menjadi bagian dari simbol sakral dan mempunyai nilai filosofi bagi masyarakat Bali.4 Penjor juga termasuk representasi dari falsafah masyarakat Bali, yaitu: “Tri Hita Karana”,5 yang mengandung adanya tiga unsur yang dapat menciptakan kesejahteraan dan kebahagian hidup, yaitu; unsur parhyangan, keselarasan hubungan manusia dengan Tuhan; pawongan, keselarasan hubungan manusia dengan manusia; dan pelemahan, keselarasan hubungan antara manusia dengan lingkungan alam.6
Penjor tidak hanya digunakan oleh umat Hindu dalam upacara suci seperti Galungan, Kuningan, dan upacara suci lainnya. Penjor juga digunakan oleh gereja
1 Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan (Jakarta: Gramedia, 1982), 5.
2 F.W. Dillidtone, The Power of Symbols (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2002), 116.
3 Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan (Jakarta: Gramedia, 1982), 144-145.
4 I Made Nada Atmaja, dkk, Nilai Filosofis Penjor Galungan & Kuningan (Surabaya: PT Pradnya Paramita, 2008), 49.
5 I Ketut Wiana, Menyayangi Alam Wujud Bhakti Pada Tuhan (Surabaya: Paramita, 2006), 65-75.
6 Wayan Surpha, Eksistensi Desa Adat di Bali dengan Diundangkannya U.U. No. 5 tahun 1979 (Denpasar: Upada Sastra, 1986), 13.
2
ketika perayaan Natal, Paskah, maupun perayaan nikah oleh masyarakat yang ada di Desa Blimbingsari. Gereja Bali menggunakan kesenian Bali sejak Sidang Sinode ke-22 di Abianbase yang diadakan tanggal 13-14 Maret 1972, dalam sidang tersebut gereja menegaskan dalam pelayanan memakai budaya Bali dengan bertumpu dari firman Tuhan dalam Galatia 2:20 “Hidup yang kuhidupi kini bukanya aku lagi tetapi Yesus yang hidup di dalam aku”. Pendeta Dr. I Wayan Mastra, selaku ketua terpilih di Sidang Sinode tersebut, mengatakan bahwa dalam perenungan firman Tuhan ini: “Diriku/tubuhku adalah orang Bali, tapi hati/hidupku adalah Kristus.7
Berdasarkan latar belakang di atas. Maka penelitian ini lebih menekankan kepada penggunaan penjor pada acara maupun hari raya gerejawi di GKPB terutama di jemaat Pniel Blimbingsari. Dari penekanan tersebut peneliti membuat rumusan masalah, yaitu: Bagaimana kajian sosio-teologis terhadap penggunaan penjor pada hari raya gerejawi bagi jemaat GKPB Pniel Blimbingsari? Adapun tujuan dari penelitian ini ialah untuk mendeskripsikan kajian sosio-teologis terhadap penggunaan penjor pada hari raya gerejawi bagi jemaat GKPB Pniel Blimbingsari.
Berdasarkan tujuan penelitian di atas, maka harapan dari peneliti ialah dapat bermanfaat dalam dua aspek, secara teoritis maupun praktis. Secara teoritis: dapat memberikan kontribusi dan pengetahuan baru tentang pemaknaan penjor.
Pengetahuan penjor secara umum yang digunakan oleh masyarakat Bali dan juga penjor khusus yang digunakan oleh Jemaat GKPB Pniel Blimbingsari. Sedangkan secara praktis: dapat menjadi sumber acuan untuk penulisan karya ilmiah tentang kebudayaan, menambahkan dokumen di Kantor Sinode GKPB jika diperkenankan, dan menambahkan refleksi Gereja Bali sebagai Gereja yang kontekstual.
Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif. Metode tersebut digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah dan berusaha untuk mendeskripsikan suatu peristiwa yang masih ada sampai saat ini. Penelitian ini bersifat eksploratif yang bertujuan untuk
7 Tim Penulis Sejarah Gereja Kristen Protestan di Bali, Dinamika GKPB, 332.
3
memberikan pengetahuan kepada orang lain tentang nilai-nilai kebudayaan lokal Bali. Teknik pengumpulan data yang diperoleh dilapangan dilakukan dengan:
Observasi merupakan kegiatan yang dilakukan peneliti untuk mendapatkan informasi-informasi yang faktual. Para Ilmuan hanya dapat bekerja berdasarkan data, yaitu fakta mengenai dunia kenyataan yang diperoleh melalui observasi.8 Hal ini dilakukan untuk memperoleh data penelitian yang bersifat kualitatif melalui pengamatan dan pengindraan dengan secara langsung terlibat dan berpartisipasi di dalamnya.
Wawancara merupakan pertemuan dua orang untuk bertukar informasi dan ide melalui tanya jawab, sehingga dapat dikonstruksikan makna dalam suatu topik tertentu. Dalam penelitian kualitatif, terdapat penggabungan teknik observasi partisipatif dengan wawancara mendalam.9
Unit Analisa dan Pengamatan. Unit analisa peneliti ialah penggunaan penjor pada hari raya gerejawi di Desa Balimbingsari dan unit pengamatannya dalah komunitas yang ada, Bali, seperti; suku, agama, tradisi, budaya, dan masyarakat yang secara umum khususnya di desa Blimbingsari.
Penjelasan dari jurnal ini akan diuraikan dalam lima bagian untuk menjelaskan pokok-pokok pembahasan di atas. Bagian pertama, pendahuluan yang berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan. Bagian kedua, landasan teori tentang budaya dan teologi kontekstual. Bagian ketiga, berisikan pemaparan hasil penelitian yang meliputi deskripsi dan pemahaman jemaat. Bagian keempat, pembahasan dan analisa hasil penelitian di lapangan dengan teori kebudayaan dan kontekstual.
Bagian kelima, penutup yang meliputi kesimpulan dan rekomendasi.
LANDASAN TEORI Pengertian Budaya
Istilah “budaya” tentu tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia. Banyak orang mengartikan konsep itu sebagai pikiran, karya dan hasil karya manusia yang memenuhi hasratnya akan keindahan. Dengan singkat budaya dapat dikatakan sebagai kesenian. Secara etimologi, kata “kebudayaan” berasal dari kata
8 Sugiyono, Memahami Penelitian, 64.
9 Sugiyono, Memahami Penelitian, 72.
4
Sansekerta yaitu buddhayah yang merupakan bentuk jamak dari kata buddhi yang berarti “budi” atau “akal”. Dengan demikian, ke-budaya-an itu dapat diartikan sebagai “hal-hal yang bersangkutan dengan budi dan akal”, atau dapat juga dikatakan bahwa kata budaya merupakan suatu perkembangan dari budi-daya yang artinya daya dari budi atau kekuatan dari akal.10
Definisi tentang kebudayaan banyak diberikan oleh ahli-ahli antropologi.
Salah satunya ialah Koentjaraningrat yang berpendapat bahwa kebudayaan merupakan keseluruhan gagasan dan karya manusia, yang harus dibiasakannya dengan belajar. Adapun istilah lain dari kata “kebudayaan” yang berasal dari kata Latin yaitu colere, yang berarti “mengolah, mengerjakan”, terutama mengolah tanah atau bertani. Dari arti tersebut berkembang menjadi culture, sebagai segala daya dan usaha manusia untuk merubah alam.
Dua ahli antropologi, A.L Kroeber dan Clyde Kluckhohn menjelaskan, bahwa:
“kebudayaan terdiri dari pola-pola yang nyata maupun tersembunyi, dari dan untuk perilaku yang diperoleh dan dipindahkan dengan simbol-simbol, yang menjadi hasil tegas dari kelompok-kelompok manusia; termasuk perwujudannya dalam bentuk barang-barang buatan manusia; inti yang pokok dari kebudayaan terdiri dari gagasan-gagasan tradisional, yaitu diperoleh dan dipilih secara historis dan khususnya nilai-nilainya yang tergabung; di satu pihak, sistem-sistem kebudayaan dapat dianggap sebagai hasil-hasil tindakan, di pihak lainnya sebagai unsur-unsur yang mempengaruhi tindakan selanjutnya.”11
Unsur-Unsur Budaya dan Wujud Kebudayaan
Unsur universal yang terkandung dalam kebudayaan yang merupakan isi dari semua kebudayaan yang ada di dunia ini adalah: sistem religi dan upacara keagamaan; sistem dan organisasi kemasyarakatan; sistem pengetahuan; bahasa;
kesenian; sistem mata pencaharian hidup; dan sistem teknologi dan peralatan.
Penyusunan unsur-unsur di atas merupakan penggambaran dari unsur yang paling sukar berubah ke unsur-unsur yang lebih mudah berubah dalam kehidupan manusia.12
10 Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan (Jakarta: Gramedia, 1982), 9.
11 Budiono Herusatoto, Simbolisme Jawa (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2008), 13.
12 Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitet, 1-2.
5
Selain ada unsur-unsur dalam budaya, kebudayaan juga dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari pada tiga wujud yang disampaikan oleh Koentjaraningrat, yaitu:13 wujud pertama adalah wujud ide dari kebudayaan, yang memiliki sifat abstrak, tidak dapat diraba dan didokumentasikan. Wujud ide itu berada di setiap pikiran dari masyarakat di mana kebudayaaan yang bersangkutan itu hidup, dan berfungsi sebagai tata-kelakuan yang mengatur, mengendalikan, dan memberi dorongan terhadap perilaku dan perbuatan manusia dalam masyarakat. Wujud konkritnya adalah sistem norma-norma dan sistem hukum yang bersandar kepada norma-norma. Wujud kedua disebut sistem sosial, mengenai kelakuan berpola dari manusia itu sendiri. Sistem ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia dalam berinteraksi, berhubungan dan bergaul dalam kehidupan sehari-hari. Wujud ketiga dari kebudayaan disebut kebudayaan fisik yang merupakan hasil fisik dari aktivitas perbuatan dan karya manusia dalam masyarakat. Hasil fisik ini dapat dilihat, diraba dan didokumentasikan. Ketiga wujud kebudayaan yang terurai di atas, dalam kehidupan masyarakat tentu tidak terpisah satu dengan yang lain.
Nilai-nilai Budaya
Setiap kebudayaan niscaya terkandung nilai-kebudayaan di dalamnya. Suatu sistem nilai-kebudayaan terdiri dari konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam pikir sebagian besar masyarakatnya, berhubungan dengan hal-hal yang mereka anggap amat bernilai dalam hidup.14 Karena itu, sistem nilai-budaya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi perilaku manusia. Sistem-sistem perilaku yang lebih konkrit, seperti aturan-aturan khusus, hukum dan norma-norma, semuanya itu berpedoman kepada sistem nilai-budaya itu.
Simbol
Kehidupan manusia diwarnai dengan praktik-praktik simbolis yang sarat akan makna. Apakah sebenarnya yang disebut simbol atau lambang itu? Kata simbol berasal dari kata Yunani symbolos yang berarti tanda atau ciri yang memberitahukan sesuatu hal kepada seseorang.15 Jika dilihat dari Kamus Besar Bahasa Indonesia susunan W.J.S. Poerwadarmita mengartikan: simbol atau
13 Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitet, 5.
14 Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitet, 25.
15 Budiono Herusatoto, Simbolisme Jawa, 17.
6
lambang ialah sesuatu seperti tanda, lukisan, perkataan, lencana dan sebainya, yang menyatakan sesuatu atau mengandung maksud tertentu.
Clifford Geertz mengemukakan pandangannya mengenai budaya. Bagi Geertz, “kebudayaan” berarti “suatu pola makna yang ditularkan secara historis, yang diejawantahkan dalam simbol-simbol, suatu sistem dan konsep yang diwarisi, terungkap dalam bentuk-bentuk simbolis, yang manjadi sarana manusia untuk menyampaikan, mengabadikan, dan mengembangkan pengetahuan mereka tentang sikap-sikap mereka terhadap hidup”. Bentuk-bentuk simbolis, dalam suatu konteks sosial yang khusus, mewujudkan suatu pola atau sistem yang dapat disebut suatu kebudayaan. Menafsirkan suatu kebudayaan adalah menafsirkan sistem bentuk simbolnya dan dengan demikian menurunkan makna yang autentik.
Jadi, penafsiran kebudayaan pada dasarnya adalah penafsiran simbol-simbol, sebab simbol-simbol bersifat teraba, tercerap, umum, dan konkrit. Simbol-simbol keagamaan adalah simbol-simbol yang mensintesiskan dan mengintegrasikan
“dunia sebagaimana dihayati dan dunia sebagaimana dibayangkan” dan simbol- simbol ini berguna untuk menghasilkan dan memperkuat keyakinan keagamaan.16
Kedudukan simbol atau tindakan simbol dalam religi adalah merupakan relasi atau penghubung antara komunikasi human-kosmis dan komunikasi religius lahir dan batin. Tindakan simbolis dalam upacara religius merupakan bagian yang sangat penting dan tidak mungkin dibuang begitu saja, karena manusia harus bertindak dan berbuat sesuatu yang melambangkan komunikasinya dengan Tuhan.17
Teologi Kontekstual
Kontekstual merupakan istilah yang berkembang sejak akhir abad ke-20.
Banyak teolog yang mendalami serta mempelajari bagaimana membawakan injil kepada manusia yang ada di dunia dengan konteks yang berbeda-beda.
Kontekstualisasi teologi merupakan upaya untuk memahami iman Kristen dipandang dari segi suatu konteks tertentu, hal ini merupakan sebuah imperatif teologis.18 Teologi yang berwajah kontekstual menyadari bahwa kebudayaan,
16 F.W Dillistone, The Power of Symbols (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2002), 116.
17 A.H. Barker, Manusia dan Simbol (Bandung: PT Gramedia, 1977), 117.
18 Stephen B. Bevans, Model-Model Teologi Kontekstual (Flores: Penerbit Ledalero, 2002), 1.
7
sejarah dan bentuk-bentuk pemikiran kontemporer harus diindahkan, bersama kitab suci dan tradisi, sebagai sumber-sumber yang absah untuk ungkapan teologis. Teologi tidak hanya mengacu kepada kitab suci dan tradisi, tetapi pengalaman atau konteks manusia juga menjadi hal yang penting dalam berteologi.
Buku model-model Teologi Kontekstual yang ditulis oleh Stephen B.
Bevans menjelaskan secara rinci model-model yang dapat digunakan untuk menganalisis suatu kebudayaan. Menjadi sangat penting untuk memahami bahwa model-model merupakan konstruksi, sehingga Ian G. Barbour mengatakan bahwa model-model itu mesti digubris secara sungguh-sungguh, namun tidak secara harfiah.19 Bevans memberikan enam model kontekstual untuk mempermudah menganalisis suatu realitas dalam kehidupan manusia, model-model tersebut ialah model terjemahan, model antropologi, model praksis, model sintesis, model transendental dan model budaya tandingan.
1. Model Terjemahan
Model kontekstual dalam banyak hal merupakan model terjemahan. Selalu ada isi yang perlu diadaptasi atau diakomodasi pada sebuah kebudayaan tertentu.
Akan tetapi, ada hal yang membuat khusus pada model terjemahan ini ialah penekanannya pada pewartaan Injil sebagai sebuah perwartaan yang tidak berubah. Tradisi lebih dipandang sebagai suatu cara untuk bersikap setia kepada sebuah isi yang hakiki.
Secara metodologis, pentinglah dicatat bahwa titik tolak dalam proses ini adalah selalu pada doktrin yang bersifat adi-budaya dan adi-kontekstual, isi Injil mempengaruhi konteks budaya dan sosial. Bagi model terjemahan, kebudayaan diakui sebagai sesuatu yang penting, tetapi kebudayaan itu tidak pernah sama pentingya dengan pewartaan Injil.
2. Model Antropologis
Model antropologis merupakan pengukuhan atau pelestarian jati diri budaya oleh seorang pribadi yang beriman Kristen. Di dalam teologi bukan hanya berbicara mangenai pewartaan saja, sebaliknya teologi memperhatikan dan
19 Ian G. Barbour, Myth, Model and Paradigms: A Comparative Study in Science and Religion (New York: Harper and Row, 1974), 7.
8
mendengarkan situasi yang dimaksud sehingga kehadiran Allah yang tersembunyi dapat dinyatakan dalam struktur-struktur biasa dari situasi tertentu. Model ini lebih memusatkan perhatiannya pada keabsahan manusia sebagai tempat pewahyuan Yang Ilahi dan sebagai sumber (locus) untuk teologi, sepadan dengan dua sumber lain, yakni Kitab Suci dan tradisi.
Model antropologis lebih kepada pencarian wahyu dan manifestasi diri Allah dalam rupa-rupa nilai, pola relasi dan keprihatianan yang tersembunyi di dalam sebuah konteks. Secara umunya titik tolak model antropologis adalah kebudayaan, dengan titik perhatian istimewa pada kebudayaan manusia, entah sekuler atau religius. Kebudayaan membentuk agama Kristen merumuskan diri dengan kata lain bahwa “konteks mempengaruhi isi”.
3. Model Praksis
Model praksis memusatkan perhatiannya pada jati diri orang-orang Kristen di dalam sebuah konteks, khususnya sejauh konteks itu dipahami sebagai perubahan sosial. Model praksis adalah suatu cara berteologi yang dibentuk oleh pengetahuan pada tingkatnya yang paling intensif, tingkat aksi berdasarkan refleksi. Model praksis bekerja di atas keyakinan bahwa “kebenaran ada pada tataran sejarah, bukan pada bidang ide-ide”. Teologi dapat terpenuhi bukan pada pemikiran-pemikiran yang benar, melainkan pada tindakan-tindakan yang benar, sehingga teologi membutuhkan aksi yang nyata, yakni praksis yang merupakan
“aksi atas refleksi”. Ia mengadakan refleksi atas aksi dan mengadakan aksi atas refleksi.
Model praksis tidak hanya melihat kebudayaan sebagai kumpulan nilai manusia dan cara bertingkah laku, tetapi apa yang ada di balik itu. Unsur konstitutif dari kebudayaan sendiri adalah perubahan budaya dan perubahan sosial, dan perubahan ini perlu diindahkan sama seperti kebiasaan-kebiasaan tradisional, nilai-nilai dan ungkapan bahasa. Model ini memandang pewahyuan sebagai kehadiran Allah di dalam sejarah, di dalam peristiwa-peristiwa hidup sehari-hari.
4. Model Sintesis
Model sintesis adalah sebuah model jalan tengah. Pada pusat gerak peralihan, jalan tengah antara penekanan pada pengalaman masa kini yakni
9
konteks, dengan pengalaman masa lampau, yakni Kitab Suci dan tradisi. Kondisi sintetis dalam beberapa hal berfungsi sebagai paparan atas suatu model khusus dalam metode teologi. Model ini berupaya menghasilkan suatu sintetis dari ketiga model yang telah disebutkan di atas. Model sintesis mencoba mempertahankan pentingnya pewartaan Injil, mengakui peran penting kebudayaan dan peran aksi berdasarkan refleksi dan kebenaran demi pengembangan sebuah teologi yang hirau terhadap kerumitan serta kepelikan perubahan sosial dan budaya.
Model praksis pada umumnya bisa digambarkan sebagai sebuah spiral dan interaksi antara sudut-sudut dari sebuah segi tiga. Barangkali lebih dari model- model lainnya, model sintesis memberi kesaksian tentang universalitas yang benar dari iman Kristen. Kenyataan bahwa setiap orang dalam setiap konteks bisa belajar dari konteks yang lain.
5. Model Transendental
Model transendental merupakan model yang memiliki cara pandang yang mendasar dalam proses mengenal realitas. Ia tidak mulai dengan keyakinan bahwa realitas itu ada di luar sana, tetapi menandaskan bahwa subjek yang mengenal terlibat langsung dalam menentukan bentuk hakiki dari realitas. Objektivitas yang sejati merupakan buah dari subjektivitas yang autentik.
Model transendental berteologi secara kontekstual bukan dengan memusatkan perhatian pada hakikat atau intisari pewartaan Injil atau tradisi dan yang sejenisnya, bukan juga dengan upaya tematisasi atau menganalisis konteks tertentu atau ungkapan-ungkapan bahasa dalam konteks tersebut. Sebaliknya, titik tolak dalam model ini dimulai dengan pengalaman religius seseorang dan dengan pengalamannya menyangkut dirinya sendiri.
6. Model Budaya Tandingan
Model budaya tandingan merupakan model yang tidak anti terhadap budaya.
Akan tetapi, istilah itu berikhtiar mengungkapkan fungsi kristis yang diperankan model ini berhadap-hadapan dengan konteks manusiawi. Walaupun para penganut model ini mengakui bahwa apabila Injil hendak dikomunikasikan secara tepat, maka hal yang harus dilakukan “dalam bahasa dari orang-orang yang menjadi tujuan Injil itu dimaklumkan dan dibusanakan dalam simbol-simbol yang sarat
10
makna bagi mereka.20 Teologi kontekstual dipraktikan secara baik melalui suatu analisis atas konteks, dan dengan tetap menghargai konteks itu, namun membiarkan Injil menuntun seluruh proses, sehingga konteks itu ditata dan dibentuk oleh realitas Injil dan bukan sebaliknya.
Dinamika model ini bukanlah perkara menerjemahkan Injil dalam bingkai konteks tertentu, bukan pula perihal mempermudah munculnya rupa-rupa pemahaman baru dari pengalaman, kebudayaan, lokasi sosial dan perubahan sosial dan bukan soal menemukan makna-makna baru menyangkut Injil berdasarkan pelaksanaan praksis secara setia melainkan untuk sungguh-sungguh menjumpai dan melibatkan konteks itu melalui analisis kritis namun dengan sikap hormat, serta memaklumkan Injil yang sejati dalam kata dan perbuatan, maka kita dapat menyebut model itu sebagai model perjumpaan atau keterlibatan.
Teori yang sudah dipaparkan di bagian II ini akan membantu peneliti menggali lebih dalam tentang penjor yang digunakan oleh masyarakat Bali secara umum dan secara khusus bagi masyarakat Kristen di Bali. Teori kebudayaan digunakan untuk melihat pengertian penjor secara intrinsik dari kebudayaan Bali, teori simbol digunakan untuk menelusuri lebih dalam makna filosofis dari penjor, teori agama digunakan sebagai alat untuk melihat makna teologis dari penjor dan melihat pemaknaan penjor jika sudah masuk dalam komunitas Kristen, dan teori kontekstual dari Bevans digunakan untuk memetakan apa makna penjor dalam tradisi Kristen dan menggali lebih dalam nilai-nilai teologis dari penjor.
HASIL PENELITIAN Sejarah dan Letak Geografis
Blimbingsari merupakan desa yang tergolong muda karena desa Blimbingsari dibuka pada tahun 1939 atas persetujuan dari pemerintah Jembrana.21 Ketika izin diberikan oleh pemerintah, masyarakat Bali yang berlatar belakang penganut agama Kristen diperkenankan membuka hutan yang ada di sebelah utara Melaya. Pemerintah memandang ini sebagai jalan yang baik untuk mengatasi ketegangan-ketegangan yang ada di masyarakat. Pembukaan hutan tersebut memberikan kesempatan bagi orang Kristen di Bali untuk dapat memiliki
20 Lesslie Newbigen, The Gospel in a Pluralist Society (Geneva and Grand Rapids, MI: WCC Publications and William B. Eerdmans Publishing Company, 1989), 141.
21 Ketut Suyaga Ayub, Blimbingsari: The Promised Land (Yogyakarta: Penerbit ANDI, 2014), 36.
11
tempat tinggal yang aman, kepentingan ekonomi turut manjadi alasan yaitu kebutuhan akan tanah yang dapat dikerjakan karena penduduk di kota sudah padat.22
Pada tanggal 30 November 1939 dikirimlah rombongan pertama yang berangkat dari Abianbase sebanyak 30 orang, rombongan kedua berangkat pada Januari 1940. Keberangkatan rombongan pertama diberikan tugas untuk mempersiapkan dan membuka hutan, selang waktu beberapa bulan rombongan kedua diberangkatkan bersama keluarganya.23 Merujuk pada fakta sejarah, maka desa Blimbingsari ada karena perjuangan dari perintis-perintis orang Kristen yang berjuang untuk mendapatkan tempat tinggal dan kebebasan mengekspresikan iman kekristenan mereka. Desa Blimbingsari itu dibuat berbentuk salib sebagai tanda bahwa yang memimpin pekerjaan itu adalah Tuhan sendiri, di pusat desa tersebut didirikan gedung gereja dengan nama Gereja Kristen Protestan di Bali (GKPB) Jemaat Pniel Blimbingsari.
Penamaan desa Blimbingsari diambil dari nama pohon yang ada di hutan setempat. Pohon itu disebut kayu “belimbing”. Kayu belimbing berbeda dengan pohon buah belimbing yang dikenal secara umum, kayu tersebut mudah dikemas oleh orang-orang pada waktu itu untuk dijadikan kayu bakar dan dijual.24 Kayu belimbing banyak tumbuh di hutan tersebut dan memiliki banyak manfaat sehingga tempat tersebut diberi nama Blimbingsari.
Profil GKPB Jemaat Pniel Blimbingsari Nama : Gereja GKPB Jemaat Pniel Blimbingsari
Alamat : Desa Blimbingsari, Kecamatan Melaya, Kabupaten Jembrana, Bali.
Secara keseluruhan jumlah jemaat GKPB Pniel Blimbingsari terdiri dari 173 KK dengan jumlah anggota ± 800 Jiwa. Lembaga Kategorial yang ada di jemaat, yaitu; Kategorial Sekolah Minggu Duta Kristama, Pemuda Kristiyasa, Persekutuan Kaum Bapak Kristiawinangun, Persekutuan Kaum Ibu Dian Kristawati, Persekutuan Warga Senior Kristiajati, Kelompok Pentakoinonia,
22 Ketut Suyaga Ayub, Sejarah Gereja Bali dalam Tahap Permulaan (Yogyakarta: STTh Duta Wacana dan LPIS Satya Wacana, 1999), 60.
23 Ketut Suyaga Ayub, Blimbingsari: The Promised Land, 45-49.
24 I Wayan Sunarya. Blimbingsari Selayang Pandang: Lentera di Tengah Hutan Madurgama (Yogyakarta, ANDI Offset, 2005), 1.
12
Kelompok Wilayah dan Pekabaran Injil.25 Selain kegiatan persekutuan dalam setiap Kategorial, jemaat juga memiliki kegiatan latihan gamelan oleh kelompok dari Bapak-Bapak dan dari Ibu-Ibu, selain gamelan ada juga kegiatan Jegong (alat musik tradisional Jembrana yang terbuat dari bambu utuh yang dibentuk sesuai dengan fungsinya) dan yang lainnya.
Penjor
Penjor merupakan salah satu atribut yang digunakan oleh umat Hindu di Bali pada saat hari raya Galungan, Kuningan dan upacara suci lainnya. Kehidupan bermasyarakat maupun beragama, di Bali sering menampilkan produk-produk budaya yang merupakan simbol-simbol keagamaan yang memiliki nilai-nilai tertentu sesuai dengan persepsi masing-masing penggunanya.
Penjor secara umum dibagi menjadi dua jenis, yaitu: penjor sakral dan penjor profan.26 Penjor sakral digunakan pada saat upacara agama oleh umat Hindu (gambar 1 terlampir), sedangkan jenis penjor profan digunakan pada saat acara peresmian, penyambutan tamu dan beberapa kegiatan di luar upacara keagamaan yang sering disebut dengan “pepenjoran” (gambar 2 terlampir).
Perbedaan antara penjor sakral dan penjor profan dapat dilihat dari atribut yang dipasangkan pada bagian penjor. Penjor sakral yang dihiasi dengan begitu banyak atribut-atribut kecil yang menjadi simbol dari penjor upacara. Sedangkan penjor profan biasanya hanya diberikan hiasan janur atau daun enau dan hiasan- hiasan lainnya yang menambah nilai seni dari penjor tersebut.
Bahan-bahan yang dibutuhkan dalam membuat penjor hari raya suci umat Hindu ialah bambu yang lurus dengan ujung melengkung, pala bungkah (umbi- umbian), pala gantung (buah dan sayur), pala wija (hasil bumi yang berbentuk biji-bijian seperti jagung, padi), kue tradisional, tebu, janur, daun enau, uang kepeng. Pada ujung penjor digantungkan sampian penjor (hiasan yang dilengkapi dengan porosan sirih, kapur, pinang dan bunga). Sedangkan penjor yang dipakai dalam penyambutan tamu, acara kantoran, peresmian, kegiatan hotel dan kegiatan lainnya, biasanya hanya terbuat dari janur maupun daun enau muda, bunga, daun- daunan, serta pada ujung penjor diberikan sampian. Penjor ini disebut penjor
25 Ketut Suyaga Ayub, Blimbingsari “The Promised Land”, 117.
26 I Made Nada Atmaja, dkk, Nilai Filosofis Penjor Galungan & Kuningan, 49.
13
profan karena tidak mengutamakan unsur-unsur yang dipasangkan seperti pada penjor sakral, melainkan mengutamakan nilai seni yang ada pada penjor yang dapat memberikan kesan kemeriahan dan keindahan.
Struktur penjor secara umum dibagi menjadi tiga bagian yakni bagian pangkal, bagian tengah dan bagian atas. Bagian pangkal dihias dengan berbagai dedaunan seperti janur, daun enau, kelapa serta dipasangkan sanggah penjor.
Bagian tengah diisi tebu, pala bungkah, pala gantung dan diberikan hiasan bakang-bakang dari daun enau atau janur. Kemudian pada bagian atas, pada bambu yang melengkung dipasang dan dihiasi dengan gantungan kain dengan simbol-simbol agama dan kue tradisional. Pada ujung penjor akan digantungkan sampian penjor. Masing-masing bahan baku tersebut memiliki makna yang berbeda-beda menurut teologi Hindu.
Menurut beberapa orang, penjor diartikan sebagai simbol dari kesuburan, karena setiap penjor yang dibuat oleh umat Hindu dapat dipastikan di bagian bawahnya terdapat sanggah yang dipakai untuk meletakkan makanan yang dapat dinikmati untuk hari itu. Siapa saja yang melewati melalui jalan tersebut jika ia haus dan lapar dapat menikmati makanan yang ada di penjor tersebut.27
Bentuk Penjor Gereja GKPB Pniel Blimbingsari
Penjor yang digunakan oleh masyarakat Blimbingsari berbeda dengan penjor pada umumnya. Umat Kristen di Bali memasang penjor dilakukan pada hari raya gerejawi seperti Natal, Paskah dan Pentakosta (gambar 3 terlampir).
Penjor yang dipakai pada setiap perayaan gereja berbeda-beda, untuk Masa Raya Natal, Pekan Paskah dan Bulan Misi Pentakosta,28 seluruh jemaat akan memasang penjor tunggul yang memberikan tanda bahwa desa Blimbingsari akan memasuki perayaan gerejawi, penjor tersebut akan dipasang mulai awal bulan sebagai tanda pembukaan.29 Ketika perayaan Natal, penjor tunggul akan diganti dengan penjor panjang sebagai tanda bahwa desa Blimbingsari sedang melaksanakan perayaan besar. Ketika perayaan paskah, penjor tunggul akan diganti dengan penjor salib.
27 Wawancara dengan Bapak Gung Ketut Filipus, Jemaat GKPB Pniel Blimbingsari, 17 April 2019, Pukul 17.00 WITA.
28 Wawancara dengan Ibu Pendeta Hetty Widowaty, Pendeta GKPB Pniel Blimbingsari, 17 April 2019, Pukul 14.30 WITA.
29 Wawancara dengan Bapak I Wayan Nyatriantha, Jemaat GKPB Blimbingsari, 18 April 2019, Pukul 13.00 WITA.
14
Ketika perayaan pentakosta, penjor tunggul akan diperbaharui dengan diberikan anyaman burung dari janur maupun bahan yang lainnya.
Gereja Pniel Blimbingsari menggunakan empat bentuk penjor yang berbeda-beda seperti penjelasan di atas. Bahan yang digunakan untuk membuat penjor berbeda begitu juga dengan ukurannya. Penjor tunggul dibuat dari bambu yang lurus dengan tinggi ±2 M dan diberikan hiasan daun enau atau janur dan juga dengan bunga; penjor panjang dibuat dengan bambu yang ujungnya melengkung dengan tinggi ±7M dan diberikan hiasan daun enau, janur, bunga- bunga, dan pada ujungnya diberikan sampian yang berbeda dengan sampian yang dipakai oleh umat Hindu; penjor Salib dibuat dengan kayu dengan tinggi ±2 dibuat dengan bentuk salib dan diberikan hiasan dengan janur maupun daun enau dan bunga; penjor burung digunakan pada perayaan Pentakosta hampir sama dengan penjor tunggul, yang membedakan ialah simbol yang diberikan pada penjor pentakosta diberikan anyaman burung dari janur maupun bahan yang lainnya sedangkan penjor tunggul hanya diberikan hiasan janur dan daun enau maupun bunga.
Makna Penjor Gerejawi
Desa Blimbingsari menggunakan penjor disesuaikan dengan perayaan yang dilaksanakan. Khusus untuk di gedung gereja bagian candi bentar, candi gelung dan Kuri Agung selalu menggunakan penjor panjang, sedangkan untuk di jemaat menyesuaikan keadaan.30Beberapa pemaknaan penjor yang diberikan gereja pada hari raya yaitu: penjor tunggul dipasang ketika persiapan memasuki perayaan yang dimaknai sebagai tanda bahwa umat Kristen yang ada di desa Blimbingsari akan merayakan perayaan gerejawi;31 Penjor panjang digunakan ketika perayaan Natal, Paskah dan Pentakosta yang dimaknai sebagai tanda sukacita dan ungkapan syukur; penjor salib dilihat sebagai makna kemenangan yang diartikan sebagai kemenangan Kristus atas maut dan kemenangan bagi setiap orang percaya; dan penjor burung dimaknai sebagai Roh Kudus yang menolong dan membimbing umatnya.32
30 Wawancara dengan Ibu Pendeta Hetty Widowaty, Pendeta, 17 April 2019, Pukul 14.30 WITA.
31 Wawancara dengan Bapak I Wayan Nyatriantha, Jemaat, 18 April 2019, Pukul 13.00 WITA.
32 Wawancara dengan Ibu Ni Gusti Ayu Kompiang Sekarini, Jemaat GKPB Pniel Blimbingsari, 18 April 2019, Pukul 12.00 WITA
15
Pemaknaan mengenai penjor dari Gereja Bali dengan umat Hindu di Bali pada umumnya berbeda. Pemaknaannya dipakai sebagai pengingat orang Bali, gereja tidak ingin melupakan diri dari akar budaya Bali, bukan hanya sebatas meniru tetapi gereja ingin tetap berakar pada budayanya.33 Di dalam gereja penjor dilihat melalui seninya karena dari sinode sendiri tidak ada memberikan pemaknaan khusus yang mengatur lebih dalam tentang penjor.34 Gereja menggunakan penjor dalam pemaknaannya bukan suatu tiruan dari umat Hindu, karena penjor menggambarkan semua situasi yang sedang dihadapi seperti hari raya yang di dalamnya ada sukacita, kegembiraan dan ungkapan syukur.
Pemaknaan yang diberikan gereja pada setiap bahan baku yang digunakan untuk membuat penjor berbeda dengan umat Hindu di Bali. Gereja memakai simbol-simbol kekristenan berdasarkan pada Alkitab dengan menggunakan bahan-bahan alam sebagai tanda bahwa Tuhan sudah memberikan segala sesuatu kepada manusia dan memberikan akal budi yang dapat dipakai untuk berkarya.
Melalui karya yang dapat dibuatnya seperti penjor, manusia dapat mengungkapkan rasa syukurnya kepada Tuhan.35
Dasar Gereja Menggunakan Penjor dalam Perayaan Gerejawi
Hal yang mendasari Gereja GKPB menggunakan penjor dalam Perayaan Gerejawi adalah kontekstualisasi. Kontekstualisasi merupakan salah satu bagian dari kesaksian yang dilakukan gereja Bali, tetapi di dalamnya terdapat pergumulan bagaimana jemaat dapat berinteraksi dengan masyarakat Bali dan suatu pergumulan identitas sebagai orang Bali yang tetap beriman pada Kristus.36
Gereja menggunakan penjor karena ada anggapan bahwa orang Kristen sudah mengkhianati Bali dan berperilaku seperti orang Barat. Seiring berjalannya waktu gereja berusaha terbuka dari cara berpikirnya, sehingga gereja perlahan- lahan mengangkat nilai-nilai budaya dalam peribadahan dan perayaan gerejawi supaya gereja dapat menyatu dengan budaya setempat dan tidak menjadi gereja
33 Wawancara dengan Bapak I Made Suwirya, Mantan Majelis GKPB Pniel Blimbingsari, 17 April 2019, Pukul 20.00 WITA.
34 Wawancara dengan Bapak I Made Suwirya, Mantan Majelis, 17 April 2019, Pukul 20.00 WITA.
35 Wawancara dengan Ibu Ni Wayan Priyasthi, Warga Senior GKPB Pniel Blimbingsari, 18 April 2019, Pukul 10.00 WITA.
36 Wawancara dengan Ibu Pendeta Hetty Widowaty, Pendeta, 17 April 2019, Pukul 14.30 WITA.
16
yang asing. Pengabaran Injil dapat diterima ketika gereja tidak mengasingkan diri dari kebudayaan yang ada di daerahnya.37
Mempertahankan budaya merupakan dasar gereja mengadopsi nilai-nilai budaya dan memberi makna baru di dalamnya. Sebagai orang Kristen di Bali menggunakan kebudayaan Bali menjadi salah satu kebanggaan tersendiri.
Menjadi Kristen bukan berarti meninggalkan masa lalu dan identitas sebagai orang Bali. Dengan mengangkat nilai-nilai tersebut, budaya juga menjadi salah satu pijakan agar lebih dekat dengan Tuhan.38 Di dalam suatu kebudayaan ada nilai-nilai yang memiliki makna yang lebih dalam apabila diintegrasikan dengan nilai-nilai dalam suatu agama yang kemudian akan mempengaruhi kehidupan bagi penganutnya.
Pentingnya Penggunaan Penjor bagi Gereja
Penjor penting dalam kehidupan bergereja karena itu merupakan ciri dalam masyarakat yang menjadi tanda bahwa umat Kristen di desa Blimbingsari sedang mengadakan perayaan besar.39 Gereja menggunakan penjor pada perayaan gerejawi karena arti sesungguhnya dari penjor ialah kesuburan yang terjadi di tempat itu.40 Selain sebagai tanda, penjor juga menjadi hal penting untuk melestarikan budaya dan melanggengkan budaya Bali, pembuatannya penjor dilakukan secara bersama dalam satu keluarga, supaya generasi berikutnya tetap menjaga dan melestarikan budaya yang sudah mereka warisi dari orang tuanya.
Hal itu menjadi bukti dari identitas sebagai orang Kristen di Bali.41
Penjor menjadi penting dalam hari raya karena di dalamnya terdapat beberapa makna yang dapat direfleksikan dalam kehidupan sehari-hari selain nilai keindahan yang membuat setiap orang yang melihat dapat merasakan kenyamanan dan sukacita, generasi berikutnya juga dapat mengetahui bagaimana kreasi orang pada zaman dahulu.
Dilihat dari kontroversinya. Penjor biasanya dihias pada bagian yang melengkung dan yang lurus ditancapkan, hal itu mengartikan seperti itulah kehidupan duniawi manusia. Terkadang kebiasaan buruk selalu dihias dan yang
37 Wawancara dengan Ibu Ni Wayan Priyasthi, Warga Senior, 18 April 2019, Pukul 10.00 WITA.
38 Wawancara dengan Ibu Ni Gusti Ayu Kompiang Sekarini, Jemaat, 18 April 2019, Pukul 12.00 WITA.
39 Wawancara dengan Bapak I Wayan Nyatriantha, Jemaat, 18 April 2019, Pukul 13.00 WITA.
40 Wawancara dengan Bapak Gung Ketut Filipus, Jemaat, 17 April 2019, Pukul 17.00 WITA.
41 Wawancara dengan Bapak I Made Suwirya, Mantan Majelis, 17 April 2019, Pukul 20.00 WITA.
17
baik justru dipendam, sehingga nasihat itu dibalikkan supaya jangan seperi penjor.42 Ketika hari raya gereja apabila penjor tidak dipasangkan di setiap rumah jemaat, maka suasana perayaan menjadi kurang meriah dan perayaan terasa seperti hari-hari biasanya.43
Kegiatan yang dilaksanakan dalam mempersiapkan memasuki hari raya disesuaikan dengan program yang sudah dirancang oleh panitia hari raya. Setiap tahun akan dibentuk panitia untuk mempersiapkan dan membuat program kegiatan yang dibutuhkan oleh jemaat dan diawasi oleh majelis jemaat, panitia bertugas untuk mengatur waktu pemasangan dan penggantian penjor maupun umbul-umbul gereja sebagai bentuk hari raya. Tradisi nampah (potong babi) merupakan kegiatan yang dilakukan dalam jemaat secara bersama-sama, nampah dilaksanakan di setiap wilayah/enjungan ketika perayaan Natal, Paskah dan Pentakosta.
Pada akhirnya, dapat dipahami bahwa penggunaan penjor oleh gereja Bali merupakan upaya kontekstualisasi yang sepenuhnya disadari. Hal ini merupakan bentuk tanggung jawab orang Kristen Bali terhadap anugerah tradisi budaya yang sudah melekat dalam kehidupan sehari-hari. penggunaan penjor oleh gereja pada hari raya gerejawi pastinya bukan sekedar aksi dekoratif yang memperindah dan memeriahkan suasana hari raya, melainkan upaya memberdayakan nilai-nilai sosial, filosofis maupun teologis yang tersirat di dalamnya yang justru membantu umat Kristen Bali dalam penghayatan iman mereka.
ANALISIS
Analisis Penggunaan Penjor di GKPB Pniel Blimbingsari
Setiap individu manusia dari sejak kecil sudah diresapi dengan nilai-niali budaya yang hidup dalam masyarakat, sehingga konsepsi-konsepsi itu sejak lama telah berakar dalam alam jiwa mereka. Nilai-nilai yang ada pada pikiran manusia dituangkan dalam bentuk wujud budaya, wujud kebudayaan yang dapat dengan mudah ditemukan ialah benda-benda hasil karya manusia atau yang biasa disebut dengan wujud kebudayaan fisik seperti yang disampaikan oleh Koentjaraningrat.
42 Wawancara dengan Bapak I Made Suwirya, Mantan Majelis, 17 April 2019, Pukul 20.00 WITA.
43 Wawancara dengan Ibu Ni Gusti Ayu Kompiang Sekarini, Jemaat, 18 April 2019, Pukul 12.00 WITA.
18
Gereja Bali terkhususnya gereja GKPB Jemaat Pniel Blimbingsari menggunakan penjor pada hari raya gereja merupakan salah satu cara yang dipakai gereja sebagai tanda kembali kepada jati diri sebagai orang Bali, walaupun sudah memeluk agama Kristen bukan berarti keluar dari identitas sebagai orang Bali. Sebagai orang Bali sudah menjadi kewajiban untuk menghargai budaya yang sudah ada sebelum Injil masuk ke Bali dan kemudian ketika budaya itu disandingkan dengan Injil maka sikap untuk memperbaharui dan terbuka pada budaya menjadi hal penting agar budaya tersebut dapat disesuaikan dan dimodifikasi pada pemaknaannya.
Penjor dalam tradisi umat Hindu memiliki unsur-unsur penting di dalamnya yang sarat akan makna-makna khusus. Sedangkan penjor yang digunakan oleh gereja pada perayaan gerejawi sebagai bagian dari dekorasi yang diberikan pemaknaan baru di dalamnya. Simbol dan pemaknaan pada penjor disesuaikan dengan perayaan gerejawi dan bentuk penjor pada setiap perayaan berbeda-beda, hal itu disesuaikan dengan simbol dan pemaknaan berdasarkan Alkitab, sehingga ada beberapa nilai-nilai baru yang terkandung pada penjor.
Kajian Sosiologis Terhadap Penggunaan Penjor di GKPB Pniel Blimbingsari Masyarakat Blimbingsari setiap hari raya gerejawi selalu menggunakan atribut penjor sebagai bentuk dan simbol hari raya. Gereja menggunakan penjor sebagai bentuk dan kesadaran untuk terus melestarikan budaya Bali yang sudah sejak lama dihidupinya, gereja mengangkat nilai-nilai budaya menjadi salah satu bentuk kepedulian gereja terhadap budaya Bali. Penjor merupakan salah satu bagian dari kebudayaan yang dipakai oleh gereja, karena selain penjor gereja juga menggunakan gamelan maupun atribut yang lainnya, sehingga ketika perayaan gerejawi nuansa dan suasana yang tergambar sangat khas bagaimana kekristenan menyatu dengan budaya Bali. Gereja mengangkat nilai-nilai budaya Bali karena gereja menyadari bahwa dalam budaya Bali nilai-nilai yang terkandung di dalamnya tentu tidak semuanya bertentangan dengan Injil, sehingga dilakukan kajian teologis sebelum mengambil tindakan nyata untuk menggunakan budaya Bali dalam perayaan gerejawi maupun peribahan.
19
Penjor yang dipakai sarana oleh gereja Bali pada saat perayaan gerejawi mengandung beberapa nilai sosiologis di dalamnya. Banyak bahan yang diperlukan dan membutuhkan lebih dari satu orang untuk dapat menyelesaikan penjor dengan ukurang yang besar. Kerjasama dalam hal ini sangat diperlukan, sehingga dalam lingkungan terkecil yaitu keluarga akan saling membantu satu sama lain untuk menyelesaikan penjor tersebut. Hal tersebut akan mempengaruhi relasi yang terjalin di dalam keluarga, dan momen ini sangat penting dalam keluarga karena merayakan hari raya bukan hanya menampilkan hiasan yang bersifat dekoratif, tetapi bagaimana relasi dalam keluarga maupun masyarakat akan sangat mempengaruhi pada jalannya hari raya. Di desa Blimbingsari, setiap enjungan atau wilayah mendapatkan tugas untuk membuat satu buah penjor yang dipasang pada bagian candi bentar dan candi gelung di gedung gereja dan kuri agung atau pada pintu gerbang desa Blimbingsari, selain menjaga relasi yang harmonis dalam keluarga, kerja sama dalam setiap enjungan juga sangat berdampak pada relasi dengan sesama umat Kristen yang ada di Blimbingsari.
Kerjasama yang dilakukan dalam keluarga tentu melibatkan semua anggota keluarga dari orang dewasa dan juga anak muda, sehingga pembuatan penjor dapat menjadi sarana pembelajaran bagi anak muda untuk mengetahui proses pembuatan penjor dan mengetahui kreasi seni orang-orang terdahulunya. Semua itu akan menamankan pemikiran kepada generasi muda untuk tetap mencitai dan menjaga kebudayaannya sendiri sebagai bentuk penghargaan terhadap warisan dari orang-orang terdahulu. Peran anak muda dalam melestarikan budaya Bali terkhusunya penjor penting, seperti yang disampaikan oleh Richard King yang berpandangan bahwa sejauh sebuah kebudayaan masih berlangsung, kebudayaan merupakan subyek yang secara terus-menerus melakukan revisi, reinterpretasi dan transformasi. Jika kebudayaan itu tidak dikreasi dan dikembangkan dengan ide- ide yang baru, maka lambat laun akan ditinggalkan dan secara perlahan-lahan akan punah.
Penggunaan penjor maupun budaya Bali di gereja merupakan bagian dari bentuk identitas kekristenan dengan model yang berbeda walaupun sudah menjadi Kristen. Menjadi Kristen bukan berarti meninggalkan masa lalu dan identitas yang sudah melekat sejak dulu. Identitas baru yang dimiliki oleh orang Kristen di Bali
20
memberikan kesempatan dan ruang yang bebas untuk dapat mengekspresikan iman kekristenan mereka. Selain sebagai identitas, menjadi suatu kebanggaan ketika mereka dapat menggunakan budaya yang mereka hidupi sebelumnya dengan iman Kristen. Dari semuanya itu, maka terciptanya kebudayaan yang baru, jadi tidak sama dengan budaya Bali tidak juga seperti Kristen yang kebarat- baratan, inilah yang disebut sebagai kontekstualisasi.
Jemaat yang ada di Blimbingsari pada awalnya memiliki latar belakang Hindu, sebelum mereka menjadi Kristen, tentu di setiap desa diwajibkan bagi kaum laki-laki untuk dapat membuat sarana upacara agama begitu juga dengan kaum perempuan. Ketika mereka terpanggil dan ingin menjadi Kristen tentu kebiasaan ini masih melekat pada setiap individu sehingga membutuhkan beberapa penyesuaian. Memberdayakan mereka yang menjadi jemaat baru dengan kebiasaan mereka membuat sarana upacara merupakan salah satu cara untuk dapat mengembangkan dan menghargai talenta yang dimiliki setiap jemaat. Hal ini akan memberikan dampak yang baik kepada jemaat untuk dapat memahami bahwa talenta yang mereka miliki digunakan oleh gereja dan mereka tentu tidak akan merasa terasing dalam komunitas yang baru, semuanya itu dilakukan dengan tetap mempertahankan iman kekristenan mereka.
Kajian Teologis Terhadap Penggunaan Penjor di GKPB Pniel Blimbingsari Suatu karya manusia akan memiliki nilai yang bermakna ketika karya tersebut diberikan simbol-simbol keagamaan. Agama memiliki peran penting dalam kehidupan manusia, selain nilai ekonomi, sosial, keindahan dalam suatu karya, nilai teologis memiliki peran penting di dalamnya yang dapat mempengaruhi perilaku dan tindakan manusia.
Seperti sejarah yang disampaikan di bagian tiga bahwa desa Blimbingsari merupakan desa yang berada di bagian wilayah Bali barat di mana kesuburan tanah dan tumbuh-tumbuhan sangat alami. Sesuai dengan visi misi gereja Bali, yaitu visi dari gereja Bali “Bumi Bersukacita Dalam Damai Sejahtera” dan misinya ada dua, yaitu: 1. Menjadi Berkat dan Terang Bangsa-Bangsa dan 2.
Membangun Peradaban Masyarakat yang dijiwai oleh Kasih kepada Tuhan, Sesama dan Lingkungan. Gereja menggunakan kebudayaan Bali karena di
21
dalamnya terdapat nilai-nilai yang menjunjung tinggi dan menghargai alam sekitar, sehingga sebagai gereja yang sungguh-sungguh ingin bertumbuh adalah dengan tiga konsep hidup tersebut. Hal ini memiliki kesamaan dengan falsafah kehidupan orang Bali, yaitu Tri Hita Karana, yang berarti tiga subjek yang mendatangkan kesejahteraan, ketiga subjek tersebut, yaitu: parhyangan, yang berhubungan dengan ke-Tuhanan (supranatural power); pawongan, yang berhubungan dengan sesama (mikrokosmos): dan palemahan, yang berhubungan dengan alam sekitar (makrokosmos). Ketiga unsur ini akan saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya.44
Aspek Ketuhanan dalam hal ini tidak dapat dipisahkan dengan aspek lainnya. Ketiga unsur (Tuhan, manusia dan lingkungan) tidak dapat dipisahkan begitu saja. Hal ini disebabkan, hubungan antara Tuhan dan manusia harus dapat diejawantahkan pada hubungan manusia dengan manusia dan juga dengan alam lingkungannya. Oleh karena meningkatnya hubungan antara manusia dengan Tuhan, maka meningkat pula pada hubungan manusia dengan alam. Hubungan harmonis antara manusia dengan Tuhan dapat diwujudkan dengan melakukan upacara maupun peribadahan.
Aspek kemanusiaan dapat dilihat ketika berlangsungnya proses pembuatan penjor. Hampir semua penjor dibuat dengan melibatkan lebih dari satu orang.
Ketika melakukan pekerjaan itu, maka mereka akan menjalin hubungan antara satu dengan yang lainnya secara harmonis. Tanpa hubungan yang harmonis, pembuatan penjor akan tidak dapat berjalan dengan baik. Adanya hubungan yang harmonis dalam suasana kekeluargaan yang akan melahirkan kebersamaan.
Membangun suasana kekeluargaan tentu ada sifat-sifat yang luhur atau masing- masing individu memiliki etika yang menjadi kaidah-kaidah yang berisi larangan untk berbuat sesuatu, sehingga dalam hal ini akan diperoleh tentang perbuatan yang baik dan perbuatan yang buruk. Ketika dalam pembuatan penjor, sifat-sifat yang baik diharapkan selalu ada pada setiap individu. Pikiran, perkataan dan perbuatan diharapkan dapat menyenangkan orang lain, karena tanpa hal tersebut, tidak akan ada hubungan yang harmonis. Semuanya itu akan sangat
44 Ketut Suyaga Ayub, Sejarah Gereja Bali dalam Tahap Permulaan (Yogyakarta: Duta Wacana dan LPIS Satya Wacana, 1999), 8.
22
mempengaruhi relasi yang terjalin di dalam keluarga maupun lingkungan masyarakat, sehingga kasih terhadap sesama dapat terwujud dari proses pembuatan penjor. Ketika relasi terhadap sesama dapat berjalan dengan baik tentu dalam persekutuan yang kuat akan mendukung umat lebih dekat dengan Tuhan.
Pembuatan penjor membutuhkan bambu dan hasil bumi lainnya. Bambu dan hasil bumi tersebut hanya dapat diperoleh dalam alam lingkungan, dengan adanya penggunaan bahan tersebut. Berarti semua tanaman yang dibutuhkan untuk membuat penjor diharapkan selalu ada untuk sarana hari raya. Oleh karena selalu dibutuhkan, maka semua tanaman itu perlu dilestarikan. Hal ini mengingatkan manusia untuk senantiasa melestarikan lingkungan. Usaha pelestarian alam jika dilihat lebih dalam terdapat timbal balik yang serasi dan harmonis antara manusia dan alam lingkungannya. Kekristenan seringkali dikaitkan sebagai agama yang tidak peduli terhadap alam sekitar, tetapi Gereja GKPB Pniel Blimbingsari yang berada di pulau Bali memperlihatkan bahwa Injil dapat diberitakan dengan konteks di mana injil itu ditabur. Hal ini dapat dilihat dari sarana yang digunakan dalam hari raya maupun peribadahan. Penggunaan bahan yang ada di alam sekitar merupakan bukti konkret dari umat dalam menerapkan misi gereja, yaitu mengasihi alam dengan melestarikan dan memanfaatkannya dengan baik.
Penggunaan atribut maupun kebudayaan Bali merupakan langkah yang tepat bagi gereja Bali dalam pengabaran Injilnya. Gereja berusaha terbuka dengan lingkungan dan konteks di mana gereja itu berkembang, sehingga gereja dapat menggunakan budaya Bali sebagai salah satu cara untuk memberikan kesaksian kepada orang yang ada di Bali maupun bagi orang yang berasal dari bebagai negara. Kontekstualisasi yang gereja Bali lakukan dapat pengaruh yang besar dan kekristenan di Bali mulai terkenal dengan keunikannya. Banyak orang berpandangan bahwa Bali yang dikenal sebagai pulau dewata, tidak memungkinkan bagi kekristenan dapat berkembang dan sangat sulit untuk memberikan kesaksian di tengah-tengah pulau dewata. Penggunaan budaya Bali dalam hari raya gerejawi maupun peribadahan memiliki dampak yang besar sekaligus menjadi bentuk kesaksian nyata bahwa kekristenan di Bali dapat hidup dan berkembang karena tuntunan Tuhan.
23
Penjor di gunakan oleh gereja sudah barang tentu sebagai kesaksian yang nyata bahwa gereja tidak meninggalkan apa yang sudah ada sebelum Injil sampai ke Bali. Hal ini menjadi suatu refleksi iman bagi jemaat di Blimbingsari ketika melihat penjor yang menjulang tinggi dengan dekorasi yang begitu indah.
Masyarakat Bali pada umumnya memandang bahwa ketinggian sangat identik dengan kesucian, sehingga ada pendapat mengatakan bahwa penjor merupakan cerminan dari gunung tertinggi yang ada di Bali yaitu Gunung Agung. Jika dilihat waktu penggunaan penjor di gereja, dapat dikatakan bahwa penjor tersebut juga memiliki unsur kesucian di dalamnya. Selain menggunakan bahan- bahan dari alam, penjor gereja juga diberikan simbol-simbol kekristenan di dalamnya. Simbol-simbol yang dipasangkan pada penjor memiliki makna tersendiri. Penjor tinggi dimaknai sebagai sukacita dan ungkapan syukur oleh jemaat karena memberikan kehidupan dan memberikan keselamatn kepada umatnya; simbol salib dipasangkan pada perayaan paskah dimaknai sebagai perjalanan kesengsaran yang Yesus alami ketika ingin disalib dan penjor tinggi dimaknai sebagai kemenangan atas kebangkitan Yesus atas maut; simbol burung dimaknai sebagai Roh Kudus yang Tuhan berikan kepada umatnya dalam menjalani kehidupan di dunia, karena manusia membutuhkan tuntunan agar selalu berjalan sesuai kehendaknya. Salib di desa Blimbingsari juga menjadi salah satu bentuk identitas sebagai desa yang seluruhnya beragama Kristen.
Semua itu menjadi bagian dari refleksi iman bagi umat Kristen di Blimbingsari.
Umat dapat merefleksikan dirinya dari penjor tinggi yang melengkung.
Hampir seluruh masyarakat di Bali ketika ingin membuat penjor tinggi, mereka akan memilih bambu yang ujungnya melengkung ke bawah, begitu juga dengan penjor yang digunakan oleh gereja. Dapat dikatakan bahwa setiap penjor tinggi yang dibuat oleh masyarakat Bali selalu menggunakan bambu melengkung dan tidak pernah menggunakan bambu yang lurus berdiri tegap. Jika dibayangkan penjor tinggi yang melengkung dengan pernak pernik yang dipasangkan tentu akan membuat penjor tersebut memiliki nilai keindahan yang tinggi, sedangkan penjor yung berdiri tegap akan sangat aneh dan sulit untuk melihat keindahannya.
Maka dari penjor tersebut dapat dipetik beberapa makna yang dapat menjadi suatu perenungan. Seperti yang dijelaskan di atas, bahwa hampir semua penjor di
24
Bali berbentuk melengkung ke bawah, itu dapat direfleksikan dalam kehidupan sehari-hari yang mengibaratkan bahwa, semakin tinggi ilmu pengetahuan, jabatan dan kekuasaan seseorang, semakin rendah hatilah orang tersebut. Ketika manusia memiliki segala apa yang dibutuhkan dan tetap rendah hati, tentu akan menjadi berkat bagi orang lain, sehingga tidak ada yang pantas untuk disombongkan.
Apabila dilihat dari pandangan kontroversinya, ada beberapa orang beranggapan bahwa hidup manusia jangan seperti penjor karena penjor cenderung yang lebih dihias adalah bagian yang melengkung sedangkan yang lurus ditancapkan ke tanah. Pesan yang ingin disampaikan adalah jangan sampai keburukannya saja yang dihias sedangkan hasrat untuk berbuat baik itu hanya disimpan dan tidak dimunculkan atau diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Dari pandangan tersebut dapat dipetik pembelajaran bahwa kalau sungguh-sungguh menjadi Kristen apa yang ada di dalam hati disampaikan dan kasih bukan hanya sebatas diucapkan tetapi dilakukan dalam kehidupan sehari- hari.
Keindahan yang ditampilkan pada penjor sangat mempengaruhi orang yang melihatnya. Suatu benda dipandang memiliki nilai keindahan tergantung para penikmatnya, adanya keindahan sangat ditentukan dari pikiran seseorang terhadap benda yang dilihatnya. Orang yang melihat penjor akan merasakan sukacita, kegembiraan dan tentu ini menjadi kesaksian dan berkat bagi sesama di dalam masyarakat. Gereja dalam hal ini secara tidak langung menerapkan buah- buah Roh yang terdapat dalam Kitab Galatia 5:22-23, karena dalam proses pembuatan penjor untuk menghasilkan keindahan dibutuhkan kesabaran yang tinggi, sebab segala sesuatu jika dilandasai dengan kesabaran akan menghasilkan karya yang memuaskan dan benar-benar bermakna.
Analisis Model Kontekstual Penggunaan Penjor di GKPB Pniel Blimbingsari Melihat penjor yang digunakan gereja dalam hari raya gerejawi di jemaat GKPB Pniel Blimbingsari, bila dikaitkan dengan model Kontekstual berdasarkan teori Stephen B. Bevans. Maka pemakaian penjor pada perayaan gerejawi dapat dibedah dengan model, yaitu: model terjemahan dan model antropologis, sebagaimana yang sudah dijelaskan pada bagian teori. Ada enam model yang