• Tidak ada hasil yang ditemukan

VI. DISKUSI UMUM DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "VI. DISKUSI UMUM DAN PEMBAHASAN"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

6.1. Pemodelan dan Aplikasi Model SWAT

Analisis sensitivitas dan ketidakpastian (uncertainty) dalam proses kalibrasi model SWAT adalah tahapan yang paling penting. Dalam beberapa literatur disebutkan beberapa parameter memberikan efek signifikan dalam output model SWAT. Pendekatan kalibrasi dapat dilakukan secara manual atau otomatis dan dapat dievaluasi setiap tahapannya, baik secara grafik maupun statistik.

Spruill et al. (2000), melakukan analisis sensitivitas secara manual untuk 15 parameter input SWAT untuk DAS seluas 550 ha dengan hasil yang akurat di Kentucky USA dengan kondisi batuan karst. Hasil analisisnya menunjukkan bahwa konduktivitas hidrolika, faktor alpha base flow, panjang aliran, luas DAS, lebar sungai adalah karakteristik yang mempengaruhi debit aliran. Arnold et al.

(2000) menunjukkan bahwa run off, base flow, debit dan evaporasi tanah sangat dipengaruhi oleh curve number, kapasitas ketersediaan air tanah, dan koefisien evaporasi dari tanah. Kalibrasi manual dengan kemampuan keahlian pakar dapat juga digunakan dalam menentukan kalibrasi manual.

Efek resolusi peta topografi (DEM), peta tanah dan penggunaan lahan dikemukakan oleh Bosh et al. (2004) yang menyatakan bahwa pendugaan debit dari model SWAT untuk Sub DAS Little River dengan luas 2.210 ha di Goergia, USA akan lebih akurat jika menggunakan resolusi lebih tinggi. Menurut Cotter et al. (2003), resolusi DEM merupakan input yang paling kritis dalam simulasi SWAT. Di Luzio et al. (2005) mengemukakan aplikasi SWAT dengan luasan 2.103 ha di Sub DAS Goodwin di Missisipi, pengaruh resolusi tutupan lahan dan

(2)

DEM sangat signifikan tetapi resolusi peta tanah tidak terlalu signifikan. Dengan data DEM 90 m dan peta tanah dengan skala 1:250.000 dan pada tutupan lahan skala 1:100.000 sudah dianggap mewakili untuk aplikasi pemodelan DAS di Indonesia hal ini dibuktikan dengan hasil akurat baik di Sub DAS Cisadane Hulu maupun di Sub DAS Gumbasa.

Chaplot et al. (2005) menganalisis bahwa distribusi penakar curah hujan dalam simulasi model SWAT mempengaruhi output model. Pada luasan 4 juta km2 di daratan Afrika dengan jarak interval 0.5o memberikan prediksi yang terbaik dalam menduga debit di Afika Barat termasuk DAS Nigeri, DAS Volta dan DAS Sinegal. Hasil yang diperoleh di Sub DAS Gumbasa dengan 7 penakar hujan untuk luasan 120.00 ha dan di Bogor dengan 1 unit penakar hujan untuk luasan 1.800 ha telah memberikan hasil yang baik, sehingga di Indonesia dapat diaplikasikan 1 penakar hujan mewakili 2.000 ha di daerah pegunungan.

Van Liew et al. (2003) membandingkan antara model SWAT dengan HSPF pada delapan Sub DAS di Sungai Litel Washita di Oklahoma, menyimpulkan bahwa model SWAT lebih konsisten, pada berbagai kondisi iklim. Dalam jangka panjang model SWAT paling konsisten untuk aplikasi investigasi perubahan iklim. Aplikasi model SWAT di Sub DAS Gumbasa dengan penggunaan aplikasi pembangkit data iklim sampai 2050 menunjukkan bahwa model SWAT ini dapat digunakan di Indonesia untuk antisipasi perubahan iklim.

(3)

6.2. Perubahan Luas Hutan terhadap Jumlah Blue Water dan Green Water

Pengaruh perubahan penutupan lahan terhadap hasil air dari suatu DAS dapat digambarkan dengan water yield, karena hal ini akan menggambarkan jumlah air netto setelah dikurangi dengan laju evapotranspirasi. Hubungan antara debit sungai di Sub DAS Cisadane Hulu dengan water yield bersifat linier dengan R2 = 0,996, seperti yang disajikan pada Gambar 52, sehingga kalau ingin debit dan sumber daya air meningkat maka hakekatnya yang paling murah adalah mengatur water yield karena air akan tersimpan di dalam DAS.

Gambar 54. Hubungan jumlah water yield dengan jumlah debit sungai (Qout flow)

Pola hubungan total debit (Qout flow) yang dihasilkan oleh Sub DAS Cisadane dengan proporsi luas hutan disajikan pada Gambar 55. Hubungan antara jumlah water yield dengan proporsi luas hutan terhadap luas Sub DAS Cisadane Hulu ditunjukkan pada Gambar 56. Hubungan terbaik ditunjukkan pola polynomial quadratik (R2 = 0,77).

QOutflow = 13,653*WYLD + 115,39 R² = 0,9926, n=11

4000 5000 6000 7000 8000 9000 10000 11000 12000 13000 14000

400 500 600 700 800 900 1000

Jumlah QOutflow/Tahun (m3/s)

Jumlah WYLD/Tahun (mm)

(4)

Gambar 55. Hubungan antara persen luas hutan dengan debit sungai di Sub DAS Cisadane Hulu

Gambar 56. Hubungan persen luas hutan dengan water yield di Sub DAS Cisadane Hulu

Pola hubungan yang ditunjukkan oleh water yield ataupun debit sungai memberikan informasi bahwa terdapat nilai proporsi luas hutan optimum untuk menghasilkan water yield yang berkorelasi dengan debit sungai. Nilai optimum

QOutFlow = -0,0126FRST2 + 1,0954FRST + 565,51 R² = 0,7712, n=11

500 520 540 560 580 600 620 640

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

Jumlah Q Outflow/Tahun (m3/s)

FRST (%)

WYLD = -0.0583FRST2 + 5.1441FRST + 2712.5 R² = 0.7691, n=11

2550 2600 2650 2700 2750 2800 2850 2900 2950

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

Jumlah WYLD/Tahun (mm)

FRST (%)

(5)

tersebut merupakan puncak dari pola hubungan tersebut. Dari Gambar 55 dan 56 di atas terlihat bahwa luasan hutan di Sub DAS Cisadane Hulu untuk menghasilkan water yield yang paling optimal pada luasan 44,1% dari total DAS (799 ha). Dengan bertambahnya proporsi luas hutan akan meningkatkan water yield sampai dengan optimum 44,1 %, dan debit sungai rata-rata sebesar 0,1135

mm/tahun atau 0,0652 l/det. Keadaan sebaliknya terjadi jika proporsi luas hutan bertambah melebihi nilai optimumnya, rata-rata penurunannya sebesar 0,226 mm/tahun/ha atau 0,121 l/det/ha, kondisi optimum ini adalah untuk tujuan mengasilkan air, sementara untuk tujuan pengurangan erosi dan sedimentasi adalah makin luas hutan semakin baik. Hasil ini memberikan informasi bahwa hutan di daerah tropis berbeda dibandingkan dengan hasil penelitian oleh Hamilton (1982) dan Rowe (2003) yang menyatakan bahwa luasan hutan berkorelasi negatif dengan hasil air.

Lokasi di Sub DAS Gumbasa dengan pola curah hujan dan kondisi topografi yang berbeda dengan Sub DAS Cisadane, pola hubungan antara proporsi luasan hutan dengan water yield disajikan pada Gambar 57.

Gambar 57. Hubungan antar luasan hutan alam dengan water yield di Sub DAS Gumbasa

WYLD = -0.09FRSE2 + 11.86FRSE + 541.16 R² = 0.899, n=11

300 400 500 600 700 800 900 1000 1100

0.0 20.0 40.0 60.0 80.0 100.0

Jumlah WYLD/Tahun (mm)

Luas FRSE (%)

(6)

Dari Gambar 57 dapat dilihat pada saat proporsi luas hutan kecil maka jumlah water yield sedikit, dan mencapai optimum pada proporsi luas hutan 53

% (63.760 ha). Pada saat luas hutan meningkat terjadi pengurangan water yield akibat peningkatan laju evapotranspirasi dan jumlah ground water, sehingga jumlah evapotranspirasi aktual mendekati evapotranspirasi potensial. Korelasi antara luas hutan dengan water yield di Sub DAS Gumbasa mempunyai R2 = 0,89. Jumlah debit harian dalam setahun cenderung sesuai dengan peningkatan water yield .

Dengan ketetapan dalam UU No 41 Tahun 2009 tentang Kehutanan yang menyatakan pengelolaan hutan ditetapkan untuk meningkatkan daya dukung DAS, (Pasal 3 hurup C) dan pada pasal 18 ayat : menyatakan (1) Pemerintah menetapkan dan mempertahankan kecukupan luas kawasan hutan dan penutupan hutan untuk setiap daerah aliran sungai dan atau pulau guna optimalisasi manfaat lingkungan, manfaat sosial, dan manfaat ekonomi masyarakat setempat. (2) Luas kawasan hutan yang harus dipertahankan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal 30% dari luas DAS dan atau pulau dengan sebaran yang optimal proporsional. Dari hasil simulasi terlihat bahwa yang optimal luasan hutan di Sub DAS Cisadane Hulu adalah 44,1 %. Selisih 14,1 % yang harus dicukupi dapat berupa kawasan lindung, sempadan sungai dan kawasan perlindungan setempat, atau perlindungan disekitar mata air, dan areal perkebunan.

Proporsi luasan hutan di Sub DAS Cisadane Hulu dengan keberadaan blue water bersifat polynomial kuadratik seperti yang disajikan pada Gambar 58.

Bentuk grafik seperti ini disebabkan karena pada proporsi luas hutan yang sedikit perubahannya menjadi semak belukar, akan tetapi apabila perubahannya menjadi

(7)

lahan terbangun (rumah, villa dan jalan raya) maka bentuk persamaannya akan bersifat linier negatif, artinya keberadaan hutan akan berbanding terbalik dengan ketersediaan blue water.

Gambar 58. Hubungan antara luasan hutan dengan blue water di Sub DAS Cisadane Hulu

Gambar 59. Hubungan antara green water dan luas hutan di Sub DAS Cisadane Hulu

y = -1056,8x2 + 93185x + 5E+07 R² = 0,7691

47.0 48.0 49.0 50.0 51.0 52.0 53.0

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

Potensi jumlah Blue Water (juta m3)

Proporsi luas hutan (%) Poly. (Blue Water)

y = -61,463x2 + 14520x + 2E+07 R² = 0,6992

15.0 15.2 15.4 15.6 15.8 16.0 16.2 16.4 16.6

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

Potensi jumlah Green Water (juta m3)

Proporsi luas hutan (%) Poly. (Green Water)

(8)

Pada posisi sebaliknya, keberadaan hutan yang semakin luas akan meningkatkan keberadaan green water, seperti yang disajikan pada Gambar 59.

DAS yang baik apabila air tersimpan dalam bentuk green water sebagai suplai air karena akan menjadi cadangan bagi blue water. Proporsi masing-masing keberadaan air pada kondisi luas hutan optimal di Sub DAS Cisadane Hulu adalah blue water 52,05 juta m3/tahun (71,87 %) dan green water 20,38 juta m3/tahun (28,13 %). Hubungan antara luasan hutan dengan water yield di Sub Cisadane Hulu disajikan pada Gambar 60. Berdasarkan ketersediaan air menurut waktu justru keberadaan green water yang hanya 24,28 % inilah yang sangat penting karena sangat berperan dalam mengendalikan pasokan air di dalam suatu DAS.

di Sub DAS Cisadane Hulu di Sub DAS Gumbasa

Gambar 60. Proporsi keberadaan green water dan blue water di Sub DAS Cisadane Hulu dan Sub DAS Gumbasa

Kondisi di Sub DAS Gumbasa karena kondisi iklim lebih kering maka ketersediaan air antara green water lebih dominan 51,64 % dibandingkan dengan blue water 48,36 %. Hal ini mengindikasikan bahwa peranan hutan alam yang jauh lebih luas (71,98 %) sangat berperan sebagai penyimpan dan pengatur air di Sub DAS Gumbasa, karena air tersimpan selama 176,8 hari lebih pendek

(9)

dibandingkan dengan di Sub DAS Cisadane Hulu 288,75 hari hal ini disebabkan karena daya hantar air di lahan (ch_k1) di Sub DAS Cisadane Hulu hanya 7,3 mm/jam sementara di Sub DAS Gumbasa 149,8 mm/jam, sehingga air yang ada di Sub DAS Gumbasa mudah hilang sehingga peranan hutan sangat tinggi.

Guna mendapatkan luas hutan yang optimal dalam suatu DAS untuk menyimpan air dalam bentuk water yield maka harus diketahui hubungan antara variabel yang memepengaruhi water yield (WYLD), run off (Qsurf) , lateral flow (Qlat), base flow (Qgw) dan total kehilangan air ke deep aquifer (Tloss).

Hubungan tersebut dapat disajikan pada persamaan (43).

WYLD = [ ]...…...……….(43)

Semua peubah yang ada dalam persamaan (43) dipengaruhi oleh perubahan jenis tutupan lahan d(A) seperti yang disajikan pada persamaan (11) sampai persamaan (21). Sehingga persamaan (43) menjadi persamaan:

[ ]……...………..…(44) Pada saat simulasi dijalankan tidak terjadi perubahan lateral flow ( dan total loss ( karena parameter ini tidak dipengaruhi oleh tutupan lahan, dan tidak terjadi perubahan geologi dan topografi, hanya terjadi perubahan tutupan lahan sehingga dan sehingga persamaan di atas menjadi :

[ ]………...………..(45)

(10)

Pada saat output water yield DAS optimum maka laju perubahan penutupan lahan dan laju perubahan water yield di atas menjadi = 0 sehingga persamaan (45) menjadi:

atau = ………...…(46) Persamaan (46) di atas sejalan dengan kenyataan empirik pada persamaan Gambar 55-59, sehingga dengan demikian dapat diterangkan bahwa jumlah air dalam suatu DAS akan maksimal dengan mengurangi run off dan akan pada posisi optimal apabila jumlah penambahan run off diimbangi dengan peningkatan base flow (Qgw) dalam bentuk sumur resapan (bioretensi). Hal ini berarti untuk

menanggulangi banjir di perkotaan yang disebabkan oleh peningkatan limpasan harus diimbangi dengan resapan, sehingga kalau resapan meningkat dan tidak ada evaporasi karena lahan tertutup oleh bangunan, maka jumlah air tanah akan meningkat dan pada gilirannya akan meningkatkan debit sungai. Demikian juga sebaliknya, pada saat ditanami oleh vegetasi maka penurunan run off akan diimbangi dengan peningkatan base flow (Qgw) dan evapotranspirasi (ETa).

Atas dasar tersebut, maka dapat dinyatakan bahwa pengendalikan air dalam suatu DAS adalah mengendalikan run off dan mengatur air dalam ground water storage.

Oleh sebab itu kalau ada perubahan penutupan lahan menjadi lahan terbangun seperti perumahan dan jalan yang tidak diimbangi dengan resapan akan menjadi bencana karena run off (Qsurf) meningkat dan cadangan air berkurang. Kondisi sebaliknya, apabila peningkatan run off diikuti dengan penerapan teknologi resapan untuk meningkatkan Qgw adalah solusi terbaik, karena membangun sekaligus melestarikan sumberdaya air.

(11)

Berdasarkan kenyataan tersebut maka keseimbangan antara blue water dan green water adalah kunci dalam mengatur kuantitas air dalam suatu DAS.

Untuk mengendalikan kuantitas dan kualitas maka yang harus diperhatikan adalah sedimentasi dan erosi. Tutupan lahan hutan yang bersifat korelasi negatif dengan erosi sebagaimana disajikan pada Gambar 52 dan Tabel 18 BAB V.

Pengurangan luasan hutan akan meningkatkan sedimentasi, pengurangan hutan sebesar 25 % di Sub DAS Gumbasa akan meningkatkan sedimentasi dari 1,5 juta ton/tahun menjadi 2,2 juta ton/tahun. Hal ini membuktikan bahwa hutan adalah tutupan lahan paling baik dalam menjaga kualitas air. Peranan hutan dalam mengendalikan erosi, sedimentasi dan longsor sama pentingnya dibandingkan dengan pengaturan water yield. Pengendalian keseimbangan antara pengendalian run off guna meningkatkan cadangan kadar air tanah dan mengubah air kedalam

air biomasa dalam bentuk green water adalah fungsi hutan yang penting dalam suatu DAS.

Ketersediaan air tanah dalam suatu DAS dengan pola pengaturan penutupan lahan, akan sangat tergantung kepada potensi laju evapotranspirasi yang dikendalikan oleh jenis tanaman dan kadar air tanah. Pada Sub DAS Cisadane dengan total ETP = 795 mm/tahun dan ETA = 710 mm/tahun dan rasio ETP/curah hujan = 0,2. Di Sub DAS Gumbasa dengan laju ETP = 1.214 mm/tahun dan laju ETA = 931 mm/tahun dan rasio ETP/Curah Hujan = 0,63;

maka luasan optimum di Sub DAS Cisadane Hulu adalah 44,1 % dan di Sub DAS Gumbasa 53 % dari total luas DAS.

Karena posisi wilayah Sub DAS Gumbasa di Sulawesi Tengah mendekati katulistiwa maka potensi penguapan lebih tingi, sedangkan makin ke arah kutub

(12)

utara atau selatan dimana ketersediaan energi matahari berkurang keculi pada musim panas dan curah hujan kurang maka ketersediaan air dalam suatu DAS sangat dipengaruhi oleh ETP. Oleh sebab itu ada benarnya pernyataan Hewlett (1982) dan Hamilton (2000) yang menyatakan bahwa semakin luas hutan di daerah Sub Tropis, water yield semakin berkurang dan pada gilirannya mengurangi blue water adalah sejalan dengan persamaan (46). Kondisi sebaliknya di daerah Tropis dengan pola curah hujan yang tinggi dan beragam serta potensi ETP yang berbeda-beda luasan optimum hutan mengikuti persamaan kuadaratik seperti pada persamaan (44) sampai dengan (46) dan Gambar 55, 56 dan 58 maka dengan demikian hutan di daerah Tropis sangat mengendalikan jumlah air.

Fenomena pengaruh perubahan penutupan lahan terhadap keseimbangan air sangat berperan dalam menyeimbangkan blue water dan green water. Oleh sebab itu mengetahui luasan hutan optimal dalam suatu DAS adalah pendekatan yang paling rasional dalam menyeimbangkan dan mengelola air berbasis vegetatif.

Aplikasi model SWAT kedepan adalah mengkombinasikan dengan model ekonomi, perubahan tata ruang dan perkembangan dinamika regional.

Aplikasi dalam pengembangan rencana tata ruang dan penentuan daya dukung lingkungan merupakan tantangan dan peluang untuk aplikasi model SWAT yang lebih luas di Indonesia.

Fenomena urbanisasi, peningkatan pola pertanian, pemupukan, keseimbangan air, erosi dan pengaruh penebangan hutan dan perubahan tata ruang merupakan tantangan pemodelan SWAT di masa mendatang. Dengan

(13)

pengalaman aplikasi di Sub DAS Cisadane Hulu dan Sub DAS Gumbasa menunjukkan bahwa pengendalin run off (Qsurf) dan mengatur base flow (Qgw) adalah kunci dalam mengatur tata air. Hutan sebagai regulator air di daerah Tropika telah terbukti. Hutan mengedalikan jumlah air dengan kemampuan yang istimewa antara evapotranspirasi dan kemampuan mengendalikan run off.

Hutan banyak, limpasan sedikit akan diimbangi dengan kemampuan menyimpan dalam bentuk air tanah (green water). Permasalahan utama didaerah dengan topografi curam, curah hujan tinggi adalah mengendalikan run off sehingga peranan hutan lindung dan taman nasional sebagai regulator air harus dipertahankan dan dijaga dan hutan alam perperan menyeimbangkan antara blue water dan green water.

Perhitungan jasa lingkungan hutan dari taman nasional dan atau menghitung kerusakan ekologi, perhitungan neraca air, daya dukung DAS, air tanah, dan kualitas air serta ketersediaan air di masa datang dapat menggunakan model SWAT. Akan lebih berguna apabila model SWAT digabungkan dengan rencana pembangunan ekonomi dan pengembangan wilayah.

Gambar

Gambar  55. Hubungan antara persen luas hutan dengan debit sungai di Sub DAS  Cisadane Hulu
Gambar  58.  Hubungan  antara  luasan  hutan    dengan  blue  water  di  Sub  DAS  Cisadane  Hulu

Referensi

Dokumen terkait

KANDUNGAN KIMIA MINYAK ATSIRI DARI KULIT BUAH JERUK BALI (Citrus maxima) SERTA UJI AKTIVITAS ANTIBAKTERI.. TERHADAP Staphylococcus aureus DAN

Aterosklerosis yang terjadi dengan onset usia yang sangat muda pada pasien SLE kemudian dikenal sebagai accelerated atherosclerosis atau premature atherosclerosis (Skaggs,

Adapun hasil dari profil model mental siswa SMA pada materi laju reaksi ini digunakan untuk mengembangkan strategi pembelajaran yang mengacu pada ketiga level

proses penyelenggaraan Peningkatan Profesi Berkelanjutan bekerjasama dengan Asosiasi Rantai Pasok dalam Sektor Konstruksi dalam rangka mengoptimalkan penyelenggaraan jasa &

Juana is depicted as a domestic woman who takes the role of a mother and wife.. She is a typical representation of feminine woman who is “patient, obedient, respectful and cheerful”

Peringkat selanjutnya, dilanjutkan dengan poin-poin yang berbentuk fitur dari produk, yaitu poin Z6 dan Z5 atau Fitur “Poin Solid” khusus untuk pengguna kartu LOOP

Alternatif tersebut di atas berdasarkan metode hanlon kualitatif, maka didapatkan kegiatan yang paling bermanfaat adalah peningkatan Penyuluhan mengenai TB dan bahaya yang di