1
Mahasiswa adalah suatu individu yang sedang berada pada usia perkembangan dewasa awal, biasanya pada periode ini individu tersebut akan mengalami berbagai tantangan, penghargaan, dan krisis (Potter & Perry, 2005).
Setiap mahasiwa yang belajar di perguruan tinggi pasti akan memasuki masa- masa tingkat akhir. Pada masa tingkat akhir biasanya beban yang dirasakan mahasiswa akan semakin berat, hal ini dikarenakan banyaknya tugas kuliah dan juga pada tingkat akhir biasanya mahasiswa sudah harus mulai mengerjakan tugas akhir yakni skripsi.
Menurut Rahyono (2010) skripsi merupakan suatu karya tulis ilmiah yang dibuat dengan berdasarkan dari hasil penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa sebagai tugas akhir yang menjadi syarat untuk memperoleh gelar sarjana.
Mahasiswa biasanya akan beranggapan bahwa skripsi adalah suatu hal yang sangat menakutkan dan akan tetapi mau tidak mau harus dikerjakan agar bisa menyelesaikan kuliah. Ketika mahasiswa dihadapkan dengan suatu tuntutan dan beban yang berat, maka mahasiswa akan melakukan penilaian kognitif.
Kebanyakan dari mahasiswa baru hingga mahasiswa tingkat akhir mengalami masalah yang dapat menyebabkan munculnya kondisi stres yang lama-kelamaan akan berubah menjadi depresi (Susilowati dan Hasanat, 2011). Menurut Riewanto (dalam Ratna, 2018) masalah-masalah yang sering terjadi pada mahasiswa yang sedang megerjakan skripsi disebabkan oleh beberapa hal, yaitu: kesulitan mencari
materi untuk bahan tulisan, kecemasan dalam menghadapi dosen pembimbing, kesulitan dalam menganalisis data. Kesulitan mencari materi untuk bahan tulisan dikarenakan tidak semua materi yang dibutuhkan oleh mahasiswa bisa didapat dengan mudah di perpustakaan kampus sehingga mahasiswa harus berusaha mencari alternatif lain untuk bahan skripsi. Kecemasan saat menghadapi dosen pembimbing dikarenakan sulitnya untuk mengatur jadwal bimbigan dan mahasiswa merasa takut jika terdapat kesalahan-kesalahan dari tugas yang mereka kerjakan. Menganalisis data suatu penelitian bukanlah suatu hal yang mudah sehingga bagi mahasiswa yang kurang memahami tentang menganalisis data hal ini akan menjadi masalah dan mahasiswa akan merasa adanya tuntutan-tuntutan dari tugas-tugas yang harus dikerjakan sehingga mengancam bagi mahasiswa dan tidak menutup kemungkinan hal tersebut dapat mengakibatkan depresi pada mahasiswa. Hawari (2009), menjelaskan bahwa depresi biasanya disebabkan saat seseorang mengalami stress yang tidak kunjung reda.
Menurut DSM-5 (2013) depresi merupakan gangguan psikologis yang biasanya ditandai dengan munculnya perasaan sedih, hampa, sensitif, dan juga diiringi dengan gejala somatis dan kognitif, gejala-gejala tersebut dapat berpengaruh terhadap fungsi dan kemampuan individu dalam menjalani aktivitas sehari-hari. Menurut Kaplan (2010) depresi merupakan terganggunya suatu fungsi manusia yang berhubungan dengan perasaan yang sedih dan disertai gejala- gejalanya, seperti terganggunya pola tidur dan pola makan, konsentrasi, psikomotor, merasa kelelahan, merasa putus asa hingga berpikiran untuk bunuh diri. Menurut Lubis (2009), depresi dapat diartikan sebagai suatu pengalaman
yang tidak menyenangkan, tidak memiliki suatu harapan lagi, yang ditandai dengan hilangnya rasa kebahagiaan dan diikuti dengan gejala-gejala lain seperti gangguan tidur dan menurunya nafsu makan. Sedangkan menurut Nevid, Rathus, dan Greene (2005), depresi adalah suatu tahapan kesedihan yang diawali dengan rasa sedih seperti menangis, merasa sangat terpuruk, hilangnya minat di berbagai hal, susah untuk berkonsentrasi, dan mengharapkan hal buruk terjadi hingga berpikiran untuk mengakhiri hidup.
Menurut Kusumanto (2010), depresi memiliki tiga tingkatan yaitu, depresi ringan, kemudian depresi sedang, dan yang terakhir adalah depresi berat. Depresi ringan adalah gangguan yang bersifat sementara dan ditandai dengan adanya rasa pedih, perubahan proses berpikir dalam komunikasi sosial, dan merasa tidak nyaman, Depresi sedang adalah gangguan yang berlangsung paling cepat 2 minggu dan ditandai dengan adanya efek murung, cemas, kesal, marah, dan menangis. Depresi Berat adalah gangguan yang berlangsung paling cepat 2 minggu dan ditandai dengan diam dalam waktu yang lama, tiba-tiba hiperaktif, kurang merawat diri tidak mau makan dan minum menarik diri dan tidak peduli dengan lingkungan.
Beck menjelaskan bahwa depresi terdiri dari 6 ciri atau aspek depresi (Beck & Alford, 2009), yaitu: gejala emosional, gejala kognitif, gejala motivasi, gejala fisik, gejala delusi dan gejala halusinasi . Gejala emosional ditandai dengan perasaan sedih, munculnya perasaan negatif terhadap dirinya sendiri, merasa tidak puas, hilangnya kelekatan emosional dengan orang lain, menangis trus menerus, serta hilangnya humor. Gejala kognitif ditandai dengan harga diri yang rendah,
merasa pesimis, menyalahkan diri sendiri, sulit untuk mengambil keputusan, serta pemikiran negatif dalam menilai penampilan fisiknya. Gejala motivasi ditandai dengan munculnya keinginan untuk keluar dari rutinitas, mulai menarik diri dari aktifitas yang menuntut adanya tanggung jawab, keinginan untuk bunuh diri, serta bergantung pada orang lain. Gejala fisik ditanda dengan gangguan tidur, hilangnya selera makan, menurunnya berat badan hilangnya gairah seksual, mudah merasa lelah. Gejala delusi yang ditandai degan perasaan bahwa dirinya tidak berharga, merasa pantas dihukum karna melakukan kejahatan, kenihilan, merasa miskin dan somatik. Gejala halusinasi yang ditandai dengan mendengar, merasa ataupun melihat sesuatu yang tidak nyata atau tidak terjadi.
Tingginya kasus depresi di Indonesia dapat dilihat dari data prevalensi gangguan mental emosional yang ditunjukkan dengan adanya gejala-gejala depresi dan kecemasan pada usia (15-24 tahun) yang memiliki persentase depresi sebesar 6,2% (Riskesdas, 2018), dan kemudian pada tahun 2019 terdapat 264 juta jiwa yang mengalami depresi di Indoesia (World Health Organization, 2019).
Permasalahan depresi yang prevalensinya terus meningkat dari waktu ke waktu adalah permasalahan depresi pada mahasiswa dan hal ini juga sudah tercatat di seluruh dunia (Sarokhani dkk., 2013). Penelitian terdahulu oleh Dewi (2019) dengan jumlah responden 80 mahasiswa terdapat 27.50% mengalami depresi ringan, 11.25% mengalami depresi sedang. Penelitian yang di lakukan oleh Amalia (2020) dengan jumlah subjek 309 mahasiswa S1 fakultas kedokteran angkatan 2019, 2018, dan 2017 Universitas Airlangga, dari penelitian ini diperoleh hasil 67% mahasiswa angkatan 2019 mengalami depresi, 66% pada
angkatan 2018, dan 60,2% pada angkatan 2017. Penelitian yang dilakukan oleh Zaid (2017) pada mahasiswa pre klinik Pendidikan dokter tingkat awal (Angkatan 2016) dan tingkat akhir (2014) Universitas Hasanudin menunjukan bahwa terdapat 100 (33%) orang mahasiswa tingkat akhir megalami kejadian depresi.
Penelitian yang dilakukan oleh Krisdianto (2015) pada mahasiswa tigkat akhir program studi pendidikan ners perguruan Tinggi Alma Ata Yogyakarta juga menunjukan bahwa 19 mahasiswa mengalami depresi minimal, 21 orang megalami depresi ringan dan 6 orang mengalami depresi sedang.
Depresi biasanya disebabkan saat seseorang mengalami stress yang tidak kunjung reda, dan stres yang dialami tersebut biasanya berkaitan dengan suatu kejadian yang dramatis yang dialami seseorang tersebut (Lubis, 2009:13). Hal ini sejalan dengan hasil wawancara yang dilakukan Giyarto pada bulan September 2018 dengan jumlah informan 4 orang mahasiswa tingkat akhir yang mengerjakan skripsi dari Fakultas Psikologi Universitas Muhamadiyah Surakarta. Hasil dari wawancara tersebut menunjukkan bahwa mahasiswa mengalami stress dan mahasiswa juga merasa kesulitan dalam mencari buku literature, susahnya bertemu dengan dosen pembimbing yang menghambat penyeleseain skripsi juga kurangnya pengetahuan tentang suatu penelitian dan juga kesulitan dalam menganalisis data penelitiannya (Giyarto, 2018).
Berdasarkan dari hasil survei online yang dilakukan oleh peneliti pada tanggal 8 hingga 10 April 2022 yang melibatkan 15 mahasiswa tingkat akhir yang sedang mengerjakan skripsi di Yogyakarta menunjukkan 11 dari 15 orang subjek mengalami gejala depresi. Pada gejala emosional 9 orang mahasiswa menjawab
pernah mengalami gejala seperti, sering merasa sedih dan menangis tanpa sebab, sering berpikiran negatif terhadap diri sendiri dan kehilangan selera humor.
Selanjutnya pada gejala kognitif, terdapat 7 orang mahasiswa yag pernah mengalami gejala seperti memiliki harga diri yang rendah, merasa pesimis, menyalahkan diri sendiri, sulit untuk mengambil keputusan, serta pemikiran negatif dalam menilai penampilan fisiknya. Selanjutnya gejala motivasi, terdapat 5 orang mahasiswa yang pernah mengalami gejala motivasi seperti adanya keinginan untuk keluar dari rutinitas, mulai menarik diri dari aktifitas yang menuntut adanya tanggung jawab, keinginan untuk bunuh diri, serta bergantung pada orang lain. Selanjutnya gejala fisik, terdapat 10 orang mahasiswa yang pernah megalami gejala fisik seperti gangguan tidur, hilangnya selera makan, menurunnya berat badan hilangnya gairah seksual, mudah merasa lelah.
Berdasarkan hasil survei ini juga subjek menjelaskan bahwa gejala depresi yang pernah mereka alami selama mengerjakan skripsi ini disebabkan oleh beberapa hal seperti adanya rasa takut yang mahasiswa rasakan karena tidak bisa lulus tepat waktu, Sulitnya menghubungi dosen pembimbing dan membuat jadwal bimbingan, ketakutan saat melakukan bimbingan degan dosen pembimbing, kesulitan dalam mencari materi penelitian, sulitnya megolah data penelitian dan tekanan dari orang tua yang terus bertanya kapan lulus.
Maka dari itu permasalahan mengenai depresi ini penting untuk diteliti, hal ini dikarenakan banyaknya kasus yang depresi yang meningkat dan juga tidak menutup kemungkinan seseorang yang memiliki jiwa yang sehat bisa saja mengalami depresi apabila tidak mampu untuk mengatasi stresor psikososial yang
sedang dialaminya dialaminya. Biasanya ada individu yang lebih rentan (vulnerable) berada dalam keadaan depresi dibandingkan dengan individu yang lainnya (Hawari, 2008). Menurut Davison, Neale dan Kring (2012) depresi dapat menyebabkan seseorang merasakan kesedihan yang mendalam, perasaan bersalah yang terus menerus, mejauhkan dari orang lain, susah tidur, hilangnya nafsu makan, kehilangan minat serta kesenangan dalam aktivitas yang sering dilakukan.
Depresi juga dapat menyebabkan seseorang melakukan tidakan bunuh diri, hal ini dikarenakan tidak adanya lagi semagat hidup pada diri seseorang, perasaan tidak berdaya, dan menganggap dirinya kecil (Santoso, Asiah & kirana, 2018). Hal ini sejalan denga hasil penelitian yang dilakukan oleh Idham, Sumantri dan Rahayu (2019), yang menunjukan dari 62 mahasiswa tingkat awal hingga akhir terdapat 26 atau 41,9% mahasiswa memiliki tingkat ide bunuh diri yang rendah dan 36 atau 58,1% mahasiswa lainnya memiliki tingkat ide bunuh diri yang tinggi.
Pieper dan Uden (2006) menjelaskan bahwa seseorang yang memiliki mental dan jiwa yang sehat adalah seseorang mempunyai estimasi yang realistis terhadap dirinya sendiri, mampu menghadapi permasalahan yang ada dalam hidupnya, memiliki kepuasan dalam kehidupan sosialnya, serta memiliki kebahagiaan dalam hidupnya. Jika seseorang mengalami depresi maka akan menganggu aktivitas orang tersebut terutama pada mahasiswa yang seharusnya mahasiswa selalu semangat dan tidak boleh putus asa dalam menjalani setiap proses perkuliahannya terutama dalam mengerjakan tugas akhir atau skripsinya, Maka dari, itu depresi sebaiknya dicegah dan tingkat depresi akan berkurang jika seseorang dapat mengatasi permasalahan yang dialami dengan baik dan juga dapat
menghindari segala hal dan faktor-faktor yang dapat menyebabkan seseorang mengalami depresi terutama pada mahasiswa tingkat akhir yang sedang mengerjakan skripsi. Maka dari itu dengan peneitian ini diharapkan agar bisa diketahui apa faktor penyebab yang dapat mempengaruhi tingkat depresi pada mahasiswa khususnya mahasiswa tingkat akhir yang sedang menjalani skripsi.
Kaplan dan Saddock, (2010) mengungkapkan bahwa depresi dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu: faktor biologis, faktor genetik, dan faktor psikososial. Pertama faktor biologis, dibagi menjadi dua yaitu faktor neurotransmitter dan neoroendokrin. yang kedua adalah faktor genetik, hal ini disebabkan oleh individu yang memiliki anggota keluarga dengan gangguan jiwa memiliki kecenderungan lebih tinggi terkena depresi (Kapla Saddock, 2010).
faktor yang ketiga adalah psikososial, faktor psikososial dibagi menjadi dua, yang pertama yakni peristiwa hidup dan stres lingkungan selalu membuat seseorang harus memenuhi tuntutan dan tantangan, yang karenanya merupakan sumber depresi yang potensial. Selanjutnya yang kedua adalah kepribadian, dengan pola kepribadian apapun dapat mengalami depresi apabila tidak mampu menanggulangi stresor psikososial yang dialaminya namun individu yang memiliki kepribadian tertentu, seperti obsesif, kompulsif, histrionik, dan borderline akan memiliki risiko yang lebih besar mengalami gangguang depresi (Kaplan dan Saddock, 2010).
Lubis (2009), menjelaskan salah satu penyebab yang mempengaruhi tigkat depresi seseorang adalah tipe kepribadiannya dan biasanya yang rentan mengalami gangguan depresi adalah seseorang yang memiliki konsep diri yang
negatif, pesimis dan kepribadian introvert. Hawari, (2008) juga menjelaskan bahwa orang yang memiliki risiko tinggi biasanya memiliki corak kepribadian depresif, yang ciri-cirinya yaitu: pemalu, tidak percaya diri, sedikit bicara, susah bergaul, mudah merasa bersalah, pemurung, mudah tersinggung, mudah mengalah, mudah sedih, mudah tegang, agitasi, sering mengeluh, tidak bersemangat, pesimis, sering merasa cemas, khawatir, dan takut yang ciri-ciri seperti ini sangat mirip dengan ciri-ciri individu yang memiliki tipe kepribadian introvert.
Berdasarkan dari apa yang dipaparkan sebelumnya, Kaplan dan Saddock, (2010) menjelaskan bahwa depresi dapat disebabkan oleh beberapa faktor-faktor tertentu, salah satunya adalah faktor kepribadian. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Supriani (2011) yang menunjukan bawa ada hubungan antara tipe kepribadian introvert dan ekstrovert dengan tingkat depresi pada lansia. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Astari (2021) juga menunjukan bahwa terdapat hubungan negatif yang signifikan antara tipe kepribadian ekstrovert dan introvert dengan tingkat depresi, yang artinya semakin ekstrovert seseorang maka semakin rendah tingkat depresinya dan sebaliknya jika semakin introvert seseorang maka semakin tinggi tingkat depresinya.
Kepribadian adalah sifat dan tingkah laku yang ditunjukkan oleh seorang individu dan menjadi ciri khas sehingga dapat membedakan seorang individu dengan individu lainnya beradaptasi dengan lingkungannya. Menurut Feist dan Feist (2010) kepribadian adalah sesuatu yang mencakup fisik dan psikologis individu yang juga meliputi perilaku terlihat dan pikiran yang tidak terlihat serta
bukan hanya merupakan sesuatu tetapi dapat melakukan sesuatu. Sedangkan menurut Sukmadinata (2013) kepribadian merupakan perpaduan antara aspek- aspek kepribadian yang meliputi aspek psikis seperti, kecerdasan, bakat, sikap, motif, minat, kemampuan, moral, dan juga aspek fisik seperti postur tubuh, tinggi dan berat badan. Menurut Jung (dalam Alwisol, 2009), kepribadian adalah bagian diri Individu yang meliputi keseluruhan diantara pemikiran dan perasaan individu yang berhubungan dengan perilaku suatu individu dan jenis kepribadian berada pada sisi kesadaran maupun ketidak sadaran.
Jung menjelaskan bahwa setiap individu memiliki dua jenis kepribadian dan kedua jenis kepribadian tersebut masing-masing berada pada sisi kesadaran dan sisi ketidaksadaran individu, ketika jenis kepribadian Introvert berada pada alam kesadaran individu maka jenis kepribadian Extrovert berada pada sisi sebaliknya ketidak sadaran individu (Alwisol, 2009). Eysenck (dalam Suryabrata, 2001) juga menjelaskan bahwa kepribadian memiliki dua jenis yaitu kepribadian introvert dan ekstrovert. Individu dengan tipe kepribadian introvert biasnya memiliki sifat yang tenang, sering merawat diri, berhati-hati, pemikir, kurang mempercayai keputusan yang impulsif, lebih menyukai hidup teratur, suka menyendiri, kuatir, suka murung, kaku, sederhana, kurang suka bergaul, pendiam, pesimis, pasif, menguasai diri, berhati-hati, tenggang hati, damai, terkendali, dapat diandalkan. sedangkan individu yang memiliki tipe kepribadian ekstrovert memiliki karakteristik sebagai berikut: mereka tergolong orang yang ramah, suka bergaul, meyukai pesta, memiliki banyak teman, selalu membutuhkan teman untuk diajak bicara,mudah tertarik dengan apa yang tejadi disekitarnya sering
banyak bicara, membendingkan pendapat mereka dengan pendapat orang lain seperti aksi dan inisiatif, terbuka, mudah berteman dan beradaptasi dengan kelompok baru, mengatakan apa yang mereka pikirkan tertarik dengan orang- orang baru mudah menolak bersahabat dengan orang-orang yang tidk diinginkannya.
Menurut Eysenck, tipe atau dimensi utama kepribadian adalah introversi dan ekstraversi. Aspek-aspek variabel tipe kepribadian introvert-ekstravert menurut Eysenck dalam Eysenck Personality Questionare (EPQ) adalah sebagai berikut (Eysenck dan Wilson, 1975), Aspek Activity menjelaskan bahwa individu dengan tipe kepribadian ekstrovert cenderung lebih aktif dan enerjik, Sedangkan individu dengan tipe kepribadian introvert cenderung kurang aktif dan lebih pasif.
Aspek Sociability menjelaskan bahwa individu dengan tipe kepribadian ekstrovert suka terhadap kontak sosial, cepat akrab dan mudah bergaul sedangkan individu dengan tipe kepribadian introvert lebih memilh memiliki teman yang sedikit, suka beraktifitas sendiri. Aspek Risk-taking menjelaskan bahwa individu dengan tipe kepribadian ekstrovert lebih menyukai akan hal yang berkaitan dengan tantangan, tidak memikirkan resiko sedangkan individu dengan tipe kepribadian introvert lebih menyukai hal yang biasa dilakukan menyukai keadaan yang aman dan tidak menyukai hal yang beresiko. Aspek impulsiveness menjelaskan bahwa individu dengan tipe kepribadian ekstrovert memiliki sikap yang terburu-buru dalam mengambil keputusan sedangkan individu dengan tipe kepribadian introvert cenderung lebih berhati-hati dalam memilih keputusan dan menyukai sesuatu yang terkontrol. Aspek ekspressiveness menjelaskan bahwa individu
dengan tipe kepribadian ekstrovert menyatakan dan mengekspresikan emosinya lebih secara terbuka sedangkan individu dengan tipe kepribadian introvert pandai menyembunyikan perasaan. Aspek reflectiveness menjelaskan bahwa individu dengan tipe kepribadian ekstrovert biasanya lebih praktis dalam berpikir sedangkan individu dengan tipe kepribadian introvert banyak pertimbangan dalam melakukan sesuatu tindakan. Aspek responsibility menjelaskan bahwa individu dengan tipe kepribadian ekstrovert biasanya suka sembarangan mengabaikan janji yang telah dibuat dibuat, kurang bertanggung jawab sedangkan tipe kepribadian introvert cenderung dapat diandalkan, dapat dipercaya, dan lebih berhati- hati.
Kepribadian ekstrovert dan introvert merupakan suatu kepribadian yang sangat berbanding terbalik, menurut Eysenck (dalam Alwaisol, 2014), orang- orang yang introvert itu memperlihatkan kecenderungan untuk mengembangkan gejala-gejala ketakutan dan depresi, ditandai oleh mudah tersinggung, apatis, syaraf otonom mereka labil, gampang terluka, menderita rasa rendah diri, mudah melamun, suka tidur. Sedangkan orang-orang ekstrovert memperlihatkan kecenderungan untuk mengembangkan gejala-gejala histeris. Selanjutnya mereka memperlihatkan sedikit energi, perhatian yang sempit, sejarah kerja yang kurang baik. Mendapat kesukaran karena gagap, mudah kena kecelakaan, sering tak masuk kerja karena sakit, merasa tidak puas, dan merasa sakit-sakit. Menurut Eysenck (dalam Suryabrata, 2001), seseorang yang ekstrovert lebih memiliki kendali diri yang kuat ketika dihadapkan pada permasalahan-permasalahan traumatik, otak individu yang ekstrovert akan menahan diri, artinya tidak terlalu memikirkan trauma yang dialami sehingga tidak selalu teringat dengan apa yang
telah terjadi dan individu dengan tipe kepribaian ekstrovert juga biasanya jarang murung, memiliki peribadi yang periang, pemberani, sukses dan mudah beradaptasi dengan lingkungannya sehingga risiko untuk mengalami gangguan depresi juga lebih kecil (Supriani, 2011). Begitupun sebaliknya, orang introvert memiliki kendali diri yang cukup lemah karena ketika mengalami trauma otak tidak siap untuk melindungi diri dan Cuma berdiam diri, akan tetapi justru lebih membesar-besarkan persoalan dan mengingat detail-detail kejadian, sehingga individu tersebut dapat mengingat apa yang terjadi dengan sangat jelas. Hawari, (2008) juga menjelaskan bahwa orang yang memiliki risiko tinggi biasanya memiliki corak kepribadian depresif, yang ciri-cirinya yaitu: pemalu, tidak percaya diri, sedikit bicara, susa bergaul, mudah merasa bersalah, pemurung, mudah tersinggung, mudah mengalah, mudah sedih, mudah tegang, agitasi, sering mengeluh, tidak bersemangat, pesimis, sering merasa cemas, khawatir, dan takut yang ciri-ciri seperti ini sangat mirip dengan ciri-ciri individu yang memiliki tipe kepribadian introvert.
Penelitian yang dilakukan oleh Sari (2017) menunjukkan hasil bahwa tidak ada perbedaan tingkat kecenderungan depresi mahasiswa berdasarkan tipe kepribadian (ekstrovert-introvert) di Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga yang ditunjukkan dengan nilai signifikan 0,511 > 0,005. Penelitian sebelumnya tentang Perbedaan Tingkat Depresi Berdasarkan Tipe Kepribadian Ekstrovert dan Introvert yang dilakukan oleh Manovia (2011) 66 orang mahasiswa dan mendapatkan hasil bahwa tingkat depresi pada mahasiswa dengan tipe kepribadian introvert lebih tinggi dibandingkan mahasiswa dengan tipe
kepribadian ekstrovert. Penelitian-penelitian di atas menunjukkan hasil yang tidak konsisten, hal ini mendorong peneliti untuk meneliti ulang apakah terdapat perbedaan tingkat depresi pada individu dengan tipe kepribadian ekstrovert dan introvert pada mahasiswa tingkat akhir yang sedang mengerjakan skripsi.
B. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan tingkat depresi berdasarkan tipe kepribadian ekstrovert dan introvert pada mahasiswa tingkat akhir yang sedang mengerjakan skripsi.
C. Manfaat penelitian 1. Manfaat Teoritis
Manfaat teoritis yang diharapkan dari penelitian ini yaitu agar dapat memberikan sumbangan terhadap ilmu psikologi khususnya di bidang psikologi klinis, serta diharapkan akan dapat menambah wawasan tentang perbedaan tingkat depresi berdasarkan tipe kepribadian ekstrovert dan introvert.
2. Manfaat Praktis
Dengan adanya penelian ini diharapkan dapat memberi informasi kepada mahasiswa dengan tipe kepribadian introvert agar dapat mengatasi permasalahan depresi ini dengan cara meniru perilaku pada tipe kepribadian ekstrovert agar mereka bisa menjadi lebih terbuka kepada orang lain sehingga dapat mencegah terjadinya depresi.