• Tidak ada hasil yang ditemukan

Himpunan Peraturan PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK (PNBP) KEJAKSAAN RI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Himpunan Peraturan PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK (PNBP) KEJAKSAAN RI"

Copied!
472
0
0

Teks penuh

(1)

Himpunan Peraturan

PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK (PNBP) KEJAKSAAN RI

BIRO KEUANGAN

KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2013

(2)
(3)

Buku Himpunan Peraturan Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Kejaksaan RI ini merupakan himpunan Peraturan Perundang-Undangan (Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah), peraturan yang diterbitkan Kementerian Keuangan dan Peraturan Pelaksanaan Teknis yang diterbitkan Kejaksaan Republik Indonesia terkait Penerimaan Negara Bukan Pajak.

Maksud dan tujuan dari penerbitan buku ini adalah untuk dijadikan pedoman bagi jajaran Kejaksaan Republik Indonesia dalam rangka optimalisasi pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berasal dari penerimaan umum dan penerimaan fungsional Kejaksaan Republik Indonesia.

Semoga buku “HIMPUNAN PERATURAN PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK (PNBP) KEJAKSAAN RI” ini bermanfaat dalam peningkatan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang dikelola oleh Kejaksaan Republik Indonesia.

Jakarta, Desember 2013 KEPALA BIRO KEUANGAN

YUDI RIANTO, Ak.

(4)
(5)

A. KETENTUAN UMUM

1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak ... 1 2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang

Keuangan Negara ... 25 3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang

Perbendaharaan Negara ... 71 4. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang

Pemeriksaan Keuangan Negara ... 137 5. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1997 tentang

Jenis dan Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak ... 167 6. Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1999 tentang

Tata Cara Penggunaan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Bersumber dari Kegiatan Tertentu ... 193 7. Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2004 tentang Tata

Cara Penyampaian Rencana dan Laporan Realisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak ... 205 8. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2005 tentang

Pemeriksaan Penerimaan Negara Bukan Pajak ... 215 9. Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2009 tentang

Tata Cara Penentuan Jumlah, Pembayaran, dan Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang ... 239 10. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2010 tentang

Pengajuan dan Penyelesaian Keberatan atas Penetapan Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Terutang ... 263 B. PERATURAN MENTERI KEUANGAN

1. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 231/PMK.02/2009 tentang Pedoman Umum Pemeriksaan Penerimaan Negara Bukan Pajak ... 275 2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 3/PMK.02/2013

tentang Tata Cara Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak Oleh Bendahara Penerimaan ... 285

(6)

3. Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharan Nomor Per-78/PB/2006 tentang Penatausahaan Penerimaan Negara Melalui Modul Penerimaan Negara ... 293 4. Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor:

Per-25/PB/2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor Per- 78/PB/2006 tentang Penatausahaan Penerimaan Negara Melalui Modul Penerimaan Negara ... 361 5. Peraturan Jenderal Perbendaharaan Nomor

Per-39/PB/2013 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor PER- 78/PB/2006 tentang Penatausahaan Penerimaan Negara Melalui Modul Penerimaan Negara ... 369 6. Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor

PER-17/PB/2013 tentang Ketentuan Lebih Lanjut Tata Cara Pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak Atas Beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara ... 373 7. Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor

PER-No. 69/PB/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pembayaran Pengembalian Penerimaan Negara Atas Beban Sisa Lebih Perhitungan Anggaran ... 395 8. Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor Per-

53/PB/2012 tentang Petunjuk Teknis Pengembalian Penerimaan Negara Pada Tahun Anggaran Berjalan Melalui Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara ... 417 C. PETUNJUK TEKNIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK

Surat Jaksa Agung Muda Pembinaan Nomor B-122/C/Cu.3/05/2012 tanggal 4 Mei 2012 perihal Penertiban Penatausahaan dalam Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Kejaksaan RI. ... 437

(7)

REPUBLIK INDONESIA

No. 43, 1997 KEUANGAN. PERPAJAKAN. PENERIMAAN BUKAN PAJAK. Jasa Giro. Royalti. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3687).

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA Nomor 20 TAHUN 1997

TENTANG

PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Presiden Republik Indonesia, Menimbang:

a. bahwa pelaksanaan tugas dan fungsi Pemerintah dalam pelayanan, pengaturan, dan perlindungan masyarakat, pengelolaan kekayaan Negara, serta pemanfaatan sumber daya alam dalam rangka pencapaian tujuan nasional sebagaimana termaktub dalam Undang- Undang Dasar 1945, dapat mewujudkan suatu bentuk penerimaan Negara yang disebut sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak;

b. bahwa penyelenggaraan dan pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang tertuang dalam peraturan dan ketentuan pelaksanaan yang berlaku selama ini belum sepenuhnya mencerminkan kepastian hukum dan ketertiban administrasi keuangan Negara;

c. bahwa dalam rangka meningkatkan efisiensi perekonomian dan keuangan Negara serta untuk memberikan kepastian peranan dan wewenang pemerintah dalam melaksanakan penyelenggaraan dan Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak, maka dipandang perlu melakukan penyempurnaan pengaturan Penerimaan Negara Bukan Pajak;

(8)

1997, No. 43

d. bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut pada huruf a, hurut b, dan huruf c perlu dibentuk Undang-Undang tentang Penerimaan Negara Bukan pajak;

Mengingat :

1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;

2. Indische Comptabiliteitswet (Staatsblad Tahun 1925 Nomor 448) sebagaimana telah diubah dan ditambah, terakhir dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1968 (Lembaran Negara Tahun 1968 Nomor 53);

Dengan persetujuan

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:

Menetapkan :

UNDANG-UNDANG TENTANG PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK.

BAB I KETENTUAN UMUM

Pasal 1 Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:

1. Penerimaan Negara Bukan Pajak adalah seluruh penerimaan pemerintah pusat yang tidak berasal dari penerimaan perpajakan;

2. Sumber daya alam adalah segala kekayaan alam yang terdapat di atas, dipermukaan dan di dalam bumi yang dikuasai oleh Negara;

3. Badan adalah suatu bentuk badan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik Negara atau Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, persekutuan, perkumpulan, firma, kongsi, koperasi, yayasan atau organisasi yang sejenis lembaga, dana pensiun, bentuk usaha tetap berupa cabang, perwakilan, atau agen dari perusahaan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, serta bentuk badan usaha lainnya;

(9)

melakukan kewajiban membayar menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku;

6. Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang adalah Penerimaan Negara Bukan Pajak yang harus dibayar pada suatu saat, atau dalam suatu periode tertentu menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku;

7. Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia.

BAB II JENIS DAN TARIF

Pasal 2

(1) Kelompok Penerimaan Negara Bukan Pajak meliputi :

a. penerimaan yang bersumber dari pengelolaan dana Pemerintah;

b. penerimaan dari pemanfaatan sumber daya alam;

c. penerimaan dari hasil-hasil pengelolaan kekayaan Negara yang dipisahkan;

d. penerimaan dari kegiatan pelayanan yang dilaksanakan Pemerintah;

e. penerimaan berdasarkan putusan pengadilan dan yang berasal dari pengenaan denda administrasi;

f. penerimaan berupa hibah yang merupakan hak Pemerintah;

g. penerimaan lainnya yang diatur dalam Undang-undang tersendiri.

(2) Kecuali jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang ditetapkan dengan Undang-undang, jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang tercakup dalam kelompok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

(3) Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang belum tercakup dalam kelompok Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 3

(1) Tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak ditetapkan dengan memperhatikan dampak pengenaan terhadap masyarakat dan kegiatan

(10)

1997, No. 43

usahanya, biaya penyelenggaraan kegiatan Pemerintah sehubungan dengan jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang bersangkutan, dan aspek keadilan dalam pengenaan beban kepada masyarakat.

(2) Tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam Undang-undang atau Peraturan Pemerintah yang menetapkan jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang bersangkutan.

BAB III PENGELOLAAN

Pasal 4

Seluruh Penerimaan Nagara Bukan Pajak wajib disetor langsung secepatnya ke Kas Negara.

Pasal 5

Seluruh Penerimaan Negara Bukan Pajak dikelola dalam sistem Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Pasal 6

(1) Menteri dapat menunjuk Instansi Pemerintah untuk menagih dan atau memungut Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang.

(2) Instansi Pemerintah yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib menyetor langsung Penerimaan Negara Bukan Pajak yang diterima ke Kas Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.

(3) Tidak dipenuhinya kewajiban Instansi Pemerintah untuk menagih dan atau memungut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan menyetor sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 7

(1) Instansi Pemerintah yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), wajib menyampaikan rencana dan laporan realisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak secara tertulis dan berkala kepada Menteri.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyampaian rencana dan atau laporan realisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak diatur dengan Peraturan Pemerintah.

(11)

dan Pasal 5, sebagian dana dari suatu jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak dapat digunakan untuk kegiatan tertentu yang berkaitan dengan jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak tersebut oleh instansi yang bersangkutan.

(2) Kegiatan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan:

a. penelitian dan pengembangan teknologi;

b. pelayanan kesehatan;

c. pendidikan dan pelatihan;

d. penegakan hukum;

e. pelayanan yang melibatkan kemampuan intelektual tertentu;

f. pelestarian sumber daya alam.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penggunaan Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 9

(1) Jumlah Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang ditentukan dengan cara :

a. ditetapkan oleh Instansi Pemerintah; atau b. dihitung sendiri oleh Wajib Bayar.

(2) Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang jumlah Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutangnya ditentukan dengan cara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 10

(1) Penetapan jumlah Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang oleh Instansi Pemerintah terhadap Wajib Bayar untuk jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) menjadi kedaluwarsa setelah 10 (sepuluh) tahun terhitung sejak saat terutangnya Penerimaan Negara Bukan Pajak yang bersangkutan.

(2) Ketentuan kedaluwarsa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertunda apabila Wajib Bayar melakukan tindak pidana di bidang Penerimaan Negara Bukan Pajak.

(12)

1997, No. 43

Pasal 11

(1) Wajib Bayar membayar jumlah Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan Peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(2) Instansi Pemerintah atas permohonan Wajib Bayar untuk jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) setelah memenuhi persyaratan yang ditentukan dapat memberikan persetujuan kepada Wajib Bayar yang bersangkutan untuk mengangsur atau menunda pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang, dengan dikenakan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan.

Pasal 12

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penentuan jumlah, pembayaran termasuk angsuran dan penundaan pembayaran, dan penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 13

(1) Instansi Pemerintah yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), dan Wajib Bayar untuk jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2), wajib mengadakan pencatatan yang dapat menyajikan keterangan yang cukup untuk dijadikan dasar penghitungan Penerimaan Negara Bukan Pajak.

(2) Pencatatan wajib diselenggarakan di Indonesia dalam satuan mata uang rupiah dan disusun dalam bahasa Indonesia atau mata uang asing dan bahasa asing yang diizinkan Menteri.

(3) Buku, catatan dan dokumen lainnya yang menjadi dasar perhitungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disimpan selama 10 (sepuluh) tahun.

BAB IV PEMERIKSAAN

Pasal 14

(1) Terhadap Wajib Bayar untuk jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) atas permintaan Instansi Pemerintah dapat dilakukan pemeriksaan oleh instansi yang berwenang.

(13)

pemeriksaan khusus oleh instansi yang berwenang.

(3) Permintaan Instansi Pemerintah untuk pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada :

a. hasil pemantauan Instansi Pemerintah terhadap Wajib Bayar yang bersangkutan;

b. laporan dari pihak ketiga; atau

c. permintaan Wajib Bayar atas kelebihan pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang.

(4) Dalam rangka pemeriksaan, Instansi Pemerintah yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dan Wajib Bayar untuk jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) sebagai pihak yang diperiksa wajib :

a. memperlihatkan dan atau meminjamkan catatan, dokumen yang menjadi dasar pencatatan serta dokumen lain yang berhubungan dengan kewajiban pembayaran Penerimaan Negara bukan Pajak yang Terutang;

b. memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruangan yang dipandang perlu dan membantu kelancaran pemeriksaan; dan atau c. memberikan keterangan yang diperlukan.

(5) Dalam hal pejabat dari Instansi Pemerintah yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) tidak melakukan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(6) Dalam hal Wajib Bayar untuk jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) tidak melakukan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutangnya ditetapkan secara jabatan dan ditambah sanksi administrasi berupa denda sebesar 2 (dua) kali jumlah Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang.

Pasal 15

(1) Dalam hal diperlukan keterangan atau bukti dari pihak lain dalam rangka pemeriksaan, pihak lain yang bersangkutan wajib memberikan keterangan atau seluruh bukti yang diminta atas dasar permintaan pemeriksa.

(14)

1997, No. 43

(2) Dalam hal pihak lain tersebut adalah bank, pemberian keterangan atau bukti yang diperlukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapat izin terlebih dahulu dari Menteri.

Pasal 16

(1) Hasil pemeriksaan terhadap Instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) disampaikan kepada Menteri, dan Menteri memberitahukan hasil pemeriksaan tersebut kepada Instansi Pemerintah yang bersangkutan guna penyelesaian lebih lanjut.

(2) Hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) terhadap Wajib Bayar untuk Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) disampaikan kepada Instansi Pemerintah untuk penetapan jumlah Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang Wajib Bayar yang bersangkutan.

Pasal 17

(1) Dalam hal berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap Wajib Bayar untuk jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) terdapat kekurangan pembayaran jumlah Penerimaan Negara Bukan Pajak yang terutang, Wajib Bayar yang bersangkutan wajib melunasi kekurangannya dan ditambah dengan sanksi berupa denda administrasi sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dari jumlah kekurangan tersebut.

(2) Dalam hal berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap Wajib Bayar untuk jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud Pasal 9 ayat (2) terdapat kelebihan pembayaran jumlah Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang, jumlah kelebihan tersebut diperhitungkan sebagai pembayaran dimuka atas jumlah Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang Wajib Bayar yang bersangkutan pada periode berikutnya.

(3) Dalam hal terjadi pengakhiran kegiatan usaha Wajib Bayar, maka jumlah kelebihan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikembalikan kepada Wajib Bayar selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sejak dikeluarkan ketetapan kelebihan pembayaran.

(4) Dalam hal pengembalian kelebihan pembayaran dilakukan melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), kelebihan pembayaran tersebut dikembalikan kepada Wajib Bayar dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.

(15)

Pemerintah.

BAB V KEBERATAN

Pasal 19

(1) Wajib Bayar untuk jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) dapat mengajukan keberatan secara tertulis atas penetapan jumlah Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang dalam bahasa Indonesia kepada Instansi Pemerintah yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal penetapan.

(2) Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang dan pelaksanaan penagihan.

(3) Instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan penelitian atas keberatan yang diajukan setelah surat keberatan diterima secara lengkap.

(4) Selambat-lambatnya dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan setelah surat keberatan diterima secara lengkap, Instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengeluarkan penetapan atas keberatan.

(5) Penetapan atas keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan penetapan yang bersifat final.

(6) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) telah lewat, dan Instansi Pemerintah yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak memberi suatu penetapan, keberatan yang diajukan Wajib Bayar tersebut dianggap dikabulkan.

(7) Dalam hal keberatan ditolak dan ternyata masih terdapat kekurangan pembayaran terhadap jumlah Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang yang tercantum dalam penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Wajib Bayar wajib melakukan pembayaran atas kekurangan pembayaran ditambah sanksi berupa denda bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan dari kekurangan tersebut untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.

(8) Dalam hal keberatan dikabulkan dan ternyata kelebihan pembayaran jumlah Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang yang tercantum

(16)

1997, No. 43

dalam penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), kelebihan pembayaran tersebut diperhitungkan sebagai pembayaran dimuka atas jumlah Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang Wajib Bayar yang bersangkutan pada periode berikutnya.

(9) Dalam hal terjadi pengakhiran kegiatan usaha Wajib Bayar, maka jumlah kelebihan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dikembalikan kepada Wajib Bayar selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sejak dikeluarkan ketetapan kelebihan pembayaran.

(10) Dalam hal pengembalian kelebihan pembayaran dilakukan melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (9), kelebihan pembayaran tersebut dikembalikan kepada Wajib Bayar dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.

(11) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengajuan dan penyelesaian keberatan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB VI

KETENTUAN PIDANA Pasal 20

Wajib Bayar untuk jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2), yang karena kealpaannya:

a. tidak menyampaikan laporan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang; atau

b. menyampaikan laporan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar, atau tidak melampirkan keterangan yang benar, sehingga menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak sebesar 2 (dua) kali jumlah Penerima Negara Bukan Pajak yang Terutang.

Pasal 21

(1) Wajib Bayar untuk jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) yang terbukti dengan sengaja:

a. tidak membayar, tidak menyetor dan atau tidak melaporkan jumlah Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang;

(17)

catatan atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar;

c. tidak menyampaikan laporan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang; atau

d. menyampaikan laporan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang yang tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar, atau tidak melampirkan keterangan yang benar, sehingga menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak 4 (empat) kali jumlah Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang.

(2) Ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilipatkan 2 (dua) apabila Wajib Bayar melakukan lagi tindak pidana di bidang Penerimaan Negara Bukan Pajak sebelum lewat 1 (satu) tahun, terhitung sejak selesainya menjalankan sebagian atau seluruh pidana penjara yang dijatuhkan.

Pasal 22

Pihak lain yang menurut Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) wajib memberi keterangan atau bukti yang diminta, tetapi dengan sengaja tidak memberi keterangan atau bukti atau memberi keterangan atau bukti tidak benar, diancam dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda setinggi- tingginya Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah).

BAB VII

KETENTUAN PERALIHAN Pasal 23

(1) Jenis dan tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak yang telah diatur dalam Undang-undang sebelum berlakunya Undang-undang ini dinyatakan tetap berlaku.

(2) Penerimaan Negara Bukan Pajak yang diatur dengan peraturan perundang-undangan di bawah Undang-undang masih tetap berlaku sebelum dilakukan penyesuaian berdasarkan Undang-undang ini.

(3) Penyesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan selambat- lambatnya 5 (lima) tahun sejak Undang-undang ini berlaku.

(18)

1997, No. 43

BAB VIII KETENTUAN PENUTUP

Pasal 24

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya, dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta pada tanggal 23 Mei 1997 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

S O E H A R T O Diundangkan di Jakarta

Pada tanggal 23 Mei 1997 MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA

REPUBLIK INDONESIA

M O E R D I O N O

(19)

LEMBARAN-NEGARA R.I.

No. 3687 KEUANGAN. PERPAJAKAN. PENERIMAAN

BUKAN PAJAK. Jasa Giro. Royalti. (Penjelasan atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 43).

PENJELASAN ATAS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 1997

TENTANG

PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK UMUM

Dalam upaya pencapaian tujuan nasional sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Dasar 1945, Pemerintah menyelenggarakan kegiatan pemerintahan dan pembangunan nasional. Oleh karena itu, peranan Penerimaan Negara Bukan Pajak dalam pembiayaan kegiatan dimaksud penting dalam peningkatan kemandirian bangsa dalam pembiayaan Negara dan pembangunan.

Penjelasan Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, antara lain, menegaskan bahwa segala tindakan yang menempatkan beban kepada rakyat seperti pajak dan lain-lainnya, harus ditetapkan dengan Undang-undang, yaitu dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Oleh karena itu, penerimaan Negara di luar penerimaan perpajakan, yang menempatkan beban kepada rakyat, juga harus didasarkan pada Undang-undang.

Sejalan dengan meningkatnya pembangunan nasional di segala bidang, terdapat banyak bentuk penerimaan Negara di luar penerimaan perpajakan.

Penerimaan perpajakan meliputi penerimaan yang berasal dari Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Bea Masuk, Cukai Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Meterai, Bea Perolehan Hak

(20)

No. 3687

atas Tanah dan Bangunan, dan penerimaan lainnya yang diatur dengan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. Selain itu, penerimaan Negara yang berasal dari minyak dan gas bumi, yang di dalamnya terkandung unsur pajak dan royalti, diperlakukan sebagai penerimaan perpajakan, mengingat unsur pajak lebih dominan. Dengan demikian pengertian Penerimaan Negara Bukan Pajak yang dirumuskan dalam Undang-undang ini mencakup segala penerimaan Pemerintah pusat di luar penerimaan perpajakan tersebut.

Ketentuan perundang-undangan sebagai landasan penyelenggaraan dan pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku selama ini meliputi berbagai ragam dan tingkatan peraturan sehingga belum sepenuhnya mencerminkan kepastian hukum. Banyak dan beragamnya bentuk pengaturan juga mengakibatkan kekurangtertiban dan kerumitan dalam pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak. Oleh karena itu, sudah saatnya untuk membentuk Undang-undang tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak. Sebelum adanya undang-undang Perbendaharaan yang baru sebagai pengganti Indische Comptabiliteitswet (Staatsblad Nomor 448 Tahun 1925), ketentuan yang berkaitan dengan sistem perbendaharaan yang diatur dalam Indische Comptabiliteitswet (Staatsblad Nomor 448 Tahun 1925) sebagaimana telah beberapa kali diubah dan ditambah, terakhir dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1968 masih tetap menjadi bahan pertimbangan.

Dengan berpegang teguh pada prinsip kepastian hukum, keadilan dan kesederhanaan, maka arah dan tujuan perumusan Undang-undang Penerimaan Negara Bukan Pajak adalah:

a. menuju kemandirian bangsa dalam pembiayaan Negara dan pembiayaan pembangunan melalui optimalisasi sumber-sumber Penerimaan Negara Bukan Pajak dan ketertiban administrasi pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak serta penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak ke Kas Negara;

b. lebih memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat berpartisipasi dalam pembiayaan pembangunan sesuai dengan manfaat yang dinikmatinya dari kegiatan-kegiatan yang menghasilkan Penerimaan Negara Bukan Pajak;

c. menunjang kebijaksanaan Pemerintah dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi, pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya serta investasi di seluruh wilayah Indonesia;

d. menunjang upaya terciptanya aparat Pemerintah yang kuat, bersih dan berwibawa, penyederhanaan prosedur dan pemenuhan kewajiban, peningkatan tertib administrasi keuangan dan anggaran Negara, serta peningkatan pengawasan.

(21)

Pasal 1 Cukup jelas

Pasal 2 Ayat (1)

Huruf a

Jenis penerimaan yang termasuk kelompok penerimaan yang bersumber dari pengelolaan dana Pemerintah, antara lain, penerimaan jasa giro, Sisa Anggaran Pembangunan, dan Sisa Anggaran Rutin.

Huruf b

Jenis penerimaan yang termasuk kelompok penerimaan yang bersumber dari pemanfaatan sumber daya alam, antara lain royalti di bidang perikanan, royalti di bidang kehutanan dan royalti di bidang pertambangan. Khusus mengenai penerimaan dari minyak dan gas bumi walaupun sesuai dengan Undang- undang Nomor 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara terdapat unsur royalti, namun karena di dalamnya terkandung banyak unsur-unsur perpajakan, maka penerimaan yang merupakan bagian Pemerintah dari minyak dan gas bumi tidak termasuk jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak.

Huruf c

Jenis penerimaan yang termasuk kelompok penerimaan dari hasil pengelolaan kekayaan Negara yang dipisahkan, antara lain, dividen, bagian laba Pemerintah, dana pembangunan semesta, dan hasil penjualan saham Pemerintah.

Huruf d

Jenis penerimaan yang termasuk kelompok penerimaan dari kegiatan pelayanan yang dilaksanakan Pemerintah, antara lain, pelayanan pendidikan, pelayanan kesehatan, pelayanan pelatihan, pemberian hak paten, merek, hak cipta, pemberian visa dan paspor, serta pengelolaan kekayaan Negara yang tidak dipisahkan.

(22)

No. 3687

Huruf e

Jenis penerimaan yang termasuk kelompok penerimaan yang berdasarkan putusan pengadilan, antara lain, lelang barang rampasan Negara dan denda.

Huruf f

Hibah yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf f ini adalah penerimaan Negara berupa bantuan hibah dan atau sumbangan dari dalam dan luar negeri baik swasta maupun pemerintah yang menjadi hak Pemerintah.

Hibah dalam bentuk natura, antara lain, yang secara langsung untuk mengatasi keadaan darurat seperti bencana alam atau wabah penyakit tidak dicatat dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Huruf g

Cukup jelas.

Ayat (2)

Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat ini dikemukakan oleh Pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dalam rangka pembahasan dan penyusunan Rancangan Undang-undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Ayat (3)

Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat ini dikemukakan oleh Pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dalam rangka pembahasan dan penyusunan Rancangan Undang-undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Pasal 3 Ayat (1)

Tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak perlu ditetapkan dengan pertimbangan secermat mungkin, karena hal ini membebani masyarakat.

Pertimbangan dampak pengenaan terhadap masyarakat dan kegiatan usahanya, dan beban biaya yang ditanggung Pemerintah atas penyelenggaraan kegiatan pelayanan, dan pengaturan oleh pemerintah yang berkaitan langsung dengan jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak

(23)

perolehan keuntungan atau tidak menghambat kegiatan usaha yang dilakukan masyarakat.

Ayat (2)

Tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat ini dikemukakan oleh Pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dalam rangka pembahasan dan penyusunan Rancangan Undang-undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Pasal 4

Yang dimaksud dengan Kas Negara adalah rekening tempat penyimpanan uang Negara yang dibuka dan ditetapkan oleh Menteri untuk menampung seluruh penerimaan dan pengeluaran Negara, dibukukan pada setiap saat dalam 1 (satu) tahun anggaran serta dipertanggungjawabkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Pasal 5 Cukup jelas

Pasal 6 Ayat (1)

Kata dapat dalam ayat ini dimaksudkan, apabila undang-undang belum menunjuk Instansi Pemerintah untuk menagih dan atau memungut Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang, maka Menteri perlu menunjuk Instansi Pemerintah untuk tujuan dimaksud.

Ayat (2)

Cukup jelas Ayat (3)

Dalam hal ini sanksi dikenakan terhadap pejabat Instansi Pemerintah yang bersangkutan selaku pejabat pelaksana tugas.

Yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, antara lain, Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Disiplin Pegawai Negeri dan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

(24)

No. 3687

Pasal 7 Ayat (1)

Penyampaian rencana dan laporan realisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak dimaksudkan agar pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak terencana dan tertib. Penyampaian rencana dilakukan sekurang- kurangnya 1 (satu) kali dalam satu tahun anggaran. Laporan realisasi disampaikan sekurang-kurangnya 2 (dua) kali dalam 1 (satu) tahun anggaran.

Ayat (2)

Hal-hal yang diatur dengan Peraturan Pemerintah mencakup antara lain materi yang dilaporkan, dan waktu penyampaian rencana dan atau laporan realisasi.

Pasal 8 Ayat (1)

Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian alokasi pembiayaan kegiatan tertentu yang berkaitan dengan jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak. Dana yang dapat dialokasikan adalah dana dari jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berkaitan dengan kegiatan tertentu tersebut. Dana dari pengalokasian tersebut hanya dapat digunakan oleh instansi atau unit yang menghasilkan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang bersangkutan. Penggunaan Penerimaan Negara Bukan Pajak tersebut dilakukan secara selektif, dan dengan tetap memenuhi terlebih dahulu ketentuan Pasal 4 dan Pasal 5. Penggunaan dana Penerimaan Negara Bukan Pajak tersebut dilakukan dengan terlebih dahulu mengajukan usulan rencana penggunaan kepada Menteri.

Ayat (2) Huruf a

Kegiatan dalam hal ini, antara lain, meliputi penelitian dan pengembangan teknologi di bidang pertanian dan pertambangan.

Huruf b

Kegiatan dalam hal ini, antara lain, meliputi pelayanan rumah sakit dan balai pengobatan.

Huruf c

Kegiatan dalam hal ini, antara lain, meliputi kegiatan perguruan tinggi dan balai latihan kerja.

(25)

Kegiatan dalam hal ini, antara lain, dalam rangka pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan ketentuan hukum, serta pemberian Hak atas Kekayaan Intelektual.

Huruf e

Kegiatan dalam hal ini, antara lain, pemberian jasa konsultasi, jasa analisis, uji mutu dan pemantauan lingkungan, pembuatan hujan buatan, uji pencemaran radiasi pada makanan.

Huruf f

Kegiatan dalam hal ini, antara lain, meliputi usaha pelestarian sumber daya kehutanan dan perikanan.

Ayat (3) Cukup jelas.

Pasal 9 Ayat (1)

Sistem pemungutan Penerimaan Negara Bukan Pajak mempunyai ciri dan corak tersendiri dan dapat dibagi dalam dua kelompok sehubungan dengan penentuan jumlah Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang yaitu ditetapkan oleh Instansi Pemerintah atau dihitung sendiri oleh Wajib Bayar.

Untuk jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang menjadi terutang sebelum Wajib Bayar menerima manfaat atas kegiatan Pemerintah, seperti pemberian hak paten, pelayanan pendidikan, maka penentuan jumlah Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang dalam hal ini ditetapkan oleh Instansi Pemerintah. Namun, dalam hal Wajib Bayar menjadi terutang setelah menerima manfaat, seperti pemanfaatan sumber daya alam, maka penentuan jumlah Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutangnya dapat dipercayakan kepada Wajib Bayar yang bersangkutan untuk menghitung sendiri dalam rangka membayar dan melaporkan sendiri (self assessment).

Ayat (2) Cukup jelas.

(26)

No. 3687

Pasal 10 Ayat (1)

Terhadap Wajib Bayar untuk jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) dapat dilakukan koreksi dalam bentuk penetapan oleh Instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) yang berkaitan dengan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang bersangkutan untuk mendapatkan jumlah yang tepat dan benar. Hak untuk mengeluarkan penetapan ini diberikan kepada Instansi Pemerintah yang bersangkutan dengan batas waktu tertentu guna memberikan kepastian hukum mengenai Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang yang dapat ditagih.

Ayat (2)

Dalam hal terdapat indikasi bahwa Wajib Bayar melakukan tindak pidana di bidang Penerimaan Negara Bukan Pajak, Instansi Pemerintah tetap dapat menetapkan jumlah Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang terhadap Wajib Bayar yang bersangkutan dengan tidak mempertimbangkan masa kedaluwarsa.

Pasal 11 Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Instansi Pemerintah memberikan persetujuan untuk mengangsur atau menunda pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang setelah mendapat persetujuan tertulis Menteri.

Pasal 12

Hal-hal yang diatur dengan Peraturan Pemerintah ini antara lain penetapan saat terutang, waktu pembayaran, kegiatan Instansi Pemerintah dalam menagih, dan atau memungut dan menyetor.

Pasal 13 Cukup jelas

(27)

Ayat (1)

Pemeriksaan dalam hal ini untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban sesuai dengan peraturan perundang-undangan tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak dan dalam rangka melaksanakan peraturan perundang-undangan tersebut. Yang dimaksud dengan instansi yang berwenang adalah Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan dan Badan Pemeriksa Keuangan tetap dapat melaksanakan pengawasan dan pemeriksaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ayat (2)

Pemeriksaan dalam hal ini dalam rangka melaksanakan pengawasan intern dan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban sesuai dengan peraturan perundang-undangan Penerimaan Negara Bukan Pajak serta dalam rangka melaksanakan peraturan perundang-undangan tersebut. Yang dimaksud dengan instansi yang berwenang adalah Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan dan Badan Pemeriksa Keuangan tetap dapat melaksanakan pengawasan dan pemeriksaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ayat (3) Cukup jelas.

Ayat (4)

Catatan, dokumen dan keterangan-keterangan tambahan sangat dibutuhkan untuk mendapatkan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang yang benar dan tepat sehingga tidak terjadi kerugian pada Wajib Bayar maupun Pemerintah.

Ayat (5)

Yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, antara lain, Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Disiplin Pegawai Negeri.

Ayat (6) Cukup jelas.

(28)

No. 3687

Pasal 15 Ayat (1)

Yang dimaksud dengan pihak lain pada ayat ini antara lain bank, akuntan publik, dan notaris.

Ayat (2) Cukup jelas

Pasal 16 Ayat (1)

Cukup jelas Ayat (2)

Dalam hal ini Instansi Pemerintah menetapkan jumlah Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang berdasarkan hasil pemeriksaan.

Pasal 17 Ayat (1)

Denda dikenakan mulai saat Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang jatuh tempo, dan bagian dari bulan dihitung 1 (satu) bulan.

Jatuh tempo dimaksud adalah pada saat Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang harus dibayar menurut peraturan perundang- undangan yang berlaku.

Denda dihitung sejak jatuh tempo sampai dengan Wajib Bayar melunasi Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang, tetapi tidak lebih lama dari 24 (dua puluh empat) bulan.

Ayat (2) Cukup jelas.

Ayat (3) Cukup jelas.

Ayat (4) Cukup jelas.

Pasal 18 Cukup jelas

(29)

Pasal 19 Ayat (1)

Apabila ternyata terdapat perbedaan jumlah Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang antara yang dihitung oleh Wajib Bayar dan penetapan Instansi Pemerintah berdasarkan hasil pemeriksaan mengenai jumlah Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang maka terhadap penetapan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang tersebut dapat diajukan keberatan oleh Wajib Bayar.

Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3)

Cukup jelas Ayat (4)

Cukup jelas Ayat (5)

Penetapan atas keberatan yang bersifat final artinya penetapan tersebut merupakan keputusan administratif yang terakhir dari Pejabat Tata Usaha Negara. Dengan demikian, apabila Wajib Bayar merasa kepentingannya dirugikan atas penetapan tersebut, yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.

Ayat (6) Cukup jelas Ayat (7)

Cukup jelas Ayat (8)

Cukup jelas Ayat (9)

Cukup jelas Ayat (10)

Cukup jelas

(30)

No. 3687

Ayat (11)

Hal-hal yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini antara lain tata cara pengajuan keberatan, seperti waktu pengajuan keberatan atau alasan- alasan pengajuan keberatan.

Pasal 20 Cukup jelas

Pasal 21 Ayat (1)

Cukup jelas Ayat (2)

Untuk mencegah terjadinya pengulangan tindak pidana kejahatan di bidang Penerimaan Negara Bukan Pajak, maka bagi pelaku pengulangan tindak pidana kejahatan tersebut dikenakan pidana yang lebih berat.

Pasal 22 Cukup jelas

Pasal 23 Ayat (1)

Cukup jelas Ayat (2)

Cukup jelas Ayat (3)

Penyesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ini mulai dilaksanakan sesegera mungkin dan harus sudah selesai secara keseluruhan selambat- lambatnya 5 (lima) tahun sejak Undang-undang ini berlaku.

Pasal 24 Cukup jelas.

(31)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2003

TENTANG KEUANGAN NEGARA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa penyelenggaraan pemerintahan negara untuk mewujudkan tujuan bernegara menimbulkan hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang;

b. bahwa pengelolaan hak dan kewajiban negara sebagaimana dimaksud pada huruf a telah diatur dalam Bab VIII UUD 1945;

c. bahwa Pasal 23C Bab VIII UUD 1945 mengamanatkan hal-hal lain mengenai keuangan negara diatur dengan undang-undang;

d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c perlu dibentuk Undang-undang tentang Keuangan Negara;

Mengingat : Pasal 4, Pasal 5 ayat (1), Pasal 11 ayat (2), Pasal 17, Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 20, Pasal 20A, Pasal 21, Pasal 22D, Pasal 23, Pasal 23A, Pasal 23B, Pasal 23C, Pasal 23D, Pasal 23E, dan Pasal 33 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar 1945;

(32)

Dengan Persetujuan

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

UNDANG-UNDANG TENTANG KEUANGAN NEGARA BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :

1. Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.

2. Pemerintah adalah pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah.

3. Dewan Perwakilan Rakyat yang selanjutnya disebut DPR adalah Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar 1945.

4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disebut DPRD adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar 1945.

5. Perusahaan Negara adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian modalnya dimiliki oleh Pemerintah Pusat.

6. Perusahaan Daerah adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian modalnya dimiliki oleh Pemerintah Daerah.

7. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, selanjutnya disebut APBN, adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.

(33)

8. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, selanjutnya disebut APBD, adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

9. Penerimaan negara adalah uang yang masuk ke kas negara.

10. Pengeluaran negara adalah uang yang keluar dari kas negara.

11. Penerimaan daerah adalah uang yang masuk ke kas daerah.

12. Pengeluaran daerah adalah uang yang keluar dari kas daerah.

13. Pendapatan negara adalah hak pemerintah pusat yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih.

14. Belanja negara adalah kewajiban pemerintah pusat yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih.

15. Pendapatan daerah adalah hak pemerintah daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih.

16. Belanja daerah adalah kewajiban pemerintah daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih.

17. Pembiayaan adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun tahun-tahun anggaran berikutnya.

Pasal 2

Keuangan Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1, meliputi : a. hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan

uang, dan melakukan pinjaman;

b. kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga;

c. Penerimaan Negara;

d. Pengeluaran Negara;

e. Penerimaan Daerah;

f. Pengeluaran Daerah;

(34)

g. kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/ perusahaan daerah;

h. kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum;

i. kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah.

Pasal 3

(1) Keuangan Negara dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.

(2) APBN, perubahan APBN, dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN setiap tahun ditetapkan dengan undang-undang.

(3) APBD, perubahan APBD, dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD setiap tahun ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

(4) APBN/APBD mempunyai fungsi otorisasi, perencanaan, pengawasan, alokasi, distribusi, dan stabilisasi.

(5) Semua penerimaan yang menjadi hak dan pengeluaran yang menjadi kewajiban negara dalam tahun anggaran yang bersangkutan harus dimasukkan dalam APBN.

(6) Semua penerimaan yang menjadi hak dan pengeluaran yang menjadi kewajiban daerah dalam tahun anggaran yang bersangkutan harus dimasukkan dalam APBD.

(7) Surplus penerimaan negara/daerah dapat digunakan untuk membiayai pengeluaran negara/daerah tahun anggaran berikutnya.

(8) Penggunaan surplus penerimaan negara/daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat untuk membentuk dana cadangan atau penyertaan pada Perusahaan Negara/Daerah harus memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari DPR/DPRD.

(35)

Pasal 4

Tahun Anggaran meliputi masa satu tahun, mulai dari tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember.

Pasal 5

(1) Satuan hitung dalam penyusunan, penetapan, dan pertanggungjawaban APBN/APBD adalah mata uang Rupiah.

(2) Penggunaan mata uang lain dalam pelaksanaan APBN/APBD diatur oleh Menteri Keuangan sesuai dengan ketentuan perundangan- undangan yang berlaku.

BAB II

KEKUASAAN ATAS PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA Pasal 6

(1) Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan.

(2) Kekuasaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) :

a. dikuasakan kepada Menteri Keuangan, selaku pengelola fiskal dan Wakil Pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan;

b. dikuasakan kepada menteri/pimpinan lembaga selaku Pengguna Anggaran/Pengguna Barang kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya;

c. diserahkan kepada gubernur/bupati/walikota selaku kepala pemerintahan daerah untuk mengelola keuangan daerah dan mewakili pemerintah daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan.

d. tidak termasuk kewenangan dibidang moneter, yang meliputi antara lain mengeluarkan dan mengedarkan uang, yang diatur dengan undang-undang.

(36)

Pasal 7

(1) Kekuasaan atas pengelolaan keuangan negara digunakan untuk mencapai tujuan bernegara.

(2) Dalam rangka penyelenggaraan fungsi pemerintahan untuk mencapai tujuan bernegara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) setiap tahun disusun APBN dan APBD.

Pasal 8

Dalam rangka pelaksanaan kekuasaan atas pengelolaan fiskal, Menteri Keuangan mempunyai tugas sebagai berikut :

a) menyusun kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro;

b) menyusun rancangan APBN dan rancangan Perubahan APBN;

c) mengesahkan dokumen pelaksanaan anggaran;

d) melakukan perjanjian internasional di bidang keuangan;

e) melaksanakan pemungutan pendapatan negara yang telah ditetapkan dengan undang-undang;

f) melaksanakan fungsi bendahara umum negara;

g) menyusun laporan keuangan yang merupakan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN;

h) melaksanakan tugas-tugas lain di bidang pengelolaan fiskal berdasarkan ketentuan undang-undang.

Pasal 9

Menteri/pimpinan lembaga sebagai Pengguna Anggaran/Pengguna Barang kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya mempunyai tugas sebagai berikut :

a. menyusun rancangan anggaran kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya;

b. menyusun dokumen pelaksanaan anggaran;

c. melaksanakan anggaran kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya;

(37)

d. melaksanakan pemungutan penerimaan negara bukan pajak dan menyetorkannya ke Kas Negara;

e. mengelola piutang dan utang negara yang menjadi tanggung jawab kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya;

f. mengelola barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawab kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya;

g. menyusun dan menyampaikan laporan keuangan kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya;

h. melaksanakan tugas-tugas lain yang menjadi tanggung jawabnya berdasarkan ketentuan undang-undang.

Pasal 10

(1) Kekuasaan pengelolaan keuangan daerah sebagaimana tersebut dalam Pasal 6 ayat (2) huruf c :

a. dilaksanakan oleh kepala satuan kerja pengelola keuangan daerah selaku pejabat pengelola APBD;

b. dilaksanakan oleh kepala satuan kerja perangkat daerah selaku pejabat pengguna anggaran/barang daerah.

(2) Dalam rangka pengelolaan Keuangan Daerah, Pejabat Pengelola Keuangan Daerah mempunyai tugas sebagai berikut :

a. menyusun dan melaksanakan kebijakan pengelolaan APBD;

b. menyusun rancangan APBD dan rancangan Perubahan APBD;

c. melaksanakan pemungutan pendapatan daerah yang telah ditetapkan dengan Peraturan Daerah;

d. melaksanakan fungsi bendahara umum daerah;

e. menyusun laporan keuangan yang merupakan pertanggung- jawaban pelaksanaan APBD.

(3) Kepala satuan kerja perangkat daerah selaku pejabat pengguna anggaran/barang daerah mempunyai tugas sebagai berikut:

a. menyusun anggaran satuan kerja perangkat daerah yang dipimpinnya;

(38)

b. menyusun dokumen pelaksanaan anggaran;

c. melaksanakan anggaran satuan kerja perangkat daerah yang dipimpinnya;

d. melaksanakan pemungutan penerimaan bukan pajak;

e. mengelola utang piutang daerah yang menjadi tanggung jawab satuan kerja perangkat daerah yang dipimpinnya;

f. mengelola barang milik/kekayaan daerah yang menjadi tanggung jawab satuan kerja perangkat daerah yang dipimpinnya;

g. menyusun dan menyampaikan laporan keuangan satuan kerja perangkat daerah yang dipimpinnya.

BAB III

PENYUSUNAN DAN PENETAPAN APBN Pasal 11

(1) APBN merupakan wujud pengelolaan keuangan negara yang ditetapkan tiap tahun dengan undang-undang.

(2) APBN terdiri atas anggaran pendapatan, anggaran belanja, dan pembiayaan.

(3) Pendapatan negara terdiri atas penerimaan pajak, penerimaan bukan pajak, dan hibah.

(4) Belanja negara dipergunakan untuk keperluan penyelenggaraan tugas pemerintahan pusat dan pelaksanaan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah.

(5) Belanja negara dirinci menurut organisasi, fungsi, dan jenis belanja.

Pasal 12

(1) APBN disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan negara dan kemampuan dalam menghimpun pendapatan negara.

(39)

(2) Penyusunan Rancangan APBN sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berpedoman kepada rencana kerja Pemerintah dalam rangka mewujudkan tercapainya tujuan bernegara.

(3) Dalam hal anggaran diperkirakan defisit, ditetapkan sumber-sumber pembiayaan untuk menutup defisit tersebut dalam Undang-undang tentang APBN.

(4) Dalam hal anggaran diperkirakan surplus, Pemerintah Pusat dapat mengajukan rencana penggunaan surplus anggaran kepada Dewan Perwakilan Rakyat.

Pasal 13

(1) Pemerintah Pusat menyampaikan pokok-pokok kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro tahun anggaran berikutnya kepada Dewan Perwakilan Rakyat selambat-lambatnya pertengahan bulan Mei tahun berjalan.

(2) Pemerintah Pusat dan Dewan Perwakilan Rakyat membahas kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal yang diajukan oleh Pemerintah Pusat dalam pembicaraan pendahuluan rancangan APBN tahun anggaran berikutnya.

(3) Berdasarkan kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal, Pemerintah Pusat bersama Dewan Perwakilan Rakyat membahas kebijakan umum dan prioritas anggaran untuk dijadikan acuan bagi setiap kementerian negara/lembaga dalam penyusunan usulan anggaran.

Pasal 14

(1) Dalam rangka penyusunan rancangan APBN, menteri/pimpinan lembaga selaku pengguna anggaran/pengguna barang menyusun rencana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga tahun berikutnya.

(2) Rencana kerja dan anggaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disusun berdasarkan prestasi kerja yang akan dicapai.

(3) Rencana kerja dan anggaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disertai dengan prakiraan belanja untuk tahun berikutnya setelah tahun anggaran yang sedang disusun.

(40)

(4) Rencana kerja dan anggaran dimaksud dalam ayat (1) disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk dibahas dalam pembicaraan pendahuluan rancangan APBN.

(5) Hasil pembahasan rencana kerja dan anggaran disampaikan kepada Menteri Keuangan sebagai bahan penyusunan rancangan undang- undang tentang APBN tahun berikutnya.

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan rencana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 15

(1) Pemerintah Pusat mengajukan Rancangan Undang-undang tentang APBN, disertai nota keuangan dan dokumen-dokumen pendukungnya kepada Dewan Perwakilan Rakyat pada bulan Agustus tahun sebelumnya.

(2) Pembahasan Rancangan Undang-undang tentang APBN dilakukan sesuai dengan undang-undang yang mengatur susunan dan kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat.

(3) Dewan Perwakilan Rakyat dapat mengajukan usul yang mengakibatkan perubahan jumlah penerimaan dan pengeluaran dalam Rancangan Undang-undang tentang APBN.

(4) Pengambilan keputusan oleh Dewan Perwakilan Rakyat mengenai Rancangan Undang-undang tentang APBN dilakukan selambat- lambatnya 2 (dua) bulan sebelum tahun anggaran yang bersangkutan dilaksanakan.

(5) APBN yang disetujui oleh DPR terinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja.

(6) Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui Rancangan Undang-undang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Pemerintah Pusat dapat melakukan pengeluaran setinggi-tingginya sebesar angka APBN tahun anggaran sebelumnya.

(41)

BAB IV

PENYUSUNAN DAN PENETAPAN APBD Pasal 16

(1) APBD merupakan wujud pengelolaan keuangan daerah yang ditetapkan setiap tahun dengan Peraturan Daerah.

(2) APBD terdiri atas anggaran pendapatan, anggaran belanja, dan pembiayaan.

(3) Pendapatan daerah berasal dari pendapatan asli daerah, dana perimbangan, dan lain-lain pendapatan yang sah.

(4) Belanja daerah dirinci menurut organisasi, fungsi, dan jenis belanja.

Pasal 17

(1) APBD disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan dan kemampuan pendapatan daerah.

(2) Penyusunan Rancangan APBD sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berpedoman kepada rencana kerja Pemerintah Daerah dalam rangka mewujudkan tercapainya tujuan bernegara.

(3) Dalam hal anggaran diperkirakan defisit, ditetapkan sumber-sumber pembiayaan untuk menutup defisit tersebut dalam Peraturan Daerah tentang APBD.

(4) Dalam hal anggaran diperkirakan surplus, ditetapkan penggunaan surplus tersebut dalam Peraturan Daerah tentang APBD.

Pasal 18

(1) Pemerintah Daerah menyampaikan kebijakan umum APBD tahun anggaran berikutnya sejalan dengan Rencana Kerja Pemerintah Daerah, sebagai landasan penyusunan RAPBD kepada DPRD selambat- lambatnya pertengahan Juni tahun berjalan.

(2) DPRD membahas kebijakan umum APBD yang diajukan oleh Pemerintah Daerah dalam pembicaraan pendahuluan RAPBD tahun anggaran berikutnya.

(42)

(3) Berdasarkan kebijakan umum APBD yang telah disepakati dengan DPRD, Pemerintah Daerah bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah membahas prioritas dan plafon anggaran sementara untuk dijadikan acuan bagi setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah.

Pasal 19

(1) Dalam rangka penyusunan RAPBD, Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah selaku pengguna anggaran menyusun rencana kerja dan anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah tahun berikutnya.

(2) Rencana kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah disusun dengan pendekatan berdasarkan prestasi kerja yang akan dicapai.

(3) Rencana kerja dan anggaran dimaksud dalam ayat (1) disertai dengan prakiraan belanja untuk tahun berikutnya setelah tahun anggaran yang sudah disusun.

(4) Rencana kerja dan anggaran dimaksud dalam ayat (1) dan (2) disampaikan kepada DPRD untuk dibahas dalam pembicaraan pendahuluan RAPBD.

(5) Hasil pembahasan rencana kerja dan anggaran disampaikan kepada pejabat pengelola keuangan daerah sebagai bahan penyusunan Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD tahun berikutnya.

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan rencana kerja dan anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah diatur dengan Peraturan Daerah.

Pasal 20

(1) Pemerintah Daerah mengajukan Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD, disertai penjelasan dan dokumen-dokumen pendukungnya kepada DPRD pada minggu pertama bulan Oktober tahun sebelumnya.

(2) Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD dilakukan sesuai dengan undang-undang yang mengatur susunan dan kedudukan DPRD.

(3) DPRD dapat mengajukan usul yang mengakibatkan perubahan jumlah penerimaan dan pengeluaran dalam Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD.

(43)

(4) Pengambilan keputusan oleh DPRD mengenai Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD dilakukan selambat-lambatnya satu bulan sebelum tahun anggaran yang bersangkutan dilaksanakan.

(5) APBD yang disetujui oleh DPRD terinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja.

(6) Apabila DPRD tidak menyetujui Rancangan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), untuk membiayai keperluan setiap bulan Pemerintah Daerah dapat melaksanakan pengeluaran setinggi-tingginya sebesar angka APBD tahun anggaran sebelumnya.

BAB V

HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN BANK SENTRAL, PEMERINTAH DAERAH, SERTA

PEMERINTAH/LEMBAGA ASING

Pasal 21

Pemerintah Pusat dan bank sentral berkoordinasi dalam penetapan dan pelaksanaan kebijakan fiskal dan moneter.

Pasal 22

(1) Pemerintah Pusat mengalokasikan dana perimbangan kepada Pemerintah Daerah berdasarkan undang-undang perimbangan keuangan pusat dan daerah.

(2) Pemerintah Pusat dapat memberikan pinjaman dan/atau hibah kepada Pemerintah Daerah atau sebaliknya.

(3) Pemberian pinjaman dan/atau hibah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan setelah mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

(4) Pemerintah Daerah dapat memberikan pinjaman kepada/menerima pinjaman dari daerah lain dengan persetujuan DPRD.

(44)

Pasal 23

(1) Pemerintah Pusat dapat memberikan hibah/pinjaman kepada atau menerima hibah/pinjaman dari pemerintah/lembaga asing dengan persetujuan DPR.

(2) Pinjaman dan/atau hibah yang diterima Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diteruspinjam-kan kepada Pemerintah Daerah/Perusahaan Negara/Perusahaan Daerah.

BAB VI

HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH DAN PERUSAHAAN NEGARA, PERUSAHAAN DAERAH, PERUSAHAAN SWASTA, SERTA

BADAN PENGELOLA DANA MASYARAKAT

Pasal 24

(1) Pemerintah dapat memberikan pinjaman/hibah/ penyertaan modal kepada dan menerima pinjaman/hibah dari perusahaan negara/daerah.

(2) Pemberian pinjaman/hibah/penyertaan modal dan penerimaan pinjaman/hibah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terlebih dahulu ditetapkan dalam APBN/APBD.

(3) Menteri Keuangan melakukan pembinaan dan pengawasan kepada perusahaan negara.

(4) Gubernur/bupati/walikota melakukan pembinaan dan pengawasan kepada perusahaan daerah.

(5) Pemerintah Pusat dapat melakukan penjualan dan/atau privatisasi perusahaan negara setelah mendapat persetujuan DPR.

(6) Pemerintah Daerah dapat melakukan penjualan dan/atau privatisasi perusahaan daerah setelah mendapat persetujuan DPRD.

(7) Dalam keadaan tertentu, untuk penyelamatan perekonomian nasional, Pemerintah Pusat dapat memberikan pinjaman dan/atau melakukan penyertaan modal kepada perusahaan swasta setelah mendapat persetujuan DPR.

(45)

Pasal 25

(1) Menteri Keuangan melakukan pembinaan dan pengawasan kepada badan pengelola dana masyarakat yang mendapat fasilitas dari Pemerintah Pusat.

(2) Gubernur/bupati/walikota melakukan pembinaan dan pengawasan kepada badan pengelola dana masyarakat yang mendapat fasilitas dari Pemerintah Daerah.

(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) berlaku bagi badan pengelola dana masyarakat yang mendapat fasilitas dari pemerintah.

BAB VII

PELAKSANAAN APBN DAN APBD

Pasal 26

(1) Setelah APBN ditetapkan dengan undang-undang, pelaksanaannya dituangkan lebih lanjut dengan Keputusan Presiden.

(2) Setelah APBD ditetapkan dengan peraturan daerah, pelaksanaannya dituangkan lebih lanjut dengan Keputusan Gubernur/Bupati/Walikota.

Pasal 27

(1) Pemerintah Pusat menyusun Laporan Realisasi Semester Pertama APBN dan prognosis untuk 6 (enam) bulan berikutnya.

(2) Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan kepada DPR selambat-lambatnya pada akhir Juli tahun anggaran yang bersangkutan, untuk dibahas bersama antara DPR dan Pemerintah Pusat.

(3) Penyesuaian APBN dengan perkembangan dan/atau perubahan keadaan dibahas bersama DPR dengan Pemerintah Pusat dalam rangka penyusunan prakiraan perubahan atas APBN tahun anggaran yang bersangkutan, apabila terjadi :

(46)

a. perkembangan ekonomi makro yang tidak sesuai dengan asumsi yang digunakan dalam APBN;

b. perubahan pokok-pokok kebijakan fiskal;

c. keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran anggaran antarunit organisasi, antarkegiatan, dan antarjenis belanja;

d. keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih tahun sebelumnya harus digunakan untuk pembiayaan anggaran yang berjalan.

(4) Dalam keadaan darurat Pemerintah dapat melakukan pengeluaran yang belum tersedia anggarannya, yang selanjutnya diusulkan dalam rancangan perubahan APBN dan/atau disampaikan dalam Laporan Realisasi Anggaran.

(5) Pemerintah Pusat mengajukan rancangan undang-undang tentang Perubahan APBN tahun anggaran yang bersangkutan berdasarkan perubahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) untuk mendapatkan persetujuan DPR sebelum tahun anggaran yang bersangkutan berakhir.

Pasal 28

(1) Pemerintah Daerah menyusun Laporan Realisasi Semester Pertama APBD dan prognosis untuk 6 (enam) bulan berikutnya.

(2) Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan kepada DPRD selambat-lambatnya pada akhir Juli tahun anggaran yang bersangkutan, untuk dibahas bersama antara DPRD dan Pemerintah Daerah.

(3) Penyesuaian APBD dengan perkembangan dan/atau perubahan keadaan dibahas bersama DPRD dengan Pemerintah Daerah dalam rangka penyusunan prakiraan Perubahan atas APBD tahun anggaran yang bersangkutan, apabila terjadi :

a. perkembangan yang tidak sesuai dengan asumsi kebijakan umum APBD;

b. keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran anggaran antarunit organisasi, antarkegiatan, dan antarjenis belanja.

(47)

c. keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih tahun sebelumnya harus digunakan untuk pembiayaan anggaran yang berjalan.

(4) Dalam keadaan darurat Pemerintah Daerah dapat melakukan pengeluaran yang belum tersedia anggarannya, yang selanjutnya diusulkan dalam rancangan perubahan APBD, dan/atau disampaikan dalam Laporan Realisasi Anggaran.

(5) Pemerintah Daerah mengajukan Rancangan Peraturan Daerah tentang Perubahan APBD tahun anggaran yang bersangkutan berdasarkan perubahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) untuk mendapatkan persetujuan DPRD sebelum tahun anggaran yang bersangkutan berakhir.

Pasal 29

Ketentuan mengenai pengelolaan keuangan negara dalam rangka pelaksanaan APBN dan APBD ditetapkan dalam undang-undang yang mengatur perbendaharaan negara.

BAB VIII

PERTANGGUNGJAWABAN PELAKSANAAN APBN DAN APBD

Pasal 30

(1) Presiden menyampaikan rancangan undang-undang tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBN kepada DPR berupa laporan keuangan yang telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan, selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah tahun anggaran berakhir.

(2) Laporan keuangan dimaksud setidak-tidaknya meliputi Laporan Realisasi APBN, Neraca, Laporan Arus Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan, yang dilampiri dengan laporan keuangan perusahaan negara dan badan lainnya.

Referensi

Dokumen terkait

Metode analisis data yang digunakan analisis kuantitatif dilakukan dengan cara mengumpulkan data yang sudah ada kemudian mengolah dan menyajikan dalam bentuk tabel,

Hasil yang ditunjukkan dalam analisa mengenai active failure memberikan gambaran bahwa nilai indeks tertinggi adalah “tidak memakai peralatan keselamatan kerja”. Hal

Dengan memperhatikan permasalahan yang terjadi maka ditentukan tujuan penelitian yaitu mengetahui tool life (batas umur) dari alat potong yang digunakan pada mesin

Secara keseluruhan, proses atau langkah-langkah pembelajaran pada pertemuan kedua hampir sama seperti langkah-langkah yang dilakukan pada pertemuan pertama. Yang

Salah satu faktor kekurangannya dikarenakan oleh fasilitas-fasilitas olahraga renang yang belum memadai, melainkan hanya terdapat satu stadion olahraga renang yang sesuai dengan

Konsumsi bahan bakar spesifik sebagai fungsi putaran poros, koil tegangan tinggi lebih boros 1,7 % pada putaran rendah 1000 rpm sampai putaran 1250 rpm, tapi pada putaran tinggi

a) Mengidentifikasi distribusi frekuensi pelaksanaan discharge planning pada perawat di ruang rawat inap RSUD Jambak Kabupaten Pasaman Barat Tahun 2017.

Kerjasama yang telah terjalin baik antara DP4KB Kota Magelang dengan Pesantren Tidar dan tawaran kerjasama dengan FKIP Untidar tentu menjadi sebuah pertimbangan yang sangat kuat dan