• Tidak ada hasil yang ditemukan

III. KERANGKA PEMIKIRAN. deforestasi dan degradasi hutan. Model yang dibangun diharapkan dapat menjelaskan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "III. KERANGKA PEMIKIRAN. deforestasi dan degradasi hutan. Model yang dibangun diharapkan dapat menjelaskan"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III menjelaskan kerangka pemikiran membangun model ekonomi deforestasi dan degradasi hutan. Model yang dibangun diharapkan dapat menjelaskan pengaruh kebijakan makroekonomi dan faktor eksternal terhadap deforestasi dan degradasi hutan. Kerangka pemikirannya meliputi: (1) identifikasi deforestasi dan degradasi hutan, (2) identifikasi transmisi kebijakan dan faktor eksternal terhadap deforestasi dan degradasi hutan, dan (3) konstruksi model ekonomi deforestasi dan degradasi hutan.

3.1. Deforestasi

Deforestasi didefinisikan sebagai perubahan kondisi penutupan lahan dari kelas penutupan lahan kategori hutan (berhutan) menjadi kelas penutupan lahan kategori nonhutan (tidak berhutan). Nonhutan atau areal tidak berhutan didefinisikan sebagai bentuk penutupan lahan berupa: (1) semak/belukar, (2) belukar rawa, (3) savanna/padang rumput, (4) perkebunan, (5) pertanian lahan kering, (6) pertanian lahan kering campur semak, (7) transmigrasi, (8) sawah, (9) tambak, (10) tanah terbuka, (11) pertambangan, (12) pemukiman, (13) rawa, dan (14) pelabuhan udara/laut (Pusat Inventarisasi dan Perpetaan Kehutanan, 2008).

Dari ke 14 kategori deforestasi tersebut, savanna/padang rumput (3) dan (rawa (13) tidak dapat dikategorikan sebagai hasil konversi hutan primer (deforestasi) selama savanna/padang rumput dan rawa merupakan suatu ekosistem tersendiri yang berbeda dengan ekosistem hutan primer. Sebaliknya semak/belukar (1), belukar rawa (2) dan tanah terbuka (10) dapat dikategorikan sebagai deforestasi selama semak/belukar, belukar rawa dan tanah terbuka merupakan bekas pembalakan hutan berlebihan, yang menyebabkan hilangnya tutupan hutan namun alih fungsi lahan

(2)

belum jelas. Demikian pula dengan areal transmigrasi dapat dibedakan ke dalam lahan pertanian, perkebunan, hutan tanaman dan pemukiman, sehingga alih fungsi lahan areal transmigrasi juga belum struktur penggunaan yang jelas.

Dengan demikian, areal deforestasi yang memiliki alih fungsi hutan secara jelas adalah: perkebunan (4), pertanian lahan kering (5), pertanian lahan kering campur semak (6), sawah (8), tambak (9), pertambangan (11), pemukiman (12), dan pelabuhan udara/laut (14). Delapan komponen nonhutan ini dapat disederhanakan ke dalam 6 komponen, yaitu: (1) perkebunan, (2) pertanian, yang mencakup pertanian lahan kering, pertanian lahan kering campur semak, dan sawah, (3) perikanan (tambak), (4) pertambangan, (5) pemukiman, dan (6) pelabuhan (udara/laut). Dalam penelitian pengertian hutan merujuk pada hutan alam sehingga hutan tanaman industri (HTI) dimasukkan sebagai komponen deforestasi, karena merupakan hasil konversi hutan alam. Dengan memasukkan areal HTI, terdapat 7 komponen deforestasi yang memiliki pengertian alih fungsi hutan secara jelas.

Dari tujuh komponen deforestasi tersebut, komponen yang paling sering didiskusikan adalah komponen pertanian, perkebunan, HTI, dan pertambangan. Komponen pertanian, khususnya tanaman pangan, dan komponen perkebunan, terutama karet dan sawit. Untuk penyederhanaan, areal deforestasi yang dianalisis meliputi: (1) tanaman pangan (padi), (2) tanaman karet, (3) tanaman sawit, dan (4) HTI (Gambar 14). Total luas keempat komponen deforestasi tersebut adalah 31.8 juta ha. Komponen terluas adalah areal tanaman padi (11.5 juta ha), kemudian disusul oleh HTI (9.0 juta ha), dan sawit (7.8 juta ha). Luas tanaman karet adalah 3.5 juta ha.

Deforestasi yang terjadi pada dasarnya disebabkan oleh kebijakan pemerintah berkaitan dengan pencapaian tujuan-tujuan pembangunan nasional, terutama pembangunan ekonomi. Dalam pengertian pemerintah bertindak sebagai agen yang

(3)

menetapkan luasan lahan hutan yang dikonversi untuk penggunaan lain melalui kebijakan alih fungsi hutan (pelepasan areal) atau pinjam pakai atau tukar menukar. Hal ini juga tercermin dalam kebijakan yang membagi kawasan hutan (70.5 % dari luas daratan Indonesia) di samping ditetapkan sebagai hutan konservasi, dan hutan produksi tetap dan terbatas, ditetapkan juga sebagai hutan produksi konversi.

Pembalakan Hutan Alam Primer

Logged Over Area (LOA)

Reboisasi

Deforestasi Degradasi Hutan Degradasi Hutan

Tanaman Karet Tanaman Sawit Hutan Tanaman Industri Tanaman Pangan

Gambar 14. Proses Degradasi dan Deforestasi pada Hutan Alam

Penetapan hutan produksi konversi bertujuan untuk memberikan kesempatan bagi pengembangan sektor-sektor lain yang membutuhkan areal pengembangan. Kebutuhan areal untuk mewujudkan swasembada dan ketahanan pangan mendorong pemerintah perlu mencetak areal persawahan, kebijakan makroekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan mendorong pentingnya peningkatan produksi semua sektor, termasuk perkebunan, kehutanan, dan pertambangan.

Dalam kasus konversi hutan untuk perkebunan dan HTI (Hutan Tanaman Industri), hasil penelitian Kartodihardjo dan Supriono (2000) menemukan: (1)

(4)

kebijakan pembangunan HTI melegitimasi dan mendorong kerusakan hutan alam; (2) subsidi bagi pembangunan HTI sebenarnya tidak diperlukan; (3) pembangunan perkebunan telah mengkonversi lebih banyak lahan daripada yang dibutuhkan untuk mendapatkan tambahan keuntungan dari kayu hasil pembukaan lahan; (4) sistem klasifikasi penggunaan lahan hutan yang tumpang tindih dan tidak kunjung dapat diselesaikan telah menjadi sumber keuntungan bagi para pengembang melalui lepasnya hak-hak masyarakat dan semakin memburuknya kehidupan mereka yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan; dan (5) pemecahan masalah ini dihambat oleh kaku dan kuatnya pendekatan top-down serta tidak adanya pengakuan bagi hak-hak masyarakat adat terhadap lahan hutan.

Sedjo (1992) dan Vincent (1990) dalam Soedomo (2003) menyimpulkan bahwa kinerja finansial yang inferior dalam pengelolaan hutan telah dipercayai menjadi penyebab utama deforestasi di daerah tropis. Kenyataan menunjukkan konversi hutan (deforestasi) awalnya dimungkinkan pada hutan primer (virgin forest) namun dalam perkembangannya hanya boleh pada logged over area (LOA). Dalam kasus konversi hutan dilakukan pada hutan primer, proses menuju areal penggunaan lain (deforestasi) selalu melalui kondisi LOA (Gambar 14), karena hutan harus ditebang agar dapat dimanfaatkan untuk penggunaan lain, meskipun tidak jarang terjadi setelah penebangan selesai kegiatan penggunaan lain tidak pernah direalisasikan dan areal LOA ditinggalkan tanpa pengelolaan.

Berdasarkan izin yang diberikan oleh pemerintah, LOA dapat dibedakan ke dalam dua golongan, yaitu: (1) LOA akibat penebangan dengan tujuan komersial yang dilakukan oleh pemegang konsesi berdasarkan Izin Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Alam (IUPHHK-HA/HPH), dan (2) LOA akibat penebangan dengan tujuan alih fungsi hutan yang dilakukan oleh kontraktor penebangan

(5)

berdasarkan Izin Pemanfaatan Kayu (IPK). Penebangan dengan dasar IPK pada LOA dapat dibedakan ke dalam dua golongan, yaitu: (1) penebangan pada LOA untuk tujuan alih fungsi ke areal penggunaan lain, dan (2) penebangan atau pembalakan pada LOA untuk tujuan konversi menjadi hutan tanaman.

Meskipun pemerintah bertindak sebagai agen yang menetapkan luasan lahan hutan yang dikonversi untuk penggunaan lain melalui kebijakan alih fungsi hutan (pelepasan areal) atau pinjam pakai atau tukar menukar, keputusan pemerintah untuk merespon tekanan pelepasan areal bergantung pada kinerja sektor-sektor ekonomi yang bersangkutan. Kinerja sektor-sektor ekonomi dipengaruhi oleh penawaran dan permintaan pasar komoditas masing-masing sektor. Komoditas pangan lebih berorientasi pada permintaan dalam negeri dibanding ekspor, sementara komoditas karet, sawit dan pulp lebih berotientasi ekspor. Oleh karenanya peningkatan kebutuhan areal untuk meningkatkan produksi sebagai upaya memenuhi permintaan komoditas pangan lebih ditentukan oleh perkembangan permintaan dalam negeri, sementara untuk komoditas karet, sawit dan pulp lebih ditentukan oleh permintaan ekspor. Gambar 15 menjelaskan hubungan antara permintaan pasar komoditas pangan, karet, sawit dan pulp dengan deforestasi. Pada Gambar 15 terlihat bahwa peningkatan permintaan pasar akan mendorong peningkatan produksi dan peningkatan produksi akan meningkatkan kebutuhan lahan. Peningkatan kebutuhan lahan akhirnya akan meningkatkan deforestasi.

(6)

Logged Over Area (LOA)

Deforestasi

Degradasi Hutan Degradasi Hutan

ATKR ATSW AHTI ATPN QKR QBSW QWC QPN DKR QMSWW QWP DPN Keterangan:

A = Luas Areal; Q = Produksi; D = Permintaan; TPN = Tanaman Pangan; PN=Pangan; TKR = Tanaman Karet; KR = Karet; TSW = Tanaman Sawit; BSW = Buah Sawit; MSW = Minyak Sawit; HTI = Hutan Tanaman Industri; KHTI = Kayu HTI; WC = Serpih Kayu; WP = Pulp.  

DMSW DWP

QKHTI

Gambar 15. Hubungan antara Permintaan Pasar Pangan, Karet, Minyak Sawit dan Pulp dengan Deforestasi

Menurut Ferreira (2004) kebanyakan negara-negara berkembang memiliki kelemahan kelembagaan (institutional weakness), terutama hak kepemilikan (property rights), dan keterbatasan peraturan peundangan (rule of law). Bahkan dalam kondisi hutan sebagai hak milik, terdapat kelemahan penegakan hak kepemilikan, misalnya, dalam bentuk expropriation risk, yang diterjemahkan menjadi discount rates tinggi sehingga menekan investasi hutan, menekan petani meningkatkan intensitas pemeliharaan hutan dan meningkatkan frekuensi pemanenan hutan.

(7)

3.2. Degradasi Hutan

Pada Gambar 14 terlihat bahwa deforestasi dimulai dari pembalakan hutan primer (virgin forest). Pembalakan hutan primer menyebabkan hutan tidak menjadi virgin lagi. Areal bekas tebangan dinamakan logged over area (LOA). Apakah areal LOA termasuk ke dalam hutan yang terdegradasi atau tidak bergantung pada definisi yang digunakan. Bagi kalangan yang hanya tertarik pada peranan hutan, khususnya hutan alam sebagai penyerap karbondioksida, LOA dapat dikategorikan sebagai hutan yang terdegradasi, karena berkurangnya jumlah pohon menyebabkan berkurangnya fungsi daya serap hutan terhadap CO2. Jika hutannya dikelola secara berkelanjutan,

maka fungsi penyerap CO2 dapat stabil atau berkelanjutan, karena jumlah pohon yang

ditebang tiap tahun selalu tergantikan.

Intergovernmental Panel on Climate Changes (IPPC), termasuk kalangan yang lebih menekankan fungsi hutan sebagai pemroses CO2. Intergovernmental Panel on Climate Changes (IPCC 2003a dalam Murdiyarso et al 2008) mendefinisikan degradasi hutan sebagai “kehilangan setidaknya Y% stok karbon (dan nilai hutan) dalam jangka waktu lama (selama setdaknya X tahun) sejak waktu T yang disebabkan kegiatan manusia dan tidak dianggap sebagai deforestasi (IPCC 2003a dalam Murdiyarso et al 2008).

Menurut GOFC-GOLD (2008) dalam Murdiyarso et al 2008, kegiatan yang biasa menjadi penyebab degradasi hutan di daerah tropis meliputi: (1) tebang pilih, (2) kebakaran hutan terbuka dan dalam skala luas, (3) pengumpulan hasil hutan nonkayu dan kayu bakar, dan (4) produksi arang, pengembalaan, kebakaran tegakan bawah dan perladangan berpindah. Namun dua dari 4 faktor tersebut, yaitu faktor penyebab (1) dan (3) kurang dapat diterima oleh kalangan yang tertarik dengan fungsi hutan sebagai penghasil barang dan jasa untuk kesejahteraan.

(8)

Definisi IPPC tersebut lebih menekankan peranan hutan sebagai penyerap karbondioksida. Terdapat definisi lain yang lebih mengartikan degradasi hutan dari sisi fungsi hutan sebagai pencegah erosi. Dengan menekankan pada aspek erosi, maka kondisi LOA yang menimbulkan erosi tinggi dapat dikategorikan sebagai hutan yang terdegradasi. Selain kedua definisi tersebut, terdapat definisi lain, yaitu yang lebih menekankan pada aspek kelayakan finansial usaha. Dengan menekankan pada aspek kelayakan usaha, LOA akan dikategorikan terdegradasi jika potensi hutannya dinilai terlalu rendah atau tidak memenuhi standar kelayakan finansial usaha. Terkait dengan definisi ini, terdapat pandangan yang menjelaskan bahwa hutan dikatakan terdegrasi jika struktur tegakan hutannya tidak dapat dipanen secara lestari. Pemanenan secara lestari membutuhkan managemen untuk menata struktur tegakannya agar kembali lestari.

Mengacu pada beberapa definisi atau pengertian tersebut, definisi degradasi hutan di sini lebih membatasi pengertian degradasi hutan yang terjadi pada hutan alam produksi, bukan pada hutan tanaman, hutan lindung atau hutan konservasi. Degradasi hutan diartikan sebagai perubahan kondisi hutan primer akibat penebangan yang melebihi potensi lestari hutan. Dengan pengertian ini, areal bekas penebangan (LOA) dikategorikan sebagai hutan terdegradasi, karena kenyataan menunjukkan best practice pengelolaan hutan alam produksi belum terwujud di lapangan.

Hasil penelitian Ismanto (2010) dengan pendekatan S-P-K (struktur-perilaku-kinerja) menunjukkan fenomena tersebut. Sebagian besar perusahaan tidak menempatkan praktek-praktek pengelolaan hutan lestari sebagai prioritas kegiatan; kurang dari 10 persen perusahaan penerima IUPPHHK (HPH) yang mempunyai komitmen terhadap pengelolaan hutan. Tingkat kerusakan tegakan tinggal tergolong cukup tinggi, yang disebabkan oleh perilaku dalam praktek produksi kayu yang tidak

(9)

sesuai dengan aturan dan rencana; 77.5% perusahaan mempunyai rentabilitas tidak baik, yang berarti sebagian besar perusahaan melaporkan perusahaannya mengalami kerugian.

Logged Over Area (LOA)

Reboisasi

Deforestasi Degradasi Hutan Degradasi Hutan

AHPH QKHA DKHA DKHA DKHA QWP QKG QKL DWP DKG DKL Keterangan:

A = Luas Areal ; HPH = Hak Pengusahaan Hutan; Q = Produksi; D = Permintaan; KHA = Kayu Hutan Alam; KL = Kayu Lapis; KG = Kayu Gergajian; WP = Pulp    

Gambar 16. Hubungan antara Permintaan Pasar Kayu Lapis, Kayu Gergajian dan Pulp dengan Degradasi Hutan

Gambar 16 menjelaskan hubungan antara permintaan pasar kayu lapis, kayu olahan dan pulp dengan degradasi hutan. Pada Gambar 16 terlihat bahwa peningkatan permintaan pasar akan mendorong peningkatan produksi kayu bulat dan peningkatan produksi kayu bulat akan meningkatkan luas tebangan hutan alam. Peningkatan luas tebangan hutan alam akhirnya akan meningkatkan LOA, yang berarti meningkatkan degradasi hutan.

(10)

3.3. Pengaruh Kebijakan Makroekonomi

Kebijakan makroekonomi meliputi kebijakan fiskal dan kebijakan moneter. Kebijakan makroekonomi (fiskal dan moneter) mempengaruhi pertumbuhan sektor– sektor ekonomi, termasuk tanaman pangan, perkebunan, dan kehutanan. Pertumbuhan produksi dan perdagangan hasil tanaman pangan, perkebunan dan hasil hutan tanaman selanjutnya mempengaruhi deforestasi (Gambar 15) dan hasil hutan alam selanjutnya mempengaruhi degradasi hutan (Gambar 16). Konsekuensinya, sumberdaya hutan (primer) mendapatkan dua tekanan, yaitu: (1) tekanan permintaan pasar komoditas kehutanan (kayu lapis, kayu gergajian, pulp), dan tekanan permintaan pasar komoditas pangan dan perkebunan (karet, sawit), serta komoditas yang lain (pertambangan) (tidak tercantum dalam gambar).

3.3.1. Pengaruh Kebijakan Fiskal

Dari sisi fiskal, pemerintah mempengaruhi kinerja makroekonomi dengan instrumen kebijakan pengaturan penerimaan dan pengeluaran anggaran. Kebijakan fiskal mempengaruhi deforestasi dan degradasi hutan melalui pengaruhnya terhadap produksi dan perdagangan sektor-sektor ekonomi yang berkontribusi terhadap deforestasi dan degradasi hutan. Untuk penyederhanaan analisis dilakukan untuk tanaman pangan: padi; perkebunan: karet dan sawit; dan kehutanan: HTI dan HPH (Hak Pengusahaan Hutan Alam).

Pengenaan pajak dan bukan pajak di satu sisi, dan pemberian subsidi di sisi lain, terhadap sektor-sektor ekonomi akan mempengaruhi deforestasi dan degradasi hutan. Kebijakan fiskal mempengaruhi harga input: suku bunga, harga BBM (bahan bakar minyak), harga pupuk, dan upah tenaga kerja, serta mempengaruhi harga output melalui pajak pada harga ekspor dan tarif impor pangan, karet, sawit, dan kayu.

(11)

3.3.1.1. Pengaruh Penerimaan Negara

Struktur penerimaan negara disajikan pada Gambar 17. Pada Gambar 17 terlihat bahwa dari sisi penerimaan negara, pemerintah dapat mempengaruhi sektor-sektor ekonomi, termasuk tanaman pangan, perkebunan, dan kehutanan melalui instrumen pajak dan bukan pajak. Instrumen pajak dan bukan pajak dapat dikenakan pada kegiatan produksi, konsumsi, dan perdagangan internasional (ekspor dan impor). Pengenaan pajak dan bukan pajak akan menekan kinerja sektor-sektor ekonomi, dan sebaliknya membebaskan pengenaan pajak dan bukan pajak akan merangsang kinerja sektor-sektor ekonomi, termasuk pangan, perkebunan, dan kehutanan.

Pengaruh penerimaan negara terhadap deforestasi dan degradasi hutan adalah tidak langsung melalui pengaruhnya terhadap kinerja sektor-sektor ekonomi, termasuk tanaman pangan, perkebunan dan kehutanan. Pengaruh penerimaan yang mungkin dapat diananalisis adalah pengaruh penerimaan pajak dalam negeri, yaitu: pajak perdagangan internasional, yang meliputi: pajak ekspor dan tarif impor, dan penerimaan bukan pajak, yang meliputi: PSDH (untuk hutan tanaman dan hutan alam) dan DR (Dana Reboisasi). Pengaruh penerimaannya dapat dianalisis melalui pengaruhnya terhadap kegiatan produksi dan perdagangan pangan, karet, sawit, kayu, dan produk-produk turunannya.

(12)

Sumber: Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Penerimaan Negara

Penerimaan Pajak Penerimaan Bukan Pajak

Pajak Dalam Negeri Pajak Perdagangan Internasional PPh  PPN  PBB  BPHTB  Cukai  Pajak Lain 

Bea Masuk  Bea Masuk 

PSDA Bagian Laba BUMN Pendapatan BLU PNBP Lain Migas  Nonmigas  Pertambangan Umum  Kehutanan Perikanan  Panas Bumi

Migas  Gas Alam 

Gambar 17. Struktur dan Komponen Penerimaan Negara

3.3.1.2. Pengaruh Pengeluaran Negara

Struktur pengeluaran negara disajikan pada Gambar 18. Pada Gambar 18 terlihat bahwa dari sisi pengeluaran negara, pemerintah dapat mempengaruhi sektor-sektor ekonomi, termasuk tanaman pangan, perkebunan dan kehutanan melalui kebijakan pengeluaran negara. Pengeluaran yang lebih pada pembayaran hutang dapat menurunkan subsidi dan/atau belanja pemerintah. Demikian pula pengeluaran yang lebih pada subsidi dapat mengurangi pembayaran hutang dan/atau belanja pemerintah. Pengeluaran yang lebih pada belanja pemerintah akan mnurunkan kemampuan pembayaran hutang dan/atau subsidi. Pemerintah mengatur sedemikian

(13)

rupa sehingga dicapai sasaran-sasaran pembangunan, yaitu terdapat keseimbangan

yang berarti bagi masing-masing pengeluaran sesuai tujuan pembangunan. Kebijakan pengeluaran negara secara tidak langsung mempengaruhi deforestasi

dan degradasi hutan alam melalui pengaruhnya terhadap pemberian subsidi dan belanja pemerintah. Pemberian subsidi BBM berpengaruh pada harga BBM yang dibutuhkan untuk kegiatan produksi dan transportasi, sedangkan belanja modal antara lain untuk pembangunan infrastruktur transportasi yang dapat meningkatkan efisiensi kegiatan-kegiatan ekonomi, termasuk tanaman pangan, perkebunan, dan kehutanan.

Dengan demikian pengaruh kebijakan fiskal dapat dianalisis melalui beragam instrumen, termasuk instrumen subsidi. Struktur dan komponen subsidi pemerintah disajikan pada Gambar 19. Pada Gambar 19 terlihat bahwa subsidi energi meliputi: (1) subsidi BBM dan (2) subsidi listrik. Subsidi nonenergi memiliki 9 komponen. Empat komponen yang pertama meliputi: (1) pangan, ( 2) pupuk, (3) benih, dan (4) kredit program. Lima komponen yang terakhir meliputi: (1) PSO (Public Service Obligation), (2) minyak goreng, (3) pajak, (4) kedelai, dan (5) subsidi lain. Subsidi pangan, kedelai, minyak goreng dan pajak akan menaikkan konsumsi, khususnya konsumsi pangan.

Subsidi BBM dan listrik serta pupuk mempengaruhi produksi tanaman pangan, perkebunan, dan kehutanan. Sedangkan subsidi benih dan kredit program mempengaruhi produksi, khususnya produksi pangan dan perkebunan, karena keduanya yang menerima subsidi tersebut. Komponen subsidi yang sering mendapatkan perhatian publik adalah: (1) subsidi BBM, (3) harga pupuk, (3) suku bunga (kredit program), dan (4) HPP gabah kering giling.

(14)

Sumber: Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Pengeluaran Negara

Pembayaran Bunga Hutang Hutang DN Hutang LN Subsidi Energi Nonenergi Belanja Pegawai Belanja Barang Belanja Modal Belanja Hibah Bantuan Sosial ¾ Bencana ¾ Bantuan K/L Belanja Lain Gambar 18. Struktur dan Komponen Pengeluaran Negara

3.3.2. Pengaruh Kebijakan Moneter

Dari sisi moneter, otoritas moneter (Bank Sentral Indonesia) mempengaruhi kinerja makroekonomi melalui instrumen kebijakan pengendalian money supply (MS). Ketika uang yang beredar di masyarakat untuk bertransaksi (money demand) berlebihan, yang dikhawatirkan menyebabkan inflasi, Bank Sentral Indonesia (BI) mengabsorbsi uang beredar yang berlebihan, sehingga kembali sama dengan money supply dengan menaikkan suku bunga. Sebaliknya ketika masyarakat diperkirakan membutuhkan uang yang lebih untuk bertransaksi, BI menurunkan suku bunga dengan meningkatkan money supply.

(15)

Sumber: Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Subsidi

Energi Nonenergi

Subsidi BBM Subsidi Listrik

Pangan Pupuk Benih Pajak Kdelai Lainnya PSO Kredit Program Minyak Goreng

Gambar 19. Struktur dan Komponen Subsidi Negara

Menurut Bank Indonesia, tujuan akhir kebijakan moneter adalah menjaga dan memelihara kestabilan nilai rupiah yang salah satunya tercermin dari tingkat inflasi yang rendah dan stabil. Untuk mencapai tujuan itu Bank Indonesia menetapkan suku bunga kebijakan BI Rate sebagai instrumen kebijakan utama untuk mempengaruhi aktivitas kegiatan perekonomian dengan tujuan akhir pencapaian target inflasi. Perubahan BI Rate mempengaruhi inflasi melalui berbagai jalur, diantaranya jalur suku bunga, jalur kredit, jalur nilai tukar, jalur harga aset, dan jalur ekspektasi (Gambar 20).

Guna memahami pengaruh kebijakan moneter terhadap deforestasi dan degradasi hutan, jalur suku bunga dan jalur nilai tukar yang lebih ditekankan, karena akan langsung mempengaruhi suku bunga sebagai harga kapital, dan harga ekspor dan impor pangan, karet, sawit, pulp dan kayu.

(16)

Sumber: Bank Indonesia

Inflasi BI Rate

Suku Bunga Deposito & Kredit

Kredit yang Disalurkan Harga Aset (Obligasi & Saham

Nilai Tukar Ekspekatasi Konsumsi Investasi Ekspor PDB Feedback

Gambar 20. Saluran dan Mekanisme Pengaruh BI Rate terhadap Aktivitas Ekonomi Dampak kebijakan moneter terhadap deforestasi, khususnya untuk perluasan areal tanaman pangan, karet, dan sawit, melalui saluran suku bunga dihipotesiskan lebih kecil dibanding dampak kebijakan fiskal melalui subsidi kredit program; subsidi kredit program mengisolasi diri dari pengaruh kebijakan moneter. Namun dampaknya terhadap deforestasi oleh HTI, dan degradasi hutan mungkin lebih besar. Dampaknya melalui saluran nilai tukar bergantung pada pengaruhnya terhadap harga ekspor dan impor.

3.4. Pengaruh Faktor Eksternal

Faktor eksternal yang dapat dianalisis meliputi: suku bunga dunia, dan harga minyak mentah dunia. Pengaruh harga minyak terhadap perekonomian dapat dianalisis dari dua sisi, yaitu: sisi supply, dan sisi demand. Dari sisi supply, hasil analisis antara lain Estrada dan de Cos (2009) menunjukkan bahwa kenaikan

(17)

(permanen) harga minyak dapat secara signifikan mengurangi output potensial. Dari sisi demand, antara lain Aliyu (2009) menunjukkan bahwa harga minyak dunia mempengaruhi PDB (Produk Domestik Bruto) riil di Nigeria. Dari sisi demand, kenaikan harga minyak dunia mempengaruhi kondisi makroekonomi melalui beberapa saluran antara lain neraca pembayaran, dan defisit anggaran.

Bagi negara pengimpor, kenaikan harga minyak mentah dunia akan menyebabkan neraca pembayaran mengalami penurunan, yang pada gilirannya menyebabkan tekanan pada nilai tukar. Depresiasi nilai tukar akan menyebabkan impor menjadi lebih mahal, dan ekspor menjadi lebih murah. Penurunan impor di satu sisi dan kenaikan ekspor di sisi lain, pada akhirnya memperbaiki neraca pembayaran kembali jika negara yang bersangkutan mengadopsi sistem nilai tukar mengambang (floatimg exchange rate).

Melalui saluran defisit anggaran, karena kenaikan harga minyak (BBM) akan menambah tambahan biaya subsidi BBM bagi negara yang mengadopsi kebijakan subsidi untuk memenuhi kebutuhan BBM dalam negeri. Indonesia telah sebagai net importir minyak sejak tahun 2004 (Surjadi, 2006). Sebagai net importer Indonesia masih mengadopsi kebijakan subsidi untuk memenuhi kebutuhan BBM dalam negeri. Pengaruh harga minyak dunia terhadap defisit anggaran dapat ditangkap dengan peubah subsidi BBM pada pengeluaran negara. Pemberian subsidi, termasuk BBM ditetapkan oleh pemerintah berdasarkan keputusan politik berdasarkan kemampuan penerimaan negara dan aspirasi politik dalam masyarakat.

Pengaruh harga minyak dunia melalui saluran ekspor dan impor dapat ditangkap dengan memasukkan harga minyak dunia ke dalam perilaku ekspor dan impor pada tingkat makro, dan pada tingkat mikro pada perilaku ekspor dan impor sektor deforestasi dan degradasi hutan. Sedangkan pengaruh suku bunga dunia dapat

(18)

ditangkap dengan memasukkan suku bunga dunia sebagai faktor eksogen yang mempengaruhi suku bunga pasar dan nilai tukar.

3.5. Konstruksi Model Ekonomi Deforestasi dan Degradasi Hutan

Untuk menghindari kompleksitas permasalahan dan memudahkan pemahaman, maka model yang dibangun dibagi ke dalam tiga blok, yaitu: (1) blok makroekonomi, (2) blok deforestasi, dan (3) blok degradasi hutan.

3.5.1. Blok Makroekonomi

Pendekatan makroekonomi yang digunakan adalah pendekatan sisi permintaan output agregat. Dari sisi pengeluaran, output agregat atau Produk Domestik Bruto (Yt)9 dituliskan:

Yt = Ct + It + Gt + NXt ..………...………….……… (1)

di mana

Yt = output agregat atau Produk Domestik Bruto (PDB)

Ct = Konsumsi rumah tangga

It = Investasi swasta

Gt = Pengeluaran pemerintah

NXt = Ekspor bersih (ekspor minus impor)

Merujuk teori, konsumsi dipengaruhi secara positif oleh pendapatan dibelanjakan (YDt; YDt=Yt-Tt; Tt=penerimaan pajak), dan negatif oleh suku bunga

riel (Rt), serta positif konsumsi satu tahun sebelumnya (Ct-1). Sedangkan investasi (It)

      

9 Melalui hubungan secara negatif antara pengeluaran (pendapatan) agregat (Y

t) dan suku bunga

dapat diturunkan kurva IS, yang menggambarkan pasar barang. Pada tingkat pendapatan tertentu, suku bunga yang lebih tinggi menurunkan permintaan barang, dan dalam hampir semua formulasi model, menurut Romer (2000), suku bunga yang lebih tinggi menurunkan permintaan investasi, dan dalam banyak kasus juga menurunkan konsumsi, serta dalam perekonomian terbuka dengan nilai tukar mengambang menyebabkan apresiasi nilai tukar sehingga menurunkan ekspor bersih.

(19)

dipengaruhi secara negatif oleh suku bunga riel (Rt), positif oleh PDB (Yt), negatif

oleh kondisi krisis (KRISISt)10, dan positif oleh investasi satu tahun sebelumnya (It-1).

Fungsi konsumsi dan investasi dituliskan:

Ct = C(YDt, Rt, Ct-1 ) ..………..………..…..……….………..…… (2)

It = I(Rt, Yt, KRISISt, It-1) ...……….……….…..………... (3)

Merujuk Fisher equation, suku bunga riel adalah suku bunga nominal (rt)

dikurangi inflasi (π) dituliskan:

Rt = rt - πt ……….……(4)

Pengeluaran pemerintah (Gt) dipengaruhi secara positif oleh penerimaan pajak

(Tt) dan pengeluaran pemerintah satu tahun sebelumnya (Gt-1). Untuk menangkap

pengaruh faktor eksternal, harga minyak dunia (oilPt), terhadap pengeluaran

pemerintah, harga minyak dunia dihipotesiskan berpengaruh secara positif, karena kenaikannya membebani pengeluaran pemerintah. Sedangkan penerimaan pajak (Tt)

dipengaruhi secara positif oleh PDB (Yt), dan negatif oleh suku bunga riel (Rt), serta

positif oleh penerimaan pajak satu tahun sebelumnya (Tt-1).

Fungsi Gt dan Tt dituliskan:

Gt = G(Tt, oilPt, Gt-1) ………...……… (5)

Tt = T(Yt, Rt, Tt-1) ………(6)

Blok makroekonomi bertujuan untuk menjelaskan bagaimana kebijakan makroekonomi dan faktor eksternal mempengaruhi deforestasi dan degradasi hutan alam. Pengaruh kebijakan makroekonomi dan faktor eksternal terhadap degradasi dan deforestasi hutan alam dapat melalui beberapa saluran. Terdapat empat saluran transmisi yang umum dipahami, yaitu: (1) saluran suku bunga (interest rate channel), (2) saluran kredit (credit channels), (3) saluran harga asset (asset channel), dan (4)

      

(20)

saluran nilai tukar (exchange rate channels) (Norrbin, 2000; Ireland, 2006). Dalam penelitian ini, dua saluran yang dianalisis, yaitu saluran suku bunga, dan saluran nilai tukar. Suku bunga mempengaruhi secara langsung deforestasi dan degradasi hutan melalui pengaruhnya terhadap harga kapital, sedangkan nilai tukar secara tidak langsung melalui pengaruhnya terhadap suku bunga, dan harga input dan output tradable. Dalam penelitian ini, pengaruh nilai tukar dianalisis dari pengaruhnya terhadap keseimbangan suku bunga. Perubahan nilai tukar mempengaruhi ekspor bersih, dan ekspor bersih mempengaruhi PDB, yang akhirnya mempengaruhi suku bunga.

Kebijakan makroekonomi yang dianalisis adalah kebijakan moneter, yaitu penawaran uang, dan kebijakan fiskal, yaitu pengeluaran pemerintah. Pengaruh penawaran uang terhadap deforestasi dan degradasi hutan alam dianalisis berdasarkan persamaan suku bunga. Merujuk teori, keseimbangan suku bunga dipengaruhi oleh penawaran dan permintaan uang. Penawaran uang dikendalikan oleh ototritas moneter (Bank Indonesia), sehingga pada Gambar 21, penawaran uang digambarkan sebagai kurva tegak lurus11. Sedangkan permintaan uang (untuk bertransaksi) dipengaruhi secara negatif oleh suku bunga sehingga pada Gambar 21 digambarkan sebagai kurva yang downward sloping. Titik potong antara kurva penawaran dan permintaan uang menunjukkan suku bunga keseimbangan (Gambar 21).

Pada Gambar 21, peningkatan penawaran uang ditunjukan oleh bergesernya kurva MS/P ke kanan dari MS0/P menjadi MS1/P. Jika permintaan uang tidak

berubah, maka suku bunga (r) akan menurun dari r0 ke r1. Merujuk teori, selain

      

11Dengan mengkaitkan dengan high-powered money (H), perilaku penawaran uang (MS) dapat

diturunkan. Fungsi penawaran uang: MS = u(r;k,cr)H (McCallum, 1989) di mana r=suku bunga, k= faktor proporsi terhadap deposit (k*deposit= required reserve), dan cr=rasio currency terhadap

checkable deposit. Dari fungsi tersebut, kurva MS adalah upward sloping terhadap r. Fungsi

tersebut mendeskripsikan berapa besar uang akan “dipasok” untuk besaran tertentu H, R, k, dan cr (McCallum, 1989). Untuk menghindari kompleksitas model, dalam penelitian ini penawaran uang diasumsikan eksogen.

(21)

dipengaruhi oleh suku bunga, permintaan uang juga dipengaruhi oleh pendapatan atau PDB (Yt). Pada Gambar 21, peningkatan PDB ditunjukkan oleh bergesernya kurva

permintaan uang ke atas dari L(r0, Y0) menjadi L(r0, Y1). Ketika Y meningkat dari Y0

[L(r0, Y0)] ke Y1 [L(r0, Y1)], maka pada suku bunga r0 akan terjadi excess money demand, karena MS/P tidak berubah. Keseimbangan suku bunga yang baru [MS/P = L(r2, Y1)] akan terbentuk pada suku bunga yang lebih tinggi, r2. Dengan kata lain,

kenaikan PDB akan menaikkan suku bunga (dari r0 ke r2)12.

Dengan demikian, peningkatan MS/P menurunkan dan peningkatan Yt

menaikkan suku bunga. Pengaruh pengeluaran pemerintah terhadap deforestasi dan degradasi hutan dianalisis secara tidak langsung melalui pengaruhnya terhadap Yt13.

Perilaku suku bunga nominal (rt

t t t t

t , suku bunga satu tahun sebelumnya (rt-1

t t

t-1

) dihipotesiskan dipengaruhi oleh penawaran uang (MS ), tingkat harga (IHK ), ekspektasi inflasi (πE), kondisi krisis (KRISIS ), regim

nilai tukar (FER )14 ). Sedangkan tingkat

harga umum (IHK ) dipengaruhi secara positif oleh produk domestik bruto(Y ), dan tingkat harga satu tahun sebelumnya (IHK ).

Fungsi suku bunga dan tingkat harga dituliskan:

rt = r(MSt ,IHKt, πEt, rt-1) ..………..………....……….…. (7)

IHKt = IHK (Yt, IHKt-1) ……… (8)

      

12Melalui hubungan secara positif antara suku bunga dan pendapatan agregat (PDB) dapat diturunkan

kurva LM, yang menggambarkan pasar uang (Romer, 2000).

13 Pengaruh pengeluaran pemerintah secara langsung tidak dianalisis. Pengaruh langsung G

t dapat

melalui beragam program pembangunan. Strand (2004) menyatakan bahwa pembangunan jalan di areal yang sebelumnya tidak dapat diakses (inaccessible areas) dapat menyebabkan tekanan lebih besar untuk mengekstraksi sumberdaya dan mengkonversi lahan menjadi penggunaan pertanian.

14 Peubah dummy di mana 0 = periode tahun dengan regim nilai tukar tetap (fixed exchange rate) dan 1

= periode tahun dengan regim nilai tukar mengambang (floating exchange rate) atau mengambang terkendali.

(22)

Sumber: Modifikasi dari Suranovic, 2008

L(r0,Y0)

Nilai Riel Uang r r0 r1 r2 MS1/P L(r2,Y1) MS0/P

Gambar 21. Pengaruh Penawaran Uang dan Pendapatan Agregat terhadap Suku Bunga

Faktor eksternal yang dianalisis adalah harga minyak mentah dunia (oilP), dan suku bunga riel rujukan Amerika Serikat, real Fedrate (Federal Fund Rate) (RUS). Pengaruh perubahan faktor eksternal harga MMD terhadap deforestasi dan degradasi hutan dianalisis secara tidak langsung melalui pengaruhnya terhadap ekspor dan impor. Nilai bersih ekspor (ekspor minus impor) mempengaruhi pertumbuhan eksonomi, dan pertumbuhan ekonomi kemudian mempengaruhi rt. Perubahan rt (atau

Rt) selanjutnya mempengaruhi deforestasi dan degradasi hutan alam.

Harga komoditas tradable, termasuk harga MMD (oilPt) mempengaruhi nilai

ekspor bersih (NXt). Selain dipengaruhi oleh harga MMD, ekspor bersih juga

dipengaruhi oleh nilai tukar (et). Sedangkan nilai tukar dipengaruhi oleh perbedaan

suku bunga riel di dalam negeri (Rt) dan luar negeri (RUSt)15, serta ekspor bersih16.

Dengan demikian pengaruh secara tidak langsung perubahan faktor eksternal Fedrate

      

15 RUS

t = rUSt – πUSt.

16 Huang dan Tseng (2010) menyatakan bahwa pengaruh harga minyak dunia terhadap nilai tukar

belum banyak diinvestigasi. Hasil analisis keduanya menunjukkan terdapat indikasi bahwa harga minyak dunia mempengaruhi nilai tukar mata uang, terutama yang dikaitkan dengan mata uang USD (dolar Amerika Serikat). Dalam penelitian ini, pengaruh harga minyak dunia terhadap nilai tukar dianalisis secara tidak langsung melalui pengaruhnya terhadap ekspor bersih.

(23)

terhadap deforestasi dan degradasi hutan dapat ditangkap melalui saluran nilai tukar. Ekspor bersih dihipotesiskan dipengaruhi positif oleh nilai tukar riel (Et)17, negatif

oleh Produk Domestik Bruto (Yt), , dan negatif oleh harga MMD (oilPt)18, serta positif

oleh ekspor bersih satu tahun sebelumnya. Sedangkan nilai tukar (et) dihipotesiskan

dipengaruhi negatif oleh uncovered interest rate parity (UIPt), negatif oleh nilai

ekspor bersih (NXt), positif oleh kondisi krisis (KRISISt) dan penawaran uang

(RMSt), serta positif oleh nilai tukar satu tahun sebelumnya.

Fungsi NXt dan et, serta persamaan identitas UIPt dituliskan:

NXt = NX (Et,Yt, oilPt, NXt-1) ...………..……... (9)

et = e( UIPt , NXt , KRISISt, MSt, et-1) ....……….…………..….….. (10)

UIPt = Rt - RUSt ……… (11)

Dengan model yang demikian, dampak kebijakan makroekonomi dan faktor eksternal terhadap deforestasi dan degradasi hutan alam dapat dianalisis. Pengaruh kebijakan makroekonomi dan perubahan faktor eksternal dapat diananlisis dengan memperhatikan pengaruhnya terhadap suku bunga dan nilai tukar. Peubah suku bunga mempengaruhi secara langsung tingkat deforestasi dan degradasi hutan. Sedangkan peubah makroekonomi yang lain, termasuk nilai tukar dan faktor eksternal mempengaruhi deforestasi dan degradasi hutan alam secara tidak langsung. Pengaruh nilai tukar terhadap deforestasi dan degradasi hutan alam dapat melalui saluran suku bunga dan dapat juga melalui saluran harga input dan/atau output tradable yang dihasilkan oleh agen deforestasi dan degradasi hutan19.

      

17E

t = et*IHKt/USCPIt; IHKt = Indeks Harga Konsumen; USCPIt = Indeks Harga Konsumen Amerika

Serikat.

18 Sejak tahun 2004 Indonesia sebagai net impoter minyak.

19 Dalam penelitian ini, pengaruh nilai tukar hanya dianalisis berdasarkan pengaruhnya pada suku

bunga; nilai tukar dalam blok deforestasi dan degradasi hutan diasumsikan eksogen dengan mengkonversi peubah harga komoditas dalam bentuk Rupiah. Pengaruh nilai tukar secara tidak langsung terhadap deforestasi dan degradasi hutan disisakan untuk penelitian lanjutan.

(24)

Dampak deforestasi dan degradasi hutan terhadap jumlah pengangguran tidak dianalisis dan disisakan untuk penelitian lanjutan namun dampak kebijakan makroekonomi dan perubahan faktor eksternal terhadap jumlah pengangguran dianalisis melalui saluran output (Yt). Penawaran tenaga kerja (LSt) atau jumlah

angkatan kerja secara empiris diasumsikan eksogen. Sedangkan permintaan tenaga kerja (LDt) secara empiris dihipotesiskan dipengaruhi secara negatif oleh upah riel

pekerja (Wt), dan positif oleh PDB (Yt), serta permintaan tenaga kerja satu tahun

sebelumnya (LDt-1). Kenaikan atau penurunan Yt akibat perubahan kebijakan

makroekonomi dan faktor eksternal akan menaikkan atau menurunkan jumlah pengangguran (ULt).

Fungsi LDt, dan hubungan identitas ULt dituliskan:

LDt = LD (Wt, Yt, LDt-1) …………...………….……..….……… (12)

ULt = LSt – LDt ………....………..……… (13)

3.5.2. Blok Deforestasi

Pengertian hutan di sini adalah pengertian hutan alam bukan hutan buatan (hutan tanaman). Deforestasi didefinisikan sebagai perubahan kondisi penutupan lahan dari kelas penutupan lahan kategori hutan (berhutan) menjadi kelas penutupan lahan kategori nonhutan (tidak berhutan) (Pusat Inventarisasi dan Perpetaan Kehutanan, 2008). Namun batasan deforestasi di sini lebih spesifik, yaitu merujuk pada hutan alam, sehingga areal HTI (Hutan Tanaman Industri) digolongkan ke dalam areal deforestasi (hutan alam). Selain HTI, tiga komponen deforestasi lain juga dikaji, yaitu: (1) tanaman pangan (padi), (2) tanaman karet, (3) dan tanaman sawit.

Dengan batasan tersebut dan teori permintaan input lahan, model permintaan lahan hutan alam dapat dibangun. Gambar 22 mengilustrasikan keseimbangan pasar lahan hutan alam. Pada Gambar 22 terlihat bahwa keseimbangan pasar dalam jangka

(25)

pendek terjadi di titik P dan dalam jangka panjang20 di titik K.Dalam jangka pendek penawaran lahan hutan (SLH) diasumsikan eksogen sehingga hanya faktor-faktor

selain harganya yang menggeser kurva permintaan lahan (DLHPD) ke kiri atau ke kanan menuju keseimbangan21. Pergeseran kurva DLHPD ke kiri menunjukkan penurunan luas areal produksi suatu komoditas dan sebaliknya pergeseran kurva DLHPD ke kanan menunjukkan peningkatan deforestasi. Jika kegiatan produksi yang diusahakan adalah produksi kayu hutan alam (melalui HPH), maka pergeseran kurva DLHPD ke kiri menunjukan degradasi hutan22. Dengan pemikiran tersebut spesifikasi model ekonomi deforestasi perubahan areal HTI, sawit, karet, dan padi, serta degradasi hutan alam areal HPH dibangun dan diestimasi.

Jika luas penggunaan lahan (deforestasi dan degradasi hutan) dapat dipandang sebagai persoalan permintaan input produksi, maka persoalan deforestasi dan degradasi hutan dapat dianalisis menggunakan perilaku ekonomi. Permintaan input dapat diturunkan dari perilaku perusahaan yang memaksimalkan keuntungan. Silberberg dan Suen (2001) menjelaskan bahwa jika fungsi produksi (untuk penyederhanaan menggunakan dua input produksi) dituliskan: y = f( x1, x2)

diinterpretasikan sebagai teknologi yang menghasilkan output maksimum dari penggunaan dua input produksi x1 seharga w1 dan x2 seharga w2, serta jika harga

      

20 Keseimbangan jangka panjang menunjukkan suatu kondisi di mana lahan telah dimanfaatkan

seluruhnya untuk kegiatan produksi sehingga perluasan lahan untuk produksi tidak dimungkinkan. Dalam jangka panjang, penawaran lahan hutan alam (primer) tidak dipengaruhi oleh harga lahan atau konstan sehingga berbentuk kurva tegak lurus (kurva SLH (Gambar 2). Sebaliknya keseimbangan

jangka pendek menunjukkan belum seluruh lahan hutan dimanfaatkan untuk kegiatan produksi sehingga perluasan areal untuk produksi masih dimungkinkan. Permintaan lahan (DLH) merupakan

permintaan input produksi suatu komoditas. 

21 Harga atau sewa lahan hutan dicerminkan (diturunkan) berdasarkani harga output yang dihasilkan

dari lahan yang diusahakan. Harga output di sini bergantung pada empirical evidence apakah harga output di tingkat farm gate (dalam kasus non-vertical integrated industry) atau di tingkat mill gate (dalam kasus vertical integrated industry).

22 Keseimbangan pasar kayu hutan alam lestari mensyaratkan dua asumsi: (1) property rights areal dan

tegakan hutan alam ditegakkan, dan (2) harga kayu hutan alam mencerminkan kelangkaan sumberdaya yang digunakan.

(26)

output adalah p dan fungsi tujuannya adalah total penerimaan dikurangi total biaya, maka pemaksimalan fungsi tujuannya adalah:

π = p f(x1, x2) – w1x1 – w2x2 ….………. (a) First order condition (FOC):

π1 π/ x1 = p f1 – w1 = 0 ..……… (b)

π2 = π/ x2 = p f2 – w2 = 0 ..……..……… (c) Second order condition (SOC):

f11 < 0; f22 < 0 ……….….……(d)

f11 f22 – f212 > 0 …….……….……….……….(e)

di mana

π = Keuntungan

f1 = Turunan pertama fungsi keuntungan terhadap x1 (marginal product x1)

f11 = Turunan kedua fungsi keuntungan terhadap x1

f2 = Turunan pertama fungsi keuntungan terhadap x2 (marginal product x2)

f22 = Turunan kedua fungsi keuntungan terhadap x2

f12= Turunan pertama dari f1 terhadap x2 (perubahan input x1 mempengaruhi

marginal product x1 dan marginal product x2)

f21= Turunan pertama dari f2 terhadap x1 (perubahan input x2 mempengaruhi

(27)

P K DLHPJ SLH ALH PLH PLHPJ PLHPD DLHPD ALHPJ ALHPD

Gambar 22. Keseimbangan Pasar Lahan Hutan Alam

Kondisi (a dan b) menyatakan bahwa keuntungan maksimum akan diperoleh ketika penggunaan input produksi mencapai titik di mana nilai marginal product-nya (pfi) sama dengan biaya untuk memperoleh tambahan unit input produksi yang

digunakan (wi). Kondisi (c) merupakan kondisi law of dimisnishing return, yang

menyatakan marginal product penggunaan suatu input akan menurun jika jumlah input yang digunakan bertambah. Kondisi (d) diperlukan, karena kondisi (c) sendiri tidak cukup untuk menjamin pencapaian posisi keuntungan maksimal; pengaruh lintas input perlu dipertimbangkan.

Secara lengkap FOC dapat dituliskan:

p f1(x1, x2) – w1 = 0 .………..……… (f)

p f2(x1, x2) – w2 = 0 ….…....……….……… (g)

Persamaan (f) dan (g) merupakan dua persamaan implisit yang memiliki lima peubah yang tidak diketahui, yaitu: x1, x2, w1, w2, dan p. Berdasarkan kondisi

tersebut, dua dari lima peubah dapat diselesaikan. Hasil penyelesaiannya dituliskan: x1 = f1*(w1, w2, p) ..………...………….……… (h)

(28)

Persamaan (h) dan (i) menunjukkan persamaan permintaan input produksi, yang menyatakan bahwa permintaan input dipengaruhi oleh harganya, harga input lain dan harga outputnya. Berdasarkan teori permintaan input diturunkan permintaan lahan hutan yang dinyatakan sebagai tingkat (laju) deforestasi untuk areal HTI, sawit, karet, dan padi.

3.5.2.1. Tingkat Deforestasi Hutan Alam untuk Areal HTI

Permintaan lahan untuk areal HTI lebih dari 50% digunakan untuk memproduksi pulp. Oleh karenanya fungsi permintaan input lahan yang digunakan adalah fungsi permintaan lahan oleh industri terintegrasi (integrated industry). Sebagai ouput adalah pulp, dan kayu HTI yang dihasilkan merupakan input bagi industri. Atas dasar fakta ini, tingkat deforestasi hutan alam untuk areal HTI (DFHTIt)

dihipotesiskan dipengaruhi secara positif oleh harga (ekspor) pulp (PP

       

XPULP

t), dan

secara negatif oleh harga kayu HTI (PKHTIt), suku bunga riel (R ), upah riel (W ),

harga riel bahan bakar minyak (P

t t

BBM t).

Fakta lain menunjukkan bahwa lahan hutan alam diperebutkan, terutama untuk areal sawit, karet, dan areal konsesi hutan alam23. Oleh karena itu tingkat deforestasi hutan alam untuk areal HTI dihipotesiskan dipengaruhi juga oleh harga ekspor karet (PXKRt), harga ekspor minyak sawit (PXMSWt), dan harga ekspor kayu

lapis (PXKLt). Harga ekspor minyak sawit dan kayu lapis dihipotesiskan berpengaruh

dengan hubungan fungsional yang negatif, tetapi harga ekspor karet berhubungan

 

23 Areal hutan alam produksi dibedakan ke dalam tiga kategori, yaitu: hutan produksi tetap, hutan

produksi terbatas, dan hutan dapat dikonversi. Meskipun demikian, fakta di lapangan menunjukkan persaingan penggunaannya tidak hanya terjadi di masing-masing kategori, tapi juga antar kategori. Dalam areal hutan produksi tetap dapat ditemukan areal sawit dan/atau karet, yang seharusnya hanya berlokasi di areal hutan dapat dikonversi, dan sebaliknya areal HPH dapat berada di areal yang dapat dikonversi yang memiliki potensi kayu per ha yang tinggi. Informasi lahan hutan alam yang terbatas serta property rights dan penegakan hukum yang lemah merupakan pemicu terjadinya konflik lahan hutan alam. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa terdapat persaingan penggunaan lahan hutan alam, terutama untuk areal HPH, HTI, sawit, dan karet di lapangan. 

(29)

positif, karena sejak tahun 1990an, pemerintah mengembangkan HTI-karet. Kebijakan pemerintah mempercepat pembangunan HTI dari tahun 2004 – 2009 (GPHTIt) juga dihipotesikan mempengaruhi secara positif tingkat deforestasi untuk

areal HTI. Dihipotesiskan luas areal HTI satu tahun sebelumnya (AHTIt-1) akan

mempengaruhi tingkat deforestasi secara negatif atau semakin luas areal HTI satu tahun sebelumnya semakin kecil tingkat deforestasi yang terjadi dan sebaliknya.

Fungsi DFHTI

t dituliskan:

DFHTIt = DF (PXPULPt, PKHTIt, Rt, Wt, PBBMt, PXKRt , PXMSWt , PXKLt, GPHTIt,

AHTIt-1) ...………..……….……… (14)

Dalam penelitian ini, harga output yang dihasilkan lahan deforestasi (untuk areal HTI) dibatasi hanya sampai harga kayu HTI, yang diperlakukan sebagai peubah endogen. Harga output turunannya (pulp dan kertas) diasumsikan eksogen. Merujuk teori, harga kayu HTI dipengaruhi oleh penawaran dan permintaannya24.

Penawarannya (SKHTIt) dipengaruhi secara positif oleh harganya (PP

       

KHTI t),

negatif oleh suku bunga (R ), upah (W ) dan harga BBM (Pt t BBMt), serta secara positif

oleh produktivitas HTI (qHTIt), luas areal HTI (AHTIt), dan penawaran kayu HTI satu

tahun sebelumnya (SKHTI

t-1)25. Fungsi penawaran kayu HTI (SKHTIt) dituliskan:

SKHTIt = S(PKHTIt, Rt, Wt, PBBMt, qHTIt, AHTIt, QKHTIt-1) ...…….….……… (15)

Sebagai derived demand, permintaan kayu HTI oleh industri pulp (DKHTIt)

dihipotesiskan dipengaruhi oleh harganya, harga ekspor pulp (PXPULPt), suku bunga

(Rt), upah (Wt), harga BBM (PBBMt), dan PDB (Yt), serta permintaan satu tahun

 

24 Persamaan (h) dan (i) juga berlaku untuk permintaan input industri pengolahan (pulp, kayu lapis,

kayu gergajian, minyak sawit, dan karet). Dengan memasukan permintaan input ke dalam fungsi produksi [y = f(x1, x2) ] dapat diturunkan fungsi penawaran output, yang menyatakan penawaran

dipengaruhi oleh harga output, harga input, dan faktor-faktor lainnya).

25Deforestasi berarti peningkatan produksi, sehingga pengaruh deforestasi sebenarnya dapat dideteksi

dengan memasukkan atau menggantikan peubah produkstivitas dan luas areal dengan tingkat deforestasi, misalnya jika HTI akan ditebang setelah umur 5 tahun, maka dengan asumsi tiap tahun terjadi deforestasi, pengaruh deforestasi 5 tahun sebelumnya dapat dihipotesiskan akan berpengaruh secara positif terhadap penawaran kayu HTI. Untuk itu memerlukan data deret waktu yang cukup panjang.

(30)

sebelumnya (DKHTIt-1). Faktor-faktor kecuali harga ekspor pulp dan PDB berhubungan

negatif dengan permintaan kayu HTI, sedangkan harga ekspor pulp dan PDB berhubungan positif. Fungsi permintaan kayu HTI dituliskan:

DKHTIt = D(PP

KHTI

t, R , W , Pt t BBMt, PXPULPt, Y , Dt KHTIt-1)………..……… (16)

Harga kayu HTI dipengaruhi oleh harga ekspor pulp (PXPULPt), harga kayu

hutan alam (PKHAt), dan penawaran kayu HTI (SKHTIt), serta harga kayu HTI satu

tahun sebelumnya. Keseimbangan pasar kayu HTI (Gambar 23) dan fungsi harga kayu HTI dituliskan:

SKHTIt = DKHTIt ………..……….…..……….. (17)

PP

KHTI

t = P(PXPULPt, PKHAt, SKHTIt, PKHTIt-1) ………. (18)

DKHTI QKHTI PKHTI PKHTI 0 QKHTI0 SKHTI

Gambar 23. Keseimbangan Pasar Kayu HTI

3.5.2.2. Tingkat Deforestasi untuk Areal Sawit

Indonesia merupakan produsen sawit terbesar setelah Malaysia. Produksi sawit Indonesia berorientasi pada pasar ekspor, dan impor minyak sawit sangat kecil.

(31)

Seperti kasus pulp, permintaan lahan hutan alam untuk areal sawit diasumsikan merupakan permintaan industri terintegrasi minyak sawit26. Dengan demikian tingkat

deforestasi hutan alam untuk areal sawit (DFSWt) dipengaruhi secara positif oleh harga

ekspor minyak sawit (PXMSWt), dan negatif oleh harga buah sawit (PBSWt), suku bunga

(Rt), upah (Wt), harga BBM (PBBMt) dan luas areal sawit satu tahun sebelumnya

(ATSWt-1). Selain itu DFSWt juga dipengaruhi oleh harga kayu HTI (PKHTIt) dan harga

kayu hutan alam (PKHA

t). Harga kayu HTI mempengaruhi secara negatif, karena fakta

persaingan permintaan lahan hutan alam, tetapi harga kayu hutan alam secara positif. Dalam kondisi property rights yang belum clear and clean serta penegakan hukum yang lemah, PKHAt yang lebih tinggi memberikan insentif terhadap rent seeker

pengembangan areal sawit, yaitu: (1) windfall profit atas penebangan kayu, dan (2) pengurangan biaya landclearing karena penebangan kayu yang dilakukan. Fakta ini menyebabkan PKHAt berpengaruh positif terhadap tingkat deforestasi hutan alam

untuk areal sawit27.

Fungsi DFSWt dituliskan:

DFSW

t = DF(PXMSWt, PBSWt, Rt, Wt, PBBMt, PKHTIt , PKHAt, ATSWt-1) ………… (19)

Seperti kayu HTI, harga output yang dihasilkan lahan deforestasi (untuk areal sawit) dibatasi hanya sampai harga buah sawit, yang diperlakukan sebagai peubah

      

26 Pada tahun 2008, luas areal sawit perkebunan besar adalah 60.9% dari total areal sawit 7.4 juta ha. 27 Manurung (2001) menyatakan “konversi hutan alam untuk pembangunan perkebunan kelapa sawit

terus berlangsung sampai saat ini walaupun di Indonesia sesungguhnya sudah tersedia lahan kritis dan lahan terlantar dalam skala yang sangat luas (sekitar 30 juta hektar). Para investor lebih suka untuk membangun perkebunan kelapa sawit pada kawasan hutan konversi karena berpotensi mendapatkan keuntungan besar berupa kayu IPK (Ijin Pemanfaatan Kayu) dari areal hutan alam yang dikonversi. Dalam praktiknya pembangunan perkebunan kelapa sawit tidak hanya terjadi pada kawasan hutan konversi, melainkan juga merambah ke kawasan hutan produksi, bahkan di kawasan konservasi yang memiliki ekosistem yang unik dan mempunyai nilai keanekaragaman hayati yang tinggi, sebagai contoh, di areal Taman Nasional Bukit Tigapuluh telah dibangun dua perkebunan kelapa sawit dengan luas masing-masing 8.000 ha dan 4.000 ha, juga pada kawasan hutan lindung Register 40 di Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, paling sedikit 6000 ha telah dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit”

(32)

endogen. Harga output turunannya (minyak sawit dan minyak goreng) diasumsikan eksogen. Merujuk teori, harga buah sawit dipengaruhi oleh penawaran dan permintaannya.

Penawaran buah sawit SBSWt dipengaruhi secara positif oleh harganya (PBSWt),

dan negatif oleh suku bunga (Rt), upah (Wt) dan harga BBM (PBBMt), serta secara

positif oleh produktivitas sawit (qBSWt), luas areal (ATSWt), dan penawaran satu tahun

sebelumnya (SBSW

t-1). Fungsi penawaran buah sawit dituliskan:

SBSWt = S(PBSWt, Rt, Wt, PBBMt, qBSWt, ATSWt, SBSWt-1) ………..…………. (20)

Sebagai derived demand seperti permintaan lahan, permintaan buah sawit dipengaruhi negatif oleh harganya (PBSWt), suku bunga (Rt), upah (Wt) dan harga

BBM (PBBMt), dan secara positif oleh harga dalam negeri minyak sawit (PDMSWt) dan

PDB (Yt) serta permintaan buah sawit satu tahun sebelumnya (DBSWt-1). Fungsi

permintaan buah sawit dituliskan:

DBSWt = D(PBSWt, Rt, Wt, PBBMt, PDMSWt, Yt, DBSWt-1) ...……..……… (21)

Harga buah sawit dipengaruhi oleh harga ekspor minyak sawit, permintaan buah sawit, dan harga buah sawit satu tahun sebelumnya. Kondisi keseimbangan pasar buah sawit (Gambar 24) dan fungsi harga buah sawit dituliskan:

SBSWt = DBSWt ...……..……….………..………..….. (22)

PP

BSW

(33)

QBSW PBSW PBSW0 DBSW QBSW0 SBSW

Gambar 24. Keseimbangan Pasar Buah Sawit

3.5.2.3. Tingkat Deforestasi untuk Areal Karet

Indonesia merupakan produsen karet alam terbesar kedua setelah Thailand. Produksi karet Indonesia berorientasi pada pasar ekspor. Dari total produksi karet, 93% diekspor dan sisanya diserap oleh industri domestik barang jadi karet (Anwar, 2005). Pelabuhan ekspor karet alam Indonesia yang utama adalah Belawan (Sumatra Utara) dengan ekspor sebesar 40% dari total, Palembang (Sumatra Selatan) 25%, Padang (Sumatra Barat) 10%, Pontianak (Kalimantan Barat) 8%, Jambi 6%, dan Surabaya (Jawa Timur) 5% (Anwar, 2005). Produksi karet lebih dari 60 % berasal dari produksi karet rakyat.

Tingkat deforestasi hutan alam untuk areal karet (DFKRt) dihipotesiskan

dipengaruhi secara positif oleh harga dalam negeri karet (PDKRt), dan negatif oleh

suku bunga (Rt), upah (Wt), harga BBM (PBBMt) dan luas areal karet satu tahun

sebelumnya (ATKRt-1). Dihipotesiskan harga kayu hutan alam (PKHAt) dan harga ekspor

minyak sawit (PXMSWt) mempengaruhi DFKRt secara negatif, sedangkan harga ekspor

(34)

DFKRt = DF(PP

DKR

t, R , W , Pt t BBMt, PKHAt, PXMSWt, PXKRt, ATSWt-1) ………….. (24)

Penawaran karet (SKR

t) dipengaruhi secara positif oleh harga karet dalam

negeri (PDKRt), dan negatif oleh suku bunga (Rt), upah pekerja (Wt) dan harga BBM

(PBBMt), serta secara positif oleh produktivitas sawit (qKRt), luas areal (ATKRt) dan

penawaran karet satu tahun sebelumnya (SKRt-1). Fungsi penawaran karet dituliskan:

SKRt = S(PDKRt, Rt, Wt, PBBMt, qKRt, ATKRt, SKRt-1) ..……….……….… (25)

Permintaan karet dalam negeri (DDKR

t) dipengaruhi negatif oleh harganya

(PDKRt), suku bunga (Rt), upah (Wt) dan harga BBM (PBBMt), dan secara positif oleh

PDB (Yt) serta permintaan karet satu tahun sebelumnya (DDKRt-1). Sedangkan

penawaran ekspor karet (SXKRt) dihipotesiskan dipengaruhi oleh secara positif oleh

harga ekspor karet (PXKRt), negatif oleh harga dalam negeri karet, positif oleh PDB

Amerika Serikat (USGDB

t), dan positif oleh penawaran ekspor karet satu tahun

sebelumnya (SXKRt-1).

Fungsi permintaan karet dalam negeri dan penawaran ekspor karet masing-masing dituliskan:

DDKRt = D(PDKRt, Rt, Wt, PBBMt, Yt, DDKRt-1) .…………..………(26)

SXKR

t = S(PXKRt, PDKRt, USGDBt, SXKRt-1) .……….……… (27)

Harga dalam negeri karet (PDKRt) dipengaruhi oleh harga ekspor karet,

penawaran ekspor karet, penawaran karet, dan harga karet dalam negeri satu tahun sebelumnya. Kondisi keseimbangan pasar karet (Gambar 25) dan fungsi harga karet dituliskan: SKR t = DDKRt + SXKRt ..………..………. (28) PP DKR t = P(PXKRt, SXKRt, SKRt, PDKRt-1) ……… (29)

(35)

QKR PKR PDKR0 DDKR QDKR QKR PXKR QXKR QXKR QDKR0 QXKR

Gambar 25. Keseimbangan Pasar Karet

3.5.2.4. Tingkat Deforestasi untuk Areal Padi

Tingkat deforestasi hutan alam untuk areal padi (DFPDt) dihipotesiskan

dipengaruhi secara positif oleh harga gabah kering giling (PGKGt) dan harga pembelian

pemerintah (PHPPt), serta negatif oleh suku bunga (Rt), upah (Wt), harga BBM (PBBMt)

dan luas areal padi satu tahun sebelumnya (ATPDt-1). Dihipotesiskan juga bahwa harga

kayu hutan alam (PKHAt) mempengaruhi secara negatif DFPDt (karena adanya

persaingan penggunaan lahan hutan), harga kayu HTI (PKHTIt) mempengaruhi secara

positif (karena adanya kebijakan program HTI-Trans), dan jumlah penduduk (POPt)

juga mempengaruhi secara positif. Fungsi DFPDt dituliskan:

DFPDt = DF(PGKGt, PHPPt, Rt, Wt, PBBMt, PKHAt, PKHTIt, POPt, ATPDt-1) ..…… (30)

Penawaran gabah kering giling (SGKGt) dipengaruhi secara positif oleh

harganya (PGKGt)28, dan negatif oleh suku bunga (Rt), upah (Wt) dan harga BBM

(PBBMt), serta secara positif oleh produktivitas padi (qPDt), luas areal (ATPDt) dan

      

(36)

penawaran padi satu tahun sebelumnya (SGKGt-1). Fungsi penawaran gabah kering

giling dituliskan:

SGKGt = S(PGKGt, Rt, Wt, PBBMt, qPDt, ATPDt, SGKGt-1) .……… (31)

Permintaan gabah kering giling (DGKGt) dipengaruhi negatif oleh harga

pembelian pemerintah (PHPPt)29, suku bunga (Rt), upah (Wt) dan harga BBM (PBBMt),

dan secara positif oleh harga dalam negeri beras (PDBRt) dan PDB (Yt) serta

permintaan gabah kering giling satu tahun sebelumnya (DGKG

t-1). Fungsi DGKGt

dituliskan:

DGKGt = D(PHPPt, Rt, Wt, PBBMt, PDBRt, Yt, DGKGt-1) ....……… (32)

Jika tidak terdapat intervensi pemerintah melalui instrumen kebijakan harga pembelian pemerintah (HPP), harga gabah kering giling ditentukan oleh keseimbangan pasar. Dengan intervensi harga, pemerintah mengharapkan harga penjualan petani (PGKGt) sama dengan harga pembelian pemerintah (PHPPt). oleh

karenanya harga gabah kering giling dipengaruhi oleh harga pembelian pemerintah, penawaran gabah kering giling, dan harga gabah kering giling satu tahun sebelumnya. Kondisi keseimbangan pasar gabah kering giling (Gambar 26), dan fungsi harga gabah kering giling berturut-turut dituliskan:

SGKGt = DGKGt ...………. (33)

PP

       

GKG

t = P(PHPPt , SGKGt, PGKGt-1) ………..……. (34) 3.5.2.5. Total Tingkat Deforestasi untuk Areal HTI, Sawit, Karet dan Padi

Total tingkat deforestasi hutan alam untuk areal HTI, sawit, karet dan padi dituliskan:

TDFt = DFHTIt + DFSWt + DFKRt + DFPDt ………..………… (35)

 

29 Karena pembelian gabah kering giling merujuk pada harga pembelian pemerintah (HPP t).

(37)

QGKG PGKG PGKG0 DGKG QGKG0 SGKG PHPP QHPP

Gambar 26. Keseimbangan Pasar dan Intervensi Harga Gabah Kering Giling

3.5.3. Blok Degradasi Hutan

Degradasi hutan alam didefinisikan sebagai hutan alam yang mengalami degradasi sehingga dari sisi finansial hutan alam (yakni HPH) tidak layak diusahakan, dari sisi tata air menimbulkan erosi tinggi, dan dari sisi efek gas rumah kaca (greenhouse effect), menyebabkan penyerapan karbon dioksida banyak berkurang. Dalam penelitian ini, terjadinya degradasi hutan ditunjukkan oleh pergeseran kurva DLHP ke kiri (Gambar 22). Dengan kata lain penurunan areal HPH (tanda negatif) menunjukkan peningkatan degradasi hutan dan sebaliknya peningkatan areal HPH (tanda positif) menunjukkan penurunan degradasi hutan.

Mengacu teori permintaan input lahan, tingkat degradasi hutan areal HPH (DGHPHt) dipengaruhi secara positif oleh harga ekspor kayu lapis (PXKLt), dan negatif

oleh harga kayu hutan alam (PKHAt)30, suku bunga (Rt), upah (Wt), harga BBM

(PBBMt) dan luas areal HPH satu tahun sebelumnya (AHPHt-1). Tingkat degradasi hutan

areal HPH dihipotesiskan juga dipengaruhi secara negatif oleh penawaran (produksi)

      

(38)

kayu ilegal (QILLt), harga ekspor minyak sawit (PXMSWt) dan kebijakan pencabutan izin HPH (GPHPH t). Fungsi DGHPHt dituliskan: DGHPHt = DG (PXKLt, PKHAt, Rt, Wt, PBBMt, QILLt, PXMSWt, GPHPHt, AHPHt-1) ………. (36)

Penawaran kayu ilegal (SILLt) dipengaruhi secara positif oleh PKHAt dan

penawaran kayu ilegal satu tahun sebelumnya (SILL

t-1), dan negatif oleh Rt, Wt, PBBMt

dan pungutan dana reboisasi (DRt). Penawaran kayu ilegal juga dihipotesiskan

dipengaruhi secara positif oleh produktivitas hutan alam (qHAt), dan secara negatif

oleh penegakan hukum (GPKUMt) (jika tidak terjadi kolusi antara aparat penegak

hukum dengan pelaku illegal logging) atau secara positif (jika terjadi kolusi antara aparat penegak hukum dengan pelaku illegal logging).

Fungsi penawaran kayu ilegal dituliskan:

SKILLt = S(PKHAt, Rt, Wt, PBBMt, DRt, qHAt, GPKUMt, SKILLt-1) ..……… (37)

Penawaran kayu hutan alam (legal) (SKHAt) dipengaruhi secara positif oleh

PP

KHA

t dan penawaran kayu hutan alam satu tahun sebelumnya (SKHAt-1), dan negatif

oleh R , W , Pt t BBMt dan Provisi Sumberdaya Alam (PSDH ). Penawaran kayu hutan

alam dihipotesiskan juga dipengaruhi secara positif oleh produktivitas hutan alam (q

t

HA

t) dan luas areal HPH (AHPHt). Fungsi penawaran kayu hutan alam dituliskan:

SKHAt = S(PKHAt, Rt, Wt, PBBMt, PSDHt, qHAt, AHPHt, SKHAt-1) ………. (38)

Permintaan kayu bulat hutan alam diasumsikan hanya oleh industri kayu gergajian dan kayu lapis. Industri kayu lapis berorientasi pada pasar ekspor dan menyerap 55 % dari total produksi kayu hutan alam. Industri kayu gergajian berorientasi pasar dalam negeri, karena dilarang diekspor dan menyerap 45%. Industri kayu olahan, yang berorientasi ekspor menggunakan bahan baku kayu gergajian.

(39)

Kayu bulat hutan alam dilarang untuk diekspor dan ekspor hanya dimungkinkan untuk kepentingan bantuan sosial kepada negara lain, yang biasanya dalam jumlah yang kecil, sehingga dalam penelitian ini ekspor kayu bulat diasumsikan eksogen.

Permintaan kayu hutan alam oleh industri kayu gergajian (DKHAKGt)

dipengaruhi secara negatif oleh PKHAt, Rt, Wt, PBBMt, dan secara positif oleh harga

kayu HTI (PKHTIt)31, harga dalam negeri kayu gergajian (PDKGt) dan PDB (Yt), serta

permintaan kayu bulat oleh industri kayu gergajian satu tahun sebelumnya (DKHAKGt-1). Fungsi DKHAKGt dituliskan:

DKHAKGt = D(PKHAt, PKHTIt, Rt, Wt, PBBMt, PDKGt, Yt, DKHAKGt-1)……..…… (39)

Permintaan kayu hutan alam oleh industri kayu lapis (DKHAKLt) dipengaruhi

secara negatif oleh PKHAt, Rt, Wt, PBBMt, dan secara positif oleh harga kayu HTI

(PKHTI

t). Permintaan kayu hutan alam oleh industri kayu lapis juga dihipotesiskan

dipengaruhi secara positif oleh harga ekspor kayu lapis (PXKLt) dan PDB (Yt), serta

permintaan kayu bulat oleh industri kayu lapis satu tahun sebelumnya (DKHAKLt-1).

Fungsi DKHAKLt dituliskan:

DKHAKLt = D(PKHAt, PKHTIt, Rt, Wt, PBBMt, PXKLt, Yt, DKHAKLt-1) ..…….……. (40)

Harga kayu hutan alam (PKHA

t) dipengaruhi oleh harga ekspor kayu lapis,

penawaran kayu legal dan ilegal, dan harga kayu hutan alam satu tahun sebelumnya. Kondisi keseimbangan pasar kayu hutan alam (Gambar 27) dan fungsi harga kayu hutan alam dituliskan:

SKHAt + SKILLt = DKHAKGt + DKHAKLt + SXKBt ..………..…….….…... (41)

PP

       

KHA

t = P(PXKLt, SKILLt, SKHAt, PKHAt) ……… (42)

 

(40)

QKHA PKHA PKHA0 QKHA0 SKHA DKHAKL + KHAKG SKHA + ILL PKHA+ILL0 QKHA+ILL0

Gambar

Gambar  14.  Proses Degradasi dan Deforestasi pada Hutan Alam
Gambar 15.  Hubungan antara Permintaan Pasar Pangan, Karet, Minyak Sawit dan  Pulp dengan Deforestasi
Gambar 16.  Hubungan antara Permintaan Pasar Kayu Lapis, Kayu Gergajian dan  Pulp dengan Degradasi Hutan
Gambar  17.  Struktur dan Komponen Penerimaan Negara
+7

Referensi

Dokumen terkait

Bahwa Variabel resiko Negara country risk sangat berpengaruh signifikan terhadap variabel suku bunga RRRPL, Kebijakan Moneter yang diproxi dengan variabel suku bunga RRRPL, Nilai

Dalam kaitan dengan interaksi antara bank sentral dengan perbankan dan pelaku ekonomi dalam proses perputaran uang, mekanisme saluran suku bunga ada beberapa tahap, (1)

Selain itu, dapat disimpulkan bahwa kebijakan moneter baik ekspansif maupun kontraktif dengan instrumen suku bunga SBI, tidak mampu mempengaruhi jumlah penawaran kredit