• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi diikuti dengan. meningkatnya pola hidup masyarakat yang semakin maju berupa peningkatan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi diikuti dengan. meningkatnya pola hidup masyarakat yang semakin maju berupa peningkatan"

Copied!
52
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi diikuti dengan meningkatnya pola hidup masyarakat yang semakin maju berupa peningkatan taraf hidup, tingkat pendidikan, serta wawasan ilmu pengetahuan yang luas.

Kehidupan baru yang terjadi di daerah perkotaan, ditandai dengan adanya ketegangan dan benturan norma dan nilai yang lebih luas, perubahan sosial yang demikian cepat, mobilitas penduduk yang meningkat, serta adanya penekanan yang lebih besar kepada kepentingan individu dibandingkan kepentingan bersama, dan penghargaan yang lebih tinggi kepada hal-hal yang bersifat materi.

Sehubungan dengan itu masyarakat memerlukan aturan-aturan yang mengatur hubungan antar warganya, dan adanya penyimpangan dari aturan- aturan tersebut dianggap mengacaukan tatanan kehidupan masyarakat. Hal ini terlihat dari perilaku masyarakat berupa penyimpangan sosial yang menyebabkan gangguan terhadap keamanan dan ketertiban masyarakat. Sebagaimana dikemukakan Reksodiputro bahwa penyimpangan sosial merupakan salah satu akibat yang harus diterima oleh masyarakat yang sedang membangun.1 Disatu pihak, masyarakat sedang mengalami transformasi kearah masyarakat modren,

1 Mardjono Reksodiputro, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, Kumpulan Karangan Buku Kedua, (Jakarta : Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, Univeristas Indonesia, 1994), hal.

39.

(2)

sedangkan di lain pihak masyarakat tidak mudah menerima perilaku apa yang dianggap sebagai penyimpangan sosial.

Mengenai penyimpangan sosial ini Sadli berpendapat bahwa penyimpangan sosial atau disebut juga sebagai penyimpangan perilaku merupakan salah satu bentuk kejahatan. 2 Kejahatan sebagai salah satu masalah sosial yang menarik perhatian masyarakat, cenderung meningkat baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya. Dipandang dari sudut formil (menurut hukum) kejahatan adalah suatu perbuatan yang oleh masyarakat (dalam hal ini negara) diberi pidana.3 Di dalam hukum pidana kejahatan merupakan perbuatan pidana yang diatur dalam buku II Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan dalam aturan-aturan lain di luar KUHP. Dalam konteks sosial kejahatan merupakan fenomena sosial yang terjadi pada setiap tempat dan waktu.4 Hal ini menunjukkan bahwa kejahatan merupakan perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan sehingga dapat dianggap mengacaukan tatanan kehidupan masyarakat.

Salah satu aspek dalam upaya merealisasikan pencegahan kejahatan adalah dengan meningkatkan pengetahuan tentang sebab-sebab timbulnya kejahatan.

Sehubungan dengan sebab timbulnya kejahatan, Topo Santoso mengemukakan bahwa “kejahatan bukan merupakan warisan biologis, namun disebabkan oleh faktor sosiologis”.5

2 Saparinah Sadli, Persepsi Sosial Mengenai Perilaku Menyimpang, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), hal. 6.

3 W.A. Bonger, Pengantar Tentang Kriminologi, (Jakarta: Pembangunan Ghalia Indonesia, 1981), hal. 21.

4 Andi Matalata, Santunan Bagi Korban, dalam J.E. Sahetapy, Viktimilogi Sebuah Bunga Rampai, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987), hal. 55.

5 Topo Santoso, Eva Achjani Zulfa, Krimonologi, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), hal. 12.

(3)

Besarnya pengaruh lingkungan sosial terhadap pikiran dan kepribadian individu sangat menentukan, sehingga perilaku manusia merupakan ciptaan dari masyarakat itu sendiri, sebagaimana dikemukakan oleh Sutherland bahwa perilaku jahat dapat dipelajari sebagaimana perilaku lainnya. Beliau juga mengemukakan faktor lingkungan sosial ikut menentukan. dan dengan sendirinya faktor komunikasi memegang peranan.6 Dengan demikian perilaku jahat bisa terwujud apabila tidak terdapat keseimbangan dengan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku.

Masalah kriminalitas merupakan suatu kenyataan sosial yang tidak berdiri sendiri, tetapi berkaitan dengan masalah sosial, ekonomi, politik, dan budaya, sebagai fenomena yang ada dalam masyarakat dan saling mempengaruhi satu sama lain. Walaupun masyarakat memiliki berbagai macam perilaku yang berbeda, namun di dalamnya terdapat bagian-bagian tertentu yang memiliki pola yang sama. Hal ini disebabkan adanya sistem kaedah dalam masyarakat.

Dalam arti kriminologis kejahatan adalah perilaku yang bersifat tidak susila dan merugikan, menimbulkan banyak ketidak tenangan dalam suatu masyarakat tertentu, sehingga masyarakat itu berhak untuk mencelanya dan menyatakan penolakannya atas kelakuan itu dalam bentuk nestapa dengan sengaja diberikan karena kelakuan tersebut. 7

Salah satu jenis pemidanaan yang banyak diterapkan sebagai sanksi yang dianggap mampu untuk mencegah berbagai jenis kejahatan adalah pidana

6 J.E. Sahetapy, Pisau Analisis Kriminologi, (Bandung : Ctra Aditya Bakti, 2005), hal. 63.

7 Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawabannya, (Jakarta: Aksara Baru, 1983), hal. 17.

(4)

penjara. Dibutuhkannya pidana penjara secara nyata dapat dilihat saat bekerjanya hukum pidana di dalam masyarakat. Hukum pidana yang berisi kumpulan aturan yang mengandung larangan dan akan mendapat sanksi pidana atau hukuman apabila dilanggar. Oleh karena itu fungsi hukum pidana dengan sanksinya berupa pidana merupakan sarana dalam menanggulangi kejahatan. Sehubungan dengan itu menurut G. Piter Hofnagels, bahwa upaya penanggulangan kejahatan dalam konsep kebijakan penanggulangan kejahatan secara geris besar dapat dibagi dua, yaitu melalui jalur penal (hukum pidana) dan non penal. Upaya penanggulangan kejahatan melalui sarana “penal” lebih menitikberatkan pada sifat “represif”

(penindasan pemberantasan) sesudah kejahatan terjadi, sedangkan jalur “non penal” lebih menitik beratkan pada sifat “prevensi” (pencegahan / pengendalian) sebelum kejahatan terjadi. 8

Dalam setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah harus dilihat dalam tiga hal, yaitu struktur, substansi, dan kultur. Hal ini penting agar pihak yang berwenang sebagai pengambil keputusan jangan sampai terjebak oleh kebijakan yang bersifat pragmatis, berupa suatu kebijakan yang didasarkan pada kebutuhan sesaat (jangka pendek) sehingga tidak dapat bertahan untuk jangka panjang, dan dapat merugikan masyarakat itu sendiri.

Upaya penanggulangan kejahatan pada hakikatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa tujuan akhir atau tujuan

8 Sunarto, D.M., Kebijakan Penanggulangan Penyerobotan Tanah, oleh Masyarakat di Propinsi Lampung, Ringkasan Disertasi, U.I. Fak. Hukum, Program Pascasarjana, 2003, hal. 9.

(5)

utama dari politik kriminal adalah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.

Ada tiga syarat untuk tegaknya hukum dan keadilan di masyarakat : Pertama; adanya peraturan hukum yang sesuai dengan aspirasi masyarakat.

Kedua; adanya aparat penegak hukum yang profesional dan bermental tangguh atau memiliki integritas moral terpuji. Ketiga; adanya kesadaran hukum masyarakat yang memungkinkan dilaksanakannya penegakan hukum.9

Untuk merealisasikan tujuan-tujuan hukum tidak bisa dilepaskan dari komponen-komponen yang ada dalam sistem hukum dan faktor-faktor sosial di luar sistem hukum. Adapun komponen-komponen sistem hukum yang berpengaruh terhadap bekerjanya hukum adalah, komponen yang bersifat struktural (kelembagaan), komponen kultural dan komponen substantif.

Komponen kultural adalah nilai-nilai dan sikap-sikap yang mengikat sistem itu.

Namun dilihat dari sudut kebijakan hukum pidana, dalam arti kebijakan menggunakan/memfungsikan hukum pidana, masalah sentral atau masalah pokok sebenarnya terletak pada masalah seberapa jauh kewenangan/kekuasaan mengatur dan membatasi tingkah laku manusia (warga masyarakat/pejabat) dengan hukum pidana. Ini berarti masalah dasarnya terletak di luar bidang hukum pidana itu sendiri, yaitu pada masalah hubungan kekuasaan/hak antara negara dan warga masyarakat. Jadi berhubungan dengan konsep nilai (pandangan/idiologi) sosiofilosofis, sosiopolitik dan sosiokultural dari suatu masyarakat, bangsa/negara.

9 Baharudin Lopa, Permasalahan Pembinaan dan Penegakan Hukum di Indonesia, (Jakarta:

Bulan Bintang, 1987), hal. 3 - 4.

(6)

Kebijakan menggunakan hukum pidana sebagai salah satu sarana penanggulangan kejahatan dilakukan melalui proses sistematik, yaitu melalui apa yang disebut sebagai penegakan hukum pidana dalam arti luas, yaitu penegakan hukum pidana dilihat sebagai suatu proses kebijakan, yang pada hakikatnya merupakan penegakan kebijakan yang melewati beberapa tahapan sebagai berikut:10

a. Tahap formulasi, yaitu tahap penegakan hukum inabstrakto oleh badan pembuat undang-undang, disebut juga sebagai tahap kebijakan legislatif.

b. Tahap aplikasi, yaitu tahap penerapan hukum pidana oleh aparat penegak hukum mulai dari Kepolisian sampai Pengadilan, disebut juga sebagai tahap kebijakan yudikatif.

c. Tahap eksekusi, yaitu tahap pelaksanaan hukuman pidana secara konkrit oleh aparat-aparat pelaksana pidana. Tahap ini dapat disebut tahap kebijakan eksekutif atau administratif.

Tahap formulasi atau kebijakan legislatif merupakan tahap awal yang paling strategis dari keseluruhan perencanaan proses fungsionalisasi atau operasionalisasi hukum pidana. Tahap ini menjadi dasar atau landasan dan pedoman bagi tahap aplikasi dan tahap eksekusi. Pada dasarnya terdapat dua masalah pokok yang perlu diperhatikan dalam kebijakan hukum pidana (penal policy), khususnya dalam tahap formulasi yaitu masalah penentuan perbuatan

10 Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Semarang : UNDIP, 1995), hal. 13. Lihat juga Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1998), hal. 115.

(7)

apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana dan masalah penentuan sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar.11

Dalam arti yang sempit, maka tahap kebijakan kedua dan ketiga biasanya disebut sebagai kegiatan penegakan hukum (Law Enforcement). Menyangkut pilihan pidana yang digunakan dalam kebijakan formulasi, dari berbagai jenis sanksi pidana yang dikenal dalam hukum pidana, pidana penjara merupakan jenis sanksi pidana yang paling banyak digunakan dalam perumusan hukum pidana di Indonesia selama ini. Untuk itu di dalam menjatuhkan pidana kepada pelaku tindak pidana, dibutuhkan proses panjang dan selektif serta adil, karena harus menjunjung tinggi hak-hak setiap warga negara. Dengan demikian sanksi berupa pidana merupakan sarana penting yang dimiliki oleh masyarakat maupun negara.

Akan tetapi dalam perkembangannya banyak kalangan yang mempersoalkan kembali jenis pidana ini. Hal tersebut terutama berkenaan dengan masalah efektifitas serta dampak negatif dari penggunaan pidana penjara itu.12

Sebagai akibat banyaknya penggunaan pidana penjara pada tahap kebijakan formulatif, maka dalam tahap kebijakan aplikatif pidana penjara menjadi jenis pidana yang dominan dalam penerapannya, yang pada tahap berikutnya bermuara pada persoalan pelaksanaan (eksekusi) terpidana penjara.

Penggunaan hukum pidana sebagai sarana penanggulangan kejahatan, dalam implementasinya pada tahap kebijakan aplikatif dan eksekutif, dilaksanakan melalui mekanisme sistem peradilan pidana, yaitu suatu sistem yang melibatkan Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan Lembaga Pemasyarakatan. Tujuan dari sistem ini adalah berupa: 1) resosialisasi (jangka pendek); 2) penanggulangan kejahatan (jangka menengah), dan 3) kesejahteraan

11 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002), hal. 24.

12 Barda Nawawi Arief, Op. cit, hal. 4, 46. Sehubungan dengan hal tersebut Muladi berpendapat, masalah pidana adalah suatu masalah yang dewasa ini secara universal terus dicari pemecahannya. Masalah tersebut adalah ketidakpuasan masyarakat terhadap pidana perampasan kemerdekaan, yang dalam berbagai penelitian terbukti sangat merugikan baik terhadap individu yang dikenai pidana, maupun terhadap masyarakat. Muladi, “Proyeksi Hukum Pidana Materiil Indonesia di Masa Datang”, Naskah Pidato Pengukuhan Guru Besar FH UNDIP, Semarang, 24 Pebruari 1990.

(8)

sosial (jangka panjang). Sistem ini mendapat input berupa kejahatan dari masyarakat, dan nantinya setelah melalui proses peradilan pidana akan dikembalikan lagi pada masyarakat (out put).13 Dengan demikian peran masyarakat menjadi penting di sini. Karena kejahatan itu muncul (diproduksi) oleh masyarakat, maka masyarakat juga harus ikut bertanggung jawab dalam pengembaliannya pada lingkungan masyarakatnya.

Norma hukum sebagai salah satu sistem norma yang bekerja secara berbarengan dengan sistem norma yang lainnya (norma agama, norma kesusilaan, dan norma kesopanan) dalam masyarakat, menempatkan hukum pidana, sekaligus peradilan pidana pada kedudukan yang strategis sebagai sarana ketertiban, dan ketenteraman bagi berlangsungnya interaksi fungsional di antara sistem sosial yang ada. Dalam kerangka sistem ini, bekerjanya sistem peradilan pidana sangat dipengaruhi oleh sistem sosial lainnya, seperti sistem ekonomi, sistem teknologi, sistem pendidikan, sistem politik, dan sebagainya. Mengenai kedudukan sistem peradilan pidana dalam struktur pelapisan sistem-sistem sosial seperti yang dikemukakan oleh La Patra sebagaimana dikutip Reksodiputro14.

13 Muladi, Op cit, hal. 1.

14 Mardjono, Op. Cit, hal. 99.

(9)

Gambar Lapisan-lapisan dalam Sistem Peradilan Pidana

Ekonomi Teknologi Pendidikan Politik

Kepolisian Kejaksaan Pengadilan Pemasyarakatan Lapisan 3 :

Sub sistem SPP Lapisan 2 :

Lapisan 1 : Masyarakat

Gambar di atas memperlihatkan proses kerja sistem peradilan pidana yang selalu dipengaruhi dan tergantung dari lapisan sistem sosial yang lebih luas, yang secara keseluruhan juga merupakan satu kesatuan sistem yang utuh.

Jika diamati dari segi hubungan fungsional antara tiap sub-sistem peradilan pidana dalam menjalankan tugasnya akan terlihat adanya suatu tata aliran kerja sistem yang berawal dari masyarakat dan berakhir pula di dalam masyarakat itu sendiri. Komponen-komponen yang bekerja sama dalam sub sistem ini adalah Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan Lembaga Pemasyarakatan. Keempat komponen ini bekerja sama secara terpadu untuk menanggulangi kejahatan.

Sistem peradilan pidana disebut juga criminal justice system, dapat diartikan sebagai suatu sistem dalam masyarakat untuk menanggulangi kejahatan.

Hal ini merupakan salah satu tujuan dari sistem peradilan pidana secara universal, sehingga cakupan tugas sistem peradilan pidana memang demikian

(10)

luas. Hal ini dikemukakan oleh Reksodiputro bahwa peradilan pidana sebagai suatu sistem mempunyai tugas yang meliputi:

(11)

a. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan.

b. Menyelesaikan kejahatan yang terjadi, sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana.

c. Berusaha agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi perbuatannya.

15

Dalam bekerjanya sistem peradilan pidana, ke-empat komponen (Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan Pemasyarakatan) tersebut, saling terkait dan diharapkan adanya suatu kerja sama yang terintegrasi. Jika terdapat kelemahan pada salah satu sistem kerja komponennya, maka akan mempengaruhi komponennya lainnya dalam sistem yang terintegrasi itu. Bahkan ada suatu kecenderungan yang kuat di Indonesia untuk memperluas komponen sistem peradilan pidana ini dalam pengertian Law Enforcement Officer, yaitu para pengacara/advokat.

16

15 Mardjono, Op. cit, hal. 140. Menurut Mardjono dalam Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, Kumpulan Karangan, Buku ke I, Jakarta, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (d/h Lembaga Kriminilogi), Universitas Indonesia, 1994, hal. 85. Sistem peradilan pidana ini dianggap berhasil apabila sebagian besar dari laporan maupun keluhan masyarakat yang menjadi korban kejahatan dapat diselesaikan, dengan diajukannya pelaku kejahatan ke sidang pengadilan dan diputus bersalah serta mendapat pidana. Komponen-komponen yang bekerja sama dalam sistem ini adalah terutama instansi atau badan yang kita kenal dengan nama Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan Lembaga Pemasyarakatan. Empat komponen ini diharapkan bekerjasama membentuk apa yang dikenal dengan nama Suatu Integrated Criminal Justice System.

16 Ibid, hal 85. Usaha memperluas makna law enforcement officer yang kuat di Indonesia sehingga mencakup profesi pengacara/advokat ini adalah dalam kaitan menunjuk istilah yang berbeda antar profesi hukum dengan penegak hukum. Profesi hukum menurut Mardjono hanya dapat ditunjuk pada lulusan pendidikan tinggi (Fakultas Hukum) yang menjalankan profesi (jabatan; profession;

occupations; beroep) dalam masyarakat, dalam hal ini dapat dikatakan adalah kumpulan orang-orang selaku pengacara (advokat) ataupun jaksa dan hakim dan tidak termasuk di dalamnya dosen maupun polisi. Sedangkan istilah penegak hukum dalam artis sempit adalah Polisi yang juga mencakup Jaksa, dan pekembangan terakhi di Indonesia adalah kecenderungan untuk memasukkan profesi pengacara/advokat sebagai law enforcement officer, berdasarkan suatu alasan bahwa keberadaan profesi advokat/pengacara/penasehat hukum telah mendapat pengakuan legistlatif dalam suatu sistem peradilan pidana Indonesia sebagai tertuang dalam aturan normatif KUHAP.

(12)

Keberhasilan sistem peradilan pidana dalam menjalankan tugas seperti tersebut di atas, ditentukan pula oleh sikap saling menunjang dalam suatu keterpaduan gerak langkah dari masing-masing sub- sistem yang ada. Sebab jika tidak demikian maka secara keseluruhan akan mengalami kesulitan dalam upaya mencapai tujuan bersama.

Pembahasan mengenai proses masukan (narapidana) di lembaga

pemasyarakatan sangat kurang, apabila dibandingkan dengan pembicaraan mengenai ketiga subsistem lainnya. Demikian pula dalam kebijakan

penegakan hukum pidana (politik kriminal) secara terpadu kurang melibatkan petugas lembaga pemasyarakatan dan narapidana. Hal itu antara lain terlihat dari adanya peraturan perundang-undangan tentang kepolisian, kejaksaan dan pengadilan serta lembaga pemasyarakatan.

Peraturan Penjara (Gestichten Reglement 1917) sebagai aplikasi Pasal 10 KUHP yang dirumuskan tentang “stelsel pidana” Indonesia, mempunyai falsafah yang sama dengan falsafah hakekat, fungsi, dan tujuan pemidanaan yang terdapat dalam KUHP, yaitu lebih berorientasi kepada “pengimbalan”.

Oleh karena Peraturan Penjara tersebut sampai sekarang masih berlaku, meskipun pada saat ini tidak diterapkan lagi sistem kepenjaraan, melainkan sistem pemasyarakatan, falsafah pembalasan itu masih melekat pada sebagian besar petugas lembaga pemasyarakatan di Indonesia.

Peraturan Penjara sebagai produk masyarakat individualis/liberalis (Belanda) menitikberatkan perlakuan terhadap narapidana terletak pada posisi individu itu sendiri. Hal demikian sesuai dengan pemidanaan yang berorientasi pula pada individu, sehingga timbullah pidana perampasan kemerdekaan, yang

(13)

menggantikan pidana badan dan pidana mati. Sasaran pokok pidana itu agar individu bertobat dan tidak melanggar hukum lagi. Selain itu merupakan contoh bagi orang lain, agar tidak melakukan perbuatan melanggar hukum.

Oleh karena pandangan individualis/liberalis tidak sesuai dengan pandangan masyarakat Indonesia yang bersifat sosialis-religius, maka berbagai usaha dilakukan untuk memperbaharui sistem pemidanaan dan pelaksanaan pidana tersebut.

Mengenai pelaksanaan pidana penjara, semula diatur dalam “Gestichten Reglemen” atau Reglemen Penjara, Stb tahun 1971, no. 708, tanggal 10 Desember 1917. Namun sejak keluarnya Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan (selanjutnya disebut UU No. 12/1995), maka reglemen penjara sudah tidak berlaku lagi. Dalam rangka pembaharuan sistem pelaksanaan pidana penjara maka pada tahun 1964, istilah sistem kepenjaraan telah diubah menjadi sistem pemasyarakatan, dan istilah penjara diganti menjadi lembaga pemasyarakatan.

Sistem Pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga negara yang baik dan bertanggung

(14)

jawab (UU No. 12/1995 Tentang Pemasyarakatan Pasal 1 ke – 2). Lembaga Pemasyarakatan adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan (UU No. 12/1995 Tentang Pemasyarakatan Pasal 1 ke – 3).

Perubahan dan penggantian ini dimulai atas usul mantan Menteri Kehakiman RI, almarhum Sahardjo yang mengemukakan, bahwa penghukuman bukanlah hanya untuk melindungi masyarakat semata-mata, melainkan harus pula berusaha membina si pelanggar hukum Pelanggar hukum tidak lagi disebut

“penjahat”, melainkan ia adalah orang yang “tersesat”. Seseorang yang tersesat akan selalu dapat bertobat dan ada harapan dapat mengambil manfaat sebesar- besarnya dari sistem pembinaan yang diterapkan kepadanya. Pandangan Sahardjo tersebut memperoleh tanggapan positif dan diterima oleh Direktorat Pemasyarakatan waktu itu. Dan telah diadakan suatu Konferensi Dinas Direktur- Direktur Penjara seluruh Indonesia yang diadakan di Lembang, “Treatment System of Offenders” yang di dalamnya memuat sepuluh prinsip umum pemasyarakatan.17 Dari prinsip-prinsip pemasyarakatan ini jelas terlihat bahwa Sahardjo menginginkan adanya pengintegrasian narapidana, petugas, dan masyarakat. Pemasyarakatan tidak hanya sekedar rehabilitasi dan resosialisasi narapidana, tetapi harus ada mata rantai pemulihan hubungan sosial narapidana dengan masyarakat berupa penerimaan kembali bekas narapidana di dalam masyarakat.

17 A. Soemadipradja dan Romli Atmasasmita, Sistem Pemasyarakatan di Indonesia. (Bandung:

Bina Cipta, 1979), hal. 15.

(15)

Sejak saat itulah perlakuan terhadap narapidana mengalami perubahan fundamental, yaitu dari “pembalasan” berubah menjadi “pembinaan”. Demikian pula terdapat pembahasan atau perhatian terhadap narapidana dalam rangka keikutsertaannya dalam kebijakan integral penegakan hukum pidana yang diselenggarakan oleh sistem peradilan pidana.

Di dalam Naskah Rancangan Undang-Undang KUHP (RUU) tahun 2005, telah dirumuskan ketentuan tentang : Tujuan Pemidanaan, Pedoman Pemidanaan, dan Pedoman Penerapan Pidana Penjara. Tentang Tujuan Pemidanaan antara lain dirumuskan tentang perlunya “…, memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadikannya orang yang baik dan berguna”, dan bahwa “…. pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia”. Sedangkan dalam pedoman pemidanaan dirumuskan tentang hal yang wajib dipertimbangkan hakim adalah

“… pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat. 18

Selanjutnya dalam undang-undang harus ada ketentuan yang jelas tentang tugas-tugas dan kewenangan petugas pembina kemasyarakatan, serta kewajiban dan tanggung jawab mereka. Di samping itu pemerintah bertanggung jawab untuk mendidik tenaga-tenaga pembina ini, sehingga mereka benar-benar dapat menguasai bidangnya masing-masing. Dengan demikian mereka dapat memberikan saran atau masukan-masukan kepada Hakim tentang metode

18 Mardjono Reksodiputro, “Strategi Pembinaan Narapidana Dalam Konteks Tujuan Pemidanaan,” Seminar Nasional Pemasyarakatan, Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 24 Juli 1995, hal. 6.

(16)

pembinaan yang sesuai dengan latar belakang narapidana dan kondisi lembaga pemasyarakatan (lembaga pemasyarakatan tempat mereka bertugas sebagai pembina).

Pemidanaan pada hakikatnya adalah mengasingkan narapidana dari

lingkungan masyarakat serta sebagai salah satu upaya penjeraan. Oleh sebab itu, sebagaimana dikatakan oleh Mardjono Reksodiputro, “menjalani pidana bukan untuk mencabut hak-hak asasi yang melekat pada dirinya sebagai manusia. Karena itu perlindungan yang diberikan oleh Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP), terhadap harkat dan martabat manusia, tetap mengikat terpidana juga ke dalam penjara”.19

Perlindungan terhadap hak-hak narapidana di Indonesia, dijamin di dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (selanjutnya disebut UU No. 39/1999) yang memberi jaminan akan perlindungan ini seperti pada Pasal 29 ayat (a): “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan hak miliknya.”

Sedangkan ayat (a) menyatakan, “Setiap orang berhak atas pengakuan di depan hukum sebagai manusia pribadi di mana saja ia berada.”. Memahami Pasal 29 UU No. 39/1999, jelas bahwa narapidana sebagai ciptaan Tuhan

19 Mardjono Reksodiputro, Hak Tersangka dan Terdakwa Dalam KUHAP Sebagai Dari Hak- Hak Warga Negara (Civil Rights), tentang KUHAP, (Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, 1990), hal. 2.

(17)

walaupun menjadi terpidana, hak-hak yang melekat pada dirinya harus dilindungi walaupun di dalam penjara.

Upaya pembaharuan sistem pelaksanaan pidana penjara di Indonesia, telah dirintis sejak tahun 1951. Setelah melalui berbagai pengkajian, pada tahun 1964 berhasil dirumuskan sistem baru dalam pelaksanaan pidana penjara di Indonesia, yang disebut dengan “Sistem Pemasyarakatan”, untuk

menggantikan “Sistem Kepenjaraan” yang berlaku sebelumnya.

Meskipun sistem pemasyarakatan telah dicetuskan dan diaplikasikan sejak tahun 1964, namun pengaturan mengenai sistem tersebut secara sistematis dalam bentuk undang-undang dan perangkat aturan pendukungnya baru dapat diwujudkan pada tahun 1995, melalui UU No. 12/ 1995. Mengenai tujuan sistem pemasyarakatan, dalam Pasal 2 UU No. 12 / 1995 disebutkan bahwa sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk warga binaan pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulang tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.

Adapun fungsi dari sistem pemasyarakatan seperti disebutkan dalam Pasal 3 UU No. 12 / 1995 adalah, “. . . menyiapkan warga binaan pemasyarakatan agar dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat, sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat bebas dan bertanggung jawab”.

(18)

Menyangkut tentang asas dari sistem pemasyarakatan, dalam Pasal 5 UU No. 12 / 1995 dirumuskan sebagai berikut :

Sistem pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan asas : a. pengayoman;

b. persamaan perlakuan dan pelayanan;

c. pendidikan;

d. pembimbingan;

e. penghormatan harkat dan martabat manusia;

f. kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan, dan;

g. terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang- orang tertentu.

Dalam penjelasan Pasal 5 UU No. 12 / 1995 ini disebutkan, bahwa asas tersebut merupakan pencerminan dari 10 prinsip dasar pemasyarakatan.

Hal di atas secara lebih tegas lagi terlihat dari penjelasan umum undang-undang ini. Di situ antara lain disebutkan, bahwa : . . . pemidanaan tidak lagi sekedar penjeraan tetapi juga merupakan suatu usaha rehabilitasi dan reintagrasi sosial Warga Binaan Pemasyarakatan. Narapidana bukan saja obyek melainkan juga subyek yang tidak berbeda dari manusia lainnya yang sewaktu-waktu dapat melakukan kesalahan atau kekhilafan yang dapat dikenakan pidana. Pemidanaan adalah upaya untuk menjadi warga masyarakat yang baik, taat hukum, menjunjung tinggi nilai-nilai moral, sosial dan keagamaan sehingga tercapai kehidupan masyarakat yang aman, tertib dan damai.

(19)

Lembaga pemasyarakatan sebagai salah satu wadah pembinaan narapidana, pada hakekatnya harus mampu berperan di dalam pembangunan manusia seutuhnya, di samping sebagai wadah untuk mendidik manusia terpidana agar menjadi manusia yang berkualitas. Lembaga pemasyarakatan juga berfungsi sebagai lembaga pendidikan harus mampu meningkatkan nilai tambah bagi narapidana, dengan memberikan program pembinaan berupa keterampilan, pelatihan kemandirian, dan bimbingan kerohanian, yang kesemuanya untuk pembekalan diri baik mental, spiritual, bagi narapidana kembali ke masyarakat.

Program pembinaan terhadap narapidana yang menunjang ke arah integrasi dengan masyarakat sangat diperlukan, sebagaimana yang dikemukakan oleh Saroso, bahwa : Seluruh proses pembinaan narapidana selama proses pemasyarakatan merupakan suatu kesatuan yang integral menuju ke tujuan mengembalikan narapidana ke masyarakat bebas dengan bekal kemampuan (mental, fisik, keahlian, keterampilan, sedapat mungkin juga finansial dan materil) yang dibutuhkan untuk menjadi warga yang baik dan berguna.20

Namun kenyataannya lembaga pemasyarakatan bukan lagi sebagai wadah pembinaan, karena buruknya kondisi penjara seiring dengan kelebihan kapasitas penghuni lembaga pemasyarakatan. Kelebihan kapasitas ini terjadi hampir diseluruh lembaga pemasyarakatan yang ada di Indonesia. Dengan kelebihan kapasitas ini maka akan menimbulkan persoalan baru di dalam kehidupan narapidana di lembaga pemasyarakatan, seperti halnya kamar untuk narapidana yang seharusnya dihuni 7

20 Saroso, “Sistem Pemasyarakatan”, Ceramah pada Lokakarya Evaluasi Sistem Pemasyarakatan tanggal 20-22 Maret 1975, (Bandung: Bina Cipta), hal. 67.

(20)

(tujuh) orang menjadi 17 (tujuh belas) orang bahkan 25 (dua puluh lima) orang. Di samping itu narapidana ditempatkan dalam satu blok tanpa melihat jenis kejahatannya, dan lamanya pidana yang dijalaninya, sehingga narapidana yang hukumannya hanya 1 tahun dapat dipengaruhi oleh narapidana yang hukuman 5 tahun atau lebih. Demikian juga halnya dengan narapidana yang jenis kejahatannya pencurian, penipuan, pembunuhan, dan lain-lain, bergabung dalam 1 blok dan tidak dipisah-pisahkan. Hal ini dapat mempengaruhi perilaku narapidana satu sama lain.

Begitu juga halnya dalam pembinaan narapidana, tidak terdapat perbedaan antara narapidana yang jenis kejahatannya pencurian dengan pembunuhan, dan juga lamanya pidana yang dijalani, sehingga pembinaan yang berlangsung sama untuk semua narapidana. Dengan demikian maka terjadilah berupa pemaksaan sistem sosial yang berlaku di kalangan narapidana di dalam lembaga pemasyarakatan. Sistem dan nilai-nilai sosial yang berkembang di dalam lembaga menjadi kebiasaan dan budaya di kalangan narapidana yang berkembang menjadi prisonisasi. Dalam hal ini setiap narapidana harus dapat mensosialisasikan dirinya dengan nilai-nilai sosial dan budaya di dalam lembaga pemasyarakatan, sehingga berakibat buruk terhadap perilaku narapidana.

Donald Clemmer menggunakan konsep “Prisonization” untuk

menggambarkan proses sosialisasi antara narapidana di dalam penjara. Secara tegas ia mendefenisikan Prisonisasi sebagai berikut : The taking on, in greater or less degree, of the folkways, mores, custom and general culture of the

(21)

penitentiary21 (besar kecilnya pengaruh tatacara kehidupan narapidana, moral, kebiasaan, dan kultur umum di dalam penjara).

Dari istilah di atas dapat dipahami bahwa prisonisasi dimaksudkan sebagai proses penyerapan tata cara kehidupan di dalam penjara. Proses penyerapan tersebut dilakukan dengan proses belajar (learning process) dalam berinteraksi antar sesama narapidana. Dengan demikian, untuk menentukan tinggi rendahnya pengaruh tata cara kehidupan dalam penjara ditentukan oleh erat tidaknya kontak interpersonal antar narapidana. Kultur kehidupan narapidana mempunyai

pengaruh yang besar terhadap kehidupan individual narapidana, sehingga setiap penghuni penjara (narapidana) akan menjalani proses penyesuaian dengan kehidupan di dalamnya.

Sehubungan dengan masalah prisonisasi ini, maka tidak dapat dipungkiri bahwa di dalam lembaga pemasyarakatan setiap narapidana harus menjalani proses sosialisasi dengan tatacara kehidupan narapidana di dalam lembaga pemasyarakatan, baik berupa kebiasaan, moral, maupun budaya yang tumbuh dan berkembang di dalam lembaga pemasyarakatan. Tata cara kehidupan di dalam lembaga pemasyarakatan tersebut mengantarkan narapidana untuk berkenalan sekaligus menjalani kehidupan baru terutama bagi narapidana yang baru masuk ke dalam lembaga pemasyarakatan.

Besar kecilnya pengaruh prisonisasi terhadap narapidana dapat mengubah perilaku narapidana menjadi lebih buruk dari sebelum menjadi narapidana Hal ini disebabkan nilai-nilai sosial yang diorganisir oleh narapidana bertentangna dengan

21 Donal Clemmer dalam S. Leon and Marvin E. Wolfgang, Crime and Justice, (New York Basic Books, Inc. Publishers), hal. 194.

(22)

nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat pada umumnya, seperti adanya kelompok- kelompok di dalam lembaga pemasyarakatan yang didasarkan kepada kesukuan atau pun asal daerah, maupun klas sosial, misalnya kelompok ambon, batak, aceh dan lain- lain, juga ada anak atas, yakni narapidana dari kalangan mampu dari segi ekonomi dan sering mendapat kunjungan keluarga, anak bawah yakni narapidana yang tidak mampu dan mendapat perlakuan semena-mena, anak hilang yakni narapidana yang tidak pernah dikunjungi oleh keluarganya, dan lain-lain.22

Di samping kelompok-kelompok dan klas-klas sosial tersebut, ada lagi kelompok-kelompok dibawah koordinasi KPLP (Kesatuan Pengamanan Lembaga Pemasyarakatan) yang mempunyai hubungan langsung dengan para narapidana.

Kelompok ini dinamakan Tahanan Pendamping (Tamping) yakni narapidana yang ditunjuk dan diangkat oleh pimpinan LP untuk membantu pekerjaan para petugas LP.

Juga ada Kepala Kamar (Palkam) yang mempunyai kekuasaan dalam mengatur kehidupan di dalam sel seperti pembagian kerja dan jumlah iuran yang harus dibayar oleh narapidana.23

Dengan demikian para narapidana harus dapat menyesuaikan dirinya dengan sistem sosial yang berlaku di dalam lembaga pemasyarakatan, sekalipun sistem tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Untuk itu penulis ingin mengkaji masalah prisonisasi yang terjadi di dalam lembaga pemasyarakatan, khususnya di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Tanjung Gusta Medan.

22 Rahardi Ramelan, Cipinang Desa Tertinggal, (Jakarta: Republika, 2008), hal. 108.

23 Ibid, hal. 94.

(23)

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

1. Faktor-faktor apakah yang menyebabkan terbentuknya prisonisasi di dalam lembaga pemasyarakatan?

2. Apakah akibat prisonisasi terhadap narapidana di dalam lembaga pemasyarakatan ? 3. Upaya-upaya apakah yang dilakukan untuk mengatasi prisonisasi ?

C. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan permasalahan tersebut di atas, maka tujuan yang akan dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk memperoleh gambaran tentang faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya prisonisasi.

2. Untuk mengetahui akibat prisonisasi terhadap narapidana di dalam lembaga pemasyarakatan.

3. Untuk mengetahui upaya-upaya yang dilakukan dalam mengatasi prisonisasi..

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat baik secara teoritis maupun secara praktis.

1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis hasil penelitian ini dapat memperluas khasanah pemikiran dan pengkajian terhadap prisonisasi di dalam kehidupan narapidana di lembaga pemasyarakatan.

(24)

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan masukan bagi aparat di lingkungan Departemen Hukum dan Ham, serta lembaga pemasyarakatan. Selain itu juga dapat dijadikan bahan masukan guna penyempurnaan kebijakan dalam membina narapidana pada masa yang akan datang.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelusuran yang dilakukan di perpustakaan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, diketahui bahwa penelitian tentang Prisonisasi dan Masalahnya dalam Sistem Pemasyarakatan belum pernah dilakukan, begitu juga dengan permasalahan yang dibahas menyangkut tentang prisonisasi, sehingga dapat disimpulkan tidak ada penelitian yang benar-benar sama dengan masalah yang akan diteliti. Dengan demikian keaslian penelitian ini dapat dipertanggung jawabkan secara akademis.

F. Kerangka Teori dan Konsepsional

1. Kerangka Teori

Di dalam melakukan penelitian diperlukan adanya kerangka teoritis sebagaimana yang dikemukakan oleh Ronny H. Soemitro bahwa untuk memberikan landasan yang mantap pada umumnya setiap penelitian haruslah selalu disertai dengan pemikiran-pemikiran teoritis.24

24 Ronny H. Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta : Penerbit Ghalia, 1987), hal. 37.

(25)

Istilah “pidana” merupakan istilah yang lebih khusus, yaitu menunjukkan sanksi dalam hukum pidana.25 Pidana adalah sebuah konsep dalam bidang hukum pidana yang masih perlu penjelasan lebih lanjut untuk dapat memahami arti dan hakekatnya.

Mengenai teori pemidanaan, pada umumnya dapat dikelompokkan dalam tiga golongan besar, yaitu :

a. teori absolut atau teori pembalasan.

b. teori relatif atau teori tujuan c. teori menggabungkan.26

Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas mengenai teori-teori pemidanaan, maka di bawah ini akan dibahas satu persatu mengenai teori tersebut.

a. Teori absolut atau teori pembalasan

Menurut teori ini pidana dimaksudkan untuk membalas tindak pidana yang dilakukan seseorang. Jadi pidana menurut teori ini hanya semata-mata untuk pidana itu sendiri. Itu sebabnya teori ini disebut juga teori pembalasan atau teori retributif.

Mengenai teori pembalasan ini, Andi Hamzah mengemukakan sebagai berikut :

25 Romli Atmasasmita, Strategi Pembinaan Pelanggar Hukum Dalam Konteks Penegakan Hukum Di Indonesia, (Bandung : Alumni, 1982), hal. 23.

26 E. Utrecht, Hukum Pidana I, (Jakarta : Universitas Jakarta, 1958), hal. 157.

(26)

Teori pembalasan menyatakan bahwa pidana tidaklah bertujuan untuk yang praktis, seperti memperbaiki penjahat. Kejahatan itu sendirlah yang mengandung unsur-unsur untuk dijatuhkan pidana, pidana secara mutlak ada, karena dilakukan suatu kejahatan. Tidaklah perlu memikirkan manfaat penjatuhan pidana.27

Apabila manfaat penjatuhan pidana ini perlu dipikirkan sebagaimana dikemukakan oleh penganut teori absolut atau teori pembalasan ini, maka yang menjadi sasaran utama dari teori ini adalah balas dendam. Dengan mempertahankan teori pembalasan yang pada prinsipnya berpegang pada “pidana untuk pidana”, hal itu akan mengesampingkan nilai-nilai kemanusiaan. Artinya teori pembalasan itu tidak memikirkan bagaimana membina si pelaku kejahatan.

Mengenai masalah pembalasan itu J.E. Sahetapy menyatakan :

Oleh karena itu, apabila pidana itu dijatuhkan dengan tujuan semata-mata hanya untuk membalas dan menakutkan, maka belum pasti tujuan ini akan tercapai, karena dalam diri si terdakwa belum tentu ditimbulkan rasa bersalah atau menyesal, mungkin pula sebaliknya, bahkan ia menaruh rasa dendam. Menurut hemat saya, membalas atau menakutkan si pelaku dengan suatu pidana yang kejam memperkosa rasa keadilan.28

Berat ringannya pidana bukan merupakan ukuran untuk menyatakan narapidana sadar atau tidak. Pidana yang berat bukanlah jaminan untuk membuat terdakwa menjadi sadar, mungkin juga akan lebih jahat. Pidana yang ringan pun kadang-kadang dapat merangsang narapidana untuk melakukan tindak pidana kembali.

27 Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, (Jakarta : Pradnya Paramita, 1993), hal. 26.

28 J.E. Sahetapy, Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana, (Bandung: Alumni, 1979), hal. 149.

(27)

Ada beberapa ciri dari teori retributif sebagaimana yang diungkapkan oleh Karl O. Cristiansen, yaitu29 :

a. tujuan pidana semata-mata untuk pembalasan;

b. pembalasan merupakan tujuan utama, tanpa mengandung sarana-sarana untuk tujuan lain, misalnya kesejahteraan rakyat;

c. kesalahan merupakan satu-satunya syarat bagi adanya pidana;

d. pidana harus disesuaikan dengan kesalahan pembuat;

e. pidana melihat ke belakang yang merupakan pencelaan yang murni dan tujuannya tidak untuk memperbaiki, mendidik, atau memasyarakatkan kembali pelanggar.

Oleh karena itu dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang berdasarkan Pancasila, teori pembalasan tidak mendapat tempat dalam sistem pemidanaan di Indonesia.

b. Teori Relatif atau Teori Tujuan

Teori relatif atau teori tujuan juga disebut teori utilitarian, lahir sebagai reaksi terhadap teori absolut. Secara garis besar, tujuan pidana menurut teori relatif bukanlah sekedar pembalasan, akan tetapi untuk mewujudkan ketertiban di dalam masyarakat.

Sebagaimana dikemukakan Koeswadji bahwa tujuan pokok dari pemidanaan yaitu; 30

29 Muladi dan Barda Nawawi, Arief,. Teori-teori dan Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung : Alumni, 1992), hal. 17.

(28)

1. Untuk mempertahankan ketertiban masyarakat (dehandhaving van de maatschappelijke orde);

2. Untuk memperbaiki kerugian yang diderita oleh masyarakat sebagai akibat dari terjadinya kejahatan. (het herstel van het doer de misdaad onstane maatschappelijke nadeel);

3. Untuk memperbaiki sipenjahat (verbetering vande dader);

4. Untuk membinasakan si penjahat (onschadelijk maken van de misdadiger);

5. Untuk mencegah kejahatan (tervoorkonning van de misdaad)

Menurut Muladi dan Barda Nawawi Arief tentang teori relatif mi adalah:

Pidana bukan sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat. Oleh karena itu teori ini pun sering juga disebut teori tujuan (utilitarian theory). Jadi dasar pembenaran adanya pidana menurut teori ini adalah terletak pada tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan “quia peccatum est” (karena orang membuat kejahatan) melainkan “nepeccetur” (supaya orang jangan melakukan kejahatan).31

Jadi tujuan pidana menurut teori relatif adalah untuk mencegah agar ketertiban di dalam masyarakat tidak terganggu. Dengan kata lain, pidana yang dijatuhkan kepada si pelaku kejahatan bukanlah untuk membalas kejahatannya, melainkan untuk mempertahankan ketertiban umum.

Dari uraian di atas dapat dikemukakan beberapa karakteristik dan teori relatif atau teori utilitarian, yaitu:

30 Koeswadji, Perkembangan Macam-macam Pidana Dalam Rangka Pembangunan Hukum Pidana, Cetakan I, (Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1995) hal. 12.

31 Muladi dan Arief, Op. Cit, hal. 16

(29)

a. tujuan pidana adalah pencegahan (prevensi);

b. pencegahan bukanlah pidana akhir, tapi merupakan sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan masyarakat;

c. hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan kepada si pelaku saja (misal karena sengaja atau culpa) yang memenuhi syarat untuk adanya pidana;

d. pidana harus ditetapkan berdasarkan tujuannya sebagai alat untuk pencegahan kejahatan.

e. pidana berorientasi ke depan, pidana dapat mengandung unsur pencelaan, tetapi baik unsur pencelaan maupun unsur pembalasan tidak dapat diterima apabila tidak dapat membantu pencegahan kejahatan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat.32

c. Teori Gabungan

Menurut teori gabungan bahwa tujuan pidana itu selain membalas kesalahan penjahat juga dimaksudkan untuk melindungi masyarakat, dengan mewujudkan ketertiban. Teori ini menggunakan kedua teori tersebut di atas (teori absolut dan teori relatif) sebagai dasar pemidanaan.

Walaupun terdapat perbedaan pendapat di kalangan sarjana mengenai tujuan pidana itu, namun ada satu hal yang tidak dapat dibantah, yaitu bahwa pidana itu merupakan salah satu sarana untuk mencegah kejahatan serta memperbaiki narapidana. Demikian juga halnya dengan pidana penjara merupakan sarana untuk memperbaiki narapidana agar menjadi manusia yang berguna di masyarakat.

Teori gabungan atau integratif dapat dibagi menjadi tiga golongan, yaitu :33

32 Ibid, hal. 17,

33 Prakoso dan Nurwachid, Studi Tentang Pendapat-pendapat Mengenai Efektifitas Pidana Mali di Indonesia Dewasa Ini, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984), hal. 24.

(30)

a. Teori integratif yang menitikberatkan pembalasan, akan tetapi tidak boleh melampaui batas apa yang perlu dan sudah cukup untuk dapat mempertahankan tata tertib masyarakat.

b. Teori integratif yang menitikberatkan pada pertahanan tata tertib masyarakat, tetapi tidak boleh lebih berat dari suatu penderitaan yang beratnya sesuai dengan beratnya perbuatan yang dilakukan oleh narapidana.

c. Teori integratif yang menganggap harus ada keseimbangan antara kedua hal di atas.

Dengan demikian pada hakikatnya pidana adalah merupakan perlindungan terhadap masyarakat dan pembalasan terhadap perbuatan melanggar hukum. Di samping itu Roeslan Saleh juga mengemukakan bahwa pidana mengandung hal- hal lain, yaitu bahwa pidana diharapkan sebagai sesuatu yang akan membawa kerukunan dan pidana adalah suatu proses pendidikan untuk menjadikan orang dapat diterima kembali dalam masyarakat.34

Dalam konteks itulah Muladi mengajukan kombinasi tujuan pemidanaan yang dianggap cocok dengan pendekatan-pendekatan sosiologis, ideologis, dan yuridis filosofis dengan dilandasi oleh asumsi dasar bahwa tindak pidana merupakan gangguan terhadap keseimbangan, keselarasan dan keserasian dalam kehidupan masyarakat, yang mengakibatkan kerusakan individual ataupun

34 Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1992, Op. cit, hal. 22. Selanjutnya Van Bemmelen menyatakan pidana bertujuan membalas kesalahan dan mengamankan masyarakat, Tindakan bermaksud mengamankan dan memelihara tujuan. Jadi pidana dan tindakan keduanya bertujuan mempersiapkan untuk mengembalikan terpidana kedalam kehidupan masyarakat, (diterjemahkan dan kutipan Oemarseno Adji), Hukum Pidana, ( Jakarta: Erlangga, 1980), hal. 14.

(31)

masyarakat. Dengan demikian maka tujuan pemidanaan adalah untuk memperbaiki kerusakan individual dan sosial yang diakibatkan oleh tindak pidana. Perangkat tujuan pemidanaan tersebut adalah: (a) pencegahan (umum dan khusus), (b) perlindungan masyarakat, (c) memelihara solidaritas masyarakat, (d) pengimbalan/pengimbangan.35

Dalam Naskah Rancangan Undang-Undang (RUU) Republik Indonesia Nomor .... Tahun 2005 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana, mengenai tujuan pemidanaan diatur dalam Pasal 54, yaitu:

a. Pemidanaan bertujuan:

1) Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat;

2) Memasyarakatkan narapidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna;

3) Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat, dan

4) Membebaskan rasa bersalah pada terpidana, 5) Memaafkan terpidana.

b. Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia.

Melihat tujuan pemidanaan di atas, Sahetapy mengemukakan bahwa tujuan pemidanaan tersebut sangat penting, karena hakim harus merenungkan aspek pidana/pemidanaan dalam kerangka tujuan pemidanaan tersebut dengan memperhatikan bukan saja rasa keadilan dalam kalbu masyarakat, melainkan harus mampu menganalisis relasi timbal balik antara sipelaku dengan sikorban.36

Sehubungan dengan tujuan pidana, Andi Hamzah mengemukakan tiga R dan satu D, yakni37

Reformation, Restraint, dan Restribution, serta Deterrence.Reformasi berarti memperbaiki atau merehabilitasi penjahat menjadi orang baik dan berguna

35 Muladi, Op.cit, hal. 61.

36 J. E. Sahetapy, Tanggapan Terhadap Pembaharuan Hukum Pidana Nasional, Pro Justitia, Majalah Hukum, Tahun VII, Nomor 3, Juli 1989, hal. 22.

37 Andi Hamzah, Op. Cit, hal. 28.

(32)

bagi masyarakat. Restraint maksudnya mengasingkan pelanggar dari masyarakat, juga tersingkirnya pelanggar hukum dari masyarakat, berarti masyarakat itu akan menjadi lebih aman. Retribution ialah pembalasan terhadap pelanggar hukum karena telah melakukan kejahatan. Deterrence berarti menjera atau mencegah sehingga baik terdakwa sebagai individual, maupun orang lain yang potensial menjadi penjahat akan jera atau takut untuk melakukan kejahatan karena melihat pidana yang dijatuhkan kepada

terdakwa.

Menurut Sholehuddin tujuan pemidanaan yaitu : 38

Pertama, memberikan efek penjeraan dan penangkalan. Penjeraan berarti menjauhkan si terpidana dari kemungkinan mengulangi kejahatan yang sama, sedangkan tujuan sebagai penangkal berarti pemidanaan berfungsi sebagai contoh yang mengingatkan dan menakutkan bagi penjahat-penjahat potensial dalam masyarakat.

Kedua, pemidanaan sebagai rehabilitasi. Teori tujuan menganggap

pemidanaan sebagai jalan untuk mencapai reformasi atau rehabilitasi pada sit terpidana. Ciri khas dari pandangan tersebut adalah pemidanaan merupakan proses pengobatan sosial dan moral bagi seorang terpidana agar kembali berintegrasi dalam masyarakat secara wajar.

Ketiga, pemidanaan sebagai wahana pendidikan moral, atau merupakan proses reformasi. Karena itu dalam proses pemidanaan, si terpidana dibantu untuk menyadari dan mengakui kesalahan yang dituduhkan kepadanya.

Dalam hal ini penulis menyetujui tujuan pemidanaan yang memberikan efek penjeraan terhadap narapidana, karena tindakan ini mungkin lebih efektif untuk mencegah si terpidana mengulangi kejahatannya. Pada saat ini banyak pelaku kejahatan beranggapan bahwa kehidupan di dalam lembaga

pemasyarakatan lebih baik daripada di luar lembaga pemasyarakatan. Di dalam lembaga pemasyarakatan lebih banyak binanya daripada derita yang diterimanya, sehingga mereka tidak akan merasa takut terhadap risiko yang akan diterimanya apabila ia melakukan kejahatan lagi, dan bagi pelaku kejahatan seperti ini, memang diperlukan tindakan tegas dalam pemberian hukuman yang berat.

Menurut Gross, hukum yang dijatuhkan itu bersifat a regrettable, necessity (keharusan yang patut disesalkan). Karena penjatuhan pidana

38 Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double Track System &

Implementasinya, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2003), hal. 45.

(33)

menimbulkan derita, maka perlu suatu pembenaran dan harus dicari dasarnya, maka perlu seseorang merupakan sesuatu yang jahat namun karena seseorang itu melakukan kesalahan, maka harus dijatuhi pidana. Jadi, penjatuhan pidana dibenarkan walaupun menimbulkan derita dan penurunan moral seseorang.

Menurut Gross, hukuman untuk orang yang bersalah memang sudah merupakan sesuatu yang benar. Menurutnya ada lima teori pemidanaan yaitu :39

1. Removal of socially dangerous persons 2. Rehabilitation of socially dangerous persons 3. Paying one’s debt to society

4. The intimidation version of deterrence 5. The persuasion of deterrence

1. Removal of Socially Dangerous Persons

Menurut teori Removal of Socially Dangerous Persons, orang yang banyak berbuat kejahatan sebaiknya diasingkan dari masyarakat dengan maksud agar orang tersebut dapat merenungkan perbuatannya yang telah merugikan

masyarakat. Teori ini amat sulit untuk dilaksanakan karena harus dapat

mengidentifikasi dengan benar golongan mana yang melakukan tindak pidana.

Mereka ini berbaur dengan golongan yang patuh hukum, juga dianggap sulit karena tempat mereka itu seperti tempat di mana mereka bisa menjadi lebih jahat.

Kita sudah sepakat bahwa norma harus dipatuhi, jika dilanggar menjadi ancaman bagi norma itu sendiri.

39 Hyman Gross, A Theory of Criminal Justice, (New York : Oxford University Press, 1979), hal.

66 – 73.

(34)

2. Rehabilitation of Socially Dangerous Persons

Menurut teori Rehabilitation of Socially Dangerous Persons, orang-orang yang secara sosiologis dianggap berbahaya pantas untuk direhabilitasi, jika ingin merubah dan memperbaikinya, maka harus diberikan sanksi pidana.

3. Paying One’s Debt Society

Teori Paying One’s Debt Society, mengemukakan membayar hutang seseorang melalui hakim dan jaksa kepada masyarakat. Di sini terjadi pergeseran nilai karena belum tentu orang itu tobat. Ini berasal dari kenyataan bahwa si pelaku dengan menjalani hukuman pidana berarti ia membayar hutangnya kepada masyarakat.

4. The Intimidation Version of Deterrence

Dalam teori The Intimidation Version of Deterrence, juga menekankan kepada special deterrence untuk mengintimidasi mereka yang tergoda melakukan kejahatan maupun untuk orang itu sendiri, maka kesengsaraan lebih besar

daripada kenikmatan yang diperoleh dari kejahatan itu. Dalam hal ini penulis menyetujui tindakan tersebut, karena tindakan ini mungkin lebih efektif untuk mencegah berbuat kejahatan lebih lanjut. Karena pada saat ini banyak pelaku kejahatan beranggapan bahwa kehidupan di dalam lembaga pemasyarakatan lebih baik daripada di luar lembaga pemasyarakatan. Di dalam lembaga

pemasyarakatan lebih banyak binanya daripada derita yang diterimanya. Untuk menahan godaan agar ia tidak melakukan kejahatan tersebut, maka kepadanya harus diberikan pidana yang besar dan berat. Untuk sebagian orang deterrence ini tidak ampuh, bagi mereka yang tidak ada rasa takut terhadap risiko yang akan diterima apabila ia melakukan kejahatan, bagi pelaku ini memang diperlukan tindakan tegas dalam pemberian hukuman yang berat.

(35)

5. The Persuasion of Deterrence

Teori The Persuasion of Deterrence, membujuk kita untuk menggambarkan agar tidak melakukan perbuatan jahat. Sebab akibat dari perbuatan itu akan menimbulkan derita yang berat.

Di samping teori-teori tersebut di atas, Gross40 menyimpulkan dalam A Preferred Theory. Dalam teori ini dikenal istilah Anti-impunity artinya anti kebal hukum. Jika kita ingin hukum itu berpengaruh kuat dalam mempertahankan masyarakat yang patuh hukum maka orang yang melanggar hukum patut

dihukum. Jadi, tidak ada orang yang kebal hukum.

Pembinaan narapidana tidak hanya ditujukan kepada pembinaan spiritual saja, tetapi juga pembinaan dibidang keterampilan, Dalam sistem pemasyarakatan orientasi pembinaan bersifat top down approach maksudnya pembinaan yang diberikan kepada narapidana merupakan program yang sudah ditetapkan dan narapidana harus ikut serta dalam program tersebut. Hal ini didasarkan atas pertimbangan keamanan dan keterbatasan sarana pembinaan.

Dalam pembinaan ini, materi pembinaan berasal dari pembina, atau paket pembinaan bagi narapidana telah disediakan dari atas. Narapidana tidak ikut menentukan jenis pembinaan yang akan dijalani, tetapi langsung saja menerima pembinaan dari para pembina dan harus menjalani paket pembinaan tertentu yang telah disediakan.

Paket pembinaan dari atas merupakan bentuk pembinaan yang paling banyak digunakan oleh lembaga pemasyarakatan. Hal ini ditempuh karena sedikitnya bentuk pembinaan yang tersedia di lembaga pemasyarakatan, juga karena sedikitnya jumlah pembina yang terdapat di lembaga pemasyarakatan.

40 Ibid, hal. 73.

(36)

Kenyataan demikian banyak menimbulkan masalah karena banyak terjadi bahwa pembinaan yang dilakukan tidak sesuai dengan kebutuhan belajar/pembinaan para narapidana, sehingga hasil pembinaan tidak seratus persen memenuhi sasaran. Narapidana merasa pembinaan yang diterima hanya sebagai pengisi waktu luang saja, dan tidak memiliki minat belajar sehingga dalam mengikuti kegiatan pembinaan kurang serius, akibatnya upaya pembinaan menjadi hal yang mubazir saja. Padahal dari segi biaya pembinaan, cukup mahal untuk membina seorang narapidana. Hasilnya tidak sesuai dengan biaya, tenaga dan waktu yang telah dikeluarkan. Jadi sebenarnya pembinaan narapidana dengan top down approach tidaklah efektif sama sekali. Orientasi pembinaan semacam ini harus ditinjau kembali, agar pembinaan yang diberikan kepada narapidana berdaya guna dan berhasil guna, seperti yang diharapkan pemasyarakatan.

Untuk itu penelitian awal tentang kebutuhan pembinaan bagi seorang narapidana harus dilakukan secara cermat, agar tidak salah dalam menentukan jenis pembinaan yang akan diberikan kepadanya. Memang tidak menutup kemungkinan, ada materi-materi pembinaan tertentu yang harus disediakan dan dijalani oleh narapidana, tanpa memperhatikan kebutuhan belajarnya, misalnya tentang pengenalan diri, motivasi, keagamaan yang disesuaikan dengan agama dan kepercayaannya, kesehatan dan olahraga, etika pergaulan, cara-cara memecahkan masalah, penghayatan dan pengamalan Pancasila, kecintaan kepada negara dan bangsa.

(37)

Pembinaan narapidana yang digunakan pendekatan dari atas, dipilihkan materi-materi umum yang harus diketahui setiap narapidana dalam rangka pembinaan bagi diri sendiri, kesatuan dan persatuan bangsa, pendekatan terhadap Tuhan, atau untuk kehidupan dimasa mendatang setelah keluar dari lembaga pemasyarakatan. Sedang untuk materi pembinaan yang dipelajari secara khusus berupa keterampilan, kemampuan berkomunikasi, tidak dapat digunakan pendekatan dari atas.

Menurut penulis metode pembinaan narapidana harus diubah dari top down approach menjadi bottom up approach. Bottom up approach 41 adalah pembinaan narapidana yang berdasarkan kebutuhan belajar narapidana. Untuk memperoleh gambaran tentang kebutuhan belajar narapidana, setiap narapidana haruslah menjalani pre test sebelum dilakukan pembinaan. Dari hasil pre test akan diketahui tingkat pengetahuan, keahlian dan hasrat belajarnya. Dengan memperhatikan hasil pre test, dipersiapkan materi pembinaan narapidana dan disesuaikan dengan lamanya pidana serta jenis kejahatannya. Untuk mengetahui sejauh mana pembinaan bisa berhasil maka diakhir pembinaan diadakan post test, untuk mengetahui keberhasilan pembinaan.

Dengan cara demikian akan menemukan kesesuaian belajar narapidana dengan kebutuhan belajarnya. Jika yang dipelajari adalah sesuatu yang dibutuhkan, maka hasil yang dicapai bisa semaksimal mungkin. Dengan demikian, tujuan pembinaan dapat tercapai secara maksimal.

41 C.I. Harsono Hs, Sistem Baru Pembinaan Narapidana, (Jakarta : Djambatan, 1995), hal. 21.

(38)

Khusus untuk kasus narkoba, berdasarkan Peraturan/Keputusan Menteri Kehakiman RI dan Surat Edaran Direktur Jenderal Pemasyarakatan Departemen Kehakiman RI, tidak ada satu pun ketentuan mengenai cara perlakuan terhadap narapidana ketergantungan obat atau narapidana yang kecanduan narkotika atau pemakai narkotika di lembaga pemasyarakatan. Ketentuan-ketentuan yang ada hanya memberikan petunjuk kepada petugas lembaga pemasyarakatan untuk memperkuat pengawasan terhadap narapidana narkotika sebagaimana dikemukakan dalam Keputusan Menteri Kehakiman RI No. M.01-PW.11.01 tanggal 9 Maret 1991 tentang Pengawasan khusus terhadap narapidana kasus subversi, korupsi, penyeludupan, narkotika dan perjudian. Begitu juga Pola Pembinaan Narapidana/Tahanan yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman RI No. M.02-PK.04.10 tanggal 10 April 1990, tidak memuat secara khusus pola perlakuan/pembinaan terhadap narapidana pemakai/pecandu narkotika. Pola pembinaan yang berlaku bersifat umum dan tidak membedakan antara narapidana nakotika dan bukan narkotika. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Departemen Kehakiman RI belum memberikan perhatian secara khusus terhadap narapidana narkotika. Pendekatan yang digunakan masih menitik beratkan kepada pendekatan keamanan semata-mata atau security approach. Hal ini sebabkan karena terbatasnya biaya dan fasilitas sarana dan prasarana di lembaga pemasyarakatan. Mengingat perawatan terhadap narapidana narkotika memerlukan tenaga medis dan tempat khusus dengan biaya cukup besar, maka perawatan terhadap mereka dilaksanakan seadanya dalam arti sebatas kemampuan lembaga pemasyarakatan yang bersangkutan.

(39)

Berdasarkan uraian teori-teori tentang pemidanaan, maka penulis mencoba menganalisa permasalahan dengan menggunakan teori proses belajar (learning process), karena seorang pelaku kejahatan dalam melakukan perbuatan yang melanggar hukum melalui proses belajar. Sebagaimana dikemukakan bahwa lembaga pemasyarakatan merupakan tempat berkumpulnya narapidana, sehingga interaksi yang berlangsung sesama narapidana menimbulkan sub kebudayaan tertentu yang sudah melembaga di antara narapidana. Dengan demikian setiap narapidana menjalani proses penyesuaian dengan tata cara kehidupan di dalam lembaga pemasyarakatan melalui proses belajar.

Disamping itu J.E. Sahetapy mengemukakan teori sobural dengan meninjau kondisi sosial budaya dan faktor struktural dari masyarakat di mana berada42 Dalam hal ini yang dimaksudkan adalah masyarakat narapidana yang berada di dalam lembaga pemasyarakatan. Di samping itu Sutherland

mengemukakan dalam teorinya “asosiasi diferensial”, yaitu perilaku jahat dapat dipelajari sebagaimana perilaku lainnya. Dalam hal ini faktor lingkungan sosial juga ikut menentukan.43

Terdapat dua versi teori asosiasi difrensial, yaitu versi pertama

memusatkan perhatian pada cultural conflict (konflik budaya), dan versi kedua menegaskan bahwa semua tingkah laku itu dipelajari.44 Versi yang terakhir ini mengetengahkan 9 (sembilan) pernyataan sebagai berikut : 45

1. Tingkah laku kriminal yang dipelajari.

2. Tingkah laku kriminal yang dipelajari dalam hubungan interaksi dengan orang lain melalui suatu proses komunikasi.

3. Bagian penting dari mempelajari tingkah laku kriminal terjadi dalam kelompok yang intim.

4. Mempelajari tingkah laku kriminal, termasuk di dalamnya teknik melaksanakan kejahatan dan motivasi/dorongan atau alasan pembenar.

5. Dorongan tertentu ini dipelajari melalui penghayatan atas peraturan perundangan, menyukai atau tidak menyukai.

6. Seseorang menjadi delinquent karena penghayatannya terhadap peraturan perundangan; lebih suka melanggar daripada mentaatinya.

7. Asosiasi diferensial ini bervariasi bergantung pada frekuensi, durasi, prioritas, dan intensitas.

8. Proses mempelajari tingkah laku kriminal melalui pergaulan dengan pola kriminal dan anti kriminal melibatkan semua mekanisme yang berlaku dalam setiap proses belajar.

42 J.E. Sahetapy, Op. Cit, hal. 61.

43 Sutherland dalam J.E. Sahetapy, Ibid, hal. 63.

44 Romli Atmasasmita, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi (Edisi Revisi), (Bandung: Refika Aditama, 2007), hal. 23 – 24.

45 Sutherland dalam Romli Atmasasmita, Ibid, hal. 24-25.

(40)

9. Sekalipun tingkah laku kriminal merupakan pencerminan dari kebutuhan- kebutuhan umum dan nilai-nilai, tetapi tingkah laku kriminal tersebut tidak dapat dijelaskan melalui kebutuhan umum dan nilai-nilai tadi, karena tingkah non kriminal pun merupakan pencerminan dari kebutuhan dan nilai yang sama.

Teori asosiasi diferensial justru hendak mencari dan mengemukakan bagaimana nilai-nilai dan norma-norma dimaksud dapat dikomunikasikan atau dialihkan dari kelompok masyarakat yang satu kepada masyarakat yang lainnya.

Pemakaian teori assosiasi diferensial dari Sutherland didasarkan atas

pertimbangan bahwa hingga saat ini sangat sulit untuk mempertahankan teori yang mengatakan bahwa kejahatan itu diwariskan dari leluhur, karena ada kecenderungan bahwa kejahatan merupakan hasil interaksi antara individu dan lingkungannya. Dalam hal ini setiap individu dalam suatu proses belajar dipengaruhi oleh berbagai macam perilaku individu lainnya. Dalam hal ini seseorang akan menjadi baik atau jahat, tergantung kepada individu yang bersangkutan, apakah ia menerima atau menolak perbuatan jahat tersebut.

Adanya kelompok-kelompok dengan sub kultur tersendiri dengan sendirinya mempunyai dampak khusus, sehingga ada perbedaan dalam tingkat perilaku jahat antara para kelompok yang berbeda. Sehubungan dengan itu salah satu teori kriminologi yang berhubungan dengan kejahatan, yaitu teori sub kultural dari Wolfgang yang dikenal dengan “Sub kultural valuesnya” 46

46 J.E. Sahetapy, Op. Cit, hal. 55 & 57.

(41)

Menurut Wolfgang dan Feracuti, mengenai sub kultur kekerasan (sub culture of violence) bahwa tiap penduduk terdiri atas kelompok-kelompok etnik tertentu dan kelas-kelas tertentu yang memiliki sikap yang berbeda-beda tentang penggunaan kekerasan. Sikap yang mendukung penggunaan kekerasan

diwujudkan ke dalam seperangkat norma yang sudah melembaga dalam kelompok tertentu dalam masyarakat.47

Dengan memperhatikan kehidupan masyarakat narapidana di dalam lembaga pemasyarakatan, maka interaksi yang berlangsung antara sesama narapidana merupakan pengaruh dari latar belakang budayanya masing-masing.

Dengan demikian besarnya pengaruh sub kultur budaya dan lingkungan sosial terhadap kepribadian narapidana sangat menentukan.

Selanjutnya Akers mengemukakan dalam teorinya yang disebut social learning theory. Ia berpendapat bahwa lingkungan sosial merupakan sumber utama reinforcement (pertolongan). Hal ini berarti bahwa lingkungan sosial dapat mempengaruhi perilaku individu, apabila lingkungan sosialnya baik maka ia akan menjadi baik, dan sebaliknya apabila lingkungan sosialnya buruk atau jahat maka ia akan menjadi jahat. 48

Dalam hal ini akan dilihat sejauhmana pengaruh lingkungan dan sistem sosial yang terdapat di dalam lembaga pemasyarakatan akan berpengaruh

terhadap narapidana. Donald Clemmer telah melakukan usaha yang cukup serius untuk memahami proses sosialisasi di dalam penjara. Dalam tulisannya yang

47 Romli Atmasasmita, Op. Cit., hal. 68.

48 Akers, dalam J.E. Sahetapy, Ibid, hal. 67.

(42)

berjudul “The Prison Community”, Clemmer mengemukakan adanya kultur dan organisasi sosial yang sangat mempengaruhi pembinaan narapidana. Selanjutnya ia mengemukakan bahwa di dalam penjara terdapat (1) inmate society atau inmate social system dan (2) norma-norma dalam dunia narapidana yang diorganisir secara bertentangan dengan norma-norma yang hidup dalam masyarakat konvensional.49

Hal tersebut menunjukkan bagaimana penyerapan kultur atau budaya inmate society dalam proses sosialisasi antar narapidana. Hal ini menunjukkan bahwa narapidana dapat terkontaminasi oleh pengaruh budaya atau kultur yang terdapat di dalam lembaga pemasyarakatan. Dengan demikian semakin lama seseorang narapidana berada di dalam penjara maka kecenderungan untuk terpenjara semakin besar, dan semakin berkurang kepatuhannya terhadap pola tingkah laku yang baik, serta semakin kuatnya kepatuhan narapidana terhadap kebiasaan-kebiasaan dan kultur yang berlaku di dalam penjara, yang pada akhirnya seseorang narapidana cenderung untuk melakukan tindak pidana lebih lanjut setelah ia keluar dari penjara.

Lembaga Pemasyarakatan dipandang sebagai suatu komunitas (prison community, inmate society), memiliki dua teori yang mendasarinya, yaitu : 50 1. Teori Importasi

Bahwa segala sesuatu yang berasal dari inmate society datang dari luar masyarakat. Bahwa kehidupan di dalam penjara tidak lain merupakan cerminan

49 Donald Clemmer Op. Cit., hal. 194.

50 http : // defairy, word press.com.

Gambar

Gambar  Lapisan-lapisan dalam Sistem Peradilan Pidana

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Dari hasil analisis hipotesis penelitian dapat diketahui nilai t=3.317 dengan nilai signifikansi 0.001<0.05, maka Ha diterima dan H0 ditolak yang artinya bahwa

Pertanyaan ditampilkan satu kali dan pernyataan disajikan dalam bentuk tabel. 5 Bagian Diskusi KB 2 sebaiknya disajikan setelah aktivitas Tabel 13 yaitu pada Tugas

Dengan terlebih dahulu mengidentifikasi perubahan apa yang diantisipasi dalam tujuan strategis dan inisiatif, dokumentasi berikutnya dari kegiatan bisnis dan sumber

PERINTIS KEMERDEKAAN NO.29 KOTA PEKALONGAN 5 SMK NEGERI 3 PEKALONGAN JL.. PERINTIS KEMERDEKAAN NO.30 KOTA PEKALONGAN 6 SMK YAYASAN PHARMASI

Reverberation Time: pada keadaan bising apapun, dan diputar lagu apapun(kecuali lagu yang rekamannya sudah diset punya RT yang tinggi, sbg contoh lagu 4 dan 2, di

Untuk menjamin hak warga negara Indonesia untuk menempati rumah yang layak huni dalam lingkungan yang sehat dan aman sesuai dengan Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004

Fungsi ini sangat sesuai digunakan jika anda ingin mengaplikasi sesuatu format yang sama kepada beberapa teks yang terdapat dalam dokumen. Sebagai contoh anda

Berdasarkan nilai keunggulan relatif dari parameter A (bobot dewasa) dan k (rataan laju pertumbuhan menuju bobot dewasa) domba MHG merupakan hasil silangan yang mempunyai