• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TUGAS DAN KEWENANGAN PERADILAN AGAMA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TUGAS DAN KEWENANGAN PERADILAN AGAMA"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TUGAS DAN KEWENANGAN PERADILAN AGAMA

A. Pengadilan agama

1. Pengertian Pengadilan Agama

Dalam pengkajian tentang Peradilan Agama di Indonesia dan Peradilan pada umumnya, terdapat beberapa kata atau istilah khusus, diantaranya Peradilan dan Pengadilan. Peradilan adalah kekuasaan negara dalam menerima, memeriksa, mengadili, memutus dan menyelesaikan perkara untuk menegakkan hukum dan keadailan. Adapun yang dimaksud dengan kekuasaan negara adalah kekuasaaan kehakiman yang memiliki kebebasan dari campur tangan pihak kekuasaan negara lainnya. Sedangkan Pengadilan adalah penyelenggara peradilan, atau dengan kata lain, pengadilan adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman untuk menegakan hukum dan keadilan. Dengan demikian, Peradilan Agama dapat dirumuskan dengan kekuasaan negara dalam menerima, memeriksa, mengadili, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara tertentu antara orang-orang yang beragama islam untuk menegakan hukum dan keadilan.1

Pengadilan adalah badan atau instansi resmi yang melaksanakan sistem peradilan berupa memeriksa, mengadili dan memutus perkara. Kata Pengadilan memiliki kata dasar yang sama yakni “adil” yang memiliki pengertian:

a) Proses mengadili.

b) Upaya untuk mencari keadilan.

c) Penyelesaian sengketa hukum di hadapan badan peradilan.

d) Berdasar hukum yang berlaku.

Pengadilan merupakan penyelenggara peradilan. Atau dengan perkataan yang lain, pengadilan adalah badan sedangkan peradilan yng melaksanakan kekuasaan kehakiman untuk menegakan hukum dan keadilan.2

Peradilan Agama adalah salah satu diantara tiga Peradilan Khusus di Indonesia. Dua Peradilan khusus lainnya adalah Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara. Dikatakan Peradilan Khusus karena Peradilan Agama mengaduili perkara-perkara tertentu dan menangani golongan rakyat tertentu.

Dalam hal ini, Peradilan Agama hanya berwenang dibidang perdata tertentu saja,

1 Drs. Hadin Nuryadin, Peradilan Agama di Indonesia, (Bandung : Pustaka Bani Quraisy 2004), 2-3

2 Nur Asyiah, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, (Yogyakarta : Deepublish 2015), 11-12

(2)

tidak pidana dan hanya pula untuk oramh-orang Islam di Indonesia, dan perkara- perkara perdata Islam tetentu, tidak mencakup seluruh perdata Islam. 3

Prinsip keadilan merupakan perinsip ketiga dalam nomokrasi Islam. Seperti halnya musyawarah, perkataan keadilan juga bersumber dari Al-Qur‟an. Cukup banyak ayat-ayat al-Qur‟an yang menggambarkan tentang keadilan, minsalnya:

Dalam surah an-Nisa :135

ْيَدِلاَىْلا ِوَأ ْمُكِسُفْوَأ ًَٰلَع ْىَلَو ِ َّ ِلِلّ َءاَدَهُش ِطْسِقْلاِب َهيِماَّىَق اىُوىُك اىُىَمآ َهيِذَّلا اَهُّيَأ اَي ِه

اىُعِبَّتَت َلََف ۖ اَمِهِب ًَٰلْوَأ ُ َّلِلّاَف اًّريِقَف ْوَأ اًّّيِىَغ ْهُكَي ْنِإ ۚ َهيِبَرْقَ ْلْاَو ْنِإَو ۚ اىُلِدْعَت ْنَأ ٰيَىَهْلا

اًّريِبَخ َنىُلَمْعَت اَمِب َناَك َ َّاللَّ َّنِإَف اىُضِرْعُت ْوَأ اوُىْلَت

Artinya :

“ Wahai orang-orang yang beriman, jadikanlah kamu orang yang benar- benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tau kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui “

(Q.S. an-Nisa : 135)

Dari ayat tersebut di atas sekurangnya dapat di tarik tiga garis hukum yaitu:

a) Menegakkan keadilan adalah kewajiban orang-orang yang beriman.

b) Setiap mukmin apabila menjadi saksi ia diwajibkan menjadi saksi karena Allah dengan sejujur-jujurnya dan adil.

c) Manusia dilarang mengikuti hawa nafsu dan manusia dilarang menyelewengkan kebenaran.4

2. Sejarah Pengadilan Agama

Menurut R. Tresna, sebelum ddatangnya Islam di Indonesia, tata hukum di Indonesia dipengaruhi oleh peradaban hindu. Hal ini terlibat dari adanya pemisahan antara peradilan raja dengan peradilan yang dilaksanakan pejabat- pejabat tertentu. Perkara-perkara yang menjadi urusan raja disebut perkara pradata. Perkara-perkara yang tidak termasuk urusan peradilan raja disebut

3 Dr. H. Roihan A. Rasyid, S.H,. M.A, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada 2002), 5

4Muklasiha, Landasan hukum peradilan dalam Al-Qur’an dan Al-Hadis, 2015

(3)

perkara padu. Namun pemisahan anrata kedua perkara tersebut tidak bersifat mutlak.5

Dengan masuknya Islam ke Indonesia, maka tata hukum di Indonesia mengalami perubahan. Hukum Islam tidak hanya menggantikan hukum Hindu, yang berwujud dalam hukum Pradata, tetapi juga memasukan pengaruhnya kedalam berbagai aspek kehidupan pada umumnya. Meskipun hukum asli masih menunjukan keberadannya, tetapi hukum Islam telah merembes dikalangan para penganutnya terutama hukum keluarga. Hal ini mempengaruhi terhadap proses pembentukan dan perkembangan Peradilan Agama di Indonesia.

Menurut M. Idris Ramuyodan Zaini Ahmad Nuh, sada tiga periode dalam perkembangan hukum Islam di Indonesia pada masa pra penjajah belanda, yaitu: (1) periode Tahkim, dalam masalah pribadi yang mengakibatkan perbenturan antara hak-hak dan kepentingan-kepentingan dalam tindak laku mereka, mereka bertakhim kepada seorang pemuka agama yang ada ditengah- tengah kelompok masyarakat mereka itu. Misalnya, seorang wanita bertakhim kepada seorang penghulu yang berhak menikahkannya dengan pemuda idamannya; (2) periode ahlul halli wal aqdi, dimana mereka telah mengangkat seorang ulama Islam yang bertindak sebagai qadli untuk menyelesaian perkara yang terjadi diantara mereka. Jadi qadli bertindak sebagai hakim; (3) periode tauliyah, yaitu penyerahan kekuasaan (wewenang) mengadili kepada suatu peradilan.6

a. Peradilan Agama Pada masa Penjajahan

sebelum Peradilan Agama diresmikan pada tahun 1882, pemerintah kolonial mengakui keberadaan dan berjalannya Peradilan Agama di masyarakat Islam Indonesia.

Pada tahun 1854, melalui Pasal 78 Regeeringstreglement (RR) 1854 (Stbl.

1855 No. 2) ditentukan batas kewenangan Peradilan Agama, yaitu: (a).

Peradilan Agama tidak berwenang dalam perkara pidana; (b). Apabila menurut hukum-hukum agama atau adat-adat lama perkara itu harus diputus oleh mereka (para penghulu/peradilan agama).

5 R. Tresna, Peradilan di Indonesia dari Abad ke Abad, (Jakarta : Pradaya Paramita 1978), 14

6 M. Idris Ramulyo, Asas-Asas Hukum Islam, (Jakarta : Sinar Grafika 1995), 53-54

(4)

Selanjutnya dalam pasal 109 RR 1854 disebutkan pula bahwa selain berwenang memutuskan perkara antara orang bumiputera yang beragama Islam, Peradilan agama juga berwenang memutuskan perkara orang Arab dengan orang Arab, orang Moor dengan orang Moor, orang Cina dengan orang Cina, orang India dengan orang India, orang Melayu dengan orang Melayu, dan sebagainya yang beragama Islam.

Pada tahun 1882 dikeluarkan penetapan Raja Belanda yang dimuat dalam Statsblaad 1882 No. 152 yang mengatur bahwa Peradilan agama di Jawa dan Madura dilakukan di Peradilan Agama yang Priestrerraad atau Majelis Pendeta.

Dengan adanya ketetapan tersebut terdapat perubahan yang cukup penting, diantaranya adalah bahwa pengadilan itu menetapan perkara-perkara yang dipandang masuk dalam lingkungan kekuasaan nya yang umumnya melipuuti:

pernikahan, perceraian, mahar, nafkah, keabsahan anak, perwalian, kewarisan hibah, wakaf, shadaqah, dan baitul mal yang semuanya erat dengan hukum Islam.

Weweng Peradilan Agama di Jawa dan Madura berdasarkan ketentuan baru itu diatur dalam pasal 2a, yang meliputi perkara-perkara sebagai berikut : 1) Perselisihan suami isteri yang beragama Islam.

2) Perkara-perkara tentang: a. Nikah, b. Talak, c. Rujuk, dan d. Perceraian antara orang-orang yang beragama Islam.

3) Menyelenggarakan perceraian.

4) Mengatakan bahwa syarat untuk jatuhya talak yang digantungkan telah ada.

5) Perkara mahar atau maskawin

6) Perkara tentang keperluan kehidupan suami isteri yang wajib diadakan suami.

b. Peradilan Agama pada Masa Setelah Kemerdekaan

Setelah Indonesia Merdeka, langkah pertama yang diambil oleh pemerintah ialah menyerahkan pembinaan Peradilan agama dari Kementrian Kehakiman kepada Kementrian Agama. Pada tahun 1948 keluar Undang- Undang No. 190 tahun 1948. Undang-Undang itu memasukan Peradilan Agama kedalam Peradilan umum. Pada tahun 1957 keluar peraturan Pemerintah No . 45/1957 yang mengatakan Peradilan agama diluar Jawa dan

(5)

Madura. Peraturan itu memberikan wewenang Yang lebih besar kepada Peradilan Agama, yaitu mengenai persoalan perkawinan, Pengadilan Agama juga mempunyai wewenang dalam masalah waris, wakaf, shadaqah, dan baitul mal. Namun aturan yang mengariskan Putusan Pengadilan Agama harus dikomfirmasikan oleh Pengadilan Umum masih berlaku. Sehingga dalam prakteknya putusan Pengadilan agama kadang-kadang tidak dikukuhkan, tetapi ditinjau kembali oleh Pengadilan Negeri, dan sering menimbulkan kebingungan dukalangan mereka yang berpekara.

Kemudian pada tahun 1970 aturan Pengadilan Agama benar-benar diperkuat melalui UU No. 14 Tahun 1970. Undang-undang ini menjelaskan adanya empat jenis Pengadilan: Pengadilan Umum, Pengadilan Agama, Pengadilan Militer dan Pengadilan Tata Usaha Negara. Mahkamah Agung merupakan lembaga tertinggi dan merupakan pengadi;an banding bagi semua jenis Pengadilan. Setelah keluarnya UU ini posisi Pengadilan Agama menjadi lebih kuat, karena Putusan tidak harus dikukuhkan oleh Pengadilan Negeri. Ini berati posisi Pengadilan Agama telah ditempatkan sesjajar dengan peradilan- peradilan lain. 7

3. Tugas dan Wewenang Pengadilan Agama

Berdasarkan Pasal 49 huruf (i) UU No.3 Tahun 2006 yang pasal dan isinya tidak diubah dalam UU No.50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, bahwa Peradilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dalam bidang ekonomi syari‟ah.

Berbicara tentang kekuasaan Peradilan dalam kaitannya dengan Hukum acara perdata, biasanya menyangkut dua hal, yaitu tentang “Kekuasaan Absolut” dan

“Kekuasaan Relatif”.8

a. Kewenangan absolut pengadilan merupakan kewengan lingkungan peradilan tertentu untuk memeriksa dan memutus suatu perkara berdasarkan jenis perkara yang akan diperiksa dan diputus. Sebagaimana diketahui bahwa menurut Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasan Kehakiman pada Pasal 2 ditetapkan bahwa penyelenggaraan kekuasaan Kehakiman

7 Drs. Hadin Nuryadin, Peradilan Agama di Indonesia, (Bandung : Pusaka Bani Quraisy 2004), 4-12

8 Dr. H. Roihan A Rasyid, S.H,. M.A, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada 2002), 25

(6)

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkaman konstitusi.

Kewenangan Mutlak adalah wewenang badan pengadilan dalam memeriksa jenis perkara tertentu yang secara mutlak tidak dapat diperiksa oleh badan pengadilan lain, baik dalam lingkungan pengadilan yang sama (pengadilan negeri dan pengadilan tinggi) maupun dalam lingkungan pengadilan lain (pengadilan negeri dengan peradilan agama). Menurut Retnowulan, wewenag multak adlah menyangkut pembagian kekuasaan antar badan-badan peradilan, dilihat dari macam-macam pengadilan menyangkut pemberian kekuasaan untuk mengadili, dan dalam bahasa belanda disebut attributie van rechtsmacht, yaitu wewenang mutlak yang menyangkut pembagian kekuasaan antara badan peradilan dilihat dari macamnya pengadilan menyangkut pemberian kekuasaan untuk mengadili.

b. Kewengangan relatif pengadilan merupakan kewenangan lingkungan peradilan tertentu berdasarkan yuridiksi wilayahnya. Artinya bahwa suatu pengadilan hanya berwenang mengadili perkara yang subjeknya atau objeknya berada pada wilayah pengadilan yang bersangkutan. Dalam hukum acara perdata, menurut pasal 118 ayat (1) HIR, yang berwenang mengadili suatu perkara adalah Pengadilan Negeri (PN) yang wilayah hukumnya meliputi tempat tiggal tergugat (actor sequitur forum rei). Jadi penggugat tidak diperkenankan mengajukan gugatan pada pengadilan diluar wilayah hukum tempat tinggal tergugat. Akan tetapi, penggugat dapat mengajukan gugatan pada PN yang wilayah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat, yaitu dengan patokan apabila tempat tinggal tergugat tidak diketahui.

Dalam hal ini suatu perkara memiliki beberapa orang tergugat, dan setiap tergugat tidak tinggal dalam suatu wilayah hukum, maka penggugat dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri yang wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal salah satu tergugat. Kepada penggugat diberikan hak opsi,

(7)

asalkan tergugat terdiri dari beberapa orang yang masing-masing tinggal di daerah hukum Pengadilan Negeri yang berbeda.9

B. Sengketa Ekonomi Syariah 1. Pengertian Ekonomi Syariah

Istilah “ekonomi syariah” merupakan sebutan yang khas digunakan diindonesia, istilah ini lebih populer dengan sebutan “ekonomi islam” (al-iqtisad al-islami, islamic ekonomic). Dalam wacana pemikiran ekonomi Islam kontemporer, konsep ekonomi Islam memang sering diidentifikasi dengan berbagai istilah yang berbeda antara lain “ekonomi Islam”, “ekonomi ilahiyah”,

“ekonomi qur‟ani”, “ekonomi syariah”, “ekonomi berdasarkan prisip bagi hasil”, dan “ekonomi rahmatan lil „alamin”. Semua istilah ini mengacu pada satu konsep sitem ekonomi dan kegiatan usaha berdasarkan hukum islam atau ekonomi berdasarkan prinsip syariah. Perbedaan penggunaan istilah ini pada dasarnya menunjukan bahwa istilah “ekonomi Islam” bukanlah nama buku dalam terminologi Islam.10

Secara terminologi pengertian ekonomi telah banyak diberikan/dijelaskan oleh pakar ekonomi. Disini dikemukakan pengertian ekonomi Islam yaitu yang ditulis Yusuf Halim al-Alim yang mengemukakan bahwa ilmu ekonomi Islam adalah ilmu tentang hukum-hukum syarat aplikatif yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci terkait dengan mencari, membelanjakan, dan tata cara membelanjakan harta. Fokus kajian ekonomi Islam adalah mempelajari perilaku muamalah masyarkat Islam yang sesuai dengan nash Al-Qur‟an, Al-Hadis, Qiyas, dan Ijma dalam kebutuhan hidup manusia dalam mencari ridha Allah SWT.

Muhammad Abdul Mannan mengemukakan bahwa yanng dimaksud dengan ekonomi syariah adalah “Islamic ekonomics is social science which studies the economics problems of a people imbued with the values of Islam” (ilmu ekonomi Islam adalah ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari masalah-masalah ekonomi masyakakat yang dilhami oleh nilai-nilai Islam). Dalam menjelaskan definisi ini, Muhammad abdul Mannan menjelaskan bahwa ilmu ekonomi Islam tidak hanya mempelajari individu sosial melainkan juga manusia dengan bakat

9 Prof. Dr. H. Zainal Asikin, S.H.,SU. Hukum Acara Perdata Di Indonesia, (Jakarta : Prenademedia Group 2013), 84-91

10 Dr. Hasbi Hasan, M.H, Pemikiran dan Perkembangan Hukum Ekonomi Syariah di Dunia Islam Kontemporer, (jakarta : Gramata Publishing, 2011), 19

(8)

religius manusia itu sendiri. Hal ini disebabkan karena banyaknya kebutuhan dan kurangnya sarana, maka timbullah masalah ekonomi, baik ekonomi modern maupun ekonomi Islam.11

2. Penggolongan Ekonomi Syariah

Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus,

dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dibidang :

a. perkawinan;

b. waris;

c. wasiat;

d. hibah;

e. wakaf;

f. zakat;

g. infaq;

h. shadaqah; dan i. ekonomi syari'ah.12

Yang dimaksud dengan “ekonomi syariah” adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah, antara lain meliputi:

1. Bank syari‟ah

2. Lembaga keuangan mikro syari‟ah 3. Asuransi syari‟ah

4. Reasuransi syari‟ah 5. Reksadana syari‟ah

6. Obligasi syari‟ah dan surat berharga berjangka menengah syari‟ah 7. Sekuritas syari‟ah

8. Pembiayaan syari‟ah 9. Pegadaian syari‟ah

10. Dana pensiun lembaga keuangan syari‟ah, dan

11 Prof. H. Abdul manan. S. H. Hukum Ekonomi Syariah Dalam Perspektif Kewenangan peradilan agama, (Jakarta : Kencana Pranada Kencana Group, 2012), 27-29

12UU No 7/1989 tentang Peradilan Agama yang telah diubah oleh UU No. 3/2006 tentang Perubahan Atas UU No. 7/1989 tentang Peradilan Agama., pasal 49.

(9)

11. Bisnis syari‟ah

Selanjutnya Pasal 50 Ayat (1) cukup jelas. Ayat (2) ketentuan ini memberi wewenang kepada pengadilan agama untuk sekaligus mengutuskan sesngketa milik atau keperdataan lain yang terkait dengan objek sengketa yang diatur dalam Pasal 49 apabila subjek sengketa antara orang-orang yang beragama Islam.13 3. Akad Perjanjian

a. Akad Mudharabah Menghimpun Dana.

Yang dimaksud dengan “Akad mudharabah” dalam menghimpun dana adalah Akad kerja sama antara pihak pertama (malik, shahibul mal, atau Nasabah) sebagai pemilik dana dan pihak kedua („amil, mudharib, atau Bank Syariah) yang bertindak sebagai pengelola dana dengan membagi keuntungan usaha sesuai dengan kesepakatan yang dituangkan dalam Akad.

b. Akad Mudharabah Pembiayaan.

Yang dimaksud dengan “Akad mudharabah” dalam Pembiayaan adalah Akad kerja sama suatu usaha antara pihak pertama (malik, shahibul mal, atau Bank Syariah) yang menyediakan seluruh modal dan pihak kedua („amil, mudharib, atau Nasabah) yang bertindak selaku pengelola dana dengan membagi keuntungan usaha sesuai dengan kesepakatan yang dituangkan dalam Akad, sedangkan kerugian ditanggung sepenuhnya oleh Bank Syariah kecuali jika pihak kedua melakukan kesalahan yang disengaja, lalai atau menyalahi perjanjian.

c. Akad Musyarakah.

Yang dimaksud dengan “Akad musyarakah” adalah Akad kerja sama di antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu yang masing-masing pihak memberikan porsi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan akan dibagi sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung sesuai dengan porsi dana masing-masing.

d. Akad Murabahah.

Yang dimaksud dengan “Akad murabahah” adalah Akad Pembiayaan suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai keuntungan yang disepakati.

e. Akad Wadi‟ah.

13 UU No 7/1989 tentang Peradilan Agama yang telah diubah oleh UU No. 3/2006 tentang Perubahan Atas UU No. 7/1989 tentang Peradilan Agama., pasal 49

(10)

Yang dimaksud dengan “Akad wadi‟ah” adalah Akad penitipan barang atau uang antara pihak yang mempunyai barang atau uang dan pihak yang diberi kepercayaan dengan tujuan untuk menjaga keselamatan, keamanan, serta keutuhan barang atau uang.

f. Akad Salam.

Yang dimaksud dengan “Akad salam” adalah Akad Pembiayaan suatu barang dengan cara pemesanan dan pembayaran harga yang dilakukan terlebih dahulu dengan syarat tertentu yang disepakati.

g. Akad Istishna.

Yang dimaksud dengan “Akad istishna ” adalah Akad Pembiayaan barang dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan atau pembeli (mustashni‟) dan penjual atau pembuat (shani‟).

h. Akad Qardh.

Yang dimaksud dengan “Akad qardh” adalah Akad pinjaman dana kepada Nasabah dengan ketentuan bahwa Nasabah wajib mengembalikan dana yang diterimanya pada waktu yang telah disepakati.

i. Akad Ijarah.

Yang dimaksud dengan “Akad ijarah” adalah Akad penyediaan dana dalam rangka memindahkan hak guna atau manfaat dari suatu barang atau jasa berdasarkan transaksi sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri.14

C. Pengertian Eksekusi

Eksekusi menurut M. Yahya H. Adalah tindakan hukum yang dilakukan oleh pengadilan kepada pihak yang kalah dalam suatu perkara, merupakan aturan tata cara lanjutan dari proses pemeriksaan yang berkesinambungan dari keseluruhan proses hukum acara perdata.15

Menurut Prof. R. Subekti adalah pelaksanaan suatu putusan yang sudah tidak dapat diubah lagi, ditaati secara sukarela oleh pihak yang bersengketa. Jadi dalam makna perkataan, eksekusi sudah mengandung arti pihak yang kalah mau tidak mau

14 Prof. DR. H. Rachmat Syafe‟i, M.A, Fiqih Muamalah, (Bandung : Pustaka Setia 2000), 121-129

15 M. Yahya Harapan, S.H., Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, (Jakarta : PT Gramedia, 1991), 1

(11)

harus menaati putusan itu secara sukarela, sehingga putusan itu harus dipaksakan kepadanya dengan bantuan kekuatan hukum.

Eksekusi merupakan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsdge) yang dijalankan secara paksa oleh karena pihak yang kalah dalam perkara tidak mau mematuhi pelaksanaan secara putusan pengadilan. Dalam pasal 195 HIR/Pasal 207 RGB dikatakan “Hal menjalankan Putusan Pengadilan Negeri dalam perkata yang pada tingkat pertama diperiksa oleh Pengadilan Negeri adalah atas dan perintah tugas pimpinan ketua Pengadilan Negeri yang pada tingkat pertama memeriksa perkara itu menurut cara yang diatur dalam pasal-pasal HIR.”

Selanjutnya dalam Pasal 196 HIR/ Pasal 208 RGB dikatakan “Jika pihak yang dikalahkan tidak mau atau lalai untuk memenuhi amar Putusan Pengadilan dengan damai maka pihak yang menang dalam perkara mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk menjalankan Putusan Pengadilan itu.” Kemudian Ketua Pengadilan Negeri memanggil pihak yang kalah dalam hukum serta melakukan teguran (aanmaning) agar pihak yang kalah dalam perkara memenuhi amar putusan pengadilan dalam waktu paling lama 8 (delapan) hari.16

Dengan demikian, pengertian eksekusi adalah tindakan paksa yang dilakukan Pengadilan Negeri terhadap pihak yang kalah dalam perkara supaya pihak yang kalah dalam perkara menjalankan Amar Putusan Pengadilan sebagaimana mestinya.17

Eksekusi dapat dijalankan oleh Ketua Pengadilan Negeri/Agama apabila terlebih dahulu ada permohonan dari pihak yang menang dalam perkara kepada Ketua Pengadilan Negeri/Agama agar Putusan Pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Sebelum menjalankan eksekusi Putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap maka Ketua Pengadilan Negeri/Agama melakukan teguran (aanmaning) kepada pihak yang kalah dalam perkara agar dalam.

waktu 8 (delapan) hari sesudah Ketua Pengadilan Negeri/Agama melakukan teguran (aanmaning) maka pihak yang kalah dalam perkara harus mematuhi Amar Putusan Pengadilan dan apabila telah lewat 8 (delapan) hari ternyata pihak yang kalah dalam perkara tidak mau melaksanakan Putusan Pengadilan tersebut, maka Ketua

16 Prof. Dr. H. Zainal Asikin, S.H.,SU. Hukum Acara Perdata Di Indonesia, (Jakarta : Prenademedia Group 2013), 145-146

17M. Yahya Harapan, S.H., Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, (Jakarta : PT Gramedia, 1991), 5

(12)

Pengadilan Negeri/Agama dapat memerintah Panitera/Jurusita Pengadilan Negeri/Agama untuk melaksanakan sita eksekusi atas objek tanah terperkara dan kemudian dapat meminta bantuan alat-alat negara/kepolisian untuk membantu pengamanan dalam hal pengosongan yang dilakukan atas objek tanah terperkara.18

Eksekusi terbagi kedalam 2 jenis, yaitu : Eksekusi Rill dan Eksekusi Sita Jaminan.

a. Eksekusi Rill

Yaitu eksekusi yang dilaksanakan secara nyata (riil) misalnya eksekusi pengosongan rumah/tanah, dan penjualan lelang barang-barang tetap atau

tidak tetap milik tergugat yang kalah.

Yang dimaksudkan dengan eksekusi riil oleh Pasal 1033 Rv ialah pelaksanan putusan hakim yang memerintahkan pengosongan benda tetap. Apabila orang yang dihukum untuk mengosongkan benda tetap tidak mau memenuhi surat perintah hakim, hakim akan memerintahkan dengan surat kepada juru sita supaya dengan bantuan panitera pengadilan dan kalau perlu dengan bantuan alat kekuasaan Negara, agar barang tetap itu dikosongkan oleh orang yang dihukum beserta keluarganya. HIR hanya mengenal eksekusi riil dalam penjualan lelang (Pasal 200 ayat 11 HIR, Pasal 218 ayat 2 Rbg).

Dalam hubungan ini perlu dikemukakan, bahwa yang harus meninggalkan barang tetap yang dikosongkan itu adalah pihak yang dikalahkan beserta sanak keluarganya, bukan pihak yang menyewa rumah tersebut, misalnya, yang sebelum rumah tersebut disita atas dasar perjanjian sewa-menyewa telah mendiami rumah itu sejak dahulu.

Meskipun demikian apabila ternyata orang lain bukan tersita dan keluarganya, yang mendiami rumah tersebut sewaktu dilelang, maka rumah tersebut tidak dapat langsung dikosongkan, akan tetapi perjanjian sewa- menyewa termaksud harus terlebih dahulu dibatalkan.19

b. Sita Jaminan

Sita jaminan adalah sita yang dilakukan oleh pengadilan atas permohonan dari pihak penggugat atas milik orang lain (yakni milik tergugat) agar hak

18 Abdul manan. Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama. (Jakarta. : Prenada Media 2006). 75

19 shofie yan, Makalah Hukum Acara Perdata- Eksekusi Dan Macam-Macamnya, 2016

(13)

tergugat terjamin akan dipenuhi oleh tergugat setelah penggugat diputus menang dalam perkara nanti.20

Permohonan sita jaminan harus adanya dugaan beralasan bahwa pihak tergugat akan mengelapkan atau melepaskan barangnya sehingga nantinya tidak mampu membayar menurut yang diputuskan oleh pengadilan, sehingga putusan itu hanya sia-sia. Oleh karena itulah, sebelum permohona dikabulkan, harus dipertimbangkan dulu oleh hakim apakah dapat dikabulkan atau tidak.

Putusan hakim disitu akan berupa putusan sela. Jika permohonan sita dikabulkan maka perintah penyitaan tidak boleh oleh Hakim Ketua Majelis tetapi oleh Ketua Pengadilan.21

D. Eksekusi Jaminan

Yang dimaksud dengan sita jaminan adalah penyitaan terhadap barang-barang jaminaan yang menjadi objek sengketa baik barang bergerak maupun tidak bergerak milik pihak yang dikalahkan dalam suatu perkara di persidangan.

Penyitaan terhadap barang jaminan baik terhadap barang yang bergerak maupun tidak bergerak umumnya tidak memenuhi prestasi pihak yang dimenangkan dalam suatu perkara di pengadilan. Pelaksanaan penyitaan terhadap barang-barang jaminan tersebut jika penyelesainya diselesaikan di pengadilan dapat dilaksanakan secara paksa, kecuali jika penyelesaian terjadinya wanprestasi tidak dilaksanakan di pengadilan, maka pelaksanaan memenuhi prestasinya kepada kreditor tidak dapat dilaksanakan dengan cara paksa karena tidak memenuhi dasar hukum yang kuat. 22

Ada dua macam eksekusi objek Hak Tanggungan, yaitu: (1) melalui pelelangan umu , dan (2) eksekusi dibawah tangan. Pada dasarmya setiap eksekusi harus dilaksanakan dengan melalui pelelangan umum, karena dengan cara ini diharapkan dapat diperoleh harga yang paling tinggi untuk objek Hak Tanggungan. Kreditor berhak menggambil pelunasan piutang yhang dijamin dari hasil penjualan objek Hak Tanggungan. Dalam hal ini hasil penjualan lebih besar daripada piutang tersebut,

20 Dr. H. Roihan A Rasyid, S.H,. M.A, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada 2002), 210

21 HIR, pasal 227 : RBg, pasal 261

22 Sarwono, S. H., M. Hum, Hukum Acara Perdata Teori dan Praktek, (Jakarta : Sinar Grafika 2011), 141-142

(14)

yang setinggi-tingginya sebesar nilai tanggungan, sisanya menjadi hak pemberi tanggungan.

Eksekusi dibawah tangan adalah penjualan objek Hak Tanggungan yang dilakukan oleh pemberi Hak Tanggungan, berdasarkan kesepakatan dengan pemegang Hak Tanggungan, jika dengan cara ini akan diperoleh dengan harga yang paking tinggi.23

Makna sita eksekusi yang dapat dirangkum dari pasal 197 dengan Pasal 200 ayat (1) HIR, adalah penyitaan harta kekayaan termohon/debitur setelah dilampaui tenggang masa peringatan. Penyitaan sita eksekusi dimaksudkan sebagai jaminan jumlah uang yang harus dibayarkan kepada pihak pemohon (kreditur/bank). Cara untuk melunasi pembayaran jumlah uang tersebut dengan junmlah uang lelang harta kekayaan termohon yang telah disita. Perampasan harta kekayaan debitur/termohon eksekusi adalah sebagai dana pembayaran sejumlah uang yang dihukumkan kepadanya.24

E. Hak Tanggungan

Menurut Kamus Bahasa Indonesia, tanggungan diartikan sebagai barang yang dijadikan jaminan. Sedangkan jaminan itu sendiri artinya tanggungan atas pinjaman yang diterima. Dalam penjelasan umum UU Nomor 4 Tahun 1996 butir 6 dinyatakan bahwa Hak Tanggungan yang diatur dalam Undang-Undang ini pada dasarnya adalah Hak Tanggungan yang dibebankan pada Hak atas tanah. Namun pada kenyataannya seringkali terdapat benda-benda berupa bangunan, tanaman dan hasil karya yang secara tetap merupakan satu kesatuan dengan tanah yang dijadikan jaminan tersebut.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) sebagai induk peraturan perundang-undang tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan tanah, tidak mengatur secara tegas tentang Hak Tanggungan.

Berdasarkan ketentuan Pasal 51 UUPA dinyatakan bahwa :

“Hak Tanggungan yang dapat dibebankan pada Hak Milik, Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan sebagaimana diatur dalam Pasal 25, 33 dan 39 diatur dengan undang-undang”.

Selanjutnya ketentuan Pasal 1 angka 1 UUHT pengertian Hak Tanggungan adalah:

23 Salim, HS, S.H., M.S, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), (Jakarta : Sinar Grafika 2011), 112

24 Prof. Dr. H. Zainal Asikin, S.H.,SU. Hukum Acara Perdata Di Indonesia, (Jakarta : Prenademedia Group 2013), 166

(15)

“Hak Tanggungan adalah hak atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah yang selanjunya disebut Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah yang sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah- tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan diutamakan kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lainnya”

Dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan diharapkan akan memberikan suatu kepastian hukum tentang pengikatan jaminan dengan tanah berserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah tersebut sebagai jaminan yang pengaturannya selama ini menggunakan ketentuan-ketentuan Hypotheek dalam Kitab Undang- Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Hak Tanggungan yang diatur dalam UUHT pada dasarnya adalah hak tanggungan yang dibebankan pada hak atas tanah. Namun, pada kenyataannya seringkali terdapat benda-benda berupa bangunan, tanaman dan hasil karya yang secara tetap merupakan satu kesatuan dengan tanah yang dijadikan jaminan turut pula dijaminkan.

Sebagaimana diketahui bahwa Hukum Tanah Nasional didasarkan pada hukum adat, yang menggunakan asas pemisahan Horizontal, yang menjelaskan bahwa setiap perbuatan hukum mengenai hak-hak atas tanah tidak dengan sendirinya meliputi benda-benda tersebut. Penerapan asas tersebut tidak mutlak, melainkan selalu menyesuaikan dan memperhatikan dengan perkembangan kenyataan dan kebutuhan dalam masyarakat. Sehingga atas dasar itu UUHT memungkinkan dilakukan pembebanan Hak Tanggungan yang meliputi benda-benda diatasnya sepanjang benda- benda tersebut merupakan satu kesatuan dengan tanah bersangkutan dan ikut dijadikan jaminan yang dinyatakan secara tegas dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT).25

25 Hamzah Aenurofi, Pengertian Hak Tanggungan, Jurnal 2014

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil analisa dan pengolahan data pada penelitian tentang Interaksi Budaya terhadap Hubungan Harmonis Siswa Lintas Etnis di SMA Taruna Bakti Bandung, maka diperoleh

8otor ! 8otor terdiri dari sebuah lilitan dari ka3at membungkus di sekitar  inti besi. Arus melalui kumparan ka3at menghasilkan medan magnetik sekitar inti. )ekuatan

Karena yang ingin dibangun adalah manusia dan masyarakat Indonesia, sehingga paradigma pembangunan harus berdasarkan kepribadian Indonesia dan menghasilkan manusia

(3) Apakah guru pernah memamfaatkan tutor teman sebaya. 2) Mengkaji kurikulum, konsep matematika yang penting dan strategis. Dalam tahap kegiatan yang dilakukan

Adapun judul tesis ini yakni, “Peran Auditor Independen Dalam Melakukan Pemeriksaan Laporan Keuangan Perseroan Sebagai Upaya Perlindungan Hukum Pemegang Saham Dari Itikad Buruk

Respon siswa merupakan tanggapan/ pendapat siswa terhadap pembelajaran yang telah dilaksanakan yang meliputi sikap siswa terhadap pelajaran matematika, cara guru mengajar,

Ini dikarenakan banyak ulama yang saat itu berpandangan bahwa meski Sunan Ibn Majah lebih s} ah} i> h} daripada al- Muwat} t} a, tetapi dalam Sunan Ibn Majah banyak

Hal inilah yang melatarbelakangi untuk membuat sebuah penelitian mengenai “Implementasi Porter Stemming menggunakan Algoritma Knuth-Morris-Pratt (KMP) Untuk Menentukan