hal
LEMBAR PERSETUJUAN . . . i
LEMBAR PENGESAHAN. . . ii
PERNYATAAN KEASLIAN. . . iii
LEMBAR PERSEMBAHAN. . . iv
KATA PENGANTAR. . . v
ABSTRAK. . . viii
ABSTRACT. . . ix
DAFTAR ISI. . . x
DAFTAR TABEL. . . xv
DAFTAR GAMBAR. . . xxi
DAFTAR GRAFIK . . . xxiii
DAFTAR LAMPIRAN . . . xxiv
BAB I PENDAHULUAN . . . 1
1.1Latar Belakang Masalah. . . 1
1.2Rumusan Masalah . . . 18
1.3Tujuan Penelitian. . . 21
1.4Manfaat Penelitian. . . 21
1.5Hipotesis Penelitian . . . 22
1.6Pendefinisian Istilah . . . 23
BAB II KAJIAN TEORI . . . 25
2.2.2 Pemahaman Konsep Geometri . . . 49
2.3Teori yang Mendasari Strategi Pembelajaran Eksploratif . . 2.3.1 Strategi Pembelajaran menurut Pandangan 3.3.2.2Persepsi terhadap Karakter Berkelompok . . .
3.3.2.4Kuesioner. . . 136 4.2Hasil Penelitian tentang Pretes Kemampuan Visualisasi dan
Pemahaman Konsep . . . 152 4.3Hasil Penelitian tentang Kemampuan Visualisasi . . .
4.3.1 Deskripsi Peningkatan Kemampuan Visualisasi . . . . 4.3.2 Uji Normalitas Peningkatan Kemampuan Visualisasi
Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol . . . 4.3.3 Pengaruh Interaksi Aspek Strategi Pembelajaran,
Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol. . . 4.4.3 Pengaruh Interaksi Aspek Strategi Pembelajaran,
Kategori Sekolah dan TKAS terhadap Peningkatan Pemahaman Konsep . . . 4.5.3 Persepsi Guru terhadap Karakter Berkelompok. . . 4.5.4 Kuisioner. . . 4.6Hubungan antara Peningkatan Kemampuan Visualisasi,
Peningkatan Pemahaman Konsep dan Karakter Siswa. . . 4.6.1 Hubungan antara Kemampuan Visualisasi dan
Pemahaman Konsep . . . . . . . . . 4.6.2 Hubungan antara Peningkatan Kemampuan
Visualisasi dan Karakter. . . 4.6.3 Hubungan antara Peningkatan Pemahaman Konsep
dan Karakter . . .
4.7.1 Pembahasan tentang Kemampuan Visualisasi . . . 4.7.2 Pembahasan tentang Pemahaman Konsep . . .
4.7.3.1 Gambaran Pembelajaran dengan Strategi Eksploratif. . . 4.7.3.2 Gambaran Kinerja Siswa pada Kemampuan
Visualisasi. . . 4.7.3.3 Gambaran Kinerja Siswa pada Pemahaman
Konsep. . . 4.7.3.4 Gambaran Kinerja Siswa pada Tes
Pemahaman Konsep. . . BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, KETERBATASAN DAN
hal Tabel 1.1 Deskripsi International Benchmark Geometry (TIMSS for
year 8) . . . 8
Tabel 1.2 Perolehan Score Benchmark Indonesia pada Tahun 2007 . . . . 8
Tabel 2.1 Pengertian Pemahaman Konsep . . . 44
Tabel 2.2 Karakter dalam Pembelajaran Matematika. . . 90
Tabel 2.3 Indikator Karakter Individu dan Karakter Berkelompok Siswa. 97 Tabel 3.1 Kategori Tingkat Kemampuan Awal Siswa. . . 106
Tabel 3.2 Tabel Wiener untuk Kemampuan Visualisasi, Pemahaman Konsep, Karakter Individu dan Karakter Berkelompok . . . 107
Tabel 3.3 Sebaran Peringkat Madrasah di Propinsi DKI Jakarta BAN-SM tahun 2009. . . 108
Tabel 3.4 Komponen Penilaian Akreditasi Sekolah Peringkat A (BAN-SM 2009) . . . 110
Tabel 3.5 Komponen Penilaian Akreditasi Sekolah Peringkat B (BAN-SM 2009) . . . 110
Tabel 3.6 Jumlah Siswa pada Tiap Sekolah. . . 112
Tabel 3.7 Kriteria Penyekoran Tes Pemahaman Konsep Geometri. . . 116
Tabel 3.8 Kriteria Penyekoran Visualisasi Geometri. . . 117
Tabel 3.9 Kisi-Kisi Instrumen Tes Pemahaman Konsep. . . 118
Tabel 3.10 Kendall's W Test Pemahaman Konsep. . . 120
Tabel 3.11 Derajat Reliabilitas. . . 121
Tabel 3.12 Derajat Validitas Instrumen. . . 122
Tabel 3.13 Validitas Butir Tes Pemahaman Konsep. . . 122
Tabel 3.14 Kriteria Tingkat Kesukaran. . . 123
Tabel 3.17 Rangkuman Hasil Uji Coba Tes Kemampuan Visualisasi . . . . 126 Tabel 3.18 Indikator Angket Siswa. . . 129 Tabel 3.19 Kendall's W Test Angket Individu dan Angket Berkelompok 130 Tabel 3.20 Indikator Persepsi Guru. . . 132 Tabel 3.21 Kendall's W Test Angket Individu dan Angket Berkelompok 132 Tabel 3.22 Indikator Karakter Individu untuk Lembar Observasi . . . 134 Tabel 3.23 Indikator Karakter Berkelompok untuk Lembar Observasi . . . 134 Tabel 3.24 Kendall's W Test Lembar Observasi Karakter Individu dan
Karakter Berkelompok . . . 135 Tabel 3.25 Perhitungan Kategori Karakter. . . 149 Tabel 3.26 Rekapitulasi Jumlah Responden pada Kuisioner . . . 150 Tabel 3.27 Gabungan Peningkatan Kemampuan Visualisasi, Peningkatan
Pemahaman Konsep, dan Karakter Individu. . . 151 Tabel 4.1 Nama Sekolah, Kategori Sekolah, Kelas Sampel, Strategi
Pembelajaran dan Jumlah Siswa. . . 152 Tabel 4.2 Rerata dan Deviasi Standar Data Pretes Kemampuan
Visualisasi . . . 153 Tabel 4.3 Uji Normalitas Pretes Kemampuan Visualisasi. . . 153 Tabel 4.4 Uji Beda Rerata Pretes Kemampuan Visualisasi. . . 154 Tabel 4.5 Rerata dan Deviasi Standar Data Pretes Pemahaman Konsep. . 155 Tabel 4.6 Uji Normalitas Pretes Pemahaman Konsep. . . 155 Tabel 4.7 Uji Mann-Whitney Pretes Pemahaman Konsep Geometri. . . 156 Tabel 4.8 Deskripsi Statistik Data Peningkatan Kemampuan Visualisasi 158 Tabel 4.9 Deskripsi Statistik Data Peningkatan Kemampuan Visualisasi
ditinjau dari Aspek Kategori Sekolah. . . 159
Tabel 4.11 Uji Normalitas Peningkatan Kemampuan Visualisasi
Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol . . . 161
Tabel 4.12 Uji Normalitas Peningkatan Kemampuan Visualisasi Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol ditinjau dari Aspek
Kategori Sekolah . . . 162 Tabel 4.13 Uji Normalitas Peningkatan Kemampuan Visualisasi
Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol ditinjau dari Aspek
Tingkat Kemampuan Awal Siswa . . . 163 Tabel 4.14 Uji Beda Rank Peningkatan Kemampuan Visualisasi
Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol ditinjau dari Aspek
Kategori Sekolah dan Tingkat Kemampuan Awal Siswa . . . 164 Tabel 4.15 Uji Post Hoc Peningkatan Kemampuan Visualisasi Kelas
Eksperimen dan Kelas Kontrol ditinjau dari Aspek Kategori
Sekolah . . . 166 Tabel 4.16 Uji Post Hoc Peningkatan Kemampuan Visualisasi Kelas
Eksperimen dan Kelas Kontrol ditinjau dari Aspek Tingkat
Kemampuan Awal Siswa. . . 167 Tabel 4.17 Uji Homogenitas Peningkatan Kemampuan Visualisasi
ditinjau dari Aspek Strategi Pembelajaran, Kategori Sekolah
dan Tingkat Kemampuan Awal Siswa . . . 170 Tabel 4.18 Korelasi antara Strategi Pembelajaran, Kategori Sekolah dan
TKAS terhadap Peningkatan Kemampuan Visualisasi. . . 171 Tabel 4.19 Pengaruh Interaksi Strategi Pembelajaran, Kategori Sekolah
dan TKAS terhadap Peningkatan Kemampuan Visualisasi. . . 172 Tabel 4.20 Rangkuman Uji Hipotesis Ngain Kemampuan Visualisasi
Tabel 4.21 Deskripsi Statistik Data Peningkatan Pemahaman Konsep. . . . 176 Tabel 4.22 Deskripsi Statistik Data Peningkatan Pemahaman Konsep
ditinjau dari Aspek Kategori Sekolah. . . 177 Tabel 4.23 Deskripsi Statistik Data Peningkatan Pemahaman Konsep
ditinjau dari Aspek Tingkat Kemampuan Awal Siswa. . . 178 Tabel 4.24 Uji Normalitas Peningkatan Pemahaman Konsep Kelas
Eksperimen dan Kelas Kontrol. . . 179 Tabel 4.25 Uji Normalitas Peningkatan Pemahaman Konsep Kelas
Eksperimen dan Kelas Kontrol ditinjau dari Aspek Kategori
Sekolah . . . 180 Tabel 4.26 Uji Normalitas Peningkatan Pemahaman Konsep Kelas
Eksperimen dan Kelas Kontrol ditinjau dari Aspek Tingkat
Kemampuan Awal Siswa . . . 181 Tabel 4.27 Uji Beda Rank Peningkatan Pemahaman Konsep Kelas
Eksperimen dan Kelompok Kontrol ditinjau dari Aspek
Kategori Sekolah dan Tingkat Kemampuan Awal Siswa . . . 181 Tabel 4.28 Uji Post Hoc Peningkatan Pemahaman Konsep Kelas
Eksperimen dan Kelas Kontrol ditinjau dari Aspek Kategori
Sekolah . . . 183 Tabel 4.29 Uji Homogenitas Peningkatan Pemahaman Konsep ditinjau
dari Aspek Strategi Pembelajaran, Kategori Sekolah dan
Tingkat Kemampuan Awal Siswa . . . 185 Tabel 4.30 Korelasi antara Strategi Pembelajaran, Kategori Sekolah dan
TKAS terhadap Peningkatan Pemahaman Konsep. . . 185 Tabel 4.31 Pengaruh Interaksi Strategi Pembelajaran, Kategori Sekolah
berdasarkan Aspek Strategi Pembelajaran, Kategori Sekolah
dan TKAS. . . 188 Tabel 4.33 Kategori Karakter Individu Siswa ditinjau dari Aspek Strategi
Pembelajaran, dan Kategori Sekolah. . . 189 Tabel 4.34 Kategori Karakter Berkelompok Siswa ditinjau dari Aspek
Strategi Pembelajaran, dan Kategori Sekolah, . . . 191 Tabel 4.35 Kategori Karakter Berkelompok Siswa berdasarkan Persepsi
Guru. . . 193 Tabel 4.36 Persentase Jumlah Siswa pada Faktor Pendidikan Orang Tua. . 194 Tabel 4.37 Persentase Jumlah Siswa pada Faktor Dukungan Materi. . . 196 Tabel 4.38 Persentase Jumlah Siswa pada Faktor Hubungan Sosial. . . 198 Tabel 4.39 Persentase Jumlah Siswa pada Faktor Kemampuan Akademik. 199 Tabel 4.40 Kategori Peningkatan Kemampuan Visualisasi dan
Peningkatan Pemahaman Konsep. . . 201 Tabel 4.41 Korelasi antara Kemampuan Visualisasi dan Pemahaman
Konsep Geometri. . . 204 Tabel 4.42 Model Summary Ngain Visualisasi dan Ngain Pemahaaman
Konsep . . . 204 Tabel 4.43 ANOVA untuk Kemampuan Visualisasi dan Pemahaman
Konsep. . . 205 Tabel 4.44 Analisis Regresi untuk Kemampuan Visualisasi dan
Pemahaman Konsep. . . 205 Tabel 4.45 Hubungan antara Peningkatan Kemampuan Visualisasi dan
Peningkatan Pemahaman Konsep ditinjau dari Aspek Strategi
Pembelajaran . . . 206
Sekolah. . . 207 Tabel 4.47 Kategori Effect Size. . . 209 Tabel 4.48 Hubungan antara Peningkatan Kemampuan Visualisasi,
Karakter Individu dan Karakter Berkelompok ditinjau dari
Aspek Strategi Pembelajaran . . . 210 Tabel 4.49 Hubungan antara Peningkatan Kemampuan Visualisasi,
Karakter Individu dan Karakter Berkelompok ditinjau dari
Aspek Kategori Sekolah. . . 211 Tabel 4.50 Hubungan antara Pemahaman Konsep, Karakter Individu dan
Karakter Berkelompok ditinjau dari Aspek Strategi
Pembelajaran . . . 213 Tabel 4.51 Hubungan antara Peningkatan Pemahaman Konsep, Karakter
Individu dan Karakter Berkelompok ditinjau dari Aspek
Kategori Sekolah. . . 214 Tabel 4.52 Hubungan antara Peningkatan Kemampuan Visualisasi,
Peningkatan Pemahaman Konsep, dan Indikator Karakter. . . . 215 Tabel 4.53 Hubungan antara Peningkatan Kemampuan Visualisasi,
Peningkatan Pemahaman Konsep, dan Indikator Karakter
Berkelompok. . . 216 Tabel 4.54 Peningkatan Kemampuan Visualisasi Siswa dengan Kategori
hal
Gambar 1.1 Skema Integrasi Geometri dengan Karakter. . . 5
Gambar 1.2 Soal Geometri pada TIMSS tahun 1994. . . 6
Gambar 1.3 Soal Geometri pada TIMSS tahun 2002. . . 6
Gambar 1.4 Soal Geometri pada TIMSS tahun 2007. . . 7
Gambar 2.1 Segiempat. . . 26
Gambar 2.2 Soal Visualisasi McLeay. . . 39
Gambar 2.3 Tahapan Pemahaman menurut Teori Pirie-Kieren . . . 46
Gambar 2.4 Kerangka Teori Skema Pembelajaran Eksploratif. . . 68
Gambar 2.5 Aktivitas Siswa dengan menggunakan Media. . . 75
Gambar 2.6 Visualisasi Bangun Ruang. . . 78
Gambar 2.7 Soal Eksplorasi Bangun Ruang. . . 78
Gambar 2.8 Pembuktian Luas Segitiga. . . 79
Gambar 2.9 Kerangka Teori Penelitian. . . 99
Gambar 2.10 Road Map Hasil Penelitian Geometri. . . 103
Gambar 3.1 Embedded Design (Creswell, 2007). . . 104
Gambar 3.2 Alur Penentuan Sampel Penelitian. . . 113
Gambar 3.3 Model Pembelajaran di Kelas Eksperimen. . . 140
Gambar 3.4 Model Pembelajaran di Kelas Kontrol . . . 141
Gambar 3.5 Skema Analisis Data Penelitian. . . 143
Gambar 4.1 Suasana Belajar di Kelas Kontrol-Kategori A. . . 231
Kategori A dan B . . . 235
Gambar 4.4 Aktivitas Eksplorasi Individu . . . 237
Gambar 4.5 Aktivitas Presentasi . . . 238
Gambar 4.6 Aktivitas Eksplorasi Kelompok . . . 239
Gambar 4.7 Aktivitas Diskusi di Sekolah Kategori A dan B. . . 240
Gambar 4.8 Visualisasi Bangun Ruang 3 Dimensi menjadi 2 Dimensi. . . 242
Gambar 4.9 Visualisasi Bangun Ruang 3 Dimensi dari 2 Dimensi. . . 242
Gambar 4.10 Rangka Bangun Ruang hasil Karya Siswa. . . 243
Gambar 4.11 Visualisasi untuk Memecahkan Masalah Sudut pada Bangun Ruang 3 Dimensi. . . 243
Gambar 4.12 Pemahaman Siswa tentang Kedudukan Sudut pada LES 1. . 244
Gambar 4.13 Pemahaman Siswa tentang Menentukan Besar Sudut pada LES 6. . . 245
Gambar 4.14 Jawaban Siswa pada Soal Nomor 1. . . 246
Gambar 4.15 Jawaban Siswa pada Soal Nomor 2. . . 247
Gambar 4.16 Jawaban Siswa pada Soal Nomor 3. . . 248
Gambar 4.17 Visualisasi Pemahaman Siswa pada Bangun Ruang 3 Dimensi. . . 249
Gambar 4.18 Jawaban Siswa pada Soal Nomor 4. . . 250
Gambar 4.19 Jawaban Siswa pada Soal Nomor 5. . . 251
hal
Grafik 4.1 Pengaruh Interaksi Strategi Pembelajaran Eksploratif, Kategori sekolah dan Tingkat Kemampuan Awal Siswa
terhadap Peningkatan Kemampuan Visualisasi. . . 173 Grafik 4.2 Pengaruh Interaksi Aspek Strategi Pembelajaran Eksploratif,
Kategori Sekolah dan Tingkat Kemampuan Awal Siswa terhadap Pemahaman Konsep. . . 187 Grafik 4.3 Uji Normalitas Regresi Linear. . . 202 Grafik 4.4 Sebaran Data Peningkatan Kemampuan Visualisasi dan
hal
Lampiran A Pertimbangan Para Ahli mengenai Instrumen. . . 299
Lampiran B Kisi-kisi Instrumen dan Instrumen Penelitian . . . 303
Lampiran C Data Hasil Uji Coba Tes Kemampuan Visualisasi dan Pemahaman Konsep . . . 342
Lampiran D Data Hasil Penelitian . . . 352
Lampiran E Analisis Data dengan SPSS. . . 364
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Kurikulum pendidikan dewasa ini diimplementasikan untuk mengarahkan proses pembelajaran pada pencapaian kompetensi bidang studi tertentu misalnya Matematika, Agama, bahasa Indonesia, bahasa Inggris dan lain
sebagainya yang telah ditetapkan serta dalam rangka membentuk pribadi siswa dengan karakter yang baik. Peran dan tujuan pendidikan ini dikembangkan dari fungsi pendidikan yang tertuang dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No 20 tahun 2003 Pasal 3 bahwa:
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis.
Sebagai bentuk kepedulian pemerintah dalam proses pembentukan pribadi seorang individu yakni melalui dunia pendidikan, Menteri Pendidikan Republik Indonesia beserta jajarannya menginstruksikan kepada seluruh pelaksana pendidikan untuk menggunakan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) sebagai acuan kurikulum pendidikan di Indonesia. KTSP disusun berdasarkan pada keragaman budaya, keragaman tingkatan, letak geografis, suasana, lingkungan yang ada di Indonesia, sehingga KTSP dalam hal ini mengatur pada delapan standar pelaksanaan pembelajaran, antara lain: standar kompetensi lulusan, standar isi, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar proses, standar sarana dan prasarana, standar pembiayaan, standar pengelolaan dan standar penilaian pendidikan. Implementasi pembelajaran di lapangan dikembalikan kepada satuan pendidikan masing-masing sesuai dengan sarana dan prasarana, budaya serta lingkungan dimana proses pembelajaran berlangsung.
KTSP mulai diberlakukan sejak tahun 2006 yang merupakan penyempurnaan dari kurikulum sebelumnya, dimana dalam KTSP dijelaskan bahwa proses pembelajaran dan penilaian di sekolah harus mengimplementasi pendidikan karakter, dalam hal ini guru dituntut untuk mengintegrasikan materi pelajaran dengan penanaman nilai-nilai karakter sehingga diharapkan siswa dapat merealisasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
siswa karena siswa banyak menghabiskan waktu siang hari di sekolah, bahkan beberapa sekolah yang menerapkan sistem full-day, yakni sekitar 9 jam siswa menghabiskan siang hari di sekolah, sehingga secara maksimal guru dapat melihat perkembangan siswanya. Oleh sebab itu pendidikan formal dapat menunjang keberhasilan pembentukan karakter siswa. Pendidikan yang terintegrasi dengan pembentukan karakter tentu saja harus melibatkan semua komponen pendidikan diantaranya adalah isi kurikulum, proses pembelajaran, penilaian hasil belajar, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas/kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, ethos kerja di lingkungan sekolah, namun selain itu diperlukan juga peran serta/kontribusi orang tua.
matematika yaitu: Pemecahan Masalah, Penalaran dan Pembuktian, Komunikasi, Koneksi dan Representasi (NCTM, 2000).
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, bahwa Indonesia memiliki budaya dan letak geografis yang beranekaragam, maka untuk mengantisipasi kegaraman tersebut, pemerintah mengatur pelaksanaan pembelajaran matematika sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional tahun 2006 dengan memberlakukan 8 standar pelaksanaan program pendidikan. Tujuan dari Peraturan Menteri Pendidikan ini pada intinya bahwa seluruh tingkatan/jenjang pendidikan di Indonesia harus melaksanakan kegiatan pendidikan termasuk didalamnya adalah proses pembelajaran harus sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan, dengan tujuan membuat standarisasi dalam pelaksanaan pendidikan untuk mencapai kompetensi bidang studi tertentu misalnya pelajaran
matematika, yang sama untuk semua wilayah di Indonesia.
geometri serta penanaman nilai-nilai karakter bangsa yang dijelaskan di atas, maka ide penulis terntang integrasi tersebut dituangkan pada pada Gambar 1.1 berikut:
Implementasi pembelajaran geometri tidak terjadi di lingkungan sekolah saja melainkan juga banyak manfaatnya dalam kehidupan sehari-hari. Geometri dapat membentuk pengetahuan keruangan, dan dapat diaplikasikan secara luas pada berbagai bidang, mulai dari pekerjaan konvensional tukang ledeng, pekerja bangunan, pengepakan barang sampai pada pekerjaan menggunakan teknologi, misalnya desain, manufaktur mobil, robot, teknisi mesin, interior designer, pembuatan pesawat terbang, penggunaan teknologi global positioning system (GPS) dan sebagainya. Geometri juga dapat membantu memahami konsep lain aljabar, persamaan garis lurus, kalkulus, aritmetika, dan sebagainya
(Whitely, 1999; dan Jones, 2000, 2001).
Meskipun demikian, ditemukan fakta masih banyak siswa sekolah menengah yang mengalami kesulitan mempelajari konsep geometri (Clement,
2003; Ives, 2003; dan Eraso, 2007), sebagaimana ditunjukkan oleh hasil laporan TIMSS bahwa kemampuan siswa kelas 8 dalam bidang geometri masih tergolong rendah, berikut beberapa contoh soalnya:
Soal latihan 1:
In the ABC, shown above, the altitudes BN and CM intersect at point S. The measure of MSB is 400 and the measure of SBC is 200. Write a PROOF of the
following statement: “ABC is isosceles”. Give geometric reasons for a
statement in your proof.
Soal latihan 1 merupakan pertanyaan tentang pembuktian matematika yang memuat kemampuan penalaran, kemampuan komunikasi disamping pemahaman konsep geometri. Hasil laporan TIMMS menunjukkan banyak siswa yang tidak dapat menjawab dengan baik.
Soal latihan 2:
In this figure, triangle ABC and DEF are congruent with BC=EF
A
What is the measure of angle EGC?
a. 200
b. 400
c. 600
d. 800
Soal latihan 3:
In this diagram, CD=CE
What is the value of x?
a. 400 b. 500 c. 600 d. 700
Soal latihan 2 dan Soal latihan 3, merupakan pertanyaan pilihan yang beralasan, yang menunjukkan kemampuan koneksi, pemahaman konsep dan kemampuan komunikasi. Hasil laporan TIMMS juga menunjukkan bahwa sebagian besar siswa dapat menjawaban dengan benar, akan tetapi masih kesulitan dalam memberikan alasan atas jawabannya
Secara statistika, menurut laporan TIMMS menunjukkan siswa yang menjawab benar Soal latihan 1, 2 dan 3 berturut-turut 48%, 48%, dan 32%. Penilaian di TIMSS diukur menggunakan dua dimensi yaitu dimensi content dan dimensi cognitive.
Hasil akhir penilaian akan menentukan kemampuan siswa yang dikelompokkan menjadi empat kategori uji mutu, yaitu low benchmark, intermediate benchmark, high benchmark dan advance benchmark. Tabel 1.1
menunjukkan kategori uji mutu kemampuan siswa dalam menjawab soal-soal geometri.
x
A
B C
D E
500
Tabel 1.1
Deskripsi International Benchmark Geometry (TIMSS for year 8) Low
Hasil TIMMS tahun 2007 menunjukkan bahwa perolehan hasil ajang kompetisi matematika dari Negara Indonesia pada content domain dan cognitive domain disajikan pada Tabel 1.2 berikut:
Tabel 1.2
Perolehan Score Benchmark Indonesia pada Tahun 2007
Content Domain Cognitive Domain
Bilangan Aljabar Geometri & Pengukuran
Data &
Peluang Pengetahuan Applikasi Penalaran
399 405 395 402 397 398 405
Nilai Rata-rata secara Internasional 500 Sumber: Mullis, 2008
termasuk pada kategori Low International Benchmark, artinya siswa memiliki pengetahuan terbatas dalam menyelesaikan soal-soal geometri.
Selanjutnya, pada laporan PISA (Programme for International Student Assessment) pada tahun 2009 menunjukkan bahwa Indonesia berada pada
peringkat ke 68 dari 74 negara. PISA merupakan salah satu ajang internasional dalam bidang matematika yang menguji kemampuan siswa dalam mengaplikasikan pengetahuan matematik dan menggunakannya dalam memecahkan masalah. Seperti yang diungkapkan dalam PISA 2009 Result:
“The PISA mathematics literacy test asks students to apply their mathematical knowledge to solve problems set in various real-world contexts. To solve the problems students must activate a number of mathematical competencies as well as a broad range of mathematical content knowledge. TIMSS, on the other hand, measures more traditional classroom content such as an understanding of fractions and decimals and the relationship between them (curriculum attainment). PISA claims to measure education's application to real-life problems and lifelong learning (workforce knowledge)”.
Memahami geometri tidak dapat dilakukan dalam jangka waktu singkat dan proses yang sederhana, akan tetapi diperlukan proses berpikir tingkat tinggi. Van Hiele (Bitter, 1989; Baynes, 1998; Clement, 2003; Moyer, 2003; dan Goos, 2007) mengembangkan lima tahapan berpikir dalam geometri yaitu recognition, analysis, abstraction, deduction and rigor.
Recognition yaitu menyelesaikan masalah geometri berdasarkan pada
dan sistematis dengan menggunakan istilah tak terdefinisi, aksioma, definisi dan teorema. Rigor yaitu menunjukkan sebuah teorema dengan menggunakan sistem postulat serta menganalisis sistem ini . Beberapa contoh Rigors yang dilakukan oleh Riemannian dan Lobachechian geometri (Moyer, 2003: 37) antara lain:
1. The students rigorously establish theorem in difference axiomatic systems
(e.g. Hilbert’s Approach to foundations of geometry);
2. The students compares axiomatic system (e.g., Euclidean and non-Euclidean geometries); psontaneously explore how changes in axioms affect the resulting geometry;
3. The students establishes consistency of aset of axioms, independence of an axiom, an equivalency of different sets of axioms; create an axiomatic system for a geometry;
4. The students invent generalizaed methodes for solving classes of problems. 5. The students searches for the broadest context in which a mathematical
theorem/principle will apply;
6. The students does in depth study of subject logic to develop new insight and approaches to logical inference.
Namun demikian, penulis membatasi kemampuan matematika dalam penelitian ini yaitu kemampuan visualisasi dan pemahaman konsep. Van Hiele mengatakan bahwa tahap pertama dalam berpikir geometri adalah menyelesaikan masalah geometri pada pertimbangan visual, dengan kata lain bahwa kemampuan visualisasi merupakan kemampuan paling dasar. Akan tetapi hasil penelitian menunjukkan tidak sedikit siswa yang belum memiliki kemampuan visualisasi dengan baik, kesulitan menunjukkan sifat-sifat geometri yang disajikan dalam bentuk gambar, kesulitan mengaplikasikan konsep geometri. (Baynes, 1998; Ives, 2003; McLeay, 2006; Eraso, 2007; Basham, 2007; dan Rittle, 1998).
siswa secara langsung, sedangkan guru berperan sebagai pemberi semangat (Cobb, 2007). Upaya para peneliti untuk meningkatkan kemampuan visualisasi, antara lain: yang telah dilakukan oleh Ives (2003) yaitu pembelajaran geometri berbasis dynamic models di kelas 7 menunjukkan bahwa kemampuan visualisasi spasial siswa menjadi lebih baik. McLeay (2006) menggunakan media dan pengalaman kongkrit untuk melatih kemampuan visualisasi sehingga dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah keruangan. Tartre (1990) melatih kemampuan spasial siswa kelas 10, dengan cara menghubungkan konsep geometri dengan masalah non-geometri. Kemampuan spasial siswa pada level tinggi dapat membentuk struktur mental untuk membuat hubungan antara masalah yang baru dengan masalah sebelumnya, sedangkan Basham (2007) menggunakan software 3-Dimensional CADD dengan module alone untuk meningkatkan kemampuan spasial ruang siswa kelas 9 khususnya kemampuan rotasi objek secara mental.
Pemahaman konsep geometri diartikan sebagai kemampuan siswa memahami prinsip dasar dalam membangun geometri serta memahami hubungan diantara prinsip sehingga menjadi pengetahuan geometri secara utuh untuk mencapai tingkat penguasaan dan pemahaman yang lebih komprehensif. Akan tetapi dalam penelitian ini pemahaman konsep yang disesuaikan dengan tujuan pembelajaran geometri tingkat SMA dalam KTSP yang secara lebih rinci akan dibahas pada bab selanjutnya.
deduction and rigor (Baynes, 1998), yang berarti bahwa kemampuan visualisasi
memiliki kedudukan yang paling rendah dibandingkan dengan kemampuan lainnya, sehingga jelas bahwa kemampuan visualisasi memiliki keterkaitan dengan pemahaman konsep geometri. Berdasarkan penjelasan tersebut, kemampuan visualisasi merupakan kemampuan paling dasar dalam geometri, maka pemahaman konsep geometri akan dipengaruhi oleh kemampuan visualisasi dan ini merupakan sebuah hubungan sebab akibat artinya kemampuan visualisasi yang tinggi akan menyebabkan pemahaman konsep yang tinggi atau sebaliknya. Dengan demikian, penulis menduga jika kemampuan visualisasi siswa rendah maka kemungkinan pemahaman konsepnya akan rendah pula, sehingga sebelum penulis meningkatkan pemahaman konsep geometri, akan dilakukan terlebih dahulu peningkatan terhadap kemampuan visualisasi.
Rendahnya kemampuan visualisasi dan pemahaman konsep siswa, salah satunya adalah dipengaruhi oleh cara belajar atau membelajarkan. Pembelajaran geometri tidak dapat dilakukan dengan cara transfer informasi melalui kegiatan ceramah atau yang dikenal dengan ekspositori. Pembelajaran geometri, khususnya untuk meningkatkan kemampuan visualisasi harus melibatkan aktivitas tindakan baik aktivitas objek langsung maupun aktivitas dalam pemikiran yang disebut mental image. Pembentukan konsep pada mental image harus dilatih dengan cara
menggunakan peralatan yang tradisional maupun eksplorasi benda yang menggunakan teknologi komputer.
Sebagaimana diungkapkan oleh Yeo (2006) “eksplorasi” serupa dengan “investigasi”, perbedaan keduanya adalah kegiatan eksplorasi matematika adalah
aktivitas siswa yang dibimbing untuk menemukan konsep tertentu, sedangkan investigasi matematika adalah sejumlah aktivitas yang dilakukan oleh siswa untuk menemukan berbagai hal baru berdasarkan kepada permasalahan yang telah diberikan, bahkan temuan tersebut tidak dapat diantisipasi oleh guru”.
Strategi pembelajaran eksploratif diduga dapat meningkatkan kemampuan visualisasi dan pemahaman konsep geometri, karena dalam proses pembelajaran yang menggunakan strategi eksploratif melibatkan aktivitas tindakan terhadap objek secara langsung, kemudian hasil tindakan masuk dalam pemikiran yang disebut mental image, dan selanjutnya akan mengantarkan pada proses pembentukan konsep dasar geometri. Setelah konsep dasar terbentuk pada mental image muncul persepsi yang berdasarkan konsep tersebut yang dituangkan
menjadi representasi geometris. Dengan demikian, diasumsikan bahwa strategi pembelajaran eksploratif dapat meningkatkan kemampuan visualisasi dan pemahaman konsep geometri siswa.
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, pembelajaran di sekolah harus terintegrasi dengan penanaman nilai dan karakter. Upaya ini dilakukan karena terjadinya kemerosotan perilaku atau “karakter” bangsa yang sudah mulai rapuh
Matematika sebagai salah satu mata pelajaran di sekolah yang diharapkan dapat mengembangkan karakter bangsa. Pemerintah mengharapkan bahwa karakter siswa yang dapat dikembangkan dalam pembelajaran matematika antara lain sikap teliti, sikap kreatif, sikap keingintahuan dan sikap pantang menyerah (Hasan, 2010). Pengembangan keempat karakter tersebut yang terintegrasi dalam matematika sekolah, diharapkan para siswa menjadi generasi muda yang memiliki kemampuan berfikir kritis dan kreatif, memiliki sikap yang tidak pernah menyerah dan selalu berusaha untuk mengetahui apa yang terbaru/terkini, namun demikian semuanya dilakukan secara bertanggung jawab dan menemukan pada suatu nilai kebenaran seperti yang menjadi ciri khas matematika adalah menemukan kebenaran.
Dari kedua pendapat tersebut, penulis menyimpulkan bahwa pengembangan karakter atau “Habits of mind” dalam pembelajaran matematika perlu dilakukan dengan tujuan agar siswa menjadi generasi muda yang lebih fleksibel, mereka tidak menjadi manusia yang kaku artinya pandai dari aspek berfikir akan tetapi tidak pandai dari aspek bergaul dengan lingkungan masyarakat.
Jakarta merupakan kota di Indonesia yang perkembangannya sangat pesat, terutama dalam bidang pendidikan. Dewasa ini marak sekali dengan pendirian sekolah umum berbasis Islam atau dikenal dengan sekolah terpadu, yang menawarkan berbagai keunggulan-keunggulan terutama dalam peningkatan dan penanaman nilai-nilai keislaman dalam kurikulumnya. Sementara itu, madrasah merupakan lembaga pendidikan yang berada di bawah naungan Kementerian Agama di dalamnya sudah mengintegrasikan kurikulum pendidikan umum dan kurikulum keislaman. Kurikulum keislaman memuat pelajaran: Al-qur’an-Hadist Sejarah Kebudayaan Islam, Aqidah-Akhlak, dan Fikih.
Madrasah Aliyah (MA) merupakan sekolah Islam setingkat SMA yang berada pada lingkungan Kementrian Agama memiliki kurikulum keislaman yang lebih banyak dibandingkan dengan sekolah umum. Sehingga proses pembelajaran tambahan di sekolah lebih banyak dilakukan pada muatan keislaman, misalnya tadarusan, kegiatan shalat berjamaah (sunah dan wajib) dan lain sebagainya. Hal inilah yang menjadi alasan mengapa kemampuan akademik siswa pada pelajaran umum (misalnya pelajaran matematika) tidak lebih unggul dibandingkan dengan siswa SMA. Hal lain yang menarik dari proses pembelajaran di MA adalah penanaman nilai-nilai yang selalu dilakukan setiap hari, misalnya bersalaman kepada guru, membaca surat pendek di awal pembelajaran, tadarusan di pagi hari, siraman rohani sebelum pembelajaran dan lain sebagainya.
Pengkategorian sekolah ini menyebabkan labelisasi pada sekolah, sehingga sekolah yang memiliki kategori lebih baik menjadi tujuan utama para orang tua untuk menitipkan anaknya menimba dan menuntut ilmu. Selanjutnya pihak sekolah merasa kewalahan untuk menerima siswa pendaftar sementara kuota yang ada sangat terbatas. Akhirnya, setelah siswa pendaftar yang telah lolos seleksi administrasi harus mengikuti tes ujian mandiri yang dilaksanakan oleh pihak sekolah. Hasil tes ujian masuk diranking, dan selanjutnya penerimaan siswa berdasarkan skor ujian yang telah disusun.
Bagi siswa yang tidak diterima di sekolah kategori A, tentu saja mereka akan mencari sekolah lain yang tidak berbeda jauh dengan sekolah pilihan sebelumnya. Gambaran ini mengilustrasikan bahwa sebelum mereka masuk pada sekolah tertentu, siswa sudah memiliki kemampuan awal tentang materi-materi yang diujikan, terutama matematika. Berdasarkan urutan ranking menunjukkan bahwa siswa dapat digolongkan pada tiga kategori yaitu siswa pandai, siswa sedang dan siswa kurang. Kepentingan penelitian, kategori kemampuan awal tersebut digunakan sebagai salah satu aspek yang akan diteliti, namun istilah yang digunakan adalah kemampuan awal tinggi, kemampuan awal sedang dan kemampuan awal rendah.
Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah. Banyak kendala yang dihadapi oleh guru matematika khususnya pada tingkat Madsarah Aliyah. Dengan demikian, penelitian dilakukan pada Madrasah Aliyah di wilayah DKI Jakarta dan Sekitarnya dengan harapan melalui penelitian ini memberikan kontribusi dalam menawarkan sebuah strategi pembelajaran matematika yang dapat memudahkan siswa memahami konsep matematika khususnya geometri. Selain itu, penelitian ini bertujuan untuk menggali lebih lanjut tentang bagaimana pola pembentukan karakter siswa yang dilakukan melalui penanaman nilai-nilai keislaman melalui kegiatan pembiasaan berdasarkan pada aspek strategi pembelajaran yang digunakan, kategori sekolah dari BAN-SM dan aspek kemampuan awal siswa.
Dengan demikian, masalah yang terjadi dewasa ini dalam pembelajaran matematika di Madrasah Aliyah adalah rendahnya prestasi belajar matematika, dan semakin menurunnya nilai-nilai etika yang berkembang pada anak-anak usia remaja. Oleh karena itu penulis perlu dilakukan sebuah penelitian pada Madrasah Aliyah Negeri di wilayah Jakarta dalam upaya peningkatan kemampuan geometri siswa dan juga menanamkan pembentukan karakter bangsa yang bernilai luhur dengan judul “Pengaruh Strategi Pembelajaran Eksploratif terhadap Peningkatan Kemampuan Visualisasi, Pemahaman Konsep Geometri, dan Karakter Siswa”.
1.2 Rumusan Masalah
penanaman nilai-nilai di sekolah yang hampir dilakukan setiap hari, maka penulis mencoba menerapkan strategi pembelajaran eksploratif dalam pembelajaran matematika khususnya geometri dan menggali lebih lanjut tentang pola pembentukan karakter siswanya.
Penilaian mutu pendidikan yang dilakukan oleh BAN-SM menyebabkan terjadinya pengkategorian sekolah yakni kategori A, kategori B dan kategori C. Kategori ini menyebabkan terjadinya penumpukkan pendaftar siswa baru, akibatnya kemampuan awal siswa diuji pada saat tes seleksi masuk. Berdasarkan skor tes masuk, skor diranking mulai dari yang tertinggi sampai terendah. Siswa yang dapat lolos adalah siswa yang memiliki skor tinggi dan skor menengah, sementara siswa dengan skor rendah tersisihkan dan harus mencari sekolah lain. Dengan kata lain bahwa di setiap sekolah terjadi urutan kemampuan siswa yang dikelompokkan menjadi tiga yaitu kemampuan tinggi, kemampuan sedang dan kemampuan rendah.
Berdasarkan uraian tersebut, masalah penelitian yang muncul dalam penelitian ini adalah: (1) apakah strategi pembelajaran eksploratif dapat meningkatkan kemampuan visualisasi dan pemahaman konsep geometri dan (2) Apakah Strategi Pembelajaran Eksploratif memberikan pengaruh pada pola pembentukan karakter individu dan karakter berkelompok siswa?
1. Apakah peningkatan kemampuan visualisasi geometri siswa yang menggunakan strategi pembelajaran eksploratif lebih tinggi dari pada siswa yang menggunakan strategi pembelajaran konvensional ditinjau dari aspek: a) kategori sekolah, dan
b) tingkat kemampuan awal siswa.
2. Apakah peningkatan pemahaman konsep geometri siswa yang menggunakan strategi pembelajaran eksploratif lebih tinggi dari pada siswa yang menggunakan strategi pembelajaran konvensional ditinjau dari aspek:
a) kategori sekolah, dan
b) tingkat kemampuan awal siswa.
3. Apakah terdapat pengaruh interaksi dari kategori sekolah, strategi pembelajaran dan TKAS terhadap peningkatan kemampuan visualisasi geometri?
4. Apakah terdapat pengaruh interaksi dari kategori sekolah, strategi pembelajaran dan tingkat kemampuan awal siswa terhadap peningkatan pemahaman konsep geometri?
5. Bagaimana gambaran karakter individu siswa ditinjau pada aspek: (a) strategi pembelajaran, dan
(b) kategori sekolah?
6. Bagaimana gambaran karakter berkelompok siswa ditinjau pada aspek: (a) strategi pembelajaran dan
1.3Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini antara lain:
1. Mendeskripsikan kualitas pembelajaran geometri yang menggunakan strategi pembelajaran eksploratif dalam upaya meningkatkan kemampuan visualisasi dan pemahaman konsep geometri.
2. Menelaah secara komprehensif pengaruh interaksi strategi pembelajaran, kategori sekolah, dan tingkat kemampuan awal siswa terhadap kemampuan visualisasi dan pemahaman konsep geometri.
3. Mendeskripsikan pola pembentukan karakter individu dan karakter berkelompok siswa MA ditinjau pada aspek strategi pembelajaran dan kategori sekolah.
1.4Manfaat Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian yang telah dikemukakan, dalam penelitian menggambarkan proses pembelajaran matematika yang menggunakan strategi pembelajaran matematika eksploratif, sehingga dapat memberikan sumbangan:
1. Penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi guru, khususnya bagaimana seorang guru dapat menyusun strategi pembelajaran matematika berbasis eksploratif yang terintegrasi dengan karakter. Sehingga out put yang diharapkan setelah pembelajaran adalah produk dalam hal ini adalah kemampuan visualisasi dan pemahaman konsep serta value/nilai.
matematika khususnya dalam penemuan konsep geometri, dan siswa dapat mengembangkan dan menanamkan nilai-nilai karakter sehingga akan melatih kemampuan berfikir logis dan sistematis.
3. Bagi peneliti, kajian penelitian ini dapat dijadikan sebagai inspirasi untuk mengembangkan strategi pembelajaran lain khususnya pembelajaran matematika sehingga hasil penelitian akan memberikan sumbangan bagi peningkatan kualitas pendidikan dan mencapai cita-cita bangsa yaitu membentuk karakter bangsa Indonesia.
1.5Hipotesis Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan sebelumnya, maka beberapa hipotesis penelitian yang diajukan adalah sebagai berikut:
1. Peningkatan kemampuan visualisasi geometri siswa yang menggunakan strategi pembelajaran eksploratif lebih tinggi dari pada siswa yang menggunakan strategi pembelajaran konvensional.
2. Peningkatan kemampuan visualisasi geometri siswa di kelas eksperimen pada sekolah kategori A lebih tinggi dari pada kemampuan visualisasi siswa di kelas kontrol pada sekolah kategori B.
4. Peningkatan pemahaman konsep geometri siswa yang menggunakan strategi pembelajaran eksploratif lebih tinggi dari pada siswa yang menggunakan strategi pembelajaran konvensional.
5. Peningkatan pemahaman konsep geometri siswa di kelas eksperimen pada sekolah kategori A lebih tinggi dari pada siswa pada sekolah kategori B. 6. Terdapat perbedaan peningkatan pemahaman konsep geometri di kelas
eksperimen antara siswa yang kemampuan awal tinggi, kemampuan awal sedang dan kemampuan awal rendah.
7. Terdapat pengaruh interaksi dari faktor-faktor: kategori sekolah, strategi pembelajaran dan tingkat kemampuan awal siswa terhadap peningkatan kemampuan visualisasi geometri,
8. Terdapat pengaruh interaksi dari faktor-faktor: kategori sekolah, strategi pembelajaran dan tingkat kemampuan awal siswa terhadap peningkatan pemahaman konsep.
1.6Pendefinisian Istilah
Ada beberapa istilah yang perlu didefinisikan dalam penelitian ini, yaitu: 1. Mental Image: adalah kemampuan siswa untuk menggambar/merepresentasi
objek dalam otaknya sebagai salah satu cara dalam berfikir.
3. pemahaman konsep geometri: kemampuan memahami konsep dan ide geometri, melakukan prosedur penyelesaian dengan mengunakan model geometri untuk menyelesaikan masalah pada ruang dimensi tiga, dalam hal ini menyelesaikan masalah jarak antara titik, garis dan bidang, serta menghitung besar sudut yang terbentuk antara garis dengan garis, garis dengan bidang, dan bidang dengan bidang
4. Strategi pembelajaran eksploratif: proses pembelajaran konstruktif yang melibatkan aktivitas siswa secara aktif dengan menggunakan lembar kerja siswa yang diselesaikan secara individu dan secara kelompok dan guru bertindak sebagai fasilitator dan bertugas untuk membimbing siswa.
5. Karakter individu: sikap atau perilaku yang ditunjukkan siswa secara individual selama proses pembelajaran geometri, dalam hal ini karakter individual ditinjau pada indikator: sikap teliti, kreatif, pantang menyerah dan rasa ingin tahu.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1Metode dan Disain Penelitian
Sebagaimana tujuan penelitian yang telah dikemukakan, yaitu menerapkan strategi pembelajaran eksploratif untuk mengetahui efektifitasnya dalam meningkatkan kemampuan visualisasi dan pemahaman konsep geometri siswa serta kaitannya dengan karakter siswa. Dalam hal ini karakter dikelompokkan menjadi dua yaitu karakter individu dan karakter berkelompok.
Untuk mencapai tujuan tersebut, peneliti akan mengumpulkan data secara kuantitatif untuk mengukur kemampuan visualisasi siswa dan pemahaman konsep geometri. Sedangkan data tentang karakter akan digunakan metode secara kualitatif. Dengan demikian penelitian ini menggunakan penggabungan dua metode penelitian yaitu penelitian kuantitatif-kualitatif. Metode yang menggabungkan dua paradigma ini disebut dengan mixed methods dengan embedded design (lihat Gambar 3.1).
Gambar 3.1 Embedded Design (Creswell, 2007:7)
Ada empat desain penelitian yang dikemukakan oleh Creswell (2007) yaitu explanatory design, exloratory design, embedded design dan triangulation.
Quantitative Data
Qualitative Data
Embedded design dipilih dalam penelitian ini karena data yang diperoleh terdiri
dari dua yaitu kemampuan geometri (kemampuan visualisasi dan pemahaman konsep) dan karakter (karakter individu dan kelompok), penggabungan dua data ini bukan data yang merupakan hubungan sebab akibat antara kemampuan geometri dan karakter, atau data bukan merupakan implikasi dari data lainnya, selanjutnya juga bukan triangulasi karena data yang terkumpul hanya dua jenis. Maka embedded desain yang paling cocok dalam penelitian ini karena data tentang kemampuan geometri siswa akan dijelaskan lebih terperinci dengan pola pengembangan karakter siswa, serta bagaimana karakter berkelompok akan dikembangkan melalui aktivitas pembelajaran. Selain itu menurut Creswell (2007) “Mixed methods research helps answer questions that cannot be answered by
qualitative or quantitative approaches alone”, artinya bahwa dengan
menggunakan mixed method analisis data hasil penelitian akan menjadi luas, mendalam sesuai dengan fakta perhitungan statistik yang dikaitkan dengan investigasi pada data kualitatif.
Setelah terpilih kelompok sampel, penulis memberikan Tes kemampuan awal siswa (TKAS) digunakan untuk mengelompokkan siswa menjadi tiga kategori berdasarkan kemampuannya, yakni kategori kemampuan tinggi (TG), kategori kemampuan sedang (SD) dan kategori kemampuan rendah (RD). Pengelompokkan tersebut didasarkan pada perhitungan statistika yang disajikan pada Tabel 3.1 berikut:
Tabel 3.1
Kategori Tingkat Kemampuan Awal Siswa
Kategori Rentang Nilai
Kemampuan Tinggi (TG) � ≥ � +�� Kemampuan Sedang (SD) � +�� ≥ � ≥ � − �� Kemampuan Rendah (RD) � − �� ≥ �
Keterangan: x : skor TKAS � : nilai rata-rata �� : deviasi standar
Sebelum penelitian dilakukan, kedua Kelas diberikan pretest dengan tujuan ingin mengetahui pemahaman awal siswa tentang materi yang akan diajarkan. Selain itu, pretes dianalisis untuk mengetahui homogenitas pemahaman atau pengetahuan awal siswa tentang geometri pada kelas eksperimen dan kelas kontrol. Pada akhir pembelajaran kedua kelas diberikan postes untuk melihat adakah perbedaan peningkatan kemampuan visualisasi dan peningkatan pemahaman konsep geometri.
kemampuan visualisasi, pemahaman konsep geometri, karakter individu dan karakter berkelompok, penulis membuat model keterkaitannya yang digambarkan melalui Tabel Wiener seperti nampak pada Tabel 3.2 berikut:
Tabel 3.2
Tabel Wiener untuk Kemampuan Visualisasi, Pemahaman Konsep, Karakter Individu dan Karakter Berkelompok E = Strategi Pembelajaran Eksploratif Kv = Strategi Pembelajaran Konvensional
VEBT = kemampuan Visualisasi kelas Eksploratif sekolah B untuk siswa kategori Tinggi
KIT = Karakter Individu kemampuan Tinggi KKR = Karakter Berkelompok kemampuan Rendah
3.2Populasi dan Sampel
wilayah Jakarta sebagai kota besar yang rentan sekali dengan kejadian tawuran antar pelajar, maka populasi dalam penelitian ini adalah siswa Madrasah Aliyah di Wilayah Jakarta dan Kepulauan seribu.
Berikut diuraikan langkah penentuan sampel penelitian. Sebaran data sekolah berdasarkan hasil akreditasi BAN-SM disajikan pada Tabel 3.3 berikut:
Tabel 3.3
Distribusi Madrasah di Propinsi DKI Jakarta Menurut BAN-SM per Tahun 2009
Wilayah Peringkat Jumlah MA Negeri
Sampel penelitian ditentukan dengan menggunakan teknik multiple stage random sampling, dengan lima tahap, yaitu Tahap pertama mengelompokkan
pada berberapa pertimbangan agar penulis mendapatkan informasi yang benar dan tidak menyulitkan penulis pada pelaksanaan penelitian sehingga tujuan penelitian dapat dicapai secara maksimal. Tahap ketiga memilih satu sekolah pada kategori A dan kategori B sedangkan kategori C tidak digunakan dalam penelitian. Tahap
keempat tahap penentuan Madrasah Aliyah terpilih dan Tahap kelima penentuan
kelas yang akan dijadikan kelas eksperimen dan kelas kontrol.
Berdasarkan data sekolah yang terdapat pada Tabel 3.3, peneliti memilih dua kategori penilaian yakni terakreditasi A dan terakreditasi B. Peringkat C tidak digunakan dalam penelitian ini dengan beberapa alasan, antara lain 1) kemungkinan profil siswa yang tidak memadai sehingga dikhawatirkan peneliti akan memberikan scaffolding yang berlebihan, 2) profil sarana belajar, 3) kegiatan belajar yang kurang efektif sehingga kemungkinan akan terjadi penggunaan strategi lain untuk mendorong siswa melakukan eksplorasi serta kecenderungan siswa untuk menunggu perintah guru sehingga strategi pembelajaran eksplorasi tidak dapat terlaksana sesuai dengan rencana yang telah disusun, dan terakhir 4) tidak ditemukan Madrasah Aliyah Negeri yang berada di wilayah Jakarta dan Kepulauan Seribu yang terakreditasi C.
prasarana. Sebaran perolehan skor setiap komponen pada masing-masing sekolah disajikan pada Tabel 3.4 dan Tabel 3.5 berikut:
Tabel 3.4
Komponen Penilaian Akreditasi Sekolah Peringkat A (BAN-SM 2009)
Komponen MAN A1 MAN A2 MAN A3
Standar Isi 93.33 90.00 88.33
Standar Proses 95.00 87.50 92.50
Standar Kompetensi Lulusan 94.00 87.00 87.00 Standar Sarana dan Prasarana 97.50 91.67 96.69
Tabel 3.5
Komponen Penilaian Akreditasi Sekolah Peringkat B (BAN-SM 2009)
Komponen MAN
Standar Kompetensi Lulusan 72.00 77.00 83.00 81.00 Standar Sarana dan Prasarana 87.50 90.83 89.17 75.00
Alasan penulis menggunakan dua sekolah pada kategori sedang karena kondisi kelas pararel di MAN B2 Jakarta dan MAN B4 Jakarta ada tiga, yakni satu kelas jurusan IPA, satu kelas jurusan IPS dan satu kelas lagi jurusan Agama. Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan oleh penulis, ditemukan fakta bahwa di MAN B2 Jakarta ternyata sebaran kurikulumnya berbeda, materi geometri ada si semester 3 atau kelas XI dan tersedia tiga kelas pararel untuk kelas XI yaitu XI IPA. XI IPS dan XI Agama. Kondisi ini tidak memungkinkan karena penulis memerlukan dua kelas sebagai sampel penelitian.
Selanjutnya penulis mencari sekolah lain yang memiliki karakteristik serupa dengan MAN B2 Jakarta yaitu di MAN B4 Jakarta. Hasil penelusuran awal di MAN B4 Jakarta materi tentang geometri terdapat di semester 2 atau kelas X. Kondisi serupa dengan MAN B2 Jakarta, ternyata di MAN B4 Jakarta juga ada 3 kelas pararel untuk kelas X, yaitu XIPA, XIPS dan XAgama.
Tabel 3.6
Jumlah Siswa pada Tiap Sekolah Nama
Sekolah Kelas/Semester Jml siswa Sampel Keterangan MA Negeri
A1
X-IPA 3/2 35 34 Pindah kelas
X-IPA 4/2 35 35 -
MA Negeri
B2 XI-IPA 1/3 23 23 -
MA Negeri
B4 X-IPA/3 24 22
Pindah sekolah/kelas
Jumlah Total 117 114
Berdasarkan Tabel 3.6, dari 117 orang responden yang terpilih pada saat penentuan sampel penelitian, ternyata di tengah-tengah pelaksanaan penelitian ada 3 orang siswa pindah kelas dengan alasan tidak dapat mengikuti proses pembelajaran di kelas IPA. Perpindahan kelas yang dilakukan oleh siswa terjadi karena kebijakan dari Kementerian Agama RI, bahwa beban yang diberikan kepada siswa pada tingkat Madrasah Aliyah sama dengan Perguruan Tinggi yaitu sistem SKS, dengan tujuan untuk memberikan fasilitas kepada siswa yang dapat menyelesaikan pendidikan lebih cepat (akselerasi).
Penjurusan atau peminatan di sekolah kategori A sudah dilakukan pada saat pendaftaran di kelas X, sehingga di sekolah kategori A perpindahan siswa terjadi dikarenakan jumlah siswa dalam satu kelas. Sedangkan di sekolah kategori B penjurusan dilakukan di kelas X semester 2, sehingga siswa memungkinkan akan terjadi perpindahan siswa di kelas X.
Sedangkan untuk siswa yang satu lagi, tidak ikut postes karena pindah kelas ke X Agama. Sementara di MAN A1 satu siswa pindah kelas ke IPA 2 karena lebih memilih pindah pada kelas yang internasional.
Dengan demikian jumlah responden yang terlibat dalam penelitian ini sebanyak 114 siswa, selanjutnya sajian dan analisis data diperoleh dari 114 orang responden yang disesuaikan dengan tujuan penelitian untuk menguji apakah hipotesis penelitian didukung oleh data atau tidak.
Proses penentuan sampel penelitian diilustrasikan pada Gambar 3.2 berikut:
Gambar 3.2 Alur Penentuan Sampel Penelitian
Penulis juga melibatkan beberapa guru sebagai responden untuk mengisi angket penilaian karakter siswa. Guru yang diminta kesediaannya untu mengisi angket terdiri dari 2 guru yang mengajar eksakta dan 2 guru yang mengajar non-eksakta pada masing-masing sekolah, pemilihan tersebut untuk mengetahui karakter siswa berdasarkan pandangan guru eksakta dan guru non eksakta. Dengan demikian jumlah guru keseluruhan ada 12 orang. Selain itu, penulis juga melibatkan 2 orang observer yang membantu mengobservasi pelaksanaan
pembelajaran di kelas eksperimen dan kelas kontrol baik dan juga mengobservasi karakter siswa di dalam kelas baik itu karakter individu maupun berkelompok.
3.3Instrumen Penelitian
Data penelitian yang akan diperoleh dalam penelitian ini terdiri dari dua jenis yaitu data kualitatif dan data kuantitatif. Dengan demikian instrumen yang digunakan terdiri dari instrumen tes dan instrumen non-tes. Instrumen tes yang diperoleh tujuannya untuk mengukur kemampuan geometri yang terdiri dari tes kemampuan awal siswa, tes visualisasi dan tes pemahaman konsep geometri, sedangkan instrumen non-tes akan digunakan untuk mengukur karakter siswa melalui lembar observasi, kuesioner, angket siswa dan persepsi guru.
3.3.1 Instrumen Tes
Untuk memperoleh data penelitian, penulis menggunakan instrumen: tes kemampuan awal siswa, tes pemahaman konsep geometri, tes kemampuan visualisasi, lembar observasi, kuesioner, angket karakter individu siswa, angket karakter berkelompok siswa dan angket berkelompok untuk guru yang berisi tentang penilaian terhadap karakter berkelompok siswa.
3.3.1.1 Tes Kemampuan Awal Siswa
terdiri dari 4 soal. Skor setiap item tes mempunyai rentangan dari skor 0 untuk skor terendah sampai skor 25 untuk skor tertinggi pada setiap soalnya, sehingga jumlah total maksimum yang diperoleh siswa adalah 100.
Tes kemampuan awal matematika siswa merupakan soal-soal prasyarat geometri sebanyak 4 soal. Tes ini terdiri dari materi yang telah diajarkan pada tingkat MTs dan juga yang telah diajarkan di semester 1 sehingga penulis mengambil beberapa konsep yang akan diujikan, yaitu konsep Pythagoras, konsep jarak dua titik pada koordinat Cartesius, konsep sudut, aplikasi arah mata angin.
Penyusunan soal tes kemampuan awal siswa dilakukan penulis dengan memperhatikan materi yang telah ditentukan kemudian penulis melakukan diskusi dengan 2 guru bidang studi matematika di MAN A1 Jakarta, 1 guru matematika di MAN B2 Jakarta dan 1 orang guru di MAN B4 Jakarta untuk mengetahui apakah tes yang dibuat layak untuk mengukur kemampuan awal siswa pada materi geomerti MA.
3.3.1.2 Tes Pemahaman Konsep
Tes pemahaman konsep geometri disusun berdasarkan pada standar isi KTSP, pengembangan materi dengan mengkaji berbagai literatur dan mengikuti saran pembimbing.
pemahaman konsep akan dijawab dengan melalui tahap visualisasi masalah dengan menggunakan visualisasi gambar tujuannya untuk memudahkan siswa dalam menyelesaikan masalah, oleh sebab itu perlu dibuat kriteria penyekoran untuk visualisasi gambar geometri.
Kriteria penyekoran tes pemahaman konsep disajikan pada Tabel 3.7 berikut:
Tabel 3.7
Kriteria Penyekoran Tes Pemahaman Geometri
Skor Kriteria Jawaban dan Alasan
4
Konsep dan prinsip terhadap soal geometri secara lengkap, penggunaan istilah dan notasi matemamatika secara tepat, penggunaan algoritma secara lengkap dan benar.
3
Konsep dan prinsip terhadap soal geometri hampir lengkap, penggunaan istilah dan notasi matematika hampir benar,
penggunaan algoritma secara lengkap, perhitungan secara umum benar, namun mengandung sedikit kesalahan.
2
Konsep dan prinsip terhadap soal geometri kurang lengkap, dan perhitungan masih terdapat sedikit kesalahan.
1
Konsep dan prinsip terhadap soal geometri sangat terbatas, dan sebagian besar jawaban masih mengandung perhitungan yang salah.
0
Kriteria penyekoran visualisasi dikembangkan dari kriteria penyekoran tes pemahaman konsep geometri, Tabel 3.8 berikut merupakan kriteria penyekoran untuk visualisasi gambar.
Tabel 3.8
Kriteria Penyekoran Visualisasi Geometri
Skor Kriteria Gambar
3
Gambar bangun ruang tiga dimensi lengkap dan merupakan representasi dari pertanyaan yang diberikan.
2
Gambar bangun ruang tiga dimensi kurang lengkap dan kurang merepresentasi dari pertanyaan yang diberikan.
1 Gambar bangun ruang tidak lengkap. 0 Tidak ada gambar sama sekali.
Sebagaimana telah diuraikan pada BAB sebelumnya, dimensi pemahaman konsep yang digunakan dalam penelitian ini ada tiga yaitu: constructing/image making, extending and appliying mathematical knowledge dan structuring.
Dengan harapan siswa dapat memahami konsep geometri, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam memecahkan masalah geometri yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh.
Penjabaran indikator tes pemahaman konsep geometri disajikan pada Tabel 3.9 yang berhubungan dengan konsep kedudukan garis, dan perbandingan untuk menentukan jarak pada bangun ruang 3 dimensi
1
Mengembangkan dan menerapkan konsep jarak antara dua titik untuk menghitung jarak antara dua garis pada bangun ruang 3 dimensi
2, 4
3 Structuring Menggambarkan bidang pada bangun ruang 3 dimensi, kemudian menghitung besar sudut yang terbentuk dari dua bidang yang saling berpotongan dengan menggunakan struktur konsep trigonometri dan konsep phytagoras
5
Kelayakan instrumen tes dilakukan dengan dua cara yaitu cara studi pustaka dan studi empiris. Studi pustaka dilakukan untuk mengembangkan instrumen sesuai dengan indikator-indikator, referensi dan beberapa sumber pendukung agar data yang dikumpulkan sesuai dengan tujuan penelitian. Studi empiris maksudnya adalah untuk melihat konsistensi dan ketepatan instrumen yang dibuat untuk mengukur apa yang seharusnya diukur.
kontruk oleh para pakar untuk memberikan penilaian terhadap kesesuaian antara tujuan penelitian, indikator dan uraian pernyataan/pertanyaan yang mengukur indikator.
a. Validitas Konten/Isi
Validitas isi menunjukkan apakah instrumen yang dibuat sesuai dengan kurikulum pembelajaran matematika dan juga sesuai dengan materi geometri. Pemeriksaan validitas isi dilakukan oleh enam orang validator yang berkompeten, yaitu: empat orang dosen pendidikan matematika dan dua orang guru matematika yang masing-masing mewakili tiap level sekolah. Identitas validator dan hasil timbangannya dapat dilihat pada Lampiran A. Indikator validitas isi yang ditimbang adalah: 1) kesesuaian antara indikator dengan butir soal, 2) kesesuaian antara butir soal dengan aspek pemahaman konsep yang diukur, 3) kejelasan bahasa atau gambar dalam soal, 4) kelayakan butir soal untuk siswa MA, dan 5) kebenaran materi atau konsep yang diujikan.
N 5 Kendall's Wa 1.000 Chi-Square 25.000
df 5
Asymp. Sig. .000 Tabel 3.10
Kendall’s W Test Pemahaman Konsep
Berdasarkan hasil pada Tabel 3.10, tampak bahwa nilai sig (0.00) (0.05), ini berarti H0 ditolak, dengan kata lain bahwa validator memiliki persepsi yang tidak sama terhadap instrumen tes pemahaman konsep.
b. Validitas Konstruk
Untuk menguji validitas konstruk dan validitas empiris, penulis melakukan uji coba instrumen di salah satu MAN di Jakarta kelas XI pada bulan Oktober 2011. Penulis meminta siswa Madrasah Aliyah untuk membaca instrumen apakah instrumen dapat dibaca dan difahami secara jelas serta tidak menyebabkan ambigu.
c. Validitas Empiris
1. Reliabilitas Instrumen
Pengujian instrumen selanjutnya adalah uji reliabilitas. Suatu instrumen penelitian dikatakan reliabel jika instrumen tersebut memiliki ketetapan atau ketelitian sehingga memberikan hasil yang tidak berbeda. Dengan kata lain bahwa reliabilitas sebuah instrument mengacu pada konsistensi atau ketetapan nilai yang diperoleh untuk setiap individu, dimana terdapat ketetapan pada perhitungan dari suatu instrumen ke instrumen lainnya dan dari satu materi ke materi lainnya. Rumus yang digunakan dalam pengujian reliabilitas yaitu rumus Cronbach’s Alpha.
Hasil yang didapat pada perhitungan disebut dengan derajat reliabilitas. Untuk mengetahui instrumen yang disusun reliabel atau tidak, maka derajat relibilitas yang diperoleh dari hasil perhitungan dikategorikan seperti pada Tabel 3.11 berikut:
Tabel 3.11 Derajat Reliabilitas
Nilai Kategori
0,90 r11≤ 1,00 Derajat reliabilitas sangat baik 0,70 r11≤ 0,90 Derajat reliabilitas baik 0,40 r11≤ 0,70 Derajat reliabilitas sedang
0,20 r11≤ 0,40 Derajat reliabilitas kurang/rendah r11≤ 0,20 Derajat reliabilitas sangat rendah
dapat dilihat pada lampiran. Artinya bahwa instrument yang dibuat cukup baik dan layak untuk selanjutnya dihitung derajat validitasnya.
2. Validitas Instrumen
Data yang diperoleh dari uji coba instrumen kemudian dilakukan perhitungan uji validitas, hasil perhitungan validitas disebut dengan derajat validitas, untuk mengetahui apakah instrumen yang disusun valid atau tidak maka derajar validitas dikategorikan seperti pada Tabel 3.12 berikut:
Tabel 3.12
Derajat Validitas Instrumen
Koefisien Korelasi Kategori
0,90 rxy≤ 1,00 Validitas sangat tinggi 0,70 rxy≤ 0,90 Validitas tinggi
0,40 rxy≤ 0,70 Validitas sedang 0,20 rxy≤ 0,40 Validitas rendah
0,00 rxy≤ 0,20 Validitas sangat rendah rxy≤ 0,00 Tidak valid
Berdasarkan hasil uji coba instrumen, diperoleh hasil perhitungan untuk koefisien korelasi item soal dan koefisien korelasi soal secara keseluruhan. Validitas Item soal disajikan pada Tabel 3.13:
Tabel 3.13
Validitas Butir Tes Pemahaman Konsep No Soal Nilai Kategori Keterangan
1 0.64 Sedang digunakan
2 0.60 Sedang digunakan
3 0.71 Baik digunakan
4 0.74 Baik digunakan
Sedangkan koefisien korelasi untuk soal secara keseluruhan diperoleh 0,516 yang termasuk pada kategori Sedang. Perhitungan secara lengkap dapat dilihat pada lampiran C.
3. Tingkat Kesukaran
Soal yang baik tidak hanya didasarkan pada validitas dan reliabilitasnya saja tetapi juga perlu dilakukan tes tingkat kesukaran. Indeks kesukaran soal menunjukkan apakah soal yang dibuat merupakan soal tidak terlalu mudah dan tidak terlalu sukar. Dengan adanya pengujian ini, maka penyusunan soal harus memuat soal yang mudah, soal yang sedang, dan soal yang sulit. Kategori tingkat kesukaran soal seperti yang disajikan pada Tabel 3.14.
Tabel 3.14
Kriteria Tingkat Kesukaran Indeks
Kesukaran
Kriteria Indeks Kesukaran IK = 0,00 Soal terlalu sukar
0,00 IK ≤ 0,30 Soal sukar 0,30 IK ≤ 0,70 Soal sedang 0,70 IK < 1,00 Soal mudah IK = 1,00 Soal terlalu mudah
4. Daya Beda
Daya pembeda soal adalah kemampuan suatu soal untuk membedakan antara siswa yang berkemampuan tinggi dengan siswa yang berkemampuan rendah. Sama halnya dengan tingkat kesukaran soal, daya beda juga hiditung dengan menggunakan SPSS. Kategori untuk daya beda soal disajikan pada Tabel 3.15 berikut:
Tabel 3.15 Klasifikasi Daya Beda
Klasifikasi Daya Beda Kriteria Daya Beda DB 0,00 Sangat jelek 0,00 DB 0,20 Jelek 0,20 DB 0,40 Cukup 0,40 DB ≤ 0,70 Baik 0,70 DB 1,00 Sangat baik
Berdasarkan hasil perhitungan pada daya beda, diperoleh data bahwa 2 soal menunjukkan pada kategori baik, 2 soal menunjukkan pada kategori cukup dan satu soal menunjukkan pada kategori sangat baik. Artinya soal yang dibuat dapat membedakan antara siswa yang pandai, agak pandai dan kurang pandai. Perhitungan secara lengkap dapat dilihat pada lampiran.
Tabel 3.16
Rangkuman Hasil Uji Coba Tes Pemahaman Konsep No.
Soal
Daya
Beda Kriteria
Tingkat
Kesukaran Kriteria
Validitas
Butir r tabel Kriteria
1 0.69 Baik 0.54 Sedang 0.76 0.317 Tinggi
2 0.48 Baik 0.475 Sedang 0.74 0.317 Tinggi
3 0.33 Cukup 0.35 Sedang 0.58 0.317 Sedang
4 0.34 Cukup 0.325 Sedang 0.65 0.317 Sedang
5 0.88 Sgt Baik 0.48 Sedang 0.85 0.317 Tinggi
r (validitas total) = 0.516 (Sedang)
r (reliabilitas soal) = 0.607 (Sedang)
Dengan memperhatikan hasil yang diperoleh dari perhitungan pada validitas butir dan total, reliabilitas, tingkat kesukaran dan daya beda, maka penulis berkesimpulan untuk menggunakan instrumen tes pemahaman konsep pada penelitian sebagai alat pengumpul data.
3.3.1.3 Tes Kemampuan Visualisasi
Untuk menguji kemampuan visualisasi siswa, penulis menggunakan The Purdue Visualization of Rotation Test yang telah digunakan oleh Guay tahun
1977, Pribyl tahun 1987, dan Unal pada tahun 2005 (Unal, 2005). The Purdue Visualization of Rotations test terdiri dari 20 soal yang harus diselesaikan oleh
siswa, dengan tujuan:
1. Mempelajari rotasi suatu objek yang ditunjukkan oleh gambar dimensi tiga; 2. Membayangkan benda lain yang diketahui untuk dirotasikan sama dengan
3. Menemukan hasil rotasi benda dengan diberikannya lima pilihan gambar yang berbeda (A, B, C, D, dan E).
Tabel 3.17
Rangkuman Hasil Uji Coba Tes Kemampuan Visualisasi No.
r (validitas total) = 0.726 (Tinggi)
r (reliabilitas soal) = 0.58 (Sedang)
berkesimpulan untuk menggunakan instrumen tes kemampuan visualisasi pada penelitian sebagai alat pengumpul data.
3.3.2 Instrumen Non-Tes
Instrumen non-tes dalam penelitian ini adalah alat pengumpul data yang digunakan untuk mengukur karakter siswa. Cara penilaian yang digunakan dengan menggunakan skala semantic differensial. Sistem penilaian yang digunakan dalam penelitian ini dari rentang 1 sampai 7. Semantic differential merupakan salah satu tipe skala penilaian yang disusun untuk mengukur objek, kejadian, atau sikap dengan menggunakan kata yang saling berlawanan (konotasi) tujuannya untuk memprediksi dan mengidentifikasi struktur pribadi seseorang.
Salah satu contoh semantic differential yang dikembangkan oleh Charles Osgood misalnya `Excellent' (sangat baik), `Good' (baik), `Adequate' (cukup), `Poor' (kurang), `Inadequate' (sangat kurang);
yang khusus dan unik yaitu cara responden memberikan respons terhadap butir, responden tidak langsung diminta untuk memberikan respons setuju atau tidak setuju, akan tetapi diminta untuk langsung memberikan bobot penilaian terhadap suatu stimulus menurut kata sifat yang ada pada setiap kontinum dalam skala.
Skala diferensial semantik dapat diklasifikasikan dalam tiga dimensi (Heise, 1970) yaitu evaluasi, potensi dan aktivitas. Unsur-unsur evaluasi (bagus-buruk, berguna-tidak berguna, jujur-tidak jujur, bersih-kotor, bermanfaat-tidak bermanfaat, menguntungkan-tidak menguntungkan), unsur-unsur potensi (besar-kecil, kuat-lemah, berat-ringan) dan unsur-unsur aktivitas (aktif-pasif, cepat-lambat, panas-dingin).
3.3.2.1 Angket Karakter
Angket digunakan untuk mengumpulkan data tentang keadaan atau data diri, pengalaman di lingkungan keluarga, sikap terhadap proses pembelajaran matematika atau pendapat mengenai suatu hal (Suherman, 1990). Angket disusun dengan menggunakan modifikasi skala semantic differensial dengan 6 pilihan pada rentang 1-7. Nilai 7 menunjukkan respon sangat kuat secara positif, 6 menunjukkan respon kuat secara positif, 5 menunjukkan respon cukup secara positif, 3 menunjukkan respon cukup secara negatif, 2 menunjukkan respon kuat secara negatif, 1 menunjukkan respon sangat kuat secara negatif. Nilai 4 tidak digunakan dalam penyusunan skala sikap.