• Tidak ada hasil yang ditemukan

DALIL ISTISHAB, KEHUJJAHAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP HUKUM- HUKUM FIKIH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DALIL ISTISHAB, KEHUJJAHAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP HUKUM- HUKUM FIKIH"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

1

DALIL ISTISHAB, KEHUJJAHAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP HUKUM- HUKUM FIKIH

Ali Mahfud

Sekolah Tinggi Ilmu Syariah Al Manar

Jl. Nangka I No.4, Jakarta Timur. Email [email protected]

Abstrak

Jumhur Ulama dari kalangan Malikiyah, Syafi’iyyah, Hanabilah, berpendapat bahwa istishab bisa dijadikan hujjah secara mutlak untuk menetapkan hukum yang sudah ada, selama belum ada dalil yang mengubahnya. Alasan mereka adalah, suatu yang telah ditetapkan di masa lalu, selama tidak ada dalil yang merubahnya; baik secara qath’i maupun zhanni, mestinya hukum yang telah ditetapkan itu berlaku seterusnya, karena diduga kuat belum ada perubahan. Dalil Istishab secara faktual telah diaplikasikan oleh ulama dalam banyak produk hukum fiqih. Di antara permasalahan yang dihukumi oleh ulama dengan dalil istishab adalah kasus orang yang hilang, yang tidak diketahui apakah masih hidup atau sudah wafat.

Kasus status hukum tayamumnya orang yang melihat air saat menunaikan shalat. Kasus benda najis yang keluar dari selain dua lobang (dubur dan kemaluan), dan masih banyak yang lain.

Kata Kunci : istishab, hujjah, fikih

Abstract

Malikiyah Jumhur Ulama, Syafi'iyyah, Hanabilah, argues that istishab can be used as absolute proof to establish existing laws, as long as there are no arguments to change them. Their reason is, what has been set in the past, as long as there is no argument that changes it; both in qath'i and zhanni, the established law must be valid, because it is suspected that there has been no change. Istishab's argument is factually applied by scholars in many products of jurisprudence law. Among the problems punished by ulama with istishab arguments are cases of missing persons, who are not known whether they are still alive or have died. The case of the legal status of the tayamum is the person who sees water while performing prayer.

The case of unclean objects that came out of other than two holes (anus and genitals), and many others.

Keywords : istishab, hujjah, fikih

PENDAHULUAN

Syariat Islam adalah syariat yang bersumber dari Allah, diturunkan untuk manusia dan berlaku sepanjang masa hingga hari kiamat. Sebagai syariat yang sempurna sudah pasti syariat Islam mampu menjawab berbagai permasalahan yang dihadapi oleh manusia dalam hidup. Sehingga tidak ada permasalahan yang terjadi bahkan yang mutakhir sekalipun kecuali Islam telah memberikan ketetapan hukumnya. Allah berfirman :

َكۡيَلَع اَنۡل َّزَن َو َبََٰتِكۡلٱ

َنيِمِل ۡسُمۡلِل َٰى َر ۡشُب َو ٗةَم ۡح َر َو ىٗدُه َو ٖء ۡيَش ِ لُكِ ل اٗنََٰيۡبِت ٨٩

(2)

2

“Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri” 1. Sebagaimana Allah juga berfirman :

يِف اَن ۡط َّرَف اَّم ِبََٰتِكۡلٱ

َنو ُرَش ۡحُي ۡمِهِ ب َر َٰىَلِإ َّمُث ٖٖۚء ۡيَش نِم ٣٨

“Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan” 2.

Atas dasar itu Imam Syafi’i berkata :

"

دحأب لزنت تسيلف

"اهيف ىدهلا ليبس ىلع ليلدلا الله باتك يفو لاإ ةلزان الله نيد لهأ نم

“ Tidaklah ada permasalahan terjadi yang dialami oleh pemeluk agama Allah, kecuali telah terdapat dalil dalam kitab Allah Al Qur’an yang mengantarkan kepada jalan petunjuk mengenai permasalahan itu” 3 .

Adapun kenyataan bahwa permasalahan – permasalahan yang dihadapi umat akan terus bermunculan sementara teks-teks sumber hukum terbatas, seperti Al Qur’an seiring dengan berakhirnya turunnya wahyu, atau seperti halnya Sunnah dengan wafatnya Rasulullah, maka sesungguhnya berbagai permasalahan itu tetap akan ditemukan jawaban dan setatus hukumnya melalui jalan ijtihad yang dilakukan oleh ulama yang punya kapasitas untuk berijtihad.

Imam Syafii berkata :

“ زلا مكح هيقف ملسمب لزن ام لك هيف ناك اذإ هيلعو ،ةدوجوم ٌةللاد هيف ِ قحلا ليبس ىلع وأ ،م

هنيعب

. ُسايقلا ُداهتجلااو .داهتجلااب هيف قحلا ليبس ىلع ةللادلا بِلُط هنيعب هيف نكي مل اذإو ،هُعابتا :ٌمكح

“ Pada setiap permasalahan yang dialami seorang muslim terdapat setatus hukumnya yang pasti, atau terdapat dalilnya. Atas dasar itu jika ditemukan hukum dengan sendirinya maka hukum itu harus diikuti. Jika tidak ditemukan hukum dengan sendirinya, maka dalil harus dicari secara benar melalui Ijtihad dan ijtihad itu adalah qiyas “ 4

Tentu bukan berarti bahwa teks-teks sumber hukum Al Qur’an dan Sunnah telah menjelaskan detail detail segala permasalahan yang terjadi secara eksplisit untuk kemudian menetapkan setatus hukumnya. Akan tetapi teks-teks sumber hukum telah

1 QS. An Nahl [16:89]

2 QS. Al An’am [6:38]

3 Muhammad bin Idris Asy Syafi’I, Ar Risalah, (Tahqiq Ahmad Syakir) h.20

4 Muhammad bin Idris Asy Syafi’I, Ar Risalah, (Tahqiq Ahmad Syakir) h.477

(3)

3

menjelaskan berbagai nilai, dasar serta prinsip yang bisa digunakan untuk menjawab berbagai permasalahan dan persoalan yang terjadi hingga hari kiamat 5.

Dengan demikian untuk menjawab berbagai permasalahan dan persoalan, perlu dibuka pintu ijtihad melalui dalil qiyas atau dalil –dalil turunannya yang lain seperti Istishab yang menjadi fokus pembahasan tulisan Ini.

Meski demikian Istishab bukanlah merupakan dalil yang hujjahnya disepakati di kalangan ulama ketika tidak ada dalil (muttafaq). Karena seabgaian ulama melihat bahwa menetapkan hukum menggunakan dalil istishab sama artinya menetapkan hukum dengan akal, bukan berdasarkan pada asal syari’at. Ada atau tidaknya sebuah hukum, karena hanya dengan disandarkan pada masa lampau dan dibangun dengan keyakinan. Artinya ada atau tidaknya hukum karena memang sudah ma’lum dari masa lampaunya, bukan karena asli adanya syari’at itu sendiri.

PEMBAHASAN

Hakikat dan Pengertian Istishab

Secara etimologi istishab berasal dari kata istashaba dari wazan istaf’ala yang berarti thalabul mushahabah; minta menemani atau menyertai. 6 Dikatakan “Istashabta al hal”berarti kamu berpegang dengan apa yang ada di masa lalu, seolah kamu menjadikan keadaan itu menyertai dan tidak berpisah. 7

Penggunaan secara etimologi ini sesuai dengan kaidah istishab yang berlaku di kalangan ulama ushul yang menggunakan istishab sebagai dalil, karena mereka mengambil sesuatu yang telah diyakini dan diamalkan di masa lalu dan secara konsisten menyertainya untuk diamalkan di masa selanjutnya. 8

Adapun arti istishab secara terminologi, terdapat rumusan yang berbeda dari ulama yang memberikan definisi istishab, namun perbedaanya tidak sampai pada hal yang prinsip.

Menurut Ibnu Hazm, Istishab adalah :

كح ءاقب رييغتلا ىلع اهنم ليلدلا موقي ىتح صوصنلاب تباثلا لصلأا م

5 Lihat Abid Muhammad As Sufyani, Ast Stabat Wa Asy Syumul fii Asy Syariah Al Islamiyah ( Makkah Al Mukarramah: Maktabah Al Manarah, cet.I, 1408/1988. h.131

6 Ibnu ‘ushfur al Isybili, Al Mumti’ Fii At Tasrif, juz.1 hal.195

7 Al Fayumi, al Mishbah Al Munir, juz.1 hal.357

8 Prof.Dr.H.Amir Syarifudin, Ushul Fiqh, jilid 2, h.342

(4)

4

“ Istishab adalah tetapnya hukum asal semula yang ditetapkan berdasarkan nash, sehingga ada dalil dari nash yang merubahnya “ 9

Sementara Abu Hamid Al Ghazali mendefinisikan :

ريغملا ءافتناب ملعلا عم ليلد ىلإ لب ليلدلاب ملعلا مدع ىلإ اعجار سيلو يعرش وأ يلقع ليلدب كسمتلا بلطلاو ثحبلا يف دهجلا لذب دنع ريغملا ءافتنا نظ عم وأ

“ Istishab adalah berpegang dengan dalil akal atau dalil syar’i, tentu bukan karena tidak mengetahui adanya dalil, tetapi karena adanya dalil disertai pengetahuan dan dugaan tentang tidak adanya hal yang merubah saat mengerahkan kemampuan untuk mencarinya

10

Ibnu Qudamah berkata :

" لقان هنع رهظي مل يعرش وأ يلقع ليلدب كسمتلا "

“ Istishab adalah berpegang dengan dalil akal atau dalil syar’i , karena tidak adanya sesuatu yang merubah “ 11

Menurut Syihabudin Al Qarafi :

"لابقتسلااو لاحلا يف هتوبث نظ بجوي رضاحلا وأ يضاملا يف ءيشلا نوك داقتعإ "

“ Istishab adalah meyakini adanya sesuatu di masa lalu atau sekarang, yang mengharuskan dugaan tetap adanya sesuatu itu di masa sekarang dan masa akan datang “

12

Dan Ibnu Qayyim Al Jauziyah mendefinisikan bahwa :

اك ام يفن وأ اتباث ناك ام تابثإ ةمادتسا"

" ايفنم ن

“ Istishab adalah melanggengkan penetapan sesuatu yang pernah ada atau meniadakan sesuatu yang sebelumya tiada “ 13.

Inilah di antara rumusan yang beragam yang diutarakan ulama ushul dalam mendefinisikan istishab. Kelihatan berbeda akan tetapi tetap memberikan pengertian yang sama. Hanya saja ada sebagian ulama yang melakukan tarjih terhadap definisi atas definisi yang lain, sebagaimana yang dilakukan oleh syekh Abu Zahrah yang lebih mentarjih definisi yang diutarakan oleh Ibnu Qayyim al Jauziyah. 14

9 Ibnu Hazm Adz Dzohiri, Al Ihkam Fii Ushulil Ahkam, juz 5. h.3

10 Abu Hamid Al Ghazali, Al Mustashfa Fii Ilmil Ushul juz 1, h. 379

11 Ibnu Qudamah al Maqdisi, Raudhatun Nadzir Bihasyiati syarhi Muhtashar Raudhah, juz 3, h. 147

12 Syihabuddin Al Qarafi, Syarhu Tanqihil Fushul Fii Ikhtisharil Mahsul Fil Ushul, h. 351

13 Ibnu Qoyyim Al Jauziyah, I’lamul Muwaqqi’in ‘An Rabbil ‘Aalamin, juz 1, h. 339

14 Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, h. 295

(5)

5 Bentuk- Bentuk Istishab dan Kehujahannya

Dalam mengurai bentuk istishab, ulama berbeda dalam merincinya. Diantara mereka ada yang menguraikan secara rinci, ada pula yang hanya menguraikan prinsip- prisipnya saja. At Tayyib Khudhri As Sayyid berkata dalam hal ini : “ Ulama telah menyebutkan bentuk- bentuk istishab. Diantara mereka ada yang menyebut dengan singkat, dan ada pula yang menyebutnya panjang lebar “. 15

Untuk memudahkan dalam memahami istilah- istilah yang diutarakan ulama ushul tentang bentuk- bentuk istishab, maka penjelasannya sebagaimana berikut :

Pertama : Istishab al Baraa’ah al Ashliyyah

ةيلصلأا ةءاربلا باحصتسا

Menurut ulama ushul istishab bentuk ini adalah; tidak adanya sesuatu yang mana akal dalam meniadakannya bersandar kepada asalnya 16. Maksudnya setiap manusia dilahirkan dalam keadaan terbebas dari segala beban syariah, kewajiban dan tanggung jawab, baik yang terkait dengan harta atau yang lainnya, sehingga ada dalil syar’i yang menetapkannya.17Contohnya seorang terbebas dari kewajiban shalat selain sholat lima waktu, karena tidak adanya dalil yang menetapkan kewajibannya.18Demikian halnya seorang terbebas dari tanggung jawab hutang, selama tidak ada bukti bahwa dia telah berhutang.19

Mayoritas ulama ushul berpedapat bahwa istishab bentuk ini adalah hujjah.20 Bahkan sebagian mereka menganggapnya sebagai dalil syari’i yang paten dalam prinsip ijtihad mereka setelah nash Qur’an dan Sunnah, ijma’ dan qiyas.

Kedua : Istishab Al Ibaahah Al Ashliyyah

15 At Tayyib Khudhri As Sayyid, Buhust Fil Ijthad Fii Maa Laa Fiihi, Juz 2, h. 86

16 Abdurrahman al Banani, Hasyiatu Al Allamah Al banana ‘laa Syarhi Al Muhalla ‘Ala Jm’il Jawami’ Juz 2, h. 238

17 Al Asyqar, Nadzarat fii ushul Fiqh, h. 449

18 Al Ghazali, Al Mustashfa, juz 1 h.377

19 Al Musthafa bin Muhammad Salamah, At Ta’sis Fii Ushulil Fiqh, h. 432, Abdul Karim Zaidan, Al Wajiz Fii Ushulil Fiqh h. 268

20 Al Ghazali, Al Mustashfa, juz 1 h.377, Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa juz 11, h. 187

(6)

6

ةحابلإا باحصتسا ةيلصلأا

Istishab Al Ibaahah Al Ashliyyah juga disebut dengan istishab Al hukmi Al Ashliy lil Asy Yaa’. Menurut ulama ushul bentuk istishab ini hakikatnya adalah; sesuatu yang padanya tidak terdapat nash dari pembuat syariat, baik secara tegas atau petunjuk yang bersifat implisit, maka setatusnya tetap menurut asalnya.21Bentuk yang kedua ini kebanyakan ulama ushul menganggapnya identik dengan bentuk istishab al Baraa’ah Al Ashliyyah . Adapun yang membedakan antara keduanya melihat bahwa istishab Al Ibahah Al Ashliyyah , berhubungan dengan hukum sesuatu seperti makanan, pakaian dan yang lainnya, sementara istishab Al Baraa’ah Al Al Ashliyyah berhubungan dengan perbuatan manusia dalam beban, kewajiban dan tanggung jawab sebelum adanya ketetapan syariah.22 Istishab Al Ibahah Al Ashliyyah ini menurut mayoritas ulama ushul adalah adalah hujjah.

Ketiga: Istishab Maa Dalla Asy Syar’u Au Al ‘Aqlu ‘Alaa Stubuutihi.

ىلع لقعلا وأ عرشلا لد ام باحصتسا

Hakikat dari istishab bentuk ketiga ini adalah; Mengukuhkan apa yang syara’ atau akal menunjukkan ketetapannya . Contohnya, kepemilikan seorang pembeli dianggap sah, selama akad jual belinya sah secara syariat, selanjunya dilarang mengambil alih kepemilikan tersebut. Demikian pula ketetapan halalnya wanita yang dinikahi dengan akad nikah yang sah secara syariat, selanjutnya kehalalannya tidak hilang sehingga ada bukti baru. Sama halnya juga ketetapan adanya tanggung jawab seorang yang melakukan perusakan barang orang lain, sehingga ada bukti yang membebaskannya dari tanggung jawab.23

Menurut mayoritas ulama ushul Istishab Maa Dalla Asy Syar’u Au Al ‘Aqlu

‘Alaa Stubuutihi adalah hujjah.24

21 Muhammad Salam Madkur, Nadzoriatul Ibahah Indal Ushuliyyin wal Fuqaha’, h.484

22 Al Istishab Hujjiyatuhu Wa astaruhu Fil Ahkamil Fiqhiyah ,h.54

23 Khalifah Ba Bakar Al Hasan, Al Adillah Al Muhtalaf Fiihaa ‘Indal Ushuliyyin h.61. Asy Syaukani, Irsyadul Fuhul h.238.Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh h.298

24 Al Ghazali, Al Mustashfa, juz 1 h.379. Abdul Aziz Ar Rabi’ah, Al Adillatu Al Muhtalafu Fil Ihtijaji Biha h.281

(7)

7

Keempat : Istishab Al Washfi Al Mustbiti Lil Hukmi Asy Syar’i Hattaa Yastbuta Khilafuhu.

هفلاخ تبثي ىتح يعرشلا مكحلل تبثملا فصولا باحصتسا

Istishab ini hakikatnya adalah; Mengukuhkan pemberlakuan sifat yang menetapkan suatu hukum sehingga ada ketetapan yang menyelisihinya.25 Contohnya seperti tetapnya sifat hidup bagi orang yang hilang (mafqud ), hingga ada bukti atas kematianya. Demikan pula tetapnya sifat thaharah orang yang berwudhu, sehingga ada bukti atas adanya sesuatu yang membatalkannya.

Istishab bentuk ini, sebagaimana Ibnu Qayyim tegaskan tidak ada perselisihan dalam kehujahannya.26

Kelima: Istshab Ad Dalil Ma’a Ihtimaali Al Mu’aaridh

ضراعملا لامتحا عم ليلدلا باحصتسا

Istishab ini hakikatnya adalah; Mengukuhkan pemberlakuan sebuah dalil, disamping ada kemungkinan adanya dalil yang menyelisihinya.27Sebagian ulama mengungkapkan bentuk istishab ini dengan ungkapan yang hakikatnya adalah;

Mengukuhkan pemberlakuan keumuman dalil, sehingga ada yang menghususkanya. Atau mengukuhkan perberlakuan dalil (nash) sehingga ada yang mengahapusnya (nasikh).28 Maksudnya menurut mayoritas ualama ushul adalah adanya kewajiban memberlakukan keumuman lafadz dan penerapan hukumnya, karena keumumannya tetap berlaku sehingga ada dalil yang menghususkannya. Demikian juga kewajiban pemberlakuan dalil (nash ), sehingga ada dalil yang menghapusnya.29Tentu hal ini dilakukan setelah seorang mujtahid mengerahkan segala kemampuan dalam mencari dalil yang menhususkan atau dalil yang menghapuskan.

Mayoritas ualama ushul menganggap bentuk istishab ini hujjah, bahkan sebagian mengatakan adanya ijma atas pemberlakuannya.30

Keenam: istishab Al Hukmi Ast Stabiti Bil Ijma’ Fii Mahalli Al Khilafi.

باثلا مكحلا باحصتسا فلاخلا لحم يف عامجلإاب ت

25 Ibnu Qayyim, I’laamul Muwaqqi’in juz 1 h.339

26 Ibnu Qayyim, I’laamul Muwaqqi’in juz 1 h.340

27 Az Zarkasyi, Al bahrul Muhith juz 6, h.21

28 Al Ghazali, Al Mustashfa juz 1, h.379. Ilal Al Faasi, Maqasidu Asy Syariah Al Islamiyah h.130

29 Khalifah Ba Bakar Al Hasan, Al Adillah Al Muhtalaf Fiihaa ‘Indal Ushuliyyin h.63.

30 Az Zarkasyi, Al Bahrul Muhith, juz 6, h.21. Asy Syaukani, Irsyadul Fuhul, h.238

(8)

8

Adalah mengukuhkan pemberlakuan hukum yag ditetapkan berdasarkan ijma’, dalam posisi adanya perubahan. Maksudnya telah terjadi ijma’ di antara ulama tentang hukum suatu perkara atau suatu kejadian dan dalam kondisi tertentu, kemudian hal yang disepakati itu atau keadaanya berubah.31 Apakah hukum yang ditetapkan berdasarkan ijma’ boleh tetap diberlakukan saat terjadi perubahan tersebut atau tidak ?

Contonya seperti masalah najis yang keluar bukan dari dua tempat keluarnya kotoran setelah bersuci. Apakah keluarnya najis tersebut membatalkan thaharahnya ataukah tidak membatalkan dengan memberlakukan hukum yang ditetapkan berdasarkan ijma’atas adanya thaharah sebelum keluarnya najis ? 32

Di bentuk istishab inilah ulama berbeda pendapat, dan perbedaannya benar-benar hakiki. Adapun dalam bentuk –bentuk istishab yang lain, kalaupun ada perbedaan, maka perbedaan itu lebih bersifat semu (lafdzi).33

Pengaruh penerapan dalil Istishab terhadap hukum Fiqih

Dalil Istishab secara faktual telah diaplikasikan oleh ulama dalam banyak produk hukum fiqih . Di antara permasalahan yang dihukumi oleh ulama dengan dalil istishab : Pertama : Kasus orang yang Hilang yang tidak diketahui apakah masih hidup atau sudah wafat.

Terdapat berbedaan di kalangan fuqoha dalam kasus orang yang hilang dan tidak diketahui apakah masih hidup atau sudah wafat.

Ulama Malikiyah34 dan Syafi’iyah35 berpendapat bahwa ia dianggap masih hidup.

Maka konsekwensinya , harta orang tersebut tidak diwariskan kepada ahli warisnya, begitu pula bagiannya dari harta waris disisihkan jika ada yang meninggal dari kerabatnya, hingga diketahui secara pasti bahwa ia masih hidup atau sudah wafat.

Pendapat ini didasarkan kepada penerapan dalil Istishab.

Ulama Hambaliyah berpendapat seperti pendapat Ulama Malikiyah dan Syafi’iyah, hanya saja mereka menetapkan batas maksimal masa hilangnya empat tahun.

Setelah empat tahun berlalu, maka ia dianggap sudah wafat. 36

31 Abul Hasan Al Bashri, Kitab Al Mu’tamad Fii Ushul Fiqh, juz 2, h.884.Abdul Qadir bin Badran Ad Duumi, Nuzhatu Khatir Syarh Raudhatin Nadzir Wa Junnati Munadzir,h.392. Al Qadhi Abu Ya’la, Al ‘Uddah, h.73

32 Al Amidi, Al Ihkam Fii Ushulil Ahkam, juz 4,h.185

33 Az Zarkasyi, Al Bahrul Muhith, juz 6, h.21. As Sum’ani, Qawati’ul Adillah Fil Ushul, juz 2, h.36

34 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, juz 2, h.52

35 Al Ghazali, Al Wasit, juz 4, h.367. Al Khatib Asy Syarbini, Mughnil Muhtaj, juz 3,h.27

36 Ibnu Muflih Al Maqdisi, Al Furu’, Juz 5, h.25. Ibnu Muflih Al hambali, Al Mubdi’, Juz 6, h.216

(9)

9

Adapun Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa orang tersebut dianggap masih hidup, dan hartanya tidak diwariskan, akan tetapi bagiannya dari harta waris tidak disisihkan jika ada yang wafat dari keluarganya, karena ia dianggap sudah wafat. 37 Pendapat ini juga didasarkan kepada penerapan dalil Istishab, tetapi hanya dalam hal menjaga harta miliknya saja.

Kedua : Kasus setatus hukum tayamumnya orang yang melihat air saat menunaikan shalat.

Para fuqaha telah sepakat bahwa apabila seorang muslim bertayamum kemudian ia menemukan air sebelum shalat, maka tayamumnya dianggap batal dan wajib baginya berwudhu. Mereka juga sepakat apabila ia telah bertayamum dan setelah selesai shalat ia menemukan air, maka ia tidak wajib mengulang shalatnya. Tetapi mereka berselisih pendapat apabila di saat menjalankan shalat ia melihat air. Apakah tayamum dan shalatnya dianggap batal dan wajib baginya keluar dari shalat dan berwudhu, ataukah ia menuruskan dan menyelesaikan shalatnya ?.

Ulama Malikiyah dan Syafi’iyah berpendapat bahwa tayamum dan shalatnya dianggap sah.38 Mereka mengidentifikasi masalah ini berdasarkan kepada penerapan dalil Istishab Al Hukmi Ast Stabiti Bil Ijma’ Fii Mahalli Al Khilafi yaitu; mengukuhkan pemberlakuan hukum yang ditetapkan berdasarkan ijma’, dalam posisi adanya perubahan.39

Sementara Abu Hanifah dan Ahmad dalam riwayat yang masyhur berpendapat bahwa tayamum dan shalatnya batal, maka baginya harus berwudhu dan mengulang shalatnya.40

Ketiga : Kasus Benda Najis Yang Keluar Dari Selain Dua Lobang ( Dubur dan Kemaluan )

Para fuqaha berselisih pendapat dalam hal najis yang keluar dari selain dua lubang ( dubur dan kemaluan), seperti muntah, darah fashd atau hijamah. Apakah hal-hal itu membatalkan wudhu atau tidak ?

37 Ibnu Abidin, Hasyiatu Ibnu Abidin, Juz 48, h. 293

38 An Nawawi, Al Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, Juz 2, h. 333

39 Lihat bentuk yang ke enam dari bentuk-bentuk Istishab.

40 As Sarkhasi, Al Mabsuth, Juz 1, h.110. Ibnu Qudamah, Abu Muhammad Abdullah, Al Kafi Fi Fiqhi Ibni Hambal, Juz 1, h.69

(10)

10

Ulama Malikiyah41 dan Syafi’iyah42 berpedapat bahwa keluarnya najis dari selain dua lobang itu tidak membatalkan wudhu. Pendapat mereka ini didasarkan kepada penerapan dalil Isitshab, yaitu telah ada kesepakatan bahwa benda-benda najis itu sebelum keluar dari tubuh hukumnya tidak membatalkan wudhu, maka hukum ini tetap diberlakukan setelah keluarnya benda-benda najis itu dari tubuh.10

Sementara ulama Hanafiyah43 dan Hanbaliyah44 berpendapat bahwa keluarnya najis dari selain dua lubang (dubur dan Kemaluan ) membatalkan wudhu, dengan syarat mengalir menurut Hanafiyah, dan dengan syarat banyak menurut Hambaliyah. Mereka lebih mengutamakan dalil hadis dari pada dalil Istishab dalam masalah ini.

Beberapa contoh kasus tersebut, paling tidak bisa menjelaskan tentang produk hukum fiqih yang dihasilkan dari penerapan dalil Istishab.

PENUTUP

Di antara upaya yang dilakukan oleh ulama untuk menjawab beberapa permasalahan hukum dalam fiqih Islam adalah menerapkan dalil Istishab yang dalam istilah ahli ushul adalah menghukumi sesuatu dengan keadaan seperti sebelumnya sampai ada dalil yang menunjukan perubahan keadaan itu atau menjadikan hukum sebelumnya tetap menjadi hukum sampai ada dalil yang menunjukan adanya perubahan.

Jumhur Ulama dari Malikiyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah, berpendapat bahwa Istishab bisa dijadikan hujjah secara mutlak untuk menetapkan hukum yang sudah ada, selama belum ada dalil yang mengubahnya. Alasan mereka adalah, sesuatu yang telah ditetapkan dimasa lalu, selama tidak ada dalil yang merubahnya, baik secara qath’i maupun zhanni, maka mestinya hukum yang yang telah ditetapkan itu berlaku terus, karena diduga keras belum ada perubahannya. Disamping itu mereka juga beralasan dengan ijma’, karena banyak hukum-hukum juz’i yang telah disepakati oleh para ulama fiqih ( ijma’) yang didasarkan pada kaidah istishab.

Dalil Istishab secara faktual telah diaplikasikan oleh ulama dalam banyak produk hukum fiqih . Di antara permasalahan yang dihukumi oleh ulama dengan dalil istishab adalah Kasus orang yang Hilang yang tidak diketahui apakah masih hidup atau sudah

41 Malik, Al Muwatha’, Juz 1, h.25. Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Juz 1, h.25

42 Asy Syafi’I, Al Umm, Juz 1, h.18. Asy Syairazi, Al Muhadzdzab, Juz 1, h.24

43 Ibnu Abidin, Hasyiatu Ibnu Abidin, Juz 1, h.148.

44 Ibnu Qudamah, Al Mughni, Juz 1, h. 119.

(11)

11

wafat. Kasus setatus hukum tayamumnya orang yang melihat air saat menunaikan shalat.Kasus Benda Najis Yang Keluar Dari Selain Dua Lobang (Dubur dan Kemaluan).

KESIMPULAN

Di antara upaya yang dilakukan oleh ulama untuk menjawab beberapa permasalahan hukum dalam fiqih Islam adalah menerapkan dalil Istishab yang dalam istilah ahli ushul adalah menghukumi sesuatu dengan keadaan seperti sebelumnya sampai ada dalil yang menunjukan perubahan keadaan itu atau menjadikan hukum sebelumnya tetap menjadi hukum sampai ada dalil yang menunjukan adanya perubahan.

Jumhur Ulama dari Malikiyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah, berpendapat bahwa Istishab bisa dijadikan hujjah secara mutlak untuk menetapkan hukum yang sudah ada, selama belum ada dalil yang mengubahnya. Alasan mereka adalah, sesuatu yang telah ditetapkan dimasa lalu, selama tidak ada dalil yang merubahnya, baik secara qath’i maupun zhanni, maka mestinya hukum yang yang telah ditetapkan itu berlaku terus, karena diduga keras belum ada perubahannya. Disamping itu mereka juga beralasan dengan ijma’, karena banyak hukum-hukum juz’i yang telah disepakati oleh para ulama fiqih (ijma’) yang didasarkan pada kaidah istishab.

Dalil Istishab secara faktual telah diaplikasikan oleh ulama dalam banyak produk hukum fiqih . Di antara permasalahan yang dihukumi oleh ulama dengan dalil istishab adalah Kasus orang yang Hilang yang tidak diketahui apakah masih hidup atau sudah wafat. Kasus setatus hukum tayamumnya orang yang melihat air saat menunaikan shalat.Kasus Benda Najis Yang Keluar Dari Selain Dua Lobang (Dubur dan Kemaluan).

DAFTAR PUSTAKA

Abu Ya’la, Al Qadhi, Al-‘Uddah Fii ushulil Fiqhi, Tahqiq Ahmad bin Ali, Cet.1, Beirut, Mu’assasah Ar Arrisalah 1400 H.

(12)

12

Abu Zahrah, Muhammad, Ushul Fiqh, Darul Fikr Al Arabi,th.1377

Ad Duumi, Abdul Qadir bin Badran, Nuzhatu Khatir Syarh Raudhatin Nadzir Wa Junnati Munadzir, Darul Fikr Al Arabi.

Al-Amidi, Al-Ihkam Fii Ushulil Ahkam, Beirut, Darul Kutub Al Ilmiyah, th.1400 Al-Asyqar, Nadzarat fii ushul Fiqh, Cet.1 Uman, Darun Nafa’is, th,1419

Al Banani, Abdurrahman al Banani, Hasyiatu Al Allamah Al banana ‘laa Syarhi Al Muhalla ‘Ala Jm’il Jawami’, Beirut, Darul Kutub Al Ilmiyah.

Al Bashri, Abul Hasan, Kitab Al Mu’tamad Fii Ushul Fiqh, Dimaskus, Al Ma’had Al Ilmi Al Faransi li Ad Dirasatil Arabiyah, th.1380

Al Faasi, Ilal Al Faasi, Maqasidu Asy Syariah Al Islamiyah, Maktabah Al Wihdah Al Arabiyah,

1382 H.

Al Fayumi, al Mishbah Al Munir. Cairo, Mathba’ati Musthafa al Babi Al Halabi

Al Ghazali Abu Hamid, Al Mustashfa Fii Ilmil Ushul, Cet,1 Beirut, Muassasatu Ar Risalah,th.1417

Al Ghazali, Al Wasit, Darus Salam, Cairo, Cet.I th.1417 H.

Al Hasan, Khalifah Ba Bakar, Al Adillah Al Muhtalaf Fiihaa ‘Indal Ushuliyyin, Cet.1, Cairo, Maktabah Wahbah, 1407 H.

Al Khatib Asy Syarbini, Muammad ibnu Ahmad, Mughnil Muhtaj, Darul Fikr.

An Nawawi, Abu Zakaria, Al Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, Beirut, Darul Fikr, Cet.1, th.1417

Al Qarafi, Syihabuddin, Syarhu Tanqihil Fushul Fii Ikhtisharil Mahsul Fil Ushul, Cet.1, Demaskus, Darul Fikr, 1418

Ar Rabi’ah, Abdul Aziz, Al Adillatu Al Muhtalafu Fil Ihtijaji Biha, Cet.3, Beirut, Mu’assasah Ar Risalah, 1402

As Sayyid, At Tayyib Khudhri, Buhust Fil Ijthad Fii Maa Laa Fiihi, Cet.1, Cairo, Daru Ath Thiba’ah Al Muhammadiyah, 1399 H.

As Sarkhasi, Al Mabsuth, Darul Ma’rifah, Beirut. 1414 H.

As Sufyani, Abid Muhammad, Ast Stabat Wa Asy Syumul fii Asy Syariah Al Islamiyah ( Makkah Al Mukarramah: Maktabah Al Manarah, cet.I, 1408/1988.

(13)

13

As Sum’ani, Qawati’ul Adillah Fil Ushul, Cet.3, Beirut, Darul Afaq al jadidah,th,1398 H Asy Syafi’I, Al Umm, Cet.2. Beirut, Darul Ma’rifah. Th 1393

Asy Syaukani, Irsyadul Fuhul, Cet,1 Beirut, Darul Fikr.

Az Zarkasyi, Al bahrul Muhith,Cet.2, Cairo, Darush Shafwah, th1423 Ibnu Abidin, Hasyiatu Ibnu Abidin, Cet.2, Beirut, darul Fikr, 1386 H

Ibnu ‘ushfur al Isybili, Al Mumti’ Fii At Tasrif, cet.3, Beirut, Darul Afaq Al Jadidah, th.1398 H

Ibnu Muflih Al hambali, Abu Ishaq, Al Mubdi’, Beirut, Al Maktab Al Islami, th.1400 H.

Ibnu Muflih Al Maqdisi, Abu Abdillah Muhammad, Al Furu’, Tahqiq: Abu Az Zahra Hazim Al Qadhi, Beirut, Darul Kutub Al Ilmiyah, th.1418 H.

Ibnu Qoyyim Al Jauziyah, Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Abi Bakr, : I’lamul Muwaqqi’in ‘An Rabbil ‘Aalamin, Beirut, Darul Jil, th. 1973 M

Ibnu Qudamah, Abu Muhammad Abdullah, Al Kafi Fi Fiqhi Ibni Hambal, Beirut, Al Maktab Al Islami, Cet.5, th.1408

Ibnu Qudamah al Maqdisi, Raudhatun Nadzir Bihasyiati syarhi Muhtashar Raudhah, Darul Fikr Al Arabi.

Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Cet.4, Beirut, Darul Ma’rifah, th.1398 Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa, Cet.2, Cairo, Darul Wafa’, th 1419 H

Madkur, Muhammad Salam, Nadzoriatul Ibahah Indal Ushuliyyin wal Fuqaha’, h.484 Malik, Al Muwatha’, Tahqiq Muhammad Fuad Abdul Baqi, Beirut, Daru ihya’ At Turast Al Arabi

Syarifudin, Prof.Dr.H.Amir , Ushul Fiqh, Cet.3. Kencana Prenada Media Group, 2008 Zaidan,Abdul, Al Wajiz Fii Ushulil Fiqh, Beirut, Mu’assasah Ar Risalah, 1415 H.

Wahbah Zuhaili, Fiqih al-Sunnah, (Bairut, Dar al-Fikr 1997M) jilid, 9.h.655

Referensi

Dokumen terkait

nah i (larangan), 3) Adapun relevansi dari dalil dan metode istinbat Imam Syafi’i dalam hukum perwakafan di Indonesia sebagai representasi hukum Islam bisa dilihat pada Pasal 40

Sumber hukum Islam adalah al-qur’an dan hadits yang dijelaskan oleh para ulama melaui ijtihadnya, kemudian menghasilkan fiqih, dalam fiqih ada beberapa imam

Kajian ini dimaksudkan untuk menjawab permasalahan: 1) Apa saja yang layak dijadikan dalil dalam perspektif ushul fiqih sebagai sandaran pengembangan sistem ekonomi Islam?

Dari pemaparan singkat diatas dapat dipahami bahwa istilah syariat dan fiqih digunakan untuk mendeskripsikan Hukum Islam. Kedua istilah tersebut sama-sama membahas hukum

Solusi menghadapi dua dalil hukum yang berbenturan adalah: (1) tawfi>q atau kompromi, yaitu mempertemukan kedua dalil yang berbenturan sehingga tidak terlihat lagi

Setelah mempertimbangkan dalil Al-Quran, Hadis , Kaidah Fiqih, pendapat ulama, pakar atau ahli, penjelasan dari pihak-pihak yang berkepentingan, dan peraturan perundang-undangan,

Pada prinsipnya pandangan yang digunakan an-Nabha> ni> terhadap hukum menggunakan empat dalil pokok yang menurut beliau sudah mu’tabar sebagai dalil syara’ , di

v LEMBAR PENGESAHAN Tesis dengan judul “Telaah Dalil Hukum Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia Tentang Produk Perbankan Syariah Studi Fatwa Tentang Murâbaẖah, Salam