• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Metasosiologi Redefinisi Subyek dalam Pemikiran Slavoj Zizek.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tinjauan Metasosiologi Redefinisi Subyek dalam Pemikiran Slavoj Zizek."

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

i

TINJAUAN METASOSIOLOGI REDEFINISI SUBYEK

DALAM PEMIKIRAN SLAVOJ ŽIŽEK

SKRIPSI

Disusun Oleh :

MUCHAMAD ZAENAL ARIFIN

1221005006

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS UDAYANA

(2)

ii

TINJAUAN METASOSIOLOGI REDEFINISI SUBYEK

DALAM PEMIKIRAN SLAVOJ ŽIŽEK

SKRIPSI

Disusun Oleh :

MUCHAMAD ZAENAL ARIFIN

1221005006

Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Gelar Sarjana Sosial

pada Program Studi Sosiologi

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS UDAYANA

(3)
(4)
(5)

v

KATA PENGANTAR

Puji syukur dipanjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan

rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan usulan penelitian skripsi yang berjudul

Tinjauan Metasosiologi Redefinisi Subyek dalam Pemikiran Slavoj Žižek”.

Tugas akhir ini disusun untuk memenuhi persyaratan mencapai gelar

Sarjana Strata Satu (S1) pada Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik Universitas Udayana. Pada kesempatan ini penulis bermaksud untuk

menyampaikan rasa terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. dr. Ketut Suastika., Sp., PD., KEMD., selaku Rektor Universitas

Udayana atas motivasi, saran serta arahan yang telah diberikan kepada

penulis selama menempuh pendidikan di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

Politik, Universitas Udayana.

2. Dr. Drs. I Gusti Putu Bagus Suka Arjawa., M.Si selaku Dekan Fakultas

Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Udayana atas motivasi dan arahan

yang telah diberikan kepada penulis selama menempuh pendidikan di

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Udayana.

3. Dr. Dra. Ni Luh Nyoman Kebayantini., M.Si selaku Ketua Program Studi

Sosiologi yang telah memberikan motivasi, saran, dan masukan kepada

penulis selama menempuh pendidikan di Program Studi Sosiologi.

4. Wahyu Budi Nugroho, S.Sos., M.A., selaku Pembimbing I yang selalu

menghasut penulis untuk terus berpikir dan melampaui diri.

5. Gede Kamajaya, S.Pd., M.Si, selaku Pembimbing II penulis atas

bimbingan, inspirasi perjuangan, serta motivasi yang diberikan kepada

penulis untuk terus menempa diri selama menempuh pendidikan di

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.

6. Dra Nazrina Zuryani., MA., Ph.D selaku Pembimbing Akademik (PA)

penulis atas segala motivasi, bimbingan, serta masukan kepada penulis

selama menempuh pendidikan di Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu

(6)

vi

7. Ikma Citra Ranteallo, S.Sos., M.A., selaku dosen yang selalu memberikan

perhatian, motivasi, ruang diskursif, dan kesempatan kepada penulis untuk

terus berkembang selama menempuh pendidikan di Program Studi

Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Udayana.

8. Staf dosen di Program Studi Sosiologi atas motivasi, serta bekal ilmu yang

telah diberikan kepada penulis selama menempuh pendidikan.

9. Ibunda tercinta, selaku seorang ibu sekaligus ayah yang tak henti-hentinya

berkata, “Hanya dengan pendidikan hidupmu dapat berubah, Nak”.

10.Kawan-kawan Badan Eksekutif Mahasiswa periode 2013-2014,

2014-2015, 2015-2016 yang selalu memberikan ruang diskursif dan tantangan

baru.

11.Teman-teman Gerakan Mahasiwa Nasional Indonesia cabang Denpasar,

yang selalu memberikan motivasi, inspirasi, dan tentunya ruang dialektis

baru bagi penulis.

12.Kawan-kawan Sosiologi angkatan 2012 yang selalu menginspirasi,

terutama Udiyani dan Ozi.

Akhir kata penulis berharap semoga tulisan ini dapat memberikan suatu

manfaat dan menambah khasanah pengetahuan bagi kita semua. Terimakasih

Denpasar, Juni 2016

Penulis

(7)

vii

HALAMAN JUDUL………...… i

HALAMAN PERNYATAAN JUDUL……….. ii

HALAMAN PENGESAHAN ……… iii

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI……… iv

KATA PENGANTAR ……… v

DAFTAR ISI ……….. vii

DAFTAR TABEL……… ix

DAFTAR GAMBAR……… x

ABSTRAK………...……… xi

ABSTRACT………..…… xii

BAB I PENDAHULUAN ……….. 1

1.1 Latar Belakang ……… 1

1.2 Rumusan Masalah ……… 12

1.3 Tujuan Penelitian ……….. 12

1.4 Manfaat Penelitian ……… 13

BAB II TINJAUAN PUSTAKA……….. 14

2.1 Kajian Pustaka ………... 14

2.2 Kerangka Konseptual……….. 17

2.2.1 Metasosiologi..…..……… 17

(8)

viii

BAB III METODE PENELITIAN ………... 23

3.1 Metode Penelitian……… 23

3.2 Jenis Penelitian ………... 24

3.3 Metode Pengumpulan Data………. 24

3.4 Jenis dan Sumber Data……… 25

3.5 Metode Analisis Data ………. 25

BAB IV BIOGRAFI SLAVOJ ŽIŽEK………. 28

BAB V METASOSIOLOGI REDEFINISI SUBYEK ŽIŽEK………… 34

5.1 Meta Understanding (Mu) Redefinisi Subyek Žižek….………...….. 34

5.2 Meta Prelude (Mp) Redefinisi Subyek Žižek………... 52

5.3 Meta Overacting (Mo) Redefinisi Subyek Žižek………. 59

BAB VI SUBYEK ŽIŽEK DALAM PARADIGMA SOSIOLOGI……. 62

BAB VII PRAKSIS DAN RELEVANSI SUBYEK ŽIŽEK………. 71

BAB VIII KRITIK SUBYEK ŽIŽEK………..……….. 80

BAB XI PENUTUP……… 86

9.2 Kesimpulan……….. 86

(9)

ix

DAFTAR TABEL

(10)

x

DAFTAR GAMBAR

(11)

xi ABSTRAK

Tinjauan Metasosiologi Redefinisi Subyek dalam Pemikiran Slavoj Žižek

Penelitian ini berupaya mengkaji konsep subyek teoretisi sosial kontemporer, Slavoj Žižek. Secara ringkas, redefinisi subyek oleh Žižek dibentuk melalui subyek Descartes dan idealisme Jerman yang dikonstruksikan kembali melalui konsep lacanian, serta menggunakan pemikiran Althusser, Laclau-Mouffe, dan Badiou untuk mencapai aspek aksiologis. Subyek Žižek apabila dipahami lebih mendalam, belum dapat dikategorikan sebagai kerangka pemikiran secara sosiologis. Dalam menemukan status sebagai kerangka pemikiran sosiologis, subyek Žižek perlu dipahami kembali menggunakan tinjauan metasosiologi. Tinjauan metasosiologi digunakan sebagai upaya menemukan perspektif baru, sekaligus menempatkan konsep subyek dalam paradigma sosiologi. Dalam menghasilkan pembahasan komprehensif, penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif deskriptif-eksplanatif dengan jenis penelitian kepustakaan (library research) dalam pengkajiannya. Subyek Žižek yang dikategorikan dalam paradigma definisi sosial ditujukan pada upaya melegitimasi praksis dan relevansi konsep subyek dalam ranah sosiologi. Untuk mencapai potensi tindakan, subyek

Žižek diperbaharui aspek aksiologisnya melalui konsep sosiologi subyek. Wujud karateristik sosiologi subyek antara lain; Pertama, sosiologi subyek menekankan pada tindakan untuk mendorong interaksi yang luas dan tak terbatas. Kedua,

sosiologi subyek bukan hanya memandang diri sebagai kekosongan, melainkan turut melihat peristiwa sebagai kekosongan yang harus didahulukan dengan potensi tindakan. Tranformasi pemikiran subyek Žižek dalam konsep sosiologi subyek dibentuk untuk menciptakan tindakan aktif yang ditujukan bagi dirinya dan the other. Sosiologi subyek diharapkan mampu menjaga tradisi konsep subyek Žižek dalam era pemikiran kontemporer terutama dalam kerangka mikrososiologi. Konsep tersebut, turut diharapkan menjadi terobosan pemikiran terutama dalam isu-isu seperti “masyarakat cair”, masyarakat beresiko, dan menghidupkan kembali kategori subyek dalam perdebatan pemikiran posmodern, strukturalis, dan postrukturalis.

(12)

xii

ABSTRACT

A Metasociology Approach on Slavoj Žižek Redefinition Subject Thought

This research examines the subject concept of social contemporary thinker Slavoj

Žižek. Briefly, the redefinition subject concept of Žižek is built through the Descartes’s subject and the Germany idealism that is reconstructed with

Lacanian concept, also using the idea of Althusser, Laclau-Mouffe, and Badiou to achieve the axiology aspect. The Žižek’s subject looked from deep understanding, it is can not categorized as sociological concept. To attain sociological concept, the Žižek’s subject must be understood properly and it can be done by the metasociology approach. Metasociology approach is used to attain a new perspective and to adjust the subject concept in sociological paradigm. This research is used qualitative descriptive-explanative method with library research to attain comprehensive research about subject. The Žižek’s subject that is categorized in the paradigm definition social is used to define the practical and the relevance legitimate of subject concept in sociology. To attain the potential

action, Žižek’s subject is refurbished with the axiology aspect through the

sociology subject concept. The characteristic of sociology subject such as: Firstly, sociology subject emphasizes on an action for encouraging a wide and an unlimited interaction. Secondly, sociology subject does not only observe that itself as a void, but it also observes that an event as a void with potential action first.

The transformation idea of Žižek’s subject in sociology concept is formed to attain

an active action that is intended for their self and the others. Sociology subject is expected to preserve the tradition Žižek’s subject concept in contemporary idea era, especially in the framework of microsociology. This concept is expected to be

define a new perspective especially in “liquid society”, society risk issues, and

also to revive the subject category in a postmodern, structuralism, and post-structuralism discussion.

(13)

1

BAB I PENDAHULUAN

“…the supreme moment of the subject’s freedom is to set free its object.” (Žižek)

1.1Latar Belakang

Perdebatan mengenai posisi manusia dalam ranah sosial muncul sebagai

proses berpikir tentang “yang ada”. Pemikiran corak filsafat yang mengangkat

posisi manusia merujuk pada pergerakan pemikiran filsafat dari masa Yunani Kuno

hingga masa filsafat kontemporer. Pada perkembangannya, para pemikir filsafat

memiliki berbagai konsepsi tentang manusia melalui suatu sudut pandang khusus,

misalnya manusia sebagai makhluk yang suka bermain (homo ludens), manusia adalah makhluk yang berpikir (animal rationale), manusia sebagai makhluk yang suka mencipta (homo faber), manusia sebagai makhluk yang suka bekerja (homo laborans), manusia sebagai makhluk yang tertawa (homo ridens), bahkan ada yang menyebut manusia sebagai makhluk pendoa (homo orans/homo religious).1

Konsepsi di atas tentunya memiliki tujuan untuk membedakan manusia dengan

makhluk-makhluk lainnya dalam peneguhan kedudukan mereka sebagai makhluk

yang otentik dan memiliki tempat khusus di dalam kehidupan. Lebih lanjut,

pembenaran tersebut ditegaskan Socrates sebagai berikut,2

1 Fransiskus Borgias, Manusia Pengembara: Refleksi Filososfis tentang Manusia, Jalasutra, Yogyakarta, 2013, h. 73-74.

(14)

2

Ia memikirkan dan bertanya tentang segala hal. Maka, tidak heran bahwa ia cenderung

secara spontan untuk bertanya: Apakah artinya menjadi manusia?. Kerapkali, sejak usia

remaja, manusia merasa dalam dirinya sendiri yang paling pribadi suatu dorongan yang ada

di bawah langit Delphi: Kenalilah dirimu sendiri!.

Penjelasan Socrates di atas mencoba untuk menegaskan posisi manusia

sebagai makhluk yang berpikir. Konsepsi manusia Socrates kemudian

mempengaruhi corak berpikir para filsuf setelahnya yang lebih memiliki ranah

perdebatan mengenai posisi subyek3 (individu/manusia) dalam masyarakat.

Perbedaan pandangan posisi subyek dalam masyarakat dimulai oleh pencetus

idealisme yakni Plato yang secara tegas menyebut manusia sebagai makhluk sosial

dan menolak konsepsi kaum sofis yang menyatakan masyarakat sebagai bentukan

individu, ataupun dengan pemikiran filsuf klasik lainnya seperti Epicurus yang

mendefinisikan manusia sebagai makhluk individual dan tujuan utamanya di dunia

adalah untuk mencari kebahagiaan sebesar-besarnya.4

Pada perkembangannya kemudian, muncul filsuf Rene Descartes yang

disebut pula sebagai bapak filsafat modern dengan diktumnya yang terkenal cogito ergo sum (aku berpikir, maka aku ada). Secara etimologis, Descartes membedakan subyek (cogito, kepala, pikiran) dan dunia (sum, hidup, ada). Antara kepala dan dunia dihubungkan oleh media ilmu pengetahuan (sebagai ergo) melalui aktivitas

3 Subyek tidak selalu hadir (baca: ada) meskipun secara umum subyek selalu diartikan sebagai manusia atau individu. Hal tersebut memungkinkan adanya berbagai definisi baik diartikan sebagai subyek aktif atau pasif oleh para teoritisi. Subyek aktif adalah subyek yang bergerak dan memiliki substansi, sedangkan subyek pasif adalah subyek yang diartikan sebagai pengguna atau

repese tasi dari ya g e pe garuhi ya. Kehadira subyek dikataka ada apabila a usia atau

individu memenuhi syarat-syarat untuk menjadi subyek otonom.

(15)

3

berpikir.5 Melalui pemikiran Descartes inilah kemudian subyek yang otonom

dihasilkan, subyek yang bebas akan pengembangan diri subyek itu sendiri. Lebih

jauh, pemikiran Descartes berkembang menjadi rumusan klasik atau adagium yang kemudian melahirkan rumusan yang baru dan lain. Misalnya, muncul rumusan

eligo ergo sum yang diartikan dengan, “Aku memilih, maka aku ada”.6 Hal tersebut

menandakan dalam kegiatan memilih atau berpikir, manusia (individu, subyek)

mengukuhkan eksistensinya. Selain itu, dengan kegiatan memilih atau berpikir

(cogito maupun eligo), semakin menunjukkan posisi manusia sebagai subyek otonom yang melakukan tindakan memilih atau berpikir untuk menunjukkan bahwa

dia ada.

Pergerakan ranah intelektual di Abad Pencerahan mendorong upaya

sosiologi menjadi mandiri dari segi keilmuan dengan memisahkan diri dari

pengaruh filsafat serta psikologi. Pemikiran awal sosiologi yang diusung oleh

Auguste Comte sekaligus Herbert Spencer dianggap cenderung menonjolkan dunia

ide. Dunia ide yang dibawa oleh kedua pemikir tersebut pun lebih mengutamakan

dimensi keteraturan sosial (social order) daripada dunia empiris, sehingga dapat dikatakan secara tegas jika warna filsafat masih membayangi pemikiran Comte dan

Spencer. Proyek peneguhan keilmuan sosiologi pun dimulai dari peletakkan dunia

empiris oleh Emile Durkheim. Durkheim berusaha memisahkan sosiologi dari alam

filsafat positif Auguste Comte serta Herbert Spencer melalui dua karya

monumentalnya Suicide (1897) dan The Rule of Sociological Method (1895).

5Ah ad Faridl Ma’aruf, Diskursus dan Metode: Rene Descartes, IRCiSoD, Yogyakarta,

2012, h. 9.

(16)

4

Durkheim dengan pemikiran fakta sosial hadir dalam upayanya menemukan obyek

studi sosiologi untuk menjadikannya sebagai ilmu yang berdiri sendiri dan

memenuhi unsur ilmiah. Pandangan fakta sosial menolak adanya dunia ide yang

cenderung mengedepankan proses pemikiran spekulatif, sehingga fakta sosial

mendorong terbentuknya proses pemikiran yang empiris (dapat diukur dan dapat

dipastikan kebenarannya). Secara terperinci, pandangan fakta sosial terdiri atas;

kelompok, kesatuan masyarakat tertentu (societis), sistem sosial, posisi, peranan, nilai-nilai, keluarga, dan pemerintahan.7 Fakta sosial kemudian secara tegas dan

jelas meletakkan dimensi struktur sosial dan pranata sosial sebagai barang yang ada

sekaligus membawa ranah empiris dalam mempengaruhi subyek, sehingga

pengaruh pemikiran Durkheim berkembang menjadi sebuah kebenaran umum, di

mana realitas sosial menjadi aspek yang tak terpisah dari manusia, sehingga dapat

dipastikan bahwa manusia adalah produk masyarakat.8

Penolakan dalam bentuk perbedaan pandangan mengenai posisi subyek

sebagaimana dijelaskan oleh pemikir fakta sosial ditentang oleh pemikir definisi

sosial yang dipelopori oleh Max Weber. Weber dalam pemikirannya menuangkan

posisi subyek (individu) sebagai pelopor pembentuk realitas sosial. Penolakan

Weber terhadap fakta sosial ditunjukkan oleh pernyataan “mempelajari

perkembangan suatu pranata secara khusus dari luar tanpa memperhatikan tindakan

manusianya sendiri, berarti mengabaikan segi-segi prinsipal dari kehidupan

sosial”.9 Secara eksternal, norma dan nilai sosial menjadi hambatan bagi

7 George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, Rajawali Pers, Jakarta, 2011, h. 18-19.

(17)

5

pengembangan diri subyek dalam bentuk tindakan atau tingkah laku. Hal inilah

yang kemudian menjadi kelemahan pemikiran fakta sosial dibandingkan pemikiran

definisi sosial yang mengedepankan segi aktif dan kreatif subyek untuk

menentukan posisi di dalam pemaknaan realitas sosial, sekaligus mempertegas

posisi subyek di dalam masyarakat dengan menggunakan metode interpretasi

(verstehen).

Posisi subyek menentukan aktivitas baik secara tindakan dan pikiran

merupakan bagian di dalam sejarah masyarakat yang sudah ada sebelumnya dan

akan terus berlanjut sesudahnya sebagai wujud biografi atas tiap individu. Terkait

hal tersebut, Peter L. Berger dalam posisi perdebatan mengenai subyek dalam

masyarakat mengemukakan pendapat sebagai berikut,10

Masyarakat sudah ada sebelum individu ada

Masyarakat pun ada ketika individu tidak ada.

Pandangan Berger di atas memberikan gambaran tidak ada suatu hal yang

berlawanan di antara keduanya. Baik subyek (individu) dan masyarakat memiliki

hubungan causa reality ‘realitas yang saling mempengaruhi’ yang menghasilkan sebuah penilaian akan hubungan tersebut. Nilai-nilai subyektif yang ada akan

mengalami ketegangan menuju proses dialektis dengan kegiatan obyektif.

Pemikiran Berger pun sarat dengan upaya menjembatani mikro-makro sosiologi.

Beralih pada ranah sosiologi modern, perkembangan teori klasik menuju

ranah modern tak luput dari persoalan subyek. Pemikir sosiologi modern seperti

(18)

6

Talcot Parsons serta muridnya, Robert K. Merton mengusung pemikiran fungsional

struktural yang menggiring peleburan subyek dalam masyarakat sekaligus

menguatkan pondasi makrososiologi. Pemikiran keduanya mengenai peleburan

subyek secara lugas terdapat dalam pendapat Parsons dan Merton sebagai berikut,

Sistem sosial terdiri dari sejumlah aktor-aktor individual yang saling berinteraksi dalam

situasi yang sekurang-kurangnya mempunyai aspek lingkungan atau fisik. Aktor-aktor

mempunyai motivasi dalam arti mempunyai kecenderungan untuk ‘mengoptimalkan

kepuasan’, yang hubungannya dengan situasi mereka didefinisikan dan dimediasi dalam

term sistem simbol bersama yang terstruktur secara struktural.11

Perhatian analisis struktur fungsional mestinya lebih dipusatkan pada fungsi sosial

ketimbang pada motif individual.12

Pendapat Parsons dan Merton didukung oleh pemikiran Kingsley Davis

serta Wilbert Moore yang menjelaskan cara masyarakat memotivasi dan

menempatkan individu pada posisi mereka yang “tepat”.13 Dengan demikian,

gambaran posisi subyek dalam pandangan fungsional struktural merupakan dorman

dari masyarakat dan subyek pun tidak memiliki otoritas dalam pembentukan sebuah

realitas sosial.

Pola makrososiologi yang didengungkan para pemikir fungsional struktural

tentunya tidak memperoleh kedudukan absolut dalam perkembangan teori sosial.

11 George Ritzer & Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, Kencana, Jakarta, 2006, h. 124.

(19)

7

Kritik terhadap pandangan kaum fungsional struktural (makrososiologi) ditentang

oleh para pemikir interaksionisme simbolik seperti George Herbert Mead, C.H.

Cooley, dan Hebert Blumer. Ketiganya memiliki pandangan bahwa subyek

memiliki peran atau potensi dalam membentuk bahkan merombak masyarakat.

Pemikiran terpenting interaksionisme simbolik dalam upaya menguatkan posisi

subyek dalam ranah mikrososiologi, antara lain: (1) Memusatkan perhatian pada

interaksi dunia nyata; (2) Memandang baik aktor maupun dunia nyata sebagai

proses dinamis dan bukannya sebagai struktur yang statis; serta (3) Arti penting

yang dihubungkan kepada kemampuan aktor untuk menafsirkan kehidupan sosial.

Lebih jauh, penjelasan lain mengenai posisi subyek dipertegas oleh Blumer melalui

premisnya di bawah ini,14

Masyarakat itu terdiri dari individu-individu yang memiliki kedirian mereka sendiri (yakni

membuat indikasi untuk diri mereka sendiri); tindakan individu itu merupakan suatu

konstruksi dan bukan sesuatu yang lepas begitu saja, yakni keberadaannya dibangun oleh

individu melalui catatan dan penafisiran situasi di mana dia bertindak; sehingga kelompok

atau tindakan kolektif itu terdiri dari beberapa susunan tindakan beberapa individu, yang

disebabkan oleh penafsiran individu atau pertimbangan individu terhadap setiap tindakan

yang lainnya.

Jelas kemudian melalui pemaknaan Blumer mengenai posisi subyek

mengindikasikan bahwa masyarakat merupakan kumpulan individu yang berdiri

atas kepentingan dan kesadaran diri. Menilik perkembangan teori sosiologi modern

yang hendak menciptakan teori absolut tentunya telah mengalami kegagalan dalam

(20)

8

menjalankan fungsinya. Di samping itu, integrasi makro-mikro15 pun seolah tak

berdaya sekaligus menandai kemunculan kembali perdebatan posisi subyek dalam

menentukan posisinya. Penguatan kembali posisi masyarakat dalam mempengaruhi

subyek pun semakin berkembang ke dalam ranah bahasa, ideologi, dan tak lupa

stuktur sosial kembali sebagai faktor yang melenyapkan posisi subyek dalam

realitas sosial.

Hal tersebut sekaligus menandai kemunculan pemikir posmodern dan

strukturalis dalam upayanya mengkritik maupun merevisi pemikiran filsafat

Descartes ataupun para penganutnya―cartesian―karena pemikiran Descartes dianggap sebagai pencetus utama dan paling berpengaruh dalam terjadinya

perdebatan posisi subyek hingga masa sosiologi modern, sekaligus menghidupkan

kembali diktum individu sebagai budak masyarakat.

Pemikir posmodern dan strukturalis berteori bahwa subyek merupakan

sumber kekacauan serta konflik.16 Subyek dalam hal ini diwakili oleh manusia

dalam pengertian pasif sebagai pengguna atau dalam pengertian aktif sebagai

pencipta bahasa, simbol, atau ideologi. Sejalan dengan pendapat sebelumnya, Dennis McCallum punberpendapat tidak ditemukannya manusia sebagai subyek,

akan tetapi subyek (manusia) merupakan hasil dari pabrikasi sosial atau konstruksi

15 Istilah akro diartika sebagai pe gga bara ya g e akili asyarakat. Area

makrososiologi adalah menganalisis interaksi sebagai pengaruh struktur sosial. Sedangkan istilah

ikro e akili subyek ba a: a usia atau i di idu . Area kajia ikrososiologi i i pu

membedah secara internal yang mendasari terjadinya interaksi sosial, di mana individu diletakkan sebagai dimensi terpenting dalam mempengaruhi dan penciptaan realitas sosial.

(21)

9

sosial yang di dalamnya aktor sebagai subyek tidak memiliki peran yang

signifikan.17

Proyek kematian subyek dimulai oleh perayaan Ferdinand de Saussure

dengan bahasa sebagai pengendali. Saussure menyatakan bahwa realitas antara

subyek dibentuk oleh bahasa. Pun, sama halnya dengan konsep dekonstruksi

Jacques Derrida yang meletakkan bahasa sebagai perantara proses ketertundaan

kehadiran. Michel Foucault hadir semakin menisbikan posisi subyek di arena

struktur sosial. Dalam arena struktur sosial, jaringan kuasa muncul sebagai pencipta

obyek yang menyatakan bahwa tidak pernah ada subyek yang utuh. Akan tetapi,

membahas kematian subyek tidak lengkap jika tidak mengikutsertakan Louis

Althusser yang menyatakan subyek ada sebagai bentukan sejarah dan ideologi.

Dengan analisis lain, subyek dalam pandangan cartesian memiliki posisi sebagai realitas otonom pun seolah tidak menyadari kehadiran obyek yang mampu

menciptakan anti-ketidakhadiran subyek. Pemikiran ini pun dapat didasari ketika

Descartes mencetuskan subyek cogito, ia masih hidup pada momen ketika udara di bumi belum dipenuhi oleh obyek (baca: media). Berbeda dengan para penganut

subyek cartesian yang hidup di era kenyataan maya (virtual reality) yang kemudian dengan mudah diserang para pemikir posmodern dan strukturalis sekaligus

menandai kematian subyek sebagai subyek otonom.

Mengingat berbagai uraian dan penjabaran singkat di atas, kiranya dapat

memberikan gambaran konkret sebagai sebuah pengantar untuk memahami pokok

(22)

10

permasalahan yang akan dibahas lebih lanjut. Penjelasan di atas perlu dilakukan

mengingat pentingnya uraian komprehensif dari tiap penggolongan masa pemikiran

mengenai perubahan posisi subyek (individu) di dalam masyarakat, yakni apakah

masyarakat menciptakan dan mempengaruhi individu, ataukah individu yang

memiliki pengaruh membentuk dan merombak masyarakat. Begitu pula, uraian di

atas sekaligus memberikan gambaran bahwa perdebatan antara makrososiologi dan

mikrososiologi tanpa disadari masih berlanjut hingga saat ini. Perkembangan pola

pemikiran kemudian diharapkan dapat memberikan sumbangsih serta dapat

memberikan rumusan baru mengenai kemana arah pemikiran sosiologi

berkembang. Kiranya, dalam posisi perdebatan tersebut terdapat konsep pemikiran

“redefinisi subyek” yang kemudian dapat mendorong perkembangan pemikiran

sosiologi. Dengan kata lain, konsep pemikiran ini akan menjelaskan relevansi

perdebatan posisi dominan-dorman individu dalam ruang lingkup disiplin

sosiologi.

Redefinisi subyek yang disebut sebagai pemikiran paling kontemporer

dewasa ini dicetuskan oleh pemikir Slovenia sekaligus seorang marxis progresif

bernama “Slavoj Žižek”. Pemikiran Žižek terbilang komprehensif terlebih

dikarenakan Žižek masih hidup di era sosiologi kontemporer di mana

perubahan-perubahan sedari bahasan kapitalis hingga paham “Jalan Ketiga” masih dapat

diikuti. Žižek telah menghasilkan banyak buku dengan satu bukunya yang cukup

(23)

11

“berbahaya” serta patut diperhitungkan di era kontemporer dengan dengung “masih

adanya subyek radikal”.

Relevansi pemikiran Žižek kemudian dijelaskan dalam beberapa tema

pokok. Pertama, secara ontologis pemikiran Žižek adalah sebuah upaya pembelaan atas kategori subyek dalam teori kontemporer. Kedua, penggunaan kembali kategori ideologi. Ketiga, melalui penggunaan subyek dan ideologi lacanian, Žižek mengupayakan pemahaman baru mengenai realitas kontemporer, yakni masyarakat

global-liberal-kapitalis.18 Gambaran masyarakat kontemporer dalam sosiologi

seiring perkembangannya juga disebut sebagai risk society (masyarakat beresiko). Namun, pemikiran Žižek yang cenderung meloncat dan tidak memberikan cetusan

teori menjadi tantangan tersendiri dalam upaya membangun kembali subyek.

Terlebih yang menjadi persoalan di sini adalah Žižek sama sekali tidak

memperkenalkan arah atau isi perubahan masyarakat yang diharapkannya. Hal

tersebut kemudian menghasilkan asumsi bahwa Žižek pun tidak mempertegas

konsep subyek yang dimaksudkan dalam berbagai eksemplar pemikirannya

terutama konsep relevansi subyek dalam kajian sosiologi.

Merujuk pada persoalan keilmuan sosial dan humaniora di atas, yaitu

kurang ditemuinya pembahasan mengenai konsep relevansi subyek menurut Žižek

dalam kerangka kajian sosiologi yang sistematis serta kurangnya bahan-bahan

kajian Slavoj Žižek di Indonesia, kiranya menjadi sebuah tantangan tersendiri dan

terbilang orisinal untuk mengkaji pemikiran redefinisi subyek Žižek dalam tinjauan

(24)

12

metasosiologi. Diharapkan, hasil pengkajian ini nantinya dapat memberikan

sumbangsih pemikiran dalam memperkaya kazanah keilmuan sosial-humaniora

pada umumnya, dan disiplin sosiologi khususnya.

1.2Rumusan Masalah

Mengacu berbagai uraian dan penjelasan dalam latar belakang

permasalahan di atas maka beberapa permasalahan pokok yang akan dikaji lebih

mendalam pada pembahasan (penelitian) ini dapat dirumuskan sebagai berikut,

1. Bagaimanakah konsep redefinisi subyek Slavoj Žižek dalam tinjauan

metasosiologi?

2. Di manakah letak posisi subyek Slavoj Žižek dalam berbagai paradigma

yang ada dalam sosiologi?

3. Bagaimanakah praksis dan relevansi konsep subyek Slavoj Žižek dewasa

ini?

1.3Tujuan Penelitian

Penelitian atas tinjauan metasosiologi redefinisi subyek Slavoj Žižek ini

dilakukan dengan beberapa tujuan sebagai berikut,

1. Memaparkan konsep pemikiran Slavoj Žižek mengenai redefinisi subyek

dalam kerangka tinjauan metasosiologi.

2. Melacak letak posisi subyek Slavoj Žižek dalam berbagai paradigma

pemikiran sosiologi.

(25)

13

1.4Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoritis

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangsih

bagi pemahaman konsep redefinisi subyek menurut Slavoj Žižek dalam tinjauan

metasosiologi. Di sisi lain, penelitian ini ditujukan dalam rangka menambah

literatur terkait konsep subyek dan relevansinya di era kontemporer bagi mahasiswa

sosiologi pada khususnya, maupun akademisi atau pengamat sosial-politik yang

meminati isu terkait mengingat sumber literatur mengenai berbagai konsep

pemikiran Slavoj Žižek di tanah air masih dikatakan jarang dan sulit didapatkan.

1.4.2 Manfaat Praktis

Sebagaimana penulis sebutkan bahwa pemikiran Slavoj Žižek yang

membahas mengenai redefinisi subyek merupakan upaya pengembalian posisi

subyek yang seakan dihilangkan oleh para pemikir posmodern, strukturalis, hingga

postrukturalis di era kontemporer. Upaya ini tentunya memiliki manfaat dalam

peneguhan kembali identitas individu sebagai subyek baik di ranah sosial maupun

politik. Sekaligus memberikan tawaran jalan keluar terhadap kungkungan era masa

kini yang kita kenal sebagai era “masyarakat cair” maupun era masyarakat beresiko

(26)

14

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

“…sometimes the correct thing to do is choose the worst option.” (Žižek)

2.1Kajian Pustaka

Kajian mengenai konsep subyek Slavoj Žižek sebelumnya pernah dibahas

dalam skripsi Kehadiran Subyek di Tengah Kekosongan: Subyek Dialektis menurut Slavoj Žižek yang ditulis oleh Efriandi Effendi (2011) Jurusan Filsafat, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia. Subtansi skripsi tersebut

membahas konsep subyek Slavoj Žižek yang merupakan hasil dari pembaharuan

konsep pemikiran cogito Descartes, negativitas Hegel, dialektika Marx, dan juga

psikoanalisis Lacan. Konsep tersebut kemudian dihidupkan kembali oleh Slavoj

Žižek yang diawali dengan mengkritisi proyek pemikiran posmodern, strukturalis,

hingga postrukturalis yang ditandai dengan “matinya sang subyek” akibat kooptasi

struktur. Lebih jauh, dalam karya tersebut, Effendi membahas bagaimana Slavoj

Žižek melahirkan subyek radikal yang berasal dari kekosongan subyek itu sendiri

dan kemudian mencetuskan hubungan antara subyek dengan pembentukan identitas

sebagai pokok pembahasan dalam skripsi tersebut.

Karya lain yang membahas mengenai proyek pemikiran subyek Slavoj

Žižek juga dibahas dalam skripsi Subyek dalam Pemikiran Slavoj Žižek yang disusun oleh Indah Yusari (2012) Jurusan Filsafat, Fakultas Ilmu Pengetahuan

(27)

15

dalam karya ini juga dibahas mengenai bagaimana Žižek menginisiasi proyek

pemikirannya mengenai subyek yang berupaya dihidupkannya kembali dari

gempuran para pemikir posmodern, strukturalis, hingga postrukturalis. Karya

terkait mencoba memfokuskan untuk mengupas dimensi epistemologis dan

aksiologis subyek Žižek. Melalui sudut pandang epistemologis Subyek Žižek,

konsep subyeknya merupakan gabungan dari pemikiran Descartes, Kant, Hegel,

serta Marx. Sementara, ditilik melalui segi aksiologisnya subyek Žižek merupakan

hasil analisis pemikiran Althusser, Laclau-Mouffe, dan Alain Badiou. Hal yang

menarik dari karya ini adalah, Yusari mencoba memberikan contoh konkret

bagaimana manusia berhasil mencapai proposisi subyek sebagaimana dijelaskan

Žižek. Beberapa contoh subyek tersebut antara lain; Munir, Aung San Syu Kui, dan

R.A Kartini yang berhasil meninggalkan dimensi simbolik lamanya dengan

mengorbankan dirinya dalam mencapai, bahkan melampaui simbolik lama untuk

menciptakan sebuah simbolik baru.

Penelitian lain yang berkenaan dengan proyek pemikiran subyek Žižek juga

tertuang dalam disertasi Robertus Robet yang telah dibukukan dengan judul

Manusia Politik Subyek Radikal dan Politik Emansipasi di Era Kapitalisme Global Menurut Slavoj Žižek. Dalam buku tersebut, Robet memberikan penjelasan konsep rekonstruksi subyek Žižek. Subyek kemudian dijelaskan bersamaan dengan konsep

politik emansipasi yang menurut Robert menjadi kebutuhan utama dalam

menjelaskan bagaimana dimensi ideologis sangat berpengaruh di era kapitalisme

(28)

16

sebagai hasil dari penguatan pemikiran idealisme Jerman dalam menghindari

subyektivisasi.

Keunikan yang ditemui dalam buku tersebut adalah bagaimana Robertus

Robet memusatkan pemikiran pencapaian yang politis dalam melampaui politik

emansipasi sebagai ujung dari pemaknaan kembali rekonstruksi subyek Žižek. Jelas

bahwa dirinya memiliki tujuan dalam proses peneguhan filsafat subyek Žižek untuk

memberikan sumbangsih pemikiran berkenaan dengan hal-hal bernuansa politik

emansipasi di era global.

Menilik beberapa konsep pemikiran subyek Žižek yang dituangkan dalam

karya Efriandi Effendi (2011), Indah Yusari (2012), dan Robertus Robet (2010),

terdapat kesamaan konsep dasar mengenai pembahasan subyek. Oleh peneliti,

subyek Žižek yang merupakan konstruksi dari pemikiran Descartes, Hegel, Marx,

serta Lacan pun juga dijadikan pijakan berpikir oleh penulis. Dalam hal ini penulis

turut mengambil beberapa konsep dari kritik Žižek terhadap Althusser,

Laclau-Mouffe, dan Alain Badiou untuk melengkapi proyek redefinisi subyek. Tak lupa,

penulis akan membahas dimensi pemikiran teori posmodern, strukturalis, hingga

postrukturalis yang melupakan bahwa kehidupan sosial dibentuk oleh

subyek-subyek yang tidak pernah utuh, sekaligus memberikan kritik dan tawaran solusi

terhadap teori kritis yang dianggap menjadi teori yang menyumbangkan kebuntuan

(baca: tidak memberikan solusi).

Hal terpenting yang membedakan dan menjadi terobosan baru penulis

(29)

17

metasosiologi sebagai pokok bahasan selain konsep redefinisi subyek. Tinjauan

metasosiologi inilah yang kemudian menjadi dasar perbedaan telaah konsep subyek

dari karya-karya sebelumnya yang lebih terdominasi oleh dimensi filsafat, namun

tidak dapat dipungkiri bahwa sumbangsih pemikiran filsafat juga mempengaruhi

penulis dalam upaya merangkai konsep redefinisi subyek Žižek. Tinjauan

metasosiologi dalam penelitian ini diharapkan menjadi pembaharuan proyek

pemikiran subyek Žižek, di mana penulis menganggap Žižek sendiri belum

menyertakan dimensi sosiologi ke dalam pemikirannya mengenai subyek. Secara

rinci pembahasan mengenai tinjauan metasosiologi redefinisi subyek Žižek akan

dijelaskan lebih mendalam pada bab-bab selanjutnya.

2.2 Kerangka Konseptual 2.2.1 Metasosiologi

Metatheorizing dalam sosiologi dikenal dengan istilah metasosiologi. Secara etimologis, metasosiologi mempunyai dua muatan pengertian dasar yaitu

“meta” dan “sosiologi”. Meta didefinisikan sebagai kajian komprehensif mengenai situasi yang berada “di balik” atau “melebihi” suatu konsep pemikiran atau teori.1

Di lain pihak, sosiologi berasal dari bahasa Latin, socius yang berarti “kawan” atau

“masyarakat” dan kata Yunani, logos yang berarti “berbicara mengenai”, sehingga

secara harafiah sosiologi memiliki arti “berbicara mengenai masyarakat”.2 Merujuk

kedua definisi tersebut, metasosiologi dapat didefiniskan sebagai studi refleksif

1 Yulia Sugandi, Rekonstruksi Sosiologi Humanis menuju Praksis. Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002, h. 73.

(30)

18

tentang struktur yang melandasi komponen dalam sosiologi.3 Dalam hal ini,

komponen yang dimaksud adalah teori, obyek studi, konsep, maupun metode yang

membentuk ataupun mempengaruhi perkembangan pemikiran yang berkenaan

dengan sosiologi.

Metasosiologi mempunyai tiga kategori yang berpatokan pada the nature of the products.4 Pertama, metasosiologi sebagai alat untuk mencapai pemahaman

lebih baik dan mendalam mengenai teori (MU). Kedua, metasosiologi sebagai studi teori untuk menghasilkan teori baru yang mendukung perkembangan teori

bersangkutan (MP). Ketiga, metasosiologi sebagai sumber perspektif yang melandasi teori sosiologi (MO). Merujuk pada inti penelitian, ketiga kategori

metasosiologi digunakan dalam upaya menganalisa redefinisi subyek Slavoj Žižek.

Melalui kategori pertama (MU), pemikiran filsafat subyek Žižek dianalisa lebih

mendalam untuk mengetahui subyek seperti apa yang dimaksud sekaligus

memahami dasar pijakan subyek Žižek. Pada kategori kedua (MP), filsafat subyek

Žižek dikembangkan secara komprehensif untuk memperoleh teori baru yakni

sosiologi subyek. Selanjutnya, pembentukan teori sosiologi subyek berkorelasi

pada penggunaan kategori ketiga (MO) guna menjembatani pembentukan perspektif

baru mengenai obyek studi sosiologi yakni subyek5 yang sekaligus mengkritisi dan

memperkuat pemikiran mikro.

3 George Ritzer & Douglas J. Goodman op. cit., A. 2. 4 Yulia Sugandi, op. cit., h. 77-78.

5Merujuk pa da ga u u asyarakat sebagai obyek studi sosiologi, pe be tukan

(31)

19

Dalam proses mendapatkan pandangan yang akurat guna memperkuat kritik

pemikir mikro, perlu adanya sebuah pendekatan yang mengakomodasi analisis

mikrososiologi yaitu dengan cara menghidupkan kembali dimensi subyek melalui

metasosiologi untuk melawan gempuran era kematian subyek seperti yang

didengungkan para pemikir posmodern, strukturalis, dan postrukturalis. Terlebih,

hal yang harus dihindari dan diperbaharui adalah pendekatan mikrososiologi yang

menekankan interaksi antarindividu dalam lingkup pandang yang terbatas dan

terpusat pada tarik-menarik hubungan interaksi yang sempit dan terbatas, termasuk

meninggalkan asumsi yang dipegang teguh oleh kaum mikrokosmik yang

mengasumsikan bahwa kehidupan sosial hanya bermakna pada tingkat individu.6

Pengkajian mendalam subyek Žižek, perumusan teori sosiologi subyek,

hingga pembentukan obyek baru studi sosiologi melalui metasosiologi diharapkan

mampu mengembangkan filsafat subyek Žižek guna memperoleh pemahaman baru

dalam kajian sosiologi baik dalam ranah teoritis maupun praksis yang belum

dikembangkan oleh Žižek sendiri maupun para teoretisi lainnya. Pengunaan ketiga

kategori metasosiologi dalam mengkaji redefinisi subyek Žižek dirasa tepat karena

sejalan dengan tujuan metateori yakni untuk melakukan studi sosiologi dengan

berpijak pada act locally think globally secara komprehensif dan koheren, serta mempelajari pula bidang lain yang memiliki relevansi erat dengan sosiologi seperti

psikologi dan filsafat.7

2.2.2 Redefinisi Subyek

bagi dirinya, melainkan juga berfokus pada pembentukan nilai dan fungsi subyek bagi the others secara luas dan tidak terbatas.

(32)

20

Subyek selalu merujuk pada manusia yang memiliki kesadaran dan tak luput

dari dimensinya sebagai makhluk individual maupun sosial. Dengan demikian,

setiap individu atau manusia belum tentu dapat dikategorikan sebagai subyek.

Semakin manusia mampu menguasai dan mengendalikan kehendaknya, maka

semakin manusia tersebut kokoh dan nyata sebagai subyek kehendak otonom.

Dengan kata lain, penguasaan dan pengendalian kehendak tersebut tidak lain adalah

suatu usaha afirmasi (penegasan) dan konfirmasi (pengukuhan) diri manusia

sebagai subyek kehendak otonom.8

Kemunculan subyek sebagai pokok kajian sedari bahasan filsafat, sosiologi,

hingga pemikiran era kontemporer pun hadir dengan berbagai definisi. Identifikasi

subyek tersebut kemudian melahirkan tiga bahasan besar mengenai pemahaman

kembali dimensi identitas, yakni; subyek pencerahan, subyek sosiologis, dan

subyek pascamodern.9 Pertama, upaya pembahasan subyek di era filsafat lebih

dikenal di era kebangkitan filsafat pencerahan di mana Descartes muncul dengan

subyek cogito. Subyek pencerahan didasarkan pada suatu pemahaman tentang pribadi manusia sebagai individu yang sepenuhnya terpusat dan terpadu, yang

didukung oleh kapasitas rasio, kesadaran dan tindakan yang pusatnya terdiri dalam

pusat esensial dari diri, yakni identitas pribadi. Sebagai contoh, perbincangan moral

di mana kebudayaan Barat berusaha memahami dan menyelesaikan dilema etis dan

moral benar-benar terpusat pada pertanyaan tentang tanggung jawab individu untuk

bertindak. Kedua, definisi mengenai subyek sosiologis di mana inti dari entitas

8 Fransiskus Borgias, op. cit., h. 77.

(33)

21

subyek tidak bersifat otonom maupun berdiri sendiri, melainkan dibentuk dalam

kaitannya dengan orang lain yang berpengaruh (significant others) yang menjadi perantara subyek dengan nilai, makna, dan simbol kebudayaan dalam dunia tempat

ia hidup.10 Ketiga, subyek pascamodern yang memiliki pendeskripsian manusia

sebagai satu kesatuan menyeluruh yang membumikan dirinya menuju pandangan

bahwa individu terbentuk secara sosial. Subyek sosial bukanlah sumber itu sendiri,

bukan pula suatu keseluruhan berdasarkan alasan bahwa orang-orang menempati

berbagai posisi sosial.11 Rujukan lain mengenai definisi subyek juga terdapat pada

pemikiran strukturalis hingga postrukturalis. Keduanya setuju bahwa subyek

bukanlah sebuah entitas universal yang tetap, namun merupakan efek konstruksi

struktur dan juga bahasa. Subyek yang bertutur bergantung pada eksistensi posisi

subyek diskursif yang telah ada sebelumnya, ruang hampa, atau fungsi dalam

diskursus yang digunakan untuk memahami dunia. Pribadi yang hidup diharuskan

memainkan posisi subyek dalam diskursus agar dapat memahami dunia dan

tampak koheren bagi orang lain.12

Memaknai keberadaan subyek tentunya memaknai pula pembaharuan

dimensi dari subyek. Pembaharuan subyek inilah yang kemudian didefinisikan

sebagai konsep redefinisi subyek. “Redefinisi” mempunyai makna sebagai pengonstruksian kembali subyek dari berbagai perspektif pemikiran sebelumnya,

dengan kata lain redefinisi subyek hadir sebagai kritik terhadap teori-teori yang

10 Pada definisi subyek sosiologis, terdapat perdebatan yang menyatakan bahwa subyek sosiologis pun turut memuat dimensi individu. Lebih jauh pembahasan individu sebagai subyek sosiologis akan dikaji secara terperinci bersamaan dengan konsep pemikiran subyek Slavoj Žižek yang menjadi pokok bahasan dalam penelitian ini.

(34)

22

menganggap subyek telah mati. Konsep redefinisi subyek diperlihatkan Alain

Badiou dengan subyek yang setia dalam mengkritisi pendapat kematian subyek, di

mana subyek ada sejauh terdapat kesetiaan terhadap peristiwa.13 Redefinisi subyek

selanjutnya dijelaskan oleh Slavoj Žižek. Žižek mendefiniskan subyek sebagai

kekosongan untuk menciptakan identitas baru dengan melampaui dan

meninggalkan “yang simbolik” untuk menciptakan “yang rill”.14 Kekosongan yang

dimaksudkan pada subyek Žižek merupakan ruang keputusasaan akan realitasnya

sebagai subyek. Selanjutnya, melalui “keputusasaannya” subyek terdorong untuk

menciptakan dirinya yang baru, sekaligus melawan subyektivisasinya sebagai

bentuk perlawanan asumsi kematian subyek yang digaungkan para pemikir

posmodern, strukturalis, dan postrukturalis.

13 Martin Suryajaya, Alain Badiou dan Masa Depan Marxisme, Resist Book, Yogyakarta, 2011, h. 185.

Referensi

Dokumen terkait

Dengan memahami bentuk pesan yang ingin disampaikan, maka seorang desainer akan dengan mudah ‘’mengendalikan’’ target sasaran untuk masuk ke dalam jejaring komunikasi... visual

به اقلاعتم .قيقلحا تٌعم نم فلايخ نآرقلا نم ةجمرت ثبح لمتشت ةثحابلاف ثحبلا ذ. ليوادتلا لاا

Klien dengan resiko perilaku kekerasan mekanisme koping regulator yang digunakan adalah adanya terjadinya reaksi tubuh akibat klien mengalami putus obat atau dalam kondisi

otomatis, akan cenderung mendapatkan laba yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan yang tidak menggunakan teknologi tersebut dalam proses

7.2 Kondisi untuk penyimpanan yang aman, termasuk ketidakcocokan Bahan atau campuran tidak cocok... Simpan di

Sehingga secara tidak langsung, general control perusahaan dapat membantu menghasilkan kualitas informasi yang relevan dan reliable pada laporan keuangan, yang merupakan

(2) Bagi para akademisis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusis terhadap pengembangan literatur dan sebagai referensi untuk penelitian selanjutnya, (3)

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka rumusan masalah adalah sebagai berikut: Adakah pengaruh prestasi belajar Pendidikan Agama Islam