commit to user 8
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR
A. Kajian Pustaka 1. Hakikat Sastra Lisan/Folklor
a. Pengertian Sastra Lisan/Folklor
Folklor berasal dari kata Ingris yaitu folklore, yang terdiri dari dua kata dasar folk dan lore. Menurut Dundes (1965: 2) folk berarti sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial, dan kebudayaan yang membedakan dari kelompok lain, sehingga dapat dibedakan dari kelompok- kelompok lainnya. Ciri-ciri pengenal itu bisa berwujud: warna kulit, bentuk rambut, mata pencarian, bahasa, latar belakang pendidikan, dan agama yang sama. Selain itu, mereka juga memiliki kebudayaan yang telah diwariskan secara turun-temurun yang mereka akui sebagai milik kelompok mereka sendiri. Sedangkan, lore artinya tradisi folk yang diwariskan turun-temurun secara lisan atau tutur kata, ataupun melalui contoh yang disertai dengan perbuatan dan alat pembantu pengingat.
Brunvand (1968: 5) menyatakan bahwa folklor merupakan segala sesuatu yang berhubungan dengan kebudayan tradisional yang dimiliki setiap masyarakat yang berbeda dengan masyarakat lainnya.
Koentjaraningrat (1984: 50) mendefinisikan folklor adalah bagian kebudayan kolektif apa saja yang diciptakan, disebarkan atau diwariskan melalui media lisan, yang disertai dengan perbuatan atau alat pengingat.
Danandjaja (1991: 2) menyatakan bahwa folklor adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan turun temurun, diantara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat. Garry dan Shamy (2008: xvii) menyatakan bahwa folklor mengungkapkan makna kebudayaan yang berbeda di setiap daerah. Berdasarkan pengertian-pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa folklor adalah kebudayaan suatu masyarakat sebagai
commit to user
pembeda dengan masyarakat lain yang diwariskan secara turun menurun secara lisan maupun kebiasaan masyarakat pemiliknya.
Danandjaja (1991: 3) menyatakan bahwa folklor mempunyai ciri-ciri sebagai pembeda dengan kebudayaan lainnya, yaitu: a) penyebaran dan pewarisannya biasanya dilakukan secara lisan, b) bersifat tradisional, c) folklor ada versi-versi bahkan varian-varian yang berbeda, d) bersifat anonim, e) biasanya mempunyai bentuk berumus atau berpola, f) folklor mempunyai kegunaan dalam kehidupan bersama suatu kolektif, g) bersifat pralogis, h) folklor menjadi milik bersama dari kolektif tertentu, i) folklor pada umumnya bersifat polos dan lugu.
Folklor dapat dibedakan menjadi tiga kelompok besar berdasarkan tipenya, yaitu 1) folklor lisan, 2) folklor sebagian lisan, 3) folklor bukan lisan (Brunvand, 1968: 2). Rafiek (2012: 53) menyatakan bahwa folklor lisan adalah folklor yang bentuknya memang murni lisan, misalnya: a) bahasa rakyat seperti logat, julukan, pangkat tradisional, dan titel kebangsawanan, b) ungkapan tradisional, seperti peribahasa, pepatah,dan pameo, c) pertanyaan tradisional, seperti teka-teki, d) puisi rakyat seperti pantun, gurindam, dan syair, e) cerita prosa rakyat, seperti mite, legenda, dongeng, dan f) nyanyian rakyat. Folklor sebagian lisan adalah folklor yang bentuknya campuran antara unsur lisan dan bukan lisan, misalnya:
permainan rakyat, teater rakyat, tari rakyat, adat istiadat, upacara, dan pesta rakyat.
Folklor bukan lisan adalah folklor yang bentuknya bukan lisan walaupun cara pembuatannya diajarkan secara lisan. Folklor bukan lisan dibedakan menjadi dua yaitu folklor berupa material dan yang bukan material. Bentuk-bentuk folklor yang tergolong yang material antara lain arsitektur rakyat, kerajinan tangan rakat, pakaian, periasan tubuh adat, makanan dan minuman rakyat, dan obat-obatan tradisional. Bentuk-bentuk folklor bukan material antara lain gerak isyarat tradisional, bunyi isyarat untuk komunikasi rakyat (kentongan tanda bahaya di Jawa), dan musik rakyat.
commit to user
Endraswara (2006: 151) menjelaskan ciri-ciri sastra lisan yaitu: 1) sastra lisan banyak mengungkapkan kata-kata atau ungkapan-ungkapan klise, 2) sastra lisan sering bersifat menggurui. Rafiek (2012: 53) menjelaskan bahwa ciri-ciri sastra lisan adalah: 1) lahir dari masyarakat yang polos, belum melek huruf, dan bersifat tradisional; 2) menggambarkan budaya miliki kolektif tertentu, yang tidak jelas siapa penciptanya; 3) lebih menekankan pada aspek khayalan, ada sindiran, jenaka, dan pesan mendidik; dan 4) sering melukiskan tradisi kolektif tertentu.
Penelitian ini, akan meneliti folklor lisan atau sastra lisan yang berkembang di masyarakat Kedurang Bengkulu Selatan. Hutomo (1991: 62) menjelaskan bahwa bahan sastra lisan dapat dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu: a) bahan yang bercorak cerita seperti cerita-cerita biasa, mitos, legenda, epik, cerita tutur, dan memori; b) bahan yang berupa bukan cerita seperti ungkapan, nyanyian, peribahasa, teka-teki, puisi lisan, nyanyian sedih pemakaman, dan undang-undang atau peraturan adat; c) bahan yang berupa tingkah laku seperti drama pangung dan drama arena.
Penelitian ini akan mengkaji sastra yang berupa puisi rakyat yang berkembang di wilayah Kedurang Bengkulu Selatan. Puisi rakyat tersebut lebih dikenal dengan sebutan tadut. Puisi rakyat ini akan dipertunjukan jika salah satu anggota masyarakat Kedurang Bengkulu Selatan meninggal dunia. Pertunjukan tadut ini bertujuan untuk menghibur keluarga yang kehilangan anggota keluarganya. Tadut merupakan nyanyian rakyat suku Pasemah yang berdomisili di wilayah Kedurang Bengkulu Selatan. Pudentia dalam Rafiek (2012: 54) menyatakan bahwa sastra lisan itu mencakup cerita rakyat, teka-teki, peribahasa, nyanyian rakyat, mitologi, dan legenda.
Artinya tadut termasuk di dalam kategori sastra lisan karena bentuknya berupa nyanyian rakyat.
b. Pengertian Puisi Rakyat
Secara umum, karya sastra dibagi menjadi tiga yaitu drama, prosa, dan puisi. Puisi merupakan salah satu genre yang paling tua. Puisi merupakan karya
commit to user
sastra yang terikat oleh unsur-unsur, seperti rima dan irama. Creeger dan Reed (1964: 80) menyatakan bahwa puisi merupakan yang lebih dalam dan rahasia hati manusia, hanya menarik bagi orang yang mengetahui apa yang mereka rasakan atau imajinasi yang dimunculkannya untuk memahami apa yang ia rasakan. Pradopo (1990: 7) menyatakan bahwa puisi adalah mengekspresikan pemikiran yang membangkitkan perasaan, yang merangsang imajinasi panca indera dalam susunan yang berirama.
Waluyo (2002: 2) memaparkan ciri-ciri kebahasaan puisi sebagai berikut: 1) Pemadatan bahasa yang dibuktikan dengan adanya larik atau bait. 2) Pemilihan kata merupakan kata yang khas dipertimbangkan betul dari berbagai aspek dan efek pengucapannya. Faktor-faktor yang dipertimbangkan dalam pemilihan kata yaitu: makna kias, lambang, persamaan bunyi atau rima. 3) Kata konkret yaitu kata-kata yang dipilih penyair dikonkretkan untuk menggambarkan sesuatu secara lebih konkret. 4) Pengimajian (pencitraan) adalah kata atau susunan kata-kata yang dapat memperjelas atau memperkonkret apa yang dinyatakan oleh penyair. Pencitraan terdiri dari pencitraan penglihatan, pendengaran, dan perasa. 5) Irama (ritme) yaitu berhubungan dengan pengadaan bunyi, kata, frasa, dan kalimat. 6) Tata wajah (tifografi).
Aminuddin dalam Wisang (2014: 15) membagi puisi menjadi tiga yaitu ragam berdasarkan isi, bentuk, dan jenisnya. Ragam puisi berdasarkan bentuk yaitu: puisi epik, lirik, naratif, dramatik, didaktif, satire, romansa, elegi, ode, dan himne. Ragam puisi berdasarkan bentuk yaitu: bentuk puisi lama, bentuk baru yang dibagi lagi menjadi: puisi distikon, terzina, quatrain, quint, sektet, septima, oktav atau stanza, dan sonata, bentuk puisi modern, dan bentuk puisi kontemporer. Ragam puisi berdasarkan jenisnya yaitu: puisi transparan, prismatik, kontemporer, dan puisi mbeling.
Pada perkembangannya puisi dibedakan menjadi dua yaitu puisi baru dan puisi lama. Puisi baru merupakan puisi-puisi yang diciptakan oleh sastrawan-sastrawan modern, sedangkan puisi lama yaitu puisi-puisi yang berkembang dan tumbuh dimasyarakat, biasanya tidak diketahui siapa yang
commit to user
menciptakannya. Sekarang ini, puisi tidak hanya diekspresikan melalui kata- kata, tetapi media lain selain kata, misalnya puisi kotak-kotak karya Danarto.
Puisi lama atau puisi rakyat merupakan puisi yang terikat dengan syarat-syarat, seperti jumlah larik dalam setiap bait, jumlah suku kata dalam setiap larik, pola rima dan irama, serta muatan setiap bait (Sumiyadi dan Durachman, 2014: 11). Puisi rakyat merupakan gambaran masyarakat lama atau warisan budaya nenek moyang kita yang masih hidup dalam sastra lisan.
Sastra lisan menuntut orang untuk mengingat dan menghafal, maka wajar jika dalam puisi rakyat terkandung syarat-syarat tertentu. Hal itu membuat puisi rakyat memiliki kekhasan masing-masing. Banyak bentuk puisi rakyat diantaranya yaitu: pantun, gurindam, mantra, seloka, talibun, dan syair. Pada masyarakat Kedurang Bengkulu Selatan salah satu puisi rakyat yang berkembang yaitu tadut.
c. Tadut sebagai Syair Masyarakat Kedurang Bengkulu Selatan
Setiap masyarakat memiliki sastra lisan sendiri yang berbeda dengan masyarakat lainnya. Kata sastra sudah tidak asing lagi bagi masyarakat, jika mendengar istilah sastra maka yang ada dalam pikiran yaitu sebuah karya yang indah, karya khayalan, kadang berasosiasi dengan kemampuan menggunakan bahasa dengan sangat teliti dan indah. Sastra lisan adalah sastra yang disampaikan secara lisan (Amir, 2013: 75).
Sastra lisan yang berkembang di masyarakat merupakan suatu yang terus menerus berkembang dan diwariskan dari generasi ke generasi.
Pudentia (2015: 42) menyatakan bahwa sastra lisan sebenarnya bukan saja terdiri dari apa yang sekarang kita sebut sastra, akan tetapi merupakan satu continuum yang juga meliputi bermacam-macam bidang pengetahuan yang lain, seperti adat-istiadat, undang-undang, dan sejarah.
Masyarakat Kedurang Bengkulu Selatan pun memiliki sastra lisan yang menjadi media dalam mewariskan kebudayaannya. Salah satu sastra lisan yang berkembang di sana yaitu nyanyian rakyat yang berupa syair.
Kata syair berasal dari kata Arab yaitu sya,ara yang memiliki arti
commit to user
menembang atau bertembang. Sugiarto (2015: 47) menjelaskan bahwa syair berasal dari kata syi’r yang memiliki arti puisi, dalam sastra Arab syi’r adalah satu bentuk puisi yang telah muncul sejak zaman pra-islam dan berkembang menjadi satu bentuk puisi yang populer di kalangan orang Arab sejak zaman sebelum dan sesudah kedatangan agama Islam. Bangsa Arab menggunakan syair untuk mencurahkan suasana kalbu.
Fang (2013: 447) menyatakan bahwa syair adalah salah satu jenis puisi lama terdiri dari empat baris, setiap baris mengandung empat kata yang terdiri dari sembilan sampai dua belas suku kata. Klarer (2004: 26) menyatakan bahwa syair merupakan salah satu sastra lama yang sangat berhubungan dengan lirik dalam instrumen musik. Berdasarkan pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa syair adalah bentuk puisi lama terdiri dari larik-larik yang mengungkapkan isi hati dan memiliki makna untuk memahami perasaan penciptannya.
Fabb dan Halle (2008). Menyatakan bahwa syair adalah bentuk seni verbal yang telah ditemukan di semua bahasa dan sepanjang masa. Syair banyak digunakan sebagai pengubah cerita atau mengungkapkan suatu kisah. Selain untuk mengubah cerita, syair juga digunakan sebagai media untuk mencatat kejadian dan sebagai media dakwah. Salah satu bentuk syair yaitu tadut.
Yani (2017: 78) menyatakan bahwa kata tadut berasal dari kata tahadut yang meiliki arti menghafal berulang-ulang. Hal yang dihafal yaitu ajaran agama Islam dalam bentuk syair dan pantun. Rochmiatun (2017: 144) menyatakan bahwa tadut adalah seni tutur baru yang masuk ke wilayah dataran Besemah. Tadut ini menjadi sarana penyebaran agama dan dakwah Islam yang efektif.
Syair tadut tersebar mulai dari wilayah Pagar Alam, lahat, lintang, dan Tanjung Sakit Sumatra Selatan hingga ke wilah Kedurang dan Padang Guci Bengkulu. Menurut cerita yang berkembang di masyarakat Kedurang Bengkulu Selatan bahwa, masyarakat Kedurang dari asal dari Pagar Alam yang bersuku Pasemah. Orang-orang yang bermigrasi dari Pagar Alam ke Kedurang
commit to user
Bengkulu inilah yang membawa syair tadut ke wilayah Kedurang Bengkulu Selatan.
Tadut yang berkembang di wilayah Kedurang dan Pagar alam memiliki perbedaan. Tadut yang ada di Kedurang Bengkulu Selatan akan dinyanyikan atau dipentaskan jika ada salah satu warganya yang meninggal. Pertunjukan ini dimaksudkan sebagai hiburan bagi keluarga yang ditinggalkan. Isi tadut yang mengandung nilai-nilai agama Islam diharapkan mampu membuat keluarga sabar dalam menghadapi cobaan. Namun, tadut tersebut dilantunkan juga bertujuan untuk membantu masyarakat dalam menghafal dan memahami ajaran agama Islam, seperti rukun iman dan rukun Islam.
Tadut yang berkembang di Pagar Alam merupakan sarana dakwah yang dilakukan oleh para guru agama dalam menyebarkan agama Islam. Hal ini diungkapkan oleh Rochmiatun (2017: 412) yang menyatakan bahwa tradisi tadut berkembang sebagai sarana pengajaran agama Islam di daerah Pagar Alam yang dilakukan oleh seorang kiai (guru agama), dan rumah penduduk dijadikan tempat dalam pengajaran tersebut. Pendapat itu diperkuat oleh pernyatan Yani (2017: 79) yang menyatakan bahwa tadut berfungsi sebagai sarana penyampaian dan penyebaran ajaran agama dan dakwak Islam. Seorang mubaligh akan membawakan tadut di dalam kajiannya yang sering disebut dengan Bepu’um. Bepu’um adalah kelompok pengaajian tradisional yang ada di masyarakat Pagar Alam, kalau sekarang lebih dikenal dengan istilah majelis taklim.
2. Hakikat Antropologi Sastra a. Pengertian Antropologi
Kata antropologi berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri dari dua kata yaitu anthopos dan logos. Antropos berarti manusia dan logos berarti ilmu. Jadi antropologi merupakan suatu disiplin yang berdasarkan rasa ingin tahu yang tiada henti-hentinya tentang umat manusia (Ember dan Ember, 2016:2). Eriksen dan Nielsen (2001:1) menyatakan bahwa antropologi sebagai ilmu kemanusiaan. Pendapat itu dipertegas lagi oleh
commit to user
Koentjaraningrat (2009: 9) yang menyatakan bahwa kata antropologi berarti ilmu tentang manusia. Selanjutnya, Morris (2008: 2) menyatakan bahwa antropologi adalah ilmu manusia yang membahas nilai pada perbedaan kebudayaan dan moral manusia yang memiliki kebudayaan itu.
Ilmu antropologi selalu mengalami perkembangan dari masa ke masa.
Warsito (2015: 14) menjelaskan perkembangan anropologi dari masa ke masa sebagai berikut: fase pertama (sebelum tahun 1800) berawal dari kedatangan bangsa Eropa ke Afrika, Asia, dan Amerika pada akhir abad XV dan permulaan abad XVI, sehingga pengaruh negara-negara Eropa Barat mulai menyebar selama kurang lebih empat abad lamanya. Pada permulaan abad ke-19, muncul usaha-usaha pertama dari dunia ilmiah untuk mengintegrasikan seluruh himpunan bahan pengetahuan etnografi menjadi satu. Fase kedua, muncul pada pertengahan abad XIX, ditandai dengan munculnya karangan-karangan yang menyusun bahan etnografi berdasarkan cara berpikir evolusi masyarakat. Dengan munculnya beberapa karangan sekitar tahun 1860 tentang klasifikasi bahan tentang beraneka ragam warna kebudayaan di seluruh dunia sebagai pertanda munculnya ilmu antropologi.
Fase ketiga, di awal abad XX, sebagian besar negara-negara penjajah di Eropa masing-masing mencapai kemantapan kekuasaannya di daerah-daerah jajahan luar Eropa. Ilmu antropologi mulai berkembang dan menjadi disiplin ilmu yang praktis, dengan tujuan mempelajari masyarakat dan kebudayaannya. Fase keempat, pada fase ini, ilmu antropologi mengalami perkembangan yang sangat luas, ditandai dengan dua perubahan di dunia.
Perubahan itu yaitu munculnya antipati terhadap kolonialisme sesudah perang dunia II dan cepat hilangnya bangsa-bangsa primitif (bangsa-bangsa yang tidak terpengaruh oleh kebudayaan bangsa Eropa).
Pada perkembangnya, ilmu antropologi terbagi menjadi dua pembahasan yaitu antropologi fisik dan antropologi budaya. Antropologi fisik mempelajari manusia secara ragawi (evolusi, ras, dan perilaku primat secara biologis), sedangkan antropologi budaya mempelajari adat istiadat manusia, yaitu kajian bandingan mengenai budaya dan masyarakat (bahasa,
commit to user
sosial dan arkeologi) (Keesing, 1999: 2). Kajian antropologi fisik dibagi lagi menjadi dua kajian yaitu paleoantopologi dan antropologi fisik dalam arti khusus. Sedangkan kajian antropologi budaya dibagi menjadi enam yaitu etnolinguistik, prehistori, dan etnologi, etnopsikologi, antropologi spesialis, dan antropologi terapan (Koentjaraningrat, 2009: 22).
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa antropologi adalah disiplin ilmu yang mengkaji sikap dan perilaku manusia yang mencakup sifat-sifat manusia secara lahiria maupun semua tradisi serta nilai-nilai yang terkandung dalam interasi antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya. Oleh karena itu, antropologi dapat dimaknai sebagai cabang ilmu yang mempelajari manusia dan kebudayaan yang muncul di dalam kelompoknya (masyarakat).
b. Pengertian Antropologi Sastra
Abrams dan Harpham (2009: 88) menyatakan bahwa Antropologi sastra adalah ilmu sastra yang memandang manusia sebagai makhluk hidup yang memiliki kepentingan, nilai, bahkan hak moral dan politik sebagai kebudayaannya. Ratna (2011: 6) menyatakan bahwa antropologi sastra adalah ilmu pengetahuan dalam hubungan ini karya sastra yang dianalisis dalam kaitannya dengan masalah-masalah antropologi. Dengan kata lain, antropologi sastra adalah analisis terhadap karya sastra yang di dalamnya terkandung unsur-unsur antropologi. Dalam hubungan ini jelas karya sastra menduduki posisi dominan, sebaliknya unsur-unsur antropologi sebagai pelengkap. Oleh karena disiplin antropologi sangat luas, maka kaitannya dengan sastra dibatasi pada unsur budaya yang ada dalam karya sastra. Hal ini sesuai dengan hakikat sastra itu sendiri yaitu sastra sebagai hasil aktivitas kultural.
Rapport (2003:9) menyatakan bahwa antropologi sastra adalah ilmu pengetahuan yang membahas semua ide atau teks yang berhubungan dengan kehidupan sosial atau kebudayaan manusia. Pendapat lain dikemukakan oleh Koentjaraningrat antropologi sastra adalah analisis dan pemahaman
commit to user
terhadap karya sastra dalam kaitannya dengan kebudayaan. Ratna (2013:
351) menjelaskan ada tiga macam bentuk kebudayaan yang dihasilkan oleh manusia, yaitu: kompleksitas ide, kompleksitas aktivitas, dan kompleksitas benda-benda, maka antropologi memusatkan perhatian pada kompleksitas ide. Payatots (1988: xi) menjelaskan bahwa lahirnya model pendekatan antropologi sastra dipicu oleh tiga sebab utama, yaitu: a) baik sastra maupun antropologi menanggap bahasa sebagai objek penting, b) kedua disiplin juga mempermasalahkan relevansi manusia budaya, dan c) kedua disiplin juga mempermasalahkan tradisi lisan, khususnya cerita rakyat dan mitos.
c. Antropologi Sastra Sebagai Pendekataan Menelaah Tadut
Guerin, dkk (2005: 192) menyatakan bahwa antropologi sastra sudah memberikan pengaruh yang besar terhadap kritik-kritik mitos pada masyarakat yang diwujudkan dalam bentuk penelitian-penelitian sastra lisan. Ciri-ciri antropologi karya sastra dapat ditelusuri melalui keseluruhan aktivitas, baik yang terjadi pada masa yang sudah lewat maupun sekarang, bahkan juga pada masa yang akan datang. Ratna (2011: 74) menyatakan bahwa antropologi sastra dengan sendirinya berkaitan dengan tradisi, adat istiadat, mitos, dan peristiwa-peristiwa masa lampau.
Koentjaraningrat (2009: 165) menunjukkan tujuh unsur kebudayaan yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi unsur-unsur antropologis, yaitu: a) bahasa, baik lisan maupun tulisan, b) sistem pengetahuan, c) organisasi sosial atau sistem kemasyarakatan, d) sistem peralatan hidup manusia dan teknologi, e) mata pencaharian dan sistem ekonomi, f), sistem religius dan g) kesenian dengan berbagai mediumnya. Unsur kesenian dapat berwujud gagasan-gagasan, ciptaan-ciptaan pikiran, cerita-cerita, dan syair yang indah. Namun dapat juga berbentuk interaksi antara seniman, penonton, pendengar. Selain itu, kesenian dapat juga berbentuk benda- benda, seperti, candi, kain tenun, kerajinan tangan, dan lain-lain.
Angelis (2002: 2) menyatakan bahwa sastra menjadi ciptaan dan pencipta budaya, sedangkan antropologi sebagai pengamat, pembaca, dan
commit to user
penafsir kebudayaan. Kebudayaan yang sudah punah dapat direkonstruksikan melalui media tulisan, lukisan,atau media elektronik sebagai media komunikasi modern atau bentuk pementasan lainnya sehingga dapat menjadi objek penelitian. Nadjamuddin, dkk (1984: 2) menyatakan bahwa dengan adanya penelitian sastra lisan dapat mengungkapkan nilai-nilai budaya, alam pikiran, serta tata cara kehidupan masyarakat pemilikinya. Ratna (2011: 75) menyatakan bahwa objek antropologi sastra jelas terkandung dalam antropologi yang secara tidak langsung menyarankan orientasi ke masa lampau, di dalamnya terkandung mitos, tradisi, dan berbagai kebiasaan masyarakat lama. Mungkin berbagai ciri dengan berbagai bentuknya ada dan masih bertahan dalam masyarakat kontemporer, tetapi penelitian yang baik, mendalam, dan menyeluruh harus menelusuri ke aspek-aspek historisnya. Endraswara (2013: 13) menyatakan bahwa sastra layak dipahami lewat antropologi sastra karena sastra merupakan rekaman budaya yang lahir secara estetis. Antropologi Sastra akan memburu makna dalam sastra sebagai ekspresi dari budaya yang ada.
Berpijak dari pendapat di atas maka peneliti bermaksud membahas folklor “tadut” masyarakat Kedurang Bengkulu Selatan menggunakan pendekatan antropologi sastra. Pendekatan antropologi sastra dianggap tepat karena bisa membahas secara mendalam nilai-nilai yang terkandung di dalam “tadut” masyarakat Kedurang Bengkulu Selatan.
3. Pengertian Nilai Keagamaan
Secara harfiah nilai berarti sesuatu yang berharga atau memiliki harga.
Nilai adalah seperangkat prinsip atau standar perilaku yang baik (Venkataiah, 2007: 1). Secara luas nilai dan moral diartikan sebagai sistem yang benar, baik, dan indah. Baik, benar, dan indah sama halnya dengan berguna. Di samping itu, berguna dapat diartikan sebagai sesuatu yang bermanfaat. Liliweri (2011:108) menyatakan bahwa nilai adalah ide abstrak yang dimiliki oleh setiap individu tentang apa yang dianggap baik dan buruk, benar atau salah, dan patut atau tidak patut.
commit to user
Gardner, dkk (2000: 72) menyatakan bahwa nilai merupakan kebenaran, hak asasi manusia, hukum, dan keadilan serta usaha kolektif yang tidak hanya dibenarkan oleh lingkungan sosial tetapi juga diri sendiri sebagai bagian dari kehidupan sosial. Nilai adalah keyakinan yang mengikat perilaku individu atau sosial untuk menjadi lebih baik daripada perilaku atau sosial yang biasanya (Rokeach, 1973: 5). Feather (1994: 184) menjelaskan bahwa nilai adalah keyakinan umum tentang cara berperilaku dengan jalan yang diinginkan atau tidak diinginkan untuk mencapai tujuan yang diinginkan atau yang tidak diinginkan. Sedangkan Schwartz (1994: 21) menjelaskan bahwa nilai adalah tujuan transitusional yang diinginkan, bervariasi dalam kepentingan, yang berfungsi sebagai pedoman dalam kehidupan seseorang atau entitas sosial lainnya.
Keller, dkk (2001: 46) menyatakan bahwa nilai adalah sebuah prinsip, standar, atau kualitas yang dianggap berharga atau diinginkan. Nilai adalah sifat-sifat, hal-hal penting dan berguna bagi kehidupan dengan kata lain nilai adalah suatu aturan yang menentukan suatu benda atau perbuatan lebih tinggi atau dikehendaki dari yang lainnya (Semi, 1993: 54). Soekanto (1983: 161) menjelaskan bahwa nilai adalah abstraksi dari pengalaman-pengalaman pribadi seseorang dengan sesamanya. Nilai adalah sesuatu yang abstrak, tetapi secara fungsional mempunyai ciri mampu membedakan antara satu dengan yang lainnya.
Kehadiran nilai keagamaan dalam sastra adalah sebuah keberadaan sastra itu sendiri (Nurgiyantoro, 2005: 326). Lebih lanjut Nurgiyantoro menjelaskan bahwa nilai keagamaan merupakan suatu sikap seseorang dalam memahami dan menghayati hidup dan kehidupan ini lebih dari sekedar yang lahiriah saja.
Nilai keagamaan merupakan kewajiban manusia terhadap Tuhannya dan pada dirinya sendiri, yang bersumber dari perintah Tuhan.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa nilai merupakan sikap yang dimiliki individu maupun kelompok masyarakat yang bersifat baik, benar, dan indah yang tidak bertentangan dengan agama, pancasila, budaya, dan tujuan pendidikan. Nilai keagamaan adalah perilaku seseorang dalam
commit to user
menghayati hidup sebagai makhluk Tuhan sehingga mengikuti perintah dan menjauhi larangan-Nya.
Pada kajian ini, nilai keagaaman yang dibahas yaitu nilai-nilai agama islam. Kerangka ajaran islam memiliki tujuan untuk menjalankan semua perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya. Marzuki (2012: 76) membagi kerangka dasar nilai ajaran agama Islam menjadi tiga yaitu akidah, syariah (ibadah), dan akhlak. Ketiga kerangka ini, memiliki konsep dasar berdasarkan hadist Nabi Muhammad, SAW yang diriwayatkan Umar Ibn Khaththab berikut:
Umar bin Khaththab Radhiyallahu'anhu berkata: Suatu ketika, kami (para sahabat) duduk di dekat Rasululah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Tiba- tiba muncul kepada kami seorang lelaki mengenakan pakaian yang sangat putih dan rambutnya amat hitam. Tak terlihat padanya tanda-tanda bekas perjalanan, dan tak ada seorang pun di antara kami yang mengenalnya. Ia segera duduk di hadapan Nabi, lalu lututnya disandarkan kepada lutut Nabi dan meletakkan kedua tangannya di atas kedua paha Nabi, kemudian ia berkata : “Hai, Muhammad! Beritahukan kepadaku tentang Islam.”
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab,”Islam adalah, engkau bersaksi tidak ada yang berhak diibadahi dengan benar melainkan hanya Allah, dan sesungguhnya Muhammad adalah Rasul Allah; menegakkan shalat; menunaikan zakat; berpuasa di bulan Ramadhan, dan engkau menunaikan haji ke Baitullah, jika engkau telah mampu melakukannya,”
lelaki itu berkata,”Engkau benar,” maka kami heran, ia yang bertanya ia pula yang membenarkannya.
Kemudian ia bertanya lagi: “Beritahukan kepadaku tentang Iman”.
Nabi menjawab,”Iman adalah, engkau beriman kepada Allah;
malaikatNya; kitab-kitabNya; para RasulNya; hari Akhir, dan beriman kepada takdir Allah yang baik dan yang buruk,” ia berkata, “Engkau benar.”
Dia bertanya lagi: “Beritahukan kepadaku tentang ihsan”.
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab,”Hendaklah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatNya. Kalaupun engkau tidak melihatNya, sesungguhnya Dia melihatmu.”
Lelaki itu berkata lagi : “Beritahukan kepadaku kapan terjadi Kiamat?”
Nabi menjawab,”Yang ditanya tidaklah lebih tahu daripada yang bertanya.”
Dia pun bertanya lagi : “Beritahukan kepadaku tentang tanda-tandanya!”
Nabi menjawab,”Jika seorang budak wanita telah melahirkan tuannya;
jika engkau melihat orang yang bertelanjang kaki, tanpa memakai baju
commit to user
(miskin papa) serta pengembala kambing telah saling berlomba dalam mendirikan bangunan megah yang menjulang tinggi.”
Kemudian lelaki tersebut segera pergi. Aku pun terdiam, sehingga Nabi bertanya kepadaku : “Wahai, Umar! Tahukah engkau, siapa yang bertanya tadi?”
Aku menjawab,”Allah dan RasulNya lebih mengetahui,” Beliau bersabda,”Dia adalah Jibril yang mengajarkan kalian tentang agama kalian.” HR Muslim.
Berdasarkan hadist di atas, dapat dipahami bahwa kerangka dasar ajaran agama islam ada tiga yaitu iman, islam, dan ihsan. Marzuki (2012: 76) menyatakan bahwa dari tiga konsep dasar inilah para ulama mengembangkan kerangka ajaran Islam menjadi tiga konsep kajian. Kajian iman melahirkan konsep kajian aqidah, konsep islam melahirkan konsep kajian syariah (ibadah), dan konsep ihsan melahirkan konsep kajian akhak.
Aqidah berasal dari kata al aqdu yang memiliki arti ikatan, kepercayaan atau keyakinan yang kuat, mengokohkan, dan mengikat dengan kuat. Fanani, dkk (2012: 15) menyatakan bahwa aqidah Islam adalah dasar-dasar pokok kepercayaan atau keyakinan hati seseorang yang bersumber dari ajaran yang wajib dipegang oleh muslim sebagai sumber keyakinan yang mengikat. Taufiq dan Rohmadi (2010: 12) menyatakan bahwa aqidah adalah sesuatu yang mengharuskan hati membenarkannya, yang membuat jiwa tenang, dan menjadi kepercayaan yang bersih dari kebimbangan dan keraguan. Aqidah Islam merupakan bagian penting dalam agama Islam yang menjadi keyakinan dasar dari semua tindakan dan amal.
Marzuki (2012: 79) menyatakan bahwa syariah (ibadah) adalah aturan atau hukum Allah dan rasul-Nya. Aturan atau hukum ini mengatur manusia dalam berhubungan dengan Tuhannya (hamblum minallah) dan dalam hubungan manusia dengan sesamanya (hablum minannas). Taufiq dan Rohmadi (2010: 25) menyatakan bahwa syariah (ibadah) adalah segala yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW yang berbentuk wahyu yang terdapat dalam Alquran dan as sunah.
Mu’is dan Faris (2011: 329) menyatakan bahwa akhlak ialah sistem nilai yang mengatur pola sikap dan tindakan manusia di atas bumi. Sistem nilai yang
commit to user
dimaksud adalah ajaran Islam dengan Alquran dan as sunah sebagai metode berpikir Islam. Akhlak adalah tingkah laku manusia atau nilai tingkah laku manusia yang bisa bernilai baik (mulia) atau sebaliknya (Marzuki, 2012: 81).
Fanani, dkk (2012: 28) akhlak adalah suatu keadaan yang melekat pada jiwa manusia, yang daripadanya lahir perbuatan-perbuatan dengan mudah, tanpa melalui proses pemikiran, pertimbangan, atau penelitian. Jika hal itu melahirkan perbuatan baik maka disebut akhlak yang baik dan sebaliknya, jika melahirkan perbuatan yang buruk disebut akhlak buruk.
4. Pengetian Bahan Ajar
Richards (2001: 251) menyatakan bahwa bahan ajar adalah segala sesuatu yang dijadikan guru sebagai komponen kunci dalam melaksanakan proses pembelajaran di kelas. Widjono (2008: 40) menyatakan bahwa bahan ajar adalah materi pembelajaran yang disampaikan guru pada siswanya yang wajib dikuasai oleh siswa baik secara afektif, kognitif, maupun psikomotor.
Dick dkk (2001: 245) menyatakan bahwa bahan ajar memuat isi yang berupa tulisan, mediasi, atau fasilitasi yang diberikan oleh seorang pengajar, yang mana isi bahan ajar ini dapat digunakan siswa untuk mencapai tujuan.
Smaldino, dkk (2008: 8) menyatakan bahwa bahan ajar adalah barang tertentu yang digunakan dalam pelajaran yang dapat memengaruhi pembelajaran siswa. Prastowo (2012: 17) menyatakan bahwa bahan ajar merupakan segala bahan (baik informasi, alat, maupun teks) yang disusun secara sistematis, yang menampilkan sosok utuh dari kompetensi yang akan dikuasai peserta didik dan digunakan dalam proses pembelajaran. Mishan (2005: xiii) menyatakan bahwa bahan ajar adalah kombinasi antara data yang berbasis kertas atau elektronik (audio atau visual) dan tugas dalam proses pembelajaran untuk memahami dan mencapai tujuan.
Sorensen (2009: 177) menyatakan bahwa bahan ajar adalah segala sesuatu yang bisa membantu dalam memahami pertumbuhan pengetahuan untuk terhubung dengan entitas lainnya. Bahan ajar adalah segala bentuk bahan yang digunakan untuk membantu guru dalam melaksanakan kegiatan belajar
commit to user
mengajar, bisa berupa bahan tertulis maupun tidak tertulis (Majid, 2008: 173).
Mulyasa (2006: 96) menyatakan bahwa bahan ajar merupakan salah satu bagian dari sumber belajar yang dapat diartikan sesuatu yang mengandung pesan pembelajaran, baik yang diniati secara khusus maupun bahan bersifat umum yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pembelajaran. Dari beberapa pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa bahan ajar adalah segala sesuatu (baik berupa bahan tertulis maupun tidak tertulis) yang dapat membantu guru dalam proses pembelajaran di dalam kelas untuk mencapai tujuan pembelajaran.
Moody dalam Ardianto (2007: 59) menyatakan bahwa karya sastra mempunyai prinsip ganda yaitu sastra sebagai pengalaman dan sastra sebagai bahasa. Sastra sebagai pengalaman artinya sastra harus bisa dinikmati, dihayati, dirasakan, dan dipikirkan. Oleh sebab itu, karya sastra yang disajikan dalam pembelajaran sastra hendaknya memberikan pengalaman baru kepada siswa yang dapat memberikan pengaruh baik bagi kehidupan siswa. Sastra sebagai bahasa artinya sastra merupakan suatu komunikasi yang menggunakan bahasa dan unsur kebahasaan, seperti pernyataan, keterangan, ungkapan, nada, dan tekanan kalimat.
Pembelajaran sastra merupakan salah satu aspek penting yang harus dilakukan siswa supaya siswa dapat menikmati, mengmaknai dan mengahayati karya sastra sebagai acua dalam mengembangkan kemampuan berbahasa yang dimilikinya. Pada saat pembelajaran sastra tentunnya seorang guru juga memerlukan bahan ajar agar dapat mencapai tujuan pembelajaran. Bahan ajar sastra yang tepat adalah karya sastra itu sendiri, baik yang berbentuk prosa, drama, ataupun puisi. Huck, dkk (1987: 12) menyatakan bahwa suatu karya sastra dapat dijadikan sebagai bahan ajar jika karya sastra tersebut dapat memberikan kebahagian dan membentuk karakter siswa.
Endraswara (2013: 111) menyatakan bahwa bahan ajar sastra yang baik adalah 1) bahan ajar yang sesuai dengan kurikulum. Pembelajaran sastra tentunya menjadikan sastra sebagai bentuk endapan pengalaman yang dapat menuntun siswa untuk lebih maju dalam berpikir kritis dan menyikapi
commit to user
kehidupan. Artinya sastra dapat membentuk karakter siswa untuk lebih baik. 2) bahan ajar yang dapat meningkatkan ketajaman imajinatif tentang hidup dan ajarannya. Sastra merupakan salah satu sarana untuk melatih ketajaman imajinatif siswa tentang hidup dan ajarannya yang disampaikan dalam bentuk dan struktur bahasa. 3) Sastra yang baik untuk dijadikan bahan ajar yaitu sastra yang dapat membangun pengalaman dari warisan budaya, sehingga melalui pembelajaran sastra dapat mengajarkan siswa untuk selalu mewarisi atau melestarikan budaya yang dimiliki.
Moody dalam Ardianto (2007: 60) mengemukakan tujuan pembelajaran sastra terbagi menjadi empat yaitu 1) Informasi yaitu siswa mengenal informasi yang memadai tentang sastra (prosa, puisi, dan drama), unsur yang membangun, pengarang, waktu dikarang, dan sebagainya. Artinya, tahapan pembelajaran sastra ini bersifat hapalan. 2) Konsep yaitu pengertian-pengertian pokok tentang suatu hal. Terminologi dari setiap aspek dikenal oleh siswa.
pada tahapan ini siswa tidak hanya mengetahuai konsep, tetapi juga dapat menerapkan konsep tertentu dalam suatu pembahasan karya sastra. 3) Perspektif yaitu pandangan siswa terhadap sebuah karya sastra menurut perspektif pikirannya sendiri. Pada aspek perspektif sudah mengarah ke daya apresiasi siswa, yang di dalamnya terdapat evaluasi (kognitif) dan unsur penghargaan yang termasuk aspek apresiasi. 4) Apresiasi yaitu pemahaman, penghayatan, penikmatan, dan penghargaan kepada karya sastra.
B. Kajian yang Relevan
Penelitian Balinisteanu (2016) menemukan hasil presfektif yang muncul dari folklor yang ada di Rumania bersifat subversif dalam kaitannya dalam kontrol sosial dan seksual pada semua jenis kelamin dan kelas dengan menggunakan tokoh vampir dalam perkotaan industri pada akhir abad ke Sembilan belas.
Kesamaan penelitian Balinisteanu dengan penelitian ini yaitu sama-sama membahas folklor, sedangkan perbedaannya yaitu pendekatan yang digunakan dan bentuk folklornya. Penelitian Balinisteanu menggunakan pendekatan
commit to user
feminisme dan bentuk folklor yang diteliti cerita rakyat, sedangkan penelitian ini menggunakan pendekatan antropologi sastra dan folklornya berbentuk syair.
Agbenyega, dkk (2017) dalam penelitiannya mengatakan bahwa cerita lisan tradisional memiliki kontribusi besar terhadap pembelajaran dan perkembangan anak yang terkait dengan imajinasi, pembentukan konsep dan pemikiran, dan dalam bersosialisasi dalam lingkungan sosial. Penelitian ini sama dengan penelitian yang akan dilakukan yaitu meneliti folklor dengan analisis isi. Namun berbeda bentuk folklor yang diteliti.
Penelitian yang dilakukan Sarmento (2010) menunjukan hasil perahu Maliceiro Ria de Aviero dalam flolklor Portugis memiliki pengaruh terhadap pengajaran dan propaganda institusional pada abad ke-20 dalam mengevintarisasikan identitas, imajinasi, dan praktiknya dalam masyarakat.
Penelitian Sarmento ini memiliki kesamaan dengan penelitian ini yaitu menggunakan pendekatan antropologi sastra, namun berbeda bentuk folklor yang diteliti. Folklor yang teliti oleh Sarmento adalah folklor yang berbentuk folklor bukan lisan, sedangkan penelitian ini meneliti folklor lisan. Gikel dan Hankes (2003) dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa para antropolog berpendapat kalau cerita rakyat dapat mengungkap bagaimana asal-usul dan cara masyarakat itu untuk bertahan hidup. Penelitian Gikel dan Hankes memiliki kesamaan dengan penelitian ini yaitu meneliti folklor dengan pendekatan antropologi.
Nowak (2014) dalam hasil penelitiannya mengemukakan mitos penciptaan margherita pizza seperti yang terdapat dalm teks-teks sejarah dan asal usul cerita rakyat tersebut untuk menyatukan Italia. Hansen (2016) menemukan adanya ambivalensi atas warisan sejarah kunci dalam cerita rakya Amerika Serikat sebagai pembentuk studi budaya tradisional untuk membangun tanggapan yang lebih sosial. Penelitian Nowak dan Hansen memiliki kesamaan dengan penelitian ini, yaitu meneliti folklor lisan. Selain itu, penelitian Shandil (2017) juga memiliki kesamaan dengan penelitian ini yaitu membahas tentang nyanyian masyarakat, namun berbeda pendekatan yang digunakan. Penelitian shandil menggunakan pendekatan feminis sedangkan penelitian ini menggunakan pendekatan antropologi sastra.
commit to user
Penelitian Donoho (2014) menemukan sudah ada pergeseran cara pengobatan orang yang kurang waras pada cerita rakyat yang ada di mata air ST Fillan dan Loch Maree Skotlandia karena kemajuan pengobatan dan ilmu psikologi. Luciani (2017) melalui penelitiannya menyatakan bahwa tradisi cento cruci (seratus satu salib) bisa mengatasi permasalahan umum dan kemiskinan berkepanjangan dengan menelusuri peristiwa perang salib. Everett dan Parakoottathil (2016) dalam penelitian mengemukan bahwa festival Robin Hood yang mengabungkan fakta dan fiksi sejarah dengan kekuatan imajinasi pengabungan waktu dan ruang dapat menjadi salah satu wisata budaya yang menarik. Ketiga penelitian di atas memiliki kesama dengan penelitian ini yaitu meneliti folklor lisan.
C. Kerangka Berpikir
Penelitian ini memposisikan tadut sebagai objek penelitian. Tadut merupakan folklor yang berkembang di masyarakat Kedurang Bengkulu Selatan.
Kajian pada penelitian ini, akan difokuskan pada aspek antropologi sastra yang berkaitan dengan kompleksitas ide diwujudkan dalam tema-tema, nilai-nilai keagamaan yang terkadang dalam tadut, dan relevansi tema dan nilai-nilai keagamaan yang terdapat dalam syair tadut dengan bahan ajar bahasa Indonesia SMP di Kedurang Bengkulu Selatan. Antropologi sastra akan mengkaji aspek budaya yang terdapat dalam tadut, secara mendalam penelitian ini akan membahas tema-tema yang terdapat pada tadut masyarakat Kedurang Bengkulu Selatan. Selain itu, penelitian ini juga menganalisis nilai-nilai keagamaan yang terkadung dalam tadut tersebut dan sebagai bahan ajar bahasa Indonesia pada SMP khususnya pada pembelajaran sastra.
commit to user
Gambar 2.1. Alur kerangka berpikir Syair tadut Masyarakat Kedurang Bengkulu Selatan
Antropologi Sastra:
Tema-tema yang terdapat pada tadut
Nilai-nilai keagamaan
Bahan ajar bahasa Indonesia SMP KD puisi rakyat
Simpulan:
1. Tema dalam syair tadut
2. Nilai-nilai keagamaan dalam syair tadut
3. Relevansi tema-tema dan nilai-nilai keagamaan yang terdapat dalam tadut dengan bahan ajar bahasa Indonesia SMP KD puisi rakyat di Kedurang Bengkulu Selatan
Sastra Lisan Nilai Keagamaan Pranata Sosial