Jurnal Pusat Penelitian Politik-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2 Politik-LIPI) merupakan media pertukaran pemikiran mengenai masalah-masalah strategis yang terkait dengan bidang-bidang politik nasional, lokal, dan internasional; khususnya mencakup berbagai tema seperti demokratisasi, pemilihan umum, konflik, otonomi daerah, pertahanan dan keamanan, politik luar negeri dan diplomasi, dunia Islam serta isu-isu lain yang memiliki arti strategis bagi bangsa dan negara Indonesia.
P2 Politik-LIPI sebagai pusat penelitian milik pemerintah, dewasa ini dihadapkan pada tuntutan dan tantangan baru, baik yang bersifat akademik maupun praktis kebijakan, khususnya yang berkaitan dengan persoalan dengan otonomi daerah, demokrasi, HAM dan posisi Indonesia dalam percaturan regional dan internasional. Secara akademik, P2 Politik-LIPI dituntut menghasilkan kajian-kajian unggulan yang bisa bersaing dan menjadi rujukan ilmiah, baik pada tingkat nasional maupun internasional. Sementara secara moral, P2 Politik-LIPI dituntut untuk memberikan arah dan pencerahan bagi masyarakat dalam rangka membangun Indonesia baru yang rasional, adil, dan demokratis. Karena itu, kajian-kajian yang dilakukan tidak semata-mata berorientasi praksis kebijakan, tetapi juga pengembangan ilmu-ilmu pengetahuan sosial, khususnya perambahan konsep dan teori-teori baru ilmu politik, perbandingan politik, studi kawasan dan ilmu hubungan internasional yang memiliki kemampuan menjelaskan berbagai fenomena sosial-politik, baik lokal, nasional, regional maupun internasional.
Prof. Dr. Firman Noor, M.A (Ahli Kajian Pemikiran Politik, Pemilu dan Kepartaian) Prof. Dr. Tri Nuke Pudjiastuti, M.A (Ahli Kajian Hubungan Internasional)
Prof. Dr. Dewi Fortuna Anwar, M.A (Ahli Kajian Hubungan Internasional) Prof. Dr. R. Siti Zuhro, M.A (Ahli Kajian Otonomi Daerah dan Politik Lokal) Prof. Dr. Lili Romli (Ahli Kajian Pemilu dan Kepartaian)
Dr. Siswanto (Ahli Kajian Hubungan Internasional)
Dr. Kurniawati Hastuti Dewi, S.I.P, M.A (Hons) (Ahli Gender dan Politik) Dr. Sri Budi Eko Wardani, M.Si (Ahli Kepemiluan dan Kepartaian) Dr. Yon Machmudi, M.A (Ahli Studi Islam dan Timur Tengah) Dr. Adriana Elisabeth (Ahli Kajian Hubungan Internasional) Drs. Hamdan Basyar, M.Si (Ahli Studi Islam dan Timur Tengah) Athiqah Nur Alami, M.A (Ahli Kajian Hubungan Internasional)
Laksamana Madya TNI Dr. Amarulla Oktavian, S.T., M.Sc., D.E.S.D. (Ahli Kajian Pertahanan dan Keamanan)
Dr. Eko Priyo Purnomo (Ahli Kajian Politik dan Ilmu Pemerintahan)
Dr. Priyambudi Sulistiyanto (Ahli Kajian Politik Asia Tenggara dan Indonesia) Prof. Xu Liping (Ahli Kajian Politik Asia Tenggara dan Indonesia)
Prof. Edward Aspinall (Ahli Kajian Politik Asia Tenggara dan Indonesia) Prof. Ken Miichi (Ahli Kajian Politik Islam dan Indonesia)
Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI Hayati Nufus, S.Hum., LL.M
Dr. Sri Nuryanti (Ahli Kajian Kepartaian dan Pemilu) Dr. Dhurorudin Mashad (Ahli Kajian Islam dan Timur Tengah) M. Nurhasim, S. IP, M. Si (Ahli Kajian Pemilu dan Kepartaian) Dra. Awani Irewati, M.A (Ahli Kajian ASEAN dan Perbatasan)
Sandy Nur Ikfal R, M.Si.(Han) (Ahli Kajian Hubungan Internasional dan Perbatasan) Dini Rahmiati, S.Sos., M.Si
Esty Ekawati, M.IP.
Tri Rainny Syafarani, S.Sos, M.A., M.SE Wasisto Raharjo Jati, S.IP.
Putri Ariza Kristimanta, M.Si.(Han) Anggih Tangkas Wibowo, ST., MMSi Adiyatnika, S.Kom
Pusat Penelitian Politik-LIPI, Widya Graha LIPI, Lantai III & XI Jl. Jend. Gatot Subroto No. 10 Jakarta Selatan 12710
Telp/Faks. (021) 520 7118, E-mail: penerbitan.p2p@gmail.com
Website: www.politik.lipi.go.id | http://ejournal.politik.lipi.go.id/index.php/jpp p-: 1829-8001, e: 2502-7476
Jurnal
Penelitian Politik
Mitra Bestari
Penanggung Jawab Pemimpin Redaksi Dewan Redaksi
Sekretaris Redaksi
Layouter
Produksi dan Sirkulasi Alamat Redaksi
ISSN
Vol. 18, No. 1, Juni 2021
DAFTAR ISI
• Dampak Multidimensi Covid-19 Uni Eropa
Muhammad Yusuf Abror dan Larassita Damayanti
• The Role of the Indonesia-Papua New Guinea Border in Preventing the Spread of Covid-19
Johni R.V. Korwa dan Melpayanty Sinaga
• Keterbelahan Politik dan Pengaruhnya terhadap Persepsi Masyarakat terkait Covid-19 dan Kepatuhan Masyarakat dalam Menaati Protokol Kesehatan: Studi Perbandingan di AS dan Indonesia
Arita Nugraheni dan Rangga Eka Sakti
• Muatan Berita Propaganda Israel dan Kesengsaraan Palestina Tika Tazkya Nurdyawati
• Protes, Pandemi, dan Transisi Kekuasaan: Prospek Demokrasi Amerika Latin Pasca-Pandemi Covid-19
Arrizal Anugerah Jaknanihan
• Pola Relasi Pusat dan Daerah Era Pandemi Covid-19
Nyimas Latifah Letty Aziz, R. Siti Zuhro, Yusuf Maulana, Dini Rahmiati
• Problematika Peran Badan Intelijen Negara dalam Penanganan Covid-19 di Indonesia
Diandra Megaputri Mengko, Muhamad Haripin, Putri Ariza Kristimanta, Sri Yanuarti
iii–vi i–ii
1–14 15–28
29–46
47-60 61-76
77–94
95–112
113-116 Daftar Isi
Catatan Redaksi Artikel
Tentang Penulis
CATATAN REDAKSI
Pandemi Covid-19 yang sudah berjalan lebih dari satu tahun yang lalu masih menjadi tantangan bagi berbagai negara di dunia. Dam- pak yang dirasakan tidak hanya mempengaruhi bidang kesehatan, tetapi juga membawa dampak di berbagai bidang, seperti ekonomi, politik, dan kehidupan sosial masyarakat.
Globalisasi dan kemajuan teknologi di satu sisi membuat penelitian terkait dengan pandemi menjadi lebih mudah dilakukan. Namun, di sisi lain, dengan adanya globalisasi yang juga menghasilkan dunia tanpa batas membuat penyebaran virus menjadi semakin sulit diatasi.
Untuk itu, berbagai solusi terus dikaji dan ditawarkan untuk memperbaiki kondisi dunia pasca-Covid-19. Hal ini menggugah redaksi untuk kembali mengangkat judul “Konstelasi Politik di Tengah Pandemi Covid-19 II”
sebagai tema dalam terbitan Jurnal Penelitian Politik Volume 18, No. 1 Tahun 2021. Edisi kali ini menyajikan tujuh artikel ilmiah terkait dengan perkembangan politik domestik dan internasional di masa pandemi Covid-19.
Artikel pertama berjudul “Dampak Multidimensi Covid-19 di Uni Eropa”
mengulas tentang berbagai dampak multi- dimensi akibat Covid-19 di Uni Eropa yang mengganggu kestabilan di wilayah tersebut. Berdasarkan kajian yang dilakukan, Muhammad Yusuf Abror dan Larassita Damayanti memaparkan bahwa untuk merespons dampak multidimensi pandemi Covid-19 di Uni Eropa dibutuhkan kerja sama dan kekompakan antarnegara agar percepatan pemulihan ekonomi Uni Eropa dapat dilakukan.
Artikel kedua dengan judul “The Role of the Indonesia - Papua New Guinea Border in Preventing the Spread of Covid-19” ditulis oleh Johni R.V. Korwa dan Melpayanty Sinaga.
Artikel ini membahas bagaimana Indonesia dan Papua New Guinea (PNG) bekerja sama pada saat pandemi Covid-19. Dalam artikel ini, penulis menemukan bahwa perbatasan
Indonesia - PNG tidak hanya berfungsi sebagai pencegah, tetapi juga menjamin keamanan manusia dan memfasilitiasi pemulangan atau proses repatriasi di tengah terjadinya pandemi Covid-19.
Dalam artikel ketiga yang berjudul
“Keterbelahan Politik dan Pengaruhnya terhadap Persepsi Masyarakat terkait Covid-19 dan Kepatuhan Masyarakat dalam Menaati Protokol Kesehatan: Studi Perbandingan di AS dan Indonesia” dibahas mengenai bagaimana keterbelahan politik di tingkat elit dan masyarakat ikut berpotensi menghambat upaya penanganan Covid-19 di sebuah negara. Arita Nugraheni dan Rangga Eka Sakti dalam tulisannya membandingkan fenomena keterbelahan politik di AS dan Indonesia serta dampaknya pada penanganan Covid-19. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kedua negara patut mewaspadai dampak negatif persoalan politik dalam upaya melawan Covid-19.
Sementara itu, artikel keempat yang ditulis oleh Tika Tazkya Nurdyawati meyoroti muatan media Israel yang lebih banyak menayangkan kerja sama antara Israel - Palestina pada saat pandemi Covid-19 dan ketidaksesuaiannya dengan realita hubungan kedua negara. Artikel berjudul “Muatan Berita Propaganda Israel dan Kesengsaraan Palestina” ini menunjukkan bahwa realitas yang ada tidak sesuai dengan muatan media yang diberitakan oleh Israel. Dependensi ekonomi Palestina terhadap Israel dan okupasi Israel terhadap wilayah Palestina yang tidak kunjung mereda semakin membuat penyebaran Covid-19 di wilayah ini sulit ditangani.
Tidak hanya membawa dampak negatif
bagi perkembangan ekonomi negara, Covid-19
juga membawa dampak bagi perkembangan
demokrasi. Arrizal Anugerah Jaknanihan dalam
artikelnya berjudul “Protes, Pandemi, dan
Transisi Kekuasaan: Prospek Demokrasi
iv | Jurnal Penelitian Politik | Volume 18, No.1 Juni 2021 Amerika Latin Pasca-Pandemi Covid-19”
membahas bahwa pandemi Covid-19 secara efektif justru meredakan arus demonstrasi yang terjadi di Amerika Latin. Adanya pandemi Covid-19 membuat Amerika Latin menghadapi risiko terjadinya democratic backsliding akibat pelemahan dua elemen utama demokrasi, yaitu:
pemilihan umum dan mobilisasi sipil.
Selain melihat konstelasi politik di tengah pandemi Covid-19 di tingkat internasional, edisi kali ini juga dampak Covid-19 pada konstelasi politik di tingkat nasional. Dalam tulisan berjudul “Pola Relasi Pusat dan Daerah Era Pandemi Covid-19”, Nyimas Latifah Letty Aziz, dkk. memaparkan bahwa dalam kebijakan penanganan Covid-19 ada ketidaksinkronan kebijakan yang diambil oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Hal ini dikarenakan masing-masing pihak memiliki pandangan sendiri atas kewenangan dari kebijakan yang diambil. Akibatnya, terjadi silang sengkarut kewenangan antara pusat dan daerah yang justru menghambat penanganan Covid-19 di Indonesia.
Jurnal Penelitian Politik edisi kali ini ditutup dengan artikel mengenai
“Problematika Peran Badan Intelijen Negara dalam Penanganan Covid-19 di Indonesia” yang ditulis oleh Diandra Megaputri Mengko, dkk. Penanganan pandemi Covid-19 melibatkan berbagai macam aktor, salah satunya adalah intelijen. Dalam artikel ini penulis mengidentifikasi empat jenis operasi yang dilakukan oleh BIN dalam skala nasional dan lokal, yaitu penyelidikan, pengamanan, penggalangan, dan penanggulangan. Selain itu, penulis juga mengidentifikasi masalah-masalah pelibatan BIN dalam penanganan Covid-19, seperti: kecenderungan pelibatan yang eksesif, persoalan proporsionalitas, dan persoalan akuntabilitas.
Pada akhirnya, Redaksi mengucapkan terima kasih kepada segenap pihak yang telah berkontribusi hingga terbitnya Jurnal Penelitian Politik edisi kali ini, khususnya para penulis, mitra bestari, dewan redaksi, dan tim pengelola jurnal. Kami berharap hadirnya Jurnal Penelitian Politik edisi kali
ini dapat berkontribusi bagi kajian politik dan dinamikanya yang berkembang, terutama pada masa pandemi Covid-19. Selamat membaca.
Redaksi
KETERBELAHAN POLITIK DAN PENGARUHNYA TERHADAP PERSEPSI MASYARAKAT TERKAIT COVID-19 DAN KEPATUHAN
MASYARAKAT DALAM MENAATI PROTOKOL KESEHATAN:
STUDI PERBANDINGAN DI AS DAN INDONESIA
POLITICAL PARTISANSHIP AND ITS IMPACTS TOWARDS PUBLIC PERCEPTION OF COVID-19 AND THEIR
COMPLIENCE IN OBEYING HEALTH PROTOCOLS:
A COMPARATIVE STUDY IN THE US AND INDONESIA
Arita Nugraheni dan Rangga Eka Sakti Departemen Penelitian – Harian Kompas
Jl. Palmerah Selatan, No.21, RT.4/RW.2, Gelora, Kecamatan Tanah Abang, Kota Jakarta Pusat, DKI Jakarta
E-mail: arita.nugraheni@kompas.com dan rangga.eka@kompas.com Diterima: 3 September 2020; direvisi 22 Januari 2021; disetujui 23 Februari 2021
Abstract
Since President Joko Widodo (Jokowi) announced the first two positive cases of Covid-19 on March 2, 2020, the specter of a new type of coronavirus has become a real fear in Indonesia. Policies to break the chain of transmission began to be formulated in response to the growing number of cases. However, the problem of handling Covid-19 is not only limited to the health dimension, but also the political dimension. The existence of political divisions at the elite and community levels could potentially hamper efforts to handle Covid-19. The US and Indonesia, as two countries that have a history of political division, need to be aware of the negative impact of these political problems in their efforts to fight Covid-19. Thus, this paper seeks to analyze the influence of political divisions on efforts to deal with Covid-19. In analyzing this issue, the paper will compare the phenomenon of political division and its impact on the handling of Covid-19 in the US and Indonesia.
Keywords: Covid-19, political divisions, political partisanships
Abstrak
Sejak Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengumumkan dua kasus positif Covid-19 pertama pada 2 Maret 2020, momok virus korona jenis baru menjadi ketakutan nyata di Indonesia. Kebijakan-kebijakan untuk memutus rantai penularan mulai disusun berpacu dengan jumlah kasus yang terus bertambah. Namun, persoalan penanganan Covid-19 tidak hanya terbatas pada dimensi kesehatan, melainkan juga dimensi politk. Adanya keterbelahan politik di tingkat elit dan masyarakat dapat berpotensi menghambat upaya penanganan Covid-19. AS dan Indonesia, sebagai dua negara yang memiliki riwayat keterbelahan politik perlu mewaspadai dampak negatif dari persoalan politik tersebut dalam upayanya melawan Covid-19. Maka, tulisan ini berusaha untuk menganalisis pengaruh dari keterbelahan politik terhadap upaya penanganan Covid-19. Dalam menganalisis isu tersebut, tulisan akan membandingkan fenomena keterbelahan politik dan dampaknya pada penanganan Covid-19 di AS dan Indonesia menggunakan studi literatur, arsip pemberitaan, dan instrumen jajak pendapat.
Kata Kunci : Covid-19, keterbelahan politik, keberpihakan politik
30 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 18, No.1 Juni 2021
Pendahuluan
Sejak Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengumumkan dua kasus positif Covid-19 pertama pada 2 Maret 2020, momok virus korona jenis baru menjadi ketakutan nyata di Indonesia. Kebijakan-kebijakan untuk memutus rantai penularan mulai disusun berpacu dengan jumlah kasus yang terus bertambah. Sebelum ditemukannya obat atau vaksin yang mujarab, secara saintifik, intervensi sosial dalam bentuk protokol kesehatan Covid-19 (seperti mencuci tangan, menggunakan masker dan menjaga jarak sosial) menjadi satu-satunya cara yang dapat ditempuh. Maka dari itu, kesadaran serta kepatuhan masyarakat dalam menjalankan protokol kesehatan Covid-19 menjadi kunci keberhasilan Indonesia dalam melawan wabah.
Agar hal tersebut dapat tercapai, pemerintah memiliki peran penting dalam merumuskan serta mengimplementasikan kebijakan intervensi sosial. Maka, dalam perkembangannya, persoalan pandemi tidak hanya terbatas pada dimensi kesehatan dan sains saja. Persoalan pandemi akhirnya terkait juga dengan dimensi politik. Hal ini membuat upaya pengendalian Covid-19 menjadi semakin kompleks, mengingat situasi sosial dan politik di Indonesia belum sembuh total dari dampak Pemilu serta Pilpres 2019 yang membelah masyarakat. Tak ayal, salah satu persoalan yang membayangi upaya pengendalian Covid-19 di Indonesia ialah keterbelahan politik.
Di level elit, kebijakan penanganan pandemi Covid-19 di daerah sering kali bersimpang jalan dengan pengambilan kebijakan di pusat. Misalnya saja perbedaan sikap Presiden Joko Widodo dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dalam upaya menekan rantai penularan Covid-19. Perbedaan ini menelurkan informasi yang simpang siur di tengah masyarakat.
Fenomena ini sebetulnya tidak hanya terjadi di Indonesia. Amerika Serikat (AS) sebagai salah satu negara dengan masyarakat yang terbelah secara ideologis dan politis, pun mengalami persoalan yang sama terkait dimensi politik pada upaya pengendalian Covid-19.
Di negara tersebut, keterbelahan politik di
tingkat elit menyebabkan ketidaksinambungan kebijakan di tingkat pemerintahan pusat dengan kebijakan di tingkat negara bagian. Salah satu contohnya ialah perbedaan pendekatan manajemen krisis yang dilakukan Andrew Cuomo, Gubernur New York, dengan Presiden Donald Trump. Ketegangan akibat perbedaan pendekatan yang diambil oleh kedua figur elit politik tersebut akhirnya membuat penanganan penyebaran Covid-19 di negara bagian tersebut kurang maksimal, terutama di masa-masa awal penyebaran.
Permasalahan keterbelahan politik dalam konteks penanganan penyebaran Covid-19 di AS tidak hanya berhenti di tingkat elit saja.
Bahkan, persoalan keterbelahan politik di AS telah memengaruhi upaya penanganan penyebaran Covid-19 di tingkat akar rumput.
Strategi komunikasi pemerintah serta pemberitaan di media menjadi lubang yang membuat perbedaan sikap terkait Covid-19 di tingkat elit merembes hingga ke masyarakat.
Fenomena ini juga diperkuat dengan hasil dari berbagai penelitian serta hasil jajak pendapat yang sebelumnya telah dilakukan, di mana ditemukan bahwa keberpihakan politik menjadi salah satu faktor yang memengaruhi persepsi masyarakat terhadap bahaya Covid-19 serta tingkat kepatuhan mereka dalam mempraktikkan protokol kesehatan Covid-19 (Newport, 2020).
Fenomena yang ada di AS menunjukkan bahwa keberpihakan politik memiliki potensi untuk memengaruhi persepsi publik terhadap bahaya Covid-19 serta kepatuhan mereka dalam menaati protokol kesehatan Covid-19. Adanya benturan politik di dalam upaya penanganan Covid-19 di Indonesia juga berpotensi untuk terjadi mengingat situasi sosial dan politik yang mungkin belum sembuh total pascagelaran Pemilu dan Pilpres 2019 silam.
Maka dari itu, artikel ini berupaya untuk menjawab tiga pertanyaan, yaitu
“Bagaimanakah preferensi politik serta
keterbelahan politik di Indonesia?”; “Apakah
hal tersebut memengaruhi persepsi publik
terhadap Pandemi Covid-19?”; dan “Apakah
hal tersebut memengaruhi kepatuhan publik
terhadap protokol kesehatan Covid-19?”. Untuk
menjawab pertanyaan tersebut, para penulis
akan menggunakan data sekunder yang didapat dari beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya serta dengan menggunakan metode jajak pendapat yang dilakukan oleh tim sendiri.
Dalam menjawab ketiga pertanyaan penelitian di atas, artikel ini akan dibagi menjadi beberapa bagian. Pertama, melihat fenomena keterbelahan politik dan pengaruhnya terhadap persepsi publik dan respons mereka terhadap pandemi Covid-19 di AS. Kedua, menilik seberapa besar keterbelahan politik di Indonesia dan bagaimana pengaruhnya terhadap persepsi publik serta respons mereka terhadap pandemi Covid-19. Terakhir, artikel ini ditutup dengan kesimpulan serta rekomendasi terkait dengan dimensi politik dalam upaya penanganan Covid-19 di Indonesia.
Keterbelahan Politik dan Pengaruhnya terhadap Persepsi Publik dan Respons Publik terhadap Covid-19 di AS.
Amerika Serikat (AS) menjadi salah satu contoh studi kasus di mana keterbelahan politik dapat menjadi faktor yang memengaruhi persepsi serta sikap publik terhadap Covid-19.
Sejatinya, keterbelahan sendiri menjadi salah satu karakteristik dalam politik AS. Bahkan, dewasa ini, polarisasi, yang disebabkan kian meruncingnya persaingan antara Partai Demokrat dan Republikan, ini semakin parah.
Tidak hanya di tingkat elit, keterbelahan politik di AS juga tampak di tingkat akar rumput yang dipicu oleh adanya perbedaan ideologis di masyarakat (Mason, 2018).
Selama tiga dekade terakhir, tren polarisasi di AS memang terus meningkat. Bahkan dalam beberapa tahun terakhir, keterbelahan masyarakat terkait keberpihakan politik mereka mencapai tingkat yang paling tinggi (Heltzel
& Laurin, 2020). Hal ini tampak dari hasil penelitian yang dilakukan oleh PEW Research Center. Pada 2017, lembaga riset tersebut membuat penelitian yang bertujuan untuk melihat seberapa besar jurang keterbelahan politik antara masyarakat pendukung Partai Demokrat dan Partai Republikan dengan
menggunakan 10 pertanyaan sebagai indikator.
Pertanyaan tersebut berkisar di antara beberapa isu seperti aturan berusaha, efisiensi pemerintah, kemiskinan, dan isu rasial serta kaum minoritas.
Hasilnya, jurang antara kedua partisan tersebut meningkat dari 15 persen pada 1994 menjadi 36 persen pada 2017 (PEW Research Center, 2017).
Selain itu, polarisasi di tingkat masyarakat dapat diukur dari pandangan mereka terhadap kinerja presiden. Oleh karena Trump berasal dari Republikan, warga AS yang mengidentifikasi diri mereka sebagai seorang Republikan menyatakan bahwa mereka sangat puas dengan kinerja presiden. Sedangkan, mereka yang mengidentifikasi diri mereka sebagai seorang Demokrat menyatakan bahwa mereka sangat tidak puas dengan kinerja presiden. Pada Februari 2020, dalam jajak pendapat yang dilakukan oleh Gallup, 93 persen dari responden yang mengidentifikasi mereka sebagai simpatisan Partai Republikan mengatakan bahwa mereka puas dengan kinerja Donald Trump. Sedangkan, hanya 6 persen dari responden yang mengidentifikasi mereka sebagai simpatisan Partai Demokrat yang mengakui hal serupa. Perbedaan persepsi masyarakat terhadap kinerja presiden yang sebesar 87 persen ini merupakan yang tertinggi dari semua jajak pendapat serupa yang pernah dibuat oleh Gallup (Newport, 2020).
Meningkatnya tren polarisasi politik di AS dipengaruhi juga oleh menebalnya sikap elit partai politik di negara tersebut. Selama beberapa dekade terakhir, para elit tersebut semakin ekstrem dalam mengambil sikap politik mengenai isu-isu yang berkaitan dengan ideologi (misalnya soal perpajakan dan kesejahteraan sosial). Hal ini pun merembet ke masyarakat yang ikut mengambil posisi yang serupa. Maka, makin ekstrem para elit memegang pandangan politik mereka, semakin terbelah pulalah masyarakat di akar rumput (Heltzel & Laurin, 2020).
Persoalannya, polarisasi bisa berpengaruh
pada jalannya pemerintahan dan pembentukan
kebijakan di tingkat elit. Beberapa contoh
akibat dari keterbelahan politik di tingkat elit di
AS ialah fenomena shutdown yang terjadi pada
32 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 18, No.1 Juni 2021 masa pemerintahan Presiden Obama silam.
Dalam konteks penanganan virus Covid-19, contoh kasus keterbelahan politik di tingkat elit yang menghambat upaya penanganan pandemi terjadi di negara bagian New York. Konflik penanganan Covid-19 di negara bagian ini berpusat pada ketidaksepemahaman Andrew Cuomo, Gubernur New York yang merupakan
kader Partai Demokrat, dan Donald Trump.
Pendekatan Andrew Cuomo dalam penanganan Covid-19 cenderung lebih serius dibandingkan dengan pendekatan yang dipilih oleh Donald Trump dan jajarannya di Pemerintah Pusat.
Hal ini terihat dari pola komunikasi yang dimiliki oleh kedua figur tersebut. Hal ini akan ditunjukkan pada Tabel 1.
Tanggal Kejadian Andrew Cuomo Donald Trump
2/3/2020
Hari pertama setelah Cuomo mengumumkan kasus pertama Covid-19 di New York
Mengumumkan bahwa Wadsworth Center, laboratorium kesehatan di Albany, bermitra dengan rumah sakit untuk meningkatkan jumlah tes hingga 1.000 pengujian perhari.
Mewajibkan protokol kesehatan baru di sekolah dan transportasi umum
Mengkritisi Partai Demokrat karena menganggap bahwa kadernya telah menyebar ketakutan kepada masyarakat
9/3/2020
Kasus di New York telah mencapai angka 142 orang positif
Meminta persetujuan
Pemerintah Pusat untuk dapat meningkatkan kapasitas tes di New York.
Trump mengatakan bahwa Covid-19, layaknya flu, tidak berbahaya. Maka dari itu, ia mengatakan bahwa
kehidupan akan berjalan seperti biasa.
Menandatangani perjanjian senilai $699.000 dengan perusahaan pengembang sistem tes yang dapat meningkatkan kapasitas tes Covid-19 menjadi 1.000 tes per hari
11/3/2020
Kasus di New York telah mencapai angka 216 orang positif
Membuat kerja sama dengan 28 laboratorium swasta untuk meningkatkan kapasitas tes
Mengakui dan menyiapkan langkah untuk mengatasi kurangnya ketersediaan respirator
Trump dan tim pemenangan pemilunya terus mengadakan kampanye terbuka di beberapa daerah
13/3/2020
Kasus di New York telah mencapai angka 421 orang positif
Menyiapkan tes Covid-19 secara drive-through di New Rochelle
Menyatakan bahwa Kota New York akan menjadi prioritas Mulai meningkatkan kapasitas tes dari 3.000 menjadi 6.000 per hari
Menyatakan situasi “Darurat Nasional” (National
Emergency)
Menyatakan bahwa ia akan menggelontorkan $50 miliar dana tambahan untuk mengatasi Covid-19
Mengatakan bahwa tidak semua orang harus tes, hanya mereka yang merasakan beberapa gejala saja
16/3/2020
Situasi Covid-19 di New York dan sekitarnya bertambah parah
Bersama dengan Phil Murphy, Gubernur New Jersey, dan Ned Lamont, Gubernur Connecticut, menetapkan batasan bagi masyarakat untuk berkumpul hingga maksimal 50 orang. Beberapa tempat
Trump mengatakan bahwa langkah para gubernur sudah baik, tetapi Trump mengatakan bahwa Cuomo harus bertindak lebih jauh melalui cuitannya di Twitter.
Tabel 1. Respons Andrew Cuomo dan Donald Trump dalam Menyikapi Perkembangan
Covid-19 pada Maret 2020
Sumber: Torres (2020)
Tanggal Kejadian Andrew Cuomo Donald Trump
2/3/2020
Hari pertama setelah Cuomo mengumumkan kasus pertama Covid-19 di New York
Mengumumkan bahwa Wadsworth Center, laboratorium kesehatan di Albany, bermitra dengan rumah sakit untuk meningkatkan jumlah tes hingga 1.000 pengujian perhari.
Mewajibkan protokol kesehatan baru di sekolah dan transportasi umum
Mengkritisi Partai Demokrat karena menganggap bahwa kadernya telah menyebar ketakutan kepada masyarakat
9/3/2020
Kasus di New York telah mencapai angka 142 orang positif
Meminta persetujuan
Pemerintah Pusat untuk dapat meningkatkan kapasitas tes di New York.
Trump mengatakan bahwa Covid-19, layaknya flu, tidak berbahaya. Maka dari itu, ia mengatakan bahwa
kehidupan akan berjalan seperti biasa.
Menandatangani perjanjian senilai $699.000 dengan perusahaan pengembang sistem tes yang dapat meningkatkan kapasitas tes Covid-19 menjadi 1.000 tes per hari
11/3/2020
Kasus di New York telah mencapai angka 216 orang positif
Membuat kerja sama dengan 28 laboratorium swasta untuk meningkatkan kapasitas tes
Mengakui dan menyiapkan langkah untuk mengatasi kurangnya ketersediaan respirator
Trump dan tim pemenangan pemilunya terus mengadakan kampanye terbuka di beberapa daerah
13/3/2020
Kasus di New York telah mencapai angka 421 orang positif
Menyiapkan tes Covid-19 secara drive-through di New Rochelle
Menyatakan bahwa Kota New York akan menjadi prioritas Mulai meningkatkan kapasitas tes dari 3.000 menjadi 6.000 per hari
Menyatakan situasi “Darurat Nasional” (National
Emergency)
Menyatakan bahwa ia akan menggelontorkan $50 miliar dana tambahan untuk mengatasi Covid-19
Mengatakan bahwa tidak semua orang harus tes, hanya mereka yang merasakan beberapa gejala saja
16/3/2020
Situasi Covid-19 di New York dan sekitarnya bertambah parah
Bersama dengan Phil Murphy, Gubernur New Jersey, dan Ned Lamont, Gubernur Connecticut, menetapkan batasan bagi masyarakat untuk berkumpul hingga maksimal 50 orang. Beberapa tempat
Trump mengatakan bahwa langkah para gubernur sudah baik, tetapi Trump mengatakan bahwa Cuomo harus bertindak lebih jauh melalui cuitannya di Twitter.
seperti restoran, bioskop, pusat kebugaran, dan kasino juga diperintahkan untuk ditutup.
19/3/2020
Kasus di New York telah mencapai angka 4.152 orang positif
Memerintahkan seluruh bisnis untuk mengurangi pegawai yang masuk ke kantor hingga 75 persen
Trump menyatakan bahwa chloroquine dan remdesivir telah disetujui sebagai obat untuk pasien Covid-19. Ia menyatakan akan memastikan bahwa kedua obat tersebut akan tersedia untuk masyarakat
Pernyataan tersebut kemudian dibantah oleh Food and Drug Administration (FDA)
20/3/2020
Kasus di New York telah mencapai angka 7.102 orang positif
Mengumumkan bahwa semua usaha non-esensial harus tutup.
Kebijakan ini disebut dengan perintah “New York State on PAUSE”
Trump berkata bahwa ia akan menggunakan UU Produksi Keamanan (Defense Production Act). UU ini akan memungkinkan pemerintah untuk memerintahkan pihak swasta untuk memproduksi berbagai kebutuhan selama pandemi (masker, APD medis, dll.)
24/3/2020
Kasus di New York telah mencapai angka 25.665 orang positif
Mengatakan bahwa ratusan ribu masker dan APD telah diberikan ke New York dari Pemerintah Federal
Trump mengatakan bahwa ia berharap AS akan selesai menghadapi Covid-19 dan mulai seperti sedia kala pada Paskah 2020
28/3/2020
Kasus di New York telah mencapai angka 52.318 orang positif
Menyatakan bahwa ia belum berbicara dengan Donald Trump dan tidak mengetahui apa yang dimaksud dengan karantina
Menyatakan bahwa ada kemungkinan New York akan diberlakukan karantina
29/3/2020
Kasus di New York telah mencapai angka 59.513 orang positif
Memerintahkan para pekerja di sektor non-esensial untuk tetap di rumah hingga 15 April
Memperpanjang masa panduan Gedung Putih hingga 30 April
Panduan ini berisikan arahan untuk bekerja dari rumah, menghindari bepergian dan makan di restoran, dan rajin mencuci tangan
31/3/2020
Kasus di New York telah mencapai angka 75.795 orang positif
Mengatakan bahwa sulitnya menangani pandemi di New York akibat pemerintah federal yang tidak tanggap di masa awal penyebaran virus Covid- 19
Menyalahkan Cuomo karena tingginya kasus positif di New York. Ia menganggap bahwa tidak terkendalinya kasus di New York diakibatkan oleh
pemerintahan Cuomo yang
lambat dalam bergerak
34 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 18, No.1 Juni 2021 Dari Tabel 1 di atas, terlihat bahwa ada
perbedaan pendekatan manajemen krisis di awal menyebarnya kasus Covid-19. Pemerintah daerah New York cenderung lebih cepat tanggap dibandingkan dengan pemerintah pusat di AS. Pendekatan Andrew Cuomo dalam mengomunikasikan Covid-19 lebih lugas dan apa adanya dibandingkan dengan Donald Trump. Pendekatan ini pun dibarengi dengan dikeluarkannya kebijakan penanganan Covid-19 yang berfokus kepada peningkatan tes, penyediaan APD, serta intervensi sosial (mengurangi mobilitas masyarakat).
Berbeda dengan Cuomo, Donald Trump menggunakan pendekatan komunikasi yang cenderung lebih menganggap enteng pandemi Covid-19. Narasi yang berusaha dibangun oleh Donald Trump ialah Covid-19 bukanlah penyakit yang mematikan dan masyarakat seharusnya tidak perlu takut akan itu. Meskipun, pendekatan yang cenderung lebih hati-hati ini dibarengi juga dengan beberapa langkah penanganan pandemi seperti dikeluarkannya White House Guidelines, dijalankannya Defense Production Act, serta penandatanganan kerja sama dengan pihak swasta untuk meningkatkan kapasitas tes. Gaya komunikasi Trump ini baru mulai berubah semenjak 13 Maret 2020, di mana Trump menyatakan bahwa situasi Covid-19 merupakan “National Emergency”, yakni situasi darurat negara. Walaupun telah lebih serius, Trump masih kerap mengemas informasi terkait Covid-19 dengan cara yang relatif lebih mengecilkan dampak dari pandemi tersebut.
Perselisihan akibat keterbelahan politik di tingkat elit dalam menanggapi persebaran Covid-19 di AS merembet hingga di tingkat akar rumput. Strategi komunikasi pemerintah dalam memberikan pesan kepada masyarakat terbukti dapat memberikan pengaruh kepada kepatuhan masyarakat dalam mengikuti protokol kesehatan Covid-19. Salah satu contohnya ialah di mana kepatuhan meningkat apabila ada politisi yang tampil di depan publik dengan menggunakan masker. Namun, pengaruh dari hal tersebut berbeda-beda pada kaum liberal dan konservatif (Fowler & Utych, 2020).
Kelindan antara strategi komunikasi pemerintah, keterbelahan politik dan sikap
masyarakat dalam isu Covid-19 di AS tampak ketika Center for Disease Control (CDC) di negara tersebut mengeluarkan anjuran untuk menggunakan masker kain. Data awal menunjukkan bahwa masyarakat yang masuk ke dalam golongan konservatif dan memiliki keberpihakan pada Partai Republikan cenderung enggan untuk melakukan aktivitas pencegahan penyebaran virus Covid-19, termasuk menggunakan masker, dibandingkan dengan masyarakat yang masuk ke dalam golongan liberal dan memiliki keberpihakan pada Partai Demokrat (Fowler & Utych, 2020).
Temuan serupa juga ditunjukkan oleh hasil jajak pendapat yang dilakukan oleh lembaga survei Gallup (Brenan, 2020). Menurut hasil jajak pendapat yang dilaksanakan pada 29 Juni hingga 5 Juli 2020 tersebut, hanya 24 persen masyarakat yang memiliki keberpihakan pada Partai Republikan yang mengaku selalu menggunakan masker di tempat umum.
Angka ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan persentase masyarakat yang memiliki keberpihakan pada Partai Demokrat yang mengaku selalu menggunakan masker di tempat umum dengan angka sebesar 61 persen.
Selain itu, 33 persen responden yang memiliki keberpihakan terhadap Partai Demokrat di AS mengaku bahwa mereka sangat sering menggunakan masker ketika berada di tempat umum. Angka ini lebih besar dibandingkan dengan persentase responden yang memiliki keberpihakan kepada Partai Republikan dengan nilai 22 persen. Pola ini kembali terulang di responden yang mengaku bahwa mereka tidak pernah menggunakan masker di depan umum. Sebanyak 27 persen yang memiliki keberpihakan terhadap Partai Republikan yang mengaku tidak pernah menggunakan masker ketika berada di tempat umum. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan responden yang memiliki keberpihakan pada Partai Demokrat dengan nilai sebesar satu persen (Brenan, 2020).
Beberapa studi sebelumnya telah menunjukkan bagaimana keterbelahan politik di AS berpengaruh kepada respons publik terhadap pandemi Covid-19 (Alcott, et al., 2020).
Beberapa contoh penelitian yang menunjukkan
hasil adanya pengaruh keterbelahan politik kepada respons publik terhadap pandemi Covid-19 ialah penelitian yang dilakukan oleh Gadarian et al. (2020), Makridis dan Rothwell (2020), dan Wu dan Huber (2020). Penelitian- penelitian tersebut menunjukkan bahwa keberpihakan politik menjadi faktor utama yang menentukan respons masyarakat terhadap Covid-19 di AS. Hasil serupa juga ditunjukkan dari penelitian yang dilakukan oleh Cornelson dan Miloucheva (Cornelson & Miloucheva 2020), Grossman et al. (Grossman, et al., 2020), dan Painter dan Qiu (Painter & Qiu, 2020). Ketiga penelitian tersebut menunjukkan pengaruh keberpihakan politik dengan studi kasus kepatuhan masyarakat terhadap perintah untuk berdiam di rumah (stay-at-home order) di tingkat negara bagian.
Beberapa literatur sebelumnya berfokus kepada konsekuensi polarisasi politik terhadap perilaku kesehatan di masyarakat. Keberpihakan partai politik di tingkat dokter memengaruhi rekomendasi mereka di masyarakat tentang prosedur kesehatan. Tidak hanya itu, di masyarakat, keberpihakan partai memengaruhi persepsi masyarakat tentang kebijakan jaminan kesehatan (Obamacare/Affordable Care Act), keyakinan dan keamanan vaksin (Alcott, et al., 2020), hingga prosedur evakuasi badai (seperti mengamankan dokumen, mengamankan pekarangan dan jendela, sampai soal menyiapkan makanan dan minuman darurat) (Albeck-Ripka, 2018).
Pengaruh dari keterbelahan politik terhadap sikap masyarakat terhadap pandemi Covid-19 tidak dapat dilepaskan dari pengaruh media (Bird & Ritter, 2020). Pemberitaan media terkait isu Covid-19 dipengaruhi oleh posisi politis mereka. Media yang cenderung lebih konservatif akan memberitakan Covid-19 dengan rasa krisis yang lebih ringan dibandingkan dengan media yang cenderung lebih liberal. Maka dari itu, menurut jajak pendapat yang dilakukan oleh Gallup, masyarakat yang lebih banyak mengonsumsi media yang cenderung liberal akan lebih taat dalam melakukan protokol kesehatan Covid-19 (menjaga jarak dan menggunakan masker) serta lebih mau untuk berdiam di rumah (Bird & Ritter, 2020). Hal
serupa juga ditemukan pada penelitian Bursztyn et al. (Bursztyn, et al., 2020) dan Simonov et al. (Simonov et al., 2020), yang menemukan bahwa kepatuhan masyarakat dalam menjaga jarak akan berkurang jika mereka terpapar oleh berita yang mengecilkan risiko Covid-19 pada pemberitaannya (Simonov et al., 2020).
Salah satu teori yang dapat menjelaskan pengaruh keterbelahan politik dalam pandangan masyarakat terhadap bahaya Covid-19 dan kepatuhan mereka dengan protokol kesehatan Covid-19 ialah teori efek pembingkai (framing effect theory). Efek ini terjadi saat kata atau frasa berbeda, namun secara logis setara, digunakan untuk menjelaskan sesuatu hal. Contohnya adalah ketika ada sebagian masyarakat yang menolak kebijakan pemerintah saat diberi tahu bahwa itu akan membuat tingkat pengangguran menjadi lima persen, tetapi setuju apabila diberi tahu bahwa kebijakan tersebut akan membuat 95 persen dari penduduk bekerja (Druckman, 2004). Hal ini berbeda dengan teori pilihan rasional (rational choice theory), yang sebelumnya menjelaskan bahwa preferensi individu tidak berubah apabila ditawari dengan kebijakan yang hasilnya serupa. Menurut teori ini, seharusnya pilihan masyarakat tidak terpengaruh dengan kata atau frasa yang digunakan, baik menggunakan kata pengangguran ataupun pekerjaan (Druckman, 2004). Artinya, menurut framing effect theory, tidak hanya berdasarkan rasionalitas, pilihan individu dipengaruhi juga dengan kata dan cara yang dipilih oleh pemerintah dalam menjelaskan kebijakan mereka. Teori ini menjadi salah satu yang sering digunakan. Beberapa contoh penggunaannya ialah studi terkait dengan pemungutan suara dan opini publik, kampanye, perumusan kebijakan, pengambilan keputusan kebijakan luar negeri, negosiasi koalisi, hingga pengambilan keputusan yudisial (Levy, 2003).
Dalam praktiknya, penggunaan pembingkaian dapat menggiring para individu untuk fokus ke kata atau frasa yang digunakan dalam menjelaskan sebuah isu, alih-alih fokus kepada dampak dari isu tersebut.
Misalnya, ketika masyarakat sedang resah soal
kelompok kebencian (hate group). Alih-alih
diarahkan kepada persoalan yang disebabkan
36 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 18, No.1 Juni 2021 oleh keberadaan atau aksi dari kelompok
ini, pengguna framing akan mengarahkan perbincangan ke hal lain yang secara substansi berbeda tapi mungkin masih bersinggungan dalam hal relevansi, misalnya dengan isu kebijakan berbicara dan keamanan umum (Druckman, 2004).
Dalam konteks penanganan Covid-19 di AS, perbedaan framing yang digunakan oleh para elit politik lah yang akhirnya membentuk persepsi serta perilaku publik. Pendekatan yang diambil oleh para elit politik menjadi bingkai yang memengaruhi persepsi dan sikap masyarakat dalam menghadapi virus Covid-19.
Karena pendekatan Donald Trump yang cenderung memandang remeh virus Covid-19, media yang memiliki keberpihakan ke Partai Republikan pun mengemas informasi terkait Covid-19 dengan bingkai yang sama. Informasi dan berita yang disajikan oleh media-media ini pun dikonsumsi oleh golongan masyarakat yang merasa memiliki nilai yang sejalan dengan media tersebut dan juga memiliki keberpihakan dengan Partai Republikan.
Hal yang sebaliknya pun terjadi dengan para elit politik Partai Demokrat yang cenderung lebih waspada dalam melihat Covid-19.
Sikap ini kemudian juga diambil oleh media yang memiliki keberpihakan dengan Partai Demokrat. Ujungnya, kedua pendekatan ini akan memengaruhi masyarakat di akar rumput.
Keterbelahan Politik di Indonesia dan Pengaruhnya terhadap Persepsi Publik dan Respons Mereka terhadap Covid-19
Keterbelahan politik di Indonesia bisa ditelusuri jejaknya setidaknya sejak Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 hingga Pilpres 2019.
Keterbelahan ini meninggalkan residu yang tebal pada perilaku politik di masyarakat kini.
Dalam diskursus penangan pandemi Covid-19, keterbelahan politik dapat diamati dari respons masyarakat terkait perbedaan kebijakan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang wilayahnya menjadi episentrum wabah.
Polarisasi di politik Indonesia dewasa ini didorong oleh ideologi konservatisme agama yang diartikulasikan dalam politik populis sejak Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014. Keterbelahan diperkuat lagi dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta 2017 hingga Pilpres 2019. Prabowo Subianto sebagai calon presiden di Pilpres 2014 dan 2019 berkampanye sebagai seorang populis; mengetengahkan isu korupsi elite politik, ketimpangan sosial. Pencalonannya sekaligus didukung oleh kelompok-kelompok Islamis seperti Front Pembela Islam (FPI).
Pada Pilpres 2014, Jokowi pun tampil sebagai populis moderat dan berkampanye sebagai pluralis. Ia menjanjikan reformasi birokrasi dan mendapat dukungan non-muslim serta muslim moderat. Lima tahun setelahnya, tema kampanye Jokowi makin tebal dalam menggagas muslim moderat. Selain mendapat dukungan penuh dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Jokowi juga didampingi oleh Ma’ruf Amin. Kombinasi dukungan ini sukses menepis tuduhan “penista” Islam yang pada 2017 sukses menjatuhkan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dalam Pilkada DKI Jakarta 2017.
Dalam Pilkada DKI Jakarta pada 2017, polarisasi dalam masyarakat menguat sejak adanya protes “Aksi Bela Islam” pada 4 November dan 2 Desember 2016. Aksi ini dihadiri oleh ribuan muslim yang menuntut agar Ahok dihukum atas tindakannya yang dianggap melakukan penistaan agama karena pidatonya di Kepulauan Seribu, Jakarta.
Hubaid dan Habibisubandi (Hubaid
& Habibisubandi, 2017) melihat polarisasi
ini, baik secara politis maupun ideologis,
sebagai kunci kemenangan Anies Baswedan
dan Sandiaga Uno. Pasangan Anies-Sandi
mendapatkan dukungan yang berasal dari
pemilih pasangan Agus H. Yudhoyono dan
Sylviana Murni di putaran pertama Pilkada DKI
Jakarta 2017. Tuduhan penistaan agama kepada
Ahok terkait pengutipan Surat Al-Maidah 51
yang dikampanyekan oleh gerakan “Aksi Bela
Islam”, juga mendorong calon pemilih untuk
tidak memilih kandidat yang dianggap tidak
islami. Politisasi agama terus dimainkan hingga
Pilpres 2019 oleh kedua kubu di berbagai
provinsi dan kelompok etnis, baik yang berorientasi Islamis (Prabowo-Sandi) maupun yang pluralis (Jokowi-Ma’ruf) sebagaimana dianalisis secara detail oleh Pepinsky (2019) (Hubaid & Habibisubandi, 2017).
Pepinsky (2019) menemukan adanya pembelahan antara muslim dan non-muslim serta antara etnis Jawa dan non-Jawa dalam pemilihan presiden yang semakin menguatkan politik identitas. Melalui analisis data perolehan suara pada Pilpres 2014 dan 2019, Ia mene- mukan bahwa daerah-daerah dengan penduduk muslim minoritas cenderung memberikan suara yang besar bagi Jokowi. Sebaliknya, suara Jokowi turun drastis di daerah dengan mayoritas Islam seperti di Aceh dan Sulawesi Selatan (Pepinsky, 2019).
Meski demikian, di Jawa Tengah (Jateng) dan Jawa Timur (Jatim), Jokowi menang dan mendulang suara yang lebih banyak dibandingkan Pilpres 2014. Pepinsky menduga, alasan yang masuk akal adalah Jateng, Jatim, dan Yogyakarta, dihuni oleh banyak orang Jawa. Namun tak semua daerah berpenduduk mayoritas muslim menjatuhkan pilihan pada Prabowo. Beberapa provinsi di Jawa, misalnya, sangat kuat mendukung Jokowi. Hal ini kemudian mengindikasikan sejumlah perbedaan antara muslim Aceh dan muslim Jawa.
Selain politik identitas, kampanye dengan isu agama juga mampu mengubah perilaku pemilih sosiologis di wilayah dengan kondisi kehidupan masyarakat yang kental dengan nuansa Islam. Faktor-faktor sosiologis seperti identitas etnis dan relijius berperan dalam menentukan preferensi politik pemilih (Sirait, 2019).
Keterbelahan ini meninggalkan residu yang tebal pada perilaku politik di masyarakat kendati pemilu sudah berakhir. Bahkan, pembelahan masih terjadi saat Prabowo
“membelot” ke Jokowi, dan meninggalkan basis Islamisnya. Prabowo diangkat sebagai Menteri Pertahanan oleh Jokowi pada Oktober 2019 lalu.
Residu dari pemilihan-pemilihan sebelumnya masih dimainkan dalam pertarungan politik harian. Sebagaimana dicatat Mietzner (2020), kelompok Islamis seperti FPI yang dulu solid
mendukung Prabowo kini berada di belakang Anies dalam kebijakan-kebijakan merespon COVID-19—bahkan meninggalkan sikap anti- ilmiah yang sering diatribusikan kepada mereka (Sirait, 2019).
Polarisasi politik menjadi satu variabel penting dalam diskursus penanganan pandemi Covid-19. Mietzner (2020) menyorot lambatnya respons pemerintah pusat sebagai bentuk ketidakwaspadaan pada ancaman. Pun ketika kebijakan dibuat, penerapannya sepotong- sepotong dan membingungkan. Krisis Covid-19 mengekspos fakta bahwa kemunduran demokrasi—yang diidentifikasi Mietzner sebagai “naiknya konservatisme agama, meningkatkan polarisasi politik-ideologis, memburuknya korupsi politik dan klientelisme, dan semakin menonjolnya elite-elite anti- demokrasi”—berdampak pada kegagalan pengambil keputusan dalam memitigasi bencana (Mietzner, 2020).
Perbedaan pendekatan Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah dalam konteks keterbelahan politik dapat diamati dari perbedaan kebijakan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Sebagai langkah awal, pada 13 Maret 2020 presiden membentuk Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 yang dipimpin oleh Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo. Kebijakan selanjutnya adalah pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang ditetapkan pada 31 Maret 2020 melalui Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020. Tak urung, Jakarta menjadi provinsi pertama yang menerapkan PSBB selama 14 hari terhitung sejak 10-24 April 2020.
Meski demikian, praktik-praktik pembatasan sosial sudah dilakukan lebih dulu sebelum regulasi tentang PSBB dikeluarkan.
Misalnya saja, pemerintah Provinsi DKI Jakarta
meminta dunia usaha untuk menerapkan sistem
bekerja dari rumah (Seruan Gubernur DKI
Jakarta Nomor 6/2020), mengurangi operasional
angkutan umum seperti Transjakarta, MRT,
dan LRT (DNE, 2020), mengurangi aktivitas
beribadah di masjid (Triana, 2020), dan
membatalkan gelaran Formula E (HLN, et al.,
2020).
38 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 18, No.1 Juni 2021 Langkah-langkah tersebut diambil dalam
rangka membentuk normal baru untuk sebisa mungkin melakukan aktivitas belajar, bekerja, dan beribadah di rumah. Operasionalisasi tempat hiburan pun dihentikan sementara dalam masa tanggap darurat Covid-19 yang oleh pemerintah provinsi Jakarta ditetapkan sejak 23 Maret-19 April 2020. Sebuah respons yang selangkah di depan dengan keputusan PSBB oleh pemerintah pusat.
Perbedaan antara pusat dan daerah terkait PSBB juga tercermin dari penolakan presiden pada permintaan Anies untuk melakukan karantina wilayah. Melalui surat bertanggal 28 Maret 2020, Anies meminta presiden untuk melakukan karantina wilayah ibu kota. Namun, surat tersebut tidak ditindaklanjuti (Halim, 2020).
Persoalan pembatasan transportasi di Jakarta juga ditentang oleh pemerintah pusat karena dianggap akan menghambat transportasi warga di daerah satelit untuk bekerja di Jakarta dan sebaliknya. Penundaan juga terjadi pada pemberlakuan pembatasan penggunaan moda transportasi untuk mengurangi pergerakan orang dari dan ke wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi selama masa pandemi
Covid-19 yang tertuang dalam Surat Edaran Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek Nomor 5 Tahun 2020 tertanggal 1 April 2020.
Penundaan tersebut karena Jakarta belum mendapatkan kepastian status PSBB (VAN, et al., 2020).
Urgensi untuk penerapan kebijakan pembatasan di Jakarta lebih dibandingkan dengan daerah lainnya tersendat restu pusat.
Padahal, data per tanggal 2 April 2020 mencatat 885 kasus pasien positif dan 90 orang meninggal.
Angka kematian tersebut hampir 10 persen dari jumlah kasus. Lebih tinggi dari rata-rata dunia, yakni 4,4 persen (HLN, et al., 2020).
Hingga kini pun, data per 28 Agustus 2020 menunjukkan penambahan kasus harian tertinggi masih dipegang oleh Jakarta. Sebanyak 869 kasus baru di DKI Jakarta dengan total pasien positif di Indonesia menjadi 165.887 orang (Satuan Tugas Penanganan Covid-19, 2020). Tak ayal, pemerintah pusat dianggap kurang cepat merespon situasi ini. Sementara Gubernur Anies dipandang bergerak lebih cepat dalam menerapkan kebijakan untuk memutus rantai penularan virus korona jenis baru atau yang di kemudian hari dikenal dengan penyakit Covid-19.
Tanggal Topik Anies Baswedan Joko Widodo
25/2/2020 Kebijakan
Anies menerbitkan Instruksi Gubernur Nomor 16 Tahun 2020 tentang Peningkatan Kewas- padaan terhadap Penularan Covid-19. Instruksi itu ditujukan kepada semua jajaran di DKI Jakarta, yakni wali kota, kepala dinas, camat, lurah, direktur RSUD, dan kepala puskesmas.
Pada 13 Maret, Jokowi meneken Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 2020 tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).
1/3/2020 Pembatasan akses
Anies membatalkan gelaran Formua E yang akan diselenggarakan di bulan Juni dan meniadakan hari bebas kendaraan bermotor selama dua pekan. Pada 13 Maret, Anies memutuskan untuk meliburkan sekolah dan menutup tempat wisata milik Pemda selama dua pekan.
Pada 16 Maret, Jokowi menyatakan, kebijakan karantina wilayah di tingkat nasional dan daerah merupakan kebijakan pusat.
13/3/2020
Transparansi informasi penyebaran
Covid-19
Anies memperlihatkan peta sebaran kasus Covid-19 di Jakarta. Keputusan menyebarkan informasi tersebut untuk meningkatkan kehati-hatian masyarakat.
Sejak muncul kasus keempat, pemerintah tidak lagi membuka informasi lokasi penularan dan rumah sakit pasien. Jokowi mengakui tidak semua informasi disampaikan ke masyarakat demi mengantisipasi kepanikan.
Tabel 2. Perbedaan Pendekatan Penanganan Covid-19 oleh Presiden Joko Widodo
dan Guberner Anies Baswedan
Persepsi dan Perilaku Masyarakat terhadap Bahaya dan Dampak Covid-19
Untuk mendalami kemungkinan pengaruh keterbelahan politik pada penerapan protokol Covid-19 di masyarakat, penulis mencoba membuktikannya dengan melakukan penelitian kuantitatif dengan metode jajak pendapat.
1
Pengumpulan pendapat ini diharapkan
1