• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Fisik Sarang Burung Maleo (Macrocephalon maleo) Di Suaka Margasatwa Pinjan-Tanjung Matop, Sulawesi Tengah.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Karakteristik Fisik Sarang Burung Maleo (Macrocephalon maleo) Di Suaka Margasatwa Pinjan-Tanjung Matop, Sulawesi Tengah."

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

KARAKTERISTIK FISIK SARANG BURUNG MALEO (Macrocephalon maleo) DI SUAKA MARGASATWA PINJAN-TANJUNG MATOP,

SULAWESI TENGAH

Indrawati Yudha Asmara

Fakultas Peternakan-Universitas Padjadjaran Jl. Raya Bandung-Sumedang KM 21

Abstrak

Penelitian untuk mengetahui karakteristik fisik sarang burung maleo (Macrocephalon maleo) di Suaka Margasatwa Pinjan-Tanjung Matop telah dilakukan di Desa Pinjan, Kabupaten Tolitoli, Sulawesi Tengah. Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif untuk mengetahui kedalaman, suhu dan kelembaban sarang yang ditemukan selama penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata kedalaman lubang adalah 65,45 cm (± 10,25 cm) , suhu 32,220C (±0,870C) dan kelembaban 59,44% (±8,29%).

Kata kunci : Karakteristik fisik, sarang, burung maleo, Suaka Margasatwa Pinjan-Tanjung Matop, Sulawesi Tengah

Abstract

A research on physical characteristic of nesting ground of maleo (Macrocephalon maleo) in Pinjan-Tanjung Matop Sanctuary was conducted at Pinjan Village, Tolitoli Regency, Central Sulawesi. The research used descriptive method to find out the depth, temperature and humidity of nesting ground. The result indicated that the average of the depth of nesting ground was 65,45 cm (± 10,25 cm), the temperature was 32,220C (±0,870C) and the humidity was 59,44% (±8,29%).

Key words : Physical characteristic, nesting ground, maleo, Pinjan-Tanjung Matop Sanctuary, Central Sulawesi

PENDAHULUAN

(2)

Suaka Margasatwa Pinjan-Tanjung Matop (SMPTM) merupakan salah satu kawasan yang telah ditetapkan pemerintah untuk melindungi burung maleo. Kawasan ini terletak di Kabupaten Toli-toli dan merupakan satu dari delapan kawasan konservasi yang menjadi prioritas utama perlindungan burung maleo di Sulawesi Tengah (Butchart & Baker, 1998).

Di sebelah utara kawasan SMPTM terdapat hamparan pasir pantai tempat burung Maleo bertelur. Pantai tersebut mempunyai panjang sekitar 2 km dengan lebar berkisar antara 10-25 m dan terbagi menjadi dua bagian yaitu Tanjung Matop dan Tanjung Tangkudan. Panjang masing-masing pantai kurang lebih 1 km.

Sejak tahun 1989 di SMPTM telah dibangun kandang penetasan. Pembangunan kandang ini tidak dimaksudkan untuk menangkarkan maleo, tetapi lebih kepada upaya perlindungan telur maleo baik dari predator maupun dari kondisi fisik lapangan tempat bertelurnya yang sempit, sehingga mudah terendah air. Dengan pembangunan kandang tersebut diharapkan banyak anak maleo yang bisa diselamatkan. Permasalahan yang dihadapi di kandang penetasan ini adalah daya tetasnya yang rendah. Daya tetas sangat dipengaruhi oleh suhu dan kelembaban tanah serta kedalaman dari sarang, oleh karena itu upaya untuk mengetahui suhu dan kelembaban serta kedalaman sarang di habitat asli maleo sangat diperlukan sebagai patokan dalam mengelola penetasan di kandang penetasan.

Metoda Penelitian

Karakteristik fisik sarang dilakukan dengan cara mengukur kedalaman, suhu dan kelembaban sarang yang ditemui pada waktu penelitian.

- Kedalaman Lubang

(3)

- Suhu dan Kelembaban

Suhu dan kelembaban tanah diukur pada kedalaman masing-masing lubang pengeraman telur yang ditemukan di pantai Tanjung Matop. Suhu diukur dengan menggunakan termometer tanah, sementara kelembaban diukur dengan menggunakan soil tester.

ISI

Kedalaman Lubang

Kedalaman lubang pengeraman di lokasi penelitian berkisar antara 40-100 cm dengan rata-rata 65,45 cm (± 10,25 cm) (Tabel 1). Dengan demikian kedalaman masih berada pada kisaran normal, karena diketahui bahwa kedalaman letak telur burung Maleo bervariasi antara 10-15 cm dan 80-100 cm, tetapi kebanyakan pada kedalaman 30-50 cm (Jones, et.al., 1995).

Telah diketahui bahwa ukuran dan kedalaman sarang tergantung pada tinggi kedalaman air (Water Table), jarak dari sumber panas, suhu tanah, struktur tanah, kondisi cuaca beberapa hari sebelumnya, frekuensi penggunaan dan umur sarang (Jones et.al., 1995). Terlihat bahwa pada waktu penelitian dilakukan kedalaman letak telur relatif lebih dalam dibandingkan kedalaman pada umumnya. Hal ini disebabkan pengukuran dilakukan saat musim hujan belum berakhir. Kondisi ini terjadi karena Maleo meletakkan telurnya lebih dalam ketika suhu tanah turun setelah hujan lebat dan lebih dangkal setelah masa kekeringan (Dekker, 1988). Setelah turun hujan tanah menjadi basah dan mempunyai suhu yang rendah, oleh karena itu Maleo akan menggali lubang lebih dalam untuk menemukan suhu yang cocok bagi penetasan.

(4)

telur pada kedalaman rata-rata 65.45 cm dilokasi penelitian diperkirakan akan memberi keuntungan berupa terjaganya suhu pada kisaran normalnya yaitu antara 32-390C.

Suhu

Dari hasil pengukuran, suhu tanah pada lubang pengeraman di lokasi penelitian berkisar antara 31-330C dengan rata-rata 32,220C (±0,870C) (Tabel 1) suhu ini masih berada dalam kisaran normal penetasan telur Maleo. Suhu tanah untuk menetaskan telur Maleo berkisar antara 32-390C (Jones, et.al., 1995).

Pengukuran menunjukkan bahwa suhu tanah di lokasi penelitian berada pada nilai terendah dari kisaran normal penetasan Maleo. Kondisi ini disebabkan pengukuran dilakukan pada waktu musim hujan yang masih belum berakhir, sehingga tanah di lokasi cenderung basah. Radiasi matahari yang sampai ketanah sebagian akan diserap dan sisanya akan dipantulkan. Energi yang diserap akan diubah menjadi panas dan dihilangkan dengan 3 cara, yaitu sebagian lewat penguapan air, sebagian digunakan untuk memanaskan tanah dan udara, dan sebagian lagi akan diradiasi ulang. Untuk tanah yang basah, kira-kira setengah dari energi yang diserap akan digunakan untuk menguapkan air, akibatnya suhu tanah akan lebih dingin jika dibandingkan dengan tanah yang tidak basah (Russel, 1961).

(5)

lama. Semakin tinggi suhu, maka masa pengeraman akan semakin cepat (Dekker, 1988).

Tabel 1. Karakterisitik Fisik Sarang Burung Maleo di SMPTM

Karakteristik Fisik Nomor Sarang

Kedalaman (cm) Suhu (0C) Kelembaban (%)

1 50 31,5 97

2 70 32,5 65

3 51 31,5 44

4 50 31 78

5 50 31,5 50

6 60 31,5 44

7 80 32 65

8 60 32 54

9 80 32,5 50

10 100 32 56

11 40 33 28

12 70 32,5 44

13 100 32 35

14 80 33 80

15 67 32,5 45

16 60 33 65

17 50 33 82

18 60 33 88

Rata-rata 65,45 (± 10,25) 32,22 (±0,87) 59,44 (±8,29)

Kelembaban

Kelembaban tanah di habitat bertelur berkisar atara 28-97% dengan rata-rata 59,44% (±8,29%) (Tabel 1). Hasil penelitian ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Gunawan (2000) di Tanjung Binarahan, Sulawesi Utara, bahwa kelembaban tanah di pantai tempat peneluran berkisar antara 55-65% denga rata-rata 58,34%.

(6)

kelembaban tinggi letaknya diperkirakan dekat dengan garis pantai. Akibatnya, telur yang berada pada sarang yang berdekatan dengan garis pantai akan mempunyai resiko yang tinggi terhadap pembusukan telur atau tidak berhasil menetas. Oleh karena itu dalam upaya pengelolaan Maleo di SMPTM, biasanya telur-telur tersebut akan digali dan dibawa ke kandang penetasan.

Kelembaban merupakan faktor yang penting dalam penetasan telur karena akan mempengaruhi suhu. Menurut Russel (1961) suhu tanah dipengaruhi oleh kelembaban tanah. Tanah yang basah akan menggunakan setengah energi matahari yang diserapnya untuk penguapan, akibatnya energi yang pergunakan untuk memanaskan tanah menjadi berkurang (Russel, 1961). Dengan demikian, tingginya kelembaban di lokasi penelitian yang diakibatkan oleh hujan dan dekatnya sarang dengan pasang tertinggi menyebabkan rendahnya suhu tanah.

PENUTUP

Kedalaman, suhu dan kelembaban rata-rata sarang burung maleo di SMPTM masih normal. Kisaran ekstrim kedalaman, suhu dan kelembaban yang diukur selama penelitian disebabkan pengukuran dilakukan pada kondisi cuaca yang berbeda pada waktu musim hujan yang belum berakhir.

Daftar Pustaka

Butchart, S.H.M and Gillian C. Baker. 1998. Priority Sites for Conservation of Maleo (Macrocephalon maleo) in Central Sulawesi. Department of Zoology, Downing Street, Cambridge, CB2 3 EJ, UK. 20p.

Dekker, R.W.R.J. 1988. Notes on Ground Temperatures at Nesting Sites of The Maleo (Macrocephalon maleo (Megapodiidae). Emu 88 : 124 – 127.

Gunawan, H. 2000. Strategi Burung Maleo (Macrocephalon maleo Sal. Muller 1846) dalam Seleksi Habitat Tempat Bertelurnya di Sulawesi. Tesis. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. 203 hal.

Jones, D.N., Dekker, R.W.R.J. and C.S. Roselaar. 1995. Bird Families of The World : The Megapodea. Stanford University. Press. Oxford. 262 p.

Mackinnon, K. 1992. The Wildlife of Indonesia : Nature’s Treasurehouse. Gramedia Pustaka Utama. P 114 – 129.

(7)

Gambar

Tabel 1. Karakterisitik Fisik Sarang Burung Maleo di SMPTM

Referensi

Dokumen terkait

Pemeriksaan yang dilakukan terhadap pedagang makanan yang menjual selada (Lactuca sativa) di Jalan Perintis Kemerdekaan Kota Padang untuk mengidentifikasi telur

Muridnya antara lain Raden Paku yang kemudian terkenal dengan sebutan Sunan Giri, Raden Patah yang kemudian menjadi sultan Pertama dari kerajaan Islam di Bintoro Demak,

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya ada beberapa keywords dalam penelitian ini yang bisa diambil, diantaranya Minangkabau, kebudayaan, arsitektur, bentuk

Berpijak dari kajian tersebut, maka ada beberapa saran yang dapat dipaparkan, diantaranya: riset selanjutnya mungkin dapat menginventarisir tema beragam yang

Eyepiece tube atau Body tube (tabung mikroskop) adalah tabung yang berbentuk silinder kosong dimana sinar dari lensa obyektif di bagian bawah akan menuju ke lensa okuler

Darul A’mal Kota Metro Tahun Pelajaran 2019/2020 yang berhasil dikumpulkan melalui metode angket, observasi, wawancara/intervieu dan dokumentasi, maka langkah

Systemic Lupus Erythematosus (SLE) merupakan penyakit autoimun yang prevalensinya tiap tahun meningkat di dunia maupun di Indonesia. Kelelahan yang parah dapat

Penelitian dilakukan pada puskesmas rawat inap yang ada di Kota Denpasar untuk mengeksplorasi variabel – variabel yang mempengaruhi budaya patient safety di