RINGKASAN EKSEKUTIF
Modul Pengelolaan Keuangan Negara ini disusun dalam rangka memberikan pemahaman umum mengenai pengelolaan keuangan negara. Sesuai dengan siklus pengelolaan keuangan negara, materi dimulai dengan perencanaan kemudian dilanjutkan dengan penganggaran. Selanjutnya dalam tataran pelaksanaan anggaran dibahas mengenai perbendaharaan, pengelolaan aset, akuntansi dan dilanjutkan dengan pemeriksaan, serta berakhir dengan pertanggungjawaban hasil pengelolaan keuangan negara. Metode pembelajaran dalam pelatihan ini dilakukan dengan cara pemaparan memaparkan tentang konsep-konsep pokok undang-undang di bidang keuangan negara yaitu Undang-Undang No.17 Tahun 2003, Undang-Undang No.1 Tahun 2004, Undang-Undang No.15 Tahun 2004, dan Undang-Undang No.25 Tahun 2004.
Modul ini telah disusun secara sistematis meliputi: (i) pendahuluan, (ii) pengertian dan ruang lingkup keuangan negara serta siklus anggaran, (iii) perencanaan, (iv) pengganggaran, (v) pelaksanaan anggaran, (vi) pengelolaan aset dan utang, (vii) pertanggungjawaban atas pelaksanaan APBN, (viii) pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
Reformasi Pengelolaan Keuangan Negara yang mengamanatkan pemisahan kewenangan antara Chief Operational Officer (COO) yang dipegang oleh menteri teknis dan Chief Financial Officer (CFO) yang dipegang oleh Kementerian Keuangan mensyaratkan adanya peran COO sebagai mitra sejajar CFO dalam kapasitas COO selaku Pengguna Anggaran. Disisi lain perkembangan dan dinamika pengelolaan keuangan negara yang kian cepat menuntut kemampuan kementerian teknis dalam kapasitasnya selaku Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran beserta seluruh jajaran pejabat pengelola perbendaharaan di kementerian negara/lembaga untuk mengikuti perkembangan pengelolaan keuangan negara tersebut berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun demikian tidak dapat dipungkiri bahwa kementerian negara/lembaga masih sangat membutuhkan peran Kementerian Keuangan khususnya Direktorat Jenderal Perbendaharaan dalam memberikan bimbingan dan penyuluhan dalam rangka pelaksanaan tugas-tugas kebendaharaan pada kementerian negara/lembaga/satuan kerja demi terwujudnya pengelolaan keuangan negara yang profesional, transparan dan akuntabel.
Pembentukan Penyuluh Perbendaharaan adalah salah satu upaya Direktorat Jenderal Perbendaharaan untuk melakukan terobosan dalam upaya peningkatan kemampuan kementerian negara/lembaga/satuan kerja. Dalam kerangka itulah Modul Penyuluh Perbendaharaan memiliki makna yang sangat penting sebagai bahan acuan bagi para Penyuluh Perbendaharaan untuk melaksanakan penyuluhan terkait seluruh aspek dalam pengelolaan perbendaharaan di kementerian negara/lembaga disamping tentu saja menjadi acuan bagi kementerian negara/lembaga/satuan kerja dalam pelaksanaan tugas- tugas yang terkait dengan pengelolaan perbendaharaan negara.
Modul Penyuluh Perbendaharaan ini terdiri dari delapan belas modul yaitu (1) Keuangan Negara, (2) Pengesahan dan Revisi DIPA, (3) Pengelolaan Keuangan Satuan Kerja, (4) Pembukuan dan Penyusunan LPJ Bendahara, (5) Penatausahaan Pengadaan Barang dan Jasa, (6) Pengelolaan Administrasi Belanja Pegawai, (7) Perkiraan Penarikan dan Penyetoran Dana, (8) Pedoman Penyelesaian Tuntutan Ganti Rugi terhadap Bendahara, (9) Penatausahaan PNBP, (10) Pengelolaan Keuangan BLU, (11) Tata Cara Penarikan dan Penyaluran PHLN, (12) Sistem Akuntansi Instansi, (13) Sistem Akuntansi Pemerintah Pusat, (14) Aplikasi DIPA, (15) Aplikasi Gaji PNS Pusat, (16) Aplikasi SPM, (17) Aplikasi Sistem Akuntansi Instansi, dan (18) Aplikasi Forecasting Satker. Keseluruhan modul
KATA PENGANTAR
disusun/di-reviu oleh Tim Penyusun/Reviu Modul Penyuluh Perbendaharaan 2011. Satu modul merupakan modul yang disusun baru yaitu modul Keuangan Negara. Sedangkan tujuh belas modul lainnya merupakan penyempurnaan berdasarkan perkembangan proses bisnis dan peraturan terkini terhadap modul yang telah disusun pada tahun 2010.
Semoga modul ini dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca umumnya dan para Penyuluh Perbendaharaan khususnya sehingga pengelolaan perbendaharaan pada kementerian negara/lembaga/satuan kerja dapat berjalan dengan baik sesuai dengan cita-cita reformasi pengelolaan keuangan negara yang kita idamkan bersama.
Jakarta, 29 April 2011
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ...i
RINGKASAN EKSEKUTIF ...iii
DAFTAR ISI ...iv
BAB I PENDAHULUAN ...1
A. Latar Belakang ...1
B. Maksud dan Tujuan ...2
C. Deskripsi Ringkas ...3
D. Metode Pembelajaran ...3
BAB II PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP KEUANGAN NEGARA SERTA SIKLUS ANGGARAN ...4
A. Pengertian dan Lingkup Keuangan Negara... ....4
B. Siklus APBN ...6
BAB III PERENCANAAN ... 11
A. Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional... ... 11
B. Rencana Pembangunan Jangka Panjang ... 14
C. Rencana Pembangunan Jangka Menengah ... 15
D. Rencana Strategis Kementerian/Lembaga ... 16
E. Rencana Pembangunan Jangka Tahunan ... 16
BAB IV PENGANGGARAN ... 18
A. Pengertian Anggaran ... 19
B. Prinsip-Prinsip Penganggaran ... 21
C. Anggaran Berbasis Kinerja ... 22
D. Perencanaan Kinerja ... 24
E. Target Kinerja ... 27
F. Standar Analisis Belanja ... 29
G. Standar Biaya ... 30
H. Penyusunan RKA K/L ... 30
DAFTAR ISI
I. Rencana Dana Pengeluaran BUN ... 31
J. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara ... 33
BAB V PELAKSANAAN ANGGARAN ... 35
A. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara ... 35
B. Dokumen Pelaksanaan Anggaran ... 36
C. Pembagian Kewenangan ... 39
D. Sistem Penerimaan ... 40
E. Sistem Pembayaran ... 40
BAB VI PENGELOLAAN ASET DAN UTANG ... 43
A. Pengertian dan Ruang Lingkup ... 43
B. Pengelolaan Kas ... 44
C. Pengelolaan Piutang ... 45
D. Pengelolaan Utang... 46
E. Pengelolaan Investasi ... 48
F. Pengelolaan Barang Milik Negara ... 48
G. Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum ... 50
BAB VII PERTANGGUNGJAWABAN ATAS PELAKSANAAN APBN ... 52
A. Laporan Keuangan Pemerintah ... 52
B. Standar Akuntansi Pemerintahan ... 54
C. Sistem Akuntansi Pemerintahan ... 55
BAB VIII PEMERIKSAAN ATAS PENGELOLAAN DAN TANGGUNG JAWAB KEUANGAN NEGARA ... 57
A. Lingkup Pemeriksaan ... 57
B. Pelaksanaan Pemeriksaan ... 60
C. Hasil Pemeriksaan dan Tindak Lanjut ... 61
D. Pidana, Sanksi, dan Ganti Rugi ... 62
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tata kelola penyelenggaraan pemerintahan yang baik dalam suatu negara merupakan suatu kebutuhan yang tak terelakkan. Pemerintah wajib menerapkan kaidah-kaidah yang baik dalam menjalankan roda pemerintahan, termasuk di dalamnya kaidah-kaidah dalam bidang pengelolaan keuangan negara yang diwujudkan dalam bentuk penerapan prinsip good governance. Dalam rangka mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik itulah, pemerintah Republik Indonesia melakukan reformasi di bidang pengelolaan keuangan negara.
Selain itu, reformasi pengelolaan keuangan ini juga dilatarbelakangi masih digunakannya peraturan perundang-undangan peninggalan pemerintah kolonial.
Walau kehendak menggantikan aturan bidang keuangan warisan telah lama dilakukan agar selaras dengan tuntutan zaman, baru pada tahun 2003 hal itu terwujud dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Hal itu senada dengan makin besarnya belanja negara yang dikelola oleh pemerintah sehingga diperlukan suatu metode pengawasan yang memadai. Salah satu bentuknya adalah keterlibatan masyarakat/stakeholders.
Keterlibatan masyarakat ini juga seiring dengan makin besarnya porsi pajak dalam mendanai operasional pemerintahan. Sumber daya alam yang selama ini besar porsinya dalam penerimaan negara makin lama makin berkurang oleh karena jumlah sumber yang terbatas. Pada satu pihak, biaya penyelenggaraan pemerintahan semakin besar. Satu-satunya sumber adalah pajak dari masyarakat.
Agar masyarakat tidak merasa dirugikan, maka diperlukan suatu pertanggungjawaban penggunaan pajak dari masyarakat oleh pemerintah dengan
BAB I PENDAHULUAN
transparan.
Berkenaan dengan perubahan paradigma sistem pemerintahan dan tuntutan masyarakat, maka perlu dilakukan reformasi di bidang keuangan sebagai perangkat pendukung terlaksananya penerapan good governance. Reformasi pengelolaan keuangan dilakukan dengan cara:
1. Penataan peraturan perundang-undangan sebagai landasan hukum;
2. Penataan kelembagaan;
3. Penataan sistem pengelolaan keuangan negara; dan 4. Pengembangan sumber daya manusia di bidang keuangan.
Dengan demikian reformasi manajemen keuangan ini tidak hanya melibatkan Pemerintah Pusat dalam pelaksanaannya, tetapi sekaligus berlaku bagi Pemerintah Daerah.
B. Maksud dan Tujuan
1. Tujuan Instruksional Umum
Setelah mempelajari materi ini, Penyuluh Perbendaharaan diharapkan mampu memahami pengelolaan keuangan negara, termasuk keuangan daerah secara umum dan mampu menjadi instruktur pelatihan keuangan negara.
2. Tujuan Instruksional Khusus
Setelah mempelajari modul ini diharapkan Penyuluh Perbendaharaan:
a. Memahami garis besar dan lingkup pengelolaan keuangan negara;
b. Memahami siklus keuangan negara;
c. Memahami pengelolaan aset pemerintah d. Memahami pelaporan keuangan negara; dan
e. Memahami proses pemeriksaan dan pertanggungjawaban keuangan negara.
C. Deskripsi Ringkas
Materi Modul Pandangan Umum Pengelolaan Keuangan Negara ini disusun dalam rangka memberikan pemahaman umum mengenai pengelolaan keuangan negara.
Sesuai dengan siklus pengelolaan keuangan negara, materi dimulai dengan perencanaan kemudian dilanjutkan dengan penganggaran. Selanjutnya dalam tataran pelaksanaan anggaran dibahas mengenai perbendaharaan, pengelolaan aset, akuntansi dan dilanjutkan dengan pemeriksaan, serta berakhir dengan pertanggungjawaban hasil pengelolaan keuangan negara.
D. Metode Pembelajaran
Metode pembelajaran dalam pelatihan ini dilakukan dengan cara pemaparan konsep-konsep pokok undang-undang di bidang keuangan negara (Undang-Undang No.17 Tahun 2003, Undang-Undang No.1 Tahun 2004, Undang-Undang No.15 Tahun 2004 dan Undang-Undang No.25 Tahun 2004). Keberhasilan pembelajaran ini juga sangat tergantung pada partisipasi aktif dari para peserta latih dalam aktivitas tanya jawab dan diskusi.
BAB II PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP KEUANGAN NEGARA SERTA SIKLUS ANGGARAN
BAB II
PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP
KEUANGAN NEGARA SERTA SIKLUS ANGGARAN
A. Pengertian dan Lingkup Keuangan Negara
Sampai dengan terbitnya UU Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, pengelolaan keuangan negara Republik Indonesia sejak kemerdekaan tahun 1945 masih menggunakan aturan warisan pemerintah kolonial. Peraturan perundangan tersebut terdiri dari Indische Comptabiliteitswet (ICW), Indische Bedrijvenwet (IBW) dan Reglement voor het Administratief Beheer (RAB). ICW ditetapkan pada tahun 1864 dan mulai berlaku tahun 1867, Indische Bedrijvenwet (IBW) Stbl. 1927 No. 419 jo. Stbl. 1936 No. 445 dan Reglement voor het Administratief Beheer (RAB) Stbl. 1933 No. 381. Dengan terbitnya UU No. 17 Tahun 2003 diharapkan pengelolaan keuangan negara “dapat mengakomodasikan berbagai perkembangan yang terjadi dalam sistem kelembagaan negara dan pengelolaan keuangan pemerintahan negara Republik Indonesia.”
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 memberi batasan keuangan negara sebagai “semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut”. Secara rinci sebagaimana diatur dalam pasal 2 UU No. 17 Tahun 2003, cakupan Keuangan Negara terdiri dari :
1. Hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman;
2. Kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga;
3. Penerimaan Negara/Daerah;
4. Pengeluaran Negara/Daerah;
5. Kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/ perusahaan daerah;
6. Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum;
7. Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah.
Cakupan terakhir dari Keuangan Negara tersebut dapat meliputi kekayaan yang dikelola oleh orang atau badan lain berdasarkan kebijakan pemerintah, yayasan- yayasan di lingkungan kementerian negara/lembaga, atau perusahaan negara/daerah.
Dalam pelaksanaannya, ada empat pendekatan yang digunakan dalam merumuskan keuangan negara, yaitu dari sisi obyek, subyek, proses, dan tujuan. Obyek Keuangan Negara meliputi semua ”hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter, dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, serta segala sesuatu baik berupa uang, maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.” Selanjutnya dari sisi subyek/pelaku yang mengelola obyek yang ”dimiliki negara, dan/atau dikuasai oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Perusahaan Negara/Daerah, dan badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan negara.”
Dalam pelaksanaannya, proses pengelolaan keuangan negara mencakup seluruh rangkaian kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan obyek sebagaimana tersebut di atas mulai dari perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan pertanggungjawaban. Pada akhirnya, tujuan pengelolaan keuangan negara adalah untuk menghasilkan kebijakan, kegiatan dan hubungan hukum yang
BAB II PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP KEUANGAN NEGARA SERTA SIKLUS ANGGARAN
berkaitan dengan pemilikan dan/atau penguasaan obyek KN dalam rangka penyelenggaraan kehidupan bernegara.
B. Siklus APBN
Pengelolaan keuangan negara setiap tahunnya dituangkan dalam APBN. Dengan demikian seluruh program/kegiatan pemerintah harus dituangkan dalam APBN (azas universalitas) dan tidak diperkenankan adanya program/kegiatan yang dikelola di luar APBN (off budget).
Siklus APBN terdiri dari:
1. Perencanaan dan Penganggaran
Perencanaan dan penganggaran merupakan suatu rangkaian kegiatan yang terintegrasi. Program yang akan dilaksanakan oleh Pemerintah wajib dituangkan dalam suatu rencana kerja. Ketentuan tentang perencanaan ini diatur dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.
Rencana kerja terdiri dari RPJP untuk masa 20 tahun, RPJM untuk masa 5 tahun, dan RKP untuk masa 1 tahun. Di tingkat Kementerian Negara/Lembaga untuk rencana jangka menengah disebut Rencana Strategis Kementerian Negara/Lembaga. (Renstra KL) dan untuk rencana kerja tahunan disebut Rencana Kerja Kementerian Negara/Lembaga (Renja KL) sebagaimana diatur dalam UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan dan Pembangunan Nasional.
Berdasarkan UU No. 17 tahun 2003, anggaran disusun berdasarkan rencana kerja (Renja KL). Dengan demikian, yang memperoleh alokasi anggaran adalah program/kegiatan prioritas yang tertuang dalam rencana kerja dan menjadi Rencana Kerja dan Anggaran (RKA KL). Sementara itu, untuk Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara disusun Rencana Kerja dan Anggaran berupa Rencana
(Revisi PP No. 21 Tahun 2004).
Dengan mekanisme demikian, program/kegiatan pemerintah yang direncanakan itulah yang akan dilaksanakan. RKA-KL dan RDP BUN selanjutnya disampaikan ke Menteri Keuangan untuk dihimpun menjadi RAPBN. RAPBN ini selesai disusun pada awal Agustus untuk disampaikan ke DPR disertai Nota Keuangan.
2. Penetapan Anggaran
Pembahasan RAPBN di DPR dilaksanakan dari bulan Agustus sampai dengan Oktober. Sehubungan dengan pembahasan RAPBN ini, DPR mempunyai hak budget yaitu hak untuk menyetujui anggaran. Dalam hal DPR tidak setuju dengan RAPBN yang diajukan oleh pemerintah, DPR dapat mengajukan usulan perubahan atau menolaknya, namun DPR tidak berwenang untuk mengubah dan mengajukan usulan RAPBN.
Apabila DPR tetap tidak menyetujuinya maka yang berlaku adalah APBN tahun sebelumnya. APBN yang disetujui oleh DPR terinci sampai dengan organisasi, fungsi, program/kegiatan, dan jenis belanja. Dengan APBN yang demikian berarti DPR telah memberikan otorisasi kepada Kementerian Negara/Lembaga untuk melaksanakan program/kegiatan dengan pagu anggaran yang dimilikinya.
APBN yang telah disetujui oleh DPR dan disahkan Presiden menjadi UU APBN dan selanjutnya dimuat dalam Lembaran Negara. UU APBN dilengkapi dengan rincian APBN yang dituangkan dalam Peraturan Presiden tentang Rincian APBN.
3. Pelaksanaan APBN
APBN dilaksanakan oleh Pemerintah untuk periode satu tahun anggaran. Tahun anggaran Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah 1 Januari sampai dengan 31 Desember. Dengan demikian, setelah berakhirnya tahun anggaran tanggal 31 Desember, anggaran ditutup dan tidak berlaku untuk tahun anggaran berikutnya.
Berdasarkan UU APBN dan Perpres Rincian APBN disiapkan dokumen
BAB II PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP KEUANGAN NEGARA SERTA SIKLUS ANGGARAN
pelaksanaan anggaran untuk setiap Kementerian Negara/Lembaga. APBN, walaupun telah diundangkan sebagai UU, tetap merupakan anggaran. Oleh karena itu, azas anggaran yang dikenal dengan nama azas fleksibilitas tetap berlaku. Dalam rangka pelaksanaan azas ini, maka untuk mengakomodasi kondisi riil yang dapat saja berbeda dengan yang diasumsikan pada saat penyusunan anggaran, setiap tengah tahun berjalan dilakukan revisi APBN yang dikenal dengan APBN-Perubahan (APBN-P).
Untuk keperluan penyusunan APBN-P, pemerintah menyampaikan realisasi anggaran semester I disertai prognosis penerimaan dan pengeluaran semester II. Untuk keperluan internal, seluruh Kementerian Negara/Lembaga diwajibkan menyusun Laporan Keuangan Semesteran.
Dalam keadaan darurat, pemerintah dapat melakukan pengeluaran yang tidak tersedia anggarannya. Apabila pengeluaran tersebut terjadi sebelum APBN-P, maka pengeluaran ini dimasukkan dalam APBN-P dan dilaporkan di Laporan Realisasi Anggaran disertai penjelasan. Apabila pengeluaran terjadi setelah APBN-P diundangkan, maka pengeluaran ini dilaporkan dalam Laporan Realisasi Anggaran disertai dengan penjelasan.
Apabila pada akhir tahun terdapat program/kegiatan yang belum selesai dilaksanakan atau anggaran belum terserap, tidak dapat dilanjutkan ke tahun anggaran berikutnya kecuali ada kebijakan pemerintah untuk luncuran APBN.
Namun demikian, berhubung APBN hanya berlaku untuk periode satu tahun, maka apabila ada kebijakan luncuran APBN wajib dimasukkan dalam APBN tahun anggaran berikutnya.
Laporan pertanggungjawaban berupa laporan keuangan. Laporan keuangan dimaksud setidak-tidaknya terdiri dari Laporan Realisasi Anggaran, Neraca, Laporan Arus Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan. Laporan keuangan yang disampaikan ke DPR adalah laporan keuangan yang telah diaudit oleh BPK.
Laporan keuangan tersebut dilampiri dengan laporan keuangan perusahaan
negara dan badan lainnya.
Berdasarkan UU No. 1 Tahun 2004, keseluruhan komponen tersebut dipertanggungjawabkan sebagai wujud akuntabilitas pengelolaan keuangan negara yang ruang lingkupnya telah diuraikan sebelumnya.
Untuk penyusunan LKPP, setiap Kementerian Negara/Lembaga sebagai pengguna anggaran/barang wajib menyampaikan pertanggungjawabannya kepada Presiden yang berupa Neraca, Laporan Realisasi Anggaran dan Catatan atas Laporan Keuangan. Kementerian Negara/Lembaga merupakan entitas pelaporan sehingga terhadap laporan keuangannya dilakukan pemeriksaan oleh BPK untuk memberikan opini atas kewajaran penyajian laporan keuangan.
4. Pemeriksaan Anggaran
Pemeriksaan atas pertanggungjawaban pelaksanaan anggaran dilaksanakan oleh BPK. Pemeriksaan ini dilaksanakan selama 2 bulan setelah laporan pertanggungjawaban atas pelaksanaan anggaran yang berupa laporan keuangan selesai disusun. Disamping itu terdapat pemeriksaan dan pengelolaan keuangan yang dapat dilaksanakan sepanjang tahun. Pemeriksaan ini dapat dilaksanakan oleh BPK ataupun APIP.
5. Pertanggungjawaban atas Pelaksanaan Anggaran
Berdasarkan UU No. 17 Tahun 2003, RUU pertanggungjawaban atas pelaksanaan anggaran disampaikan ke DPR paling lambat akhir bulan Juni tahun berikutnya.
BAB II PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP KEUANGAN NEGARA SERTA SIKLUS ANGGARAN
PENYAMPAIAN PERTANGGUNGJAWABAN ATAS PELAKSANAAN ANGGARAN DALAM BENTUK LAPORAN KEUANGAN
Jan 20X1
Feb 20X1
Mar 20X1
Apr 20X1
Mei 20X1
Jun 20X1
KEMENTERIAN
NEGARA/LEMBAGA MENKEU BPK MENKEU
DPR
- TIN GKAT K/ L - TIN GKAT ESELO N I - TIN GKAT SATKER
LK UN AUDITED AUDIT LK AUDITED
BAB III PERENCANAAN
Pembangunan nasional merupakan upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen bangsa dalam mencapai tujuan bernegara. Agar pembangunan nasional dapat berjalan dengan baik tidak dapat dilepaskan dari tataran demokrasi dan mengacu pada prinsip- prinsip penting yang tidak boleh diabaikan. Prinsip-prinsip tersebut adalah kebersamaan, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, serta kemandirian dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan nasional. Agar kegiatan pembangunan berjalan efektif, efisien, dan bersasaran, diperlukan adanya suatu perencanaan pembangunan yang matang.
Perencanaan, sebagaimana ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) merupakan suatu “proses untuk mementukan tindakan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumber daya yang tersedia.” Perencanaan sangat penting sebagai salah satu proses dalam pengelolaan keuangan negara. Perencanaan sangat bermanfaat dalam (a) mengurangi ketidakpastian serta perubahan di masa datang; (b) mengarahkan semua aktivitas pada pencapaian visi dan misi organisasi; (c) sebagai wahana untuk mengukur tingkat keberhasilan atau kegagalan kinerja suatu organisasi.
A. Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional
Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional diharapkan dapat menjamin tercapainya tujuan dalam bernegara. SPPN mencakup penyelenggaraan perencanaan makro dari semua fungsi pemerintahan yang meliputi semua bidang kehidupan secara terpadu dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Untuk itu diperlukan adanya sistem perencanaan pembangunan nasional. SPPN adalah satu kesatuan tata cara perencanaan pembangunan untuk menghasilkan
BAB III PERENCANAAN
rencana-rencana pembangunan dalam jangka panjang, jangka menengah, dan jangka pendek yang akan dilaksanakan oleh unsur penyelenggara negara dan masyarakat baik di tingkat pusat maupun daerah.
Dalam cakupan waktu, SPPN disusun dalam cakupan tiga periode perencanaan, yaitu:
1. Jangka panjang dalam bentuk Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) dengan jangka waktu 20 tahun;
2. Jangka menengah dalam bentuk Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) yang berjangka waktu 5 tahun; dan
3. Jangka pendek dalam bentuk Rencana Kerja Pemerintah (RKP) dengan periode tahunan.
Selanjutnya, SPPN tersebut disusun dalam rangka mencapai tujuan sebagai berikut :
1. menjamin adanya koordinasi di antara pelaku pembangunan, baik ditingkat pusat, pusat dengan daerah, maupun antar daerah;
2. menjamin terciptanya intergrasi, sinkronisasi, dan sinergi baik antar daerah, antar ruang, antar waktu, antar fungsi pemerintah, maupun antara Pusat dan daerah;
3. menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan pengawasan;
4. mengoptimalkan partisipasi masyarakat; dan
5. menjamin tercapainya penggunaan sumber daya secara efisien, efektif, berkeadilan, dan berkelanjutan.
Dalam suatu perencanaan pembangunan sebagai suatu siklus ada empat tahapan yang dilalui, yakni:
1. Penyusunan rencana;
2. Penetapan rencana;
3. Pengendalian pelaksanaan rencana; dan
4. Evaluasi pelaksanaan rencana.
Keempat tahapan diselenggarakan secara berkelanjutan sehingga secara keseluruhan membentuk satu siklus perencanaan yang utuh. Penyusunan rencana dilaksanakan untuk menghasilkan rancangan lengkap suatu rencana yang siap untuk ditetapkan yang terdiri dari 4 (empat) langkah. Langkah pertama adalah penyiapan rancangan rencana pembangunan yang bersifat teknokratik, menyeluruh, dan terukur. Langkah kedua, masing-masing instansi pemerintah menyiapkan rancangan rencana kerja dengan berpedoman pada rancangan rencana pembangunan yang telah disiapkan. Langkah berikutnya adalah melibatkan masyarakat (stakeholders) dan menyelaraskan rencana pembangunan yang dihasilkan masing-masing jenjang pemerintahan melalui musyawarah perencanaan pembangunan. Sedangkan langkah keempat adalah penyusunan rancangan akhir rencana pembangunan. Selanjutnya adalah penetapan rencana menjadi produk hukum sehingga mengikat semua pihak untuk melaksanakannya.
Pengendalian pelaksanaan rencana pembangunan dimaksudkan untuk menjamin tercapainya tujuan dan sasaran pembangunan yang tertuang dalam rencana melalui kegiatan-kegiatan koreksi dan penyesuaian selama pelaksanaan rencana tersebut oleh pimpinan Kementerian Negara/Lembaga. Selanjutnya Menteri Perencanaan menghimpun dan menganalisis hasil pemantauan pelaksanaan rencana pembangunan dari masing-masing pimpinan Kementerian Negara/Lembaga sesuai dengan tugas dan kewenangannya. Evaluasi pelaksanaan rencana adalah bagian dari kegiatan perencanaan pembangunan yang secara sistematis mengumpulkan dan menganalisis data dan informasi untuk menilai pencapaian sasaran, tujuan, dan kinerja pembangunan. Evaluasi ini dilaksanakan berdasarkan indikator dan sasaran kinerja yang tercantum dalam dokumen rencana pembangunan. Indikator dan sasaran kinerja mencakup masukan (input), keluaran (output), hasil (result), manfaat (benefit) dan dampak (impact). Dalam rangka perencanaan pembangunan, setiap Kementerian Negara/Lembaga, baik pusat maupun daerah, berkewajiban untuk melaksanakan evaluasi kinerja pembangunan yang merupakan dan/atau terkait dengan fungsi dan tanggungjawabnya. Dalam melaksanakan evaluasi kinerja proyek
BAB III PERENCANAAN
pembangunan, Kementerian Negara/Lembaga/Satuan Kerja, baik pusat maupun daerah, mengikuti pedoman dan petunjuk pelaksanaan evaluasi kinerja untuk menjamin keseragaman metode, materi, dan ukuran yang sesuai untuk masing- masing jangka waktu sebuah rencana.
B. Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) merupakan suatu dokumen perencanaan pembangunan untuk periode 20 (dua puluh) tahun. Perencanaan ini bersifat makro yang memuat “penjabaran dari tujuan dibentuknya pemerintahan Negara Indonesia yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dalam bentuk visi, misi, dan arah pembangunan Nasional.” Proses penyusunan RPJP dilakukan secara partisipatif dengan melibatkan seluruh unsur pelaku pembangunan.
Penyusunan RPJP dilakukan dalam 4 tahap, yaitu:
1. Penyiapan Rancangan RPJP, dimana kegiatan ini dibutuhkan guna mendapatkan gambaran awal dari visi, misi, dan arah pembangunan nasional.
2. Musyawarah perencanaan pembangunan (Musrenbang) jangka panjang yang dilaksanakan untuk mendapatkan masukan dan komitmen dari seluruh pemangku kepentingan/stakeholders terhadap rancangan RPJP.
3. Penyusunan Rancangan Akhir RPJP. Seluruh masukan dan komitmen hasil Musrenbang menjadi masukan utama penyempurnaan rancangan.
Penetapan undang-undang tentang RPJP, di bawah koordinasi Bappenas yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan tugas dan fungsi hukum. Rancangan akhir RPJP beserta lampirannnya disampaikan kepada DPR sebagai inisiatif Pemerintah, untuk diproses lebih lanjut menjadi undang-undang tentang RPJP Nasional.
C. Rencana Pembangunan Jangka Menengah
RPJM Nasional merupakan penjabaran dari visi, misi, dan program kepala negara terpilih yang wajib disusun dalam waktu tiga bulan setelah dilantik. Dalam penyusunannya, RPJMN harus berpedoman pada RPJP Nasional yang memuat strategi pembangunan nasional, kebijakan umum, program, baik di dalam maupun lintas Kementerian Negara/Lembaga, dalam satu maupun lintas kewilayahan, serta kerangka ekonomi makro. Termasuk di dalamnya adalah arah kebijakan fiskal dalam rencana kerja yang berupa kerangka regulasi dan kerangka pendanaan yang bersifat indikatif.
Tahapan Penyusunan RPJM:
1. Penyiapan Rancangan awal RPJM Nasional oleh Bappenas sebagai lembaga yang bertanggung jawab mengkoordinasikan perencanaan pembangunan secara nasional.
2. Penyiapan rancangan Rencana Strategis Kementrian/Lembaga (rancangan Renstra K/L), yang dilakukan oleh seluruh kementerian dan lembaga.
Penyusunan rancangan Renstra ini bertujuan untuk merumuskan visi, misi, tujuan, strategi, kebijakan, program dan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan tugas dan fungsi Kementerian Negara/Lembaga, agar selaras dengan program prioritas kepala negara terpilih.
3. Penyusunan rancangan RPJM Nasional oleh Kementerian Perencanaan. Tahap ini merupakan upaya mengintegrasikan rancangan awal RPJM Nasional dengan rancangan Renstra K/L, yang menghasilkan rancangan RPJM Nasional.
4. Penyelenggaraan Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) jangka menengah nasional. Kegiatan yang dilaksanakan paling lambat dua bulan setelah presiden dilantik ini dilaksanakan guna memperoleh berbagai masukan dan komitmen dari seluruh pemangku kepentingan (stakeholders) atas rancangan RPJM Nasional.
BAB III PERENCANAAN
5. Penyusunan Rancangan Akhir RPJM Nasional, dimana seluruh masukan dan komitmen hasil Musrenbang Jangka Menengah Nasional menjadi masukan utama penyempurnaan rancangan RPJM Nasional.
6. Penetapan Peraturan Presiden tentang RPJM Nasional, di bawah koordinasi kementerian yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan tugas dan fungsi hukum.
D. Rencana Strategis Kementerian Negara/Lembaga
Renstra Kementerian Negara/Lembaga (K/L) memuat visi, misi, tujuan, strategi, kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan yang disusun sesuai dengan tugas dan fungsi K/L serta berpedoman kepada RPJM Daerah dan bersifat indikatif.
Tahapan Penyusunan Renstra K/L adalah sebagai berikut:
1. Mempelajari visi, misi, dan program kepala negara terpilih terhadap tugas dan fungsi Kementerian Negara/Lembaga yang dipimpinnya. Dalam hal ini menteri/kepala lembaga mengkaji implikasi visi, misi, dan program presiden terpilih terhadap tugas pokok dan fungsi K/L yang dipimpinnya dalam bentuk:
a. Memberikan penilaian keterkaitan visi, misi, dan program dalam Renstra K/L pada periode lalu;
b. Mengidentifikasikan program presiden terpilih terhadap capaian kinerja program K/L periode sebelumnya;
c. Membuat kesimpulan.
2. Menyusun Rancangan Renstra K/L dengan berpedoman pada Rancangan Awal RPJM Nasional.
E. Rencana Pembangunan Jangka Tahunan
Rencana Pembangunan Jangka Tahunan adalah perencanaan yang meliputi periode satu tahun yang dalam hal ini disebut sebagai Rencana Kerja Pemerintah dan merupakan penjabaran dari RPJM Nasional. RKP berisi prioritas pembangunan,
menyeluruh, termasuk kebijakan fiskal, serta program K/L, lintas K/L, kewilayahan dalam bentuk kerangka regulasi, dan kerangka pendanaan yang masih bersifat indikatif.
Selain RKP, pada tingkat kemeterian/lembaga disusun Rencana Kerja Kementerian Negara/Lembaga (Renja-KL). Renja-KL disusun berpedoman pada Renstra-KL yang telah ada lebih dulu dan mengacu pada prioritas pembangunan nasional. Penyusunan Renja-KL dilakukan secara bersamaan dengan penyusunan RKP karena keduanya saling terkait. Adapun tahap penyusunan RKP adalah sebagai berikut:
1. penyiapan rancangan awal RKP sebagai penjabaran RPJM Nasional;
2. penyiapkan rancangan Renja-KL sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya dengan mengacu kepada rancangan awal RKP;
3. Bappenas mengkoordinasikan penyusunan rancangan RKP dengan menggunakan rancangan Renja-KL;
4. musyawarah perencanaan pembangunan (Musrembang);
5. penyusunan rancangan akhir rencana kerja berdasarkan hasil Musrembang; dan 6. Penetapan RKP dalam bentuk Peraturan Presiden.
Selanjutnya, RKP ini menjadi pedoman dalam menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Renja-KL menjadi pedoman untuk menyusun Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga (RKA-KL).
BAB V PELAKSANAAN ANGGARAN
BAB IV
PENGANGGARAN
Tujuan suatu negara pada dasarnya adalah memajukan kesejahteraan dan melindungi rakyatnya, serta mencukupi kepentingan-kepentingan lain rakyatnya. Untuk mencapai tujuan tersebut, pemerintah memiliki tugas yang sekaligus melekat pada fungsi negara yang dapat dikategorikan sebagai fungsi reguler/utama negara dan fungsi sebagai agen pembangunan. Kedua fungsi dimaksud dilaksanakan dalam operasional pemerintahan yang sebagian besar terletak di pundak pemerintah.
Fungsi regular/fungsi utama negara adalah melaksanakan tugas yang membawa akibat yang langsung dirasakan oleh masyarakat. Fungsi utama negara terdiri dari empat macam. Pertama negara sebagai political state. Dalam hal ini pemerintah menjalankan fungsi pokoknya dalam pemeliharaan ketenangan, ketertiban, pertahanan, dan keamanan. Kedua negara sebagai legal state yang bertujuan untuk mengatur tata kehidupan bernegara dan tata kehidupan bermasyarakat. Selanjutnya negara sebagai administrative state. Kedudukan ini menitikberatkan pada azas demokrasi yaitu kekuasaan berada di tangan rakyat dan pemerintah hanyalah menerima pendelegasian kekuasaan dari rakyat melalui wakil-wakilnya. Terakhir adalah negara sebagai diplomatical state. Sebagai diplomatical state, negara bertujuan untuk menjalin persahabatan dan memelihara hubungan internasional dengan negara-negara lain.
Fungsi negara lainnya yang wajib dijalankan oleh pemerintah adalah sebagai agent of development. Dalam menjalankan peran ini, pemerintah antara lain bertindak sebagai pendorong inisiatif atau pendorong motivasi rakyat dalam usahanya untuk mengadakan perubahan dan pembangunan masyarakat menuju ke arah kehidupan yang lebih baik, berupa pemberian fasilitas-fasilitas fisik, kemudahan dalam perizinan dan birokrasi, bimbingan dan kebijakan yang diarahkan kepada tercapainya pembangunan. Fungsi ini dibagi lebih lanjut dalam dua peran. Pertama pemerintah sebagai stabilisator apabila
di dalam pembangunan terjadi adanya ketidakstabilan dalam bidang politik, ekonomi, dan sosial budaya. Kedua adalah pemerintah sebagai inovator. Artinya pemerintah harus dapat mengadakan penemuan-penemuan baru dalam metode maupun sistem dalam rangka pembangunan masyarakat dan negara.
Selain menjalankan fungsi reguler dan agent of development, pemerintah memiliki tugas yang lain dan sangat penting yaitu sebagai pengelola keuangan negara yang harus dilaksanakan sesuai dengan tata aturan dan prosedur yang berlaku didalam pemerintahan. Berdasarkan UU No. 17 Tahun 2003, Keuangan Negara adalah “semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.”
Hak negara mencakup untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman. Kewajiban negara mencakup untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga. Pelaksanaan pengelolaan keuangan negara/daerah adalah perencanaan (yang didalamnya terdapat proses penyusunan anggaran).
Untuk itu, pemerintah setiap tahun memiliki hak dan sekaligus kewajiban untuk menyusun anggaran. Anggaran yang disusun oleh pemerintah merupakan wujud perencanaan pembangunan tahunan sekaligus sebagai pedoman pelaksanaan tugas kenegaraan selama satu tahun.
A. Pengertian Anggaran
Kata anggaran merupakan terjemahan dari kata bahasa Inggris budget yang sebenarnya berasal dari bahasa Perancis bougette. Kata ini mempunyai arti sebuah tas kecil. Berdasar dari arti kata asalnya, anggaran mencerminkan adanya unsur keterbatasan. Pada dasarnya anggaran perlu disusun karena keterbatasan sumber daya yang dimiliki pemerintah, dalam hal ini adalah dana. Karena terbatasnya dana, maka diperlukan alokasi sesuai dengan prioritas dan dalam kurun waktu yang telah ditentukan. Ada beberapa pengertian anggaran yang dapat
BAB V PELAKSANAAN ANGGARAN
dikutip.
Anggaran negara (state budget) menurut John F. Due dalam ”Government Finance and Economic Analysis” adalah: ”A budget, in the general sense of the term, is a financial plan for a spesific period of time. A government budget therefore, is a statement of proposed expenditures and expected revenues for the coming period, together with data of actual expenditures and revenues for current and past period.” Sedangkan menurut Wildavsky, anggaran adalah:
1. catatan masa lalu;
2. rencana masa depan;
3. mekanisme pengalokasian sumber daya;
4. metode untuk pertumbuhan;
5. alat penyaluran pendapatan;
6. mekanisme untuk negosiasi;
7. harapan-aspirasi-strategi organisasi;
8. satu bentuk kekuatan kontrol;
9. alat atau jaringan komunikasi.
Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut, anggaran negara meliputi:
1. rencana keuangan mendatang yang berisi pendapatan dan belanja;
2. gambaran strategi pemerintah dalam pengalokasian sumber daya untuk pembangunan;
3. alat pengendalian;
4. instrumen politik; dan
5. disusun dalam periode tertentu.
Selanjutnya, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) menurut UU No.
17 Tahun 2003 merupakan rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
APBN selalu dinanti oleh berbagai kalangan untuk dikaji sejauh mana kemampuan
sumber daya yang terbatas. Anggaran pemerintah setiap tahun selalu berubah- ubah baik jumlah nominal, jenis pendapatan dan alokasi belanja, serta proporsi alokasinya. Pada tahun tertentu, pemerintah memprioritaskan sektor pekerjaan umum, tapi ditahun berikutnya pemerintah memprioritaskan sektor pendidikan dan kesehatan. Hal ini terjadi diakibatkan berbagai faktor, antara lain perkembangan politik, dinamika perekonomian dunia/nasional/daerah, peristiwa sosial/alam, tuntutan masyarakat, dan lain sebagainya.
B. Prinsip-prinsip Penganggaran
Anggaran merupakan rencana keuangan yang secara sistematis menunjukkan alokasi sumber daya manusia, material dan sumber daya lainnya. Berbagai variasi dalam sistem penganggaran pemerintah dikembangkan untuk melayani berbagai tujuan termasuk guna pengendalian keuangan, rencana manajemen, prioritas dari penggunaan dana dan pertanggungjawaban kepada publik.
Secara umum, prinsip-prinsip penganggaran adalah sebagai berikut:
1. Transparansi dan Akuntabilitas Anggaran
APBN harus dapat menyajikan informasi yang jelas mengenai tujuan, sasaran, hasil dan manfaat yang diperoleh masyarakat dari suatu progam dan kegiatan yang dianggarkan. Anggota masyarakat memiliki hak dan akses yang sama untuk mengetahui proses anggaran karena menyangkut aspirasi dan kepentingan masyarakat terutama pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidup masyarakat.
Masyarakat juga berhak untuk menuntut pertanggungjawaban atas rencana ataupun pelaksanaan anggaran tersebut.
2. Disiplin Anggaran
Penyusunan anggaran hendaknya dilakukan berlandaskan asas efisiensi, tepat guna, tepat waktu pelaksanaan dan penggunaannya dapat dipertanggungjawabkan.
BAB V PELAKSANAAN ANGGARAN
Pendapatan yang direncanakan merupakan perkiraan yang terukur secara rasional yang dapat dicapai untuk setiap sumber pendapatan, sedangkan belanja yang dianggarkan pada setiap pos/pasal merupakan batas tertinggi pengeluaran belanja.
Penganggaran pengeluaran harus didukung dengan adanya kepastian tersedia penerimaan dalam jumlah yang cukup dan tidak dibenarkan melaksanakan progam dan kegiatan yang belum/tidak tersedia anggarannya.
3. Keadilan Anggaran
Pemerintah wajib mengalokasikan penggunaan anggaran secara adil agar dapat dinikmati oleh seluruh kelompok masyarakat tanpa diskriminasi dalam pemberian pelayanan. Hal ini dikarenakan sumber daya yang digunakan dalam anggaran berupa pendapatan negara pada hakekatnya diperoleh melalui peran serta seluruh anggota masyarakat.
4. Efisiensi dan Efektifitas Anggaran
Dana yang tersedia harus dimanfaatkan sebaik mungkin untuk dapat menghasilkan peningkatan dan kesejahteraan yang maksimal untuk kepentingan masyarakat
5. Disusun dengan pendekatan kinerja
APBN disusun dengan pendekatan kinerja, yaitu mengutamakan upaya pencapaian hasil kerja (keluaran dan hasil) dari perencanaan atas alokasi biaya atau masukan/input yang telah ditetapkan. Hasil kerja harus sepadan atau lebih besar dari biaya atau masukan. Selain itu juga harus mampu menumbuhkan profesionalisme kerja pada setiap unit kerja yang terkait.
C. Anggaran Berbasis Kinerja
Anggaran berbasis kinerja merupakan metode penganggaran bagi manajemen
untuk mengaitkan setiap biaya yang dituangkan dalam kegiatan-kegiatan dengan manfaat yang dihasilkan. Manfaat tersebut didiskripsikan pada seperangkat tujuan dan dituangkan dalam target kinerja pada setiap unit kerja.
Bagaimana cara agar tujuan itu dapat dicapai, dituangkan dalam program diikuti dengan pembiayaan pada setiap tingkat pencapaian tujuan. Program pada anggaran berbasis kinerja didefinisikan sebagai keseluruhan aktivitas, baik aktivitas langsung maupun tidak langsung yang mendukung program sekaligus melakukan estimasi biaya-biaya berkaitan dengan pelaksanaan aktivitas tersebut. Aktivitas tersebut disusun sebagai cara untuk mencapai kinerja tahunan. Dengan kata lain, integrasi dari rencana kinerja tahunan (Renja) yang merupakan rencana operasional dari Renstra dan anggaran tahunan merupakan komponen dari anggaran berbasis kinerja
Elemen-elemen yang penting untuk diperhatikan dalam penganggaran berbasis kinerja adalah:
1. Tujuan yang disepakati dan ukuran pencapaiannya;
2. Pengumpulan informasi yang sistematis atas realisasi pencapaian kinerja dapat diandalkan dan konsisten, sehingga dapat diperbandingkan antara biaya dengan prestasinya
Penyediaan informasi secara terus-menerus sehingga dapat digunakan dalam manajemen perencanaan, pemograman, penganggaran, dan evaluasi
Kondisi yang harus disiapkan sebagai faktor pemicu keberhasilan implementasi penggunaan anggaran berbasis kinerja, yaitu:
1. Kepemimpinan dan komitmen dari seluruh komponen organisasi;
2. Fokus penyempurnaan administrasi secara terus menerus;
3. Sumber daya yang cukup untuk usaha penyempurnaan tersebut (uang, waktu dan orang);
4. Penghargaan (reward) dan sanksi (punishment) yang jelas;
BAB V PELAKSANAAN ANGGARAN
5. Keinginan yang kuat untuk berhasil.
D. Perencanaan Kinerja
Perencanaan Kinerja adalah aktivitas analisis dan pengambilan keputusan ke depan untuk menetapkan tingkat kinerja yang diinginkan di masa mendatang. Pada prinsipnya perencanaan kinerja merupakan penetapan tingkat capaian kinerja yan dinyatakan dengan ukuran kinerja dalam rangka mencapai sasaran atau target yang telah ditetapkan.
Perencanaan merupakan komponen kunci untuk lebih mengefektifkan dan mengefisienkan Pemerintah Daerah. Sedangkan perencanaan kinerja membantu pemerintah untuk mencapai tujuan yang sudah diidentifikasikan dalam rencana strategis, termasuk didalamnya pembuatan terget kinerja dengan menggunakan ukuran-ukuran kinerja.
Tingkat pelayanan yang diinginkan pada dasarnya merupakan indikator kinerja yang diharapkan dapat dicapai oleh Pemerintah Daerah dalam melaksanakan kewenangannya. Selanjutnya untuk penilaian kinerja dapat digunakan ukuran penilaian didasarkan pada indikator sebagai berikut:
1. Masukan (Input)
Masukan adalah segala sesuatu yang dibutuhkan agar pelaksanaan kegiatan dapat berjalan untuk menghasilkan keluaran. Indikator merupakan tolok ukur kinerja berdasarkan tingkat atau besaran sumber-sumber: dana, sumber daya manusia, material, waktu, teknologi, dan sebagainya yang digunakan untuk melaksanakan program atau kegiatan. Dengan meninjau distribusi sumber daya, suatu lembaga dapat menganalisis apakah alokasi sumber daya yang dimiliki telah sesuai dengan rencana strategis yang telah ditetapkan. Tolok ukur ini dapat juga digunakan untuk perbandingan (benchmarking) dengan lembaga- lembaga lain yang relevan. Contoh indikator masukan untuk kegiatan
‟penyuluhan lingkungan sehat untuk daerah pemukiman masyarakat kurang
mampu‟ adalah jumlah dana yang dibutuhkan dan tenaga penyuluh kesehatan.
Walaupun tolok ukur masukan relatif mudah diukur serta telah digunakan secara luas, namun seringkali dipergunakan secara kurang tepat sehingga dapat menimbulkan hasil evaluasi yang rancu atau bahkan menyesatkan. Beberapa hal berikut ini sering dijumpai dalam menetapkan tolok ukur masukan yang dapat menyesatkan:
a. Pengukuran Sumber Daya Manusia tidak menggambarkan intensitas keterlibatannya dalam pelaksanaan kegiatan.
b. Pengukuran biaya tidak akurat karena banyak biaya-biaya yang dibebankan ke suatu kegiatan tidak mempunyai kaitan yang kuat dengan pencapaian sasaran kegiatan tersebut.
c. Banyaknya biaya-biaya masukan (input) seperti gaji bulanan personalia pelaksana, biaya pendidikan dan pelatihan, dan biaya penggunaan peralatan dan mesin seringkali tidak diperhitungkan sebagai biaya kegiatan.
2. Keluaran (output)
Keluaran adalah produk berupa barang atau jasa yang dihasilkan dari program atau kegiatan sesuai dengan masukan yang digunakan. Indikator keluaran adalah sesuatu yang diharapkan langsung dicapai dari suatu kegiatan yang dapat berupa fisik dan/atau non fisik.
Dengan membandingkan indikator keluaran instansi dapat menganalisis sejauh mana kegiatan terlaksana sesuai dengan rencana. Indikator keluaran hanya dapat menjadi landasan untuk menilai kemajuan suatu kegiatan apabila tolok ukur dikaitkan dengan sasaran-sasaran kegiatan yang terdefinisi dengan baik dan terukur. Oleh karenanya indikator keluaran harus sesuai dengan lingkup dan sifat kegiatan instansi. Untuk kegiatan yang bersifat penelitian berbagai indikator kinerja yang berkaitan dengan keluaran paten dan publikasi ilmiah sering dipergunakan baik pada tingkat kegiatan maupun instansi. Untuk
BAB V PELAKSANAAN ANGGARAN
kegiatan yang bersifat pelayanan teknis, indikator yang berkaitan dengan produk, pelanggan, serta pendapatan yang diperoleh dari jasa tersebut mungkin lebih tepat untuk digunakan.
Beberapa indikator keluaran juga bermanfaat untuk mengidentifikasikan perkembangan instansi. Sebagai contoh besarnya pendapatan yang diperoleh melalui pelayanan teknis, kontrak riset, besarnya retribusi yang diperoleh, serta perbandingannya dengan keseluruhan anggaran instansi, menunjukkan perkembangan kemampuan instansi memenuhi kebutuhan pasar, serta mengindikasikan tingkat ketergantungan instansi yang bersangkutan pada APBN.
Dalam mempergunakan indikator keluaran, beberapa permasalahan berikut perlu dipertimbangkan:
a. Perhitungan keluaran seringkali cenderung belum menentukan kualitas.
Sebagai contoh jumlah layanan medik di RSU mungkin belum memperhitungkan kualitas layanan yang diberikan.
b. Indikator keluaran sering kali tidak dapat menggambarkan semua keluaran kegiatan, terutama yang bersifat intangible. Sebagai contoh, banyak hasil penelitian yang walaupun mengandung penemuan yang baru, namun karena berbagai pertimbangan tertentu tidak dapat dipatenkan.
3. Hasil (outcome)
Hasil adalah segala sesuatu yang mencerminkan berfungsinya keluaran kegiatan pada jangka menengah (efek langsung). Indikator hasil adalah sesuatu manfaat yang diharapkan diperoleh dari keluaran. Tolok ukur ini menggambarkan hasil nyata dari keluaran suatu kegiatan. Pada umumnya para pembuat kebijakan paling tertarik pada tolok ukur hasil dibandingkan dengan tolok ukur lainnya.
Namun untuk mengukur indikator hasil, informasi yang diperlukan seringkali tidak lengkap dan tidak mudah diperoleh. Oleh karenanya setiap instansi perlu
kegiatan.
Pengukuran indikator hasil seringkali rancu dengan pengukuran indikator keluaran. Sebagai contoh „penghitungan jumlah bibit unggul‟ yang dihasilkan oleh suatu kegiatan merupakan tolok ukur keluaran. Namun „penghitungan besar produksi per hektar‟ yang dihasilkan oleh bibit-bibit unggul tersebut atau
„penghitungan kenaikan pendapatan petani‟ pengguna bibit unggul tersebut merupakan tolok ukur hasil. Dari contoh tersebut, dapat pula dirasakan bahwa penggunaan tolok ukur hasil seringkali tidak murah dan memerlukan waktu yang tidak pendek, karena validitas dan reliabilitasnya tergantung pada skala penerapannya. Contoh nyata yang membedakan antara indikator output dan indikator outcome adalah pembangunan gedung sekolah dasar. Secara output gedung sekolah dasar tersebut telah seratus persen berhasil dibangun. Akan tetapi belum tentu gedung tersebut diminati oleh masyarakat setempat.
Indikator outcome lebih utama dari pada sekedar output. Walaupun produk telah dicapai dengan baik, belum tentu secara outcome kegiatan tersebut telah dicapai. Outcome menggambarkan tingkat pencapaian atas hasil yang lebih tinggi yang mungkin menyangkut kepentingan banyak pihak. Dengan indikator outcome, organisasi akan mengetahui apakah hasil yang telah diperoleh dalam bentuk output memang dapat dipergunakan sebagaimana mestinya dan memberikan kegunaan yang besar bagi masyarakat banyak.
Pencapaian indikator kinerja outcome ini belum tentu akan dapat terlihat dalam jangka waktu satu tahun. Seringkali outcome baru terlihat setelah melewati kurun waktu lebih dari satu tahun, mengingat sifatnya yang bukan hanya sekedar hasil. Dan mungkin juga indikator outcome tidak dapat dinyatakan dalam ukuran kuantitatif akan tetapi lebih bersifat kualitatif.
E. Target Kinerja
Setelah indikator kinerja ditentukan, mulailah disusun target kinerja untuk setiap indikator kinerja yang telah ditentukan. Target kinerja adalah tingkat kinerja
BAB V PELAKSANAAN ANGGARAN
yang diharapkan dicapai terhadap suatu indikator kinerja dalam satu tahun anggaran tertentu dan jumlah pendanaan yang telah ditetapkan. Target kinerja harus mempertimbangkan sumber daya yang ada dan juga kendala-kendala yang mungkin timbul dalam pelaksanaannya. Ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi dalam menentukan target kinerja yang baik, seperti dapat dicapai, ekonomis, dapat diterapkan, konsisten, menyeluruh, dapat dimengerti, dapat diukur, stabil, dapat diadaptasi, legitimasi, seimbang, dan fokus kepada pelanggan.
Beberapa faktor yang harus dipertimbangkan dalam penetapan target kinerja:
a. Memiliki dasar penetapan sebagai justifikasi penganggaran yang diprioritaskan pada setiap fungsi/bidang pemerintahan
b. Memperhatikan tingkat pelayanan minimum yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah terhadap suatu kegiatan tertentu.
c. Kelanjutan setiap program, tingkat inflasi, dan tingkat efisiensi menjadi bagian yang penting dalam menentukan target kinerja.
d. Ketersediaan sumber daya dalam kegiatan tersebut: dana, SDM, sarana, prasarana pengembangan teknologi, dan lain sebagainya.
e. Kendala yang mungkin dihadapi di masa depan
Penetapan target kinerja kinerja harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. Spesifik
Berarti unik, menggambarkan obyek/subyek tertentu, tidak berdwimakna atau diinterpretasikan lain
b. Dapat diukur
Secara obyektif dapat diukur baik yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif c. Dapat Dicapai (attainable)
Sesuai dengan usaha-usaha yang dilakukan pada kondisi yang diharapkan akan dihadapi
d. Realistis;
e. Kerangka waktu pencapaian (time frame) jelas; dan
f. Menggambarkan hasil atau kondisi perubahan yang ingin dicapai.
F. Standar Analisis Belanja
Standar Analisa Belanja (SAB) merupakan salah satu komponen yang harus dikembangkan sebagai dasar pengukuran kinerja keuangan dalam penyusunan APBN dengan pendekatan kinerja. SAB adalah standar untuk menganalisis anggaran belanja yang digunakan dalam suatu program atau kegiatan untuk menghasilkan tingkat pelayanan tertentu sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
SAB digunakan untuk menilai kewajaran beban kerja dan biaya setiap program atau kegiatan yang akan dilaksanakan oleh Unit Kerja dalam satu tahun anggaran.
Penilaian terhadap usulan anggaran belanja dikaitkan dengan tingkat pelayanan yang akan dicapai melalui program atau kegiatan. Usulan anggaran belanja yang tidak sesuai dengan SAB akan ditolak atau direvisi sesuai standar yang ditetapkan. Rancangan APBN disusun berdasarkan hasil penilaian terhadap anggaran belanja yang diusulkan unit kerja.
Dalam rangka menyiapkan rancangan APBN, SAB merupakan standar atau pedoman yang bermanfaat untuk menilai kewajaran atas beban kerja dan biaya terhadap suatu kegiatan yang direncanakan oleh setiap unit kerja. SAB dalam hal ini digunakan untuk menilai dan menentukan rencana program, kegiatan dan anggaran belanja yang paling efektif dan upaya pencapaian kinerja. Penilaian kewajaran berdasarkan SAB berkaitan dengan kewajaran biaya suatu program atau kegiatan yang dinilai berdasarkan hubungan antara rencana alokasi biaya dengan tingkat pencapaian kinerja program atau kegiatan yang bersangkutan.
Disamping atas dasar SAB, dalam rangka menilai usulan anggaran belanja dapat juga dilakukan berdasarkan kewajaran beban kerja yang dinilai berdasarkan kesesuaian antara program atau kegiatan yang direncanakan oleh suatu unit kerja dengan tugas pokok dan fungsi unit kerja yang bersangkutan.
Penerapan SAB pada dasarnya akan memberikan manfaat antara lain: (1) mendorong setiap unit kerja untuk lebih selektif dalam merencanakan program dan atau kegiatannya, (2) menghindari adanya belanja yang kurang efektif dalam
BAB V PELAKSANAAN ANGGARAN
upaya pencapaian kinerja, (3) mengurangi tumpang tindih belanja dalam kegiatan investasi dan non investasi.
G. Standar Biaya
Standar biaya merupakan komponen lain yang harus dikembangkan sebagai dasar untuk mengukur kinerja keuangan dalam sistem anggaran kinerja, selain Standar Analisa Biaya dan tolok ukur kinerja. Standar biaya adalah harga satuan unit biaya yang berlaku. Penerapan standar biaya ini membantu penyusunan anggaran belanja suatu program atau kegiatan bagi setiap K/L dan unit kerja yang ada agar kebutuhan atas suatu kegiatan yang sama tidak berbeda biayanya. Pengembangan standar biaya akan dilakukan dan diperbaharui secara terus menerus sesuai dengan perubahan harga yang berlaku.
H. Penyusunan RKA K/L
Penyusunan RKA-K/L dilakukan dengan tiga pendekatan, yaitu pendekatan pengeluaran jangka menengah, terpadu dan prestasi kerja. Pendekatan kerangka pengeluaran jangka menengah (KPJM) dilaksanakan dengan menyusun prakiraan maju yang berisi perkiraan kebutuhan anggaran untuk program dan kegiatan yang direncanakan dalam tahun anggaran berikutnya dari tahun anggaran yang direncanakan dan merupakan implikasi kebutuhan dana untuk pelaksanaan program dan kegiatan tersebut pada tahun berikutnya.
Penyusunan RKA-KL dengan pendekatan penganggaran terpadu dilakukan dengan mengintegrasikan seluruh proses perencanaan dan penganggaran di lingkungan K/L untuk menghasilkan dokumen rencana kerja dan anggaran.
Penyusunan RKA-KL dengan pendekatan prestasi kerja dilakukan dengan memperhatikan keterkaitan antara pendanaan dengan keluaran yang diharapkan dari kegiatan dan hasil yang diharapkan dari program termasuk efisiensi dalam pencapaian hasil dan keluaran tersebut.
kegiatan menurut fungsi untuk tahun yang direncanakan, dirinci sampai dengan rincian objek pendapatan, belanja, serta prakiraan maju untuk tahun berikutnya.
Penyusunan RKA-KL diawali dengan penyusunan Renja-KL yang memuat kebijakan, program, dan kegiatan yang dilengkapi sasaran kinerja dengan mengacu pada prioritas pembangunan nasional dan pagu indikatif serta prakiraan maju untuk tahun anggaran berikutnya. Tahap ini merupakan tahap dimulainya mengaitkan rencana kerja dengan jumlah anggaran yang tersedia dan persiapan untuk menyusun RKA-KL. Selanjutnya Renja dimaksud ditelaah oleh Bappenas berkoordinasi dengan Menteri Keuangan. Koordinasi ini dilakukan atas pendaanan dan pengkodean.
Berdasarkan hasil pembahasan pokok-pokok kebijakan umum fiskal dan RKP antara pemerintah dengan DPR, Menteri Keuangan menerbitkan SE tentang Pagu Sementara bagi masing-masing program pada K/L pada pertengahan bulan Juni.
Pagu Sementara ini merupakan dasar bagi K/L untuk menyesuakan Rencana Kerja mereka menjadi RKA-KL yang dirinci per kegiatan untuk setiap unit kerja yang ada di K/L. Selanjutnya hasil penyusunan RKA ini akan dibahas oleh K/L dengan komisi di DPR yang mitra kerjanya.
RKA-K/L hasil pembahasan kemudian diserahkan kepada Menteri Perencanaan untuk ditelaah. Penelaahan dilakukan oleh MenteriPerencanaan untuk kesesuaiannya dengan RKP dan oleh Menkeu untuk kesesuaiannya dengan Pagu Sementara. Hal ini dilakukan untuk menjaga konsistensi penganggaran dengan perencanaan dan prioritas pembangunan nasional serta tidak melampaui pagu.
Tahap akhir dari penyusunan RKA-KL ini adalah menghimpun seluruh RKA hasil telaahan untuk dijadikan bahan menysusun rancangan APBN dan nota keuangan.
Tahap ini dilakukan oleh Menkeu dan hasilnya akan dibahas dalam sidang kabinet.
I. Rencana Dana Pengeluaran BUN
Dalam PP 90 Tahun 2010 telah diatur mekanisme dan landasan hukum tata cara
BAB V PELAKSANAAN ANGGARAN
penyusunan rencana kerja dan anggaran dari Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara. Menteri Keuangan selaku Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara menetapkan unit organisasi di lingkungan Kementerian Keuangan sebagai Pembantu Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara.
Pada awal tahun, Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara dapat berkoordinasi dengan Menteri/Pimpinan Lembaga atau pihak lain terkait penyusunan indikasi kebutuhan dana pengeluaran Bendahara Umum Negara untuk tahun anggaran yang direncanakan dengan memperhatikan prakiraan maju dan rencana strategis yang telah disusun.
Indikasi kebutuhan dana pengeluaran Bendahara Umum Negara tersebut merupakan indikasi dana dalam rangka pemenuhan kewajiban pemerintah yang penganggarannya hanya ditampung pada Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara Kementerian Keuangan. Kebutuhan dana untuk Bagian Anggaran BUN meliputi dana untuk:
1. transfer ke daerah;
2. bunga utang;
3. subsidi;
4. hibah (dan penerusan hibah);
5. kontribusi sosial;
6. dana darurat/penanggulangan bencana alam;
7. kebutuhan mendesak (emergency),
8. cadangan untuk mengantisipasi perubahan kebijakan (policy measures) 9. dana transito;
10. cicilan utang;
11. dana investasi Pemerintah;
12. penyertaan modal negara;
13. dana bergulir;
14. dana kontinjensi;
16. kebutuhan lain-lain yang tidak dapat direncanakan.
Selanjutnya dalam menetapkan pagu dana pengeluaran Bendahara Umum Negara, Menteri Keuangan berpedoman pada:
1. arah kebijakan yang ditetapkan oleh Presiden;
2. prioritas anggaran;
3. RKP hasil kesepakatan Pemerintah dan DPR dalam pembicaraan pendahuluan pembahasan Rancangan APBN;
4. indikasi kebutuhan dana pengeluaran Bendahara Umum Negara; dan 5. evaluasi Kinerja penggunaan dana Bendahara Umum Negara.
J. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) terdiri dari Pendapatan, Belanja, dan Pembiayaan. Anggaran Pendapatan merupakan estimasi pendapatan yang mungkin dicapai dalam periode yang bersangkutan. Kelompok anggaran pendapatan terdiri dari penerimaan dalam negeri dan hibah.
Anggaran belanja merupakan batas tertinggi pengeluaran yang dapat dibebankan pada APBN. Belanja klasifikasikan menurut organisasi, fungsi, program dan kegiatan, serta jenis belanja. Klasifikasi belanja menurut organisasi disesuaikan dengan susunan organisasi pemerintahan.
Klasifikasi belanja menurut fungsi yang digunakan untuk tujuan terdiri dari:
1. pelayanan umum;
2. ketertiban dan keamanan;
3. pertahanan;
4. ekonomi;
5. lingkungan hidup;
6. perumahan dan fasilitas umum;
7. kesehatan;
8. pariwisata dan budaya;
BAB V PELAKSANAAN ANGGARAN
9. agama;
10. pendidikan; serta 11. perlindungan sosial.
Klasifikasi belanja menurut program dan kegiatan disesuaikan dengan rencana kerja masing-masing Kementerian Negara/Lembaga.
Klasifikasi belanja menurut jenis belanja terdiri dari:
1. belanja pegawai;
2. belanja barang dan jasa;
3. belanja modal;
4. bunga;
5. subsidi;
6. hibah;
7. bantuan sosial; dan 8. belanja lainnya.
Selain jenis belanja di atas, terdapat kelompok belanja ke daerah yang terdiri dari Dana Perimbangan dan Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian.
Dari uraian di atas, siklus penganggaran yang merupakan kelanjutan dari perencanaan secara terintegrasi dan kaitannya dengan proses perancanaan dan penganggaran oleh pemerintah daerah dapat digambarkan secara utuh seperti gambar berikut ini.
BAB V
PELAKSANAAN ANGGARAN
A. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) merupakan suatu dokumen yang sangat penting artiya dalam penyelenggaraan pemerintahan suatu Negara.
Undang_Undang APBN mencerminkan otorisasi yang diberikan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kepada Pemerintah untuk melaksanakan program- program pembangunan dalam batas-batas anggaran yang telah ditetapkan.
Anggaran pendapatan merupakan estimasi penerimaan (estimated revenue) yang diperkirakan akan diterima dalam satu tahun anggaran, sedangkan anggaran belanja merupakan pagu anggaran belanja yang disediakan untuk membiayai program dan kegiatan selama satu tahun anggaran (appropriation). Undang-undang APBN inilah yang mengatur program dan kegiatan yang dapat dilaksanakan oleh Pemerintah dalam suatu tahun anggaran.
Selanjutnya Undang-Undang APBN dijabarkan lebih lanjut dalam Peraturan Presiden tentang Rincian APBN, yang dalam istilah keuangan Negara dikenal sebagai apportionment. Peraturan Presiden dimaksud diperlukan sebagai landasan operasional bagiPemerintah untuk melaksanakan APBN.
Periode pelaksanaan APBN adalah satu tahun, yaitu dari 1 Januari sampai dengan 31 Desember. Dalam rangka menjaga agar APBN dapat dilaksanakan secara tepat waktu maka dalam Undang-Undang 17/2003 maupun PP 90/2010 telah ditentukan kalender anggarannya, yaitu APBN harus sudah diundangkan paling lambat bulan Oktober tahun sebelumnyan demikian diperlukan agar Pemerintah mempunyai waktu yang cukup untuk menyiapkan dokumen pelaksanaan anggaran. Demikian pula bagi Pemerintah Daerah, diharapkan dengan ditetapkannya APBN pada bulan
BAB V PELAKSANAAN ANGGARAN
Oktober, mereka dapat menyelesaikan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah secara tepat waktu.
B. Dokumen Pelaksanaan Anggaran
Dokumen pelaksanaan anggaran memuat alokasi anggaran yang disediakan kepada pengguna anggaran. Alokasi anggaran pendapatan disebut Estimasi pendapatan yang dialokasikan dan alokasi anggaran belanja disebut allotment. Dokumen pelaksanaan anggaran di Pemerintah Pusat disebut Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) sedangkan di Pemerintah daerah disebut Dokumen Pelaksanaan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (DPA SKPD).
Paradigma baru dalam pengelolaan keuangan Negara adalah beralihnya konsep administrasi keuangan (financial administration) ke manajemen keuangan (financial management). Hal ini memerlukan pembaharuan pada setiap fungsi manajemen, baik pada tataran perencanaan, pengangaran, pelaksanaan anggaran, akuntansi dan pertanggungjawaban, serta pemeriksaan. Semua fungsi diarahkan pada pemanfaatan sumber daya secara efisien dan efektif dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Salah satu pendekatan yang digunakan dalam refomasi manajemen keuangan Negara adalah “let the managers manage”. Dengan pendekatan ini kepada pengguna anggaran diberikan fleksibilitas untuk melaksanakan anggaran. Pengguna anggaran diberikan kewenangan untuk menyusun DIPA sesuai dengan program dan kegiatan yang telah ditetapkan serta plafon anggaran yang telah disediakan.
Dengan mekanisme yang demikian maka kepada para pengguna anggaran diberikan fleksibilitas yang seluas-luasnya untuk mengatur anggarannya, dituangkan dalam DIPA sesuai dengan kebutuhan.
Namun demikian mekanisme check and balance tetap dilaksanakan sehingga DIPA yang disusun oleh pengguna anggaran tidak serta merta langsung diberlakukan, namun harus dibahas dulu dengan Kementerian Keuangan, dalam hal ini
Perbendaharaan untuk memperoleh pengesahan. Pembahasan ini merupakan pelaksanaan fungsi pengendalian, dilakukan untuk meyakini bahwa DIPA disusun sesuai dengan Undang-Undang APBN serta menggunakan standar harga yang wajar sesuai dengan ketentuan.
Anggaran dalam DIPA diklasifikasikan terinci sampai organisasi, fungsi, sub fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja. Dengan demikian maka azas spesialitas benar-benar digunakan di sini, yaitu anggaran secara spesifik disediakan untuk membiayai kegiatan tertentu dan tidak dapat digeser tanpa mekanisme revisi DIPA sesuai ddengan ketentuan.
Sehubungan dengan diberlakukannya manajemen keuangan dalam pengelolaan keuangan Negara maka setiap pengguna anggaran wajib menyusun rencana penarikan dana untuk setiap progam/kegiatan yang ada dalam DIPA. Hal yang sama berlaku untuk penerimaan, yaitu rencana penerimaan pendapatan juga disiapkan jika penguna anggaan tersebut mempunyai alokasi anggaran pendapatan.
Informasi tentang rencana penarikan dana serta rencana penerimaan ini diperlukan oleh Bendahara Umum Negara untuk menyusun anggaran kas.
Suatu hal yang perlu diingat dalam anggaran adalah digunakannya pendekatan anggaran berbasis kinerja. Anggaran berbasis kinerja mengamanatkan bahwa anggaran dialokasikan berdasarkan prestasi kerja yang akan dicapai. Yang dimaksud dengan prestasi kerja adalah output atau outcome yang dihasilkan atau akan dihasilkan dari pelaksanaan suatu kegiatan atau program. Dengan demikian maka dalam dokumen pelaksanaan anggaran perlu adanya informasi tentang indikator kinerja berikut target yang akan dicapai dari suatu kegiatan atau program dengan dana yang disediakan dalam anggaran.