i
TINJAUAN METASOSIOLOGI REDEFINISI SUBYEK
DALAM PEMIKIRAN SLAVOJ ŽIŽEK
SKRIPSI
Disusun Oleh :
MUCHAMAD ZAENAL ARIFIN
1221005006
PROGRAM STUDI SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS UDAYANA
ii
TINJAUAN METASOSIOLOGI REDEFINISI SUBYEK
DALAM PEMIKIRAN SLAVOJ ŽIŽEK
SKRIPSI
Disusun Oleh :
MUCHAMAD ZAENAL ARIFIN
1221005006
Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Gelar Sarjana Sosial
pada Program Studi Sosiologi
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS UDAYANA
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur dipanjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan
rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan usulan penelitian skripsi yang berjudul
“Tinjauan Metasosiologi Redefinisi Subyek dalam Pemikiran Slavoj Žižek”.
Tugas akhir ini disusun untuk memenuhi persyaratan mencapai gelar
Sarjana Strata Satu (S1) pada Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Udayana. Pada kesempatan ini penulis bermaksud untuk
menyampaikan rasa terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. dr. Ketut Suastika., Sp., PD., KEMD., selaku Rektor Universitas
Udayana atas motivasi, saran serta arahan yang telah diberikan kepada
penulis selama menempuh pendidikan di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik, Universitas Udayana.
2. Dr. Drs. I Gusti Putu Bagus Suka Arjawa., M.Si selaku Dekan Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Udayana atas motivasi dan arahan
yang telah diberikan kepada penulis selama menempuh pendidikan di
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Udayana.
3. Dr. Dra. Ni Luh Nyoman Kebayantini., M.Si selaku Ketua Program Studi
Sosiologi yang telah memberikan motivasi, saran, dan masukan kepada
penulis selama menempuh pendidikan di Program Studi Sosiologi.
4. Wahyu Budi Nugroho, S.Sos., M.A., selaku Pembimbing I yang selalu
menghasut penulis untuk terus berpikir dan melampaui diri.
5. Gede Kamajaya, S.Pd., M.Si, selaku Pembimbing II penulis atas
bimbingan, inspirasi perjuangan, serta motivasi yang diberikan kepada
penulis untuk terus menempa diri selama menempuh pendidikan di
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
6. Dra Nazrina Zuryani., MA., Ph.D selaku Pembimbing Akademik (PA)
penulis atas segala motivasi, bimbingan, serta masukan kepada penulis
selama menempuh pendidikan di Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu
vi
7. Ikma Citra Ranteallo, S.Sos., M.A., selaku dosen yang selalu memberikan
perhatian, motivasi, ruang diskursif, dan kesempatan kepada penulis untuk
terus berkembang selama menempuh pendidikan di Program Studi
Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Udayana.
8. Staf dosen di Program Studi Sosiologi atas motivasi, serta bekal ilmu yang
telah diberikan kepada penulis selama menempuh pendidikan.
9. Ibunda tercinta, selaku seorang ibu sekaligus ayah yang tak henti-hentinya
berkata, “Hanya dengan pendidikan hidupmu dapat berubah, Nak”.
10.Kawan-kawan Badan Eksekutif Mahasiswa periode 2013-2014,
2014-2015, 2015-2016 yang selalu memberikan ruang diskursif dan tantangan
baru.
11.Teman-teman Gerakan Mahasiwa Nasional Indonesia cabang Denpasar,
yang selalu memberikan motivasi, inspirasi, dan tentunya ruang dialektis
baru bagi penulis.
12.Kawan-kawan Sosiologi angkatan 2012 yang selalu menginspirasi,
terutama Udiyani dan Ozi.
Akhir kata penulis berharap semoga tulisan ini dapat memberikan suatu
manfaat dan menambah khasanah pengetahuan bagi kita semua. Terimakasih
Denpasar, Juni 2016
Penulis
vii
HALAMAN JUDUL………...… i
HALAMAN PERNYATAAN JUDUL……….. ii
HALAMAN PENGESAHAN ……… iii
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI……… iv
KATA PENGANTAR ……… v
DAFTAR ISI ……….. vii
DAFTAR TABEL……… ix
DAFTAR GAMBAR……… x
ABSTRAK………...……… xi
ABSTRACT………..…… xii
BAB I PENDAHULUAN ……….. 1
1.1 Latar Belakang ……… 1
1.2 Rumusan Masalah ……… 12
1.3 Tujuan Penelitian ……….. 12
1.4 Manfaat Penelitian ……… 13
BAB II TINJAUAN PUSTAKA……….. 14
2.1 Kajian Pustaka ………... 14
2.2 Kerangka Konseptual……….. 17
2.2.1 Metasosiologi..…..……… 17
viii
BAB III METODE PENELITIAN ………... 23
3.1 Metode Penelitian……… 23
3.2 Jenis Penelitian ………... 24
3.3 Metode Pengumpulan Data………. 24
3.4 Jenis dan Sumber Data……… 25
3.5 Metode Analisis Data ………. 25
BAB IV BIOGRAFI SLAVOJ ŽIŽEK………. 28
BAB V METASOSIOLOGI REDEFINISI SUBYEK ŽIŽEK………… 34
5.1 Meta Understanding (Mu) Redefinisi Subyek Žižek….………...….. 34
5.2 Meta Prelude (Mp) Redefinisi Subyek Žižek………... 52
5.3 Meta Overacting (Mo) Redefinisi Subyek Žižek………. 59
BAB VI SUBYEK ŽIŽEK DALAM PARADIGMA SOSIOLOGI……. 62
BAB VII PRAKSIS DAN RELEVANSI SUBYEK ŽIŽEK………. 71
BAB VIII KRITIK SUBYEK ŽIŽEK………..……….. 80
BAB XI PENUTUP……… 86
9.2 Kesimpulan……….. 86
ix
DAFTAR TABEL
x
DAFTAR GAMBAR
xi ABSTRAK
Tinjauan Metasosiologi Redefinisi Subyek dalam Pemikiran Slavoj Žižek
Penelitian ini berupaya mengkaji konsep subyek teoretisi sosial kontemporer, Slavoj Žižek. Secara ringkas, redefinisi subyek oleh Žižek dibentuk melalui subyek Descartes dan idealisme Jerman yang dikonstruksikan kembali melalui konsep lacanian, serta menggunakan pemikiran Althusser, Laclau-Mouffe, dan Badiou untuk mencapai aspek aksiologis. Subyek Žižek apabila dipahami lebih mendalam, belum dapat dikategorikan sebagai kerangka pemikiran secara sosiologis. Dalam menemukan status sebagai kerangka pemikiran sosiologis, subyek Žižek perlu dipahami kembali menggunakan tinjauan metasosiologi. Tinjauan metasosiologi digunakan sebagai upaya menemukan perspektif baru, sekaligus menempatkan konsep subyek dalam paradigma sosiologi. Dalam menghasilkan pembahasan komprehensif, penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif deskriptif-eksplanatif dengan jenis penelitian kepustakaan (library research) dalam pengkajiannya. Subyek Žižek yang dikategorikan dalam paradigma definisi sosial ditujukan pada upaya melegitimasi praksis dan relevansi konsep subyek dalam ranah sosiologi. Untuk mencapai potensi tindakan, subyek
Žižek diperbaharui aspek aksiologisnya melalui konsep sosiologi subyek. Wujud karateristik sosiologi subyek antara lain; Pertama, sosiologi subyek menekankan pada tindakan untuk mendorong interaksi yang luas dan tak terbatas. Kedua,
sosiologi subyek bukan hanya memandang diri sebagai kekosongan, melainkan turut melihat peristiwa sebagai kekosongan yang harus didahulukan dengan potensi tindakan. Tranformasi pemikiran subyek Žižek dalam konsep sosiologi subyek dibentuk untuk menciptakan tindakan aktif yang ditujukan bagi dirinya dan the other. Sosiologi subyek diharapkan mampu menjaga tradisi konsep subyek Žižek dalam era pemikiran kontemporer terutama dalam kerangka mikrososiologi. Konsep tersebut, turut diharapkan menjadi terobosan pemikiran terutama dalam isu-isu seperti “masyarakat cair”, masyarakat beresiko, dan menghidupkan kembali kategori subyek dalam perdebatan pemikiran posmodern, strukturalis, dan postrukturalis.
xii
ABSTRACT
A Metasociology Approach on Slavoj Žižek Redefinition Subject Thought
This research examines the subject concept of social contemporary thinker Slavoj
Žižek. Briefly, the redefinition subject concept of Žižek is built through the Descartes’s subject and the Germany idealism that is reconstructed with
Lacanian concept, also using the idea of Althusser, Laclau-Mouffe, and Badiou to achieve the axiology aspect. The Žižek’s subject looked from deep understanding, it is can not categorized as sociological concept. To attain sociological concept, the Žižek’s subject must be understood properly and it can be done by the metasociology approach. Metasociology approach is used to attain a new perspective and to adjust the subject concept in sociological paradigm. This research is used qualitative descriptive-explanative method with library research to attain comprehensive research about subject. The Žižek’s subject that is categorized in the paradigm definition social is used to define the practical and the relevance legitimate of subject concept in sociology. To attain the potential
action, Žižek’s subject is refurbished with the axiology aspect through the
sociology subject concept. The characteristic of sociology subject such as: Firstly, sociology subject emphasizes on an action for encouraging a wide and an unlimited interaction. Secondly, sociology subject does not only observe that itself as a void, but it also observes that an event as a void with potential action first.
The transformation idea of Žižek’s subject in sociology concept is formed to attain
an active action that is intended for their self and the others. Sociology subject is expected to preserve the tradition Žižek’s subject concept in contemporary idea era, especially in the framework of microsociology. This concept is expected to be
define a new perspective especially in “liquid society”, society risk issues, and
also to revive the subject category in a postmodern, structuralism, and post-structuralism discussion.
1
BAB I PENDAHULUAN
“…the supreme moment of the subject’s freedom is to set free its object.” (Žižek)
1.1Latar Belakang
Perdebatan mengenai posisi manusia dalam ranah sosial muncul sebagai
proses berpikir tentang “yang ada”. Pemikiran corak filsafat yang mengangkat
posisi manusia merujuk pada pergerakan pemikiran filsafat dari masa Yunani Kuno
hingga masa filsafat kontemporer. Pada perkembangannya, para pemikir filsafat
memiliki berbagai konsepsi tentang manusia melalui suatu sudut pandang khusus,
misalnya manusia sebagai makhluk yang suka bermain (homo ludens), manusia adalah makhluk yang berpikir (animal rationale), manusia sebagai makhluk yang suka mencipta (homo faber), manusia sebagai makhluk yang suka bekerja (homo laborans), manusia sebagai makhluk yang tertawa (homo ridens), bahkan ada yang menyebut manusia sebagai makhluk pendoa (homo orans/homo religious).1
Konsepsi di atas tentunya memiliki tujuan untuk membedakan manusia dengan
makhluk-makhluk lainnya dalam peneguhan kedudukan mereka sebagai makhluk
yang otentik dan memiliki tempat khusus di dalam kehidupan. Lebih lanjut,
pembenaran tersebut ditegaskan Socrates sebagai berikut,2
1 Fransiskus Borgias, Manusia Pengembara: Refleksi Filososfis tentang Manusia, Jalasutra, Yogyakarta, 2013, h. 73-74.
2
Ia memikirkan dan bertanya tentang segala hal. Maka, tidak heran bahwa ia cenderung
secara spontan untuk bertanya: Apakah artinya menjadi manusia?. Kerapkali, sejak usia
remaja, manusia merasa dalam dirinya sendiri yang paling pribadi suatu dorongan yang ada
di bawah langit Delphi: Kenalilah dirimu sendiri!.
Penjelasan Socrates di atas mencoba untuk menegaskan posisi manusia
sebagai makhluk yang berpikir. Konsepsi manusia Socrates kemudian
mempengaruhi corak berpikir para filsuf setelahnya yang lebih memiliki ranah
perdebatan mengenai posisi subyek3 (individu/manusia) dalam masyarakat.
Perbedaan pandangan posisi subyek dalam masyarakat dimulai oleh pencetus
idealisme yakni Plato yang secara tegas menyebut manusia sebagai makhluk sosial
dan menolak konsepsi kaum sofis yang menyatakan masyarakat sebagai bentukan
individu, ataupun dengan pemikiran filsuf klasik lainnya seperti Epicurus yang
mendefinisikan manusia sebagai makhluk individual dan tujuan utamanya di dunia
adalah untuk mencari kebahagiaan sebesar-besarnya.4
Pada perkembangannya kemudian, muncul filsuf Rene Descartes yang
disebut pula sebagai bapak filsafat modern dengan diktumnya yang terkenal cogito ergo sum (aku berpikir, maka aku ada). Secara etimologis, Descartes membedakan subyek (cogito, kepala, pikiran) dan dunia (sum, hidup, ada). Antara kepala dan dunia dihubungkan oleh media ilmu pengetahuan (sebagai ergo) melalui aktivitas
3 Subyek tidak selalu hadir (baca: ada) meskipun secara umum subyek selalu diartikan sebagai manusia atau individu. Hal tersebut memungkinkan adanya berbagai definisi baik diartikan sebagai subyek aktif atau pasif oleh para teoritisi. Subyek aktif adalah subyek yang bergerak dan memiliki substansi, sedangkan subyek pasif adalah subyek yang diartikan sebagai pengguna atau
repese tasi dari ya g e pe garuhi ya. Kehadira subyek dikataka ada apabila a usia atau
individu memenuhi syarat-syarat untuk menjadi subyek otonom.
3
berpikir.5 Melalui pemikiran Descartes inilah kemudian subyek yang otonom
dihasilkan, subyek yang bebas akan pengembangan diri subyek itu sendiri. Lebih
jauh, pemikiran Descartes berkembang menjadi rumusan klasik atau adagium yang kemudian melahirkan rumusan yang baru dan lain. Misalnya, muncul rumusan
eligo ergo sum yang diartikan dengan, “Aku memilih, maka aku ada”.6 Hal tersebut
menandakan dalam kegiatan memilih atau berpikir, manusia (individu, subyek)
mengukuhkan eksistensinya. Selain itu, dengan kegiatan memilih atau berpikir
(cogito maupun eligo), semakin menunjukkan posisi manusia sebagai subyek otonom yang melakukan tindakan memilih atau berpikir untuk menunjukkan bahwa
dia ada.
Pergerakan ranah intelektual di Abad Pencerahan mendorong upaya
sosiologi menjadi mandiri dari segi keilmuan dengan memisahkan diri dari
pengaruh filsafat serta psikologi. Pemikiran awal sosiologi yang diusung oleh
Auguste Comte sekaligus Herbert Spencer dianggap cenderung menonjolkan dunia
ide. Dunia ide yang dibawa oleh kedua pemikir tersebut pun lebih mengutamakan
dimensi keteraturan sosial (social order) daripada dunia empiris, sehingga dapat dikatakan secara tegas jika warna filsafat masih membayangi pemikiran Comte dan
Spencer. Proyek peneguhan keilmuan sosiologi pun dimulai dari peletakkan dunia
empiris oleh Emile Durkheim. Durkheim berusaha memisahkan sosiologi dari alam
filsafat positif Auguste Comte serta Herbert Spencer melalui dua karya
monumentalnya Suicide (1897) dan The Rule of Sociological Method (1895).
5Ah ad Faridl Ma’aruf, Diskursus dan Metode: Rene Descartes, IRCiSoD, Yogyakarta,
2012, h. 9.
4
Durkheim dengan pemikiran fakta sosial hadir dalam upayanya menemukan obyek
studi sosiologi untuk menjadikannya sebagai ilmu yang berdiri sendiri dan
memenuhi unsur ilmiah. Pandangan fakta sosial menolak adanya dunia ide yang
cenderung mengedepankan proses pemikiran spekulatif, sehingga fakta sosial
mendorong terbentuknya proses pemikiran yang empiris (dapat diukur dan dapat
dipastikan kebenarannya). Secara terperinci, pandangan fakta sosial terdiri atas;
kelompok, kesatuan masyarakat tertentu (societis), sistem sosial, posisi, peranan, nilai-nilai, keluarga, dan pemerintahan.7 Fakta sosial kemudian secara tegas dan
jelas meletakkan dimensi struktur sosial dan pranata sosial sebagai barang yang ada
sekaligus membawa ranah empiris dalam mempengaruhi subyek, sehingga
pengaruh pemikiran Durkheim berkembang menjadi sebuah kebenaran umum, di
mana realitas sosial menjadi aspek yang tak terpisah dari manusia, sehingga dapat
dipastikan bahwa manusia adalah produk masyarakat.8
Penolakan dalam bentuk perbedaan pandangan mengenai posisi subyek
sebagaimana dijelaskan oleh pemikir fakta sosial ditentang oleh pemikir definisi
sosial yang dipelopori oleh Max Weber. Weber dalam pemikirannya menuangkan
posisi subyek (individu) sebagai pelopor pembentuk realitas sosial. Penolakan
Weber terhadap fakta sosial ditunjukkan oleh pernyataan “mempelajari
perkembangan suatu pranata secara khusus dari luar tanpa memperhatikan tindakan
manusianya sendiri, berarti mengabaikan segi-segi prinsipal dari kehidupan
sosial”.9 Secara eksternal, norma dan nilai sosial menjadi hambatan bagi
7 George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, Rajawali Pers, Jakarta, 2011, h. 18-19.
5
pengembangan diri subyek dalam bentuk tindakan atau tingkah laku. Hal inilah
yang kemudian menjadi kelemahan pemikiran fakta sosial dibandingkan pemikiran
definisi sosial yang mengedepankan segi aktif dan kreatif subyek untuk
menentukan posisi di dalam pemaknaan realitas sosial, sekaligus mempertegas
posisi subyek di dalam masyarakat dengan menggunakan metode interpretasi
(verstehen).
Posisi subyek menentukan aktivitas baik secara tindakan dan pikiran
merupakan bagian di dalam sejarah masyarakat yang sudah ada sebelumnya dan
akan terus berlanjut sesudahnya sebagai wujud biografi atas tiap individu. Terkait
hal tersebut, Peter L. Berger dalam posisi perdebatan mengenai subyek dalam
masyarakat mengemukakan pendapat sebagai berikut,10
Masyarakat sudah ada sebelum individu ada
Masyarakat pun ada ketika individu tidak ada.
Pandangan Berger di atas memberikan gambaran tidak ada suatu hal yang
berlawanan di antara keduanya. Baik subyek (individu) dan masyarakat memiliki
hubungan causa reality ‘realitas yang saling mempengaruhi’ yang menghasilkan sebuah penilaian akan hubungan tersebut. Nilai-nilai subyektif yang ada akan
mengalami ketegangan menuju proses dialektis dengan kegiatan obyektif.
Pemikiran Berger pun sarat dengan upaya menjembatani mikro-makro sosiologi.
Beralih pada ranah sosiologi modern, perkembangan teori klasik menuju
ranah modern tak luput dari persoalan subyek. Pemikir sosiologi modern seperti
6
Talcot Parsons serta muridnya, Robert K. Merton mengusung pemikiran fungsional
struktural yang menggiring peleburan subyek dalam masyarakat sekaligus
menguatkan pondasi makrososiologi. Pemikiran keduanya mengenai peleburan
subyek secara lugas terdapat dalam pendapat Parsons dan Merton sebagai berikut,
Sistem sosial terdiri dari sejumlah aktor-aktor individual yang saling berinteraksi dalam
situasi yang sekurang-kurangnya mempunyai aspek lingkungan atau fisik. Aktor-aktor
mempunyai motivasi dalam arti mempunyai kecenderungan untuk ‘mengoptimalkan
kepuasan’, yang hubungannya dengan situasi mereka didefinisikan dan dimediasi dalam
term sistem simbol bersama yang terstruktur secara struktural.11
Perhatian analisis struktur fungsional mestinya lebih dipusatkan pada fungsi sosial
ketimbang pada motif individual.12
Pendapat Parsons dan Merton didukung oleh pemikiran Kingsley Davis
serta Wilbert Moore yang menjelaskan cara masyarakat memotivasi dan
menempatkan individu pada posisi mereka yang “tepat”.13 Dengan demikian,
gambaran posisi subyek dalam pandangan fungsional struktural merupakan dorman
dari masyarakat dan subyek pun tidak memiliki otoritas dalam pembentukan sebuah
realitas sosial.
Pola makrososiologi yang didengungkan para pemikir fungsional struktural
tentunya tidak memperoleh kedudukan absolut dalam perkembangan teori sosial.
11 George Ritzer & Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, Kencana, Jakarta, 2006, h. 124.
7
Kritik terhadap pandangan kaum fungsional struktural (makrososiologi) ditentang
oleh para pemikir interaksionisme simbolik seperti George Herbert Mead, C.H.
Cooley, dan Hebert Blumer. Ketiganya memiliki pandangan bahwa subyek
memiliki peran atau potensi dalam membentuk bahkan merombak masyarakat.
Pemikiran terpenting interaksionisme simbolik dalam upaya menguatkan posisi
subyek dalam ranah mikrososiologi, antara lain: (1) Memusatkan perhatian pada
interaksi dunia nyata; (2) Memandang baik aktor maupun dunia nyata sebagai
proses dinamis dan bukannya sebagai struktur yang statis; serta (3) Arti penting
yang dihubungkan kepada kemampuan aktor untuk menafsirkan kehidupan sosial.
Lebih jauh, penjelasan lain mengenai posisi subyek dipertegas oleh Blumer melalui
premisnya di bawah ini,14
Masyarakat itu terdiri dari individu-individu yang memiliki kedirian mereka sendiri (yakni
membuat indikasi untuk diri mereka sendiri); tindakan individu itu merupakan suatu
konstruksi dan bukan sesuatu yang lepas begitu saja, yakni keberadaannya dibangun oleh
individu melalui catatan dan penafisiran situasi di mana dia bertindak; sehingga kelompok
atau tindakan kolektif itu terdiri dari beberapa susunan tindakan beberapa individu, yang
disebabkan oleh penafsiran individu atau pertimbangan individu terhadap setiap tindakan
yang lainnya.
Jelas kemudian melalui pemaknaan Blumer mengenai posisi subyek
mengindikasikan bahwa masyarakat merupakan kumpulan individu yang berdiri
atas kepentingan dan kesadaran diri. Menilik perkembangan teori sosiologi modern
yang hendak menciptakan teori absolut tentunya telah mengalami kegagalan dalam
8
menjalankan fungsinya. Di samping itu, integrasi makro-mikro15 pun seolah tak
berdaya sekaligus menandai kemunculan kembali perdebatan posisi subyek dalam
menentukan posisinya. Penguatan kembali posisi masyarakat dalam mempengaruhi
subyek pun semakin berkembang ke dalam ranah bahasa, ideologi, dan tak lupa
stuktur sosial kembali sebagai faktor yang melenyapkan posisi subyek dalam
realitas sosial.
Hal tersebut sekaligus menandai kemunculan pemikir posmodern dan
strukturalis dalam upayanya mengkritik maupun merevisi pemikiran filsafat
Descartes ataupun para penganutnya―cartesian―karena pemikiran Descartes dianggap sebagai pencetus utama dan paling berpengaruh dalam terjadinya
perdebatan posisi subyek hingga masa sosiologi modern, sekaligus menghidupkan
kembali diktum individu sebagai budak masyarakat.
Pemikir posmodern dan strukturalis berteori bahwa subyek merupakan
sumber kekacauan serta konflik.16 Subyek dalam hal ini diwakili oleh manusia
dalam pengertian pasif sebagai pengguna atau dalam pengertian aktif sebagai
pencipta bahasa, simbol, atau ideologi. Sejalan dengan pendapat sebelumnya, Dennis McCallum punberpendapat tidak ditemukannya manusia sebagai subyek,
akan tetapi subyek (manusia) merupakan hasil dari pabrikasi sosial atau konstruksi
15 Istilah akro diartika sebagai pe gga bara ya g e akili asyarakat. Area
makrososiologi adalah menganalisis interaksi sebagai pengaruh struktur sosial. Sedangkan istilah
ikro e akili subyek ba a: a usia atau i di idu . Area kajia ikrososiologi i i pu
membedah secara internal yang mendasari terjadinya interaksi sosial, di mana individu diletakkan sebagai dimensi terpenting dalam mempengaruhi dan penciptaan realitas sosial.
9
sosial yang di dalamnya aktor sebagai subyek tidak memiliki peran yang
signifikan.17
Proyek kematian subyek dimulai oleh perayaan Ferdinand de Saussure
dengan bahasa sebagai pengendali. Saussure menyatakan bahwa realitas antara
subyek dibentuk oleh bahasa. Pun, sama halnya dengan konsep dekonstruksi
Jacques Derrida yang meletakkan bahasa sebagai perantara proses ketertundaan
kehadiran. Michel Foucault hadir semakin menisbikan posisi subyek di arena
struktur sosial. Dalam arena struktur sosial, jaringan kuasa muncul sebagai pencipta
obyek yang menyatakan bahwa tidak pernah ada subyek yang utuh. Akan tetapi,
membahas kematian subyek tidak lengkap jika tidak mengikutsertakan Louis
Althusser yang menyatakan subyek ada sebagai bentukan sejarah dan ideologi.
Dengan analisis lain, subyek dalam pandangan cartesian memiliki posisi sebagai realitas otonom pun seolah tidak menyadari kehadiran obyek yang mampu
menciptakan anti-ketidakhadiran subyek. Pemikiran ini pun dapat didasari ketika
Descartes mencetuskan subyek cogito, ia masih hidup pada momen ketika udara di bumi belum dipenuhi oleh obyek (baca: media). Berbeda dengan para penganut
subyek cartesian yang hidup di era kenyataan maya (virtual reality) yang kemudian dengan mudah diserang para pemikir posmodern dan strukturalis sekaligus
menandai kematian subyek sebagai subyek otonom.
Mengingat berbagai uraian dan penjabaran singkat di atas, kiranya dapat
memberikan gambaran konkret sebagai sebuah pengantar untuk memahami pokok
10
permasalahan yang akan dibahas lebih lanjut. Penjelasan di atas perlu dilakukan
mengingat pentingnya uraian komprehensif dari tiap penggolongan masa pemikiran
mengenai perubahan posisi subyek (individu) di dalam masyarakat, yakni apakah
masyarakat menciptakan dan mempengaruhi individu, ataukah individu yang
memiliki pengaruh membentuk dan merombak masyarakat. Begitu pula, uraian di
atas sekaligus memberikan gambaran bahwa perdebatan antara makrososiologi dan
mikrososiologi tanpa disadari masih berlanjut hingga saat ini. Perkembangan pola
pemikiran kemudian diharapkan dapat memberikan sumbangsih serta dapat
memberikan rumusan baru mengenai kemana arah pemikiran sosiologi
berkembang. Kiranya, dalam posisi perdebatan tersebut terdapat konsep pemikiran
“redefinisi subyek” yang kemudian dapat mendorong perkembangan pemikiran
sosiologi. Dengan kata lain, konsep pemikiran ini akan menjelaskan relevansi
perdebatan posisi dominan-dorman individu dalam ruang lingkup disiplin
sosiologi.
Redefinisi subyek yang disebut sebagai pemikiran paling kontemporer
dewasa ini dicetuskan oleh pemikir Slovenia sekaligus seorang marxis progresif
bernama “Slavoj Žižek”. Pemikiran Žižek terbilang komprehensif terlebih
dikarenakan Žižek masih hidup di era sosiologi kontemporer di mana
perubahan-perubahan sedari bahasan kapitalis hingga paham “Jalan Ketiga” masih dapat
diikuti. Žižek telah menghasilkan banyak buku dengan satu bukunya yang cukup
11
“berbahaya” serta patut diperhitungkan di era kontemporer dengan dengung “masih
adanya subyek radikal”.
Relevansi pemikiran Žižek kemudian dijelaskan dalam beberapa tema
pokok. Pertama, secara ontologis pemikiran Žižek adalah sebuah upaya pembelaan atas kategori subyek dalam teori kontemporer. Kedua, penggunaan kembali kategori ideologi. Ketiga, melalui penggunaan subyek dan ideologi lacanian, Žižek mengupayakan pemahaman baru mengenai realitas kontemporer, yakni masyarakat
global-liberal-kapitalis.18 Gambaran masyarakat kontemporer dalam sosiologi
seiring perkembangannya juga disebut sebagai risk society (masyarakat beresiko). Namun, pemikiran Žižek yang cenderung meloncat dan tidak memberikan cetusan
teori menjadi tantangan tersendiri dalam upaya membangun kembali subyek.
Terlebih yang menjadi persoalan di sini adalah Žižek sama sekali tidak
memperkenalkan arah atau isi perubahan masyarakat yang diharapkannya. Hal
tersebut kemudian menghasilkan asumsi bahwa Žižek pun tidak mempertegas
konsep subyek yang dimaksudkan dalam berbagai eksemplar pemikirannya
terutama konsep relevansi subyek dalam kajian sosiologi.
Merujuk pada persoalan keilmuan sosial dan humaniora di atas, yaitu
kurang ditemuinya pembahasan mengenai konsep relevansi subyek menurut Žižek
dalam kerangka kajian sosiologi yang sistematis serta kurangnya bahan-bahan
kajian Slavoj Žižek di Indonesia, kiranya menjadi sebuah tantangan tersendiri dan
terbilang orisinal untuk mengkaji pemikiran redefinisi subyek Žižek dalam tinjauan
12
metasosiologi. Diharapkan, hasil pengkajian ini nantinya dapat memberikan
sumbangsih pemikiran dalam memperkaya kazanah keilmuan sosial-humaniora
pada umumnya, dan disiplin sosiologi khususnya.
1.2Rumusan Masalah
Mengacu berbagai uraian dan penjelasan dalam latar belakang
permasalahan di atas maka beberapa permasalahan pokok yang akan dikaji lebih
mendalam pada pembahasan (penelitian) ini dapat dirumuskan sebagai berikut,
1. Bagaimanakah konsep redefinisi subyek Slavoj Žižek dalam tinjauan
metasosiologi?
2. Di manakah letak posisi subyek Slavoj Žižek dalam berbagai paradigma
yang ada dalam sosiologi?
3. Bagaimanakah praksis dan relevansi konsep subyek Slavoj Žižek dewasa
ini?
1.3Tujuan Penelitian
Penelitian atas tinjauan metasosiologi redefinisi subyek Slavoj Žižek ini
dilakukan dengan beberapa tujuan sebagai berikut,
1. Memaparkan konsep pemikiran Slavoj Žižek mengenai redefinisi subyek
dalam kerangka tinjauan metasosiologi.
2. Melacak letak posisi subyek Slavoj Žižek dalam berbagai paradigma
pemikiran sosiologi.
13
1.4Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoritis
Secara teoritis, penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangsih
bagi pemahaman konsep redefinisi subyek menurut Slavoj Žižek dalam tinjauan
metasosiologi. Di sisi lain, penelitian ini ditujukan dalam rangka menambah
literatur terkait konsep subyek dan relevansinya di era kontemporer bagi mahasiswa
sosiologi pada khususnya, maupun akademisi atau pengamat sosial-politik yang
meminati isu terkait mengingat sumber literatur mengenai berbagai konsep
pemikiran Slavoj Žižek di tanah air masih dikatakan jarang dan sulit didapatkan.
1.4.2 Manfaat Praktis
Sebagaimana penulis sebutkan bahwa pemikiran Slavoj Žižek yang
membahas mengenai redefinisi subyek merupakan upaya pengembalian posisi
subyek yang seakan dihilangkan oleh para pemikir posmodern, strukturalis, hingga
postrukturalis di era kontemporer. Upaya ini tentunya memiliki manfaat dalam
peneguhan kembali identitas individu sebagai subyek baik di ranah sosial maupun
politik. Sekaligus memberikan tawaran jalan keluar terhadap kungkungan era masa
kini yang kita kenal sebagai era “masyarakat cair” maupun era masyarakat beresiko
14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
“…sometimes the correct thing to do is choose the worst option.” (Žižek)
2.1Kajian Pustaka
Kajian mengenai konsep subyek Slavoj Žižek sebelumnya pernah dibahas
dalam skripsi Kehadiran Subyek di Tengah Kekosongan: Subyek Dialektis menurut Slavoj Žižek yang ditulis oleh Efriandi Effendi (2011) Jurusan Filsafat, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia. Subtansi skripsi tersebut
membahas konsep subyek Slavoj Žižek yang merupakan hasil dari pembaharuan
konsep pemikiran cogito Descartes, negativitas Hegel, dialektika Marx, dan juga
psikoanalisis Lacan. Konsep tersebut kemudian dihidupkan kembali oleh Slavoj
Žižek yang diawali dengan mengkritisi proyek pemikiran posmodern, strukturalis,
hingga postrukturalis yang ditandai dengan “matinya sang subyek” akibat kooptasi
struktur. Lebih jauh, dalam karya tersebut, Effendi membahas bagaimana Slavoj
Žižek melahirkan subyek radikal yang berasal dari kekosongan subyek itu sendiri
dan kemudian mencetuskan hubungan antara subyek dengan pembentukan identitas
sebagai pokok pembahasan dalam skripsi tersebut.
Karya lain yang membahas mengenai proyek pemikiran subyek Slavoj
Žižek juga dibahas dalam skripsi Subyek dalam Pemikiran Slavoj Žižek yang disusun oleh Indah Yusari (2012) Jurusan Filsafat, Fakultas Ilmu Pengetahuan
15
dalam karya ini juga dibahas mengenai bagaimana Žižek menginisiasi proyek
pemikirannya mengenai subyek yang berupaya dihidupkannya kembali dari
gempuran para pemikir posmodern, strukturalis, hingga postrukturalis. Karya
terkait mencoba memfokuskan untuk mengupas dimensi epistemologis dan
aksiologis subyek Žižek. Melalui sudut pandang epistemologis Subyek Žižek,
konsep subyeknya merupakan gabungan dari pemikiran Descartes, Kant, Hegel,
serta Marx. Sementara, ditilik melalui segi aksiologisnya subyek Žižek merupakan
hasil analisis pemikiran Althusser, Laclau-Mouffe, dan Alain Badiou. Hal yang
menarik dari karya ini adalah, Yusari mencoba memberikan contoh konkret
bagaimana manusia berhasil mencapai proposisi subyek sebagaimana dijelaskan
Žižek. Beberapa contoh subyek tersebut antara lain; Munir, Aung San Syu Kui, dan
R.A Kartini yang berhasil meninggalkan dimensi simbolik lamanya dengan
mengorbankan dirinya dalam mencapai, bahkan melampaui simbolik lama untuk
menciptakan sebuah simbolik baru.
Penelitian lain yang berkenaan dengan proyek pemikiran subyek Žižek juga
tertuang dalam disertasi Robertus Robet yang telah dibukukan dengan judul
Manusia Politik Subyek Radikal dan Politik Emansipasi di Era Kapitalisme Global Menurut Slavoj Žižek. Dalam buku tersebut, Robet memberikan penjelasan konsep rekonstruksi subyek Žižek. Subyek kemudian dijelaskan bersamaan dengan konsep
politik emansipasi yang menurut Robert menjadi kebutuhan utama dalam
menjelaskan bagaimana dimensi ideologis sangat berpengaruh di era kapitalisme
16
sebagai hasil dari penguatan pemikiran idealisme Jerman dalam menghindari
subyektivisasi.
Keunikan yang ditemui dalam buku tersebut adalah bagaimana Robertus
Robet memusatkan pemikiran pencapaian yang politis dalam melampaui politik
emansipasi sebagai ujung dari pemaknaan kembali rekonstruksi subyek Žižek. Jelas
bahwa dirinya memiliki tujuan dalam proses peneguhan filsafat subyek Žižek untuk
memberikan sumbangsih pemikiran berkenaan dengan hal-hal bernuansa politik
emansipasi di era global.
Menilik beberapa konsep pemikiran subyek Žižek yang dituangkan dalam
karya Efriandi Effendi (2011), Indah Yusari (2012), dan Robertus Robet (2010),
terdapat kesamaan konsep dasar mengenai pembahasan subyek. Oleh peneliti,
subyek Žižek yang merupakan konstruksi dari pemikiran Descartes, Hegel, Marx,
serta Lacan pun juga dijadikan pijakan berpikir oleh penulis. Dalam hal ini penulis
turut mengambil beberapa konsep dari kritik Žižek terhadap Althusser,
Laclau-Mouffe, dan Alain Badiou untuk melengkapi proyek redefinisi subyek. Tak lupa,
penulis akan membahas dimensi pemikiran teori posmodern, strukturalis, hingga
postrukturalis yang melupakan bahwa kehidupan sosial dibentuk oleh
subyek-subyek yang tidak pernah utuh, sekaligus memberikan kritik dan tawaran solusi
terhadap teori kritis yang dianggap menjadi teori yang menyumbangkan kebuntuan
(baca: tidak memberikan solusi).
Hal terpenting yang membedakan dan menjadi terobosan baru penulis
17
metasosiologi sebagai pokok bahasan selain konsep redefinisi subyek. Tinjauan
metasosiologi inilah yang kemudian menjadi dasar perbedaan telaah konsep subyek
dari karya-karya sebelumnya yang lebih terdominasi oleh dimensi filsafat, namun
tidak dapat dipungkiri bahwa sumbangsih pemikiran filsafat juga mempengaruhi
penulis dalam upaya merangkai konsep redefinisi subyek Žižek. Tinjauan
metasosiologi dalam penelitian ini diharapkan menjadi pembaharuan proyek
pemikiran subyek Žižek, di mana penulis menganggap Žižek sendiri belum
menyertakan dimensi sosiologi ke dalam pemikirannya mengenai subyek. Secara
rinci pembahasan mengenai tinjauan metasosiologi redefinisi subyek Žižek akan
dijelaskan lebih mendalam pada bab-bab selanjutnya.
2.2 Kerangka Konseptual 2.2.1 Metasosiologi
Metatheorizing dalam sosiologi dikenal dengan istilah metasosiologi. Secara etimologis, metasosiologi mempunyai dua muatan pengertian dasar yaitu
“meta” dan “sosiologi”. Meta didefinisikan sebagai kajian komprehensif mengenai situasi yang berada “di balik” atau “melebihi” suatu konsep pemikiran atau teori.1
Di lain pihak, sosiologi berasal dari bahasa Latin, socius yang berarti “kawan” atau
“masyarakat” dan kata Yunani, logos yang berarti “berbicara mengenai”, sehingga
secara harafiah sosiologi memiliki arti “berbicara mengenai masyarakat”.2 Merujuk
kedua definisi tersebut, metasosiologi dapat didefiniskan sebagai studi refleksif
1 Yulia Sugandi, Rekonstruksi Sosiologi Humanis menuju Praksis. Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002, h. 73.
18
tentang struktur yang melandasi komponen dalam sosiologi.3 Dalam hal ini,
komponen yang dimaksud adalah teori, obyek studi, konsep, maupun metode yang
membentuk ataupun mempengaruhi perkembangan pemikiran yang berkenaan
dengan sosiologi.
Metasosiologi mempunyai tiga kategori yang berpatokan pada the nature of the products.4 Pertama, metasosiologi sebagai alat untuk mencapai pemahaman
lebih baik dan mendalam mengenai teori (MU). Kedua, metasosiologi sebagai studi teori untuk menghasilkan teori baru yang mendukung perkembangan teori
bersangkutan (MP). Ketiga, metasosiologi sebagai sumber perspektif yang melandasi teori sosiologi (MO). Merujuk pada inti penelitian, ketiga kategori
metasosiologi digunakan dalam upaya menganalisa redefinisi subyek Slavoj Žižek.
Melalui kategori pertama (MU), pemikiran filsafat subyek Žižek dianalisa lebih
mendalam untuk mengetahui subyek seperti apa yang dimaksud sekaligus
memahami dasar pijakan subyek Žižek. Pada kategori kedua (MP), filsafat subyek
Žižek dikembangkan secara komprehensif untuk memperoleh teori baru yakni
sosiologi subyek. Selanjutnya, pembentukan teori sosiologi subyek berkorelasi
pada penggunaan kategori ketiga (MO) guna menjembatani pembentukan perspektif
baru mengenai obyek studi sosiologi yakni subyek5 yang sekaligus mengkritisi dan
memperkuat pemikiran mikro.
3 George Ritzer & Douglas J. Goodman op. cit., A. 2. 4 Yulia Sugandi, op. cit., h. 77-78.
5Merujuk pa da ga u u asyarakat sebagai obyek studi sosiologi, pe be tukan
19
Dalam proses mendapatkan pandangan yang akurat guna memperkuat kritik
pemikir mikro, perlu adanya sebuah pendekatan yang mengakomodasi analisis
mikrososiologi yaitu dengan cara menghidupkan kembali dimensi subyek melalui
metasosiologi untuk melawan gempuran era kematian subyek seperti yang
didengungkan para pemikir posmodern, strukturalis, dan postrukturalis. Terlebih,
hal yang harus dihindari dan diperbaharui adalah pendekatan mikrososiologi yang
menekankan interaksi antarindividu dalam lingkup pandang yang terbatas dan
terpusat pada tarik-menarik hubungan interaksi yang sempit dan terbatas, termasuk
meninggalkan asumsi yang dipegang teguh oleh kaum mikrokosmik yang
mengasumsikan bahwa kehidupan sosial hanya bermakna pada tingkat individu.6
Pengkajian mendalam subyek Žižek, perumusan teori sosiologi subyek,
hingga pembentukan obyek baru studi sosiologi melalui metasosiologi diharapkan
mampu mengembangkan filsafat subyek Žižek guna memperoleh pemahaman baru
dalam kajian sosiologi baik dalam ranah teoritis maupun praksis yang belum
dikembangkan oleh Žižek sendiri maupun para teoretisi lainnya. Pengunaan ketiga
kategori metasosiologi dalam mengkaji redefinisi subyek Žižek dirasa tepat karena
sejalan dengan tujuan metateori yakni untuk melakukan studi sosiologi dengan
berpijak pada act locally think globally secara komprehensif dan koheren, serta mempelajari pula bidang lain yang memiliki relevansi erat dengan sosiologi seperti
psikologi dan filsafat.7
2.2.2 Redefinisi Subyek
bagi dirinya, melainkan juga berfokus pada pembentukan nilai dan fungsi subyek bagi the others secara luas dan tidak terbatas.
20
Subyek selalu merujuk pada manusia yang memiliki kesadaran dan tak luput
dari dimensinya sebagai makhluk individual maupun sosial. Dengan demikian,
setiap individu atau manusia belum tentu dapat dikategorikan sebagai subyek.
Semakin manusia mampu menguasai dan mengendalikan kehendaknya, maka
semakin manusia tersebut kokoh dan nyata sebagai subyek kehendak otonom.
Dengan kata lain, penguasaan dan pengendalian kehendak tersebut tidak lain adalah
suatu usaha afirmasi (penegasan) dan konfirmasi (pengukuhan) diri manusia
sebagai subyek kehendak otonom.8
Kemunculan subyek sebagai pokok kajian sedari bahasan filsafat, sosiologi,
hingga pemikiran era kontemporer pun hadir dengan berbagai definisi. Identifikasi
subyek tersebut kemudian melahirkan tiga bahasan besar mengenai pemahaman
kembali dimensi identitas, yakni; subyek pencerahan, subyek sosiologis, dan
subyek pascamodern.9 Pertama, upaya pembahasan subyek di era filsafat lebih
dikenal di era kebangkitan filsafat pencerahan di mana Descartes muncul dengan
subyek cogito. Subyek pencerahan didasarkan pada suatu pemahaman tentang pribadi manusia sebagai individu yang sepenuhnya terpusat dan terpadu, yang
didukung oleh kapasitas rasio, kesadaran dan tindakan yang pusatnya terdiri dalam
pusat esensial dari diri, yakni identitas pribadi. Sebagai contoh, perbincangan moral
di mana kebudayaan Barat berusaha memahami dan menyelesaikan dilema etis dan
moral benar-benar terpusat pada pertanyaan tentang tanggung jawab individu untuk
bertindak. Kedua, definisi mengenai subyek sosiologis di mana inti dari entitas
8 Fransiskus Borgias, op. cit., h. 77.
21
subyek tidak bersifat otonom maupun berdiri sendiri, melainkan dibentuk dalam
kaitannya dengan orang lain yang berpengaruh (significant others) yang menjadi perantara subyek dengan nilai, makna, dan simbol kebudayaan dalam dunia tempat
ia hidup.10 Ketiga, subyek pascamodern yang memiliki pendeskripsian manusia
sebagai satu kesatuan menyeluruh yang membumikan dirinya menuju pandangan
bahwa individu terbentuk secara sosial. Subyek sosial bukanlah sumber itu sendiri,
bukan pula suatu keseluruhan berdasarkan alasan bahwa orang-orang menempati
berbagai posisi sosial.11 Rujukan lain mengenai definisi subyek juga terdapat pada
pemikiran strukturalis hingga postrukturalis. Keduanya setuju bahwa subyek
bukanlah sebuah entitas universal yang tetap, namun merupakan efek konstruksi
struktur dan juga bahasa. Subyek yang bertutur bergantung pada eksistensi posisi
subyek diskursif yang telah ada sebelumnya, ruang hampa, atau fungsi dalam
diskursus yang digunakan untuk memahami dunia. Pribadi yang hidup diharuskan
memainkan posisi subyek dalam diskursus agar dapat memahami dunia dan
tampak koheren bagi orang lain.12
Memaknai keberadaan subyek tentunya memaknai pula pembaharuan
dimensi dari subyek. Pembaharuan subyek inilah yang kemudian didefinisikan
sebagai konsep redefinisi subyek. “Redefinisi” mempunyai makna sebagai pengonstruksian kembali subyek dari berbagai perspektif pemikiran sebelumnya,
dengan kata lain redefinisi subyek hadir sebagai kritik terhadap teori-teori yang
10 Pada definisi subyek sosiologis, terdapat perdebatan yang menyatakan bahwa subyek sosiologis pun turut memuat dimensi individu. Lebih jauh pembahasan individu sebagai subyek sosiologis akan dikaji secara terperinci bersamaan dengan konsep pemikiran subyek Slavoj Žižek yang menjadi pokok bahasan dalam penelitian ini.
22
menganggap subyek telah mati. Konsep redefinisi subyek diperlihatkan Alain
Badiou dengan subyek yang setia dalam mengkritisi pendapat kematian subyek, di
mana subyek ada sejauh terdapat kesetiaan terhadap peristiwa.13 Redefinisi subyek
selanjutnya dijelaskan oleh Slavoj Žižek. Žižek mendefiniskan subyek sebagai
kekosongan untuk menciptakan identitas baru dengan melampaui dan
meninggalkan “yang simbolik” untuk menciptakan “yang rill”.14 Kekosongan yang
dimaksudkan pada subyek Žižek merupakan ruang keputusasaan akan realitasnya
sebagai subyek. Selanjutnya, melalui “keputusasaannya” subyek terdorong untuk
menciptakan dirinya yang baru, sekaligus melawan subyektivisasinya sebagai
bentuk perlawanan asumsi kematian subyek yang digaungkan para pemikir
posmodern, strukturalis, dan postrukturalis.
13 Martin Suryajaya, Alain Badiou dan Masa Depan Marxisme, Resist Book, Yogyakarta, 2011, h. 185.