SKRIPSI
Di Ajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada
Fakultas Hukum UPN “ Veteran ’’ Jawa Timur
Oleh :
HELMI PERMONO
NPM : 0671010062
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” J AWA TIMUR SURABAYA
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan
rahmat dan karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi
ini berjudul: PROBLEMATIAK ASAS PEMBUKTIAN TERBALIK ATAS
KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA ( Suatau Kajian Empiris
Di Pengadilan Negeri Surabaya )
Penyusunan Skripsi untuk memenuhi persyaratan sesuai kurikulum yang
ada di Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa
Timur. Disamping itu dapat memberikan hal-hal yang berkaitan dengan disiplin
ilmu yang penulis dapat selama perkuliahan.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih atas
bantuan dan bimbingan serta saran yang sangat berharga kepada :
1. Bapak Hariyo Sulistiyantoro, SH., MM., selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur
2. Bapak Sutrisno, SH., M.Hum., selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur, dan sekaligus
Dosen Pembimbing Utama yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan
kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini sehingga penulis dapat
menyelesaikan dengan baik.
3. Bapak Drs. E.C. Gendut Sukarno,MS.,selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum
dalam penyusunan skripsi sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
5. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional
“Veteran” Jawa Timur.
6. Seluruh Staff Tata Usaha Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional
“Veteran” Jawa Timur.
7. Kedua orang tua kami tercinta, serta seluruh keluarga besarku yang telah dan
frevi yastini sbagai orang yang sangat sepesial bagi penulis yang memberikan
dukungan moril maupun materiil serta doanya selama ini.
Akhirnya dengan segala kerendahan hati, kritik dan saran yang bersifat
membangun penulis harapkan karena kurangnya pengalaman dan terbatasnya
pengetahuan yang penulis miliki.
Semoga Tuhan Yang Maha Esa membalas semua kebaikan tersebut
dengan kebaikan pula. Harapan penulis semoga Skripsi ini dapat bermanfaat bagi
semua pihak.
Surabaya, 5 Desember 2011
FAKULTAS HUKUM
Nama Ma hasiwa : Helmi Per mono
NPM : 0671010062
Tempat Tanggal Lahir : Sidoar jo, 12 –Febr ua r i -1987
Pr ogam Studi : Str ata 1 (S1) Ilmu Huk um
J udul Skr ipsi :PROBLEMATIKA ASAS PEMBUKTIAN
TERBALIK ATAS KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA. (Suatu Ka jian Empir is Di Pengadilan Neger i Sur abaya )
ABSTRAKSI
Penelitian ini bertujuan mengetahui bagaimana penerapan asas pembuktian terbalik tersebut di terapkan karena pada praktek nya pembuktian terbalik belum pernah di terapkan.metode yang digunakan yaitu yuridis empiris dimana yang dimaksud kan yaitu ada suatu ketentuan hukum yaitu undang – undang akan tetapi belum ada penerapan nya ,pengumpulan data mengunakan Sumber hukum primer adalah literature, pendapat para ahli ,data-data dari internet, jurnal-jurnal. Analisis hasil penelitian berisi uraian tentang cara-cara analisis yang menggambarkan bagaimana suatu data terkumpul untuk dipergunakan dalam memecahkan masalah penelitian, berdasarkan prosedur pengumpulan bahan hukum diperoleh sehingga dari hasil penelitian dapat di simpulkan bahwa pembuktian terbalik memang belum perna diterapkan dan penyebabnya ialah masih banyak kelemahan dari pembuktian ini dan banyak terdakwa yang tidak menggunakan hak nya tersebut
KATA KUNCI : Fakta Penera pan Asas Pembuktian Ter balik Dalam Proses
1.1 Latar Belakang Masalah
Pembuktian kasus korupsi baik di Indonesia dan beberapa negara
asing memang dirasakan sangat pelik. Khusus untuk Indonesia, kepelikan
tersebut di samping proses penegakkannya juga dikarenakan kebijakan
legislasi pembuatan UU yang produknya masih dapat bersifat multi
interprestasi, sehingga relatif banyak ditemukan beberapa kelemahan di
dalamnya. Salah satu contoh dapat dikemukakan di sini adalah UU Nomor
31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi. Dalam ketentuan UU disebutkan tindak pidana
korupsi merupakan tindak pidana yang luar biasa (extra ordinary crime)
sehingga di perlukan tindakan yang luar biasa pula (extra ordinary
measures). Tapi pernyataan tersebut dalam implementasinya, tidak
semuanya benar. Misalnya, khusus terhadap tindak pidana penyuapan
(bribery) bukanlah merupakan tindak pidana luar biasa akan tetapi
merupakan tindak pidana biasa (ordinary crime) sehingga tidak diperlukan
upaya hukum yang luar biasa.
Di samping aspek di atas, belum lagi opini umum dan para pakar
yang menginginkan adanya pembuktian kasus korupsi dipergunakan beban
pembuktian terbalik ,yang berasumsi dengan pembuktian terbalik kasus
Akan tetapi banyak mengundang polemik dan dapat diperdebatkan
karena beberapa aspek. Pertama, dikaji dari sejarah korupsi dan
perundang-undangan korupsi di Indonesia sejak penguasa perang pusat
sampai sekarang ini ternyata banyak kasus korupsi belum dapat
“diberantas” dan bahkan relatif meningkat intensitasnya berdasarkan
survei lembaga pemantau korupsi di dunia. Selain itu juga, beberapa
lembaga yang bertugas memantau korupsi pun telah dibentuk akan tetapi
perbuatan korupsi juga tetap ada dan bahkan tambah marak terjadi. Kedua,
belum ada justifikasi teori yang dapat dipergunakan sebagai tolak ukur
untuk memberantas korupsi dengan mempergunakan beban pembuktian
terbalik sehingga kebijakan legislasi pemberantasan korupsi di Indonesia
belum dapat berbuat secara optimal
Ada pun dilema bersifat krusial dalam perundang-undangan
Indonesia tentang beban pembuktian terbalik. Pada ketentuan Pasal 12B
dan Pasal 37, Pasal 38B UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20
Tahun 2001 diatur tentang beban pembuktian terbalik. Benarkah demikian
dikaji dari aspek teoretis dan praktik? tidak. Secara tegas ada kesalahan
dan ketidakjelasan perumusan norma tentang beban pembuktian terbalik
dalam ketentuan Pasal 12B UU 31/1999 yo UU 20/2001. Ketentuan Pasal
12 B ayat (1) berbunyi:
(sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa 1gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi ; (b) yang nilainya kurang dari Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suapdilakukan oleh penuntut umum.”
Ada beberapa kesalahan fundamental dari kebijakan legislasi di
atas. Pertama, dikaji dari perumusan tindak pidana ketentuan tersebut
menimbulkan kesalahan dan ketidakjelasan norma asas beban pembuktian
terbalik. Di satu sisi, asas beban pembuktian terbalik akan diterapkan
kepada penerima gratifikasi berdasarkan Pasal 12B ayat (1) huruf a yang
berbunyi,“.. yang nilainya Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau
lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap
dilakukan oleh penerima gratifikasi”, akan tetapi di sisi lainnya tidak
mungkin diterapkan kepada penerima gratifikasi oleh karena ketentuan
pasal tersebut secara tegas mencantumkan redaksional, “setiap gratifikasi
kepada pegawai negeri atau penyelenggara Negara dianggap pemberian
suap apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan
kewajiban atau tugasnya”, maka adanya perumusan semua unsur inti delik
dicantumkan secara lengkap dan jelas dalam suatu pasal membawa
implikasi yuridis adanya keharusan dan kewajiban Jaksa Penuntut Umum
untuk membuktikan perumusan delik dalam pasal yang bersangkutan.
Tegasnya, asas beban pembuktian terbalik ada dalam tataran ketentuan UU
dan tiada dalam kebijakan aplikasinya akibat kebijakan legislasi
1
merumuskan delik salah susun, karena seluruh bagian inti delik disebut
sehingga yang tersisa untuk dibuktikan sebaliknya malah tidak ada.
Berdasarkan diuraikan di atas, maka dapat dikatakan beban
pembuktian terbalik dalam perundang undangan Indonesia “ada” ditataran
kebijakan legislasi, akan tetapi “tiada” dan “tidak bisa” dilaksanakan
dalam kebijakan aplikasinya. Untuk itu penulis tertarik mengangkat judul
skripsi ini dengan “PROBLEMATIKA ASAS PEMBUKTIAN TERBALIK
ATAS KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA. (Suatu
Kajian Empiris di Pengadilan Negeri Surabaya )”
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka rumusan masalah yang
diangkat dalam skripsi ini adalah:
a. Mengapa asas pembuktian terbalik terhadap kasus tindak pidana
korupsi di Pengadilan Negeri Surabaya tidak pernah diterapkan ?
b. Apa kendala yang menyebabkan penerapan asas pembuktian terbalik
kasus tindak pidana korupsi di Pengadilan Negeri Surabaya belum
pernah diterapkan dalam persidangan ?
1.3 Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui penyebab tidak diterapkannya asas pembuktian
terbalik pada kasus tindak pidana korupsi di Pengadilan Negeri
b. Untuk mengetahui apa saja kendala aparatur Negara sebagai penegak
hukum dalam menerapkan asas pembuktian terbalik pada kasus tindak
pidana korupsi di Pengadilan Negeri Surabaya.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum dibidang
pidana, khususnya mengenai asas pembuktian terbalik pada kasus
tindak pidana korupsi.
1.4.2 Manfaat Praktis
Penelitian ini dapat bermanfaat bagi masyarakat dan
instansi terkait untuk lebih mengetahui dan mengerti penerapan
asas beban pembuktian terbalik terhadap pelaku tindak pidana
korupsi karena di samping lebih efektif mengusut dan memerangi
kejahatan tindak pidana korupsi tetapi juga dapat memberi
kesempatan dan hak terdakwa pelaku tindak pidana korupsi untuk
melakukan pembelaan atas dirinya bahwa dirinya tidak bersalah.
1.5 Kajian Pustaka
1.5.1 Pengertian Tindak Pidana
Tindak Pidana adalah Tindak Pidana merupakan suatu
pelanggaran, baik yang disebutkan dalam KUHP maupun peraturan
perundang-undangan lainnya.
Abdoel Djamali mengatakan, Peristiwa Pidana atau sering
disebut Tindak Pidana (Delict) ialah suatu perbuatan atau
rangkaian perbuatan yang dapat dikenakan hukuman pidana. Suatu
peristiwa hukum dapat dinyatakan sebagai peristiwa pidana kalau
memenuhi unsur-unsur pidananya. Unsur-unsur itu terdiri dari :
a. Objektif, yaitu suatu tindakan (perbuatan) yang bertentangan dengan hukum dan mengindahkan akibat yang oleh hukum dilarang dengan ancaman hukum. Yang dijadikan titik utama dan pengertian objektif disini adalah tindakannya.
b. Subjektif, yaitu perbuatan seseorang yang berakibat tidak
dikehendaki oleh undang-undang. Sifat unsur mi
mengutamakan adanya pelaku (seseorang atau beberapa orang).’2
1.5.2 Unsur Tindak Pidana
Tidak ada sebab maka tidak ada akibat maka dan itu tidak
adanya suatu perbuatan yang melanggar ketentuan undang-undang
maka tidak ada yang namanya perbuatan pidana. Seperti yang
terdapat dalam pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum
Pidana(selanjutnya disingkat dengan KUHP) buku kesatu tentang
aturan umum, yaitu : “Suatu perbuatan tidak dapat di pidana,
kecuali berdasarkan ketentuan perundang-undangan pidana yang
telah ada”
Dan ketentuan perundang-undangan yang ada dapat kita
tank beberapa unsur tentang tindak pidana sebagai syarat agar
2
dapat dikatakan sebagai tindak pidana yang mengandung peristiwa
pidana. Menurut Abdoel Djamali, syarat- syarat yang harus
dipenuhi ialah sebagai berikut:
a. Harus adanya suatu perbuatan.
b. Perbuatan itu harus sesuai dengan apa yang dilukiskan dalam
ketentuan hukum.
1. Harus terbukti adanya kesalahan yang dapat
dipertanggungjawabkan.
2. Harus berlawanan dengan hukum.
3. Harus tersedia ancaman Hukumannya.
Pengertiannya adalah :
a. Harus ada suatu perbuatan. Maksudnya, memang benar-benar
ada suatu kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau
beberapa orang. Kegiatan itu dilihat sebagai suatu perbuatan
tertentu yang dapat dipahami oleh orang lain sebagai sesuatu
yang merupakan peristiwa.
b. Peristiwa itu harus sesuai dengan apa yang dilukiskan dalam
ketentuan hukum. Artinya perbuatan sebagai suatu peristiwa
hukum memenuhi isi ketentuan hukum yang berlaku pada saat
itu. Pelakunya memang benar-benar berbuat seperti yang
terjadi. Pelaku wajib mempertanggungjawabkan akibat yang di
timbulkan dari perbuatan itu. Berkenaan dengan syarat ini,
tidak bisa dipersalahkan pelakunya pun tidak perlu
mempertanggung jawabkan. Perbuatan yang tidak dapat
dipersalahkan itu dapat disebabkan dilakukan oleh seseorang
atau beberapa orang dalam melaksanakan tugas, membela din
dan ancaman orang lain yang mengganggu keselamatannya
dan dalam ancaman darurat.
a. Harus terbukti adanya kesalahan yang harus
dipertanggungjawabkan. Maksudnya bahwa perbuatan
yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang itu
dapat dibuktikan sebagai suatu perbuatan yang disalahkan
oleh ketentuan hukum.
b. Harus berlawanan dengan hukum, artinya, suatu perbuatan
yang berlawanan dengan hukum dimaksudkan kalau
tindakannya nyata-nyata bertentangan dengan aturan
hukum.
c. Harus tersedia ancaman hukumnya. Maksudnya kalau ada
ketentuan yang mengatur tentang larangan atau keharusan
dalam suatu perbuatan tertentu, ketentuan itu membuat
sanksi ancaman hukumannya. Ancaman hukuman
dinyatakan secara tegas berupa maksimal hukumannya
yang harus dilaksanakan oleh para pelakunya. Kalau di
terhadap suatu perbuatan tertentu, dalam peristiwa pidana,
pelaku tidak perlu melaksanakan hukuman tertentu.
1.5.3 Tindak Pidana sendiri di bagi menjadi 2 bagian, Pidana
umum dan Pidana Khusus:
a. Pidana umum : Hukum pidana yang berlaku umum.
b. Pidana khusus : Hukum pidana yang berlaku bagi suatu
tindak pidana tertentu, contoh Tindak
Pidana Korupsi.
1.5.4 Tindak Pidana Korupsi
1.5.4.1Pengertian Korupsi
Istilah korupsi di Indonesia pada mulanya bukan suatu istilah yuridis, melainkan berasal dari kata latin “Corruptus” yang artinya suatu perbuatan yang busuk, busuk bejat, tidak, dapat disuap, tidak bermoral, menyimpang dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah.”3
Menurut Bayle perkataan “Korupsi dikaitkan dengan perbuatan penyuapan yang berhubungan dengan penyalahgunaan wewenang atau kekuasaan sebagai akibat adanya pertimbangan dari mereka yang memegang jabatan bagi keuntungan pribadi.”4
Menurut Brooks “Korupsi adalah dengan sengaja melakukan kesalahan atau melalaikan tugas yang diketahui sebagai kewajiban tanpa hak menggunakan kekuatan, kekuasaan, dengan tujuan memperoleh keuntungan yang sedikit banyak bersifat pribadi.”5
Dalam jenis tindak pidana korupsi ada 2 macam, yaitu: a. Administrative Coruption.
3
A.Hamzah, Korupsi dalam Proyek Pembangunan, Akademika Pressindo, Jakarta, 1985, h.3
4
Soedjono Dirdjosisworo, Fungsi Perundang-undangan dalam Penanggulangan Korupsi Di Indonesia, Sinar Baru, Bandung, 1984, h.19-21
5
Dimana segala sesuatu yang dijalankan adalah sesuai dengan hukum atau peraturan yang berlaku. Akan tetapi, individu-individu tertentu memperkaya dirinya sendiri. Terdapat dalam pasal 13 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. b. Against The Rule Corruption.
Korupsi yang dilakukan adalah sepenuhnya
bertentangan dengan hukum. Misalnya penyuapan,
penyalahgunaan jabatan untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain. Terdapat dalam Pasal 2,3,5,6,7,8,9,10,11,12 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.”6
Pengertian tentang Tindak Pidana Korupsi terdapat
dalam Pasal 2 Ayat (1) Undang-undang Nomor 31 Tahun
1999, yang menentukan bahwa:
“Setiap orang yang secara melawan hukum
melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang
lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana
penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4
(empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan
denda paling sedikit Rp.200.000.000,- (dua ratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,- (satu milyar
rupiah).”
6
Menurut penjelasan umum Undang-undang Nomor
31 Tahun 1999 yang dimaksud dengan perekonomian
Negara adalah kehidupan perekonomian yang disusun
sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan
ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan
pada kebijakan pemerintah, baik ditingkat pusat maupun di
daerah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku yang bertujuan memberikan
manfaat, kemakmuran, dan kesejahteraan kepada seluruh
kehidupan rakyat. Adapun penggolongan subyek hukum
tindak pidana korupsi menurut pasal 1 Ayat (3)
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999, meliputi: “Setiap orang
adalah orang perseorangan atau termasuk korporasi.”
Subyek hukum disini adalah orang yang dibebani
hak dan kewajiban hukum. Sanksi pidana menurut
“Roeslan saleh ialah reaksi atas delik dan ini berwujud
nestapa yang dengan sengaja dilimpahkan negara pada
pembuat delik itu.”7
Sanksi pidana di KUHP dikenal sanksi pidana
minimum dan sanksi pidana maksimum. Untuk sanksi
pidana minimum diatur dalam Pasal 12 Ayat (2) KUHP
yang menentukan: “Pidana penjara selama waktu tertentu
7
paling pendek adalah satu hari dan paling lama lima belas
tahun berturut-turut.” Sedangkan sanksi pidana penjara
maksimum secara umum tertuang dalam pasal 12 Ayat (2)
KUHP yaitu 15 tahun berturut-turut, dan juga dalam Pasal
12 Ayat (4) KUHP menentukan: “Pidana penjara selama
waktu tertentu sekali-kali tidak boleh lebih dari dua puluh
tahun.”
Dikenal juga sanksi pidana penjara seumur hidup yang
diatur dalam Pasal 12 Ayat (3) sebagai berikut:
“Pidana penjara selama waktu tertentu boleh
dijatuhkan untuk dua puluh tahun berturut-turut dalam hal
kejahatan yang pidananya hakim boleh memilih antara
pidana mati, pidana seumur hidup dan pidana penjara
selama waktu tertentu atau antara pidana penjara selama
waktu tertentu; boleh juga hal batas lima belas tahun dapat
dilampaui karena bebarengan (concursus), pengulangan
(residivis) atau karena yang ditentukan dalam Pasal 52 dan
52a (L.N 1958 No.127).”
Dalam ketentuan hukum pidana dikenal hukum
pidana umum dan hukum pidana khusus, menurut E.Y.
Kanter dan S.R. Sianturi:
a) Hukum pidana umum adalah ketentuan hukum pidana yang berlaku secara umum bagi semua orang.
kekhususan suatu golongan tertentu (militer dan yang dipersamakan) atau suatu tindak pidana tertentu seperti pemberantasan tindak pidana ekonomi, korupsi dan lain sebagainya.”8
Prinsip pemberlakuannya bahwa hukum pidana
khusus lebih diutamakan daripada hukum pidana umum
lebih dikenal dengan asas Lex Spesialis Derogat Lex
Generalis. Tindak pidana korupsi adalah suatu tindak
pidana yang masuk dalam kategori kejahatan berat (Extra
Ordinary Crime) sehingga diatur di luar KUHP yaitu
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah
diperbaharui dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun
2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi (UU
Korupsi), karena perbuatan ini selain dapat merugikan
masyarakat juga dapat merugikan keuangan negara.
UU Korupsi meliputi sanksi pidana penjara yang
diatur dalam Pasal 2 sampai dengan pasal 15, yaitu:
a) Sanksi pidana minimum ini diatur dalam Pasal 3 dan
Pasal 2 Ayat (1) Undang-undang Nomor 31 Tahun
1999. Dalam Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun
1999 sanksi pidana penjara minimumnya adalah satu
tahun, sedangkan dalam Pasal 2 Undang-undang
8
Nomor 31 Tahun 1999 sanksi pidana penjara
minimumnya adalah empat tahun;
b) Sanksi pidana penjara maksimal diatur dalam Pasal 2
Ayat (1) dan Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun
1999 yaitu selama 20 tahun dan bisa diperpanjang
menjadi seumur hidup;
c) Sanksi pidana denda minimal ini dalam ketentuan pasal
3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 adalah
Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah), sedangkan
dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999
adalah Rp.200.000.000,- (dua ratus juta rupiah);
d) Sanksi pidana denda maksimal dalam ketentuan Pasal 2
Ayat (1) dan Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun
1999 adalah Rp.1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).
Disamping ketentuan tersebut di atas dikenal juga
Pidana Tambahan disamping pasal 10 KUHP yang tertuang
dalam Pasal 18 Ayat (1) Undang-undang Nomor 31 Tahun
1999:
1) Selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam
Kitab Undang-undang Hukum Pidana, sebagai pidana
tambahan adalah:
a. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau
yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari
tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik
terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan,
begitu pula harga dari barang yang menggantikan
barang-barang tersebut;
b. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya
sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda
yang diperoleh dari tindak pidana korupsi;
c. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk
waktu paling lama 1 (satu) tahun;
d. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu
atau pengahapusan seluruh atau sebagian
keuntungan tertentu, yang telah atau dapat
diberikan oleh pemerintah kepada Terpidana.
1.5.5 Asas Pembuktian Terbalik Tindak Pidana Korupsi
1.5.5.1Pengertian asas
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, asas
adalah sesuatu yang menjadi landasan berpikir atau dasar
yang dijadikan pedoman untuk berbuat. Asas Hukum
merupakan istilah yang tidak asing dalam ilmu hukum.
Pengertian asas hukum itu sendiri telah banyak dirumuskan
oleh para ahli. Dan di bawah ini beberapa pendapat tentang
1. Bellefroid : merumuskan asas hukum sebagai norma dasar yang dijabarkan dari bentuk positif dan yang oleh ilmu hukum tidak dianggap berasal dari aturan-aturan yang bersifat umum. Asas Hukum Umum itu, merupakan hukum positif dalam suatu masyarakat. 2. Menurut Eikima Hommes : Asas Hukum itu tidak
boleh menganggap sebagai norma-norma hukum yang konkrit, akan tetapi perlu dipandang sebagai dasar-dasar umum atau petunjuk bagi hukum yang berlaku. Pembentukan hukum praktis perlu berorientasi pada asas-asas hukum tersebut.
3. Liang Gie berpendapat bahwa Asas adalah suatu dalil umum yang dinyatakan dalam istilah umum tanpa
menyertakan cara-cara khusus mengenai
pelaksanaannya, yang diterapkan pada serangkaian perbuatan untuk menjadi petunjuk yang tepat bagi perbuatan itu.
4. Paul Scholten : mendefinisikan Asas Hukum sebagai kecenderungan-kecenderungan yang diisyaratkan oleh pandangan kesusilaan pada hukum, yang merupakan sifat-sifat umum dengan segala keterbatasannya. Tetapi, yang tidak boleh tidak harus ada.
Kesimpulan :
Asas Hukum atau Prinsip Hukum bukanlah peraturan hukum konkrit, melainkan pikiran dasar yang umum sifatnya. Atau, merupakan latar belakang yang mendasari peraturan yang konkrit, yang terdapat di dalam dan di belakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat diketemukan dengan mencari sifat-sifat umum dalam peraturan konkrit tersebut. Dan adapun beberapa macam asas hukum yaitu sebagai berikut :
1. Asas Legalitas
Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada
2. Asas Keseimbangan
3. Asas Praduga Tak Bersalah
Yaitu tidak menetapkan seseorang bersalah atau tidak sebelum adanya putusan pengadilan yang tetap.
4. Asas Unifikasi
Yaitu penyamaan keberlakuan hukum acara pidana di seluruh wilayah Indonesia
5. Asas Ganti rugi dan Rehabilitasi.
Yaitu adanya ganti rugi dan rehabilitasi bagi pihak yang dirugikan karena kesalahan dalam proses hukum. 6. Asas Peradilan Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan
Yaitu pelaksanaan peradilan secara tidak berbelit-belit dan dengan biaya yang seminim mungkin guna menjaga kestabilan terdakwa
7.Asas Oportunitas
Yaitu hak seorang Jaksa untuk menuntut atau tidak demi kepentingan umum.9
1.5.6 Pembuktian Dalam Hukum Pidana Biasa
Pembuktian dalam perkara pidana berbeda dengan
pembuktian dalam perkara perdata. Hukum acara pidana itu:
Bertujuan mencari kebenaran material, yaitu kebenaran sejati atau
yang sesungguhnya Hakimnya bersifat aktif. Hakim
berkewajiban untuk mendapatkan bukti yang cukup untuk
membuktikan tuduhan kepada tertuduh Alat buktinya bisa berupa
keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, keterangan
terdakwa. Dasar hukum tentang pembuktian dalam hukum acara
pidana mengacu pada pasal 183-189 KUHAP(Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana).10
9
Di kutib dari wibesite,www.kamus hukum.com pada hari kamis 15-12-2011
10
a) Pasal 183 KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana).
Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang
kecuali yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak
pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang
bersalah melakukannya.
b) Pasal 189 KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana).
1) Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang iya ketahui sendiri atau alami sendiri
2) Keterangan yang di berikan terdakwa yang di berikan di
luar sidang dapat di gunakan untuk membantu
mengemukakan bukti di sidang asalkan keterangan itu di dukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya
3) Keterangan terdakwa hanya dapat di gunakan terhadap diri sendiri
4) Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan dakwaan kepadanya melainkan harus disertai dengan alat bukti lainnya
1.5.7 Asas Beban Pembuktian Terbalik
Beban Pembuktian Acara pidana yang diatur dalam
Undang-Undang ini dilaksanakan secara wajar dan perpaduan
antara sistem hakim aktif dan para pihak berlawanan secara
berimbang. yaitu pada Pasal 173 KUHAP (Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana).
Pasal 173 KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana). Sesudah kesaksian dan bukti disampaikan oleh kedua
kesempatan untuk menyampaikan keterangan lisan yang
menjelaskan tentang bukti yang diajukan di persidangan
mendukung pendapat mereka mengenai perkara tersebut.
Dan sedangkan Pembuktian terbalik sebenarnya telah
disebutkan di dalam Pasal 37 Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Di dalam
Bagian Penjelasan Umum, disebutkan bahwa pembuktian terbalik
bersifat terbatas atau berimbang, yakni terdakwa mempunyai hak
untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana
korupsi dan wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta
bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda
setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan
dengan perkara yang bersangkutan, dan penuntut umum tetap
berkewajiban membuktikan dakwaannya.
Pasal 37 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 terdiri
dari 5 (lima) ayat, tetapi setelah dirubah dengan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 menjadi dua ayat, yakni ayat (1) tetap atau
tidak diubah atau dihapus, sedangkan ayat (2) diubah dengan
penyempurnaan frasa yang berbunyi:
Keterangan tersebut dipergunakan sebagai hal yang
menguntungkan baginya” diubah menjadi “pembuktian tersebut
digunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan
Pasal 37 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 mempergunakan kata terdakwa, maka berarti bahwa
ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Pasal 37 ayat (1) dan
ayat(2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 hanya berlaku
pada saat pemeriksaan di sidang Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi oleh Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi dalam perkara
tindak pidana korupsi.
Penjelasan Pasal 37 Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 dijelaskan sebagai berikut:
Ketentuan ini merupakan suatu penyimpangan dari ketentuan kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang menentukan bahwa jaksa yang wajib membuktikan dilakukannya tindak pidana, bukan terdakwa. Menurut ketentuan ini terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi. Apabila terdakwa dapat membuktikan hal tersebut tidak terbukti melakukan korupsi, sebab penuntut umum masih tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya. Ketentuan Pasal ini merupakan pembuktian terbalik yang terbatas, karena jaksa masih tetap wajib membuktikan dakwaannya. 11
Demikian juga dalam penjelasan Pasal 37 ayat (1) dan ayat
(2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dijelaskan sebagai
berikut:
(1) Pasal ini sebagai konsekuensi berimbang atas penerapan pembuktian terbalik terhadap terdakwa. Terdakwa tetap memerlukan perlindungan hukum yang berimbang atas pelanggaran hak-hak yang mendasar yang berkaitan dengan asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) dan menyalahkan diri sendiri (non self-incrimination).
11
(2) Ketentuan ini tidak menganut sistem pembuktian secara negative menurut Undang-Undang (negative wettelijk).
Demikian juga pada alinea ke-12 penjelasan umum
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dijelaskan sebagai berikut:
Di samping itu, Undang-Undang ini juga menerapkan pembuktian terbalik yang bersifat terbatas atau berimbang, yakni terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi dan wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan, dan penuntut umum tetap berkewajiban membuktikan dakwaannya.
Selanjutnya tentang pembuktian terbalik yang berkaitan
dengan tindak pidana korupsi di dalam alinea ke-5 dan ke-6
penjelasan umum Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut:
Ketentuan mengenai pembuktian terbalik perlu ditambahkan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai ketentuan yang bersifat “premium remidium” dan sekaligus mengandung sifat prevensi khusus terhadap pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 atau terhadap penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang penyelenggara negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme, untuk tidak melakukan tindak pidana korupsi.
Pembuktian terbalik ini diberlakukan pada tindak pidana baru tentang gratifikasi dan terhadap tuntutan perampasan harta benda terdakwa yang berasal dari salah satu tindak pidana sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 Undang-Undang ini. 12
12
Dengan menerapkan asas pembuktian terbalik sebagaimana
dimaksudkan dalam Pasal 12 B ayat (1) huruf a, dari
penjelasan-penjelasan Pasal 37 UU Nomor 31 Tahun 1999 dan Pasal 37
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dapat diketahui bahwa
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 menerapkan pembuktian terbalik yang
bersifat terbatas atau berimbang dengan unsur-unsur sebagai
berikut :
1) Terdakwa tindak pidana korupsi mempunyai hak untuk
membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana
korupsi, sebagaimana dimaksud Pasal 37 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah
dengan Pasal 37 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001.
2) Terdakwa tindak pidana korupsi mempunyai kewajiban untuk
memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan
harta benda istri atau suami, anak dan harta benda setiap orang
atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan perkara
yang bersangkutan, sebagaimana dimaksud Pasal 37 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah
diubah dengan Pasal 37 A ayat (1) Undang-Undang Nomor 20
3) Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi tetap
mempunyai kewajiban untuk membuktikan dakwaannya,
sebagaimana dimaksud Pasal 37 ayat (5) Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Pasal
37 A ayat (3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
a) Sebagai pembuktian terbalik bersifat terbatas, karena
terdakwa tindak pidana korupsi hanya diberikan hak tetapi
tidak diberikan kewajiban untuk membuktikan bahwa
terdakwa tidak melakukan tindak pidana korupsi, dan
terdakwa hanya diberikan kewajiban untuk memberikan
keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta
benda istri atau suami, anak dan harta benda setiap orang
atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan
perkara yang didakwakan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 37 A ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001.
b) Disebut sebagai pembuktian terbalik yang berimbang ,
karena meskipun kepada terdakwa tindak pidana korupsi
diberi hak untuk membuktikan bahwa terdakwa tidak
melakukan tindak pidana korupsi, dan diberi kewajiban
untuk memberikan keterangan tentang seluruh harta
bendanya dan harta benda istri atau suami, anak dan harta
hubungan dengan perkara yang didakwakan, penuntut
umum komisi Pemberantasan Korupsi masih mempunyai
kewajiban untuk membuktikan dakwaannya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 37 A ayat (3) Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001.
1.6 Metode Penelitian
1.6.1 Pendekatan Masalah
a) Penelitian yang akan digunakan oleh penulis dalam membuat
skripsi ini adalah penelitian yang menggunakan metode yuridis
empiris, yaitu penelitian terhadap identifikasi hukum, dan pada
hakekatnya ada dalam kebijakan legalisasinya akan tetapi tidak
pernah dilakukan dalam praktiknya kemudian dikaitkan dengan
rumusan masalah yang ada agar dapat ditarik suatu kesimpulan
logis. Empiris sendiri berasal dari kata empiri, yang artinya
berdasarkan pengalaman atau empirisme yang artinya adalah
suatu paham yang mengajarkan bahwa pengetahuan diperoleh
berdasarkan pengamatan dan pendapatan dalam praktek dan
tidak perlu mempelajari teori.
b) Pendekatan yang penulis lakukan ini berdasarkan aturan dan
teori yang berkaitan dengan perkara tindak pidan korupsi yang
diatur dalam Pasal 37, Pasal 38,38B UU No.31 tahun 1999 jo
1.6.2 Sumber Data
Penelitian ilmu hukum empiris , sumber utamanya adalah
bahan hukum yang dikaitkan dengan fakta sosial karena dalam
penelitian ilmu hukum empiris yang dikaji adalah bukan hanya
bahan hukum saja, akan tetapi di tambah dengan pendapat para
ahli. Penulisan skripsi ini menggunakan data primer yaitu data
yang diperoleh langsung dari sumbernya, baik melalui wawancara,
Observasi maupun laporan yang berbentuk dokumen tidak resmi
yang kemudian diolah oleh peneliti, dan data sekunder, yaitu data
yang diambil dari bahan pustaka yang terdiri dari 3 (tiga) sumber
bahan hukum yaitu bahan hukum primer, skunder dan tersier,
untuk lebih jelasnya penulis akan mengemukakan sebagai berikut :
a. Bahan hukum primer
Sumber hukum primer adalah literatur ,pendapat para ahli
,data-data dari internet , jurnal-jurnal.
b. Bahan hukum sekunder.
1. UU No.31 tahun 1999 jo UU No 20 Tentang
pemberantasan tindak pidana korupsi
2. Kitab Undang –undang Hukum pidana
3. Undang undang republik Indonesia no 28 tahun 1999
tentang penyelenggaraan Negara yang bersih dab bebas
4. Undang-undang republik Indonesian no 30 tahun 2000
tentang komisi pemberantas korupsi
1.6.3 Pengumpulan Bahan dan Data
Untuk mengkaji suatu bahan atau data yang kita dapat
baik dari buku atau pendapat para ahli serta internet sangat berbeda
dengan pengumpulan data atau data dari ilmu lain . dalam
penelitian ilmu hukum empiris untuk mengetahui fakta-fakta sosial
atau permasalahan hukum dan struktur dan materi positif yang
diperoleh dari kegiatan mempelajari bahan–bahan hukum terkait
data yang di maksud dalam penelitian hukum empiris adalah yang
ditemukan sebagai isu atau permasalahan hukum dan struktur dan
materi hukum positif yang di peroleh dari kegiatan mempelajari
bahan-bahan hukum terkait dimana bahan –bahan tersebut akan di
tambahkan dengan pendapat para ahli.
1.6.4 Metode Pengolahan Data
Metode pengolahan data yang digunakan adalah editing
yaitu membetulkan jawaban yang kurang jelas, meneliti jawaban
narasumber menyesuaikan jawaban yang satu dengan yang lainnya
1.6.5 Metode Analisa Data
Analisis hasil penelitian berisi uraian tentang cara-cara
analisis yang menggambarkan bagaimana suatu data terkumpul
untuk dipergunakan dalam memecahkan masalah penelitian,
berdasarkan prosedur pengumpulan bahan hukum diperoleh,
analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif yang diawali
dengan mengelompokkan data dan informasi yang sama menurut
sub aspek dan selanjutnya melakukan interprestasi keseluruhan
aspek yang menjadi pokok permasalahan penelitian yang dilakukan
secara induktif sehingga memberikan gambaran secara utuh,
ditetapkan langkah selanjutnya dengan memperhatikan dokumen
khusus yang menarik untuk diteliti yaitu kasus tindak pidana
korupsi yang lebih tepatnya yaitu masalah pembuktian terbalik
yang terdapat pada pasal 37, Pasal 38, UU No.31 tahun 1999 jo
UU No 20 tahun 2001 dengan demikian peneliti lebih fokus pada
masalah yang lebih spesifik.
1.6.6 Sistematika Penulisan
Pemaparan dari sistematika penulisan ini bertujuan supaya
di dalam proses penyampaian materi dari skripsi ini mudah
dimengerti dan dipahami. Sistematika penulisan ini di bagi menjadi
empat bab, yaitu :
Bab pertama Pendahuluan dalam bab ini penulis
pertama, tujuan penelitian dan manfaat penelitian, kajian pustaka
dan penelitian.
Berikutnya pada bab kedua ini adalah ulasan dari rumusan
masalah pertama yang berisi tentang problematika asas
pembuktian terbalik yang terdapat pada Pasal 37 Undang-undang
nomor 20 tahun 2001, apakah sudah diterapkan atau hanya sebagai
wacana belaka, dalam bab dua akan dijelaskan sesuai fakta
penelitian yang dilakukan penulis.
Bab ketiga adalah ulasan rumusan masalah yang kedua,
yaitu apa kendala yang menyebabkan penerapan asas beban
pembuktian terbalik, faktor apa saja yang menyebabkan baik faktor
internal atau eksternal dan pertimbangan hakim dalam menerapkan
asa ini.
Pada bab ke empat berisi tentang kesimpulan dan saran.
Pada bab ini akan menyimpulkan semua permasalahan yang ada
dalam penulisan skripsi ini dan telah di bahas, dan berisi
(Di Pengadilan Negeri Sur abaya )
2.1 Sistem dan Kekuatan Pembuktian
Sebelum kita membicarakan tentang penerapan perlu kita ketahui dahulu tentang Sistem dan kekuatan , dan system pembuktian adalah pengaturan tentang macam-macam alat bukti yang boleh dipergunakan, penguraian alat bukti dan dengan cara-cara bagaimana alat-alat bukti itu dipergunakan dan cara bagaimana hakim harus membentuk keyakinannya. Tujuan dan guna pembuktian bagi para pihak yang terlibat dalam proses pemeriksaan persidangan adalah: Pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan, merupakan bagian yang terpenting acara pidana.12
Dalam hal ini pun hak asasi manusia dipertaruhkan. Bagaimana
akibatnya jika seseorang yang didakwakan dinyatakan terbukti melakukan
perbuatan yang didakwakan berdasarkan alat bukti yang ada disertai
keyakinan hakim, padahal tidak benar. Untuk inilah maka hukum acara
pidana bertujuan untuk mencari kebenaran materiilberbeda dengan hukum
acara perdata yang cukup puas dengan kebenaran formal. Sejarah
perkembangan hukum acara pidana menunjukkan bahwa ada beberapa
sistem atau teori untuk membuktikan perbuatan yang didakwakan. Sistem
atau teori pembuktian ini bervariasi menurut waktu dan tempat (negara).
Yaitu seperti :
a. Sistem Pembuktian berdasarkan Undang-undang secara Positif
(Positief wetterlijk Bewijstheori)
Pembuktian yang didasarkan kepada alat-alat pembuktian yang disebut undang-undang, disebut sistem atau teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif (positief wettelijk bewijstheorie). Dikatakan secara positif, karena hanya didasarkan kepada undang-undang . Artinya jika telah terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti yang disebutkan oleh undang-undang, maka keyakinan hakim tidak diperlukan sama sekali. Sistem ini disebut juga teori pembuktian formal (formele bewijstheorie).13
Apabila dalam hal membuktikan telah sesuai dengan apa
yang telah ditentukan terlebih dahulu dalam undang-undang, baik
mengenai alat-alat buktinya maupun cara-cara mempergunakannya,
maka hakim harus menarik kesimpulan bahwa kesalahan terdakwa
melakukan tindak pidana telah terbukti. Keyakinan hakim sama sekali
tidak penting dan bukan menjadi bahan yang boleh dipertimbangkan
dalam hal menarik kesimpulan tentang kesalahan terdakwa melakukan
tindak pidana. Sistem ini mendasarkan kepada bahwa hakim hanya
boleh menentukan kesalahan tertuduh, bila ada bukti minimum yang
diperlukan oleh undang-undang. Jika bukti itu terdapat, maka hakim
wajib menyatakan bahwa tertuduh itu bersalah dan dijatuhi hukuman,
dengan tidak menghiraukan keyakinan hakim. Pokoknya: kalau ada
bukti (walaupun sedikit) harus disalahkan dan dihukum. Sistem ini
bertentangan dengan hak-hak asasi manusia, yang pada zaman
sekarang sangat diperhatikan dalam hal pemeriksaan tersangka atau
terdakwa oleh negara. Juga system ini sama sekali mengabaikan
perasaan nurani hakim. Hakim bekerja menyidangkan terdakwa
seperti robot yang tingkah lakunya sudah deprogram melalui
undang-undang. Sistem pembuktian ini menyandarkan diri pada alat bukti
saja, yakni alat bukti yang telah ditentukan oleh undang-undang.
Sistem ini yang dicari adalah kebenaran formal, sehingga sistem ini
dipergunakan dalam hukum acara perdata.
b. Sistem Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim
Menurut sistem ini, hakim dalam menjatuhkan putusan tidak
terikat dengan alat bukti yang ada. Darimana hakim menyimpulkan
putusannya tidak menjadi masalah. Ia hanya boleh menyimpulkan dari
alat bukti yang ada dalam persidangan atau mengabaikan alat bukti
yang ada dalam persidangan. Disadari bahwa alat bukti berupa
pengakuan terdakwa sendiri pun tidak selalu membuktikan kebenaran.
Pengakuan pun kadang-kadang tidak menjamin terdakwa benar-benar
telah melakukan perbuatan yang didakwakan. Oleh karena itu,
diperlukan bagaimana pun juga keyakinan hakim sendiri. Sistem ini
mengandung kelemahan yang besar. Sebagaimana manusia biasa,
hakim bisa salah keyakinan yang telah dibentuknya, berhubung tidak
ada kriteria, alat-alat bukti tertentu yang harus dipergunakan dan
syarat serta cara-cara hakim dalam membentuk keyakinannya itu.
Disamping itu, pada sistem ini terbuka peluang yang besar untuk
terjadi praktik penegakan hukum yang sewenang-wenang, dengan
kebebasan kepada hakim terlalu besar, sehingga sulit diawasi.
Disamping itu terdakwa atau penasehat hukumnya sulit untuk
melakukan pembelaan.
Dalam hal ini hakim dapat memidana terdakwa berdasarkan keyakinannya bahwa ia telah melakukan apa yang didakwakan. 40Hakim menyatakan telah terbukti kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana yang didakwakan dengan didasarkan keyakinannya saja, dan tidak perlu mempertimbangkan dari mana (alat bukti) dia memperoleh dan alasan-alasan yang dipergunakan serta bagaimana caranya dalam membentuk keyakinannya tersebut.14
c. Sistem Pembuktian Berdasar Keyakinan Hakim Atas Alasan Yang
Logis (Laconviction Raisonnee)
Sebagai jalan tengah, muncul sistem atau yang disebut pembuktian yang berdasar keyakinan hakim sampai batas tertentu (laconviction raisonnee) Menurut teori ini, hakim dapat memutuskan seseorang bersalah berdasar keyakinannya, keyakinan yang didasarkan kepada dasar-dasar pembuktian disertai dengan satu kesimpulan (conclusie) yang berlandaskan kepada peraturan-peraturan pembuktian tertentu. Jadi putusan hakim dijatuhkan dengan suatu motivasi.15
d. Sistem Pembuktian Berdasarkan Undang-undang secara Negatif
(Negatief Wettelijk)
Menurut sistem ini, dalam hal membuktikan kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, hakim tidak sepenuhnya mengandalkan alat-alat bukti serta dengan cara-cara yang ditentukan oleh undang-undang. Itu tidak cukup, tetapi harus disertai pula keyakinan bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana. Keyakinan yang dibentuk ini haruslah didasarkan atas fakta-fakta yang diperoleh dari alat bukti yang ditentukan dalam undang-undang. Kegiatan pembuktian didasarkan pada dua hal, yaitu
alat-alat bukti dan keyakinan yang merupakan kesatuan tidak dipisahkan, yang tidak berdiri sendiri-sendiri16
.Menurut sistem ini untuk menyatakan orang itu bersalah dan
dihukum harus ada keyakinan pada hakim dan keyakinan itu harus
didasarkan kepada alat-alat bukti yang sah, bahwa memang telah
dilakukan sesuatu perbuatan yang terlarang dan bahwa tertuduhlah
yang melakukan perbuatan itu. Hukum acara pidana kita ternyata
menganut sistem ini, seperti dapat ditarik kesimpulan dari Pasal 183
KUHAP, dahulu Pasal 294 HIR. yang berbunyi:
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”
Dari kalimat tersebut nyata bahwa pembuktian harus
didasarkan kepada undang-undang (KUHAP), yaitu alat bukti yang
sah tersebut dalam pasal 184 KUHAP, disertai dengan keyakinan
hakim yang diperoleh dari alat-alat bukti tersebut. Sebenarnya,
sebelum diberlakukan KUHAP, ketentuan yang sama telah ditetapkan
dalam Undang-undang pokok tentang Kekuasaan Kehakiman (UUPK)
Pasal 6 ayat (2) yang berbunyi sebagai berikut:“ Tidak seorang pun
dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat
pembuktian yang sah menurut undang-undang mendapat keyakinan,
bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab atas
perbuatan yang dituduhkan atas dirinya.” Sistem pembuktian ini
berpangkal tolak pada aturan-aturan pembuktian yang ditetapkan
secara limitative oleh undang-undang, tetapi hal itu harus diikuti
dengan keyakinan hakim.
2.1.1 Kekuatan Pembuktian
Kekuatan alat bukti atau juga dapat disebut sebagai efektivitas alat bukti terhadap suatu kasus sangat tergantung dari beberapa faktor. Sebut saja faktor itu adalah psiko-sosial (kode etika, kualitas sikap penegak hukum dan hubungan dengan warga masyarakat) dan partisipasi masyarakat. Salah satu fungsi hukum, baik sebagai kaidah maupun sebagai sikap tindak atau perilaku teratur adalah membimbing perilaku manusia, sehingga hal itu juga menjadi salah satu ruang lingkup studi terhadap hukum secara ilmiah. Suatu sikap tindak atau perilaku hukum dianggap efektif, apabila sikap atau perilaku pihak lain menuju ke satu tujuan yang dikehendaki : artinya apabila pihak lain itu mematuhi hukum. Tetapi kenyataan tidak jarang orang tidak mengacuhkan atau bahkan melanggar dengan terang-terangan, yang berarti orang itu tidak taat pada hukum. Untuk itu perlu adanya hal-hal seperti dibawa ini sebagai dasar pendukung dan aspek penting dalam proses pembuktian. Yaitu
1. Keterangan saksi 2. Keterangan ahli 3. Surat
4. Petunjuk, dan
5. Keterangan terdakwa17
Keterangan saksi
Dapat tidaknya seorang saksi dipercayai, tergantung dari banyak
hal yang harus diperhatikan oleh hakim. Dalam pasal 185 ayat (6),
dikatakan, dalam menilai keterangan saksi, hakim harus sungguh-sungguh
memperhatikan beberapa hal, yakni :
(a) persesuaian antara keterangan saksi satu dengan saksi yang lain
(b) persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti yang lain
(c) alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi memberikan keterangan
tertentu
(d) cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada
umumnya dapat mempengaruhi dapat / tidaknya keterangan saksi itu
dipercaya.
Jika hakim harus berpegang pada ketentuan tersebut, maka setiap
saksi harus dinilai mengenai cara hidup serta sesuatu yang pada umumnya
dapat berpengaruh pada cara hidup dan kesusilaan. Seperti adat istiadat,
martabat, kebiasaan, pergaulan dan lain-lain, dapatlah dibayangkan hal itu
tidak mudah dilaksanakan. Oleh karena itu dalam hal ini diberikan
kebebasan kepada hakim untuk memberi penilaiannya.
Keterangan saksi yang dinyatakan di muka sidang harus mengenai
apa yang ia lihat dengan mata kepala sendiri, ia dengar dengan telinganya
sendiri, ia rasakan dengan perasaannya sendiri, ia alami dengan panca
indranya sendiri, adalah keterangan saksi sebagai alat bukti, yang disebut
dalam pasal 185 ayat (1) KUHAP.
Keterangan saksi yang diperoleh dari pihak ketiga (orang lain), misalnya pihak ketiga menceritakan tentang suatu kejadian tabrakan mobil. Maka kesaksian demikian disebut testimonium de auditu. Keterangan saksi yang demikian tidak dapat diartikan sebagai saksi, menurut pasal 185 ayat (1), tetapi dapat dianggap sebagai tambahan alat bukti, asal dipenuhi pasal 185 ayat (7).18
Dalam setiap kesaksian harus disebutkan alasan saksi mengapa
memberikan keterangan ini, atau dengan kata lain segala sebab tentang
pengetahuan saksi. Jadi, saksi harus memberikan keterangan tentang sebab
musababnya tentang suatu kasus yang sedang diperiksa. Misalnya : saksi
memberikan keterangan tentang jual beli itu. Keterangan demikian kurang
cukup, dan perlu diperdalam lagi, dengan keterangan mengapa ia melihat
jual beli itu; misalnya karena perjanjian jual beli itu dilakukan di
rumahnya dan saksi membuatkan perjanjian itu. Suatu keterangan saksi
tanpa disertai alasan sebab musabab atau alasan pengetahuannya, harus
dianggap sebagai alat bukti kurang sempurna (pasal 185 ayat (6), huruf c
KUHAP). Kemudian ditegaskan dalam pasal 185 ayat (5), bahwa pendapat
atau rekaan (rekayasa) yang diperoleh dari hasil pemikiran saja, bukan
merupakan keterangan saksi. Jadi, rekayasa pendapat dari hasil akal (ratio
concludendi) tidak dianggap sebagai keterangan saksi19. Dalam
memberikan keterangan saksi diharuskan bersumpah atau berjanji menurut
agama atau kepercayaan masing-masing, sehingga memiliki nilai
kesaksian sebagai alat bukti. Apabila keterangan saksi tidak disertai
dengan penyumpahan, maka meskipun keterangan itu sesuai dengan satu
dan lainnya, tidak merupakan alat bukti, sebagaimana saksi yang
disumpah. Keterangan demikian hanya dapat dipergunakan sebagai
tambahan alat bukti yang sah. (pasal 185 ayat 7). Akhirnya, hakim tidak
boleh menjatuhkan putusan pidana kepada terdakwa hanya didasarkan
kepada satu saksi saja, oleh karena satu saksi kurang mencukupi alasan
minimum alat bukti dan dianggap sebagai alat bukti yang kurang cukup
(pasal 185 ayat 2). Artinya kekuatan pembuktian dengan satu saksi saja
tidak dianggap sempurna oleh hakim. Ketentuan pasal 185 ayat (2) ini
dianggap tidak berlaku, apabila disertai dengan suatu alat bukti sah lainnya
(pasal 185 ayat 3).
Sering terjadi dalam praktek, dalam suatu peristiwa dibutuhkan
beberapa orang saksi dalam arti bahwa seorang saksi dengan saksi lain
pengetahuannya berbeda atau seorang saksi hanya mengetahui satu fase
dari keseluruhan kejadian, hingga perlu adanya beberapa saksi untuk
didengar keterangannya. Jadi, penilaian terhadap beberapa saksi itu
masing-masing berdiri sendiri-sendiri dan terpisah satu sama lain tentang
pelbagai peristiwa untuk membuktikan satu peristiwa diserahkan kepada
kebijaksanaan hakim.
Dalam KUHP tidak diatur mengenai kejadian bila mana seseorang
saksi didengar keterangannya oleh penyidik oleh penyidik kemudian
meninggal dunia atau karena suatu sebab yang sah tidak dapat hadir dalam
persidangan. Hingga berita acara itu dibacakan saja. Biasanya dalam
praktek. Dalam saksi memberikan keterangan dimuka penyidik tidak
disumpah. Karena demikian maka pertimbangan mengenai nilai kesaksian
diserahkan kepada kebijaksanaan hakim.
Dari keterangan pihak untuk memperoleh kebenaran sejati, hakim
dapat meminta bantuan seorang ahli, dalam praktek sering disebut sebagai
saksi (expertis, deskundigen). Keterangan ahli merupakan keterangan yang
diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus dan obyektif
dengan maksud membuat terang suatu perkara atau guna menambah
pengetahuan hakim sendiri dalam suatu hal.
Sebagai asas dalam peradilan. Hakim tidak boleh menolak suatu
pekerjaan yang diajukan kepadanya sekalipun hukum atau undang-undang
tidak mengaturnya, ia harus menemukan hukum itu. Hal itu bukan berarti
hakim dianggap tahu segalanya atau dianggap sebagai manusia serba tahu,
karena itu ia membutuhkan dan menggunakan keterangan seorang ahli
agar memperoleh pengetahuan yang mendalam tentang suatu hal yang
menyangkut perkara yang ditanganinya. Misalnya mengenai kebakaran,
hakim membutuhkan pengetahuan tentang kelistrikan maka dipanggillah
saksi atau jabatan runtuh maka dalam kaitan ini dibutuhkan keterangan
ahli beton bertulang.
Mengenai saksi ahli diatur dalam pasal 160 ayat (4) yang
menetapkan bilamana pengadilan menganggap perlu, seseorang ahli wajib
bersumpah atau berjanji sesudah ahli itu selesai memberikan keterangan,
dan dalam pasal 161 ayat (2) ditentukan saksi ahli yang tidak disumpah
atau mengucapkan janji tidak dapat dianggap sebagai alat bukti yang sah
tetapi hanya memerlukan keterangan yang dapat mengangkat keyakinan
Siapa atau apa yang disebut sebagai ahli tidak diberi penjelasan
oleh KUHAP, sehingga dengan demikian tentang ahli atau tidaknya
seseorang tidak ditentukan oleh pengetahuan atau keahliannya yang
khusus tetapi ditentukan oleh karena panggilan pengadilan yang wajib
dipenuhi. Oleh karena itu, seseorang ahli yang disidik oleh penyidik dalam
rangka membuat terang suatu khusus wajib mengundurkan diri. Dalam
praktek di negara kita, pengadilan formal yang menjadi ukurannya.
Seharusnya perlu ditambahkan syarat pengalaman dalam salah satu
bidang.
Dalam pasal 1 butir 28 dan pasal 186 menimbulkan persoalan, jika
dihubungkan dengan penjelasan pasal 133 ayat (2) yang berbunyi :
“Keterangan yang diberikan oleh ahli kedokteran kehakiman disebut oleh
dokter bukan kedokteran kehakiman disebut keterangan.”
Menurut penulisan, keterangan ahli kedokteran keahlian atau
keterangan yang dimaksud dalam pasal 133 diberikan dalam proses
penyidikan. Jadi bukan dalam sidang, sehingga sebagai alat bukti “surat”
(pasal 184 sub s), sedang apabila keterangan dokter bukan ahli kehakiman
diberikan dalam sidang, harus dianggap sebagai alat bukti “keterangan
seksi” (pasal 184 sub a).
Apabila keterangan saksi dan keterangan ahli, maka ada perbedaan
antara kedudukan saksi dan kedudukan ahli, antara lain sebagai berikut:
1. Saksi memberi keterangan sebenarnya mengenai peristiwa yang ia
sedangkan ahli memberi keterangan mengenai penghargaan dari
hal-hal yang sesudah ada dan mengambil kesimpulan mengenai sebab dan
akibat perbuatan terdakwa;
2. Pada saksi dikenal adanya asas unus testis nullus testis yang tidak
dikenal pada ahli, sehingga dengan keterangan ahli saja, hakim
membangun keyakinannya dengan alat-alat bukti yang lain.
3. Saksi dapat memberi keterangan dengan lisan dan ahli dapat memberi
keterangan lisan maupun tulisan.
4. Hakim bebas memilih keterangan saksi dan hakim tidak wajib turut
kepada pendapat, kesimpulan dan saksi ahli bilamana bertentangan
dengan keyakinan hakim.
5. Kedua alat bukti: saksi dan saksi ahli digunakan hakim dalam
mengajar dan mencari kebenaran sejati.
Sur at
Surat adalah penawaran tanda tangan bacaan yang berarti
menerjemahkan suatu pikiran. Atas bahan apa dicantumkannya tanda baca
ini di atas kertas, karton kayu atau kain adalah tidak penting. Juga tidak
penting apakah tanda baca itu terdiri dari huruf yang kita kenal atau dari
huruf Cina, tanda stenografi atau dari tulisan rahasia yang disusun sendiri.
Tidak termasuk dalam kata surat adalah foto dan peta; barang-barang ini
tidak memuat tanda bacaan. Seperti hal nya Seseorang menerima sejumlah
uang atau barang, baru merasa dirinya aman jika ia memberi suatu tanda
atau surat tanda terima itu kemudian hari dapat dipergunakan terhadap
dirinya sebagai bukti bahwa ia benar telah menerima uang atau barang itu.
Pada dasarnya, semua bukti tulisan itu merugikan atau
memberatkan bagi orang yang menulisnya atau si pembuat. Pengecualian
terhadap asa ini terdapat dalam pasal 7 Kitab Undang-Undang Hukum
Dengan yang mengatakan “Hakim adalah bebas untuk kepentingan
masing-masing akan memberi kekuatan bukti sedemikian rupa kepada
pemegang buku setiap pengusaha, sebagaimana menurut pendapatnya
dalam tiap-tiap kejadian khusus harus diberikannya.” Ketentuan ini juga
terdapat dalam pasal 167 HIR. Atau dengan kata lain, ada kemungkinan
bahwa pemegang buku itu menguntungkan pembuatannya.
Surat sebagai alat bukti disebutkan dalam pasal 184 dan diatur
dalam pasal 187. lengkapnya pasal 187 berbunyi : “Surat sebagaimana
tersebut pada pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau
dikuatkan dengan sumpah adalah :
a. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh
pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang
memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar,
dilihat atau yang dialami sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan
tegas tentang keterangan itu:
b. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan
tatalaksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan
bagi pembuktian suatu hal atau suatu keadaan:
c. Surat keterangan dari seseorang ahli yang memuat pendapat
berdasarkan keahliannya mengenai suatu hal atau yang diminta secara
resmi daripadanya;
d. Surat lain yang hanya berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari
alat pembuktian yang lain.
Kiranya, pasal 187 ini ditiru pasal 83 UU No. 1 tahun 1950
(dengan berbeda redaksi), minus “putus secara sah diambil oleh badan
pengadilan atau hakim” tidak ada penjelasan terhadap ketentuan pasal 187
tentang ketentuan pembuktian dari surat resmi (openbaar) dan
surat-surat bisa (bijzonder) didalam Hukum Acara Perdata dapat diterapkan
dalam penelitian Hukum Acara Pidana, seperti disebutkan dalam pasal 304
HIR. Oleh karena itu diserahkan kepada pertimbangan hakim.95 Ketegasan
kepada pasal 52, yang harus diartikan bahwa tersangka ataupun saksi
dalam pemeriksaan penyidik memberikan keterangan secara bebas.
Kemudian, keterangan terdakwa sebagai alat bukti disebut dalam
pasal 184 sub e dan juga disebut dalam pasal 188, tentang kadar tersangka
di muka penyidik (pasal 52 jo pasal 117), artinya terdakwa memberikan
keterangan secara bebas.
Menurut penulisan, pasal 295 HIR yang menyebut “pengakuan”
(bekentenis)” sebagai alat bukti dan pasal 307 HIR yang menyebut
(bewijstkracht), berbeda kadar atau derajat dengan “keterangan terdakwa”
dalam pasal 184 sub e dan pasal 189 KUHAP sebagai alat bukti dan
ketentuan pembuktian sebab yang terakhir ini diberikan secara bebas.
Maka dalam pasal 189 ayat (1) diberikan batasan didalam operasional alat
bukti “keterangan terdakwa” ialah apa yang dinyatakan oleh terdakwa di
sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia lakukan atau yang
ia ketahui atau alami sendiri. Bilangan pasal 189 ayat (1) ini dibandingkan
dengan pasal 1 butir 27, yang memberikan batasan tentang keterangan
saksi sebagai alat bukti berupa keterangan mengenai suatu peristiwa
pidana yang ia dengan sendiri, ia lihat sendiri, ia alami sendiri. Jadi kedua
pasal tersebut ada persamaan wajib memberi keterangan yaitu keterangan
dari apa yang sesungguhnya terjadi (de materieele waarheid) Selain itu
keterangan terdakwa dapat berisi:
1. Pembenaran seluruhnya atau sebagai perbuatan yang disebut dalam
surat terdakwa.
2. Penyangkalan seluruhnya atau sebagian perbuatan yang disebutkan
dalam surat terdakwa.
Oleh karena pengertian keterangan terdakwa mempunyai makna
lebih luas daripada pengertian pengakuan salah, penulis tidak
menggunakan kata “keterangan salah” atau “ pengakuan salah”, sebab
kedua terminologi tersebut berkonotasi sebagai sesuatu yang berlawanan
atau prinsip presumption of innocence. Dikatakan terdakwa bermasalah
pidana kepadanya. Yang menjadi masalah ialah bagaimana jika terdakwa
mencabut keterangannya dahulu yang dibuat di muka penyidik dan
bagaimana penilaian terhadap keterangan terdakwa? Menurut penulisan,
hakim dalam menghadapi masalah ini harus berprinsip pada keterangan
terdakwa sebagai alat bukti. Yaitu apa yang ia nyatakan dalam
persidangan. Pencabutan keterangan terdakwa atas keterangannya yang di
muka penyidik harus dibuktikan adanya paksaan dan atau tekanan. Kedua
alasan itu disebut didalam penjelasan pasal demi pasal tidak liminatif,
tetapi jika ada alasan lain yang tepat dan masuk akal (aannemelikjk),
misalnya salah faham dalam pengertian satu hal maka pencabutan itu
dapat diterima baik.
Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat
dipergunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang, asal
keterangan itu didukung oleh satu alat bukti yang sah sepanjang mengenai
hal yang didakwakan kepadanya (pasal 189 ayat 2).
HUHAP memberi pengesahan bahwa keterangan terdakwa di muka
sidang hanya merupakan bukti bagi diri sendiri, dan tidak bagi kawan
terdakwa (mede beklaagde) (pasal 189 ayat 3). Didalam praktek sering
terjadi bahwa terdakwa menyeret kawannya menjadi made beklaagde,
hanya karena balas dendam atau alasan lain. Berkenan dengan penerapan
alat-alat bukti yang bermacam-macam itu. KUHP memberikan tekanan
bahwa keterangan bagi terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan
kepadanya melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain (pasal 189
ayat 4). Ketentuan ini, menurut penulis memberikan pengesahan bahwa
KUHAP menganut pembuktian menurut undang-undang secara negatif
(negatief wettelijke bewijstheorie).
Petunjuk
Pengertian petunjuk diatur dalam pasal 188 ayat (1) adalah
perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya, baik antara
satu dengan yang lain maupun dengan tindakan pidana itu sendiri
menandakan bahwa telah terjadi suatu ti