BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Dalam tinjauan pustaka ini akan dibahas secara singkat mengenai program dan metode penanganan yang akan digunakan pada tugas akhir ini. Program yang akan digunakan pada tugas akhir ini adalah GeoStudio. Program ini dipergunakan untuk menganalisa kestabilan lereng, pada program ini terdapat beberapa metode yang biasa digunakan untuk menganalisa kestabilan lereng. Metode penanganan yang akan dibahas dalam tinjauan pustaka ini adalah penanganan dengan paku tanah (soil nailing), perubahan geometrik lereng, rumput pengendali erosi dan sistem drainase permukaan.
2.1. GeoStudio
Salah satu program yang digunakan dalam tugas akhir ini adalah GeoStudio Slope-W. Dalam program ini terdapat beberapa metode penyelesaian yang dapat digunakan untuk menganalisis kestabilan lereng. Metode yang terdapat pada program ini yaitu metode Morgenstern-Price, metode Spencer, metode GLE, metode Lowe-Karafiath, metode Bishop, metode Fellenius, dan metode Janbu.
Dalam tugas akhir ini saya akan menggunakan metode Bishop, Fellenius dan Janbu.
Slope/W Define
Dalam program DEFINE permasalahan didefinisikan (dimodelkan) dalam bentuk penggambaran pada layar komputer dalam aplikasi Computer Aided Drafting (CAD). Mula-mula kertas kerja pada program ini ditentukan untuk menjelaskan masalah yang akan dilakukan analisis.
Beberapa menu utama dijabarkan dalam penjelasan berikut ini.
1. Menu Set
Menu Set merupakan langkah awal untuk mempersiapkan bidang kerja, digunakan untuk menentukan ukuran kertas yang dipakai, ruang kerja, ukuran tampilan layar, dan skala yang digunakan.
2. Menu KeyIn
Menu KeyIn terdiri atas beberapa submenu untuk menggambarkan permasalahan lereng yang akan dilakukan analisis. Submenu-submenu dalam menu KeyIn adalah sebagai berikut.
a. Submenu Analysis Setting
Identitas lereng, metode analisis, dan kondisi tekanan air pori ditentukan melalui submenu Analysis Setting.
b. Submenu Material Properties
Melalui menu ini jumlah lapisan dan parameter tanah penyusun lereng ditentukan.
c. Submenu Points
Dalam menggambarkan bentuk geometri lereng untuk mendefinisikan permasalahan stabilitas lereng ditentukan oleh beberapa titik acuan yang menghubungkan beberapa garis. Titik-titik ini ditentukan melalui submenu Points. Selain melalui menu tersebut, penentuan titik dapat dilakukan dengan cara mengarahkan kursor pada bidang gambar dan menentukan titik-titik geometri lereng dengan bantuan mouse.
d. Submenu Regions
Submenu ini dipakai untuk mendefinisikan batas tiap lapis tanah penyusun lereng seperti ditampilkan pada.
e. Submenu Slip Surface
Submenu ini dipakai untuk menentukan acuan bidang gelincir yang akan digunakan dalam analisis. Terdapat beberapa cara penentuan cara penetuan acuan bidang gelincir, diantaranya:
 Grid & Radius, untuk memberikan acuan bidang gelincir lingkaran atau komposit,
 Fully Specified, untuk memberikan acuan bidang gelincir tertentu,
 Block Specified, untuk memberiakn acuan berupa dua blok.
f. Submenu Pore Pressure-Water Pressure
Submenu Pore Pressure-Water Pressure dipakai untuk mendefinisikan tekanan air pori pada tanah seperti ditentukan oleh pengaturan dalam menu Analysis Setting.
g. Submenu Line Load
Submenu ini dipakai untuk mendefinisikan beban garis pada lereng.
h. Submenu Reinforcement Load
Submenu ini dipakai untuk mendefinisikan beban perkuatan pada lereng.
i. Submenu Seismic Load
Submenu ini dipakai untuk mendefinisikan beban gempa pada lereng.
j. Submenu Pressure Line
Submenu ini dipakai untuk mendefinisikan garis tekanan pada tanah paling atas lereng. Garis tekanan (Pressure Lines) digunakan untuk memodelkan tekanan yang bekerja pada bagian permukaan lereng seperti memodelkan fondasi telapak (footing) pada permukaan tanah dasar. Tidak seperti line load yang bekerja secara terpusat, garis tekanan bekerja pada suatu luasan.
Besar tekanan yang bekerja dihitung dengan mengalihkan tekanan dengan jarak vertikal antar garis tekanan dengan permukaan tanah. Arah tekanan dapat diarahkan secara normal terhadap permukaan tanah dasar ataupun vertikal. Arah kerja tekanan harus didefinisikan normal untuk permukaan
berupa fluida. Submenu ini juga dapat digunakan untuk mengaplikasikan beban merata dengan menyesuaikan dengan model pembebanan berupa fluida.
3. Menu Verify
Sebelum permasalahan dieksekusi perlu dilakukan kontrol untuk mengetahui kemungkinan adanya kesalahan dalam memasukkan data ke program. Kontrol dilakukan dengan menjalankan menu Verify Data pada program.
2.2. Pemakuan Tanah (Soil Nailing)
Pemakuan tanah merupakan salah satu metode untuk perkuatan tanah asli yang dapat digunakan untuk menahan galian tanah dan perkuatan stabilitas lereng alam. Metode ini berkembang sejak 1960 dengan mengambil prinsip dari teknik baut batuan, sistem multi penjangkaran dan timbunan bertulang. Prototipe pertama pada teknik ini digunakan pada teknik baru pembuatan terowongan di Austria.
Dengan semakin berkembangnya teknik ini desain semi empirik mulai berkembang pada awal tahun 70an. Penelitian sistematik soil nailing dengan percobaan pada model sekala kecil maupun pada model sekala penuh mulai dilakukan di Jerman pada pertengahan 70an. Perkembangan berikutnya mulai dilakukan di Amerika dan Praancis pada awal 90an. Hasil dari penelitian ini merupakan sumber dasar yang digunakan pada perancangan soil nailing dan aplikasi konstruksi dilapangan pada dekade berikutnya.
Prinsip dari metode soil nailing hampir sama dengan prinsip pada metode beton bertulang, yaitu pemasangan tulangan yang mempunyai kuat tarik yang tinggi ke dalam tanah menciptakan material komposit yang dapat mendukung beban lebih besar (Hary Christady Hardiyatmo, 2010). Kerjasama antara tanah dan tulangan dapat terjadi apabila terdapat gaya gesek antara keduanya. Dengan adanya gaya gesek antara keduanya terjadi transfer gaya pada tanah ke tulangan.
Ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk merancang struktru paku tanah diantaranya adalah metode Davis, metode French/Wedge (Schlosser, 1983), metode German, dan metode kinematikal limit.
Bagian-bagian Pemakuan Tanah (Soil Nailing)
Tipe pemakuan tanah yang umum digunakan di Amerika adalah pemakuan tanah dengan tipe pemakuan tanah yang di bor, yaitu dimana tulangan baja ditempatkan pada lubang hasil bor yang kemudian di grouting. Gambar 2.1 menunjukan tipikal komponen dari soil nailing.
Gambar 2.1 Potongan melintang tipikal soil nailing (GEOTECHNICAL ENGINEERING CIRCULAR NO. 7, 2003)
1 2 3
4
5
6
Berikut ini penjelasan dari gambar diatas.
1. Tulangan baja (steel bar), tulangan baja merupakan komponen utama pada sistem soil nailing. Elemen ini ditempatkan pada lubang yang sudah ada kemudian di grouting. Umumnya menggunakan baja dengan mutu fy = 420 atau 520 MPa dan dipasang dengan kemiringan 10 – 20 derajat dari horisontal.
2. Grout. Grout ditempatkan pada lubang setelah tulangan baja dimasukan. Fungsi utama dari grout adalah untuk mentransferkan tegangan dari tanah ke tulangan baja, juga berfungsi sebagai perlindungan baja tulangan terhadap korosi.
3. Kepala paku (Nail Head), kepala paku merupakan ujung dari tulangan baja yang keluar menonjol dari permukaan dinding.
4. Hex nut, washer, and bearing plate, komponen terhubung dengan kepala paku dan berfungsi menghubungkan antara soil nail dengan permukaan (facing).
5. Permukaan sementara dan permukaan permanen, Bagian permukaan memberikan hubungan struktural, permukaan sementara merupakan penahan tekanan dari plat tekan (bearing plate) dan mensuport permukaan lereng. Permukaan permanen ditempatkan diatas permukaan sementara setelah hex nut dikencangkan, yang berfungsi untuk melindungi nail head dan hex nut dari karat dan untuk menambah nilai keindahan. Ketebalan permukaan sementara memiliki ketebalan antara 75 sampai 100 mm, sedangkan permukaan permanen memiliki ketebalan antara 150 – 200mm.
6. Geocomposite strip drainage, berfungsi untuk mengalirkan air yang mengalir di belakang permukaan sementara agar tidak terjadi akumulasi tegangan.
Perlindungan tambahan terhadap karat, berfungsi untuk melindungi tulangan baja terhadap karat agar umur rencana struktur paku tanah dapat tercapai.
2.3. Mengubah Geometrik Lereng
Mengubah geometri lereng dapat dilakukan dengan cara pemotongan dan penimbunan pada ujung kaki. Metoda penanggulangan ini mempunyai prinsip mengurangi gaya dorong dari massa tanah yang longsor dan menambah gaya penahan dengan cara penimbunan pada ujung kaki lereng, sehingga faktor keamanan lereng dapat bertambah.
Metoda penanggulangan ini umumnya dilakukan untuk tipe longsoran rotasi, keuntungan yang utama dari metoda ini dapat merupakan penanggulangan permanen tergantung pada besarnya faktor keamanan yang diperoleh.
Pemilihan metoda penimbunan harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
 Tidak mengganggu kemantapan lereng dibawahnya
 Tidak mengganggu drainase permukaan (pembentukan cekungan /tangga).
 Letaknya diantara bidang netral dan ujung kaki longsoran.
Disamping itu letak bangunan di sekitar daerah longsoran merupakan faktor- faktor yang menentukan dalam penanggulangan ini. Hal-hal yang harus diperhatikan adalah sebagai berikut:
1. Potongan di kepala longsoran umumnya tidak dilakukan bila terdapat bangunan di dekatnya.
2. Pelandaian dapat diterapkan bila bangunan terletak pada kaki longsoran 3. Pemotongan seluruhnya hanya dapat diterapkan bila bangunan terletak pada
ujung kaki longsoran.
4. Penanganan umumnya dapat diterapkan bila letak bangunan baik di dekat kepala, di tengan maupun pada kaki longsoran.
5. Penimbunan tidak dapat diterapkan bila terdapat bangunan pada kaki longsoran.
Ilustrasi cara penanganan lereng dengan metode mengubah geometri lereng dapat dilihat pada gambar 2.2.
Gambar 2.2 Penanggulangan Longsoran dengan Cara Mengubah Geometri Lereng (Manual penanganan lereng jalan, 2005)
2.4. Rumput Pengendali Erosi
Berikut ini penjelasan mengenai rumput vertiver dan rumput bahia dari pedoman bahan konstruksi bangunan dan rekayasa sipil departemen PU yang berjudul Penanaman Rumput Vetiver untuk Pengendalian Erosi Permukaan dan Pencegahan Longsoran Dangkal pada Lereng Jalan.
2.4.1. Rumput Vertiver
Nama latin rumput vetiver yaitu Vetiveria zizanioides STAPF atau disebut juga Andropogon zizanioides URBAN atau A. muricatus RETZ atau A.
squarrosus LINN. Jenis rumput ini mempunyai nama berbeda untuk daerah- daerah di wawasan Nusantara, seperti : DI Gayo : useur; di Manado : akar babau;
di Timor : akar banda; di daerah Sunda : Janur, Narawasatu, usar; di Jawa : Larasetu, Larawastu, Rarawestu; di Madura : Karabistu; di Bali : Anggarawastu, Padang babad sanur; di Gorontalo : Tahele; di Makasar : Narawasatu, sare ambong; di Bugis : Nawarasatu, sere bandong; di Ternate : Gara ma kusu batawi;
di Tidore : Bara ma kusu batai; di Halmahera utara : Ruju-ruju; di Halmahera selatan : Babuwa mendi (weda).
Vetiver, yang di Indonesia dikenal sebagai akar wangi (Vetiveria zizanioides), adalah sejenis rumput-rumputan berukuran besar yang memiliki banyak keistimewaan. Di Indonesia rumput ajaib ini baru dimanfaatkan sebagai penghasil minyak atsiri melalui ekstraksi akar wangi, tetapi di mancanegara vetiver banyak dimanfaatkan untuk berbagai keperluan ekologis dan fitoremediasi (memperbaiki lingkungan dengan menggunakan tanaman) lahan dan air, seperti rehabilitasi lahan bekas pertambangan, pencegah erosi lereng, penahan abrasi pantai dan stabilisasi tebing melalui teknologi yang disebut Vetiver Grass Technology (VGT) atau Vetiver System (VS), sebuah teknologi yang sudah dikembangkan selama lebih dari 200 tahun di India.
Vetiver System adalah sebuah teknologi sederhana yang berbiaya murah dengan memanfaatkan tanaman vetiver hidup untuk konservasi tanah dan air serta perlindungan lingkungan. VS sangat praktis, tidak mahal, mudah dipelihara, dan sangat efektif dalam mengontrol erosi dan sedimentasi tanah, konservasi air, serta stabilisasi dan rehabilitasi lahan. Vetiver juga mudah dikendalikan karena tidak menghasilkan bunga dan biji yang dapat cepat menyebar liar seperti alang-alang atau rerumputan lainnya.
Keistimewaan vetiver sebagai tanaman ekologis disebabkan oleh sistem perakarannya yang unik. Tanaman ini memiliki akar serabut yang masuk sangat jauh ke dalam tanah (saat ini rekor akar vetiver terpanjang adalah 5.2 meter yang ditemukan di Doi Tung, Thailand).
Akar vetiver diketahui mampu menembus lapisan setebal 15 cm yang sangat keras. Di lereng-lereng yang keras dan berbatu, ujung-ujung akar vetiver mampu masuk menembus dan menjadi semacam jangkar yang kuat. Cara kerja akar ini seperti besi kolom yang masuk ke dalam menembus lapisan tekstur tanah dan pada saat yang sama menahan partikel-partikel tanah dengan akar serabutnya.
Kondisi ini bisa mencegah erosi yang disebabkan oleh angin dan air sehingga vetiver dijuluki sebagai “kolom hidup”.
Keajaiban vetiver lainnya adalah daya adaptasi pertumbuhannya yang sangat luas. Di bawah ini disajikan gambar perakaran rumput vetiver.
Gambar 2.3 Gambar perakaran rumput vetiver
Vetiver menahan laju air run-off dan material erosi yang terbawa dengan tubuhnya. Daun dan batang vetiver memperlambat aliran endapan yang terbawa run-off di titik A sehingga tertumpuk di titik B. Air terus mengalir menuruni lereng C yang lebih rendah. Akar tanaman (D) mengikat tanah di bawah tanaman hingga kedalaman 3 meter. Dengan membentuk “tiang” yang rapat dan dalam di dalam tanah, akar-akar ini mencegah terjadinya erosi dan longsor. Vetiver akan
efektif jika ditanam dalam barisan membentuk pagar. Proses itu secara detail dapat dilihat pada gambar 2.4.
Gambar 2.4 Penahan run-off fan pengendapan tanah oleh vertifer
Akar-akar vetiver yang masuk ke dalam tanah sedalam ± 3 meter akan berfungsi seperti kolomkolom beton yang menahan tanah agar tidak longsor sehingga tanah menjadi stabil. Barisan itu juga menahan material erosi di belakang tubuhnya yang dapat mengurangi kecuraman dan akhirnya membentuk teras-teras yang lebih landai.
2.4.2. Rumput Bahia
Rumput bahia (Paspalum notatum) merupakan jenis rumput yang tumbuh horizontal pada permukaan tanah, pertumbuhannya sangat kuat mengikat tanah.
Hasil penelitian Puslitbang Jalan (1984) menunjukkan bahwa jenis tanaman ini ditanam dengan menggunakan bibit tunas pada luas tanah 1m², dengan jarak tanam 10 cm X 10 cm dapat menutupi permukaan tanah 100 % dalam waktu 3 bulan.
Jenis ini pun mempunyai perakaran cukup dalam, dari penelitian yang telah dilakukan oleh Puslitbang Jalan, akar terpanjang yang pernah dicapai adalah 1,5 meter. Gambar rumput bahia disajikan pada gambar 2.5.
Gambar 2.5 Rumput Bahia (Setijati dkk, 1980.)
2.5. Sistem Drainase Permukaan
Drainase permukaan adalah sistem drainase yang dibuat untuk mengendalikan air (limpasan) permukaan akibat hujan. Tujuan dari sistem drainase ini, untuk memelihara agar jalan tidak tergenang air hujan dalam waktu yang cukup lama (yang akan mengakibatkan kerusakan konstruksi jalan), tetapi harus segera dibuang melalui saluran drainase permukaan (Shirley L. Hendarsin, 2000). Sarana drainase permukaan terdiri dari tiga jenis yaitu:
1. Saluran:
 Saluran Penangkap (catch ditch)
 Saluran Samping (side ditch) 2. Gorong-gorong (culvert)
3. Saluran alam (sungai) yang memotong jalan
Dalam perencanaan sistem drainase permukaan ada beberapa syarat yang harus diperhatikan yaitu ;
 Perencanaan drainase harus sedemikian rupa sehingga fungsi fasilitas drainase sebagai penampung, pembagi dan pembuang air dapat sepenuhnya berdaya guna dan berhasil guna,
 Pemilihan dimensi dari fasilitas drainase harus mempertimbangkan faktor ekonomi dan faktor keamanan,
 Perencanaan drainase harus dipertimbangkan pula segi kemudahan dan nilai ekonomis terhadap pemeliharaan sistim drainase tersebut,
 Perencanaan drainase ini tidak termasuk untuk sistem drainase areal, tetapi harus diperhatikan dalam perencanaan terutama untuk tempat air keluar.
Sistem drainase permukaan terdiri dari ; kemiringan melintang perkerasan dan bahu jalan, selokan samping, gorong-gorong dan saluran penangkap