https://pmb.lipi.go.id/penguatan-identitas-daerah-dalam-konteks-pelindungan-bahasa-sebagai-penunjang-pendi-dikan-pariwisata-dan-ekonomi-kreatif-di-kota-bogor
www.pmb.go.id
DAFTAR ISI
Editorial Board ... I
Volume 12, nomor 23, 2 Desember 2020:
Muatan Lokal Bahasa Daerah Bukanlah Satu-Satunya Solusi Pembelajaran Bahasa Lokal Daerah Setempat
Satwiko Budiono ... 1
Volume 12, nomor 24, 16 Desember 2020:
Antagonisme Identitas dalam Wacana Komentar Facebook dan Teror Sigi
Ubaidillah ... 4
Volume 12, nomor 25, 21 Desember 2020:
Pengaruh Podcast terhadap Kepercayaan Diri Siswa
Faiza Ghefira dan Lutfah Amaliyah ... 7
Volume 12, nomor 26, 28 Desember 2020:
Penguatan Identitas Daerah dalam Konteks Pelindungan Bahasa sebagai Penunjang Pendidikan, Pariwisata, dan Ekonomi Kreatif di Kota Bogor
Satwiko Budiono ... 10
Volume 12, nomor 27, 31 Desember 2020:
Naiknya Thai Pop Culture dan Masa Depan Indonesian Pop (Indo Pop)
Ranny Rastati ... 14
EDISI DESEMBER 2020 www.pmb.go.id
EDITORAL BOARD
Penanggung jawab
Prof. Dr. Ahmad Najib Burhani, M.A (Plt. Kepala Pusat Penelitian Masyarakat dan Budaya LIPI)
Ketua : Ranny Rastati, M.Si.
Wakil Ketua : Hidayatullah Rabbani, S.Hum. Sekretaris : Al Araf Assadallah Marzuki M.H.
Tim Editor :
o Ranny Rastati, M.Si
o Ibnu Nadzir Daraini S.Ant, M.Sc o Maulida Illiyani S.H, M.Kn o Hidayatullah Rabbani, S.Hum o Luis Feneteruma, S.H.
Teknis dan Layout :
o Dimas Sony Dewantara, S.Kom o Arief Hartanto, S.Sn
o Andrian Wikayanto, M.Ds
Keuangan : Tedi Setiadi S.E, M.M
https://pmb.lipi.go.id/muatan-lokal-bahasa-daerah-bukanlah-satu-satunya-solusi-pembelajaran-bahasa-lokal-daer-ah-setempat/
Muatan Lokal Bahasa Daerah Bukanlah Satu-Satunya Solusi
Pembe-lajaran Bahasa Lokal Daerah Setempat
Satwiko Budiono
merupakan peneliti bahasa di Badan Pengembangan dan Pembinaan Baha-sa, Kementerian Pendidikan dan Kebu-dayaan. Latar pendidikan S-1 Sastra In-donesia dan S-2 Linguistik Peminatan Bahasa dan Kebudayaan dari Universi-tas Indonesia. Memiliki minat yang be-sar terhadap penelitian bahasa daerah di Indonesia, khususnya pemetaan bahasa (dialektologi), sosio-linguistik, leksikografi, revitalisasi bahasa, maupun bahasa ter-ancam punah. Penulis dapat dihubungi melalui pos-el satwiko. [email protected]
I
ndonesia memiliki kekayaan dan keberagaman warisan budaya dan bahasa. Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementeian Pendidikan dan Kebudayaan (2019) mencatat ada 718 bahasa yang terindentifikasi. Jumlah tersebut membuat Indonesia menduduki peringkat kedua dengan bahasa daerah terbanyak di dunia (Eberhard, David M., Gary F. Simons, and Charles D. Fennig, 2019). Adanya kondisi demikian, pemerintah selalu berupaya menjaga kekayaan negara dengan cara melakukan pelindungan bahasa daerah. Upaya pelindungan bahasa daerah tertuang dalam (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan, khususnya Pasal 45 dan (2) Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2014 tentang Pengembangan, Pembinaan, dan Pelindungan Bahasa dan Sastra serta Peningkatan Fungsi Bahasa Indonesia. Bahkan, amanat menjaga bahasa daerah juga tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 42 Tahun 2018 tentang Kebijakan Nasional Kebahasaan dan Kesastraan. Berbagai peraturantersebut menandakan bahwa bahasa daerah sangat penting untuk dilindungi sebagai salah satu kekayaan negara takbenda.
Bahasan pelindungan bahasa ini pun menjadi menarik karena bahasa termasuk ke dalam penanda identitas dan jati diri suatu kelompok. Tanpa adanya bahasa yang berbeda, suatu kelompok dianggap sama atau bagian dari kelompok yang memiliki bahasa yang sama. Terlebih lagi, adanya program otonomi dan desentralisasi dari pemerintah membuat beberapa daerah seakan mencari pembeda antara daerah yang satu dengan daerah yang lainnya dari berbagai aspek tak terkecuali dari segi bahasa demi legalitas sebuah wilayah supaya dapat berdiri sendiri sebagai sebuah desa atau tingkatan lebih tinggi lainnya. Kondisi tersebut dikuatkan lagi dengan adanya program dana desa sejak tahun 2015 sehingga beberapa daerah semakin ingin memisahkan diri dari wilayah yang kurang memiliki kesamaan dari segi budaya, termasuk bahasa. Bahkan, pembahasan identitas dan jati diri yang erat kaitannya dengan budaya dan bahasa ini menjadi pembahasan yang sensitif pula di kalangan masyarakat Indonesia.
https://pmb.lipi.go.id/muatan-lokal-bahasa-daerah-bukanlah-satu-satunya-solusi-pembelajaran-bahasa-lokal-daer-ah-setempat/
Contoh Kasus Sensitif Perihal Bahasa Daerah di Indonesia
Salah satu contoh kasus sensitif perihal bahasa daerah di Indonesia terjadi pada adanya perdebatan pernyataan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dalam pemberitaan media nasional tentang bahasa daerah pada tahun 2018 lalu. Perdebatan tersebut bermula pada tahun 2018 saat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Muhadjir Effendy menghadiri acara Semiloka dan Deklarasi Pengutamaan Bahasa Negara di Universitas Sebelas Maret (UNS). Dalam kesempatan tersebut, Mendikbud mengungkapkan keinginannya untuk membuat rekomendasi kebijakan terkait dengan keberagaman bahasa yang ada di Papua dan Papua Barat. Namun, pemaparan Mendikbud tersebut menuai perdebatan dengan mencuatnya wacana penyederhanaan bahasa daerah di berbagai media (Media Indonesia, 8/8/2018). Adanya perdebatan tersebut, Dadang Sunendar selaku Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa) saat itu memberikan klarifikasi terhadap wacana penyederhanaan bahasa yang diwacanakan Mendikbud. Dalam klarifikasinya, Kepala Badan Bahasa meminta semua pihak tidak perlu khawatir terhadap hal tersebut karena bahasa daerah dilindungi oleh undang-undang (Tempo, 14/8/2018).
Sebenarnya, hal yang membuat khawatir masyarakat dalam hal mencuatnya penyederhanaan bahasa daerah adalah adanya dugaan penghilangan bahasa daerah yang secara tidak langsung terkait kepada aspek politik, sosial, ekonomi, dan budaya. Untuk mengatasi kekhawatiran tersebut, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) dalam lamannya meluncurkan artikel tentang komitmen Kemdikbud dalam
melindungi bahasa daerah (14/8/2018). Dalam upaya melindungi bahasa daerah di Indonesia dan mengatasi mencuatnya perdebatan penyederhanaan bahasa daerah yang timbul dalam pemberitaan di berbagai media nasional sebenarnya telah ada berbagai peraturan yang menaunginya. Peraturan tersebut mulai dari UU, PP, Permendagri, Permendikbud, hingga Perda pada beberapa wilayah. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah telah menunjukkan keseriusan melindungi bahasa daerah di Indonesia sebagai bagian dari kekayaan budaya nasional dengan adanya berbagai peraturan tentang upaya pelindungan bahasa daerah tersebut sehingga perdebatan yang muncul murni hanya kesalahpahaman awak media menanggapi pernyataan Mendikbud.
Beberapa Upaya Pembelajaran Bahasa Daerah sebagai Bagian Pelindungan Bahasa
Ramainya pemberitaan di atas memperlihatkan bahasa daerah masih sangat diperhatikan masyarakat Indonesia. Wacana penyederhanaan muncul karena banyak yang berasumsi untuk mengadakan pelajaran muatan lokal bahasa daerah di daerah yang karakteristik masyarakatnya heterogen. Jika hal tersebut terjadi, ada bahasa daerah yang dipilih dan ada pula bahasa daerah yang ditinggalkan atau dihilangkan. Padahal, pelajaran muatan lokal di sekolah bukanlah satu-satunya solusi dalam pembelajaran bahasa lokal daerah setempat jika merujuk pada upaya pelindungan bahasa. Pelajaran muatan lokal sekolah dapat dilaksanakan jika karakteristik masyarakat dalam lingkup sekolah, baik sekolah dasar atau sekolah menengah tersebut masih terbilang homogen. Akan tetapi, jika karakteristik masyarakatnya sudah heterogen atau dapat dikatakan ada lebih dari satu pengguna bahasa daerah, maka pelajaran muatan lokal di sekolah
https://pmb.lipi.go.id/muatan-lokal-bahasa-daerah-bukanlah-satu-satunya-solusi-pembelajaran-bahasa-lokal-daer-ah-setempat/
tidak dapat dilaksanakan. Kondisi tersebut membuat kekhawatiran dalam hal pemilihan bahasa apa yang diajarkan di sekolah sehingga rawan sekali terjadi konflik antarsuku nantinya. Sebelum hal buruk tersebut terjadi, masyarakat yang heterogen ini perlu masukan lain selain pelajaran muatan lokal di sekolah sebagai sarana pembelajaran bahasa daerah.
Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 79 Tahun 2014 tentang Muatan Lokal Kurikulum 2013, muatan lokal yang dapat berupa (1) seni budaya, (2) prakarya, pendidikan jasmani, kesehatan, dan kesehatan (PJOK), (3) bahasa, dan/atau (4) teknologi sehingga muatan lokal memang tidak harus dalam aspek bahasa saja. Bahasa daerah tidak harus masuk ke dalam pelajaran muatan lokal mengingat ada empat hal lain yang dapat dijadikan pelajaran muatan lokal. Kalau memang tidak mencapai kesepakatan atau persetujuan dari masyarakat dalam memilih satu bahasa di antara beberapa bahasa lebih baik memilih muatan lokal bidang lain. Namun, pembelajaran bahasa daerah dapat diajarkan pada tingkat ekstrakurikuler dalam bentuk seni yang memuat bahasa daerah jika tidak dapat berdiri sendiri sebagai sebuah pelajaran. Selain itu, ada peraturan diversifikasi kurikulum satuan pendidikan yang memungkinkan pemerintah daerah menyusun dan mengembangkan kurikulum konteks lokal yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi daerah setempat. Selain itu, pembelajaran bahasa daerah dapat pula masuk ke dalam ranah pelestarian budaya daerah seperti yang dilakukan pamong budaya dalam sanggar budaya dari Direktorat Jendral Kebudayaan. Bahkan, pembelajaran bahasa daerah dapat pula dikembangkan melalui pembuatan lagu berbahasa daerah sehingga bahasa daerah dapat lebih populer di tengah masyarakat (Editor Hidayatullah Rabbani).
Pustaka Acuan
Eberhard, David M., Gary F. Simons, and Charles D. Fennig (eds.). 2020. Ethnologue: Languages of the World. Twenty-third edition. Dallas, Texas: SIL International.
Kemdikbud. (2018). Diakses pada 20 November 2020 dari https://www.kemdikbud.go.id/main/ blog/2018/08/konservasi-dan-revitalisasi- komitmen-kemendikbud-dalam-pelindungan-bahasa-daerah
Media Indonesia. (2018). Diakses pada 20 November 2020 dari https://mediaindonesia. c o m / r e a d / d e t a i l / 1 7 7 3 0 0 m e n d i k b u d -wacanakan-penyederhanaan-bahasa-daerah Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 79 Tahun 2014 tentang Muatan Lokal Kurikulum 2013
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 42 Tahun 2018 tentang Kebijakan Nasional Kebahasaan dan Kesastraan
Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2014 tentang Pengembangan, Pembinaan, dan Pelindungan Bahasa dan Sastra serta Peningkatan Fungsi Bahasa Indonesia
Tempo. (2018). Diakses pada 20 November 2020 dari https://nasional.tempo.co/read/1116955/ k e m e n d i k b u d j a n g a n k h a w a t i r s o a l -penyederhanaan-bahasa-daerah/full&view=ok
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan
https://pmb.lipi.go.id/antagonisme-identitas-dalam-wacana-komentar-facebook-dan-teror-sigi/
Antagonisme Identitas dalam Wacana Komentar Facebook dan Teror
Sigi
Ubaidillah
merupakan peneliti Pusat Penelitian Masyarakat dan Budaya, LIPI yang menekuni kajian budaya, agensi, pe-rubahan sosial yang tercermin dalam bahasa. Penulis dapat dihubungi via [email protected]
T
empo Media mengunggah berita video mengenai seorang pengendara yang bertakbir tatkala diberhentikan polisi karena tidak memakai helm pada 26 November 2020 di akun Facebooknya.Kolom komentar unggahan tersebut menyajikan gambaran hasil pembenturan agama dan nasionalisme yang kembali muncul sebagai narasi politik sejak 2014 untuk kepentingan elektoral. Retakan-retakan hasil pembenturan itu telah sampai ke akar rumput. Rekontekstualisasi kata-kata yang biasa berada dalam narasi politik di media sosial, seperti
kadrun, cebong, mabuk agama, PKI, dan yang
terbaru revolusi akhlak telah sampai pada tahap digunakan untuk memaknai peristiwa keseharian, bukan lagi peristiwa politik elektoral.
Peristiwa yang dikabarkan Tempo pada tahap tertentu dapat dikatakan apolitis. Namun, menjadi politis ketika interpretasi unggahan tersebut menggunakan pertalian identitas yang ditandai dengan kata takbir. Kita bisa berdebat soal motivasi internal si pengendara memekik takbir saat diberhentikan apakah memang merupakan ekspresi politik yang menyatakan bahwa ia jauh lebih patuh kepada hukum Tuhan dan percaya Tuhan melindungi
kepalanya dari kerasnya aspal jalan dan karenanya mengesampingkan hukum yang dibuat oleh manusia, terlebih hukum itu tidak bersumber dari wahyu Tuhan. Di samping itu, dapat pula pekik takbir yang diteriakkan hanya sekadar ekspresi lingual yang muncul secara spontan karena rasa kaget?
Perbincangan di kolom komentar mengalir hingga jauh. Takbir menjadi sorotan interpretasi hingga menghasilkan komentar ‘Takbir nih ye, luar biasa memang penganut
agama ini. Lagi ibadah bertakbir, melanggar aturan/hukum juga takbir, menghancurkan rumah ibadah agama lain juga takbir, menyerukan penggal kepala juga takbir’.
Komentar tersebut dilontarkan oleh sebuah akun yang menggunakan nama marga suatu etnik yang telah terasosiasi beragama tertentu. Interpretasi atas komentar itu menjadi terpusat pada nama si pengomentar dan memunculkan tanggapan komentar ‘yg parah itu kamu dan
gerombolanmu, Tuhan aja disalip(b) baru kalian sembah, saking dungunya kamu’, ‘Udah tua masih Rasis. Nanti dibalas ngomong minoritas mayoritas, kaya orang paling terzolimi’, dan ‘yg penting kan TUHAN KAMI sopan, tdk memakai celana dalam doang’.
Martabat sebagai pemeluk agama yang direndahkan telah memicu perbincangan lepas dari konteks dari peristiwa si pengendara tadi. Ada atau tidak peristiwa itu telah kehilangan signifikansi. Mempertahankan pengakuan atas martabat sebagai pemeluk agama menjadi hal yang utama. Perjuangan atas pengakuan martabat ini meminjam istilah Axel Honneth (1992) menjadi gramatika moral dari konflik
https://pmb.lipi.go.id/antagonisme-identitas-dalam-wacana-komentar-facebook-dan-teror-sigi/
sosial. Menjadi tidak mengherankan bila komentar yang berfokus terhadap takbir ini ditanggapi ‘wah si abang nih gajak perang
rupanya, si abang berani kali berkata2 SARA, mau minta maaf tidak kau sekarang juga??’.
Tergambar dari respon terhadap komentar yang berfokus terhadap takbir itu, perasaan direndahkan akibat martabat keberagamaannya dilecehkan telah mengerek hasrat pengakuan isotymia-pengakuan sebagai manusia setara, menjadi megalotymia atau pengakuan sebagai sosok yang superior. Agamaku lebih benar, dari agamamu, bukan lagi agamaku, agamamu. Endapan prasangka dan sentimen pun menemukan jalan keluarnya.
Dalam artikel ‘Belajar dari El Paso’, saya pernah menulis kepeloporan elit politik dalam menyemai dan memupuk kebencian primordial, termasuk narasi nasionalisme dapat berbuah tindakan rasial yang mematikan seperti aksi penembakan menarget orang-orang hispanik di El Paso. Aksi itu dilakukan untuk melawan ‘Hispanic invasion’, serupa penembakan di Selandia Baru yang menurut pelakunya adalah perlawanan terhadap ‘The
Great Replacement’(Washington Post, 2019).
Perbincangan di kolom komentar unggahan Tempo tersebut telah menunjukkan bahwa persemaian dan pemupukan yang dilakukan elit telah menjadikan antagonisme identitas sebagai gramatika yang digunakan untuk menginterpretasi peristiwa apapun, meski peristiwa itu tidak terkait sama sekali dengan perseteruan kekuasaan.
Kemarin, 28 November 2020, peristiwa kekerasan yang menewaskan empat orang, membakar rumah ibadah dan rumah warga terjadi di Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah (Detik.com, 2020). Polisi menyebut tindakan
kekerasan itu diduga dilakukan jaringan teroris Mujahidin Indonesia Timur. Peristiwa ini mengandung antagonisme identitas antara pelaku dan korban. Belum dapat dikatakan bahwa kejadian ini serupa yang terjadi di El Paso atau Selandia Baru yang dilakukan secara sukarela karena motivasi kebencian rasial dalam diri individu terhadap kelompok tertentu. Namun dapat dipastikan bahwa ada perseteruan identitas yang coba dikomunikasikan dari teror ini bila apa yang dikatakan polisi benar adanya. Perseteruan yang dilakukan untuk menggalang persetujuan dan solidaritas atas apa yang dilakukan pelaku karena keberadaan identitas korban mengancam atau mengusik identitas pelaku. Bagi korban, kekerasan yang dilakukan terhadap mereka hanya karena mereka menyandang identitas berbeda akan menimbulkan kecurigaan dan kebencian terhadap penyandang identitas pelaku.
Kita bisa mengatakan bahwa antagonisme yang tergambar dalam kolom komentar unggahan Tempo dengan yang tergambar dalam peristiwa teror Sigi ini berbeda dimensi. Yang pertama berdimensi politik kekuasaan, sedangkan yang kedua berdimensi terorisme. Namun, kita tidak bisa memungkiri bahwa keduanya dapat beresonansi karena kesamaan identitas yang berantagonisme.
Hal demikian, diperparah oleh gerak administrasi yang sangat berpotensi dimaknai sebagai diskriminasi terhadap suatu kelompok, misalnya mengenai definisi kerumunan di tengah pandemi, signifikansi antara yang terjadi di Solo dan Petamburan telah bermakna berbeda di depan administrasi, meski secara wujud fisik tak ada yang berbeda. Terlebih media massa secara sengaja maupun tidak ikut ambil bagian sebagai pengipas bara api dengan kualitas jurnalisme yang clickbait, meski
https://pmb.lipi.go.id/antagonisme-identitas-dalam-wacana-komentar-facebook-dan-teror-sigi/
penerbitan produk jurnalisme masih memiliki opsi dengan mengedepankan verifikasi dan menjaga beritanya tetap komprehensif dan proporsional (Editor Maulida Illiyani).
Referensi
CNN Indonesia. 2020. Polisi Sebut Kelompok Ali Kalora Bunuh 4 Warga Desa di Sigi. https://www.cnnindonesia.com/ nasional/20201128103759-12-575578/polisi- sebut-kelompok-ali-kalora-bunuh-4-warga-desa-di-sigi diakses 30 November 2020
Detik.com. 2020. Satu keluarga di Sigi dibunuh OTK, PGI minta aparat usut tuntas. https://news. detik.com/berita/d-5273092/satu-keluarga-di-sigi-dibunuh-otk-pgi-minta-aparat-usut-tuntas diakses 30 November 2020
Honneth, Axel. 1995. Struggle for Recognition: the moral grammar of social conflict. Cambrigde: Polity Press.
Tempo Media. 2020. Unggahan dapat dilihat melalui pranala https://web.facebook.com/ TempoMedia/posts/10159239891608442 diakses 30 November 2020
Ubaidillah. 2019. Belajar dari El Paso https:// news.detik.com/kolom/d-4656004/belajar-dari-el-paso diakses 30 November 2020
Washington Post. 2019. What’s inside the hate-filled manifesto linked to the alleged El Paso shooter. https://www.washingtonpost.com/ politics/2019/08/04/whats-inside-hate-filled-manifesto-linked-el-paso-shooter/ diakses 30 November 2020
Sumber gambar: https://mediaindonesia.com/ opini/161747/media-sosial-dan-amplifikasi-teror
https://pmb.lipi.go.id/pengaruh-podcast-terhadap-kepercayaan-diri-siswa/
Pengaruh Podcast terhadap Kepercayaan Diri Siswa
Faiza Ghefira
Lutfah Amaliyah
merupakan pemenang juara harapan dari lomba LKIR bidang Ilmu Penge-tahuan Sosial dan Kemasyarakatan (IPSK). Faiza merupakan pelajar di ting-kat MA. Penulis dapat dihubungi via [email protected].
adalah pemenang juara harapan dari lomba LKIR bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemasyarakatan (IPSK). Lut-fah sebagai partner meneliti dengan Faiza. Lutfah juga merupakan pelajar di tingkat MA. Penulis dapat dihubungi via [email protected].
K
eberagaman yang menimbulkan standar dalam dunia media sosial membuat remaja tidak mengenal dirinya sendiri. Padahal menurut Vera Itabiliana Hadiwidjojo, Psikolog Anak dan Remaja, mengenal diri sendiri itu penting, khususnya untuk remaja yang menuju proses pembentukan karakter diri, “Hal yang seharusnya mereka pelajari adalah bahwa diri mereka sendirilah yang mengerti akan apa yang terbaik bagi diri mereka. Dan kepercayaan diri mampu membuat remaja meraih potensi diri dan menjadi versi terbaik dari diri mereka sendiri dengan passion yang mereka sukai,” kata Vera[1].Begitu dengan hasil pengukuran psikologis tahun 2019 oleh Bimbingan Konseling (BK) di sekolah MA Citra Cendekia, Jakarta, ditemukan ada 67% siswa memiliki kepercayaan diri rendah. Rendahnya tingkat kepercayaan ini diduga karena ada dua faktor, yaitu faktor lingkungan dan faktor
personal. Menurut Ithrin Harameini, guru Bimbingan Konseling (BK) MA Citra Cendekia, tahun pertama Sekolah Menengah ke Atas (SMA) adalah fase adaptasi yang cukup berat bagi siswa baru. Hal ini karena siswa baru harus menyesuaikan diri dengan sistem pembelajaran, lingkungan sekolah, sosialisasi antara sesama murid, dan adaptasi dengan guru baru sehingga hal ini bisa mempengaruhi performa belajarnya di sekolah.
Untuk mengetahui lebih mendalam mengenai alasan rendahnya kepercayaan diri siswa MA Citra Cendekia, kami melakukan wawancara online via WhatsApp kepada lima siswa pada tanggal 24 April 2020. Melalui wawancara tersebut ditemukan bahwa ada empat dari lima orang siswa MA Citra Cendekia yang memiliki sikap kepercayaan diri yang rendah. Penyebab rendahnya kepercayaan diri yaitu selalu membanding-bandingkan dirinya dengan orang lain dan kurangnya dukungan dari orang terdekatnya sehingga membuat mereka tidak percaya diri dan tidak berani mengemukakan pendapat di depan orang lain.
Hal ini tentu mengusik keprihatinan kami untuk ikut memikirkan bagaimana cara membangun kepercayaan diri remaja supaya lebih positif. Mulai populernya penggunaan podcast di Indonesia membuat kami berinisiatif membuat program peningkatan kepercayaan diri melalui paparan podcast melalui Spotify dan Youtube. Menggunakan teori kepercayaan diri dari Norman Vincent Peale (2006), kepercayaan diri yang diteliti dibagi menjadi tiga aspek yaitu fisik, psikis, dan sosial.
https://pmb.lipi.go.id/pengaruh-podcast-terhadap-kepercayaan-diri-siswa/
memang belum semasif di Amerika Serikat dan Eropa. Podcast terlebih dahulu popular di Amerika Serikat. Sementara di Indonesia, podcast masih dianggap media baru dalam dunia siaran khususnya pada konten audio. Para peneliti di Indonesia pun belum banyak yang melakukan kajian tentang podcast audio. Padalah, podcast merupakan salah satu media online yang sedang digemari khususnya di kalangan remaja.
Setidaknya ada dua jenis podcast yang dikenal masyarakat yaitu dalam bentuk audio dan video.[2] Dalam penelitian kali ini, kami menggunakan podcast video karena lebih menarik secara audio dan visual. Beberapa contoh podcast yang membahas tentang kepercayaan diri yaitu Sudut Pandang, Muda Cuma Sekali, Subjective, Rainsvid, Your Turn with Ashley Stahl, dan Good Life Project.
Untuk mengetahui penggunaan podcast di kalangan siswa MA Citra Cendekia, kami mencoba melakukan wawancara online melalui WhatsApp pada 22 April 2020 terhadap sepuluh siswa MA Citra Cendekia. Berdasarkan wawancara tersebut, ditemukan bahwa ada delapan dari sepuluh siswa senang mendengarkan podcast. Beberapa siswa juga mengatakan bahwa motif mereka mendengarkan podcast karena tertarik dengan topik yang mereka lihat. Selain itu, podcast dianggap relate (berhubungan) dengan keadaan atau perasaan mereka saat itu. Para siswa pun lebih suka mendengarkan podcast pada malam hari sebagai refleksi dan penghantar tidur. Dari sini kami terinspirasi untuk mengubah mindset remaja supaya lebih mencintai dirinya dan lebih percaya diri melalui media sosial.
Kami melakukan penelitian terhadap siswa kelas 10, 11, dan 12 MA Citra Cendekia
yang terindikasi memiliki kepercayaan diri rendah dengan memberikan podcast yang bertema kepercayaan diri. Channel podcast yang kami pilih adalah podcast lokal, seperti Rintiksedu, Analisa Widyaningrum, Amel Carla, Helobagas, Kita dan Waktu, Gritte Agatha, dan Iqbal Hariadi. Dari channel podcast tersebut, kami memilih topik pembicaraan berdasarkan pada tiga aspek dari teori Norman Vincent Peale (2006).
Hal yang kami lakukan untuk meningkatkan kepercayaan diri siswa MA Citra Cendekia yaitu memberikan kuesioner pre-test via Google Form kepada seluruh siswa berisi pertanyaan tentang kepercayaan diri dan podcast pada tanggal 16 September 2020. Kemudian, kami memberikan paparan podcast selama 7 hari berturut-turut dimulai dari tanggal 19 Oktober 2020 hingga 25 Oktober 2020. Lalu, kuesioner post-test diberikan via Google Form setelah seluruh siswa mengikuti program paparan podcast yang kami berikan.
Setelah mengalami pemaparan podcast selama 7 hari berturut-turut, ditemukan ada 4% siswa yang mengalami peningkatan kepercayaan dirinya ke arah kognitif. Hal ini pun diperkuat dengan hasil data analisis wawancara oleh salah satu informan siswa MA Citra Cendekia berinisial TAJ, (laki-laki, 18 tahun) yang menyatakan bahwa program podcast yang diberikan sangat bagus karena bisa mencegah dari hal-hal yang negative. Berbagai podcast tersebut memberikan rasa tertarik dan semangat kepada siswa.
Berdasarkan riset tersebut, kami melihat bahwa fenomena podcast ini memiliki cukup berpengaruh terhadap cara berpikir remaja untuk melihat dirinya lebih positif. Meskipun demikian, temuan lain yang dapat kami simpulkan adalah podcast akan lebih efektif
https://pmb.lipi.go.id/pengaruh-podcast-terhadap-kepercayaan-diri-siswa/
di kalangan siswa jika berdurasi pendek. Signifikansi paparan podcast pun dapat lebih optimal jika dilakukan secara intensif dan rentang waktu yang lebih panjang (Editor Ranny Rastati).
Catatan redaksi: Artikel ini merupakan intisari dari paper berjudul “Tingkat Paparan Penggunaan Podcast di Media Sosial terhadap Tingkat Kepercayaan Diri Siswa-Siswi Angkatan 2018-2020 MA Citra Cendekia Jakarta” di bawah bimbingan Ithrin Harameini (guru pembimbing MA Citra Cendekia) dan Ranny Rastati (mentor PMB LIPI). Paper tersebut mendapatkan juara harapan satu Lomba Karya Ilmiah Remaja (LKIR) LIPI 2020. [1] https://gaya.tempo.co/read/1054871/ remaja-krisis-percaya-diri-psikolog-dukung-secara-emosional [2] https://library.universitaspertamina. a c . i d / x m l u i / b i t s t r e a m / handle/123456789/1124/LAPORAN%20 T U G A S % 2 0 A K H I R % 2 0 - % 2 0 N A D I A % 2 0 FA R A D I N N A % 2 0 % 2 8 WAT E R M A R K % 2 9 . pdf?sequence=1&isAllowed=y Referensi
Fadilah, E., Yudhapramesti, P., dan Aresti, N. 2017. Podcast sebagai Alternatif Distribusi Konten Audio. Program Studi Jurnalistik Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran. https://library. universitaspertamina.ac.id/xmlui/bitstream/ handle/123456789/1124/LAPORAN%20 T U G A S % 2 0 A K H I R % 2 0 - % 2 0 N A D I A % 2 0 FA R A D I N N A % 2 0 % 2 8 WAT E R M A R K % 2 9 . pdf?sequence=1&isAllowed=y
https://pmb.lipi.go.id/penguatan-identitas-daerah-dalam-konteks-pelindungan-bahasa-sebagai-penunjang-pendi-dikan-pariwisata-dan-ekonomi-kreatif-di-kota-bogor
Penguatan Identitas Daerah dalam Konteks Pelindungan Bahasa
sebagai Penunjang Pendidikan, Pariwisata, dan Ekonomi Kreatif di
Kota Bogor
Satwiko Budiono
merupakan peneliti bahasa di Badan Pengembangan dan Pembinaan Baha-sa, Kementerian Pendidikan dan Kebu-dayaan. Latar pendidikan S-1 Sastra In-donesia dan S-2 Linguistik Peminatan Bahasa dan Kebudayaan dari Universi-tas Indonesia. Memiliki minat yang be-sar terhadap penelitian bahasa daerah di Indonesia, khususnya pemetaan bahasa (dialektologi), sosio-linguistik, leksikografi, revitalisasi bahasa, maupun bahasa ter-ancam punah. Penulis dapat dihubungi melalui pos-el satwiko. [email protected]
U
paya pelindungan bahasa daerah tidak selalu harus dikaitkan dengan daerah pedesaan. Daerah perkotaan juga bisa melaksanakan upaya pelindungan bahasa daerah. Sebagian besar upaya pelindungan bahasa daerah memang masih terkonsentrasi pada daerah pedesaan karena dianggap masih memiliki penutur jati dan kontak bahasa yang minim dengan penutur lainnya sehingga keasliannya masih terjaga dengan baik walaupun pada dasarnya setiap bahasa itu selalu berubah dari waktu ke waktu mengikuti perkembangan zaman. Akan tetapi, hal yang perlu dipahami adalah konteks pelindungan bahasa daerah itu sebenarnya dapat dibilang luas. Masyarakat selama ini masih memahami konteks pelindungan bahasa daerah sebagai sarana pendokumentasian bahasa saja. Padahal, konteks pelindungan bahasa daerah dapat tidak mengarah kepada pendokumentasian apalagi kalau bahasa daerahnya sudah terdokumentasikan dengan baik yang ditandai dengan adanya pelajaran muatan lokal. Hal ini penting diketahui karena kewajiban pelindungan bahasa daerah sesungguhnya berada di tangan pemerintahdaerah. Kewajiban tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 40 Tahun 2007 tentang Pedoman Bagi Kepala Daerah dalam Pelestarian dan Pengembangan Bahasa Negara dan Bahasa Daerah.
Meskipun demikian, belum banyak pemerintah daerah yang memperhatikan atau melakukan upaya pelindungan bahasa daerah. Kondisi ini sangat disayangkan karena berkembang atau tidaknya bahasa daerah tergantung dari penutur dan pemangku kepentingannya sendiri. Pemerintah daerah selaku pemilik wilayah sudah seharusnya memperhatikan dan melindungi bahasa daerah di wilayahnya. Semua bahasa daerah yang memang membentuk sebuah komunitas dengan setidaknya dominan dituturkan dalam tingkat minimal desa atau tataran lebih tinggi lainnya harus dilindungi, baik bahasa daerah asli wilayah tersebut maupun bahasa daerah pendatang (Misalnya, adanya daerah transmigrasi atau perpindahan penduduk akibat bencana alam maupun sejenis lainnya). Dalam hal ini, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) selaku lembaga dan pembuat kebijakan kebahasaan di Indonesia hanya dapat memantik, mengarahkan, dan memberikan rekomendasi kepada pemerintah daerah untuk melakukan ataupun melanjutkan berbagai upaya pelindungan bahasa daerah yang telah ada sebelumnya. Namun, inti keberlanjutan dari upaya pelindungan bahasa daerah tersebut tetap ada pada tangan pemerintah daerah.
https://pmb.lipi.go.id/penguatan-identitas-daerah-dalam-konteks-pelindungan-bahasa-sebagai-penunjang-pendi-dikan-pariwisata-dan-ekonomi-kreatif-di-kota-bogor
Peraturan Pelindungan Bahasa Daerah di Indonesia
Pada Pasal 42 dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan dengan jelas menyebutkan bahwa pemerintah daerah berkewajiban melindungi bahasa daerahnya sebagai berikut.
(1) Pemerintah daerah wajib mengembangkan, membina, dan melindungi bahasa dan sastra daerah agar tetap memenuhi kedudukan dan fungsinya dalam kehidupan bermasyarakat sesuai dengan perkembangan zaman dan agar tetap menjadi bagian dari kekayaan budaya Indonesia.
(2) Pengembangan, pembinaan, dan pelindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara bertahap, sistematis, dan berkelanjutan oleh pemerintah daerah di bawah koordinasi lembaga kebahasaan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengembangan, pembinaan, dan pelindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Dari pasal di atas, dapat disimpulkan bahwa pemerintah daerah mempunyai kewajiban melindungi bahasa daerah di bawah koordinasi lembaga kebahasaan (Badan Bahasa, Kemdikbud). Hal ini disebabkan bahasa daerah turut memperkaya kekayaan budaya Indonesia. Kewajiban tersebut diperkuat dengan Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2014 tentang Pengembangan, Pembinaan, dan Pelindungan Bahasa dan Sastra serta Peningkatan Fungsi Bahasa Indonesia dan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 42 Tahun 2018 tentang Kebijakan Nasional Kebahasaan dan Kesastraan. Kewenangan pemerintah daerah dalam upaya pelindungan bahasa daerah
pun lebih terjabarkan dengan lebih terperinci lagi. Sebagai contoh, pemerintah daerah dapat memberikan dukungan upaya pelindungan bahasa daerah berupa (a) penjabaran kebijakan daerah, (b) penyiapan sumber daya, hingga (c) fasilitasi lain yang diperlukan. Semua aturan yang telah disebutkan ini sudah sangat jelas menggambarkan pentingnya campur tangan, dukungan, ataupun pelibatan pemerintah daerah dalam upaya pelindungan bahasa daerah.
Situasi dan Kondisi Kebahasaan di Kota Bogor
Salah satu daerah perkotaan yang dapat dijadikan contoh dalam upaya pelindungan bahasa daerah adalah Kota Bogor. Dalam hal ini, Kota Bogor memiliki dominasi bahasa Sunda sebagai bahasa daerah, baik pada tingkatan kecamatan hingga kelurahan. Meskipun ada pula masyarakat di Kota Bogor yang menggunakan bahasa Melayu Betawi di Kecamatan Tanah Sareal, tetapi penggunaan bahasa Melayu Betawi tersebut tidak membentuk sebuah komunitas yang mendominasi pada tingkatan kelurahan sehingga tidak dapat tercatat dalam pendataan Potensi Desa Tahun 2018 di Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Bogor.
Menurut Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Bogor diketahui bahwa penggunaan bahasa Sunda di Kota Bogor sebenarnya berbeda dengan penggunaan bahasa Sunda standar atau bahasa Sunda Priangan. Perbedaan terletak pada pemilihan kata yang cenderung kasar bila dibandingkan dengan bahasa Sunda di daerah lainnya. Hal ini disebabkan adanya kebiasaan dalam komunikasi masyarakat Kota Bogor yang menggunakan pilihan kata bahasa loma
https://pmb.lipi.go.id/penguatan-identitas-daerah-dalam-konteks-pelindungan-bahasa-sebagai-penunjang-pendi-dikan-pariwisata-dan-ekonomi-kreatif-di-kota-bogor
(bahasa yang biasa digunakan terhadap teman sebaya) dibandingkan dengan bahasa Sunda Priangan yang cenderung pilihan katanya lebih hormat, santun, atau tinggi.
Rekomendasi Pelindungan Bahasa Daerah di Kota Bogor
Berkaitan dengan pelindungan bahasa, Pemerintah Kota Bogor telah menerbitkan Peraturan Wali Kota Bogor Nomor 55 Tahun 2020 tentang Pelestarian Budaya Sunda. Peraturan tersebut meliputi pelestarian budaya Sunda yang di dalamnya terdapat unsur pelestarian bahasa Sunda sesuai dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Ruang lingkup peraturan pelestarian budaya Sunda di Kota Bogor pun sudah dikerucutkan ke dalam ranah pendidikan, pariwisata, dan ekonomi kreatif. Hal ini merupakan langkah awal yang sangat bagus dalam melakukan pelindungan bahasa daerah yang disesuaikan dengan identitas daerah. Meskipun demikian, pertimbangan peraturan tersebut belum memasukan peraturan dalam konteks pelindungan bahasa, seperti UU 24 Tahun 2009, PP Nomor 57 Tahun 2014, Permendikbud Nomor 42 Tahun 2018, Perpres Nomor 63 Tahun 2019, hingga Permendagri Nomor 40 Tahun 2007.
Kondisi ini memperlihatkan bahwa pentingnya koordinasi antara Pemerintah Kota Bogor dengan Badan Bahasa, Kemdikbud. Hal ini disebabkan ada banyak sekali hal yang dapat dilakukan dalam upaya pelindungan bahasa daerah, khususnya bahasa Sunda sebagai bahasa dominan di Kota Bogor. Mulai dari (1) pengembangan bahasa daerah melalui verifikasi pemetaan bahasa pada tingkatan kelurahan, (2) pembinaan bahasa daerah
dalam penamaan rupabumi, hingga (3) fasilitasi pertunjukan bahasa dan sastra di ruang publik. Apalagi, pemakaian bahasa Sunda di Kota Bogor dianggap berbeda dengan wilayah lainnya di Jawa Barat sehingga kekhasan kosakata tersebut dapat pula menjadi sebuah penanda identitas Kota Bogor. Bahkan, kosakata bahasa Sunda khas Bogor tersebut dapat dijadikan sebagai penunjang pendidikan, pariwisata, dan ekonomi kreatif dalam berbagai ranah (Editor Hidayatullah Rabbani).
Referensi
Badan Pusat Statistik. 2018. Potensi Desa. Kota Bogor: Badan Pusat Statistik.
Peraturan Badan Informasi Geospasial Nomor 6 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Pembakuan Nama Rupabumi.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 40 Tahun 2007 tentang Pedoman Bagi Kepala Daerah dalam Pelestarian dan Pengembangan Bahasa Negara dan Bahasa Daerah.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 39 Tahun 2008 tentang Pedoman Umum Pembakuan Nama Rupabumi.
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 42 Tahun 2018 tentang Kebijakan Nasional Kebahasaan dan Kesastraan.
Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2014 tentang Pengembangan, Pembinaan, dan Pelindungan Bahasa dan Sastra serta Peningkatan Fungsi Bahasa Indonesia.
Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2006 tentang Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi.
Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2019 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia.
https://pmb.lipi.go.id/penguatan-identitas-daerah-dalam-konteks-pelindungan-bahasa-sebagai-penunjang-pendi-dikan-pariwisata-dan-ekonomi-kreatif-di-kota-bogor
Peraturan Wali Kota Bogor Nomor 55 Tahun 2020 tentang Pelestarian Budaya Sunda.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.
https://pmb.lipi.go.id/naiknya-thai-pop-culture-dan-masa-depan-indonesian-pop-indo-pop
Naiknya Thai Pop Culture dan Masa Depan Indonesian Pop (Indo Pop)
Ranny Rastati
adalah peneliti Komunikasi di Pusat Penelitian Masyarakat dan Budaya LIPI. Fokus kajiannya berupa budaya pop khususnya dari Korea dan Jepang. Ia dapat dihubungi melalui email ranny. [email protected]
D
i tengah gempuran Korean Wave (K-Wave) yang maha dahsyat ke seluruh dunia melalui K-Pop dan K-Drama, Thailand mulai mencuri perhatian penonton global khususnya di kawasan Asia Tenggara. Tak hanya melalui kelezatan kuliner, Thailand juga mulai unjuk gigi melalui produk budaya pop. Selama ini, Thailand dikenal sebagai destinasi wisata populer yang menawarkan daya tarik wisata seperti alam, kuil, dan festival budaya. Kini, Thailand menunjukkan kekuatannya mulai dari industri film, drama, hingga kecantikan.Booming Film dan Drama Thailand
Sejak bertahun silam, publik Indonesia mengenal kepiawaian Thailand dalam membuat video iklan yang menarik dan menggugah perasaan. Mengusung konsep mini film, video iklan asal negeri Gajah Putih itu sering kali sukses membuat penonton meneteskan air mata. Tak jarang, orang-orang dikejutkan dengan fakta bahwa video tersebut adalah sebuah iklan komersial dari perusahaan asuransi, gadget, bahkan toko retail.
Pada awal 2000an, film dan drama Thailand memang tidak sepopuler drama dari negara-negara Asia Timur. Beberapa judul film
Thailand yang sempat booming di Indonesia kebanyakan bergenre horor seperti Bangkok Haunted (2001), Shutter (2004), dan Alone (2007). Thailand memang secara konsisten menghadirkan film horor berkualitas yang berhasil meraih hati pemirsa.
Memasuki tahun 2010-an, film Thailand bergenre drama laris manis di pasaran termasuk di Indonesia. Sebut saja Crazy Little Thing Called Love (2010), Teacher’s Diary (2014), Bad Genius (2017), dan Classic Again (2020). Tidak hanya film, drama seri asal Thailand pun semakin menarik minat pemirsa terlebih setelah tersedia di aplikasi nonton seperti Netflix dan Viu. Beberapa judul yang tersedia di Netflix seperti O-Negative, Love Can’t be Designed (2016), Girl from Nowhere (2018), Plead Bangkok Love Stories (2019), dan My Husband in Law (2020) cukup populer di kalangan pemirsa. Kini, industri film dan drama Thailand pun disebut-sebut sebagai salah satu yang terbaik di Asia Tenggara karena kualitas dan cerita yang segar.
Produk Kecantikan dan Idol K-Pop Asal Thailand
Tidak hanya di industri layar kaca, Thailand juga terkenal dengan industri kecantikannya yang menyediakan produk terjangkau namun berkualitas. Dalam dua tahun belakangan, produk kosmetik dan skincare asal Thailand mulai menjadi idola di kalangan anak muda Indonesia. Umumnya, produk tersebut disebut memiliki khasiat memutihkan kulit, menghilangkan jerawat dan bau badan. Kojic Plankton, Thai Goat Milk, dan
https://pmb.lipi.go.id/naiknya-thai-pop-culture-dan-masa-depan-indonesian-pop-indo-pop
Snail White, misalnya, banyak di-review di kanal Youtube Indonesia.
Beberapa kalangan menilai kepopuleran produk Thailand ini dianggap sebagai alternatif dari tingginya harga produk kecantikan asal Korea Selatan dan Jepang. Namun, tak dapat dipungkiri, tak sedikit produk kecantikan asal Thailand juga memiliki kualitas yang mumpuni baik dari segi bahan, pigmentasi dan kemasan. Beberapa merek asal Thailand pun mulai melakukan ekspansi ke pasar Indonesia. Beberapa alasan diterimanya produk kecantikan Thailand di Indonesia adalah adanya kecocokan kulit orang Thailand dengan orang Indonesia dan tersedianya sertifikasi halal (Riani, Liputan 6, 11 Maret 2019).
Kepopuleran idol asal Thailand di industri K-Pop pun memberikan andil dalam memperkenalkan budaya pop Thailand ke fans. Nichkhun 2PM, Lisa BLACKPINK, Bam Bam GOT7, dan Ten NCT, misalnya, tidak hanya memberikan warna baru pada industri musik Korea, namun juga turut membawa nama Thailand ke kancah internasional.
Gelombang Baru, Thai Pop Culture
Hingga kini Thailand belum memiliki terminologi global dalam memperkenalkan gelombang budaya pop-nya seperti yang dimiliki Korea Selatan melalui K-Wave dan Jepang melalui Cool Japan. Namun, menurut Nirin Thonthon Misap, peneliti Institute of East Asian Studies Thammasat University, Thailand memiliki istilah khusus dalam bahasa Thailand yaitu Watthanatham Thai Samainiyom yang dapat diterjemahkan sebagai Thai Pop Culture atau budaya pop Thailand [1].
Sebagai salah satu rising star budaya populer di kawasan Asia Tenggara, yang menjadi
pertanyaan adalah apakah kepopuleran tersebut memicu banyak orang dari negara lain untuk mempelajari bahasa Thailand seperti yang terjadi pada Jepang dan Korea Selatan? Sembari menunggu jawaban atas fenomena tersebut, setidaknya budaya pop Thailand memiliki dampak pada pariwisata yang terlihat melalui tingginya kunjungan wisata yang berimplikasi pada pendapatan nasional negara. Berdasarkan data yang dihimpun oleh Good News from Southeast Asia (Kumparan, 17 Maret 2019), Thailand menempati peringkat pertama kunjungan wisatawan asing tahun 2019 sebanyak 38.3 juta wisatawan, disusul Malaysia (25.8 juta wisatawan), Singapura (18.5 juta wisatawan), dan Indonesia (15.8 juta wisatawan). Merebaknya pariwisata Thailand selain dipengaruhi oleh produk wisata, promosi, dan infrastruktur, juga sebagai akibat dari citra global (Fartiannur, 2018: 1568) yang salah satunya dilakukan melalui produk budaya pop.
Melihat Peluang Indo Pop
Upaya ekspansi budaya pop yang tengah dilakukan Thailand tentu membuat kita bertanya-tanya mengenai bagaimana peluang budaya pop Indonesia atau Indo Pop. Indo Pop seperti Indo music (pop, rock, dangdut, campur sari), Indo cinema (film, FTV, sinetron), Indo animasi, Indo fashion (batik, busana tradisional adiluhung, fashion Muslim), Indo Culinary, dan Indo beauty (kosmetik lokal, kosmetik halal) menyediakan potensi besar bagi Indonesia untuk memperkenalkan soft power-nya melalui budaya pop. Pendapatan dari sektor budaya pop pun dapat memberikan stimulus ekonomi bagi Indonesia, seperti yang terjadi pada K-Pop. Tidak hanya itu, melalui budaya pop sebuah negara dapat menjadi dikenal dan dicintai oleh
https://pmb.lipi.go.id/naiknya-thai-pop-culture-dan-masa-depan-indonesian-pop-indo-pop
para penggemar di seluruh dunia.
Tentu saja dibutuhkan kolaborasi antar pemerintah, pelaku usaha, dan komunitas fandom (fans) untuk membentuk ekosistem Indo Pop ke tataran global. Melalui lesson learned dari perkembangan budaya pop sebelumnya seperti Hollywood, Cool Japan, Cool Britain, dan K-Wave, serta upaya yang ditunjukkan oleh Thai Pop Culture, tentu Indonesia dapat menemukan strategi yang pas untuk memperkenalkan Indo Pop secara global. Kehadiran Indo Pop tentu dapat memberikan warna baru bagi budaya pop dunia. Dukungan modal dari pemerintah, peningkatan kualitas produk budaya pop, pelatihan untuk pekerja seni, teknologi penunjang, dan diseminasi melalui media sosial dapat menambah akselerasi penyebaran Indo Pop untuk menjadi fenomena global (Editor Ibnu Nadzir).
[1] Wawancara melalui WhatsApp pada 21 Desember 2020
Referensi
Fartiannur, Yuliatma. 2018. Kepentingan Thailand dalam Melakukan Gastrodiplomacy Melalui Kitchen of The World. eJournal Ilmu Hubungan Internasional 6 (4), hal 1565-1582, ejournal.hi.fhttps://ejournal. hi.fisip -unmul.ac.id/site/wp - content/ uploads/2018/09/10.%201102045037%20-%20 Yuliatma%20Fartiannur%20(09-14-18-02-36-46).pdf
Kumparan. “Peringkat Kunjungan Turis Asing yang Datang ke Negara di Asia Tenggara”. (17 Maret 2019).
https://kumparan.com/kumparantravel/ p e r i n g k a t k u n j u n g a n t u r i s a s i n g
y a n g d a t a n g k e n e g a r a d i a s i a -tenggara-1552783644923053122/full
Riani, Asnida. “Populer di Thailand, Rangkaian Produk Skincare dan Makeup Ini Rambah Indonesia”. (Liputan6, 11 maret 2019), https:// www.liputan6.com/lifestyle/read/3914061/ populer-di-thailand-rangkaian-produk-skincare-dan-makeup-ini-rambah-indonesia
Call for Website Article
Tertarik untuk menulis di website PMB LIPI? Kami membuka kesempatan bagi rekan-rekan dan masyarakat umum untuk mengirimkan tulisan ke redaksi kami. Berikut adalah syarat dan keten-tuan:
Tema Umum:
Isu populer tentang masyarakat dan kebudayaan Indonesia Tema khusus:
1. Isu populer yang berhubungan dengan kluster penelitian PMB LIPI yaitu: a. Agama dan Filsafat,
b. Ekologi Sosial dan Kesejahteraan Masyarakat (termasuk studi perkotaan, hutan, dan maritim) c. Hukum dan Masyarakat,
d. Kebudayaan & Multikulturalisme (termasuk studi komunikasi, etnisitas, dan bahasa)
2. Tulisan belum pernah diterbitkan dan tidak sedang dikirimkan ke media lain (media lain: blog, website, koran, majalah, media online, status medsos, dsb)
3. Gaya penulisan populer
4. Bukan saduran dan hasil plagiarisme
5. Jumlah kata 800-1.000 kata (tidak termasuk referensi atau daftar pustaka) 6. Sertakan 2-3 gambar/foto + sumbernya
7. Font Calibri 11, Spasi 1.5
8. Tuliskan nama lengkap dan asal instansi di bawah judul artikel 9. Daftar Pustaka atau Referensi menggunakan APA Style
10. Lampirkan narasi biodata penulis (3-6 Kalimat) + Foto Close Up + Email Penulis 11. Jumlah artikel yang dimuat maksimal 4 judul artikel/ tahun untuk setiap penulis
12. Seluruh artikel yang masuk akan mengalami proses seleksi dan revisi. Hasil seleksi (artikel diterima) akan dikabarkan melalui email.
13. Tersedia sertifikat apresiasi bagi penulis yang artikelnya dipublikasikan di website PMB LIPI 14. Keputusan Redaksi Tidak Dapat Diganggu Gugat.
15. Deadline pengiriman artikel: 1 Desember 2020
Artikel dikirimkan ke email: [email protected] dengan subjek email: [Artikel Website] Judul Artikel.
Terima Kasih Redaksi Website
Pusat Penelitian Masyarakat dan Budaya-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PMB LIPI) Follow akun media sosial PMB LIPI untuk update informasi.
Facebook: PMB LIPI Instagram: PMBLIPI Youtube: PMB-LIPI