TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan tentang Lingkungan Hidup dan Hukum Lingkungan a) Pengertian Lingkungan Hidup
Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia, dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsun gan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Manusia hidup di alam dan beradaptasi di tengah-tengah makhluk hidup lainnya. Lingkungan hidup terbentuk melalui proses rumit dan panjang yang pada akhirnya terbentuk alam yang ada saat ini. Lingkungan hidup menghasilkan sumber daya yang digunakan oleh manusia. Oleh sebab itu sebagai bentuk timbal balik atas apa yang diberikan oleh lingkungan hidup, manusia seharusnya mengusahakan agar lingkungan hidup tetap terpelihara (Hamzah,Andi,2005:2).
Lingkungan hidup sebagai karunia dan rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa kepada rakyat dan bangsa Indonesia merupakan ruang bagi kehidupan dalam segala aspek dan matranya sesuaii dengan wawasan nusantara. Lingkungan merupakan bagian dari integritas kehidupan manusia. Sehingga lingkungan harus dipandang sebagai salah satu komponen ekosistem yang memiliki nilai untuk dihormati, dihargai, dan tidak disakiti, lingkungan memiliki nilai terhadap dirinya sendiri (Hetty Ismainar, 2020:18)
b) Pengertian Hukum Lingkungan
Secara definitif hukum lingkungan adalah aturan-aturan atau ketentuan-ketentuan atau norma-norma hukum yang mengatur secara terpadudalam hal penataan, pemanfaatan, perkembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan pengendalian lingkungan hidup (H.A.
Dardiri Hasyim, 2014:1-2).
Menurut Danusaputro, pengertian hukum lingkungan yang paling sederhana adalah hukum yang mengatur tatanan lingkungan.
Ditambahkan bahwa hukum tata (pengelolaan) lingkungan atau hukum tata penyelenggaraan tugas (hak dan kewajiban) kekuasaan negara berikut alat kelengkapaannya dalam mengatur pengelolaan lingkungan hidup. Sedangkan Semunur Hardjasoemantri berpendapat, bahwa hukum tata lingkungan (HTL) mengatur penataan lingkungan guna mencapai keselarasan hubungan antara manusia dan lingkungan hidup, baik lingkungan hidup fisik maupun lingkungan hidup sosial budaya.
Bidang garapannya meliputi tata ruang, tata guna tanah, tata cara peran serta masyarakat, tata cara peningkatan upaya pelestarian kemampuan lingkungan, tata cara perlindungan lingkungan, tata cara ganti kerugian dan pemulihan lingkungan serta penataan keterpaduan pengelolaan lingkungan hidup (R.M. Gatot P. Soemartono, 1996:53).
Dalam pengertian sederhana, hukum lingkungan diartikan sebagai hukum yang mengatur tatanan lingkungan (lingkungan hidup), di mana lingkungan mencakup semua benda dan kondisi, termasuk di dalamnya manusia dan tingkah perbuatannya yang terdapat dalam ruang manusia berada dan mempengaruhi kelangsungan hidup serta kesejahteraan manusia serta jasad-jasad hidup lainnya (Hartiniwingsih, 2007:2).
Hukum lingkungan bertujuan menyelesaikan masalah lingkungan khususnya yang disebabkan oleh manusia. Kerusakan lingkungan atau penurunan mutu lingkungan bagi manusia dapat dilihat dari nilai-nilai lingkungan untuk kesehatan, kesejahteraan, dan ketentraman manusia. Nilai lingkungan yang hilang dan berkurang akibat pemanfaatan tertentu oleh umat manusia. Menurut Drupsteen, masalah lingkungan merupakan kemunduran kualitas lingkungan, atau dengan kata lain, bahwa masalah lingkungan yang menyangkut gangguan terhadap lingkungan antara manusia dan lingkungan bentuk–
bentuknya berupa pencemaran, pengurasan, dan perusakan lingkungan (Hamzah, Andi,2005:7).
Dilihat dari fungsinya, hukum lingkungan berisi kaidah–kaidah tentang perilaku masyarakat yang positif terhadap lingkungannya, langsung atau tidak langsung. Secara langsung kepada masyarakat hukum lingkungan menyatakan apa yang dilarang dan apa yang diperbolehkan. Secara tidak langsung kepada warga masyarakat adalah memberikan landasan bagi yang berwenang untuk memberikan kaidah kepada masyarakat (Hamzah, Andi, 2005:8).
Penegakan hukum lingkungan Indonesia melibatkan pelbagai instansi pemerintah sekaligus, seperti polisi, jaksa, pemerintah daerah, pemerintah pusat terutama Departemen Perdagangan, Departemen Perindustrian, Departemen Kehutanan, dan Departemen Pekerjaan Umum, Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, laboratorium kriminal, bahkan lembaga swasta seperti LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), dan lain – lain (Nino Augusta Sasongko, 2010:26)
2. Tinjauan tentang AMDAL a) Pengertian AMDAL
Definisi AMDAL secara yuiridis tercantum dalam Pasal 1 ayat (11) Undang-Undang 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang menyatakan Analisis mengenai dampak lingkungan hidup, yang selanjutnya disebut Amdal, adalah kajian mengenai dampak penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.
AMDAL merupakan kajian dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, dibuat pada tahap perencanaan, dan digunakan untuk pengambilan keputusan. Hal-hal yang dikaji dalam proses AMDAL:
aspek fisik-kimia, ekologi, sosial-ekonomi, sosial-budaya, dan kesehatan masyarakat sebagai pelengkap studi kelayakan suatu rencana usaha dan/atau kegiatan (La Ode Angga, 2020:129).
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan adalah suatu studi yang mendalam tentang dampak negatif dari suatu kegiatan. AMDAL mempelajari dampak pembangunan terhadap lingkungan hidup dan dampak lingkungan terhadap pembangunan yang didasarkan pada konsep ekologi, yaitu ilmu yang mepelajari hubungan timbal balik antara manusia dengan lingkungan hidup, oleh karena itu konsep AMDAL dikatakan sebagai konsep ekologi pembangunan, yang mempelajari hubungan timbal balik antara pembangunan dengan lingkungan hidup (Otto, Soermawoto 1988:43).
Analisis dampak lingkungan atau disingkat menjadi AMDAL sudah dikembangkan oleh beberapa negara maju sejak tahun 1970 dengan nama Enviromental Impact Analysis atau Enviromental Impact Assessment yang kedua-duanya disingkat menjadi EIA. Di dalam bahasa Indonesia environmental diterjemahkan menjadi lingkungan, analisis pada permulaannya diterjemahkan menjadi analisa kemudian oleh
ahli bahasa disarankan untuk diterjemakan menjadi analisis. Terjemahan dan pengertian dari impact agaknya tidak mudah, karena negara-negara yang nenggunakan bahasa inggris sebagai bahasa nasionalnya pun masih berbeda-beda mengenai pengertiannya. Beberapa negara seperti Kanada dan Australia, misalnya masih ada yang menggunakan istilah effect dengan arti yang sama dan sering pula dengan arti yang berbeda (F.
Gunarwan Sunarto, 2009: 1).
Enviromental Impact Assesment (EIA) is one of the public policy instruments dedicated to sustainability. EIA is a decision-making tool intended to contribute to the economic development of societies, while limiting the impact on the environment.( Jeff Wilson, Shawn Hinz, Jennifer Coston-Guarini, Camille Mazé, Jean-Marc Guarini and Laurent Chauvaud, 2017:1-2).
b) Rencana Usaha dan/atau Kegiatan yang Wajib Memiliki AMDAL
Jenis usaha atau kegiatan yang wajib memiliki AMDAL ditetapkan berdasarkan potensi dampak penting dan ketidakpastian kemampuan teknologi yang tersedia untuk menanggulangi dampak penting negatif yang akan timbul. Potensi dampak penting tersebut bagi terbagi berdasarkan :
1) Besarnya jumlah penduduk yang akan terkena dampak rencana usaha/atau kegiatan;
2) Luas penyebaran dampak;
3) Ntensitas dan lamanya dampak berlangsung;
4) Banyaknya komponen lingkungan hidup lain yang akan terkena dampak;
5) Sifat kumulatif dampak;
6) Berbalik atau tidak berbalikya dampak; dan
7) Kriteria lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; dan/atau
8) Referensi internasional yang diterapkan oleh beberapa negara sebagai landasan kebijakan tentang AMDAL (H. A. Dardiri Hasyim, 2014:85)
Selanjutnya dalam Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup disebutkan beberapa kriteria usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting yang wajib dilengkapi dengan AMDAL, yaitu sebagai berikut :
1) Pengubahan bentuk lahan dan bentang alam;
2) Eksploitasi sumber daya alam, baik yang terbarukan maupun yang tidak terbarukan;
3) Proses dan kegiatan yang secara potensial dapat menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup serta pemborosan dan kemerosotan sumber daya alam dalam pemanfaatannya;
4) Proses dan kegiatan yang hasilnya dapat mempengaruhi lingkungan alam, lingkungan buatan, serta lingkungan sosial dan budaya;
5) Proses dan kegiatan yang hasilnya akan mempengaruhi pelestarian kawasan konservasi sumber daya alam dan/atau perlindungan cagar budaya;
6) Introduksi jenis tumbuh-tumbuhan, hewan, dan jasad renik;
7) Pembuatan dan penggunaan bahan hayati dan nonhayati;
8) Kegiatan yang mempunyai risiko tinggi dan/atau mempengaruhi pertahanan negara; dan/atau
9) Penerapan teknologi yang diperkirakan mempunyai potensi besar untuk mempengaruhi lingkungan hidup.
Konsep AMDAL yang mempelajari dampak pembangunan terhadap lingkungan dan dampak lingkngan terhaddap pembangunan juga didasarkan pada konsep ekologi yang secara umum didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari interaksi antara makhluk hidup denga lingkungannya. AMDAL merupakan bagian ilmu ekologi pembangunan yang mempelajari hubungan
timbal balik atau interaksi antara pembangunan dan lingkungan (Otto Soemarwoto, 1988:37).
c) Dokumen AMDAL
Berdasarkan Pasal 26 Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Izin Lingkungan, dokumen AMDAL terdiri dari :
1) Kerangka Acuan 2) ANDAL
3) RKL-RPL
Dokumen Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan (KA- AMDAL) : Dokumen ini merupakan ruang lingkup dan kedalaman kajian analisis mengenai dampak lingkungan hidup yang akan dilaksanakan sesuai proses pelingkupan.
Dokumen Analisis Dampak Lingkungan Hidup (ANDAL):
Dokumen ini memuat telaahan secara cermat dan mendalam tentang dampak besar dan penting suatu rencana usaha dan/atau kegiatan berdasarkan arahan yang telah disepakati dalam dokumen KA-AMDAL
Dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup (RKL) Dokumen ini memuat berbagai upaya penanganan dampak besar dan penting terhadap Lingkungan hidup yang ditimbulkan akibat rencana usaha dan/atau kegiatan.
Dokumen Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RPL) Dokumen ini memuat berbagai rencana pemantauan terhadap berbagai komponen Lingkungan Hidup yang telah dikelola akibat terkena dampak besar dan penting dari rencana usaha dan/atau kegiatan (Gatot P.
Soemartono, 2004:163).
d) Pihak-pihak terkait penyusunan AMDAL
Pihak-pihak terkait penyusunan AMDAL antara lain : 1) Pemrakarsa
Orang atau badan hukum yang bertanggungjawab atas suatu usaha rencana usaha dan atau kegiatan yang akan dilaksanakan. Pemrakarsa dapat menunjuk pihak lain (seperti konsultan lingkungan hidup) untuk membantu melaksanakan kajian AMDAL, namun tanggung jawab terhadap hasil kajian dan pelaksanaan ketentuan AMDAL tetap di tangan pemrakarsa kegiatan.
2) Pemerintah
Pemerintah berkewajiban memberikan keputusan apakah suatu rencana kegiatan layak atau tidak layak lingkungan. Untuk mengambil keputusan, pemerintah memerlukan informasi yang dapat dipertanggungjawakan, baik dari pihak-pihak lain yang berkepentingan. Informasi tersebut disusun secara sistematis dalam dokumen AMDAL.
3) Masyarakat yang terkena dampak
Di dalam kajian AMDAL, masyarakat bukan obyek kajian namun merupakan subyek yang ikut serta dalam proses pengambilan keputusan tentang hal-hal yang berkaitan dengan AMDAL. Dalam proses ini masyarakat menyampaikan aspirasi, kebutuhan, nilai-nilai yang dimiliki masyarakat dan usulan penyelsaian masalah
(http://dlh.jabarprov.go.id/index.php/faq/119-amdal/177-siapa-saja- pihak-yang-terlibat-dalam-
amdal#:~:text=Pihak%2Dpihak%20yang%20berkepentingan%20dala m,%2C%20pemrakarsa%2C%20masyarakat%20yang%20berkepentin gan, diakses pada 15 September pukul 15.30)
3. Tinjauan tentang Keterlibatan Masyarakat a) Pengertian Keterlibatan Masyarakat
Dalam perspektif Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH), partisipasi
masyarakat dalam proses pembuatan AMDAL menggunakan istilah
“melibatkan”. Padaan kata ini asal kata dari liba yaitu, melibat; melipat;
membebat; membelit; menyangkut; memasukan atau membawa-bawa ke dalam perkara atau urusan dan sebagainya. Sedangkan istilah
“mengikutsertakan” yang termaktub di dalam PP Izin Lingkungan, menurut tata bahasa Indonesia merupakan asal kata dari, ikut, serta, ikut serta, mengikutsertakan. Padaan kata Mengikutsertakan artinya menjadikan agar turut berbuat sesuatu secara bersama (Budiono, 2005:16). Locke berpendapat bahwa masyarakat adalah lapangan hidup di mana individu-individu dapat mewujudkan hak-hak dan kebebasan asli mereka (Huijbers, 1982: 112).
Dalam Pasal 9 ayat 3 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia disebutkan bahwa setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Kemudian dalam Pasal 65 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup disebutkan beberapa hak yang berkaitan dengan lingkungan hidup, yaitu :
1) Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia.
2) Setiap orang berhak mendapatkan pendidikan lingkungan hidup, akses informasi, akses partisipasi, dan akses keadilan dalam memenuhi hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
3) Setiap orang berhak mengajukan usul dan/atau keberatan terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan yang diperkirakan dapat menimbulkan dampak terhadap lingkungan hidup.
4) Setiap orang berhak untuk berperan dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang- undangan.
5) Setiap orang berhak melakukan pengaduan akibat dugaan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.
Sementara itu, Diana Conyers mengemukakan 3 (tiga) alasan mengapa partisipasi masyarakat begitu penting dibutuhkan, yaitu:
1) Partisipasi masyarakat merupakan suatu alat guna memperoleh suatu informasi mengenai kondisi kebutuhan dan sikap masyarakat, karena tanpa kehadirannya program pembangunan akan mengalami kegagalan;
2) Masyarakat akan lebih mempercayai proyek atau program pembangunan jika mereka merasa dilibatkan, mulai dari proses persiapan, perencanaan, dan pelaksanaannya. Hal ini akan menimbulkan perasaan memiliki terhadap proyek-proyek atau pembangunan tersebut;
3) Mendorong adanya partisipasi umum di banyak negara karena timbul anggapan bahwa merupakan suatu hak demokratis bila masyarakat dilibatkan dalam pembangunan masyarakat itu sendiri. (N.H.T.
Siahaan, 2008:150).
b) Teori Partisipasi Masyarakat Menurut Arnstein
Partisipasi masyarakat menggambarkan bagaimana terjadinya pembagian ulang kekuasaan yang adil (redistribution of power) antara penyedia kegiatan dan kelo mpok penerima kegiatan. Partisipasi masyarakat tersebut bertingkat, sesuai dengan gradasi, derajat wewenang dan tanggung jawab yang dapat dilihat dalam proses pengambilan keputusan. Gradasi peserta dapat digambarkan dalam Tabel 1 sebagai sebuah tangga dengan delapan tingkatan yang menunjukkan peningkatan partisipasi tersebut (Arnstein 1986 dalam Wicaksono 2010) :
No. Tangga/Tingkatan Partisipasi
Hakekat Kesertaan
Tingkatan Pembagian Kekuasaan 1 Manipulasi
(Manipulation)
Permainan
oleh pemerintah Tidak ada partisipasi 2 Terapi
(Therapy)
Sekedar agar masyarakat tidak marah/sosialisasi 3 Pemberitahuan
(Informing)
Sekedar pemberitahuan searah/sosiali sasi
Tokenism/sekedar justifikasi agar mengiyakan 4 Konsultasi
(Consultation)
Masyarakat
didengar, tapi tidak selalu dipakai sarannya 5 Penentraman
(Placation)
Saran masyarakat diterima tapi tidak selalu dilaksanakan 6 Kemitraan
(Partnership)
Timbal balik dinegosiasikan
Tingkat kekuasaan ada di masyarakat 7 Pendelegasian
Kekuasaan
(Delegated Power)
Masyarakat diberi kekuasaan
(sebagian atau seluruh program) 8 Kontrol
Masyarakat
Sepenuhnya dikuasai masyarakat
Arnstein (1969) menyatakan bahwa partisipasi Masyarakat identik dengan kekuasaan masyarakat (citizen partisipation is citizen power). Partisipasi masyarakat bertingkat sesuai dengan gradasi kekuasaan yang dapat dilihat dalam proses pengambilan keputusan.
(Arnstein, Sherry R. 1969. A Ladder Warga Negara Partisipasi.
http://lithgow-schmidt.dk/sherry-arnstein/ladder-of-citizen- participation.html, diakses pada 8 Februari 2022).
c) Keterlibatan Masyarakat Dalam Penyusunan AMDAL
Lingkungan hidup merupakan salah satu sumber daya alam yang memiliki peran yang sangat strategis terhadap keberadaan makhluk ciptaan Tuhan, termasuk manusia. UU PLH telah memberikan peran kepaada manusia untuk memberikan perannya dalam pengelolaan lingkungan (Supriadi, 2005:183). Kebijakan pemerintah dalam pembangunan negara adalah mengiktsertakan masyarakat semaksimal mungkin atau sering disebutkan peran serta masyarakat dalam pembangunan negara. Adapun tujuan dasar partisipasi masyarakat menurut E. Gunawan Suratno adalah mengikutsertakan masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup, mengikutsertakan masyarakat dalam pembangunan negara dan membantu pemerintah untuk dapat mengambil kebijaksanaan dan keptusan yang lebih baik dan cepat (E.
Gunawan Suratmo, 2007:169).
Dalam Pasal 28 Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup, menyatakan penyusunan dokumen AMDAL dilakukan dengan melibatkan masyarakat yang terkena dampak langsung terhadap rencana usaha dan/kegiatan.
Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup,
menerangkan bahwa dalam proses penyusunan AMDAL, masyarakat diikutsertakan dalam penyusunan dokumen AMDAL berhak menyampaikan saran, pendapat dan tanggapan rencana kegiatan/usaha dalam jangka 10 hari kerja setelah pengumuman rencana kegiatan/usaha secara tertulis kepada penanggung jawab rencana kegiatan/usaha dan masyarakat juga bisa menyampaikan saran, pendapat dan tanggapan rencana kegiatan/usaha pada saat konsultasi publik..
Pasal 2 Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 17 Tahun 2012 tentang Pedoman Keterlibatan Masyarakat Dalam Proses Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup dan Izin Lingkungan, menyatakan bahwa: Pelaksanaan keterlibatan masyarakat dalam proses AMDAL dan Izin Lingkungan dilakukan berdasarkan prinsip dasar : 1) Pemberian informasi yang lengkap dan transparan;
2) Kesetaraan posisi di antara pihak-pihak yang terlibat;
3) Penyelesaian masalah yang bersifat adil dan sederhana; dan
4) Koordinasi, komunikasi dan kerjasama di kalangan pihak-pihak yang terkait.
Adapun manfaat dari adanya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup adalah sebagai berikut :
1) Memberi informasi kepada pemerintah
Adanya keterlibatan masyarakat dapat menambah perbendaharaan pengetahuan mengenai sesuatu aspek tertentu yang diperoleh dari pengetahuan khusus masyarakat itu sendiri maupun dari para ahli yang diminati pendapat oleh masyarakat. Peran ini sangat diperlukan untuk memberi masukan kepada pemerintah tentang yang dapat ditimbulkan oleh sesuatu rencana tindakan pemerintah dengan berbagai konsekuensi hukumnya. Dengan demikian pemerintah akan dapat mengetahui adanya berbagai kepentingan yang dapat terkena
dampak dari tindakan tersebut yang patut diperhatikan secara serius.
Pengetahuan tambahan dan pemahaman akan masalahmasalah yang mungkin timbul, yang diperoleh sebagai masukan peran serta masyarakat bagi proses pengambilan keputusan Pemerintah, akan dapat meningkatkan kualitas keputusan tersebut dan dengan demikian partisipasi tersebut akan dapat meningkatkan kualitas tindakan negara dengan lembagalembaganya untuk melindungi lingkungan hidup.
2) Meningkatkan kesediaan masyarakat untuk menerima keputusan Warga masyarakat yang telah memperoleh kesempatan untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan dan tidak dihadapkan pada suatu masalah fait accompli, akan cenderung untuk memperlihatkan kemauan dan kesediaan yang lebih besar guna menerima dan menyesuaikan diri dengan keputusan yang telah diambil tersebut. Pada pihak lain, peran serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan akan dapat banyak mengurangi kemungkinan timbulnya pertentangan antar anggota masyarakat, asal peran serta tersebut dilaksanakan pada saat yang tepat. Akan tetapi perlu dipahami bahwa suatu keputusan tidak pernah akan memuaskan semua kepentingan, golongan atau semua warga masyarakat, namun kesediaan masyarakat untuk menerima keputusan Pemerintah akan dapat ditingkatkan.
3) Membantu perlindungan hukum
Jika sebuah keputusan akhir diambil dengan memperhatikan keberatan-keberatan yang diajukan oleh masyarakat selama proses pengambilan keputusan berlangsung, maka dalam banyak hal tidak akan ada keperluan untuk mengajukan perkara ke Pengadilan. Sebuah perkara yang diajukan ke pengadilan, lazimnya perkara tersebut memusatkan diri pada suatu kegiatan tertentu. Dengan demikian tidak dibuka kesempatan untuk menyarankan dan mempertimbangkan
alternatif kegiatan lainnya. Sebaliknya dalam proses pengambilan keputusan, alternatif dapat dan memang dibicarakan, setidak-tidaknya sampai suatu tingkatan tertentu. Apabila sebuah keputusan dapat mempunyai konsekuensi begitu jauh, maka sangatlah diharapkan bahwa setiap orang yang terkena akibat keputusan itu perlu diberitahukan dan diberi kesempatan untuk mengajukan keluhan dan keberatan- keberatannya sebelum keputusan itu diambil.
4) Mendemokrasikan pengambilan keputusan
Dalam hubungannya dengan partisipasi masyarakat ini, ada pendapat yang menyatakan bahwa dalam pemerintahan dengan sistem perwakilan (representative), maka hak untuk melaksanakan kekuasaan terdapat juga pada wakil-wakil rakyat yang dipilih oleh rakyat. Dengan demikian tidak ada keharusan adanya bentuk-bentuk dari peran serta masyarakat karena wakilwakil rakyat itu bertindak untuk kepentingan rakyat yang telah mewakilkan. Dikemukakan pula argumentasi, bahwa dalam sistem perwakilan peran serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan administratif akan menimbulkan masalah keabsahan demokratis, karena warga masyarakat, kelompok atau organisasi yang turut serta dalam proses pengambilan keputusan tidaklah dipilih atau diangkat secara demokratis (Koesnadi Hardjasoemantri, 1999:2-4).
Agar partisipasi masyarakat berdayaguna dan berhasilguna dalam pengelolaan lingkungan hidup terdapat 6 (enam) kriteria yang harus dipenuhi, antara lain sebagai berikut :
1) Pemimpin eksekutif yang terbuka
Dalam konteks ini hal yang perlu diperhatikan adalah keberperanan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan, sehingga keputusan yang kemudian diambil dapat diterima oleh masyarakat dan akan dilaksanakan oleh masyarakat, karena di dalamnya terdapat refleksi
dan keinginan masyarakat. Guna mengakomodasikan masukan dalam proses pengambilan keputusan, diperlukan sikap terbuka dari pimpinan eksekutif, sikap bersedia menerima masukan. Sikap tersebut tidaklah terbatas pada penerimaan secara pasif, akan tetapi meliput i pula secara aktif mencari masukan tersebut dan berarti menghubungi masyarakat dengan pendekatan pribadi (personal approach) yang baik.
2) Peraturan yang akomodatif
Di samping perlu adanya peraturan mengenai peran serta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana yang diatur dalam UUPPLH, maka dalam berbagai peraturan lainnya juga perlu dicantumkan ketentuan mengenai partisipasi masyarakat ini, sehingga para pelaksana akan mendapat pedoman bagaimana melibatkan masyarakat dalam kegiatan yang diatur oleh peraturan yang bersangkutan.
3) Masyarakat yang sadar lingkungan
Kata kunci keberhasilan pelaksanaan program pembangunan di bidang lingkungan hidup ada di tangan pelakunya, dalam hal ini pelaksana dan masyarakat. Oleh karena itu, sangatlah penting untuk menumbuhkan pengertian, motivasi dan penghayatan di kalangan masyarakat untuk berperan serta dalam mengembangkan lingkungan hidup.
4) Lembaga swadaya masyarakat yang tanggap
Lembaga swadaya masyarakat dapat berperan untuk mendayagunakan dirinya dan sarana untuk mengikutsertakan sebanyak mungkin anggota masyarakat dalam mencapai tujuan pengelolaan lingkungan hidup.
5) Informasi yang tepat
Ketepatan imformasi berkaitan dengan tepat dalam waktu, lengkap dan dapat dipahami. Dalam hubungannya dengan ini perlu diperhatikan aspek-aspek khusus yang ada pada kelompok sasaran.
Misalnya apabila sasarannya masyarakat pedesaan, maka sarana yang dipakai dengan menggunakan bahasa daerah yang mudah dipahami dan apabila menggunakan brosur maka hendaknya dibuat sesederhana mungkin dengan tulisan yang jelas dan mudah dipahami.
6) Keterpaduan
Segala sesuatu tidak akan berdayaguna dan berhasilguna, apabila tidak terdapat keterpaduan antar instansi yang berkaitan, baik yang bersifat horizontal antar sektor maupun yang bersifat vertikal antara pusat dan daerah (Absori,2004:198).
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja disebutkan bahwa masyarakat yang dilibatkan dalam proses penyusunan AMDAL adalah masyarakat yang terkena dampak langsung rencana kegitan/usaha.
Dalam Pasal 29 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup dijelaskan pengertian dari masyarakat terkena dampak langsung, yaitu masyarakat berada di dalam batas studi AMDAL yang akan terkena dampak secara langsung baik positif/negatif dari adanya rencana kegiatan/usaha.
B. Kerangka Pemikiran
Dasar Hukum
- Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja - Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 17 Tahun
2012 tentang Pedoman Keterlibatan Masyarakat Dalam Proses Analisis Dampak Lingkungan Hidup dan Izin Lingkungan
- Pasal 22 Peraturan Daerah Kabupaten Sukoharjo Nomor 6 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup - Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang
Penyelenggaraan Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup
Pemrakarsa AMDAL di Kabupaten Sukoharjo
Keterlibatan Masyarakat Dalam Proses Penyusunan AMDAL :
1. Pengumuman 2. Konsultasi Publik
Masyarakat terkena dampak langsung
Implementasi keterlibatan masyarakat dalam proses penyusunan AMDAL
Kendala implementasi masyarakat dalam proses penyusunan AMDAL
Keterangan :
Dasar hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup, Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 17 Tahun 2012 tentang Pedoman Keterlibatan Masyarakat Dalam Proses Analisis Dampak Lingkungan Hidup dan Izin Lingkungan, Pasal 22 Peraturan Daerah Kabupaten Sukoharjo Nomor 6 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pasal 26 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Dasar hukum tersebut di atas memuat mengenai ketentuan-ketentuan keterlibatan masyarakat dalam AMDAL sehingga digunakan sebagai landasan dalam penelitian ini.
Pemrakarsa kegiatan usaha atau industri harus melakukan proses penyusunan AMDAL melaui 3 tahap, yaitu : pengumuman, konsultasi publik, partsipasi masyarakat. Dalam proses penyusunan harus melibatkan masyarakat yang terkena dampak dampak langgsung dari rencana kegiatan/usaha.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui implementasi keterlibatan masyarakat dalam proses penyusunan AMDAL di Kabupaten Sukoharjo serta kendala-kendala
yang muncul dalam proses keterlibatan tersebut.