• Tidak ada hasil yang ditemukan

2. TEORI PENUNJANG. 7 Universitas Kristen Petra

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "2. TEORI PENUNJANG. 7 Universitas Kristen Petra"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

2. TEORI PENUNJANG

2.1 Dividen

2.1.1 Pengertian Dividen

Dividen merupakan proporsi profit perusahaan yang didistribusikan pada pemegang saham perusahaan (Periasamy, 2009). Menurut Fakhruddin (2008), dividen merupakan pembagian keuntungan yang diberikan oleh perusahaan penerbit saham atas keuntungan yang dihasilkan perusahaan, dan diberikan setelah mendapat persetujuan dari pemegang saham dalam RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham). Menurut Rahardjo (2006), dividen adalah pendapatan yang diterima pemegang saham yang dibagikan dari sebagian laba bersih perusahaan setelah dikurangi pajak.

2.1.2 Bentuk dividen

Menurut Rahardjo (2006), terdapat dua bentuk dividen yang dapat dibagikan kepada pemegang saham, yaitu:

1. Dividen Tunai (Cash Dividend)

Dividen tunai adalah pembayaran dividen dalam bentuk uang tunai kepada pemegang saham. Besar pembagian dividen tunai ditentukan setelah melalui pertimbangan pihak manajemen perusahaan melalui RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham). Jumlah pembayaran dividen tunai dikenal dengan istilah Dividend Per Share (DPS). Jumlah dividen tunai yang dibagikan akan berbeda pada tiap perusahaan, tergantung pada kinerja keuangan perusahaan. Pembagian dividen tunai yang teratur menunjukkan bahwa kinerja manajemen dan fundamental bisnis perusahaan cukup kuat.

2. Dividen Saham (Stock Dividend)

Dividen saham adalah dividen yang dibayarkan dalam bentuk saham. Pemegang saham yang mendapatkan dividen dalam bentuk saham biasanya akan melakukan penjualan saham yang dimiliki jika harga

(2)

memberikan dividen dalam bentuk saham dianggap baik dibandingkan dengan perusahaan yang memiliki kemampuan memberikan dividen, baik berupa dividen tunai maupun dividen saham, tetapi tidak membagikan dividen.

2.2 Kebijakan Dividen

2.2.1 Pengertian Kebijakan Dividen

Kebijakan dividen menyangkut penentuan persentase laba yang dibagikan kepada para pemegang saham dan persentase laba yang ditahan perusahaan.

Persentase pendapatan yang akan dibagikan kepada pemegang saham sebagai cash dividend disebut Dividend Payout Ratio (DPR). Makin tinggi dividend payout ratio berarti makin besar cash dividend yang dibagikan, namun makin kecil laba yang dapat ditahan (Abdullah, 2001). Menurut Ardestani, Rasid, Basiruddin, dan Mehri (2013), Dividend Payout Ratio (DPR) menunjukkan seberapa besar bagian dari earning yang dibagikan pada pemegang saham, yang dapat dihitung dengan rumus Dividend Per Share (DPS) dibagi dengan Earning Per Share (DPS).

2.2.2 Teori Kebijakan Dividen

Menurut Brigham dan Daves (2010), terdapat beberapa teori yang dapat digunakan oleh manajer perusahaan sebagai landasan dalam menentukan kebijakan dividen yang tepat, yaitu:

1. Signaling Theory

Teori ini beranggapan bahwa peningkatan dividen cenderung diikuti dengan peningkatan harga saham, sementara penurunan dividen cenderung diikuti dengan penurunan harga saham, hal ini menunjukkan bahwa investor lebih menyukai dividen dibanding dengan capital gain.

Dividen dianggap dapat mengindikasikan informasi perusahaan atau disebut signaling. Peningkatan dividen merupakan signal kepada investor bahwa manajemen perusahaan memperkirakan peningkatan profit di masa mendatang, sedangkan penurunan dividen merupakan signal bahwa manajemen perusahaan memperkirakan profit yang cenderung menurun di masa mendatang.

(3)

2. Residual Dividend Model

Kebijakan residual menunjukkan bahwa pembayaran yang dibagikan oleh perusahaan merupakan pendapatan yang “tersisa”.

Perusahaan yang menerapkan kebijakan residual dalam pembagian dividen, akan menyebabkan pembagian dividen yang fluktuatif dan tidak stabil. Perusahaan tidak menyukai dividen yang bervolatilitas, karena dapat menyebabkan peningkatan risiko dan penurunan harga saham. Oleh karena itu, perusahaan harus melakukan hal berikut:

(i) Mengestimasi rata-rata pendapatan dan investment opportunity.

(ii) Menentukan capital structure.

(iii) Menentukan rasio pembagian dividen dengan model kebijakan residual.

3. Kebijakan Dividen Stabil

Perusahaan diharapkan untuk dapat membagikan dividen stabil.

Apabila pembagian dividen tidak stabil, kelompok investor yang bergantung pada pendapatan investasi berupa dividen tunai dapat mengalami kesulitan dalam membiayai kebutuhan hidup karena keterbatasan dana tunai yang dimiliki. Selain itu, mengurangi pembagian dividen agar tersedia dana untuk melakukan investasi, dapat dijadikan signal yang salah pada investor, yang dapat berakibat pada penurunan harga saham karena penurunan pembagian dividen dapat dianggap bahwa prospek perusahaan di masa mendatang kurang baik. Kebijakan dividen stabil memiliki arti tingkat Dividend Payout Ratio (DPR) yang stabil.

Perusahaan mengharapkan keuntungan yang meningkat, oleh karena itu, kebijakan dividen stabil berarti pembagian dividen tunai perusahaan juga meningkat dengan stabil dan pada tingkat yang dapat diprediksi agar perusahaan tetap memiliki Dividend Payout Ratio (DPR) yang stabil.

2.2.3 Siklus Hidup Industri Perusahaan

Menurut Werner dan Stoner (2010), siklus hidup industri perusahaan terdiri dari 3 tahap, yaitu birth, rapid growth, dan maturity.

(4)

1. Birth

Pada tahap birth, sebagian kecil perusahaan dapat membagikan dividen.

Akan tetapi, sebagian besar perusahaan dimulai dengan posisi cash yang sangat rendah, sehingga dibutuhkan untuk menyimpan cash yang dimiliki agar perusahaan dapat tetap bertahan dan bertumbuh. Perusahaan cenderung tidak memiliki akses terhadap pendanaan eksternal karena masih belum memiliki catatan usaha yang baik, sehingga pendanaan berasal dari ekuitas.

Investor pada tahap ini mengetahui kepentingan perusahaan untuk menyimpan cash yang dimiliki dan bersedia menunda penerimaan dividen guna mendapat return yang lebih besar di masa mendatang.

2. Rapid Growth

Pada tahap rapid growth, perusahaan cenderung memilih untuk tidak membagikan dividen. Hal ini dikarenakan ketika perusahaan bertumbuh dengan cepat, perusahaan membutuhkan dana untuk memperoleh suatu aset.

Selain itu, pada tahap ini memungkinkan memberikan pemegang saham keuntungan yang besar dalam bentuk capital gain, sehingga mengurangi kebutuhan akan pembagian dividen. Akan tetapi, apabila perusahaan membagikan dividen, jumlah dividen yang dibagikan rendah.

3. Maturity

Pada tahap maturity, perusahaan cenderung membagikan dividen yang tinggi. Hal ini dikarenakan perusahaan yang dewasa memiliki tingkat pertumbuhan yang rendah, sehingga tidak dapat memberikan keuntungan yang tinggi ada investor dari kenaikan harga perusahaan, sehingga membagikan dividen untuk memberikan investor rate of return yang sesuai.

Selain itu, pada tahap ini perusahaan sudah tidak membutuhkan dana tunai yang besar untuk memperluas atau memperbesar usaha. Pada kondisi yang ekstrim, perusahaan yang sudah berhenti bertumbuh membayarkan semua keuntungan yang dimiliki dalam bentuk dividen.

2.3 Investment Opportunity Set (IOS)

Istilah Investment Opportunity Set (IOS) pertama kali dikenalkan oleh Myers (1977), yang merupakan kombinasi dari aset yang sudah ada (asset in place) dan

(5)

kesempatan investasi (investment opportunity), dimana kombinasi keduanya mempengaruhi nilai pasar suatu perusahaan. Investment opportunity merupakan suatu opsi investasi yang dapat memberikan nilai bagi perusahaan apabila perusahaan melaksanakan suatu investasi atau proyek. Pelaksanaan proyek bergantung pada nilai sekarang (net present value) dari proyek. Perusahaan akan melaksanakan proyek yang memiliki net present value positif, sehingga dapat memberikan kontribusi terhadap nilai pasar suatu perusahaan. Barclay dan Smith (2005) serta Myers (1977) beranggapan bahwa investment opportunity set dapat menggambarkan peluang pertumbuhan perusahaan (growth opportunity).

Menurut Ardestani, Rasid, Basiruddin, dan Mehri (2013) serta Gugler dan Yurtoglu (2002), variabel Investment Opportunity Set (IOS) dapat diukur dengan Tobin’q, yang dihitung dengan rumus market value of equity ditambah dengan total debt, kemudian dibagi dengan total assets. Rasio Tobin’q memiliki kemiripan dengan market-to-book ratio, namun ada beberapa perbedaan penting (Sukamulja, 2004). Numerator yang digunakan market-to-book ratio memperhatikan satu tipe investor saja, yaitu investor dalam bentuk saham, sedangkan Tobin’q memasukkan semua unsur utang dan ekuitas perusahaan.

Perusahaan tidak hanya menggunakan ekuitas dalam mendanai kegiatan operasionalnya, namun juga dari sumber lain seperti utang, berupa utang jangka pendek maupun jangka panjang. Oleh karena itu, penilaian yang dibutuhkan perusahaan tidak hanya dari investor ekuitas saja, namun juga dari kreditor.

Semakin besar pinjaman yang diberikan oleh kreditor, menunjukkan bahwa semakin tinggi kepercayaan yang diberikan, hal ini menunjukkan perusahaan memiliki nilai pasar yang lebih besar lagi. Semakin besar nilai rasio Tobin’Q menunjukkan bahwa perusahaan memiliki prospek pertumbuhan yang baik dan memiliki intangible asset yang semakin besar. Nilai pasar aset perusahaan yang besar dibandingkan dengan nilai buku aset perusahaan, menunjukkan besarnya kerelaan investor untuk mengeluarkan pengorbanan yang lebih untuk memiliki perusahaan tersebut.

(6)

2.4 Financial Leverage

Financial leverage adalah penggunaan sumber dana yang menimbulkan beban tetap keuangan (Sawir, 2004). Menurut Booth, Cleary, dan Drake (2014), financial leverage merupakan penggunaan utang untuk membiayai perusahaan, yang dapat meningkatkan keuntungan atau kerugian pada pemilik. Financial leverage yang baik adalah ketika perusahaan dalam kondisi risiko yang rendah dan dapat menghasilkan profit, tetapi ketika perusahaan mengalami kerugian, maka penggunaan leverage akan meningkatkan kerugian karena adanya biaya tetap akibat meminjam. Financial leverage menunjukkan seberapa besar penggunaan pendanaan dengan utang yang dilakukan oleh perusahaan. Semakin besar angka tersebut, maka menunjukkan bahwa perusahaan memiliki risiko yang besar.

Menurut Ardestani, Rasid, Basiruddin, dan Mehri (2013), rasio yang dapat digunakan untuk mengukur financial leverage adalah Debt-to-Equity Ratio (DER), yang menunjukkan jumlah utang yang digunakan dalam capital structure suatu perusahaan, dan dihitung dengan rumus total debt dibagi dengan total equity. Debt- to-Equity Ratio (DER) merupakan rasio yang membandingkan proporsi pendanaan dengan utang dan pendanaan dengan ekuitas (Booker, 2006). Semakin rendah Debt- to-Equity Ratio (DER), semakin perusahaan dianggap baik oleh kreditor. DER yang tinggi dianggap sebagai indikasi bahwa perusahaan memiliki pendanaan berasal dari utang yang tinggi, sehingga dapat meningkatkan risiko kreditor dalam pembayaran utang oleh perusahaan. Pemegang saham juga melihat Debt-to-Equity Ratio (DER) untuk membantu menilai dalam melakukan investasi. Semakin tinggi DER, semakin pemegang saham dirugikan karena kreditor memiliki posisi di atas pemegang saham dalam pendistribusian asset ketika perusahaan dilikuidasi.

Menurut Barclay dan Smith (2005), terdapat beberapa teori dalam pengambilan keputusan pendanaan, yaitu:

1. Signaling

Signaling theory didasarkan pada gagasan bahwa manajer memiliki informasi mengenai perusahaan lebih baik dibanding investor.

Peningkatan leverage dianggap menjadi salah satu alat signaling oleh manajer. Utang mewajibkan perusahaan untuk membuat rangkaian pembayaran tunai yang tetap sampai waktu jatuh tempo. Apabila

(7)

perusahaan lalai melakukan pembayaran, berpotensi mendapat konsekuensi, termasuk potensi mengalami kebangkrutan. Oleh karena itu, penambahan utang dianggap signal bahwa perusahaan dipercaya akan memiliki cash flow yang baik di masa mendatang.

2. The Pecking Order

Teori ini beranggapan bahwa perusahaan akan memaksimalkan nilai dengan memilih pendanaan yang “termurah”. Manajer lebih menyukai dana internal (retained earning) dibandingkan dana eksternal. Apabila dana eksternal diperlukan, manajer akan memilih penerbitan utang dibandingkan penerbitan ekuitas karena penerbitan utang memiliki biaya yang lebih rendah. Perusahaan menganggap penerbitan ekuitas merupakan sumber pendanaan terakhir apabila penerbitan utang telah dilakukan.

2.5 Profitability

Profitability merupakan hasil dari berbagai kebijakan dan keputusan perusahaan (Brigham dan Daves, 2010). Menurut Mukherjee dan Hanif (2006), profitability adalah tingkat pengembalian yang dicapai melalui usaha manajemen terhadap dana yang diinvestasikan oleh pemilik usaha. Profitability mengukur seberapa banyak laba bersih yang didapat dari penggunaan sejumlah aset, dan dapat dijadikan alat ukur dalam pemilihan usaha yang menguntungkan (Lutz, 2010).

Epstein (2006) mengatakan bahwa profitability mengukur keuntungan yang dihasilkan oleh suatu perusahaan, yang dapat diukur dengan ROA (Return on Asset). ROA dihitung dengan rumus net income dibagi dengan total assets.

Return on Asset (ROA) digunakan untuk mengukur kinerja perusahaan dalam penggunaan aset untuk menghasilkan net income, terlepas dari bagaimana aset dibiayai dengan debt atau equity (Weil, Schipper, dan Francis, 2014). Menurut Booth, Cleary, dan Drake (2014), Return on Assets (ROA) merupakan rasio yang digunakan oleh perusahaan untuk mengukur seberapa baik manajemen perusahaan dalam menempatkan asetnya untuk menghasilkan sebuah profit.

(8)

2.6 Risk

Menurut Margaretha (2005), risk merupakan kemungkinan hasil yang diterima berbeda dengan hasil yang diharapkan. Risiko dapat dibagi menjadi dua, yaitu firm risk dan market risk. Firm risk merupakan risiko yang dapat didiversifikasi dan terjadi karena karakerisitik suatu perusahaan, contohnya seperti pemogokan buruh, program pemasok yang berhasil dan gagal, kemenangan dan kegagalan dalam tender besar. Market risk merupakan risiko yang tidak dapat didiversifikasikan, sehingga disebut undiversiable risk, yang terjadi akibat adanya perubahan pasar secara keseluruhan, contohnya seperti inflasi, resesi, suku bunga yang tinggi.

Risiko dapat diukur dengan beta, yang menggambarkan risiko saham terhadap pasar secara keseluruhan dari segi faktor eksternal perusahaaan (Hellström dan Inagambaev, 2012). Menurut Margaretha (2005), beta coefficient merupakan ukuran risiko pasar suatu saham, yang mengukur perubahan tingkat pengembalian suatu saham karena adanya perubahan di pasar saham. Nilai beta dapat dihasilkan dengan menghitung covariance antara return perusahaan dengan pasar kemudian dibagi dengan variance return pasar.

a. beta =1, artinya jika harga pasar saham sama naik 10%, harga saham tersebut juga naik 10%, begitu juga sebaliknya.

b. beta =1, artinya risiko saham sama dengan risiko rata-rata, artinya saham yang harganya cenderung turun (naik) sejalan dengan turunnya (naiknya) pasar secara umum.

c. beta =0,5, artinya naik turunnya harga saham hanya setengah dari naik turunnya harga saham rata-rata dan risikonya juga akan setengah dari risiko portofolio.

2.7 Hubungan antar konsep

2.7.1 Pengaruh Investment Opportunity Set (IOS) terhadap Kebijakan Dividen

Investment opportunities yang tersedia pada perusahaan merupakan komponen dari nilai pasar yang penting. Kallapur dan Trombley (2001) berpendapat bahwa gagasan konvensional dari IOS adalah pembelanjaan modal

(9)

yang digunakan untuk membuat produk baru atau mengembangkan produksi dari produk yang sudah ada.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Abor dan Bokpin (2010) menunjukkan bahwa investment opportunities set yang diukur dengan Tobin’q berpengaruh signifikan negatif terhadap kebijakan dividen. Menurut Gaver dan Gaver (1993), perusahaan tanpa investment opportunity set yang menguntungkan akan memilih untuk membayar dividen tinggi, daripada melakukan proyek dengan net present value yang negatif. Sesuai dengan pecking order theory, yaitu perusahaan yang ingin melakukan investasi tanpa menggunakan utang akan menggunakan dana internal perusahaan. Penggunaan dana internal untuk melakukan investasi menyebabkan bagian laba yang dapat dibagikan pada pemegang saham semakin berkurang, sehingga terjadi penurunan pembagian dividen.

Pada penelitian yang dilakukan Ardestani, Rasid, Basiruddin, dan Mehri (2013) ditemukan bahwa investment opportunity set yang diukur dengan Tobin’q memiliki pengaruh yang signifikan positif terhadap kebijakan dividen. Menurut Barclay dan Smith (2005) serta Myers (1977), Investment Opportunity Set (IOS) dapat menggambarkan peluang pertumbuhan perusahaan. Perusahaan dengan kesempatan tumbuh yang besar memiliki prospek untuk menghasilkan laba yang besar, yang menunjukkan kondisi perusahaan semakin dewasa (mature), sehingga dapat membayarkan dividen yang besar dari free cash flow yang dimiliki. Jensen (1986) mengatakan bahwa perusahaan pada tahap kedewasaan (mature) dapat menghasilkan pendapatan lebih banyak dibandingkan kebutuhan financing dalam operasionalnya.

2.7.2 Pengaruh Financial Leverage terhadap Kebijakan Dividen

Menurut Booker (2006), financial leverage dapat diukur dengan Debt-to- Equity Ratio (DER), yang menunjukkan proporsi atas penggunaan utang terhadap ekuitas perusahaan. Penelitian yang dilakukan oleh Al-Taleb (2012) menemukan bahwa financial leverage yang diukur dengan Debt-to-Equity Ratio (DER), memiliki pengaruh signifikan positif terhadap pembayaran dividen. Perusahaan yang memiliki utang yang besar dapat menambah jumlah modal perusahaan, maka

(10)

menguntungkan, sehingga dapat menyebabkan adanya peningkatan keuntungan perusahaan (Booth, Cleary, dan Drake, 2014). Dengan adanya peningkatan keuntungan, menunjukkan bahwa perusahaan memiliki kemampuan untuk membayarkan dividen yang lebih tinggi. Sesuai dengan signaling theory dalam teori pendanaan oleh Barclay dan Smith (2005), menyatakan bahwa peningkatan debt dapat menjadi signal bahwa manajer beranggapan perusahaan akan memiliki cash flow yang baik di masa mendatang.

Penelitian yang dilakukan oleh Tahir dan Mushtaq (2015) serta Komrattanapanya dan Suntrauk (2013) menemukan bahwa Debt-to-Equity Ratio (DER) memiliki pengaruh signifikan negatif terhadap pembagian dividen.

Perusahaan yang memiliki Debt-to-Equity Ratio (DER) yang tinggi pada struktur modal cenderung membayarkan dividen yang rendah, karena adanya pembatasan- pembatasan yang timbul dari perjanjian utang yang dibuat untuk kepentingan debtholder. Menurut Barclay dan Smith (2005), utang mewajibkan perusahaan untuk membayarkan beban tetap keuangan (bunga utang) pada debtholder. Adanya bunga utang menyebabkan net income perusahaan semakin rendah, sehingga kemampuan perusahaan dalam memenuhi kepentingan pemegang saham dalam bentuk dividen juga rendah. Selain itu, perusahaan yang kesulitan atau tidak mampu membayarkan utang, dengan kesepakatan kreditor dapat mengubah obligasi menjadi saham, sehingga dapat menyebabkan terjadinya dilusi, yaitu penurunan persentase kepemilikkan pemegang saham atas suatu perusahaan akibat bertambahnya jumlah saham yang beredar. Akibatnya, dividen tunai yang diterima oleh tiap pemegang saham mengalami penurunan.

2.7.3 Pengaruh Profitability terhadap Kebijakan Dividen

Profitability dianggap sebagai indikator utama terhadap kemampuan perusahaan untuk membayarkan dividen, dimana profitability dapat diukur dengan rasio Return on Asset (ROA). Profitability yang semakin tinggi, menunjukkan bahwa perusahaan memiliki net income yang semakin tinggi, sehingga perusahaan dapat membagikan dividen tunai semakin tinggi. Sesuai dengan signaling theory, pembayaran dividen yang meningkat mengindikasikan profit perusahaan yang juga meningkat. Amidu dan Abor (2006), Abor dan Bokpin (2010), serta Tahir dan

(11)

Mushtaq (2015) menemukan bahwa ROA memiliki pengaruh positif signifikan terhadap pembayaran dividen. Selain itu, Baker, Chang, Dutta, dan Saadi (2012) beranggapan bahwa alasan perusahaan tidak membagikan dividen adalah pendapatan yang kurang baik.

Penelitian Ardestani, Rasid, Basiruddin, dan Mehri (2013) menemukan bahwa profitability yang diukur dengan ROA memiliki pengaruh yang signifikan negatif terhadap kebijakan dividen. Semakin tinggi ROA suatu perusahaan, semakin rendah Dividend Payout Ratio (DPR), karena perusahaan dianggap memiliki kesempatan bertumbuh, sehingga manajer lebih tertarik menginvestasikan kembali profit perusahaan untuk kebutuhan ekspansi (Rozeff, 1982). Kondisi ini terjadi pada perusahaan yang berada pada siklus hidup tahap pertumbuhan.

2.7.4 Pengaruh Risk terhadap Kebijakan Dividen

Menurut Hellström dan Inagambaev (2012), risiko dapat diukur dengan beta, yang menggambarkan hubungan return saham dengan return pasar. Hasil penelitian yang dilakukan Ardestani, Rasid, Basiruddin, dan Mehri (2013), menemukan bahwa risk yang diukur dengan beta berpengaruh signifikan negatif terhadap kebijakan dividen. Hasil yang sama ditemukan oleh Hellström dan Inagambaev (2012), yaitu risk yang diukur dengan beta berpengaruh signifikan negatif terhadap kebijakan dividen pada perusahaan yang berkapitalisai besar dan medium. Beta yang tinggi menunjukkan bahwa perusahaan memiliki risiko yang tinggi. Perusahaan dengan risiko yang tinggi menyebabkan perusahaan kesulitan untuk melakukan perencanaan aktifitas perusahaan di masa mendatang, sehingga perusahaan cenderung memilih untuk menyimpan retained earnings dibanding membayarkan dividen yang besar. Hal ini dikarenakan adanya kemungkinan akan kebutuhan kas keluar tidak terduga yang dapat terjadi di masa mendatang. Sesuai dengan residual dividend model, yang menunjukkan bahwa dividen merupakan pendapatan yang “tersisa” setelah digunakan untuk berbagai kebutuhan perusahaan.

(12)

2.8 Kerangka Berpikir

2.9 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kajian teori yang telah dijabarkan, maka hipotesis dari penelitian ini adalah:

1. Investment Opportunity Set dan Financial Leverage berpengaruh signifikan secara bersama-sama terhadap kebijakan dividen perusahaan non-keuangan yang terdaftar di BEI pada tahun 2011-2016.

2. Investment Opportunity Set dan Financial Leverage, serta Profitability sebagai variabel kontrol berpengaruh signifikan secara bersama-sama terhadap kebijakan dividen perusahaan non-keuangan yang terdaftar di BEI pada tahun 2011-2016.

3. Investment Opportunity Set dan Financial Leverage, serta Profitability dan Risk sebagai variabel kontrol berpengaruh signifikan secara bersama-sama

Profitability Investment Opportunity Set

(IOS))

Financial Leverage

Kebijakan Dividen Independent Variables

Control Variables

Risk

(13)

terhadap kebijakan dividen perusahaan non-keuangan yang terdaftar di BEI pada tahun 2011-2016.

4. Investment Opportunity Set dan Financial Leverage, serta Profitability dan Risk sebagai variabel kontrol berpengaruh signifikan secara parsial terhadap kebijakan dividen perusahaan non-keuangan yang terdaftar di BEI pada tahun 2011-2016.

Referensi

Dokumen terkait

Sebagian besar masyarakat kampung adat Cireundeu menganut aliran kepercayaan Madrais atau yang dikenal dengan aliran Sunda Wiwitan, namun dalam penelitian ini,

Kombinasi selang pemerahan yang berbeda berpengaruh (P<0.05) terhadap produksi dan laju sekresi susu sapi perah, akan tetapi tidak berpengaruh terhadap persentase kadar lemak

Lembar peta RBI Kota Surakarta tersebut selanjutnya menjadi acuan atau dasar dalam pembuatan peta tematik Kecamatan Laweyan dalam 4 sektor yaitu Sektor Fisik, Guna Lahan, dan

Opini masyarakat bersifat kontroversial karena setiap individu mempunyai pandangan yang tidak sama antara satu dengan yang lain.Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui

Berdasarkan penelitian yang telah dilaksanakan di kelas XI IPA I SMA Yayasan IBA Palembang, penerapan model pembelajaran Group Investigation (GI) dapat memberikan

Paku Seng RRC Uk 6 cm biji Paku Beton / Sappu Uk... PUSAKA

Mahasiswa diperbolehkan mengambil mata kuliah pilihan yang tidak ditawarkan oleh program studi asal pada program studi yang berbeda di jurusan yang sama, jurusan yang

Penelitian perhitungan neraca air ini ber- tujuan untuk menganalisis kebutuhan air pada tanaman kedelai lahan kering di kabupaten Konawe Selatan, sekaligus menekan kendala