• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROBLEMATIKA ASAS PEMBUKTIAN TERBALIK ATAS KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA (Suatu Kajian Empiris Di Pengadilan Negeri Surabaya).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PROBLEMATIKA ASAS PEMBUKTIAN TERBALIK ATAS KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA (Suatu Kajian Empiris Di Pengadilan Negeri Surabaya)."

Copied!
67
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Di Ajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada

Fakultas Hukum UPN “ Veteran ’’ Jawa Timur

Oleh :

HELMI PERMONO

NPM : 0671010062

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” J AWA TIMUR SURABAYA

(2)

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan

rahmat dan karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi

ini berjudul: PROBLEMATIAK ASAS PEMBUKTIAN TERBALIK ATAS

KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA ( Suatau Kajian Empiris

Di Pengadilan Negeri Surabaya )

Penyusunan Skripsi untuk memenuhi persyaratan sesuai kurikulum yang

ada di Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa

Timur. Disamping itu dapat memberikan hal-hal yang berkaitan dengan disiplin

ilmu yang penulis dapat selama perkuliahan.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih atas

bantuan dan bimbingan serta saran yang sangat berharga kepada :

1. Bapak Hariyo Sulistiyantoro, SH., MM., selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur

2. Bapak Sutrisno, SH., M.Hum., selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum

Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur, dan sekaligus

Dosen Pembimbing Utama yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan

kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini sehingga penulis dapat

menyelesaikan dengan baik.

3. Bapak Drs. E.C. Gendut Sukarno,MS.,selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum

(3)

dalam penyusunan skripsi sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

5. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional

“Veteran” Jawa Timur.

6. Seluruh Staff Tata Usaha Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional

“Veteran” Jawa Timur.

7. Kedua orang tua kami tercinta, serta seluruh keluarga besarku yang telah dan

frevi yastini sbagai orang yang sangat sepesial bagi penulis yang memberikan

dukungan moril maupun materiil serta doanya selama ini.

Akhirnya dengan segala kerendahan hati, kritik dan saran yang bersifat

membangun penulis harapkan karena kurangnya pengalaman dan terbatasnya

pengetahuan yang penulis miliki.

Semoga Tuhan Yang Maha Esa membalas semua kebaikan tersebut

dengan kebaikan pula. Harapan penulis semoga Skripsi ini dapat bermanfaat bagi

semua pihak.

Surabaya, 5 Desember 2011

(4)

FAKULTAS HUKUM

Nama Ma hasiwa : Helmi Per mono

NPM : 0671010062

Tempat Tanggal Lahir : Sidoar jo, 12 –Febr ua r i -1987

Pr ogam Studi : Str ata 1 (S1) Ilmu Huk um

J udul Skr ipsi :PROBLEMATIKA ASAS PEMBUKTIAN

TERBALIK ATAS KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA. (Suatu Ka jian Empir is Di Pengadilan Neger i Sur abaya )

ABSTRAKSI

Penelitian ini bertujuan mengetahui bagaimana penerapan asas pembuktian terbalik tersebut di terapkan karena pada praktek nya pembuktian terbalik belum pernah di terapkan.metode yang digunakan yaitu yuridis empiris dimana yang dimaksud kan yaitu ada suatu ketentuan hukum yaitu undang – undang akan tetapi belum ada penerapan nya ,pengumpulan data mengunakan Sumber hukum primer adalah literature, pendapat para ahli ,data-data dari internet, jurnal-jurnal. Analisis hasil penelitian berisi uraian tentang cara-cara analisis yang menggambarkan bagaimana suatu data terkumpul untuk dipergunakan dalam memecahkan masalah penelitian, berdasarkan prosedur pengumpulan bahan hukum diperoleh sehingga dari hasil penelitian dapat di simpulkan bahwa pembuktian terbalik memang belum perna diterapkan dan penyebabnya ialah masih banyak kelemahan dari pembuktian ini dan banyak terdakwa yang tidak menggunakan hak nya tersebut

KATA KUNCI : Fakta Penera pan Asas Pembuktian Ter balik Dalam Proses

(5)

1.1 Latar Belakang Masalah

Pembuktian kasus korupsi baik di Indonesia dan beberapa negara

asing memang dirasakan sangat pelik. Khusus untuk Indonesia, kepelikan

tersebut di samping proses penegakkannya juga dikarenakan kebijakan

legislasi pembuatan UU yang produknya masih dapat bersifat multi

interprestasi, sehingga relatif banyak ditemukan beberapa kelemahan di

dalamnya. Salah satu contoh dapat dikemukakan di sini adalah UU Nomor

31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi. Dalam ketentuan UU disebutkan tindak pidana

korupsi merupakan tindak pidana yang luar biasa (extra ordinary crime)

sehingga di perlukan tindakan yang luar biasa pula (extra ordinary

measures). Tapi pernyataan tersebut dalam implementasinya, tidak

semuanya benar. Misalnya, khusus terhadap tindak pidana penyuapan

(bribery) bukanlah merupakan tindak pidana luar biasa akan tetapi

merupakan tindak pidana biasa (ordinary crime) sehingga tidak diperlukan

upaya hukum yang luar biasa.

Di samping aspek di atas, belum lagi opini umum dan para pakar

yang menginginkan adanya pembuktian kasus korupsi dipergunakan beban

pembuktian terbalik ,yang berasumsi dengan pembuktian terbalik kasus

(6)

Akan tetapi banyak mengundang polemik dan dapat diperdebatkan

karena beberapa aspek. Pertama, dikaji dari sejarah korupsi dan

perundang-undangan korupsi di Indonesia sejak penguasa perang pusat

sampai sekarang ini ternyata banyak kasus korupsi belum dapat

“diberantas” dan bahkan relatif meningkat intensitasnya berdasarkan

survei lembaga pemantau korupsi di dunia. Selain itu juga, beberapa

lembaga yang bertugas memantau korupsi pun telah dibentuk akan tetapi

perbuatan korupsi juga tetap ada dan bahkan tambah marak terjadi. Kedua,

belum ada justifikasi teori yang dapat dipergunakan sebagai tolak ukur

untuk memberantas korupsi dengan mempergunakan beban pembuktian

terbalik sehingga kebijakan legislasi pemberantasan korupsi di Indonesia

belum dapat berbuat secara optimal

Ada pun dilema bersifat krusial dalam perundang-undangan

Indonesia tentang beban pembuktian terbalik. Pada ketentuan Pasal 12B

dan Pasal 37, Pasal 38B UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20

Tahun 2001 diatur tentang beban pembuktian terbalik. Benarkah demikian

dikaji dari aspek teoretis dan praktik? tidak. Secara tegas ada kesalahan

dan ketidakjelasan perumusan norma tentang beban pembuktian terbalik

dalam ketentuan Pasal 12B UU 31/1999 yo UU 20/2001. Ketentuan Pasal

12 B ayat (1) berbunyi:

(7)

(sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa 1gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi ; (b) yang nilainya kurang dari Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suapdilakukan oleh penuntut umum.”

Ada beberapa kesalahan fundamental dari kebijakan legislasi di

atas. Pertama, dikaji dari perumusan tindak pidana ketentuan tersebut

menimbulkan kesalahan dan ketidakjelasan norma asas beban pembuktian

terbalik. Di satu sisi, asas beban pembuktian terbalik akan diterapkan

kepada penerima gratifikasi berdasarkan Pasal 12B ayat (1) huruf a yang

berbunyi,“.. yang nilainya Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau

lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap

dilakukan oleh penerima gratifikasi”, akan tetapi di sisi lainnya tidak

mungkin diterapkan kepada penerima gratifikasi oleh karena ketentuan

pasal tersebut secara tegas mencantumkan redaksional, “setiap gratifikasi

kepada pegawai negeri atau penyelenggara Negara dianggap pemberian

suap apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan

kewajiban atau tugasnya”, maka adanya perumusan semua unsur inti delik

dicantumkan secara lengkap dan jelas dalam suatu pasal membawa

implikasi yuridis adanya keharusan dan kewajiban Jaksa Penuntut Umum

untuk membuktikan perumusan delik dalam pasal yang bersangkutan.

Tegasnya, asas beban pembuktian terbalik ada dalam tataran ketentuan UU

dan tiada dalam kebijakan aplikasinya akibat kebijakan legislasi

1

(8)

merumuskan delik salah susun, karena seluruh bagian inti delik disebut

sehingga yang tersisa untuk dibuktikan sebaliknya malah tidak ada.

Berdasarkan diuraikan di atas, maka dapat dikatakan beban

pembuktian terbalik dalam perundang undangan Indonesia “ada” ditataran

kebijakan legislasi, akan tetapi “tiada” dan “tidak bisa” dilaksanakan

dalam kebijakan aplikasinya. Untuk itu penulis tertarik mengangkat judul

skripsi ini dengan “PROBLEMATIKA ASAS PEMBUKTIAN TERBALIK

ATAS KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA. (Suatu

Kajian Empiris di Pengadilan Negeri Surabaya )”

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka rumusan masalah yang

diangkat dalam skripsi ini adalah:

a. Mengapa asas pembuktian terbalik terhadap kasus tindak pidana

korupsi di Pengadilan Negeri Surabaya tidak pernah diterapkan ?

b. Apa kendala yang menyebabkan penerapan asas pembuktian terbalik

kasus tindak pidana korupsi di Pengadilan Negeri Surabaya belum

pernah diterapkan dalam persidangan ?

1.3 Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui penyebab tidak diterapkannya asas pembuktian

terbalik pada kasus tindak pidana korupsi di Pengadilan Negeri

(9)

b. Untuk mengetahui apa saja kendala aparatur Negara sebagai penegak

hukum dalam menerapkan asas pembuktian terbalik pada kasus tindak

pidana korupsi di Pengadilan Negeri Surabaya.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan

sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum dibidang

pidana, khususnya mengenai asas pembuktian terbalik pada kasus

tindak pidana korupsi.

1.4.2 Manfaat Praktis

Penelitian ini dapat bermanfaat bagi masyarakat dan

instansi terkait untuk lebih mengetahui dan mengerti penerapan

asas beban pembuktian terbalik terhadap pelaku tindak pidana

korupsi karena di samping lebih efektif mengusut dan memerangi

kejahatan tindak pidana korupsi tetapi juga dapat memberi

kesempatan dan hak terdakwa pelaku tindak pidana korupsi untuk

melakukan pembelaan atas dirinya bahwa dirinya tidak bersalah.

1.5 Kajian Pustaka

1.5.1 Pengertian Tindak Pidana

Tindak Pidana adalah Tindak Pidana merupakan suatu

(10)

pelanggaran, baik yang disebutkan dalam KUHP maupun peraturan

perundang-undangan lainnya.

Abdoel Djamali mengatakan, Peristiwa Pidana atau sering

disebut Tindak Pidana (Delict) ialah suatu perbuatan atau

rangkaian perbuatan yang dapat dikenakan hukuman pidana. Suatu

peristiwa hukum dapat dinyatakan sebagai peristiwa pidana kalau

memenuhi unsur-unsur pidananya. Unsur-unsur itu terdiri dari :

a. Objektif, yaitu suatu tindakan (perbuatan) yang bertentangan dengan hukum dan mengindahkan akibat yang oleh hukum dilarang dengan ancaman hukum. Yang dijadikan titik utama dan pengertian objektif disini adalah tindakannya.

b. Subjektif, yaitu perbuatan seseorang yang berakibat tidak

dikehendaki oleh undang-undang. Sifat unsur mi

mengutamakan adanya pelaku (seseorang atau beberapa orang).’2

1.5.2 Unsur Tindak Pidana

Tidak ada sebab maka tidak ada akibat maka dan itu tidak

adanya suatu perbuatan yang melanggar ketentuan undang-undang

maka tidak ada yang namanya perbuatan pidana. Seperti yang

terdapat dalam pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum

Pidana(selanjutnya disingkat dengan KUHP) buku kesatu tentang

aturan umum, yaitu : “Suatu perbuatan tidak dapat di pidana,

kecuali berdasarkan ketentuan perundang-undangan pidana yang

telah ada”

Dan ketentuan perundang-undangan yang ada dapat kita

tank beberapa unsur tentang tindak pidana sebagai syarat agar

2

(11)

dapat dikatakan sebagai tindak pidana yang mengandung peristiwa

pidana. Menurut Abdoel Djamali, syarat- syarat yang harus

dipenuhi ialah sebagai berikut:

a. Harus adanya suatu perbuatan.

b. Perbuatan itu harus sesuai dengan apa yang dilukiskan dalam

ketentuan hukum.

1. Harus terbukti adanya kesalahan yang dapat

dipertanggungjawabkan.

2. Harus berlawanan dengan hukum.

3. Harus tersedia ancaman Hukumannya.

Pengertiannya adalah :

a. Harus ada suatu perbuatan. Maksudnya, memang benar-benar

ada suatu kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau

beberapa orang. Kegiatan itu dilihat sebagai suatu perbuatan

tertentu yang dapat dipahami oleh orang lain sebagai sesuatu

yang merupakan peristiwa.

b. Peristiwa itu harus sesuai dengan apa yang dilukiskan dalam

ketentuan hukum. Artinya perbuatan sebagai suatu peristiwa

hukum memenuhi isi ketentuan hukum yang berlaku pada saat

itu. Pelakunya memang benar-benar berbuat seperti yang

terjadi. Pelaku wajib mempertanggungjawabkan akibat yang di

timbulkan dari perbuatan itu. Berkenaan dengan syarat ini,

(12)

tidak bisa dipersalahkan pelakunya pun tidak perlu

mempertanggung jawabkan. Perbuatan yang tidak dapat

dipersalahkan itu dapat disebabkan dilakukan oleh seseorang

atau beberapa orang dalam melaksanakan tugas, membela din

dan ancaman orang lain yang mengganggu keselamatannya

dan dalam ancaman darurat.

a. Harus terbukti adanya kesalahan yang harus

dipertanggungjawabkan. Maksudnya bahwa perbuatan

yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang itu

dapat dibuktikan sebagai suatu perbuatan yang disalahkan

oleh ketentuan hukum.

b. Harus berlawanan dengan hukum, artinya, suatu perbuatan

yang berlawanan dengan hukum dimaksudkan kalau

tindakannya nyata-nyata bertentangan dengan aturan

hukum.

c. Harus tersedia ancaman hukumnya. Maksudnya kalau ada

ketentuan yang mengatur tentang larangan atau keharusan

dalam suatu perbuatan tertentu, ketentuan itu membuat

sanksi ancaman hukumannya. Ancaman hukuman

dinyatakan secara tegas berupa maksimal hukumannya

yang harus dilaksanakan oleh para pelakunya. Kalau di

(13)

terhadap suatu perbuatan tertentu, dalam peristiwa pidana,

pelaku tidak perlu melaksanakan hukuman tertentu.

1.5.3 Tindak Pidana sendiri di bagi menjadi 2 bagian, Pidana

umum dan Pidana Khusus:

a. Pidana umum : Hukum pidana yang berlaku umum.

b. Pidana khusus : Hukum pidana yang berlaku bagi suatu

tindak pidana tertentu, contoh Tindak

Pidana Korupsi.

1.5.4 Tindak Pidana Korupsi

1.5.4.1Pengertian Korupsi

Istilah korupsi di Indonesia pada mulanya bukan suatu istilah yuridis, melainkan berasal dari kata latin “Corruptus” yang artinya suatu perbuatan yang busuk, busuk bejat, tidak, dapat disuap, tidak bermoral, menyimpang dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah.”3

Menurut Bayle perkataan “Korupsi dikaitkan dengan perbuatan penyuapan yang berhubungan dengan penyalahgunaan wewenang atau kekuasaan sebagai akibat adanya pertimbangan dari mereka yang memegang jabatan bagi keuntungan pribadi.”4

Menurut Brooks “Korupsi adalah dengan sengaja melakukan kesalahan atau melalaikan tugas yang diketahui sebagai kewajiban tanpa hak menggunakan kekuatan, kekuasaan, dengan tujuan memperoleh keuntungan yang sedikit banyak bersifat pribadi.”5

Dalam jenis tindak pidana korupsi ada 2 macam, yaitu: a. Administrative Coruption.

3

A.Hamzah, Korupsi dalam Proyek Pembangunan, Akademika Pressindo, Jakarta, 1985, h.3

4

Soedjono Dirdjosisworo, Fungsi Perundang-undangan dalam Penanggulangan Korupsi Di Indonesia, Sinar Baru, Bandung, 1984, h.19-21

5

(14)

Dimana segala sesuatu yang dijalankan adalah sesuai dengan hukum atau peraturan yang berlaku. Akan tetapi, individu-individu tertentu memperkaya dirinya sendiri. Terdapat dalam pasal 13 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas

Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. b. Against The Rule Corruption.

Korupsi yang dilakukan adalah sepenuhnya

bertentangan dengan hukum. Misalnya penyuapan,

penyalahgunaan jabatan untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain. Terdapat dalam Pasal 2,3,5,6,7,8,9,10,11,12 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.”6

Pengertian tentang Tindak Pidana Korupsi terdapat

dalam Pasal 2 Ayat (1) Undang-undang Nomor 31 Tahun

1999, yang menentukan bahwa:

“Setiap orang yang secara melawan hukum

melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang

lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan

negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana

penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4

(empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan

denda paling sedikit Rp.200.000.000,- (dua ratus juta

rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,- (satu milyar

rupiah).”

6

(15)

Menurut penjelasan umum Undang-undang Nomor

31 Tahun 1999 yang dimaksud dengan perekonomian

Negara adalah kehidupan perekonomian yang disusun

sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan

ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan

pada kebijakan pemerintah, baik ditingkat pusat maupun di

daerah sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku yang bertujuan memberikan

manfaat, kemakmuran, dan kesejahteraan kepada seluruh

kehidupan rakyat. Adapun penggolongan subyek hukum

tindak pidana korupsi menurut pasal 1 Ayat (3)

Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999, meliputi: “Setiap orang

adalah orang perseorangan atau termasuk korporasi.”

Subyek hukum disini adalah orang yang dibebani

hak dan kewajiban hukum. Sanksi pidana menurut

“Roeslan saleh ialah reaksi atas delik dan ini berwujud

nestapa yang dengan sengaja dilimpahkan negara pada

pembuat delik itu.”7

Sanksi pidana di KUHP dikenal sanksi pidana

minimum dan sanksi pidana maksimum. Untuk sanksi

pidana minimum diatur dalam Pasal 12 Ayat (2) KUHP

yang menentukan: “Pidana penjara selama waktu tertentu

7

(16)

paling pendek adalah satu hari dan paling lama lima belas

tahun berturut-turut.” Sedangkan sanksi pidana penjara

maksimum secara umum tertuang dalam pasal 12 Ayat (2)

KUHP yaitu 15 tahun berturut-turut, dan juga dalam Pasal

12 Ayat (4) KUHP menentukan: “Pidana penjara selama

waktu tertentu sekali-kali tidak boleh lebih dari dua puluh

tahun.”

Dikenal juga sanksi pidana penjara seumur hidup yang

diatur dalam Pasal 12 Ayat (3) sebagai berikut:

“Pidana penjara selama waktu tertentu boleh

dijatuhkan untuk dua puluh tahun berturut-turut dalam hal

kejahatan yang pidananya hakim boleh memilih antara

pidana mati, pidana seumur hidup dan pidana penjara

selama waktu tertentu atau antara pidana penjara selama

waktu tertentu; boleh juga hal batas lima belas tahun dapat

dilampaui karena bebarengan (concursus), pengulangan

(residivis) atau karena yang ditentukan dalam Pasal 52 dan

52a (L.N 1958 No.127).”

Dalam ketentuan hukum pidana dikenal hukum

pidana umum dan hukum pidana khusus, menurut E.Y.

Kanter dan S.R. Sianturi:

a) Hukum pidana umum adalah ketentuan hukum pidana yang berlaku secara umum bagi semua orang.

(17)

kekhususan suatu golongan tertentu (militer dan yang dipersamakan) atau suatu tindak pidana tertentu seperti pemberantasan tindak pidana ekonomi, korupsi dan lain sebagainya.”8

Prinsip pemberlakuannya bahwa hukum pidana

khusus lebih diutamakan daripada hukum pidana umum

lebih dikenal dengan asas Lex Spesialis Derogat Lex

Generalis. Tindak pidana korupsi adalah suatu tindak

pidana yang masuk dalam kategori kejahatan berat (Extra

Ordinary Crime) sehingga diatur di luar KUHP yaitu

Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah

diperbaharui dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun

2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi (UU

Korupsi), karena perbuatan ini selain dapat merugikan

masyarakat juga dapat merugikan keuangan negara.

UU Korupsi meliputi sanksi pidana penjara yang

diatur dalam Pasal 2 sampai dengan pasal 15, yaitu:

a) Sanksi pidana minimum ini diatur dalam Pasal 3 dan

Pasal 2 Ayat (1) Undang-undang Nomor 31 Tahun

1999. Dalam Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun

1999 sanksi pidana penjara minimumnya adalah satu

tahun, sedangkan dalam Pasal 2 Undang-undang

8

(18)

Nomor 31 Tahun 1999 sanksi pidana penjara

minimumnya adalah empat tahun;

b) Sanksi pidana penjara maksimal diatur dalam Pasal 2

Ayat (1) dan Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun

1999 yaitu selama 20 tahun dan bisa diperpanjang

menjadi seumur hidup;

c) Sanksi pidana denda minimal ini dalam ketentuan pasal

3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 adalah

Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah), sedangkan

dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999

adalah Rp.200.000.000,- (dua ratus juta rupiah);

d) Sanksi pidana denda maksimal dalam ketentuan Pasal 2

Ayat (1) dan Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun

1999 adalah Rp.1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).

Disamping ketentuan tersebut di atas dikenal juga

Pidana Tambahan disamping pasal 10 KUHP yang tertuang

dalam Pasal 18 Ayat (1) Undang-undang Nomor 31 Tahun

1999:

1) Selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam

Kitab Undang-undang Hukum Pidana, sebagai pidana

tambahan adalah:

a. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau

(19)

yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari

tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik

terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan,

begitu pula harga dari barang yang menggantikan

barang-barang tersebut;

b. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya

sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda

yang diperoleh dari tindak pidana korupsi;

c. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk

waktu paling lama 1 (satu) tahun;

d. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu

atau pengahapusan seluruh atau sebagian

keuntungan tertentu, yang telah atau dapat

diberikan oleh pemerintah kepada Terpidana.

1.5.5 Asas Pembuktian Terbalik Tindak Pidana Korupsi

1.5.5.1Pengertian asas

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, asas

adalah sesuatu yang menjadi landasan berpikir atau dasar

yang dijadikan pedoman untuk berbuat. Asas Hukum

merupakan istilah yang tidak asing dalam ilmu hukum.

Pengertian asas hukum itu sendiri telah banyak dirumuskan

oleh para ahli. Dan di bawah ini beberapa pendapat tentang

(20)

1. Bellefroid : merumuskan asas hukum sebagai norma dasar yang dijabarkan dari bentuk positif dan yang oleh ilmu hukum tidak dianggap berasal dari aturan-aturan yang bersifat umum. Asas Hukum Umum itu, merupakan hukum positif dalam suatu masyarakat. 2. Menurut Eikima Hommes : Asas Hukum itu tidak

boleh menganggap sebagai norma-norma hukum yang konkrit, akan tetapi perlu dipandang sebagai dasar-dasar umum atau petunjuk bagi hukum yang berlaku. Pembentukan hukum praktis perlu berorientasi pada asas-asas hukum tersebut.

3. Liang Gie berpendapat bahwa Asas adalah suatu dalil umum yang dinyatakan dalam istilah umum tanpa

menyertakan cara-cara khusus mengenai

pelaksanaannya, yang diterapkan pada serangkaian perbuatan untuk menjadi petunjuk yang tepat bagi perbuatan itu.

4. Paul Scholten : mendefinisikan Asas Hukum sebagai kecenderungan-kecenderungan yang diisyaratkan oleh pandangan kesusilaan pada hukum, yang merupakan sifat-sifat umum dengan segala keterbatasannya. Tetapi, yang tidak boleh tidak harus ada.

Kesimpulan :

Asas Hukum atau Prinsip Hukum bukanlah peraturan hukum konkrit, melainkan pikiran dasar yang umum sifatnya. Atau, merupakan latar belakang yang mendasari peraturan yang konkrit, yang terdapat di dalam dan di belakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat diketemukan dengan mencari sifat-sifat umum dalam peraturan konkrit tersebut. Dan adapun beberapa macam asas hukum yaitu sebagai berikut :

1. Asas Legalitas

Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada

2. Asas Keseimbangan

(21)

3. Asas Praduga Tak Bersalah

Yaitu tidak menetapkan seseorang bersalah atau tidak sebelum adanya putusan pengadilan yang tetap.

4. Asas Unifikasi

Yaitu penyamaan keberlakuan hukum acara pidana di seluruh wilayah Indonesia

5. Asas Ganti rugi dan Rehabilitasi.

Yaitu adanya ganti rugi dan rehabilitasi bagi pihak yang dirugikan karena kesalahan dalam proses hukum. 6. Asas Peradilan Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan

Yaitu pelaksanaan peradilan secara tidak berbelit-belit dan dengan biaya yang seminim mungkin guna menjaga kestabilan terdakwa

7.Asas Oportunitas

Yaitu hak seorang Jaksa untuk menuntut atau tidak demi kepentingan umum.9

1.5.6 Pembuktian Dalam Hukum Pidana Biasa

Pembuktian dalam perkara pidana berbeda dengan

pembuktian dalam perkara perdata. Hukum acara pidana itu:

Bertujuan mencari kebenaran material, yaitu kebenaran sejati atau

yang sesungguhnya Hakimnya bersifat aktif. Hakim

berkewajiban untuk mendapatkan bukti yang cukup untuk

membuktikan tuduhan kepada tertuduh Alat buktinya bisa berupa

keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, keterangan

terdakwa. Dasar hukum tentang pembuktian dalam hukum acara

pidana mengacu pada pasal 183-189 KUHAP(Kitab

Undang-undang Hukum Acara Pidana).10

9

Di kutib dari wibesite,www.kamus hukum.com pada hari kamis 15-12-2011

10

(22)

a) Pasal 183 KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana).

Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang

kecuali yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak

pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang

bersalah melakukannya.

b) Pasal 189 KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara

Pidana).

1) Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang iya ketahui sendiri atau alami sendiri

2) Keterangan yang di berikan terdakwa yang di berikan di

luar sidang dapat di gunakan untuk membantu

mengemukakan bukti di sidang asalkan keterangan itu di dukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya

3) Keterangan terdakwa hanya dapat di gunakan terhadap diri sendiri

4) Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan dakwaan kepadanya melainkan harus disertai dengan alat bukti lainnya

1.5.7 Asas Beban Pembuktian Terbalik

Beban Pembuktian Acara pidana yang diatur dalam

Undang-Undang ini dilaksanakan secara wajar dan perpaduan

antara sistem hakim aktif dan para pihak berlawanan secara

berimbang. yaitu pada Pasal 173 KUHAP (Kitab Undang-undang

Hukum Acara Pidana).

Pasal 173 KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara

Pidana). Sesudah kesaksian dan bukti disampaikan oleh kedua

(23)

kesempatan untuk menyampaikan keterangan lisan yang

menjelaskan tentang bukti yang diajukan di persidangan

mendukung pendapat mereka mengenai perkara tersebut.

Dan sedangkan Pembuktian terbalik sebenarnya telah

disebutkan di dalam Pasal 37 Undang-Undang Nomor 31 Tahun

1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Di dalam

Bagian Penjelasan Umum, disebutkan bahwa pembuktian terbalik

bersifat terbatas atau berimbang, yakni terdakwa mempunyai hak

untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana

korupsi dan wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta

bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda

setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan

dengan perkara yang bersangkutan, dan penuntut umum tetap

berkewajiban membuktikan dakwaannya.

Pasal 37 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 terdiri

dari 5 (lima) ayat, tetapi setelah dirubah dengan Undang-Undang

Nomor 20 Tahun 2001 menjadi dua ayat, yakni ayat (1) tetap atau

tidak diubah atau dihapus, sedangkan ayat (2) diubah dengan

penyempurnaan frasa yang berbunyi:

Keterangan tersebut dipergunakan sebagai hal yang

menguntungkan baginya” diubah menjadi “pembuktian tersebut

digunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan

(24)

Pasal 37 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 31

Tahun 1999 mempergunakan kata terdakwa, maka berarti bahwa

ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Pasal 37 ayat (1) dan

ayat(2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 hanya berlaku

pada saat pemeriksaan di sidang Pengadilan Tindak Pidana

Korupsi oleh Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi dalam perkara

tindak pidana korupsi.

Penjelasan Pasal 37 Undang-Undang Nomor 31 Tahun

1999 dijelaskan sebagai berikut:

Ketentuan ini merupakan suatu penyimpangan dari ketentuan kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang menentukan bahwa jaksa yang wajib membuktikan dilakukannya tindak pidana, bukan terdakwa. Menurut ketentuan ini terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi. Apabila terdakwa dapat membuktikan hal tersebut tidak terbukti melakukan korupsi, sebab penuntut umum masih tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya. Ketentuan Pasal ini merupakan pembuktian terbalik yang terbatas, karena jaksa masih tetap wajib membuktikan dakwaannya. 11

Demikian juga dalam penjelasan Pasal 37 ayat (1) dan ayat

(2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dijelaskan sebagai

berikut:

(1) Pasal ini sebagai konsekuensi berimbang atas penerapan pembuktian terbalik terhadap terdakwa. Terdakwa tetap memerlukan perlindungan hukum yang berimbang atas pelanggaran hak-hak yang mendasar yang berkaitan dengan asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) dan menyalahkan diri sendiri (non self-incrimination).

11

(25)

(2) Ketentuan ini tidak menganut sistem pembuktian secara negative menurut Undang-Undang (negative wettelijk).

Demikian juga pada alinea ke-12 penjelasan umum

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dijelaskan sebagai berikut:

Di samping itu, Undang-Undang ini juga menerapkan pembuktian terbalik yang bersifat terbatas atau berimbang, yakni terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi dan wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan, dan penuntut umum tetap berkewajiban membuktikan dakwaannya.

Selanjutnya tentang pembuktian terbalik yang berkaitan

dengan tindak pidana korupsi di dalam alinea ke-5 dan ke-6

penjelasan umum Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001

dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut:

Ketentuan mengenai pembuktian terbalik perlu ditambahkan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai ketentuan yang bersifat “premium remidium” dan sekaligus mengandung sifat prevensi khusus terhadap pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 atau terhadap penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang penyelenggara negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme, untuk tidak melakukan tindak pidana korupsi.

Pembuktian terbalik ini diberlakukan pada tindak pidana baru tentang gratifikasi dan terhadap tuntutan perampasan harta benda terdakwa yang berasal dari salah satu tindak pidana sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 Undang-Undang ini. 12

12

(26)

Dengan menerapkan asas pembuktian terbalik sebagaimana

dimaksudkan dalam Pasal 12 B ayat (1) huruf a, dari

penjelasan-penjelasan Pasal 37 UU Nomor 31 Tahun 1999 dan Pasal 37

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dapat diketahui bahwa

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dan Undang-Undang

Nomor 20 Tahun 2001 menerapkan pembuktian terbalik yang

bersifat terbatas atau berimbang dengan unsur-unsur sebagai

berikut :

1) Terdakwa tindak pidana korupsi mempunyai hak untuk

membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana

korupsi, sebagaimana dimaksud Pasal 37 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah

dengan Pasal 37 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun

2001.

2) Terdakwa tindak pidana korupsi mempunyai kewajiban untuk

memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan

harta benda istri atau suami, anak dan harta benda setiap orang

atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan perkara

yang bersangkutan, sebagaimana dimaksud Pasal 37 ayat (3)

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah

diubah dengan Pasal 37 A ayat (1) Undang-Undang Nomor 20

(27)

3) Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi tetap

mempunyai kewajiban untuk membuktikan dakwaannya,

sebagaimana dimaksud Pasal 37 ayat (5) Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Pasal

37 A ayat (3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.

a) Sebagai pembuktian terbalik bersifat terbatas, karena

terdakwa tindak pidana korupsi hanya diberikan hak tetapi

tidak diberikan kewajiban untuk membuktikan bahwa

terdakwa tidak melakukan tindak pidana korupsi, dan

terdakwa hanya diberikan kewajiban untuk memberikan

keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta

benda istri atau suami, anak dan harta benda setiap orang

atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan

perkara yang didakwakan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 37 A ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun

2001.

b) Disebut sebagai pembuktian terbalik yang berimbang ,

karena meskipun kepada terdakwa tindak pidana korupsi

diberi hak untuk membuktikan bahwa terdakwa tidak

melakukan tindak pidana korupsi, dan diberi kewajiban

untuk memberikan keterangan tentang seluruh harta

bendanya dan harta benda istri atau suami, anak dan harta

(28)

hubungan dengan perkara yang didakwakan, penuntut

umum komisi Pemberantasan Korupsi masih mempunyai

kewajiban untuk membuktikan dakwaannya sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 37 A ayat (3) Undang-Undang

Nomor 20 Tahun 2001.

1.6 Metode Penelitian

1.6.1 Pendekatan Masalah

a) Penelitian yang akan digunakan oleh penulis dalam membuat

skripsi ini adalah penelitian yang menggunakan metode yuridis

empiris, yaitu penelitian terhadap identifikasi hukum, dan pada

hakekatnya ada dalam kebijakan legalisasinya akan tetapi tidak

pernah dilakukan dalam praktiknya kemudian dikaitkan dengan

rumusan masalah yang ada agar dapat ditarik suatu kesimpulan

logis. Empiris sendiri berasal dari kata empiri, yang artinya

berdasarkan pengalaman atau empirisme yang artinya adalah

suatu paham yang mengajarkan bahwa pengetahuan diperoleh

berdasarkan pengamatan dan pendapatan dalam praktek dan

tidak perlu mempelajari teori.

b) Pendekatan yang penulis lakukan ini berdasarkan aturan dan

teori yang berkaitan dengan perkara tindak pidan korupsi yang

diatur dalam Pasal 37, Pasal 38,38B UU No.31 tahun 1999 jo

(29)

1.6.2 Sumber Data

Penelitian ilmu hukum empiris , sumber utamanya adalah

bahan hukum yang dikaitkan dengan fakta sosial karena dalam

penelitian ilmu hukum empiris yang dikaji adalah bukan hanya

bahan hukum saja, akan tetapi di tambah dengan pendapat para

ahli. Penulisan skripsi ini menggunakan data primer yaitu data

yang diperoleh langsung dari sumbernya, baik melalui wawancara,

Observasi maupun laporan yang berbentuk dokumen tidak resmi

yang kemudian diolah oleh peneliti, dan data sekunder, yaitu data

yang diambil dari bahan pustaka yang terdiri dari 3 (tiga) sumber

bahan hukum yaitu bahan hukum primer, skunder dan tersier,

untuk lebih jelasnya penulis akan mengemukakan sebagai berikut :

a. Bahan hukum primer

Sumber hukum primer adalah literatur ,pendapat para ahli

,data-data dari internet , jurnal-jurnal.

b. Bahan hukum sekunder.

1. UU No.31 tahun 1999 jo UU No 20 Tentang

pemberantasan tindak pidana korupsi

2. Kitab Undang –undang Hukum pidana

3. Undang undang republik Indonesia no 28 tahun 1999

tentang penyelenggaraan Negara yang bersih dab bebas

(30)

4. Undang-undang republik Indonesian no 30 tahun 2000

tentang komisi pemberantas korupsi

1.6.3 Pengumpulan Bahan dan Data

Untuk mengkaji suatu bahan atau data yang kita dapat

baik dari buku atau pendapat para ahli serta internet sangat berbeda

dengan pengumpulan data atau data dari ilmu lain . dalam

penelitian ilmu hukum empiris untuk mengetahui fakta-fakta sosial

atau permasalahan hukum dan struktur dan materi positif yang

diperoleh dari kegiatan mempelajari bahan–bahan hukum terkait

data yang di maksud dalam penelitian hukum empiris adalah yang

ditemukan sebagai isu atau permasalahan hukum dan struktur dan

materi hukum positif yang di peroleh dari kegiatan mempelajari

bahan-bahan hukum terkait dimana bahan –bahan tersebut akan di

tambahkan dengan pendapat para ahli.

1.6.4 Metode Pengolahan Data

Metode pengolahan data yang digunakan adalah editing

yaitu membetulkan jawaban yang kurang jelas, meneliti jawaban

narasumber menyesuaikan jawaban yang satu dengan yang lainnya

(31)

1.6.5 Metode Analisa Data

Analisis hasil penelitian berisi uraian tentang cara-cara

analisis yang menggambarkan bagaimana suatu data terkumpul

untuk dipergunakan dalam memecahkan masalah penelitian,

berdasarkan prosedur pengumpulan bahan hukum diperoleh,

analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif yang diawali

dengan mengelompokkan data dan informasi yang sama menurut

sub aspek dan selanjutnya melakukan interprestasi keseluruhan

aspek yang menjadi pokok permasalahan penelitian yang dilakukan

secara induktif sehingga memberikan gambaran secara utuh,

ditetapkan langkah selanjutnya dengan memperhatikan dokumen

khusus yang menarik untuk diteliti yaitu kasus tindak pidana

korupsi yang lebih tepatnya yaitu masalah pembuktian terbalik

yang terdapat pada pasal 37, Pasal 38, UU No.31 tahun 1999 jo

UU No 20 tahun 2001 dengan demikian peneliti lebih fokus pada

masalah yang lebih spesifik.

1.6.6 Sistematika Penulisan

Pemaparan dari sistematika penulisan ini bertujuan supaya

di dalam proses penyampaian materi dari skripsi ini mudah

dimengerti dan dipahami. Sistematika penulisan ini di bagi menjadi

empat bab, yaitu :

Bab pertama Pendahuluan dalam bab ini penulis

(32)

pertama, tujuan penelitian dan manfaat penelitian, kajian pustaka

dan penelitian.

Berikutnya pada bab kedua ini adalah ulasan dari rumusan

masalah pertama yang berisi tentang problematika asas

pembuktian terbalik yang terdapat pada Pasal 37 Undang-undang

nomor 20 tahun 2001, apakah sudah diterapkan atau hanya sebagai

wacana belaka, dalam bab dua akan dijelaskan sesuai fakta

penelitian yang dilakukan penulis.

Bab ketiga adalah ulasan rumusan masalah yang kedua,

yaitu apa kendala yang menyebabkan penerapan asas beban

pembuktian terbalik, faktor apa saja yang menyebabkan baik faktor

internal atau eksternal dan pertimbangan hakim dalam menerapkan

asa ini.

Pada bab ke empat berisi tentang kesimpulan dan saran.

Pada bab ini akan menyimpulkan semua permasalahan yang ada

dalam penulisan skripsi ini dan telah di bahas, dan berisi

(33)

(Di Pengadilan Negeri Sur abaya )

2.1 Sistem dan Kekuatan Pembuktian

Sebelum kita membicarakan tentang penerapan perlu kita ketahui dahulu tentang Sistem dan kekuatan , dan system pembuktian adalah pengaturan tentang macam-macam alat bukti yang boleh dipergunakan, penguraian alat bukti dan dengan cara-cara bagaimana alat-alat bukti itu dipergunakan dan cara bagaimana hakim harus membentuk keyakinannya. Tujuan dan guna pembuktian bagi para pihak yang terlibat dalam proses pemeriksaan persidangan adalah: Pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan, merupakan bagian yang terpenting acara pidana.12

Dalam hal ini pun hak asasi manusia dipertaruhkan. Bagaimana

akibatnya jika seseorang yang didakwakan dinyatakan terbukti melakukan

perbuatan yang didakwakan berdasarkan alat bukti yang ada disertai

keyakinan hakim, padahal tidak benar. Untuk inilah maka hukum acara

pidana bertujuan untuk mencari kebenaran materiilberbeda dengan hukum

acara perdata yang cukup puas dengan kebenaran formal. Sejarah

perkembangan hukum acara pidana menunjukkan bahwa ada beberapa

sistem atau teori untuk membuktikan perbuatan yang didakwakan. Sistem

atau teori pembuktian ini bervariasi menurut waktu dan tempat (negara).

Yaitu seperti :

a. Sistem Pembuktian berdasarkan Undang-undang secara Positif

(Positief wetterlijk Bewijstheori)

(34)

Pembuktian yang didasarkan kepada alat-alat pembuktian yang disebut undang-undang, disebut sistem atau teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif (positief wettelijk bewijstheorie). Dikatakan secara positif, karena hanya didasarkan kepada undang-undang . Artinya jika telah terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti yang disebutkan oleh undang-undang, maka keyakinan hakim tidak diperlukan sama sekali. Sistem ini disebut juga teori pembuktian formal (formele bewijstheorie).13

Apabila dalam hal membuktikan telah sesuai dengan apa

yang telah ditentukan terlebih dahulu dalam undang-undang, baik

mengenai alat-alat buktinya maupun cara-cara mempergunakannya,

maka hakim harus menarik kesimpulan bahwa kesalahan terdakwa

melakukan tindak pidana telah terbukti. Keyakinan hakim sama sekali

tidak penting dan bukan menjadi bahan yang boleh dipertimbangkan

dalam hal menarik kesimpulan tentang kesalahan terdakwa melakukan

tindak pidana. Sistem ini mendasarkan kepada bahwa hakim hanya

boleh menentukan kesalahan tertuduh, bila ada bukti minimum yang

diperlukan oleh undang-undang. Jika bukti itu terdapat, maka hakim

wajib menyatakan bahwa tertuduh itu bersalah dan dijatuhi hukuman,

dengan tidak menghiraukan keyakinan hakim. Pokoknya: kalau ada

bukti (walaupun sedikit) harus disalahkan dan dihukum. Sistem ini

bertentangan dengan hak-hak asasi manusia, yang pada zaman

sekarang sangat diperhatikan dalam hal pemeriksaan tersangka atau

terdakwa oleh negara. Juga system ini sama sekali mengabaikan

(35)

perasaan nurani hakim. Hakim bekerja menyidangkan terdakwa

seperti robot yang tingkah lakunya sudah deprogram melalui

undang-undang. Sistem pembuktian ini menyandarkan diri pada alat bukti

saja, yakni alat bukti yang telah ditentukan oleh undang-undang.

Sistem ini yang dicari adalah kebenaran formal, sehingga sistem ini

dipergunakan dalam hukum acara perdata.

b. Sistem Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim

Menurut sistem ini, hakim dalam menjatuhkan putusan tidak

terikat dengan alat bukti yang ada. Darimana hakim menyimpulkan

putusannya tidak menjadi masalah. Ia hanya boleh menyimpulkan dari

alat bukti yang ada dalam persidangan atau mengabaikan alat bukti

yang ada dalam persidangan. Disadari bahwa alat bukti berupa

pengakuan terdakwa sendiri pun tidak selalu membuktikan kebenaran.

Pengakuan pun kadang-kadang tidak menjamin terdakwa benar-benar

telah melakukan perbuatan yang didakwakan. Oleh karena itu,

diperlukan bagaimana pun juga keyakinan hakim sendiri. Sistem ini

mengandung kelemahan yang besar. Sebagaimana manusia biasa,

hakim bisa salah keyakinan yang telah dibentuknya, berhubung tidak

ada kriteria, alat-alat bukti tertentu yang harus dipergunakan dan

syarat serta cara-cara hakim dalam membentuk keyakinannya itu.

Disamping itu, pada sistem ini terbuka peluang yang besar untuk

terjadi praktik penegakan hukum yang sewenang-wenang, dengan

(36)

kebebasan kepada hakim terlalu besar, sehingga sulit diawasi.

Disamping itu terdakwa atau penasehat hukumnya sulit untuk

melakukan pembelaan.

Dalam hal ini hakim dapat memidana terdakwa berdasarkan keyakinannya bahwa ia telah melakukan apa yang didakwakan. 40Hakim menyatakan telah terbukti kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana yang didakwakan dengan didasarkan keyakinannya saja, dan tidak perlu mempertimbangkan dari mana (alat bukti) dia memperoleh dan alasan-alasan yang dipergunakan serta bagaimana caranya dalam membentuk keyakinannya tersebut.14

c. Sistem Pembuktian Berdasar Keyakinan Hakim Atas Alasan Yang

Logis (Laconviction Raisonnee)

Sebagai jalan tengah, muncul sistem atau yang disebut pembuktian yang berdasar keyakinan hakim sampai batas tertentu (laconviction raisonnee) Menurut teori ini, hakim dapat memutuskan seseorang bersalah berdasar keyakinannya, keyakinan yang didasarkan kepada dasar-dasar pembuktian disertai dengan satu kesimpulan (conclusie) yang berlandaskan kepada peraturan-peraturan pembuktian tertentu. Jadi putusan hakim dijatuhkan dengan suatu motivasi.15

d. Sistem Pembuktian Berdasarkan Undang-undang secara Negatif

(Negatief Wettelijk)

Menurut sistem ini, dalam hal membuktikan kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, hakim tidak sepenuhnya mengandalkan alat-alat bukti serta dengan cara-cara yang ditentukan oleh undang-undang. Itu tidak cukup, tetapi harus disertai pula keyakinan bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana. Keyakinan yang dibentuk ini haruslah didasarkan atas fakta-fakta yang diperoleh dari alat bukti yang ditentukan dalam undang-undang. Kegiatan pembuktian didasarkan pada dua hal, yaitu

(37)

alat-alat bukti dan keyakinan yang merupakan kesatuan tidak dipisahkan, yang tidak berdiri sendiri-sendiri16

.Menurut sistem ini untuk menyatakan orang itu bersalah dan

dihukum harus ada keyakinan pada hakim dan keyakinan itu harus

didasarkan kepada alat-alat bukti yang sah, bahwa memang telah

dilakukan sesuatu perbuatan yang terlarang dan bahwa tertuduhlah

yang melakukan perbuatan itu. Hukum acara pidana kita ternyata

menganut sistem ini, seperti dapat ditarik kesimpulan dari Pasal 183

KUHAP, dahulu Pasal 294 HIR. yang berbunyi:

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”

Dari kalimat tersebut nyata bahwa pembuktian harus

didasarkan kepada undang-undang (KUHAP), yaitu alat bukti yang

sah tersebut dalam pasal 184 KUHAP, disertai dengan keyakinan

hakim yang diperoleh dari alat-alat bukti tersebut. Sebenarnya,

sebelum diberlakukan KUHAP, ketentuan yang sama telah ditetapkan

dalam Undang-undang pokok tentang Kekuasaan Kehakiman (UUPK)

Pasal 6 ayat (2) yang berbunyi sebagai berikut:“ Tidak seorang pun

dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat

pembuktian yang sah menurut undang-undang mendapat keyakinan,

bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab atas

perbuatan yang dituduhkan atas dirinya.” Sistem pembuktian ini

(38)

berpangkal tolak pada aturan-aturan pembuktian yang ditetapkan

secara limitative oleh undang-undang, tetapi hal itu harus diikuti

dengan keyakinan hakim.

2.1.1 Kekuatan Pembuktian

Kekuatan alat bukti atau juga dapat disebut sebagai efektivitas alat bukti terhadap suatu kasus sangat tergantung dari beberapa faktor. Sebut saja faktor itu adalah psiko-sosial (kode etika, kualitas sikap penegak hukum dan hubungan dengan warga masyarakat) dan partisipasi masyarakat. Salah satu fungsi hukum, baik sebagai kaidah maupun sebagai sikap tindak atau perilaku teratur adalah membimbing perilaku manusia, sehingga hal itu juga menjadi salah satu ruang lingkup studi terhadap hukum secara ilmiah. Suatu sikap tindak atau perilaku hukum dianggap efektif, apabila sikap atau perilaku pihak lain menuju ke satu tujuan yang dikehendaki : artinya apabila pihak lain itu mematuhi hukum. Tetapi kenyataan tidak jarang orang tidak mengacuhkan atau bahkan melanggar dengan terang-terangan, yang berarti orang itu tidak taat pada hukum. Untuk itu perlu adanya hal-hal seperti dibawa ini sebagai dasar pendukung dan aspek penting dalam proses pembuktian. Yaitu

1. Keterangan saksi 2. Keterangan ahli 3. Surat

4. Petunjuk, dan

5. Keterangan terdakwa17

Keterangan saksi

Dapat tidaknya seorang saksi dipercayai, tergantung dari banyak

hal yang harus diperhatikan oleh hakim. Dalam pasal 185 ayat (6),

dikatakan, dalam menilai keterangan saksi, hakim harus sungguh-sungguh

memperhatikan beberapa hal, yakni :

(a) persesuaian antara keterangan saksi satu dengan saksi yang lain

(39)

(b) persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti yang lain

(c) alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi memberikan keterangan

tertentu

(d) cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada

umumnya dapat mempengaruhi dapat / tidaknya keterangan saksi itu

dipercaya.

Jika hakim harus berpegang pada ketentuan tersebut, maka setiap

saksi harus dinilai mengenai cara hidup serta sesuatu yang pada umumnya

dapat berpengaruh pada cara hidup dan kesusilaan. Seperti adat istiadat,

martabat, kebiasaan, pergaulan dan lain-lain, dapatlah dibayangkan hal itu

tidak mudah dilaksanakan. Oleh karena itu dalam hal ini diberikan

kebebasan kepada hakim untuk memberi penilaiannya.

Keterangan saksi yang dinyatakan di muka sidang harus mengenai

apa yang ia lihat dengan mata kepala sendiri, ia dengar dengan telinganya

sendiri, ia rasakan dengan perasaannya sendiri, ia alami dengan panca

indranya sendiri, adalah keterangan saksi sebagai alat bukti, yang disebut

dalam pasal 185 ayat (1) KUHAP.

Keterangan saksi yang diperoleh dari pihak ketiga (orang lain), misalnya pihak ketiga menceritakan tentang suatu kejadian tabrakan mobil. Maka kesaksian demikian disebut testimonium de auditu. Keterangan saksi yang demikian tidak dapat diartikan sebagai saksi, menurut pasal 185 ayat (1), tetapi dapat dianggap sebagai tambahan alat bukti, asal dipenuhi pasal 185 ayat (7).18

(40)

Dalam setiap kesaksian harus disebutkan alasan saksi mengapa

memberikan keterangan ini, atau dengan kata lain segala sebab tentang

pengetahuan saksi. Jadi, saksi harus memberikan keterangan tentang sebab

musababnya tentang suatu kasus yang sedang diperiksa. Misalnya : saksi

memberikan keterangan tentang jual beli itu. Keterangan demikian kurang

cukup, dan perlu diperdalam lagi, dengan keterangan mengapa ia melihat

jual beli itu; misalnya karena perjanjian jual beli itu dilakukan di

rumahnya dan saksi membuatkan perjanjian itu. Suatu keterangan saksi

tanpa disertai alasan sebab musabab atau alasan pengetahuannya, harus

dianggap sebagai alat bukti kurang sempurna (pasal 185 ayat (6), huruf c

KUHAP). Kemudian ditegaskan dalam pasal 185 ayat (5), bahwa pendapat

atau rekaan (rekayasa) yang diperoleh dari hasil pemikiran saja, bukan

merupakan keterangan saksi. Jadi, rekayasa pendapat dari hasil akal (ratio

concludendi) tidak dianggap sebagai keterangan saksi19. Dalam

memberikan keterangan saksi diharuskan bersumpah atau berjanji menurut

agama atau kepercayaan masing-masing, sehingga memiliki nilai

kesaksian sebagai alat bukti. Apabila keterangan saksi tidak disertai

dengan penyumpahan, maka meskipun keterangan itu sesuai dengan satu

dan lainnya, tidak merupakan alat bukti, sebagaimana saksi yang

disumpah. Keterangan demikian hanya dapat dipergunakan sebagai

tambahan alat bukti yang sah. (pasal 185 ayat 7). Akhirnya, hakim tidak

boleh menjatuhkan putusan pidana kepada terdakwa hanya didasarkan

(41)

kepada satu saksi saja, oleh karena satu saksi kurang mencukupi alasan

minimum alat bukti dan dianggap sebagai alat bukti yang kurang cukup

(pasal 185 ayat 2). Artinya kekuatan pembuktian dengan satu saksi saja

tidak dianggap sempurna oleh hakim. Ketentuan pasal 185 ayat (2) ini

dianggap tidak berlaku, apabila disertai dengan suatu alat bukti sah lainnya

(pasal 185 ayat 3).

Sering terjadi dalam praktek, dalam suatu peristiwa dibutuhkan

beberapa orang saksi dalam arti bahwa seorang saksi dengan saksi lain

pengetahuannya berbeda atau seorang saksi hanya mengetahui satu fase

dari keseluruhan kejadian, hingga perlu adanya beberapa saksi untuk

didengar keterangannya. Jadi, penilaian terhadap beberapa saksi itu

masing-masing berdiri sendiri-sendiri dan terpisah satu sama lain tentang

pelbagai peristiwa untuk membuktikan satu peristiwa diserahkan kepada

kebijaksanaan hakim.

Dalam KUHP tidak diatur mengenai kejadian bila mana seseorang

saksi didengar keterangannya oleh penyidik oleh penyidik kemudian

meninggal dunia atau karena suatu sebab yang sah tidak dapat hadir dalam

persidangan. Hingga berita acara itu dibacakan saja. Biasanya dalam

praktek. Dalam saksi memberikan keterangan dimuka penyidik tidak

disumpah. Karena demikian maka pertimbangan mengenai nilai kesaksian

diserahkan kepada kebijaksanaan hakim.

(42)

Dari keterangan pihak untuk memperoleh kebenaran sejati, hakim

dapat meminta bantuan seorang ahli, dalam praktek sering disebut sebagai

saksi (expertis, deskundigen). Keterangan ahli merupakan keterangan yang

diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus dan obyektif

dengan maksud membuat terang suatu perkara atau guna menambah

pengetahuan hakim sendiri dalam suatu hal.

Sebagai asas dalam peradilan. Hakim tidak boleh menolak suatu

pekerjaan yang diajukan kepadanya sekalipun hukum atau undang-undang

tidak mengaturnya, ia harus menemukan hukum itu. Hal itu bukan berarti

hakim dianggap tahu segalanya atau dianggap sebagai manusia serba tahu,

karena itu ia membutuhkan dan menggunakan keterangan seorang ahli

agar memperoleh pengetahuan yang mendalam tentang suatu hal yang

menyangkut perkara yang ditanganinya. Misalnya mengenai kebakaran,

hakim membutuhkan pengetahuan tentang kelistrikan maka dipanggillah

saksi atau jabatan runtuh maka dalam kaitan ini dibutuhkan keterangan

ahli beton bertulang.

Mengenai saksi ahli diatur dalam pasal 160 ayat (4) yang

menetapkan bilamana pengadilan menganggap perlu, seseorang ahli wajib

bersumpah atau berjanji sesudah ahli itu selesai memberikan keterangan,

dan dalam pasal 161 ayat (2) ditentukan saksi ahli yang tidak disumpah

atau mengucapkan janji tidak dapat dianggap sebagai alat bukti yang sah

tetapi hanya memerlukan keterangan yang dapat mengangkat keyakinan

(43)

Siapa atau apa yang disebut sebagai ahli tidak diberi penjelasan

oleh KUHAP, sehingga dengan demikian tentang ahli atau tidaknya

seseorang tidak ditentukan oleh pengetahuan atau keahliannya yang

khusus tetapi ditentukan oleh karena panggilan pengadilan yang wajib

dipenuhi. Oleh karena itu, seseorang ahli yang disidik oleh penyidik dalam

rangka membuat terang suatu khusus wajib mengundurkan diri. Dalam

praktek di negara kita, pengadilan formal yang menjadi ukurannya.

Seharusnya perlu ditambahkan syarat pengalaman dalam salah satu

bidang.

Dalam pasal 1 butir 28 dan pasal 186 menimbulkan persoalan, jika

dihubungkan dengan penjelasan pasal 133 ayat (2) yang berbunyi :

“Keterangan yang diberikan oleh ahli kedokteran kehakiman disebut oleh

dokter bukan kedokteran kehakiman disebut keterangan.”

Menurut penulisan, keterangan ahli kedokteran keahlian atau

keterangan yang dimaksud dalam pasal 133 diberikan dalam proses

penyidikan. Jadi bukan dalam sidang, sehingga sebagai alat bukti “surat”

(pasal 184 sub s), sedang apabila keterangan dokter bukan ahli kehakiman

diberikan dalam sidang, harus dianggap sebagai alat bukti “keterangan

seksi” (pasal 184 sub a).

Apabila keterangan saksi dan keterangan ahli, maka ada perbedaan

antara kedudukan saksi dan kedudukan ahli, antara lain sebagai berikut:

1. Saksi memberi keterangan sebenarnya mengenai peristiwa yang ia

(44)

sedangkan ahli memberi keterangan mengenai penghargaan dari

hal-hal yang sesudah ada dan mengambil kesimpulan mengenai sebab dan

akibat perbuatan terdakwa;

2. Pada saksi dikenal adanya asas unus testis nullus testis yang tidak

dikenal pada ahli, sehingga dengan keterangan ahli saja, hakim

membangun keyakinannya dengan alat-alat bukti yang lain.

3. Saksi dapat memberi keterangan dengan lisan dan ahli dapat memberi

keterangan lisan maupun tulisan.

4. Hakim bebas memilih keterangan saksi dan hakim tidak wajib turut

kepada pendapat, kesimpulan dan saksi ahli bilamana bertentangan

dengan keyakinan hakim.

5. Kedua alat bukti: saksi dan saksi ahli digunakan hakim dalam

mengajar dan mencari kebenaran sejati.

Sur at

Surat adalah penawaran tanda tangan bacaan yang berarti

menerjemahkan suatu pikiran. Atas bahan apa dicantumkannya tanda baca

ini di atas kertas, karton kayu atau kain adalah tidak penting. Juga tidak

penting apakah tanda baca itu terdiri dari huruf yang kita kenal atau dari

huruf Cina, tanda stenografi atau dari tulisan rahasia yang disusun sendiri.

Tidak termasuk dalam kata surat adalah foto dan peta; barang-barang ini

tidak memuat tanda bacaan. Seperti hal nya Seseorang menerima sejumlah

uang atau barang, baru merasa dirinya aman jika ia memberi suatu tanda

(45)

atau surat tanda terima itu kemudian hari dapat dipergunakan terhadap

dirinya sebagai bukti bahwa ia benar telah menerima uang atau barang itu.

Pada dasarnya, semua bukti tulisan itu merugikan atau

memberatkan bagi orang yang menulisnya atau si pembuat. Pengecualian

terhadap asa ini terdapat dalam pasal 7 Kitab Undang-Undang Hukum

Dengan yang mengatakan “Hakim adalah bebas untuk kepentingan

masing-masing akan memberi kekuatan bukti sedemikian rupa kepada

pemegang buku setiap pengusaha, sebagaimana menurut pendapatnya

dalam tiap-tiap kejadian khusus harus diberikannya.” Ketentuan ini juga

terdapat dalam pasal 167 HIR. Atau dengan kata lain, ada kemungkinan

bahwa pemegang buku itu menguntungkan pembuatannya.

Surat sebagai alat bukti disebutkan dalam pasal 184 dan diatur

dalam pasal 187. lengkapnya pasal 187 berbunyi : “Surat sebagaimana

tersebut pada pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau

dikuatkan dengan sumpah adalah :

a. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh

pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang

memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar,

dilihat atau yang dialami sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan

tegas tentang keterangan itu:

b. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan

(46)

tatalaksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan

bagi pembuktian suatu hal atau suatu keadaan:

c. Surat keterangan dari seseorang ahli yang memuat pendapat

berdasarkan keahliannya mengenai suatu hal atau yang diminta secara

resmi daripadanya;

d. Surat lain yang hanya berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari

alat pembuktian yang lain.

Kiranya, pasal 187 ini ditiru pasal 83 UU No. 1 tahun 1950

(dengan berbeda redaksi), minus “putus secara sah diambil oleh badan

pengadilan atau hakim” tidak ada penjelasan terhadap ketentuan pasal 187

tentang ketentuan pembuktian dari surat resmi (openbaar) dan

surat-surat bisa (bijzonder) didalam Hukum Acara Perdata dapat diterapkan

dalam penelitian Hukum Acara Pidana, seperti disebutkan dalam pasal 304

HIR. Oleh karena itu diserahkan kepada pertimbangan hakim.95 Ketegasan

kepada pasal 52, yang harus diartikan bahwa tersangka ataupun saksi

dalam pemeriksaan penyidik memberikan keterangan secara bebas.

Kemudian, keterangan terdakwa sebagai alat bukti disebut dalam

pasal 184 sub e dan juga disebut dalam pasal 188, tentang kadar tersangka

di muka penyidik (pasal 52 jo pasal 117), artinya terdakwa memberikan

keterangan secara bebas.

Menurut penulisan, pasal 295 HIR yang menyebut “pengakuan”

(bekentenis)” sebagai alat bukti dan pasal 307 HIR yang menyebut

(47)

(bewijstkracht), berbeda kadar atau derajat dengan “keterangan terdakwa”

dalam pasal 184 sub e dan pasal 189 KUHAP sebagai alat bukti dan

ketentuan pembuktian sebab yang terakhir ini diberikan secara bebas.

Maka dalam pasal 189 ayat (1) diberikan batasan didalam operasional alat

bukti “keterangan terdakwa” ialah apa yang dinyatakan oleh terdakwa di

sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia lakukan atau yang

ia ketahui atau alami sendiri. Bilangan pasal 189 ayat (1) ini dibandingkan

dengan pasal 1 butir 27, yang memberikan batasan tentang keterangan

saksi sebagai alat bukti berupa keterangan mengenai suatu peristiwa

pidana yang ia dengan sendiri, ia lihat sendiri, ia alami sendiri. Jadi kedua

pasal tersebut ada persamaan wajib memberi keterangan yaitu keterangan

dari apa yang sesungguhnya terjadi (de materieele waarheid) Selain itu

keterangan terdakwa dapat berisi:

1. Pembenaran seluruhnya atau sebagai perbuatan yang disebut dalam

surat terdakwa.

2. Penyangkalan seluruhnya atau sebagian perbuatan yang disebutkan

dalam surat terdakwa.

Oleh karena pengertian keterangan terdakwa mempunyai makna

lebih luas daripada pengertian pengakuan salah, penulis tidak

menggunakan kata “keterangan salah” atau “ pengakuan salah”, sebab

kedua terminologi tersebut berkonotasi sebagai sesuatu yang berlawanan

atau prinsip presumption of innocence. Dikatakan terdakwa bermasalah

(48)

pidana kepadanya. Yang menjadi masalah ialah bagaimana jika terdakwa

mencabut keterangannya dahulu yang dibuat di muka penyidik dan

bagaimana penilaian terhadap keterangan terdakwa? Menurut penulisan,

hakim dalam menghadapi masalah ini harus berprinsip pada keterangan

terdakwa sebagai alat bukti. Yaitu apa yang ia nyatakan dalam

persidangan. Pencabutan keterangan terdakwa atas keterangannya yang di

muka penyidik harus dibuktikan adanya paksaan dan atau tekanan. Kedua

alasan itu disebut didalam penjelasan pasal demi pasal tidak liminatif,

tetapi jika ada alasan lain yang tepat dan masuk akal (aannemelikjk),

misalnya salah faham dalam pengertian satu hal maka pencabutan itu

dapat diterima baik.

Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat

dipergunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang, asal

keterangan itu didukung oleh satu alat bukti yang sah sepanjang mengenai

hal yang didakwakan kepadanya (pasal 189 ayat 2).

HUHAP memberi pengesahan bahwa keterangan terdakwa di muka

sidang hanya merupakan bukti bagi diri sendiri, dan tidak bagi kawan

terdakwa (mede beklaagde) (pasal 189 ayat 3). Didalam praktek sering

terjadi bahwa terdakwa menyeret kawannya menjadi made beklaagde,

hanya karena balas dendam atau alasan lain. Berkenan dengan penerapan

alat-alat bukti yang bermacam-macam itu. KUHP memberikan tekanan

bahwa keterangan bagi terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan

(49)

kepadanya melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain (pasal 189

ayat 4). Ketentuan ini, menurut penulis memberikan pengesahan bahwa

KUHAP menganut pembuktian menurut undang-undang secara negatif

(negatief wettelijke bewijstheorie).

Petunjuk

Pengertian petunjuk diatur dalam pasal 188 ayat (1) adalah

perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya, baik antara

satu dengan yang lain maupun dengan tindakan pidana itu sendiri

menandakan bahwa telah terjadi suatu ti

Referensi

Dokumen terkait

Setelah melakukan pembimbingan, telaahan, arahan dan koreksi terhadap penulisan skripsi berjudul : PENGARUH BUDAYA, PSIKOLOGIS, PELAYANAN, PROMOSI DAN PENGETAHUAN

Anwar Anshori, Analisis Tingkat Berpikir Geometri Siswa dalam Menyelesaikan Soal Bangun Ruang Sisi Datar Berdasarkan Teori Van Hiele pada Siswa Kelas VIII SMP Negeri 2

Dalam penelitian ini yang menjadi fokus penelitian adalah menganalisis pengendalian persediaan ( inventory control ) bahan baku kokon dalam produksi benang sutera

[r]

Sasaran dalam pencegahan ditujukan pada sumber penularan lingkungan serta faktor penjamu.(Syahruddin,2007). Preventif yang dimaksud dalam penelitian ini adalah suatu

Iwan Hermawan, 52 tahun, juru kampanye Partai Keadilan Sejahtera dalam pemilihan walikota dan wakil walikota Bandung tahun 2013. Dokumen pribadi yang diambil

Pertanian merupakan basis perekonomian Indonesia, ia juga hingga kina masih menjadi sumber mata pencaharian utama sebahagian besar penduduk, nilai tambah

Pembangunan konstruksi dengan menggunakan beton bertulang merupakan jenis konstruksi yang paling banyak digunakan karena mudah dalam mendapatkan material dan