• Tidak ada hasil yang ditemukan

CIRI-CIRI PROSODI ATAU SUPRASEGMENTAL DALAM BAHASA INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "CIRI-CIRI PROSODI ATAU SUPRASEGMENTAL DALAM BAHASA INDONESIA"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

TUGAS KELOMPOK

CIRI-CIRI PROSODI ATAU SUPRASEGMENTAL

DALAM BAHASA INDONESIA

MATA KULIAH : FONOLOGI DOSEN : Yuyun Safitri, S.Pd

DISUSUN OLEH:

SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN PERSATUAN GURU REPUBLIK INDONESIA

(STKIP – PGRI) PONTIANAK 2011 ANSHORY ARIFIN ( 511000228 ) FRANSISKA B.B ( 511000092 ) HAPPY ARINI ( 511000037 ) JAKA RIADI ( 511000001 ) M.HERMANDO MARDANI ( 511000235 ) RIZKIYANA H ( 511000305 )

(2)

Kata Pengantar

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadiran Allah SWT, karena atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis diberi kemampuan untuk menyelesaikan tugas mata kuliah Fonologi tepat pada waktunya.

Dalam menyelesaikan tugas ini, penulis banyak mendapat bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada ibu Yuyun Safitri, S.Pd selaku dosen mata kuliah Fonologi, teman-teman mahasiswa serta semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah membatu dalam menyelesaikan tugas ini

Penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak demi kesempurnaan tugas ini, akhir kata semoga tugas makalah ini dapat memberikan manfaat serta menambah ilmu pengetahuan bagi kita semua.

Pontianak, Januari 2011

(3)

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ……….. i

Daftar Isi ………ii

BAB I : Pendahuluan ……….... 1 A. Latar Belakang ………. 1 B. Masalah ……… 1 C. Tujuan ……….. 1 BAB II : Pembahasan ……… 2 A. Nada……….. 2 B. Tekanan ……… 3 C. Durasi ………... 5 D. Jeda ……….. 7 E. Intonasi ………. 7

BAB III : Penutup ………... 9

A. Kesimpulan ………. 9

B. Saran ………... 9

(4)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Menurut Kridalaksana (2002) dalam kamus linguistik, fonologi adalah bidang dalam linguistik yang menyelidiki bunyi-bunyi bahasa menurut fungsinya. Dalam fonologi tersebut terdapat terdapat bunyi-bunyi bahasa yang ketika diucapakan ada yang bisa disegmen-segmenkan, atau diruas-ruaskan atau dipisah-pisahkan misalnya semua bunyi vokoid dan kontoid. Bunyi-bunyi yang bisa disegmentasikan disebut bunyi segmental. Tetapi, ada juga yang tidak bisa disegmen-segmenkan karena kehadiran bunyi ini selalu mengiringi, menindih atau “menemani” bunyi segmental (baik vokoid maupun kontoid). Oleh karena sifat yang demikian, bunyi itu disebut bunyi suprasegmental.

Dalam makalah ini yang akan dibahas adalah ciri-ciri prosodi atau suprasegmental dalam bahasa Indonesia yang berhubungan dengan bagaimana “peran” dan “kiprah” bunyi suprasegmental yaitu nada, tekanan, durasi, jeda dan intonasi dimana kesemua komponen ini mempunyai hubungan satu sama lain dalam tuturan bahasa Indonesia.

B. Masalah

Adapun yang menjadi permasalahan dalam makalah ini adalah bagaimana “peran” dan “kiprah” bunyi suprasegmental yaitu nada, tekanan, durasi, jeda dan intonasi dimana kesemua komponen ini mempunyai hubungan satu sama lain dalam tuturan bahasa Indonesia.

C. Tujuan

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah agar mahasiswa mengetahui “peran” dan “kiprah” bunyi suprasegmental yaitu nada, tekanan, durasi, jeda dan intonasi dimana kesemua komponen ini mempunyai hubungan satu sama lain dalam tuturan bahasa Indonesia.

(5)

BAB II PEMBAHASAN

A. Nada

Dalam penuturan bahasa Indonesia tinggi rendahnya (nada) suara tidak fungsional atau tidak membedakan makna. Ketika penutur mengucapkan [aku], [membaca], [buku], dengan nada tinggi, sedang, atau rendah, maknanya sama saja. Begitu juga dalam tingkatan lingual yang lebih besar: frase, klausa, dan kalimat. Bahkan, penuturan yang diucapkan secara berlagu (seperti orang bernyanyi) pun maknanya sama dengan ketika diucapkan secara biasa.

Oleh karena itu, dalam kaitannya dengan pembedaan makna nada dalam bahasa Indonesia tidak fonemis. Walaupun demikian, ketidakfonemisan ini tidak berarti nada tidak ada dalam bahasa Indonesia. Hal ini disebabkan oleh ketegangan pita suara, arus udara dan posisi pita suara ketika bunyi itu diucapkan. Makin tegang pita suara, yang disebabkan oleh kenaikan arus udara ke paru-paru, makin tinggi pula nada bunyi tersebut. Begitu juga posisi pita suara. Pita suara yang bergetar lebih cepat akan menentukan tinggi nada suara ketika berfonasi.

1. Pengertian Nada

Yang dimaksud dengan nada adalah suatu jenis unsur suprasegmental yang ditandai oleh tinggi-rendahnya arus-ujaran.

Tinggi rendahnya arus-ujaran terjadi karena frekuensi getaran yang berbeda antar segmen. Bila seseorang berada dalam kesedihan ia akan berbicara dengan nada yang rendah. Sebaliknya bila berada dalam keadaan gembira atau marah, nada tinggilah yang biasanya dipergunakan orang. Suatu perintah atau pertanyaan selalu disertai nada yang khas. Nada dalam ilmu bahasa biasanya dilambangkan dengan angka misalnya /2 3 2/ yang berarti segmen pertama lebih rendah bila dibandingkan dengan segmen kedua, sedangkan segmen ketiga lebih rendah dari segmen kedua. Dengan nada yang berbeda, bidang arti yang dimasukinya pun akan berbeda.

(6)

2. Nada yang distingtif dan non-distingtif

Dalam bahasa-bahasa German, demikian juga dalam bahasa-bahasa Nusantara, nada dalam bidang kata tidak diakui sebagai fonem, yaitu bahwa tidak ada nada yang bersifat distingtif. Sebaliknya ahli-ahli bahasa mengakui bahwa nada dalam bahasa Yunani dan Cina mempunyai fungsi distingtif, yaitu mempunyai peranan untuk membedakan arti. Dalam bahasa Indonesia tidak ada nada di bidang kata.

3. Nada dalam Kalimat

Seperti apa yang telah diilustrasikan di atas, nada dalam bahasa Indonesia hanya berfungsi membedakan arti bila terdapat dalam kalimat. Karena intonasi pertama-tama didasarkan pada nada, maka nada yang distingtif dalam kalimat, tidak lain pada dasarnya adalah intonasi yang distingtif. Ada intonasi berita, intonasi tanya, intonasi perintah, intonasi yang menyatakan kemarahan, kegembiraan dan sebagainya, walaupun mungkin unsur segmentalnya sama.

B. Tekanan

Berbeda dengan nada, tekanan dalam tuturan bahasa Indonesia berfungsi membedakan maksud dalam tataran kalimat (sintaksis), tetapi tidak berfungsi membedakan makna dalam tataran kata (leksis). Tidak semua tataran kalimat mendapatkan tekanan yang sama. Hanya kata yang penting atau dianggap penting saja yang mendapat tekanan (aksen).Dalam tataran kata, tekanan pada silaba atau suku kata tidak berpengaruh dalam pembedaan makna, apalagi bermakna. Kata [memberi] ketika diucapkan dengan tekanan pada silasab pertama [mem] bermakna sama dengan ketika diucapkan dengan tekanan pada silasab kedua [be] atau silasab ketiga [ri]. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa tekanan pada suku kata fonemis dalam bahasa Indonesia.

1. Pengertian Tekanan

Yang dimaksud dengan tekanan (stress) adalah suatu jenis unsur suprasegmental yang ditandai oleh keras-lembutnya arus ujaran. Arus

(7)

ujaran yang lebih keras atau lebih lembut ditentukan oleh amplitudo getaran, yang dihasilkan oleh tenaga yang lebih kuat atau lebih lemah. Bila kita mengucapkan sepatah kata secara nyaring, misalnya kata / perumahan/, akan terdengar bahwa dalam arus ujaran itu ada bagian yang lebih keras diucapkan dari bagian yang lain.

2. Tekanan Distingtif dan non-distingtif

Dalam beberapa bahasa Barat, misalnya Inggris dan Belanda, tekanan dapat berfungsi untuk membedakan arti (distingtif). Berarti bila tekanan keras pada suatu bagian (segmen) dari kata dipindahkan ke bagian yang lain.

Pada kebanyakan bahasa di dunia, tekanan ini tidak bersifat distingtif (non distingtif) yang berarti tidak berfungsi membedakan arti, misalnya bahasa Indonesia, Jawa, dan sebagainya.

3. Tekanan dalam bahasa Indonesia

Walaupun tekanan dalam bahasa Indonesia tidak bersifat distingtif, itu tidak berarti bahwa kata-kata dalam bahasa Indonesia tidak mengandung tekanan. Seperti dalam ilustrasi dengan kata /perumahan/, jelas ada tekanan dalam bahasa Indonesia. Tetapi yang menimbulkan persoalan adalah di mana letak tekanan keras pada kata-kata bahasa Indonesia? Bangsa Indonesia yang memiliki bermacam-macam bahasa daerah dan dialek, memiliki pula intonasi yang berbeda ragamnya. Keanekaan intonasi itu dibawa serta ke dalam bahasa Indonesia, hingga mempengaruhi pula intonasi bahasa Indoenesia. Dalam pergaulan sehari-hari, kita menjumpai bermacam-macam orang yang mempergunakan bahasa Indonesia, tetapi betapa berbeda intonasi yang digunakan oleh seorang Jawa dan seorang Batak, seorang Minang dan seorang Sunda, Ambon atau Fores. Tetapi katakanlah manakah dari semua intonasi itu yang benar? Ukuran-ukuran manakah yang dipakai untuk menetapkan intonasi yang benar? Hingga kini belum ada suatu ketentuan resmi mengenai hal itu.

(8)

Ketentuan-ketentuan sementara yang ada sekarang dalam beberapa buku tata bahasa didasarkan saja atas pendapat dan rasa dari beberapa orang tertentu. Yang dibenarkan oleh ilmu bahasa adalah pertama-tama kita harus mengadakan kodifikasi intonasi dari semua penutur bahasa Indonesia, atau sekurang-kurangnya beberapa orang yang mewakili berbagai bahasa daerah dan dialek, baru kemudian dapat ditetapkan kaidah-kaidah intonasi yang baku bagi bahasa Indonesia. Jika dasar ini tidak diperhatikan, maka akan tampak bahwa ketentuan yang dibuat itu akan lainnya jalannya dari kenyataan. Adalah menjadi harapan kita bersama agar dalam waktu yang tidak terlalu lama, sudah dimulai usaha-usaha ke arah tersebut.

4. Tekanan dalam Kalimat

Walaupun tekanan yang distingtif dalam bidang kata tidak ada dalam bahasa Indonesia, dalam bidang kalimat tekanan yang distingtif itu ada. Tekanan semacam itu biasanya disebut emfasis .

Tekanan tersebut dibuat antara lain jika ada kata atau bagian tertentu dari kalimat yang dipentingkan, atau dipertentangkan dengan bagian lain. Misalnya:

Anak itu memukul adikku. Anak itu memukul adikku. Anak itu memukul adikku. Anak itu memukul adik ku. • Anak itu memukul ad C. Durasi

Tidak jauh berbeda dengan tekanan, durasi atau panjang-pendek ucapan dalam bahasa Indonesia tidak fungsional dalam tataran kalimat. Dalam tataran kata, silaba pertama pada kata [jatuh] diucapkan panjang: [ja:tuh] bermakna sama dengan ketika kata itu diucapkan panjang pada silaba kedua: [jatu:h] atau diucapkan panjang pada kedua silabanya [ja:tu:h].

(9)

1. Pengertian Durasi

Yang dimaksud dengan durasi adalah suatu jenis unsure suprasegmental yang ditandai oleh panjang pendeknya waktu yang diperlukan untuk mengucapkan sebuah segmen.

Dalam tutur, segmen-segmen dalam kata / tinggi / yaitu / ting / dan / gi / masing-masingnya dapat diucapkan dalam waktu yang sama, tetapi dapat terjadi bahwa seorang pembicara dapat mengucapkan segmen / ting / lebih lama dari segmen / gi / atau sebaliknya. Misalnya:

/ ti . . ng-gi sekali / atau / ting-gi . . sekali /

Dalam hal yang pertama /i/ dari segmen / ting / diucapkan lebih lama, sedangkan dalam hal yang kedua /i/ dari segmen / gi / diucapkan lebih lama.

2. Durasi yang Distingtif dan Non-distingtif

Pada umumnya durasi pada bahasa-bahasa di dunia tidak bersifat distingtif dalam bidang kata. Tetapi ada beberapa bahasa yang memiliki durasi distingtif, misalnya bahasa Sansekerta. Durasi distingtif dalam bidang kata biasanya dinyatakan oleh adanya vokal pendek dan vokal panjang dalam bahasa itu. Dalam bahasa Sansekerta misalnya:

bhara (ajektif) = yang mengandung, yang menganugerahkan bhara (nomina) = muatan, beban

Bahasa Indonesia tidak memiliki durasi dalam bidang kata. 3. Durasi dalam Kalimat

Seperti yang telah dikatakan di atas, durasi dalam bidang kata tidak terdapat dalam bahasa Indonesia. Namun dalam bidang kalimat terdapat durasi yang distingtif. Sebuah segmen dalam sebuah kalimat dapat diucapkan dalam waktu yang relatif lebih lama dari segmen-segmen lain dalam kalimat, untuk menekan segmen itu. Misalnya: / pakaian yang dipakainya itu maha . . l sekali /

Atau apabila seorang lagi berpidato atau berbicara akan mengucapkan bagian tertentu dari pidatonya, entah berwujud klausa,

(10)

kalimat, atau rangkaian kalimat-kalimat, dalam waktu yang lebih lambat dari bagian-bagian lainnya. Dan dalam banyak hal cara ini sering digunakan. Bagian yang tidak penting diucapkan cepat-cepat, sementara bagian yang penting diucapkan lambat-lambat.

D. Jeda (Kesenyapan)

Jeda atau kesenyapan ini terjadi di antara dua bentuk linguistik, baik antarkalimat, antarfrase, antarkata, antarmorfem, antarsilaba, maupun antarfonem. Jeda di antara dua bentuk linguistik yang lebih tinggi tatarannya lebih lama kesenyapannya bila dibanding dengan yang lebih rendah tatarannya. Jeda antarkalimat lebih lama dibanding dengan jeda antarfrase. Jeda antarfrase lebih lama bila dibanding dengan jeda antarkata. Begitu juga seterusnya.

Jeda disebut juga kesenyapan akhir atau kesenyapan final . Kesenyapan ini biasanya dilambangkan dengan tanda titik (.) atau titik koma (;) bila suaranya merendah, dan akan dilambangkan dengan tanda tanya (?) jika intonasi merendah, dan kan dilambangkan dengan tanda seru (!) jika intonasinya lebih keras kedengaran dengan suara yang menurun.

E. Intonasi

Intonasi adalah kerja sama antara nada, tekanan, durasi, dan perhentian-perhentian yang menyertai suatu tutur, dari awal hingga ke perhentian terakhir.

Berbeda dengan nada, intonasi dalam bahasa Indonesia sangat berperan dalam pembedaan maksud kalimat. Bahkan, dengan dasar kajian pola-pola intonasi ini, kalimat bahasa Indonesia dibedakan menjadi kalimat berita (deklaratif). Kalimat tanya (introgatif), dan kalimat perintah (inferatif). Kalimat berita (deklaratif) ditandai dengan pola intonasi datar-turun.

Bila kita memperhatikan dengan cermat tutur bicara seseorang, maka arus ujaran (bentuk bahasa) yang sampai ke telinga kita terdengar seperti berombak-ombak. Hal ini terjadi karena bagian-bagian dari arus ujaran itu

(11)

tidak sama nyaring diucapkan. Ada bagian yang diucapkan lebih keras dan ada bagian yang diucapkan lebih lembut; ada bagian yang diucapkan lebih tinggi dan ada bagian yang lebih rendah; ada bagian yang diucapkan lambat-lambat dan ada bagian yang diucapkan dengan cepat. Di samping itu disana-sini, arus ujaran itu masih dapat diputuskan untuk suatu waktu yang singkat atau secara relatif lebih lama, dengan suara yang meninggi (naik), merata, atau merendah (turun). Keseluruhan dari gejala-gejala ini yang terdapat dalam suatu tutur disebut intonasi .

Berarti intonasi itu bukan merupakan suatu gejala tunggal, tetapi merupakan perpaduan dari bermacam-macam gejala yaitu tekanan (stress), nada(pitch), durasi (panjang-pendek), perhentian, dan suara yang meninggi, mendatar, atau merendah pada akhir arus ujaran tadi. Intonasi dengan semua unsur pembentuknya itu disebut unsur suprasegmental bahasa. Landasan intonasi adalah rangkaian nada yang diwarnai oleh tekanan, durasi, perhentian dan suara yang menaik, merata, merendah pada akhir arus ujaran itu.

(12)

BAB III PENUTUP A. Kesimpulan

Dalam penuturan bahasa Indonesia tinggi rendahnya (nada) suara tidak fungsional atau tidak membedakan makna. Berbeda dengan nada, tekanan dalam tuturan bahasa Indonesia berfungsi membedakan maksud dalam tataran kalimat (sintaksis), tetapi tidak berfungsi membedakan makna dalam tataran kata (leksis). Tidak jauh berbeda dengan tekanan, durasi atau panjang-pendek ucapan dalam bahasa Indonesia tidak fungsional dalam tataran kalimat. Untuk jeda biasanya dilambangkan dengan tanda titik (.). Sedangkan Intonasi merupakan kerja sama antara nada, tekanan, durasi, dan perhentian-perhentian yang menyertai suatu tutur, dari awal hingga ke perhentian-perhentian terakhir yang berarti unsur-unsur ini memiliki keterkaitan satu sama lain

B. Saran

Adapun yang dapat penulis sarankan agar kita bisa memahami lebih jauh bagaimana peran dan kiprah bunyi-bunyi suprasegmental adalah dengan cara kita harus bisa membedakan unsur-unsur suprasegmental tersebut dalam tuturan bahasa Indonesia dimana unsur-unsur tersebut memiliki keterkaitan satu sama lain.

(13)

DAFTAR PUSTAKA

http://tata-bahasa.110mb.com/fonologi.htm

Masnur Muslich. 2008. Fonologi Bahasa Indonesia Tinjauan Deskriptif Sistem Bunyi Bahasa Indonesia.

Referensi

Dokumen terkait

(3) Dalam reduplikasi bahasa Jepang dan bahasa Indonesia, ada yang mengalami perubahan bunyi ada yang tidak.(4) Dalam reduplikasi bahasa Indonesia dan bahasa

Permasalahan yang diteliti mencakup bunyi-bunyi konsonan apa saja yang mengalami interferensi fonologi bahasa Indonesia dalam bahasa Arab al-Qur’an beserta distribusinya

MAKALAH BAHASA

MAKALAH BAHASA

Dalam mata kuliah ini dibahas tentang beragam konsep definisi dan cakupan bahasa jurnalistik karakteristik bahasa jurnalistik, syarat-syarat bahasa jurnalistik, ciri-ciri bahasa

• Huruf “i“ dan “u” sering kali tidak disuarakan apabila terdapat diantara konsonan (di belakang kalimat ) Contoh: bunyi vokal “u” pada huruf “su” dalam akhir

Makalah Bahasa Indonesia Tentang

sejarah mengenai bahasa indonesia yang terangkum dalam makalah ini.semoga dapat membantu