• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tabel 8. Luas wilayah Sulawesi Selatan di tiap kabupaten berdasarkan peta dasarnya IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Tabel 8. Luas wilayah Sulawesi Selatan di tiap kabupaten berdasarkan peta dasarnya IV. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Daerah Sulawesi

Selatan

Sulawesi Selatan merupakan daerah bagian paling selatan dari pulau Sulawesi yang terhampar luas di sepanjang koordinat 0o12’ – 8o Lintang Selatan dan 116o48’ – 122o36’ Bujur Timur dengan Makassar atau Ujungpandang sebagai ibukotanya. Wilayah ini memiliki batasan-batasan secara administrasi, diantaranya yaitu pada bagian utara, wilayah ini dibatasi dengan Sulawesi Tengah dan Sulawesi Barat, pada bagian timur dibatasi dengan Sulawesi Tenggara, pada bagian barat dibatasi dengan Selat Makassar, dan pada bagian selatan dibatasi dengan Laut Flores.

Gambar 4. Peta dasar sulawesi selatan (sumber : Bakosurtanal) Luas peta dasar Provinsi Sulawesi Selatan yang diperoleh dari proses perhitungan menggunakan Arcview berbeda dengan luas wilayah sebenarnya. Luas peta dasar Sulawesi Selatan yang diperoleh dari proses perhitungan yaitu sebesar 62,875 km2 sedangkan luas wilayah Sulawesi Selatan sebenarnya adalah 62.903,64 km2 atau 42% dari luas seluruh pulau Sulawesi dan 4,1% dari luas seluruh Indonesia (Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan 2004). Hal ini menunjukkan bahwa terdapat beberapa bagian dari wilayah Provinsi Sulawesi Selatan yang tidak terdapat pada peta dasar khususnya pulau-pulau kecil yang terdapat pada bagian pinggir wilayah Sulawesi Selatan. Provinsi ini memiliki 21 kabupaten secara administrasinya (Kabupaten Bantaeng, Barru, Bone, Bulukumba, Enrekang, Gowa, Jeneponto, Kodya Barru, Luwu, Majene, Mamuju, Maros, Pangkajene Kepulauan, Pinrang, Polewali Mamasa, Selayar, Sindengreng Rappang, Sinjai, Soppeng, Tana Toraja, Takalar, Wajo) sebelum terjadi pemekaran wilayah pada tahun 2004.

Tabel 8. Luas wilayah Sulawesi Selatan di tiap kabupaten berdasarkan peta dasarnya Kabupaten Luas ha km2 % Bantaeng 41.651 417 0,7 Barru 130.596 1.306 2,1 Bone 443.422 4.434 7,1 Bulukumba 113.542 1.135 1,8 Enrekang 173.321 1.733 2,8 Gowa 184.908 1.849 2,9 Jeneponto 75.947 759 1,2 Luwu 1.829.452 18.295 29,1 Majene 106.289 1.063 1,7 Mamuju 1.086.166 10.862 17,3 Maros 166.481 1.665 2,6 Pangkajene Kep. 101.921 1.019 1,6 Pinrang 187.003 1.870 3,0 Polewali Mamasa 475.834 4.758 7,6 Selayar 121.985 1.220 1,9 Sindenreng Rappang 190.160 1.902 3,0 Sinjai 83.447 834 1,3 Soppeng 135.243 1.352 2,2 Takalar 62.714 627 1,0 Tana Toraja 336.336 3.363 5,3 Wajo 241.129 2.411 3,8 TOTAL 6.287.546 62.875 100

Bila ditinjau dari aspek luas wilayahnya maka kabupaten yang memiliki area paling luas adalah kabupaten Luwu dengan luas wilayah sebesar 18.295 km2 atau 29,1 % dari luas wilayah Sulawesi Selatan (gambar 4). Hal ini menunjukkan bahwa daerah Kabupaten Luwu memiliki potensi untuk pengembangan tanaman cengkeh yang cukup besar bila ditinjau dari luas wilayahnya, namun demikian hal tersebut perlu didukung dengan potensi kesesuaian lahan yang sesuai untuk tanaman cengkeh dan penggunaan lahan yang dapat dikonversi untuk perkebunan cengkeh serta akses yang terdapat pada wilayah tersebut. Selain itu, terdapat pula beberapa kabupaten yang memiliki luas area yang cukup besar sehingga berpotensi untuk pengembangan cengkeh, seperti Kabupaten Mamuju, Polewali Mamasa, Bone, dan Tana Toraja.

Luasan lahan sebenarnya bukan merupakan hal yang utama dalam penentuan untuk pengembangan tanaman cengkeh namun luas lahan yang besar dapat mendukung upaya pengembangan perkebunan cengkeh. Pada luas lahan yang tidak terlalu besar, namun bila pada lahan tersebut memiliki potensi kesesuaian lahan yang sesuai untuk tanaman cengkeh dan pada lahan tersebut dapat dikonversi menjadi area perkebunan cengkeh, maka pada lahan tersebut dapat dijadikan sebagai daerah untuk pengembangan tanaman cengkeh dan memiliki kemungkinan untuk menjadi daerah centra cengkeh di Sulawesi

(2)

Selatan. Oleh karena itu, sebaiknya dalam penentuan area untuk pengembangan perkebunan, selain aspek luas wilayah perlu didukung pula dengan potensi kesesuaian lahan untuk tanaman cengkeh dan penggunaan lahan yang dapat dikonversi menjadi area perkebunan cengkeh serta kelayakan dalam berinvestasi di lahan tersebut.

4.1.1 Iklim

Provinsi Sulawesi Selatan memiliki curah hujan rata-rata tahunan sekitar 1427-4.404 mm/tahun. Hal ini menunjukkan bahwa penyebaran curah hujan di Sulawesi Selatan cukup beragam, mulai dari daerah yang memiliki curah hujan rendah seperti di daerah sekitar pos hujan Malanroe, Kabupaten Soppeng hingga daerah dengan curah hujan tinggi seperti di daerah sekitar pos hujan Malino, Kabupaten Gowa.

Rendah dan tingginya curah hujan di wilayah ini disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya yaitu topografinya. Hal ini didukung dengan pernyataan yang menyatakan bahwa pola umum curah hujan di Indonesia dipengaruhi oleh faktor geografisnya, diantaranya yaitu curah hujan yang terdapat di Indonesia semakin bertambah dengan meningkatnya ketinggian tempat (Kadarsah 2009). Daerah di sekitar pos hujan Malanroe, Kabupaten Soppeng memiliki ketinggian yang rendah sehingga curah hujan yang terjadi juga rendah sedangkan pos hujan Malino, Gowa memiliki ketinggian yang tinggi karena adanya Gunung Lompobatang sehingga pada daerah tersebut curah hujannya juga tinggi.

Grafik CH dan Suhu rata-rata di Sulawesi Selatan

0 50 100 150 200 250 300 350

Jan FebMar Apr May Jun Jul AugSep Oct Nov Dec

Waktu (bulan) C H ( m m ) 25.8 26.0 26.2 26.4 26.6 26.8 27.0 27.2 27.4 27.6 27.8 S u h u ( o C ) CH Suhu

Gambar 5. CH dan suhu rata-rata bulanan di Sulawesi Selatan tahun 1950-2003 (sumber data : BMKG)

Curah hujan rata-rata per bulan yang terjadi pada wilayah Sulawesi Selatan pada umumnya memiliki pola curah hujan monsun. Tipe curah hujan ini bersifat unimodial (satu puncak musim hujan, DJF musim hujan, JJA musim kemarau). Bulan-bulan lainnya disebut sebagai musim peralihan. Maju atau mundurnya musim hujan dan musim kemarau

sangat di pengaruh oleh berbagai fenomena meteorologi diantaranya El Nino, dan La Nina (Kadarsah 2009). Pola curah hujan yang diperoleh dari hasil perhitungan ini dapat dibuktikan dengan hasil dari disertasi Dr. Edvin Aldrian dalam Kadarsah (2009) yang terdapat pada Gambar 6. Gambar tersebut menjelaskan bahwa Sulawesi Selatan termasuk ke dalam wilayah A yang memiliki pola hujan monsun yang berbentuk huruf U (kiri bawah).

Gambar 6. Pola curah hujan Indonesia (sumber : Kadarsah 2009)

Suhu rata-rata tahunan yang terdapat di Provinsi Sulawesi Selatan berkisar antara 22oC hingga 28oC. Perbedaan suhu ini disebabkan oleh topografi yang terdapat di Sulawesi Selatan. Suhu di pegunungan akan lebih rendah dibandingkan dengan suhu di pesisir pantai. Pola suhu udara yang terdapat pada Gambar 5 menunjukkan bahwa pada bulan Desember dan Januari yang memiliki nilai curah hujan yang tinggi, suhu udara yang terjadi cukup rendah sedangkan pada bulan Agustus-Oktober yang memiliki curah hujan yang rendah memiliki suhu udara yang tinggi.

4.1.2 Tanah

Karakteristik tanah yang akan dikaji dalam penelitian adalah kedalaman tanah dan kelerengan lahan. Kedalaman tanah yang terdapat di daerah Sulawesi Selatan cukup beragam, mulai dari kedalaman tanah di bawah 50 cm hingga di atas 200 cm. Selain itu, kelerengan lahan yang terdapat di provinsi ini juga cukup beragam, mulai dari daerah dengan kelerengan 0 % hingga 70 %. Hal ini menunjukkan bahwa topografi yang terdapat di Sulawesi Selatan juga cukup beragam, yaitu mulai dari dataran yang datar hingga bukit dan pegunungan.

4.1.3 Penutupan Lahan

Provinsi Sulawesi Selatan merupakan suatu provinsi yang belum terlalu pesat dalam

(3)

hal pengembangan kota. Hal ini ditunjukkan dengan sangat kecilnya pemukiman, kawasan industri, dan masih banyak daerah kawasan hutan serta semak belukar. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa daerah provinsi Sulawesi Selatan masih memiliki lahan-lahan yang masih dapat dioptimalkan dengan cara mengkorversikan lahan yang belum dioptimalkan menjadi lahan produktif seperti perkebunan khususnya dalam hal ini perkebunan cengkeh.

4.2 Identifikasi

Identifikasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pengkategorian wilayah Sulawesi Selatan berdasarkan persyaratan dari setiap parameter yang digunakan dalam mengkaji tingkat kesesuaian lahan cengkeh.

4.2.1 Identifikasi Kesesuaian Iklim

Peta kesesuaian iklim yang terdapat pada Gambar 7 menunjukkan bahwa penyebaran

iklim yang cocok untuk tanaman cengkeh di Sulawesi Selatan cukup beragam. Kesesuaian iklim tersebut meliputi kesesuaian iklim S1 (sangat sesuai), S2 (cukup sesuai), dan S3 (sesuai marginal) namun kesesuaian iklim yang dominan terdapat di Provinsi Sulawesi Selatan adalah kesesuaian iklim S2 dengan luas wilayah sebesar 42.107 km2 atau 70 % dari luas Provinsi Sulawesi Selatan. Hal ini dapat diketahui pada Gambar 7, dengan simbol warna hijau yang tersebar luas di bagian utara dan selatan.

Wilayah kesesuaian iklim lainnya yang ditunjukkan pada Gambar 7 yaitu kesesuaian S1 dengan simbol warna biru dan kesesuaian S3 dengan simbol warna kuning. Luasan wilayah ini tidak sebesar luas wilayah S2. Luas S1 yang terdapat pada daerah ini sebesar 18.640 km2 dan luas S3 sebesar 1132 km2. Kesesuaian iklim yang terdapat pada wilayah Sulawesi Selatan dapat dikatakan baik karena tidak terdapat lahan N.

Gambar 7. Peta kesesuaian iklim Tabel 5. menjelaskan tentang nilai luasan

wilayah kabupaten berdasarkan kesesuaian iklimnya. Kabupaten yang memiliki luas wilayah S1 paling besar berdasarkan kesesuaian iklimnya adalah Kabupaten Bone dengan luas lahan S1 sebesar 2.994 km2 atau 67% dari luas kabupatennya atau 4,7% dari luas Sulawesi Selatan. Hal ini menunjukkan bahwa di wilayah Kabupaten Bone memiliki potensi besar untuk ditanami cengkeh berdasarkan iklimnya. Kabupaten lainnya yang sangat berpotensi besar dalam memiliki luasan lahan yang sangat sesuai (S1) adalah

Kabupaten Luwu dan Wajo. Kabupaten Wajo merupakan kabupaten yang memiliki iklim yang paling baik bila dikaji berdasarkan kesesuaian iklim tanaman cengkeh karena sebesar 2.244 km2 atau 93% dari total luas kabupatennya merupakan lahan S1.

Tabel 5. juga menunjukkan bahwa kabupaten yang memiliki potensi kesesuaian lahan dengan tingkat S2 (cukup sesuai) paling luas bila dikaji dalam lingkup luas seluruh Provinsi Sulawesi Selatan adalah Kabupaten Luwu dengan luas sebesar 15.476 km2 atau 85% dari total luas Kabupten Luwu atau

(4)

24,6% dari luas Sulawesi Selatan, akan tetapi bila dikaji dalam ruang lingkup luas per kabupatennya maka kabupaten yang paling luas memiliki potensi kesesuaian lahan dengan tingkat S2 berdasaran kesesuaian iklimnya adalah Kabupaten Sinjai yaitu dengan luas sebesar 831 km2 atau 96% dari luas Kabupaten Sinjai sebenarnya. Hal ini menunjukkan bahwa wilayah Sinjai dapat dikatakan cocok ditumbuhi tanaman cengkeh bila dikaji dari aspek iklimnya. Total luas Sulawesi Selatan yang diperoleh dari peta kesesuaian iklim menunjukkan bahwa terdapat 996 km2 wilayah yang tidak memiliki data curah hujan ataupun suhu udara.

Tabel 9. Luas wilayah berdasarkan kesesuaian iklim di tiap kabupaten Sulawesi Selatan Kabupaten Luas (km 2 ) S1 S2 S3 N Bantaeng 82 329 - - Barru 485 813 - - Bone 2.994 1.432 - - Bulukumba 797 325 7 - Enrekang 1.650 83 - - Gowa 120 1.586 103 - Jeneponto - 753 - - Luwu 2.362 15.476 420 - Majene 221 830 - - Mamuju - 10.638 142 - Maros - 1.661 3 - Pangkajene Kep. - 895 - - Pinrang 1.733 133 - - Polewali Mamasa 1.063 3.512 173 - Selayar 643 21 - - Sindenreng Rappang 1.878 23 - - Sinjai - 831 1 - Soppeng 1.344 8 - - Takalar 215 324 - - Tana Toraja 809 2.271 283 - Wajo 2.244 163 - - Total 61.879

4.2.1.1 Identifikasi Kesesuaian Curah Hujan

Tingkat kesesuaian curah hujan yang terdapat di lahan Provinsi Sulawesi Selatan cukup beragam, mulai dari S1 (sangat sesuai) hingga N (tidak cocok). Djaenudin et al. (2003) menyatakan bahwa tanaman cengkeh sangat sesuai ditanam pada lahan yang memiliki tingkat curah hujan tahunan sekitar 1500-2500 mm/tahun. Berdasarkan peta kesesuaian curah hujan yang tertera pada Lampiran 6, maka dapat dikatakan bahwa pada wilayah Provinsi Sulawesi Selatan yang memiliki kriteria kesesuaian curah hujan dengan tingkat sangat sesuai tersebar di wilayah bagian tengah Provinsi ini, tepatnya terdapat pada lahan di Kabupaten Enrekang,

Wajo, Pinrang, Soppeng, Sindenreng Rappang, Selayar, dan sebagian di Kabupaten Luwu, Tana Toraja, Majene, Gowa, Barru, Bone, Bulukumba, Bantaeng, Takalar, dan Polewali Mamasa. Hal ini menunjukkan bahwa wilayah kesesuaian yang sangat sesuai di Provinsi Sulawesi Selatan cukup menyebar di berbagai wilayah kabupaten sehingga bila dikaji menurut aspek kesesuaian curah hujannya maka wilayah yang cocok untuk ditumbuhi tanaman cengkeh cukup menyebar luas di sepanjang Provinsi Sulawesi Selatan.

Faktor curah hujan merupakan faktor yang sangat penting dalam pertumbuhannya (Ruhnayat 2002). Wilayah yang memiliki curah hujan yang rendah tidak akan cocok ditumbuhi tanaman cengkeh karena iklim yang sangat kering tidak disenangi oleh tanaman ini dan dapat menyebabkan kematian terutama pada tanaman muda (1-2 tahun). Curah hujan yang sedikit akan berdampak buruk pada tanaman cengkeh karena dapat menyebabkan ketersediaan air di dalam tanah menjadi berkurang sehingga pada tanaman muda yang belum memiliki sistem perakaran yang begitu berkembang dan dangkal, belum dapat memanfaatkan air tanah yang dalam. Selain itu, wilayah yang memiliki curah hujan yang tinggi, seperti di bagian kecil Kabupaten Bone tidak dapat ditumbuhi tanaman ini karena iklim yang sangat basah dapat menyebabkan penggenangan akar dan pembusukkan akar sehingga dapat menyebabkan kematian terutama pada tanaman dewasa. Curah hujan yang tinggi juga dapat menyebabkan hama dan penyakit berkembang pada lahan cengkeh sehingga hal ini dapat merugikan petani.

4.2.1.2 Identifikasi Kesesuaian Suhu Udara

Kajian menurut kesesuaian suhu udara di Provinsi Sulawesi Selatan maka dapat dikatakan bahwa tanaman cengkeh dapat tumbuh dengan baik hampir di seluruh wilayah ini. Hal ini dapat dibuktikan dengan peta kesesuaian suhu udara yang terdapat pada Lampiran 7. Suhu udara yang baik untuk ditanami tanaman cengkeh berkisar antara 25-28 oC karena pada dasarnya tanaman cengkeh ini sangat sensitif dengan suhu udara yang terlalu rendah ataupun tinggi (Hadiwijaya 1984 dalam Ruhnayat, A. dan P. Wahid 1997).

Tanaman cengkeh ini termasuk ke dalam kategori tanaman yang manja dalam arti memerlukan lingkungan yang khusus dan pemeliharaan yang intensif. Wilayah yang memiliki suhu rendah kurang cocok untuk ditumbuhi tanaman cengkeh karena produktivitas yang akan dihasilkan akan sangat minim akibat dari bakal bunga yang

(5)

sedikit muncul pada suhu rendah sedangkan wilayah yang memiliki suhu tinggi dapat menyebabkan kekeringan dan stress pada tanaman cengkeh.

4.2.2 Identifikasi Kesesuaian Tanah

Tabel 10. Luas wilayah berdasarkan

kesesuaian tanah di tiap kabupaten Sulawesi Selatan Kabupaten Luas (km 2 ) S1 S2 S3 N Bantaeng 20 335 0 60 Barru 123 892 2 384 Bone 423 3.012 497 492 Bulukumba - 1.098 - 31 Enrekang 105 1.061 15 553 Gowa 81 1.356 - 373 Jeneponto 42 685 - 27 Luwu 2.401 12.145 109 3.595 Majene 7 651 - 396 Mamuju 2.345 5.748 36 2.655 Maros 190 1.069 33 372 Pangkajene Kep. 119 718 - 68 Pinrang 442 1.040 - 384 Polewali Mamasa 137 3.477 1 1.140 Selayar - 662 - 2 Sindenreng Rappang 390 1.302 - 210 Sinjai 104 579 1 148 Soppeng 257 765 67 264 Takalar 59 469 - 11 Tana Toraja - 2.553 - 810 Wajo 744 1.660 - - Total 61.898

Peta kesesuaian tanah untuk tanaman cengkeh menunjukkan bahwa pada wilayah di Provinsi Sulawesi Selatan yang memiliki kesesuaian tanah paling dominan adalah wilayah dengan potensi lahan S2. Hal ini ditunjukkan dengan warna coklat muda pada Gambar 8 (Lampiran 11) yaitu dengan luas wilayah sebesar 41.277 km2 atau 66 % dari luas Sulawesi Selatan.

Wilayah lainnya seperti S1, S3 dan N juga cukup tersebar, namun wilayah yang dimiliki tidak sebesar wilayah S2. Wilayah ini ditandai dengan warna coklat tua, kuning, dn orange. Luas wilayah S1 di Sulawesi Selatan berdasarkan kesesuaian tanahnya yaitu sebesar 7.989 km2, luas S3 nya sebesar 761 km2, dan luas N sebesar 11.875 km2.

Kabupaten yang memiliki nilai kesesuaian N yang paling luas adalah Kabupaten Luwu yaitu dengan nilai sebesar 3.595 km2 atau 6% dari luas Provinsi Sulawesi Selatan atau 20% dari luas Kabupaten Luwu. Wilayah kabupeten lainnya yang juga memiliki nilai kesesuaian tanah N adalah Kabupaten Mamuju, dengan nilai sebesar 2.655 km2. Kedua kabupaten tersebut masih memiliki kemungkinan untuk dijadikan lahan sesuai dengan menggunakan teknologi. Selain itu, kedua wilayah tersebut juga memiliki luas wilayah yang besar sehingga bila terdapat wilayah yang kurang sesuai untuk tanaman cengkeh berdasarkan aspek tanahnya maka masih terdapat luas lahan lainnya yang cukup besar dan berpotensi untuk ditanami cengkeh.

Luas wilayah kesesuaian tanah bila dikaji dari lingkup luas tiap kabupatennya maka kabupaten yang memiliki luas kesesuaian tanah S1 paling besar yaitu Kabupaten Wajo dengan luas 744 km2 atau 31 % dari total luas kabupatennya, sedangkan kabupaten yang memiliki luas kesesuaian tanah S2 paling besar yaitu Kabupaten Bulukumba dengan luas sebesar 1.098 km2 atau 97% dari luas total kabupatennya walaupun bila dikaji dari lingkup total luas provinsinya lebih besar Kabupaten Luwu. Luas kesesuaian tanah S3 terbesar terdapat pada Kabupaten Bone yaitu dengan nilai sebesar 497 km2 atau 11% dari luas kabupatennya dan luas kesesuaian tanah N terbesar terdapat pada Kabupaten Majene dengan 37% dari luas kabupatennya atau 396 km2.

(6)

Gambar 8. Peta kesesuaian tanah

4.2.2.1 Identifikasi Kesesuaian Kedala- man Tanah

Faktor kedalaman tanah merupakan faktor yang cukup berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman cengkeh. Menurut Djaenudin et al. (2003), kedalaman tanah yang sangat sesuai (S1) untuk ditumbuhi tanaman cengkeh minimal 100 cm. Kedalaman tersebut baik untuk pertumbuhan akar tanaman cengkeh, selain akar tidak akan tergenang ketika musim hujan, pergerakan akar dalam mencari unsur hara juga dapat bebas bergerak. Berdasarkan peta kesesuaian kedalaman tanah yang terlampir pada Lampiran 9, maka dapat diketahui daerah yang sesuai untuk ditumbuhi tanaman cengkeh berdasarkan aspek kesesuaian kedalaman tanahnya adalah wilayah di sekitar kabupaten Luwu, Wajo, Bone, Mamuju, Sindenreng Rappang, Soppeng, Pinrang, Takalar, Barru, dan Maros. Faktor ini cukup mempegaruhi pertumbuhan tanaman cengkeh terutama ketika tanaman masih berusia muda. Tanaman yang muda masih melakukan pertumbuhan khususnya dengan akar yang semakin memanjang dan menguat.

4.2.2.2 Identifikasi Kesesuaian Kelerengan

Faktor kelerengan lahan pada tanaman cengkeh tidak terlalu besar dalam

mempengaruhi pertumbuhan dan

produktivitasnya namun faktor ini merupakan

salah satu pendukung dalam keberhasilan produksi cengkeh. Menurut Hadiwidjaya (1983), tanah yang miring lebih baik daripada tanah yang datar. Hal ini disebabkan karena pada lahan yang miring, drainase akan berjalan dengan baik dan kemungkinan untuk tergenang air sangat kecil sehingga kebusukan pada akar dapat diatasi.

Kelerengan yang sangat sesuai untuk tanaman cengkeh menurut Djaenudin et al. berkisar di bawah 3%. Kelerengan yang tidak terlalu besar ini juga menghindari terjadinya erosi. Berdasarkan gambar yang terdapat pada Lampiran 10, maka dapat diketahui bahwa wilayah yang sangat sesuai (S1) untuk ditanami cengkeh bila ditinjau dari kelerengannya hampir tersebar di seluruh bagian Provinsi Sulawesi Selatan.

4.2.3 Identifikasi Kesesuaian Agroklimat

Kesesuaian agroklimat yaitu kesesuaian lahan berdasarkan penumpangsusunan faktor iklim dan tanah. Faktor iklim dan tanah saling mempengaruhi proses pertumbuhan serta produksi dari tanaman cengkeh sehingga kedua faktor tersebut perlu dipertimbangkan dalam penentuan wilayah tanaman cengkeh. Wilayah yang memiliki kesesuaian tanah sangat sesuai untuk tanaman cengkeh namun tidak sesuai dalam kesesuaian iklimnya maka pada wilayah tersebut belum tentu tanaman cengkeh dapat berproduksi optimal.

(7)

Grafik Kesesuaian Agroklimat dengan Luas Kabupaten

di Provinsi Sulawesi Selatan

0 2000 4000 6000 8000 10000 12000 14000 16000 18000 20000 B a n ta e n g B a rr u B o n e B u lu k u m b a E n re k a n g G o w a J e n e p o n to L u w u M a je n e M a m u ju M a ro s P a n g k a je n e K e p . P in ra n g P o le w a li M a m a s a S e la y a r S in d e n re n g R a p p a n g S in ja i S o p p e n g T a k a la r T a n a T o ra ja W a jo Kabupaten L u a s ( k m 2 ) Luas S1 Luas S2 Luas S3 Luas Kabupaten

Gambar 9. Perbandingan luas kesesuaian S1, S2, S3, dan n dengan luas tiap kabupaten di provinsi sulawesi selatan

Gambar 10. Peta kesesuaian agroklimat Peta kesesuaian agroklimat tanaman

cengkeh yang terdapat pada Gambar 10 dan Tabel 7 menunjukkan bahwa wilayah di Provinsi Sulawesi Selatan yang memiliki potensi untuk ditanami tanaman cengkeh berdasarkan aspek agroklimatnya memiliki luas

lahan sebesar 61,826 km2 atau 98% dari total wilayah Provinsi Sulawesi Selatan, dengan luas S1 sebesar 3.063 km2 atau 4,8%, luas S2 sebesar 54.059 km2 atau 86%, luas S3 sebesar 4.704 km2 atau 7,5%.

(8)

Wilayah yang sangat sesuai (S1) untuk tanaman cengkeh di Provinsi Sulawesi Selatan cukup sedikit. Wilayah tersebut terdapat pada beberapa kabupaten, diantaranya yaitu Kabupaten Luwu, Bone, Sindenreng Rappang, Barru, Polewali Mamasa, Enrekang, Pinrang, Wajo, dan Soppeng. Luas S1 terbesar yang terdapat pada Provinsi Sulawesi Selatan berada pada wilayah Kabupaten Wajo yaitu dengan luas wilayah sebesar 682 km2 atau 28% dari luas kabupatennya atau 1% dari luas Provinsi Sulawesi Selatan. Hal ini menunjukkan bahwa pada wilayah Kabupaten Wajo terdapat potensi lahan yang cukup besar untuk pengembangan tanaman cengkeh.

Penyebaran kesesuaian agroklimat ini dapat dilihat pada Gambar 10 dengan petunjuk warna hijau tua melambangkan lahan S1, hijau muda untuk lahan S2, dan putih untuk lahan S3. Kesesuaian yang paling dominan berdasarkan agroklimat tanaman cengkeh adalah kesesuaian lahan S2. Hal ini menunjukkan bahwa pada wilayah Provinsi Sulawesi Selatan cukup sesuai untuk ditanami tanaman cengkeh berdasarkan aspek agroklimatnya (iklim dan tanah). Tabel 11. Luas wilayah berdasarkan

kesesuaian agroklimat di tiap kabupaten Sulawesi Selatan

Kabupaten Luas (km2) S1 S2 S3 N Bantaeng 0 411 4 - Barru 20 1.275 3 - Bone 432 3.826 165 - Bulukumba 0 1.119 7 - Enrekang 105 1.621 7 - Gowa 6 1.543 259 - Jeneponto 0 752 0 - Luwu 536 16.117 1.584 - Majene 7 727 315 - Mamuju 0 9.904 864 - Maros 0 1.327 336 - Pangkajene Kep. 0 828 64 - Pinrang 441 1.423 0 - Polewali Mamasa 129 4.024 599 - Selayar 0 658 0 - Sindenreng Rappang 390 1.512 0 - Sinjai 0 810 21 - Soppeng 257 1.095 0 - Takalar 58 480 0 - Tana Toraja 0 2.887 476 - Wajo 682 1.720 0 -

4.2.4Identifikasi Kesesuaian Penutupan Lahan

Kesesuaian penggunaan lahan pada penelitian ini dilakukan untuk upaya ekstensifikasi atau pembukaan area baru untuk tanaman cengkeh sehingga lahan-lahan yang

kurang optimal dalam penggunaannya dapat dikonversi menjadi area perkebunan cengkeh. Lahan-lahan yang dapat dikonversi menjadi lahan perkebunan cengkeh adalah hutan non konservatif, ladang, tanah terbuka, perkebunan, dan semak belukar sedangkan lahan yang tidak dapat dikonversi adalah pemukiman, tambak, tubuh air, sawah, dan hutan konservatif.

Gambar 11. merupakan peta hasil penumpangsusunan peta agroklimat dengan peta penutupan lahan. Peta tersebut menjelaskan bahwa potensi lahan untuk ekstensifikasi tanaman cengkeh yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan masih cukup besar bila dikaji dari lahan yang dapat dikonversi. Warna hijau menunjukkan lahan yang dapat dikonversi untuk lahan perkebunan cengkeh sedangkan warna merah menunjukkan lahan yang tidak dapat dikonversi dan warna orange untuk daerah kawasan hutan. Daerah kawasan hutan ini dipisah dari kategori konversi dan non-konversi karena pada peta penutupan lahan yang digunakan pada penelitian ini, klasifikasi hutannya masih sangat umum atau kurang detail dalam penentuan jumlah lahan yang dapat dikonversi dengan yang tidak dapat dikonversi sehingga luasan hutan yang ada akan dikurangi luasan hutan konservasi berdasarkan yang diperoleh dari literatur.

(9)

Gambar 11 . Peta potensi lahan pengembangan tanaman cengkeh di Provinsi Sulawesi Selatan

Gambar 12. Grafik Perbandingan Luas Kesesuaian Agroklimat yang belum dikonversi dengan yang telah dikonversi lahan

Berdasarkan Gambar 12 maka dapat diketahui bahwa perbedaan antara lahan yang belum diklasifikasi dengan lahan yang telah diklasifikasi berdasarkan kesesuaian lahan untuk dikonversi cukup berbeda. Hal ini disebabkan kawasan hutan yang masih belum diketahui penentuan konversinya memiliki luas yang cukup besar di tiap kabupatennya. Namun demikian, pada wilayah di sekitar Provinsi Sulawesi Selatan masih memiliki potensi yang besar dalam upaya ekstensifikasi perkebunan cengkeh.

Luas lahan di Provinsi Sulawesi Selatan yang memiliki potensi untuk ektensifikasi perkebunan cengkeh (berupa ladang, kebun,

tanah terbuka, dan semak belukar) yaitu sebesar 26.743 km2. Luas tersebut terbagi menjadi tiga bagian yaitu luas S1 sebesar 1.897 km2, luas S2 sebesar 23.120 km2, dan luas S3 sebesar 990 km2. Luas tersebut belum termasuk lahan hutan yang masih memiliki potensi untuk dapat dikonversi. Permasalahan yang terdapat pada penelitian ini adalah data penutupan lahan hutan yang terklasifikasi masih umum yaitu hanya jenis hutan dan hutan mangrove, sedangkan bila klasifikasinya berupa hutan lindung, suaka alam, dan hutan produksi akan memiliki nilai yang lebih akurat.

(10)

Hasil pengolahan dari data penutupan lahan menunjukkan bahwa luas penggunaan hutan yang terdapat pada Sulawesi Selatan berjumlah 23.115 km2. Hal ini menunjukkan bahwa pada lahan hutan tersebut masih terdapat potensi untuk dikonversi karena masih memiliki kemungkinan ada lahan hutan produksi di dalamnya. Menurut Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Selatan dalam anonim (2009) menyatakan bahwa luas wilayah hutan lindung dan suaka alam yang terdapat pada wilayah tersebut sebesar 14.421 km2. Berdasarkan kondisi tersebut, maka dapat diketahui bahwa luas hutan yang masih memiliki potensi untuk dikonversi menjadi lahan perkebunan cengkeh di Sulawesi Selatan sebesar 8.694 km2.

4.2.5 Identifikasi Kelayakan Ekonomi

Kajian kelayakan ekonomi yang digunakan pada penelitian ini menggunakan batasan analisis kelayakan investasi dengan tiga indikator, diantaranya yaitu NPV (Net Present

Value), IRR (Internal Rate of Return), dan

BCR (Benefit Cost Ratio). Suatu usaha dikatakan layak untuk dilakukan investasi apabila nilai NPV > 0, IRR > tingkat discount

rate, dan BCR > 1. Berdasarkan hasil

perhitungan, penilaian kelayakan investasi untuk perkebunan cengkeh pada lahan S1 (sangat sesuai) memiliki nilai yang sangat baik yaitu nilai NPV sebesar Rp 26.841.000, IRR sebesar 30,1 %, dan BCR sebesar 2,16 (Tabel 8). Hal ini menunjukkan bahwa apabila pada saat ini, lahan kesesuaian S1 ditanami tanaman cengkeh pada lahan satu hektar dan suku bunga pinjaman yang berlaku sebesar 15,5 % maka keuntungan yang akan didapat pada 30 tahun mendatang bernilai Rp 26.841.000 pada nilai uang saat ini. Usaha perkebunan ini masih dapat dikatakan layak karena nilai IRR (30,1%) melebihi nilai suku bunga pinjaman yang berlaku saat ini (15,5%). Nilai BCR yang dihasilkan pada lahan S1 bernilai 2,16. Hal ini menunjukkan bahwa setiap 1 satuan biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan benefit sebesar 2,16.

Tabel 12. Nilai ekonomi pada tiap kesesuaian lahan tanaman cengkeh di Provinsi Sulawesi Selatan Kesesuaian lahan Indikator Ekonomi NPV IRR BCR S1 Rp 26.841.000 30,1 % 2,16 S2 Rp 16.864.000 24,0 % 1,73 S3 Rp 2.723.000 5,9 % 1,12

Cengkeh yang akan ditanami pada lahan kesesuaian S2 juga masih dapat dikatakan baik, akan tetapi tidak sebaik pada lahan S1. Keuntungan yang dapat diperoleh per hektarnya bila usaha ini dilakukan adalah Rp 16.864.000 pada nilai sekarangnya. Nilai ini merupakan 63% dari total keuntungan S1. Nilai suku bunga maksimal yang terdapat pada lahan ini juga dikatakan baik karena nilai IRR (24,0% ) yang dihasilkan lahan S2 melebihi nilai suku bunga pinjaman bank.

Cengkeh yang ditanam pada lahan kesesuaian S3 masih dikatakan cukup baik namun hasil yang diperoleh tidak sebaik dan keuntungan yang diperoleh lebih kecil dibandingkan dengan cengkeh yang ditanam di lahan S1 dan S2. Faktor pembatas yang dimiliki lahan ini lebih besar dibandingkan lahan S1 dan S2 sehingga hasil yang diperoleh juga lebih kecil, yaitu keuntungan maksimal yang akan diperoleh pada masa produktif tanaman cengkeh ini (NPV) sebesar Rp 2.723.000 dan perkebunan ini termasuk kategori kurang layak digunakan karena nilai IRR yang dihasilkan sebesar 5,9% dan nilai ini dibawah nilai suku bunga pinjaman bank yang berlaku.

Gambar 13. menggambarkan tentang ketersediaan jalan yang menjadi hal penting dalam pengembangan tanaman cengkeh. Warna merah yang terdapat pada peta tersebut menjelaskan bahwa ketersediaan panjang jalan per luas kabupatennya di daerah utara Provinsi Sulawesi Selatan kurang baik, sedangkan pada wilayah bagian Selatan Provinsi ini lebih sangat baik.

Peta tersebut menjelaskan bahwa wilayah yang memiliki panjang jalan yang baik terdapat pada area di sekitar Kabupaten Sinjai, Jeneponto, Gowa, dan Takalar. Wilayah-wilayah yang termasuk ke dalam kriteria agroklimat tanaman cengkeh harus diimbangi dengan panjang jalan yang ada pada kabupaten tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa prioritas pengembangan cengkeh yang baik berdasarkan aspek kemudahan dalam akses jalannya lebih baik dilakukan pada daerah bagian selatan Provinsi Sulawesi Selatan.

(11)

Gambar 13.Peta aksesibilitas jalan

Gambar 14. Peta kabupaten prioritas pengembangan cengkeh di Provinsi Sulawesi Selatan

4.2.6 Wilayah Prioritas Lahan Pengembangan Cengkeh

Gambar 14. menunjukkan bahwa wilayah prioritas pengembangan cengkeh dominan berada pada bagian selatan Provinsi Sulawesi

Selatan. Wilayah-wilayah tersebut memiliki akses jalan yang cukup baik dibandingkan dengan wilayah kabupaten lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa mobilisasi yang terdapat pada wilayah-wilayah di bagian selatan

(12)

Provinsi Sulawesi Selatan cukup baik sehingga bila dilakukan usaha pengembangan tanaman cengkeh di wilayah tersebut dapat menguntungkan petani khususnya dalam proses pemasaran cengkeh.

Faktor pendukung lainnya yang dapat digunakan dalam proses penentuan lahan pengembangan cengkeh yaitu letak pelabuhan. Pelabuhan merupakan suatu media perantara antara petani cengkeh dengan pembeli sehingga berhasil atau tidaknya pemasaran cengkeh salah satunya ditentukan dengan keberadaan pelabuhan. Wilayah yang dekat dengan pelabuhan akan lebih menguntungkan dibandingkan dengan wilayah yang jauh dari pelabuhan karena dapat menghemat biaya transportasi pemasaran cengkeh.

Wilayah-wilayah yang menjadi prioritas lahan pengembangan tanaman cengkeh di Provinsi Sulawesi Selatan berdasarkan aspek agroklimat, penutupan lahan, akses jalan, dan kedekatan dari pelabuhannya dapat dilihat pada Tabel 13. Penentuan prioritas lahan pengembangan tanaman cengkeh tersebut didasarkan pada hasil perhitungan yang dapat dilihat pada bab metodologi. Wilayah yang memiliki prioritas lahan tinggi untuk dilakukan pengembangan cengkeh menunjukkan bahwa pada lahan tersebut sangat baik untuk dilakukan investasi budidaya cengkeh. Wilayah-wilayah tersebut terdapat di enam kabupaten di Sulawesi Selatan yaitu Kabupaten Barru, Bone, Bulukumba, Jeneponto, Sinjai, dan Wajo. Tabel 13. Nilai luas wilayah kesesuaian agroklimat dan penutupan lahan beserta akses

pendukung di tiap kabupaten

Kabupaten Luas (km 2 ) Akses Jalan Pelabuhan Prioritas Pengembangan S1 S2 S3 N Hutan

Bantaeng 0 263 0 - 0 baik ada Sedang

Barru 10 663 3 - 0 cukup ada Tinggi

Bone 296 2.743 87 - 507 cukup ada Tinggi

Bulukumba 0 499 2 - 0 baik ada Tinggi

Enrekang 91 865 7 - 0 cukup tidak Sedang

Gowa 5 1.034 195 - 0 baik tidak Sedang

Jeneponto 0 647 0 - 0 sangat baik ada Tinggi

Luwu 180 3.538 43 - no data kurang ada Sedang

Majene 7 475 51 - no data kurang tidak Rendah

Mamuju 0 2.724 83 - no data kurang ada Sedang

Maros 0 718 132 - 41 cukup ada Sedang

Pangkajene Kep. 0 552 27 - 0 cukup ada Sedang

Pinrang 230 879 0 - 0 kurang ada Sedang

Polewali Mamasa 118 2.265 211 - no data kurang ada Sedang

Selayar 0 179 0 - 75 cukup ada Sedang

Sindenreng Rappang 264 441 0 - 103 kurang tidak Rendah

Sinjai 0 400 1 - 0 sangat baik ada Tinggi

Soppeng 237 687 0 - 11 cukup tidak Sedang

Takalar 41 178 0 - 0 sangat baik tidak Sedang

Tana Toraja 0 1.945 148 - 0 cukup tidak Rendah

Wajo 418 1.425 0 - 0 cukup ada Tinggi

(13)

Gambar 15. Produksi cengkeh di setiap kabupaten Sulawesi Selatan Wilayah-wilayah prioritas lahan

pengembangan cengkeh yang diperoleh dalam penelitian ini kemudian dibandingkan dengan kondisi produksi cengkeh yang terdapat pada tiap kabupatennya. Wilayah yang memiliki prioritas lahan tinggi dalam pengembangan cengkeh seperti Kabupaten Sinjai, Bulukumba, Bone, dan Barru diikuti dengan kondisi produksi cengkeh yang tinggi pula di lapangannya. Hal ini menunjukkan bahwa hasil prioritas lahan yang dihasilkan pada penelitian ini didukung dengan kondisi di lapangan yang cukup baik.

Proses investasi dalam mengembangkan cengkeh memerlukan beberapa hal yang perlu diperhatikan atau dapat dilakukan dengan beberapa strategi, seperti berikut ini : 1. Pilih lahan yang sesuai

Penentuan dalam memilih lahan tersebut harus didasarkan pada aspek kesesuaian agroklimatnya. Utamakan wilayah yang memiliki lahan S1 ataupun S2.

2. Pilih lahan yang dapat dikonversi Pemilihan tesebut bertujuan agar potensi lahan yang ada dapat dimanfaatkan secara optimal yaitu dengan merealisasikannya menjadi lahan perkebunan cengkeh. Lahan-lahan yang dapat dikonversi sebaiknya dipilih wilayah yang sudah berusia tua dan kurang produktif.

3. Pilih lahan yang memiliki fasilitas pelabuhan dan akses jalan yang baik Akses jalan dan fasilitas pelabuhan merupakan beberapa faktor yang penting dalam usaha pengembangan tanaman cengkeh. Kemudahan dalam akses jalan dan adanya pelabuhan dapat memudahkan petani cengkeh dalam memasarkan hasil panennya sehingga hal ini dapat menguntungkan petani cengkeh.

Gambar

Gambar  4.  Peta  dasar  sulawesi  selatan  (sumber : Bakosurtanal)
Grafik CH dan Suhu rata-rata di Sulawesi Selatan
Gambar 7. Peta kesesuaian iklim
Gambar 8. Peta kesesuaian tanah
+5

Referensi

Dokumen terkait

Pestisida adalah substansi (zat) kimia yang digunakan untuk membunuh atau mengendalikan berbagai hama. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah apakah anggur

Perlakuan varietas sangat berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan dan produksi jagung QPM pada berbagai dosis pupuk N 2. Varietas Srikandi

Nilai terendah 89,07 MgC/ha (LTL 3) dan tertinggi 171,72 MgC/ha (LTL 2) berada pada stasiun yang merupakan ekosistem lamun dekat dengan daratan dan muara sungai yang dapat

Lantai ruang pameran sebaiknya memakai lantai keras dengan bahan penutup lantai dengan pola sederhana, rata, dan sedikit garis, tidak berkilau (doff), dan tidak

Pembahasan hasil penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh latihan fisik senam kaki terhadap efektifitas fungsi sensori di daerah telapak kaki pada penderita

Ketiga, dalam penelitian yang berjudul pengaruh motivasi dan lingkungan kerja terhadap kinerja karyawan dengan kepuasan kerja sebagai variabel mediasi pada PT BNI life Insurance

Uji signifikan simultan ialah untuk menunjukkan apakah semua variabel independen dalam model mempunyai pengaruh secara bersama-sama terhadap

Analisis hasil simulasi dinamika molekuler dilakukan pada masing-masing struktur kompleks UTJ (Sm dan Gd) dengan ligan DBDTP dan isomer ligan DBDTP dengan tiga air pada