• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGANIAYAAN DALAM KEGIATAN MILITER TERHADAP ANGGOTA (Studi Kasus Putusan Nomor : 06-K/PMT.III/AL/IX/2010).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENGANIAYAAN DALAM KEGIATAN MILITER TERHADAP ANGGOTA (Studi Kasus Putusan Nomor : 06-K/PMT.III/AL/IX/2010)."

Copied!
63
0
0

Teks penuh

(1)

(Studi Ka sus Putusan Nomor : 06-K/PMT.III/AL/IX/2010)

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi per syar atan memper oleh Gelar Sar jana Hukum pada Fakultas Hukum UPN “Veter an” J awa Timur

Oleh :

BINAR SUNU RISTIARDI NPM : 0871010115

YAYASAN KESEJ AHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” J AWA TIMUR

FAKULTAS HUKUM

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM SURABAYA

(2)

(Studi Kasus Putusan Nomor : 06-K/PMT.III/AL/IX/2010)

Disusun Oleh :

Binar Sunu Ristiardi NPM. 0871010115

Telah disetujui untuk mengikuti Ujian Skripsi Menyetujui,

Pembimbing Utama

Mas Anienda TF, SH., MH NPT. 3 7709 07 0223

Mengetahui DEKAN

(3)

PENGANIAYAAN DALAM KEGIATAN MILITER TERHADAP ANGGOTA (Studi Kasus Putusan Nomor : 06-K/PMT.III/AL/IX/2010)

Oleh :

Binar Sunu Ristiardi 0871010115

Telah dipertahankan dihadapan dan diterima oleh Tim Penguji Skripsi Progam Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum

(4)

(Studi Kasus Putusan Nomor : 06-K/PMT.III/AL/IX/2010)

Oleh :

Binar Sunu Ristiardi 0871010115

Telah direvisi dan diterima oleh Tim Penguji Skripsi Progam Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum

Univer sitas Pembangunan Nasional “Veteran” J awa Timur Pada tanggal : 9 J uli 2013

Menyetujui,

Pembimbing Utama Tim Penguji :

1.

Mas Anienda TF, SH., MH Subani, SH.,M.Si.

NPT. 3 7709 07 0223 NIP. 19510504 198303 1 001 2.

Yana Indawati, SH., M.Kn NPT. 3 7901 07 0224 3.

Mas Anienda TF, SH., MH NPT. 3 7709 07 0223

Mengetahui, DEKAN

(5)

v

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Binar Sunu Ristiardi

Tempat / Tgl Lahir : Surabaya, 3 Agustus 1988

NPM : 0871010115

Program Studi : Ilmu Hukum

Alamat : Jl. Pacarkembang 5c No. 25, Surabaya.

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa skripsi saya dengan judul :

“PENGANIAYAAN DALAM KEGIATAN MILITER TERHADAP ANGGOTA” dalam rangka memenuhi syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur adalah benar-benar hasil karya cipta sendiri, yang saya buat dengan ketentuan yang berlaku, bukan hasil jiplakan ( plagiat ).

Apabila di kemudian hari ternyata skripsi ini hasil jiplakan (plagiat) maka saya bersedia dituntut di depan Pengadilan dan dicabut gelar kesarjanaan ( Sarjana Hukum ) yang saya peroleh.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya dengan penuh rasa tanggung jawab atas segala akibat hukumnya.

Mengetahui Surabaya, 16 Juni 2013

Pembimbing Utama Penulis

(6)

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji syukur atas kehadirat TUHAN Yang Maha Esa

yang telah melimpahkan rahmat dan karuniaNYA, sehingga penulis dapat

menyelesaikan Proposal skripsi ini dengan judul : Penganiayaan Dalam Kegiatan

Militer Ter hadap Anggota ( Studi Kasus Nomor : 06 K/PMT.III/AL/IX/2010 ).

Penulisan skripsi ini disusun guna memenuhi persyaratan dalam

penyusunan skripsi Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Pembangunan

Nasional “Veteran” Jawa Timur. Dimaksudkan sebagai wahana untuk menambah

wawasan serta untuk menerapkan dan membandingkan teori yang telah diterima

dengan keadaan sebenarnya di lapangan. Di samping itu juga diharapkan dapat

memberikan bekal tentang hal-hal yang berkaitan dengan disiplin ilmunya sebelum

mengadakan penelitian guna penyusunan skripsi.

Penulisan skripsi ini dapat terselesaikan atas bantuan, bimbingan dan

dorongan oleh beberapa pihak, maka pada kesempatan ini penulis mengucapkan

banyak terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Haryo Sulistiyantoro, S.H.,M.M selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas

Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.

2. Laksda TNI A.R. Tamopubolon, S.H., M.H. selaku kepala di Pengadilan Militer

Tinggi III Surabaya.

3. Bapak Sutrisno, S.H.,M.Hum selaku Wadek I Fakultas Hukum Universitas

(7)

4. Bapak Drs. Ec. Gendut Sukarno, MS selaku Wadek II Fakultas Hukum Universitas

Pembangunan Nasional “ Veteran” Jawa Timur.

5. Kolonel Laut CHK Maryanto, S.H., M.H. selaku Katera di Pengadilan Militer

Tinggi III Surabaya.

6. Bapak Subani, SH.,M.Si selaku Kaprogdi Fakultas Hukum Universitas

Pembangunan Nasional “ Veteran” Jawa Timur.

7. Mas Anienda TF, SH, MH selaku Dosen Pembimbing yang telah berkenan

membimbing dan memberikan pengarahan kepada penulis dengan meluangkan

waktunya di Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa

Timur

8. Kapten Surya,S.H. selaku Pembimbing magang selama penulis melakukan magang

di Pengadilan Militer Tinggi III Surabaya

9. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional

“Veteran” Jawa Timur.

10.Seluruh Staf dan Karyawan Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional

“Veteran” Jawa Timur.

11.Seluruh staf kepegawaian di Pengadilan Militer Tinggi III Surabaya yang telah

membantu memberikan saran dan masukan maupun memberikan support dan

motivasi sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

12.Kedua orang tua, serta seluruh saudara-saudara penulis yang telah memberikan

dukungan moril maupun materiil untuk selesainya proposal skripsi ini.

(8)

Arga Dinar, Windhu Bagus Prakoso, dan Retno Puji Astutik yang telah membantu

dan memberikan saran sebagai masukan di dalam pembuatan skripsi hingga selesai

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari

sempurna, oleh karena itu saran dan kritik yang sifatnya membangun penulis

diharapkan guna memperbaiki dan menyempurnakan penulisan yang selanjutnya,

sehingga laporan praktek magang ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Surabaya, 12 Juni 2013

(9)

ix

HALAMAN J UDUL ... i

HALAMAN PERSETUJ UAN MENGIKUTI UJ IAN SKRIPSI ... ii

HALAMAN PERSETUJ UAN DAN PENGESAHAN SKRIPSI ... iii

HALAMAN REVISI DAN PENGESAHAN SKRIPSI ... iv

HALAMAN PERNYATAAN ... v

KATA PE NGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

ABSTRAKSI ... xiv

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

1. Latar Belakang Masalah ... 1

2. Rumusan Masalah ... 10

3. Tujuan Penelitian ... 10

3.1 Tujuan Obyektif ... 11

3.2 Tujuan Subyektif ... 11

4. Manfaat Penelitian ... 12

4.1 Manfaat Teoritis ... 12

4.2 Manfaat Praktis ... 12

(10)

x

5.2 Pengertian Tindak Pidana Penganiayaan Menurut KUHP ... 14

5.2.1 Kejahatan Terhadap Tubuh (Penganiayaan) ... 15

6. Metode Penelitian ... 24

6.1 Jenis dan Tipe Penelitian... 24

6.2 Pendekatan Masalah ... 25

7. Sumber Data ... 26

8. Metode Pe ngumpulan Data dan Pengolahan Data ... 26

9. Metode Analisis Data ... 27

10. Lokasi Penelitian ... 27

11. Waktu Penelitian ... 28

12. Sistematika Penulisan Skripsi ... 28

BAB II. BAGAIMANA UNSUR – UNSUR TINDAK PIDANA MILITER ... 30

2.1 Unsur – unsur Tindak Pidana Penganiayaan ... 30

2.2 Prosedur Penyelesaian Tindak Pidana Penganiayaan Yang Dilakukan Oleh Anggota Militer Terhadap Anggota Militer ... 35

BAB III. PERLINDUNGAN HUKUM BAGI ANGGOTA MILTER YANG MENJ ADI KORBAN TINDAK PIDANA ... 40

(11)

xi

3.2 Pemenuhan Hak – Hak Korban Tindak Pidana Penganiayaan ... 42

BAB. IV PENUTUP ... 45

4.1 Kesimpulan ... 45

4.2 Saran ... 46

DAFTAR PUSTAKA

(12)
(13)

xiii

Lampiran 1 : Kartu Bimbingan Skripsi

Lampiran 2 : Surat Penelitian

(14)

xiv

Tempat Tanggal Lahir : Surabaya, 3 Agustus 1988

Program Studi : Strata 1 ( S1)

Judul Skripsi :

PENGANIAYAAN DALAM KEGIATAN MILITER TERHADAP ANGGOTA (Studi Ka sus Pengadilan Tinggi Militer III Sur abaya)

Nomor : 06-K/PMT.III/AL/IX/2010

ABSTRAKSI

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui unsur – unsur tindak pidana penganiayaan yang dilakukan anggota militer dan bagaimana perlindungan hukum bagi anggota militer yang menjadi korban penganiayaan. Penelitian ini dilakukan di Pengadilan Militer Tinggi III Surabaya. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif yaitu penelitian perpustakaan atau studi dokumen. Sumber data diperoleh dari sumber data sekunder dengan bahan pustaka yang menurut kekuatan mengikatnya digolongkan ke dalam bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Penelitian ini berisi tentang unsur-unsur atas penganiayaan yang dilakukan anggota militer terhadap anggota militer lain yang terdiri dari unsur barang siapa, unsur dengan sengaja, dan unsur menimbulkan rasa sakit atau luka pada orang lain yang mana terdakwa telah dikenakan Pasal 351 ayat (1) KUHP terdakwa dijerat dengan hukuman penjara selama 4 bulan masa penjara dan 6 bulan masa percobaan. Perlindungan hukum dan hak – hak yang diberikan kepada anggota militer yang menjadi korban penganiayaan dilaksanakan oleh pihak pengadilan militer dan dibantu oleh kepolisian militer serta oditurat setempat dimana kasus yang disidangkan.

.

(15)

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Negara yang berdasar atas hukum dan bukan Negara atas kekuasaan, maka kedudukan harus ditempatkan di atas segala–galanya. Setiap perbuatan harus sesuai dengan aturan hukum tanpa terkecuali. Salah satunya tindak pidana penganiayaan yang saat ini sering kali terjadi. Perbuatan tersebut dapat memberikan rasa ketakutan pada masyarakat karena bisa saja mereka yang akan menjadi korban berikutnya. Dalam hal ini pihak kepolisian dan masyarakat berantusias untuk membasmi penyakit masyarakat yang bisa saja dapat merugikan orang yang menjadi korbannya.

Pembangunan di bidang hukum khususnya hukum pidana, tidak hanya berada dalam lingkup struktural, yaitu instansi-instansi hukum yang bergerak dalam suatu jalur tetapi juga harus mencakup pembangunan substansi beerupa produk-produk yang merupakan hasil suatu sistem hukum dalam bentuk peraturan hukum pidana dan yang bersifat kultural yaitu sikap-sikap dan nilai-nilai yang mempengaruhi berlakunya sistem hukum.

(16)

atau penganiayaan. Tindak kekerasan dalam masyarakat sebenarnya bukan suatu hal yang baru. Tindak kekerasan sering dilakukan bersama maupun sendiri. Tindak pidana tersebut dilakukan dengan kekerasaan atau ancaman kekerasan, Sedangkan cara bagaimana kekerasaan dilakukan atau alat bukti apa yang dipakai, Masing-masing tergantung pada kasus yang timbul. Perbuatan tersebut dapat menimpa siapa saja, baik laki-laki maupun perempuan dari anak-anak sampai dewasa. Tindak kekerasan merupakan jenis kejahatan yang pada umumnya melibatkan pelaku dan korban sedangkan bentuk tindak kekerasan bisa berupa kekerasan fisik dan kekerasan verbal (ancaman kekerasan). Pelaku dan korban tindak kekerasan bisa menimpa siapa saja, tidak dibatasi oleh strata, status sosial, tingkat pendidikan, dan suku bangsa.

Terdapat banyak istilah yang dipakai dalam hukum pidana, yaitu “tindak pidana”. Istilah ini, karena tumbuhnya dari pihak kementrian kehakiman sering dipakai dalam perundang-undangan. Meskipun kata “tindak” lebih pendek dari pada “perbuatan” tapi “tindak” tidak menunjuk kepada hal yang abstrak seperti perbuatan, tapi hanya menyatakan keadaan konkrit1 . Istilah “Peristiwa Pidana” atau “Tindak Pidana”adalah sebagai terjemahan dari bahasa Belanda “strafbaar feit” yaitu suatu tindakan pada tempat, waktu dan keadaan tertentu yang dilarang (atau diharuskan) dan diancam dengan pidana oleh undang-undang, bersifat melawan hukum, serta dengan kesalahan, dilakuan oleh seseorang ( yang mampu bertanggung jawab ). Mengenai tindak pidana yang penulis bahas adalah tindak pidana terhadap tubuh yang bisa

1

(17)

disebut juga sebagai penganiayaan. Banyak beberapa model dan macam penganiayaan telah dilakukan dikalangan masyarakat sehingga dapat menimbulkan kematian. Dalam KUHP itu sendiri telah menjelaskan dan mengatur tentang macam-macam dari penganiayaan beserta akibat hukum apabila melakukan pelanggaran tersebut, pasal yang menjelaskan tentang masalah penganiayaan ini sebagian besar adalah pasal 351 sampai dengan pasal 355, dan masih banyak pula pasal – pasal lain yang berhubungan dengan pasal tersebut yang menjelaskan tentang penganiayaan. Secara umum tindak pidana terhadap tubuh pada KUHP disebut “penganiayaan”, mengenai arti dan makna kata penganiayaan tersebut banyak perbedaan diantara para ahli hukum dalam memahaminya. Penganiayaan diartikan sebagai “perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atas luka pada tubuh orang lain”. Ada pula yang memahami penganiayaan adalah “dengan sengaja menimbulkan rasa sakit atau luka, kesengajaan itu harus dicantumkan dalam surat tuduhan”, sedangkan dalam doktrin/ilmu pengetahuan hukum pidana penganiayaan mempunyai unsur sebagai berikut :

a. Adanya kesengajaan. b. Adanya perbuatan.

c. Adanya akibat perbuatan ( yang dituju ), yakni : 1) rasa sakit pada tubuh.

(18)

Unsur pertama adalah berupa unsur subjektif (kesalahan), unsur kedua dan ketiga

berupa unsur objektif.2

Unsur pertama adalah berupa unsur subjektif ( kesalahan ), unsur kedua dan ketiga berupa unsur objektif. Kejahatan tindak pidana yang dilakukan terhadap tubuh dalam segala perbuatan-perbuatannya sehinnga menjadikan luka atau rasa sakit pada tubuh bahkan sampai menimbulkan kematian bila kita lihat dari unsur kesalahannya, dan kesengajaannya diberikan kualifikasi sebagai penganiayaan ( mishandeling ), yang dimuat dalam BAB XX Buku II, pasal 351 s/d 356.

Penganiayaan menurut mengatakan bahwa penganiayaan adalah perlakuan sewenang-wenang ( penyiksaan, penindasan, dan sebagainya ). Adapula yang memahami penganiayaan adalah “dengan sengaja menimbulkan rasa sakit atau luka, kesengajaan itu harus dicantumkan dalam surat tuduhan”.

Banyak kenyataan yang sampai saat ini sangat kurangnya wacana - wacana ataupun wawasan kepada masyarakat lain terutama masyarakat sipil tentang hukum militer di Negara Republik Indonesia. Kata militer berasal dari “miles” dari bahasa Yunani yang berarti Orang yang bersenjata dan siap untuk bertempur, yaitu orang orang yang sudah terlatih untuk menghadapi tantangan atau ancaman pihak musuh yang mengancam keutuhan suatu wilayah atau

2

Makmum Anshory, Pidana Penganiayaan,

(19)

negara3. Sumbangan - sumbangan pikiran bagaimanapun kecilnya tentu sangat dibutuhkan dalam rangka pembuatan undang-undang tentang hukum pidana militer khususnya yang bersifat nasional.

Banyak masyarakat umum yang menilai bahwa peradilan militer bersifat tertutup, sehingga banyak masyarakat umum yang menilai negatif tentang pelaksaan hukum terhadap oknum anggota TNI yang telah melakukan suatu kesalahan tidak berjalan semaksimal atau seadil – adilnya dan menilai putusan pengadilan militer dalam memberikan hukuman bagi anggota militer yang bersalah melakukan tindak pidana tergholong ringan. Hal itu dikarenakan minimnya informasi dari pihak dalam untuk menginformasikan ke masyarakat luar terutama warga sipil. Sehingga banyak yang menilai peradilan militer tidak berjalan semaksimal atau seadil – adilnya dan menilai putusan pengadilan militer meringankan anggota militer yang telah melakukan suatu pelanggaran. Karenna itulah hukum militer dipandang sebelah mata, sebenarnya hukum militer sama saja dengan hukum pada umumnya, hanya saja hukum militer berlaku khusus untuk anggota TNI saja.

Pada umumnya seorang anggota miiliter atau TNI memiliki kedudukan yang sama dengan warga sipil lainnya. Yang dimana seorang anggota militer tidak memiliki kedudukan khusus didalam suatu aturan hukum baik itu hukm pidana maupun hukum perdata. Justru hukum atau aturan – aturran yang ada di dalam kemiliteran lebih banyak dibandingkan dengan

3

(20)

hukum atau aturan – aturan yang berlaku pada masyarakat umum atau warga umum lainnya.

Mahkamah membentuknya lembaga peradilan militer tidak lain adalah untuk menindak para anggota TNI yang lalai dalam melaksanakan tugas sampai melakukan tindak pidana, menjadi salah satu alat kontrol bagi anggota TNI dalam menjalankan tugasnya, sehingga dapat membentuk dan membina TNI yang kuat, profesional dan taat hukum karena tugas TNI sangat besar untuk mengawal dan menyelamatkan bangsa dan negara. Setiap anggota militer tinggi ataupun rendah wajib menegakkan kehormatan militer dan selalu memikirkan perbuatan-perbuatan atau ucapan-ucapan yang dapat menodai atau merusak nama baik kemiliteran. Tentara Nasional Indonesia ( TNI ) merupakan alat negara yang bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara. Setiap negara memerlukan angkatan bersenjata yang tangguh dan professional untuk melindungi keutuhan wilayah menegakan kedaulatan, melindungi warga negaranya dan menjadi perekat persatuan bangsa.

(21)

dan Polri sebagai alat Negara yang tugasnya lebih berorientasi kepada penciptaan keamanan dan ketertiban masyarakat guna melindungi, mengayomi, melayani masyarakat serta menegakkan hukum.

Peradilan Militer diberi wewenang oleh Undang-Undang sebagai peradilan khusus yang memeriksa dan mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh golongan penduduk yang tersusun secara organisasi dalam TNI, yang secara khusus dibentuk untuk melaksanakan tugas Negara dibidang menyelenggarakan Pertahanan Negara yang ditundukkan dan diberlakukan Hukum Militer.

Tidak dapat disangkal bahwa seorang militer harus merupakan warga negara yang baik, bahkan seharusnya yang terbaik. Dalam rangka pelaksanaan tugas yang dibebankan ke pundaknya, maka selain sebagai warga negara yang baik ia harus mempunyai kemampuan dan sifat-sifat yang patriotik, ksatria, tabah dalam menjalankan kewajiban dinasnya dalam keadaan bagaimanapun juga, menjunjung tinggi sikap keprajuritan dan memiliki rasa disiplin serta kepribadian yang tinggi yang diharapkan akan menjadi panutan bagi masyarakat sekitarnya, serta menjadi tumpuan harapan untuk membela negara dan martabat bangsa.

(22)

bawahan atau penganiayaan karena sifat atau sikap dari salah satu anggota militer yang memicu tindakan penganiayaan itu sendiri.

Kasus yang penulis bahas yaitu pada hari Senin, 19 Januari 2010 sekitar pukul 08.00 WITA di ruang rapat Lanudal Kupang, saat berlangsungnya brefing komando bagi anggota Lanudal Kupang. Terdakwa melakukan pemukulan terhadap Serda Muhtar dengan menggunakan tangan kosong yaitu dengan telapak tangan terbuka kearah kedua pipi dan dengan tangan yang dikepalkan diarahkan ke bagian perut serta tangan yang dikepalkan seperti orang yang menjitak diarahkan ke kening bagian atas, lalu menendang dengan kaki bersepatu PDH ke arah tulang kering ke dua kakinya, semua dilakukan dalam beberapa kali pukulan dan tendangan selama kurang lebih 15 menit dan tidak secara terus menerus tetapi diselingi dengan pemberian arahan kepada anggota Lanudal Kupang. Sedangkan untuk Kopda Mulyanto, terdakwa hanya melakukan tindakan penamparan ke pipi kiri sebnyak dua kali tamparan dan pemukulan dengan tangan dikepalkan kearah perut sebanyak tiga kali pukulan. Terdakwa melakukan pemukulan bermaksud akan memberi pelajaran ke pada Serda Muhtar, karena Serda Muhtar tidak mau mengakui perbuatannya yang menulis lafal doa-doanya secara islam yang didalam doa tersebut terdapat nama terdakwa.

(23)

melakukannya tidak terlalu keras. Atas perbuatan terdakwa tersebut, Serda Muhtar dan Kopda Mulyanto hanya pasrah saja dan tidak melakukan perlawanan, dan saat terdakwa sedang melakukan pemukulan ada nanggota Lanudal Pasiops Kapten Laut ( P ) Abdul Majid berusaha untuk melerainya. Selesai terdakwa melakukan tindakan pemukulan terhadap Serda Muhtar dan Kopda Mulyanto, terdakwa kembali keruang kerjanya kemudian menyerahkan kertas bertuliskan doa-doa islam tersebut kepada Provost selanjutnya sekitar pukul 12.00 WITA terdakwa membawa kertas tersebut ke kantor POMAL Lantamal VII untuk melaporkan Serda Muhtar.

(24)

sewenang-wenangnya tanpa memperdulikan aturan-aturan yang berlaku. Kasus di atas termasuk tindak pidana penganiayaan yang tercantum dalam KUHP Pasal 351 ayat ( 1 ) Penganiayaan dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 4.500,-. Sedangkan di dalam KUHPM Pasal 37 ( 1) Prajurit berkewajiban menjunjung tinggi kepercayaan yang diberikan oleh bangsa dan negara untuk melakukan pembelaan negara sebagaimana termuat dalam Sumpah Prajurit. ( 2 ) Untuk keamanan negara, setiap prajurit yang telah berakhir menjalani dinas keprajuritan atau prajurit siswa yang karena suatu haltidak dilantik menjadi prajurit, wajib memegang teguh rahasia tentara walaupun yangbersangkutan diberhentikan dengan hormat atau tidak dengan hormat.

2. Rumusan Per masalahan

Perumusan masalah merupakan suatu metode penelitian untuk mngerucutkan permasalahan, sehingga menjadi lebih terfokus dan tertata rapih sehingga membuang hal-hal yang tidak diperlukan dalam penelitian demi menghemat waktu dan tenaga. Berikut rumusan masalah yang penulis buat: 1. Bagaimana unsur – unsur tindak pidana penganiayaan yang dilakukan

anggota militer atas dasar salahpaham ?

2. Perlindungan hukum apa bagi anggota militer yang menjadi korban penganiayaan ?

3. Tujuan Penelitian

(25)

mencapai tujuan tertentu baik tujuan obyektif maupun tujuan subyektif. Adapun tujuan dari penelitian yang ingin dicapai oleh penulis adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui unsur-unsur tindak pidana penganiayaan terhadap anggota Militer atas dasar kesalah pahaman.

2. Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap anggota militer yang menjadai korban tindak pidana penganiayaan.

3.1. Tujuan Obyektif

1). Dapat mengetahuinya hal-hal mengenai pentingnya unsur-unsur tindak pidana anggota militer yang melakukan tindak pidana penganiayaan. 2). Pembaca dapat mengetahui bagaimana prosedur dalam peradilan

militer dan batas-batas hukumnya. 3.2 Tujuan Subjektif

1). Guna memperluas pengetahuan dan pengalaman penulis serta pemahaman Hukum Pidana Militer.

(26)

4. Manfaat Penelitian

Penulis berharap penelitian hukum ini agar memberikan manfaat positif bagi penulis maupun orang lain. Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini antara lain:

4.1 Manfaat Teoritis

1). Memberikan pemahaman ataupun penjelasan kepada masyarakat mengenai faktor- faktor yang menyebabkan anggota militer melakukan Tindak Pidana Penganiayaan

2). Dengan mengetahui adanya pertanggung jawaban pidana bagi anggota militer yang melakukan penganiayaan maka diharapkan dapat mengurangi kemungkinan terjadinya pelanggaran yang sama. Sehingga dapat meningkatkan penegakan kedisiplinan militer dan dapat memperbaiki nama baik kemiliteran baik di dalam kesatuan maupun diluar kesatuan yang akhirnya juga memperbaiki nama bangsa.

3). Hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai acuan terhadap penelitian sejenis untuk tahap berikutnya.

4.2. Manfaat Praktis

1). Untuk memberikan jawaban atas permasalahan yang diteliti.

(27)

5. Kajian Pustaka

5.1 Tinjauan Umum tentang Tindak Pidana Penganiayaan Menur ut KUHP

5.1.1 Pengertian Pidana Penganiayaan

Secara umum tindak pidana terhadap tubuh pada KUHP disebut penganiayaan. Dari segi tata bahasa, penganiayaan adalah suatu kata jadian atau kata sifat yang berasal dari kata dasar ”aniaya” yang mendapat awalan “pe” dan akhiran “an” sedangkan penganiayaan itu sendiri berasal dari kata bendayang berasal dari kata aniaya yang menunjukkan subyek atau pelaku penganiayaan itu. Mr. M. H. Tirtaamidjaja membuat pengertian “penganiayaan” sebagai berikut. “menganiaya” ialah dengan sengaja menyebabkan sakit atau lukapada orang lain. Akan tetapi suatu perbuatan yang menyebabkan sakit atau luka pada orang lainm tidak dapat dianggap sebagai penganiayaan kalau perbuatan itu dilakukan untuk menjaga keselamatan badan4.

Dalam kamus Bahasa Indonesia mengatakan bahwa penganiayaan adalah perlakuan sewenang-wenang (penyiksaan, penindasan, dan sebagainya). Dengan kata lain untuk menyebut seseorang telah melakukan penganiayaan, maka orang tersebut harus memiliki kesengajaan dealam melakukan suatu kesengajaan dalam

4

(28)

melkukan suatu perbuatan untuk membuat rasa sakit pada orang lain atau luka pada tubuh orang lain ataupun orang itu dalam perbuatannya merugikan kesehatan orang lain

5.2 Tindak Pidana Penganiayaan Menur ut KUHP

Secara umum tindak pidana terhadap tubuh pada KUHP disebut “penganiayaan”, mengenai arti dan makna kata penganiayaan tersebut banyak perbedaan diantara para ahli hukum dalam memahaminya. Penganiayaan diartikan sebagai “perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atas luka pada tubuh orang lain”.

Ada pula yang memahami penganiayaan adalah “dengan sengaja menimbulkan rasa sakit atau luka, kesengajaan itu harus dicantumkan dalam surat tuduhan”, sedangkan dalam doktrin/ilmu pengetahuan hukum pidana penganiayaan mempunyai unsur sebagai berikut :

a. Adanya kesengajaan. b. Adanya perbuatan.

c. Adanya akibat perbuatan ( yang dituju ), yakni : 1) rasa sakit pada tubuh.

2) luka pada tubuh.

(29)

5.2.1 Kejahatan ter hadap tubuh (Penganiayaan)

Kejahatan tindak pidana yang dilakukan terhadap tubuh dalam segala perbuatan-perbuatannya sehinnga menjadikan luka atau rasa sakit pada tubuh bahkan sampai menimbulkan kematian bila kita lihat dari unsur kesalahannya, dan kesengajaannya diberikan kualifikasi sebagai penganiayaan (mishandeling), yang dimuat dalam BAB XX Buku II, pasal 351 s/d 356.

Penganiayaaan yang dimuat dalam BAB XX II, pasal 351s/d 355 adalah sebagai berikut :

1. Penganiayaan biasa pasal 351 KUHP 2. Penganiayaan ringan pasal 352 KUHP 3. Panganiayaan berencana pasal 353 KUHP 4. penganiayaan berat pasal 354 KUHP 5. penganiayaan berat pasal 355 KUHP

Dari beberapa macam penganiayaan diatas kami mencoba untuk menjelaskaannya satu persatu :

1. Penganiayaan biasa pasal 351 KUHP

Pasal 351 KUHP telah menerangkan penganiayaan ringan sebagai berikut :

(30)

b. Jika perbuatan itu menyebabkan luka-luka berat, yang bersalah dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun.

c. Jika mengakibatkan mati, dipidana dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

d. Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan e. Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak di pidana.

Kembali lagi dari arti sebuah penganiayaan yang merupakan suatu tindakan yang melawan hukum, memang semuanya perbuatan atau tindakan yang dilakukan oleh subyek hukum akan berakibat kepada dirinya sendiri. Mengenai penganiayaan biasa ini merupakan suatu tindakan hukum yang bersumber dari sebuah kesengajaan. Kesengajaan ini berari bahwa akibat suatu perbuatan dikehendaki dan ini ternyata apabila akibat itu sungguh-sungguh dimaksud oleh perbuatan yang dilakukan itu. yang menyebabkan rasa sakit, luka, sehingga menimbulkan kematian. Tidak semua perbuatan memukul atau lainnya yang menimbulkan rasa sakit dikatakan sebuah penganiayaan.

(31)

menyebabkan luka, tindakan tersebut tidak dapat dikatakan sebagai penganiayaan, karena ia bermaksud untuk mendidik dan menyembuhkan penyakit yang diderita oleh pasiennya. Adapula timbulnya rasa sakit yang terjadi pada sebuah pertandingan diatas ring seperti tinju, pencak silat, dan lain sebagainya.

Tetapi perlu digaris bawahi apabila semua perbuatan tersebut diatas telah malampui batas yang telah ditentukan karena semuanya itu meskipun telah mendapatkan izin dari pemerintah ada peraturan yang membatasinya diatas perbuatan itu, mengenai orang tua yang memukili anaknya dilihat dari ketidak wajaran terhadap cara mendidiknya.

(32)

Mengenai tindakan hukum ini yang akan diberikan kepada yang bersalah untuk menentukan pasal 351 KUHP telah mempunyai rumusan dalam penganiayaan biasa dapat di bedakan menjadi:

a. Penganiayaan biasa yang tidak menimbulkan luka berat maupun kematian

b. Penganiayaan yang mengakibatkan luka berat c. Penganiayaan yang mengakibatkan kematian

d. penganiayaan yang berupa sengaja merusak kesehatan. 2. Penganiayaan ringan pasal 352 KUHP

Disebut penganiayaan ringan Karena penganiayaan ini tidak menyebabkan luka atau penyakit dan tidak menyebabkan si korban tidak bisa menjalankan aktivitas sehari-harinya. Rumusan dalam penganiayaan ringan telah diatur dalam pasal 352 KUHP sebagai berikut:

(33)

itu terhadap orang yang bekerja padanya atau menjadi bawahannya.

b. Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana. Melihat pasal 352 KUHP ayat (2) bahwa “percobaan melakukan kejahatan itu (penganiyaan ringan) tidak dapat di pidana” meskipun dalam pengertiannya menurut para ahli hukum, percobaan adalah menuju kesuatu hal, tetapi tidak sampai pada sesuatu hal yang di tuju, atau hendak berbuat sesuatu dan sudah dimulai akan tetapi tidak sampai selesai. Disini yang dimaksud adalah percobaan untuk melakukan kejahatan yang bisa membahayakan orang lain dan yang telah diatur dalam pasal 53 ayat (1). Sedangkan percobaan yang ada dalam penganiyaan ini tidak akan membahayakan orang lain. 3. Penganiyaan berencana pasal 353 KUHP

Pasal 353 mengenai penganiyaan berencana merumuskan sebagai berikut :

a. Penganiayaan dengan berencana lebih dulu, di pidana dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

(34)

c. Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah di pidana dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

Menurut Mr.M.H. Tiirtamidjaja Menyatakan arti di rencanakan lebih dahulu adalah : “bahwa ada suatu jangka waktu, bagaimanapun pendeknya untuk mempertimbangkan, untuk berfikir dengan tenang”.

Apabila kita fahami tentang arti dari di rencanakan diatas, bermaksud sebelum melakukan penganiayaan tersebut telah di rencanakan terlebih dahulu, oleh sebab terdapatnya unsur direncanakan lebih dulu (meet

voor bedachte rade) sebelum perbuatan dilakukan,

direncanakan lebih dulu (disingkat berencana), adalah berbentuk khusus dari kesengajaan (opzettielijk) dan merupakan alas an pemberat pidana pada penganiayaan yang bersifat subjektif, dan juga terdapat pada pembunuhan berencana (pasal 340).

(35)

kejahatan tersebut sesuai dengan kehendaknya yang telah menjadi keputusan untuk melakukannya. Maksud dari niat dan rencana tersebut tidak di kuasai oleh perasaan emosi yang tinggi, was-was/takut, tergesa-gesa atau terpaksa dan lain sebagainya.

Penganiayaan berencana yang telah dijelaskan diatas dan telah diatur dalam pasal 353 apabila mengakibatkan luka berat dan kematian adalah berupa faktor/alas an pembuat pidana yang bersifat objektif, penganiayaan berencana apabila menimbulkan luka berat Barang yang di kehendaki sesuai dengan (ayat 2) bukan disebut lagi penganiayaan berencana tetapi penganiayaan berat berencana (pasal 355 KUHP), apabila kejahatan tersebut bermaksud dan ditujukan pada kematian (ayat 3) bukan disebut lagi penganiayaan berencana tetapi pembunuhan berencana (pasal 340 KUHP).

4. Penganiayaan berat pasal 354 KUHP

Penganiayaan berat dirumuskan dalam pasal 354 yang rumusannya adalah sebgai berikut :

(36)

b. Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah di pidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun.

Perbuatan berat (zwar lichamelijk letsel toebrengt) atau dapat disebut juga menjadikan berat pada tubuh orang lain. Haruslah dilakukan dengan sengaja. Kesengajaan itu harus mengenai ketiga unsur dari tindak pidana yaitu: pebuatan yang dilarang, akibat yang menjadi pokok alas an diadakan larang itu dan bahwa perbuatan itu melanggar hukum.

Ketiga unsur diatas harus disebutkan dalam undang-undang sebagai unsur dari perbuatan pidana, seorang jaksa harus teliti dalam merumuskan apakah yang telah dilakukan oleh seorang terdakwah dan ia harus menyebukan pula tuduhan pidana semua unsur yang disebutkan dalam undang-undang sebagai unsur dari perbuatan pidana.

(37)

berat, kita hanya dapat merumuskan luka berat yang telah di jelaskan pada pasal 90 KUHP sebagai berikut:

Luka berat berarti :

Jatuh sakit atau luka yang tak dapat diharapkan akan sembuh lagi dengan sempurna atau yang dapat mendatangkan bahaya maut.

Senantiasa tidak cakap mengerjakan pekerjaan jabatan atau pekerjaan pencaharian.

Didak dapat lagi memakai salah satu panca indra. Mendapat cacat besar.

Lumpuh (kelumpuhan)

Akal (tenaga faham) tidak sempurna lebih lama dari empat minggu

Gugurnya atau matinya kandungan seorang perempuan. Pada pasal 90 KUHP diatas telah dijelaskan tentang golongan yang bisa dikatakan sebagi luka berat, sedangkan akibat kematian pada penganiayaan berat bukanlah merupakan unsur penganiayaan berat, melainkan merupakan faktor atau alasan memperberat pidana dalam penganiayaan berat.

5. Penganiayaan berat berencana pasal 355 KUHP

(38)

a. Penganiayaan berat yang dilakukan dengan rencana terlebih dahulu, dipidana dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.

b. Jika perbuatan itu menimbulkan kematian yang bersalah di pidana dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

Bila kita lihat penjelasan yang telah ada diatas tentang kejahatan yang berupa penganiayaan berencana, dan penganiayaan berat, maka penganiayaan berat berencana ini merupakan bentuk gabungan antara penganiayaan berat (354 ayat 1) dengan penganiyaan berencana (pasal 353 ayat 1), dengan kata lain suatu penganiayaan berat yang terjadi dalam penganiayaan berencana, kedua bentuk penganiayaan ini haruslah terjadi secara serentak/bersama. Oleh karena harus terjadi secara bersama, maka harus terpenuhi baik unsur penganiayaan berat maupun unsur penganiayaan berencana.

6. Metode Penelitian

6.1 J enis dan Tipe Penelitian

(39)

dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis atau bahan-bahan hukum yang lain, sebagai penelitian perpustakaan atau studi dokumen disebabkan penelitian ini banyak dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder yang ada di perpustakaan5. Sehubumgan dengan tipe penelitiannya yuridis normativ maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan hukum yang berlaku di Indonesia (hukum positif).

6.2 Pendekatan Masalah

Proses analisis data merupakan teknik untuk menemukan berbagai macam pola tema dan merumuskan teori yang berupa hipotesa, meskipun tidak ada rumus yang pasti untuk dapat digunakan untuk merumuskan hipotesa, hanya saja pada analisis pola beserta tema dan hipotesa lebih diperkaya dan diperdalam dengan cara menggabungkannya dengan sumber yang ada.

Berdasarkan tipe penelitian yang bersifat deskriptif analisis, maka analisis data yag dipergunakan adalah pendekatan kualitatif terhadap data sekunder. Dimana dalam pengolahan data terlebih dahulu diadakan pengorganisasian terhadap data sekunder yang diperoleh melalaui wawancara yang dilakukan penulis dengan sumber-sumber data sekunder yang diperoleh melalui studi kepustakaan ataupun melalui media internet. Data yang terkumpul itulah selanjutnya dibahas, disusun, diuraikan dan ditafsirkan, serta dikaji permasalahan sehingga diperoleh suatu kesimpulan sebagai upaya pemecahan masalah.

5

(40)

7. Sumber Data

Sumber data untuk penelitian ini adalah sumber data sekunder. a) Sumber Data Hukum Sekunder

1) Bahan hukum primer : KUHP, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer dan Nomor 34 Tahun tentang Tentara Nasional Indonesia, Studi Kasus Pengadilan Tinggi Militer III Surabaya Nomor : 06-K/PMT.III/AL/IX/2010

2) Bahan hukum sekunder : buku tentang kriminologi, buku tentang metode penelitian, wawancara

3) Bahan hukum tersier : kamu – kamus hukum dan eksiklopedia. 8. Metode Pengumpulan Data dan Pengolahan Data

Untuk mendapatkan bahan hukum yang diperlukan dalam penulisan skripsi ini diperoleh dengan cara melakukan studi kepustakaan, perolehan bahan hukum melalui penelitian kepustakaan dikumpulkan dengan cara mencari dan mempelajari serta memahami buku-buku ilmiah yang memuat pendapat beberapa sarjana.

(41)

9. Metode Analisis Data

Proses analisis data merupakan teknik untuk menemukan berbagai macam pola tema dan merumuskan teori yang berupa hipotesa, meskipun tidak ada rumus yang pasti untuk dapat digunakan untuk merumuskan hipotesa, hanya saja pada analisis pola beserta tema dan hipotesa lebih diperkaya dan diperdalam dengan cara menggabungkannya dengan sumber yang ada.

Berdasarkan tipe penelitian yang bersifat deskriptif analisis, maka analisis data yag dipergunakan adalah pendekatan kualitatif terhadap data sekunder. Dimana dalam pengolahan data terlebih dahulu diadakan pengorganisasian terhadap data sekunder yang diperoleh melalaui wawancara yang dilakukan penulis dengan sumber-sumber data sekunder yang diperoleh melalui studi kepustakaan ataupun melalui media internet. Data yang terkumpul itulah selanjutnya dibahas, disusun, diuraikan dan ditafsirkan, serta dikaji permasalahan sehingga diperoleh suatu kesimpulan sebagai upaya pemecahan masalah.

10. Lokasi Penelitian

(42)

11. Waktu Penelitian

Waktu penelitian ini adalah 4 (empat) bulan, dimulai dari bulan Februari 2013 sampai dengan bulan Juni 2013. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari minggu terakhir. Tahap persiapan penelitian ini meliputi: penentuan judul penelitian, penulisan proposal, seminar proposal, dan perbaikan proposal. Tahap pelaksanaan penelitian selama 4 bulan terhitung mulai minggu terakhir bulan Februari sampai bulan Juni minggu pertengahan, meliputi pengumpulan sumber data primer dan sumber data sekunder.

12. Sistematika Penulisan Skr ipsi

Penulis membahas lebih lanjut, maka penulis akan menjelaskan sistematika penulisannya lebih dahulu, agar penulisan skripsi ini tersusun dengan baik dan sistematis, sehingga mudah untuk dimengerti dan dipahami. Adapun pembahasan ini dibagi empat bab pembahasan, yaitu sebagai berikut:

Bab Pertama pendahuluan dalam bab ini penulis membagi kedalam

empat sub bab pembahasan sub bab pertama adalah latar belakang yang menguraikan tentang alasan-alasan dari masalah penelitian, sub bab ke dua adalah rumusan masalah yang berisi poin-poin perumusan masalah dari uraian latar belakang, sub bab ke tiga adalah tujuan penelitian yang berisi poin tujuan dari penelitian, sub bab keempat adalah manfaat penelitian, sub bab kelima adalah kajian pustaka, sub bab ke enam adalah metode penelitian.

Bab kedua merupakan analisa putusan Nomor :

(43)

prosedur penyelesaian perkara tindak pidana penganiayaan yang dilakukan oleh anggota militer terhadap anggota militer.

Bab Ketiga membahas tentang perlindungan hukum bagi anggota militer yang menjadi korban tindak pidana penganiayaan. Dari bab ini terdiri dari beberapa sub bab, sub bab pertama sanksi bagi anggota militer pelakukan tindak pidana penganiayaan. Sub bab Kedua pemenuhan hak-hak korban tindak pidana penganiayaan

(44)

BAB II

UNSUR – UNSUR TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MILITER

2.1Unsur-unsur tindak pidana penganiayaan

Dalam hukum militer, sanksi untuk anggota militer dibedakan menjadi dua, yakni sanksi pidana militer murni dan sanksi pidana militer tidak murni. Sanksi pidana militer murni mengacu pada KUHPM yang dilihat dari waktu kejadiannya, sedangkan sanksi militer tidak murni mengacu pada KUHP dimana kejadian pidana tersebut terjadi pada masa damai (tidak dalam masa perang).

Secara umum tindak pidana terhadap tubuh pada KUHP disebut “penganiayaan”, mengenai arti dan makna kata penganiayaan tersebut banyak perbedaan diantara para ahli hukum dalam memahaminya. Penganiayaan diartikan sebagai “perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atas luka pada tubuh orang lain”.

Ada pula yang memahami penganiayaan adalah “dengan sengaja menimbulkan rasa sakit atau luka, kesengajaan itu harus dicantumkan dalam surat tuduhan”, sedangkan dalam doktrin/ilmu pengetahuan hukum pidana penganiayaan mempunyai unsur sebagai berikut :

a. Adanya kesengajaan. b. Adanya perbuatan.

(45)

1) rasa sakit pada tubuh. 2) luka pada tubuh.

Unsur pertama adalah berupa unsur subjektif (kesalahan), unsur kedua dan ketiga berupa unsur objektif

Kejahatan tindak pidana yang dilakukan terhadap tubuh dalam segala perbuatan-perbuatannya sehinnga menjadikan luka atau rasa sakit pada tubuh bahkan sampai menimbulkan kematian bila kita lihat dari unsur kesalahannya, dan kesengajaannya diberikan kualifikasi sebagai penganiayaan (mishandeling), yang dimuat dalam BAB XX Buku II, pasal 351 s/d 356.

Penganiayaaan yang dimuat dalam BAB XX II, pasal 351s/d 355 adalah sebagai berikut :

1. Penganiayaan biasa pasal 351 KUHP 2. Penganiayaan ringan pasal 352 KUHP 3. Panganiayaan berencana pasal 353 KUHP 4. penganiayaan berat pasal 354 KUHP 5. penganiayaan berat pasal 355 KUHP

Dari beberapa macam penganiayaan diatas penulis mencoba untuk menjelaskaannya satu persatu :

1. Penganiayaan biasa pasal 351 KUHP

(46)

a. Penganiayaan dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

b. Jika perbuatan itu menyebabkan luka-luka berat, yang bersalah dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun.

c. Jika mengakibatkan mati, dipidana dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

d. Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan e. Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak di pidana.

Arti sebuah penganiayaan yang merupakan suatu tindakan yang melawan hukum, memang semuanya perbuatan atau tindakan yang dilakukan oleh subyek hukum akan berakibat kepada dirinya sendiri. Mengenai penganiayaan biasa ini merupakan suatu tindakan hukum yang bersumber dari sebuah kesengajaan. Kesengajaan ini berari bahwa akibat suatu perbuatan dikehendaki dan ini ternyata apabila akibat itu sungguh-sungguh dimaksud oleh perbuatan yang dilakukan itu. yang menyebabkan rasa sakit, luka, sehingga menimbulkan kematian. Tidak semua perbuatan memukul atau lainnya yang menimbulkan rasa sakit dikatakan sebuah penganiayaan.

(47)

sebagai penganiayaan, karena ia bermaksud untuk mendidik dan menyembuhkan penyakit yang diderita oleh pasiennya. Adapula timbulnya rasa sakit yang terjadi pada sebuah pertandingan diatas ring seperti tinju, pencak silat, dan lain sebagainya.

Tetapi perlu digaris bawahi apabila semua perbuatan tersebut diatas telah malampui batas yang telah ditentukan karena semuanya itu meskipun telah mendapatkan izin dari pemerintah ada peraturan yang membatasinya diatas perbuatan itu, mengenai orang tua yang memukili anaknya dilihat dari ketidak wajaran terhadap cara mendidiknya.

Oleh sebab dari perbuatan yang telah melampaui batas tertentu yang telah diatur dalam hukum pemerintah yang asalnya pebuatan itu bukan sebuah penganiayaan, karena telah melampaui batas-batas aturan tertentu maka berbuatan tersebut dimanakan sebuah penganiayaan yang dinamakan dengan “penganiayaan biasa”. Yang bersalah pada perbuatan ini diancam dengan hukuman lebih berat, apabila perbuatan ini mengakibatkan luka berat atau matinya sikorban. Mengenai tentang luka berat lihat pasal 90 KUHP. Luka berat atau mati yang dimaksud disini hanya sebagai akibat dari perbuatan penganiayaan itu.

Mengenai tindakan hukum ini yang akan diberikan kepada yang bersalah untuk menentukan pasal 351 KUHP telah mempunyai rumusan dalam penganiayaan biasa dapat di bedakan menjadi:

(48)

b. Penganiayaan yang mengakibatkan luka berat c. Penganiayaan yang mengakibatkan kematian

d. penganiayaan yang berupa sengaja merusak kesehatan.

Ada banyak unsur dalam setiap kesalahan yang dilakukan oleh manusia, tidak terkecuali anggota militer. Anggota militer yang bergerak secara terorganisir dan tertata apik dalam rentetan rantai komando masih sering terjadi kesalahan kecil yang berakibat fatal, seperti kesalahpahaman.

Dalam putusan Nomor : 06-K/PMT.III/AL/IX/2010, kasus penganiayaan yang dilakukan oleh Mayor Ramdan kepada Serda Muhtar yang terjadi karena kesalahpahaman antar atasan dengan bawahan yang diawali dengan kurangnya komunikasi dan tingkat emosi yang tinggi sehingga terjadi tragedi penganiayaan.

Kesalahpahaman dianggap sebagai peringanan beban terdakwa dalam menjalani hukuman, karena dalam kesalapahaman terdapat ketidak tahuan dalam berinteraksi sehingga memicu emosi untuk melakukan suatu tindakan kekerasan, dalam hal ini berupa pemukulan, tendangan dan penamparan terhadap korban6.

6

(49)

2.2 Prosedur penyelesaian per kara tindak pidana penganiayaan yang dilakukan oleh anggota militer terhadap anggota militer.

Dalam penanganan kasus tindak pidana penganiayaan dalam dunia militer terdapat langkah-langkah yang berbeda dibandingkan dengan penanganan tindak pidana pada umumnya, berikut merupakan bagan prosedur penanganan tindak pidana dalam dunia militer.

Tabel 1

Pr osedur Penyelesaian Per kara Tindak Pidana Penganiayaan

(50)

Penjabaran prosedur yang berada dalam bagan diatas adalah sebagai berikut. Awal mula langkah-langkah penanganan tindak pidana militer adalah adanya laporan dari korban atau tertangkap tangan oleh pihak provost, provost adalah penegak hukum dan disiplin dalam suatu kesatuan militer yang merupakan bagian dari polisi militer yang merupakan instansi pusat penegakan hukum dan disiplin dari Tentara Nasional Indonesia, provost berhak menangkap dan memproses tersangka untuk melanjutkan ke jenjang kasus berikutnya. Kemudian tersangka dibawa ke polisi militer guna dilakukannya penyidikan serta pembuatan laporan yang akan diajukan kepada papera, polisi militer. Papera (Perwira Penyerah Perkara) adalah perwira yang oleh atau atas dasar Undang-undang ini mempunyai wewenang untuk menentukan suatu perkara pidana yang dilakukan oleh Prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang berada di bawah wewenang komandonya7. Selanjutnya pihak polisi militer memberikan surat kepada papera yang berisi laporan penangkapan tersangka, kemudian papera melaporkanya kepada ankum guna memperoleh perintah lebih lanjut, apakah kasus ini akan diteruskan ke oditurat militer atau diselesaikan di dalam kesatuan sendiri. Ankum adalah atasan langsung yang mempunyai wewenang untuk menjatuhkan hukuman disiplin menurut ketentuan peraturan perundang – undangan yang berlaku dan berwenang melakukan penyidikan berdasarkan undang – undang. Setelah ankum memberikan perintah untuk diperkarakan perkara tersebut, maka papera akan

7

(51)

membuatkan laporan untuk diserahkannya perkara tersebut kepada oditur militer. Yang dimaksud Oditur adalah pejabat yang diberi wewenang untuk bertindak sebagai penuntut umum, sebagai pelaksana putusan atau penetapan Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer atau Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum dalam perkara pidana, dan sebagai penyidik sesuai dengan ketentuan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan Militer8. Ketika oditur militer telah mendapatkan surat penyerahan perkara dari papera, maka oditur militer akan segera bekerjasama dengan pihak polisi militer untuk menyelidiki perkara tersebut. Setelah dirasa memiliki bukti dan unsur-unsur yang memenuhi untuk melakukan dakwaan dan tuntutan, maka pihak oditurat militer akan menyerahkan perkara tersebut ke peradilan militer. Di dalam proses peradilan militer, oditur militer membacakan dakwaan beserta tuntutannya dan memanggil saksi dan bukti yang memberatkan terdakwa, namun pihak terdakwa juga diperbolehkan membawa penasihat hukum guna melakukan upaya hukum yang meringankan hukuman terdakwa. Dalam peradilan militer ini akan diputuskan bersalah atau tidaknya terdakwa atas dakwaan oditur militer sebagai penuntut umum.

Menurut Undang – undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan MiliterPasal 71 ayat 1 dan 2 adalah :

(1) Penyidik dalam melakukan penyidikan terhadap suatu peristiwa yang diduga merupakan tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang atau diduga sebagai Tersangka, mempunyai wewenang:

a. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang terjadinya suatu peristiwa yang didugamerupakan tindak pidana;

b. melakukan tindakan pertama pada saat dan di tempat kejadian;

8

(52)

c. mencari keterangan dan barang bukti;

d. menyuruh berhenti seseorang yang diduga sebagai Tersangka dan memeriksa tanda pengenalnya;

e. melakukan penangkapan, penggeledahan, penyitaan, dan pemeriksaan surat-surat;

f. mengambil sidik jari dan memotret seseorang;

g. memanggil seseorang untuk didengar dan diperiksa sebagai Tersangka atau Saksi;

h. meminta bantuan pemeriksaan seorang ahli atau mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; dan

i. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. (2) Selain mempunyai wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) Polisi Militer atau Oditur, juga mempunyai wewenang:

a. melaksanakan perintah Atasan yang Berhak Menghukum untuk melakukan penahanan Tersangka; dan

b. melaporkan hasil pelaksanaan penyidikan kepada atasan yang berhak menghukum9.

Hambatan proses persidangan terhadap anggota militer yang melakukan tindak pidana penganiayaan terhadap anggota militer.

a. Hambatan internal

Hambatan internal merupakan hambatan yang berada dalam diri hakim militer itu sendiri. Hambatan internal ini dapat berupa adanya kekerabatan antara hakim dengan terdakwa dan kurangnya pengalaman dalam penanganan perkara kasus penganiayaan.

b. Hambatan Eksternal

Hambatan eksternal merupakan hambatan yang berada diluar pribadi hakim militer. Hambatan eksternal dapat berupa masalah administratif seperti tidak hadirnya saksi-saksi, kurangnya barang bukti, terdakwa yang seorang pesakitan sehingga jarang mengikuti agenda pengadilan, adanya

9

(53)
(54)

BAB III

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI ANGGOTA MILITER YANG MENJ ADI KORBAN TINDAK PIDANA

3.1 Sanksi bagi anggota militer melakukan tindak pidana penganiayaan. Analisa Kasus Putusan Nomor : 06-K/PMT.III/AL/IX/2010 dalam putusan Nomor : 06-K/PMT.III/AL/IX/2010, terdakwa hanya dijerat 4 bulan masa penjara dan 6 bulan masa percobaan, dimana hal ini berarti terdakwa tidak dimasukan dalam penjara apabila selama 6 bulan terdakwa tidak melakukan tindak pidana apapun yang dapat menjerat terdakwa kedalam ranah persidangan kembali.

Dalam Putusan yang penulis teliti ada beberapa hal yang meringankan terdakwa yaitu :

a. Terdakwa berterus terang dan menyesali perbuatannya

b. Terdakwa masih muda, memiliki dedikasi, loyalitas dan semangat kerja yang tinggi sehingga masih dapat dibina menjadi prajurit TNI yang baik c. Terdakwa telah mengabdikan diri di lingkungan TNI-AL selama 13 (tiga

belas) tahun

(55)

Selain ada hal – hal yang meringankan terdakwa, ada juga hal - hal yang memberatkan terdakwa yaitu :

a. Perbuatan terdakwa dapat mencemarkan citra jabatan seorang Komandan satuan di mata bawahan.

b. Terdakwa sebagai anggota TNI berpangkat Pamen tidak memberikan contoh yang baik terhadap anggotanya dan orang-orang di sekitarnya.

Dari sini penulis berpendapat bahwa putusan yang dijatuhkan hakim sudah benar dan cermat dengan menimbang berbagai macam hal yang melahirkan sangsi tersebut. Karena hal-hal yang mempengaruhi pemberatan hukuman untuk terdakwa lebih sedikit dari pada hal-hal yang meringankan terdakwa, sehingga majelis hakim memutuskan untuk menghukum terdakwa lebih ringan daripada tuntutan oditur militer tinggi.

Dalam putusan No. : 06-K/PMT.III/AL/IX/2010, terdakwa diberikan sanksi berupa penjara selama 4 (empat) bulan dengan masa percobaan selama 6 (enam) bulan. Dengan perintah agar pidana tersebut tidak usah dijalani kecuali jika dikemudian hari ada putusan hakim yang menentukan lain disebabkan Terpidana melakukan suatu tindak pidana atau pelanggaran disiplin militer sebelum masa percobaan tersebut habis. jMembebankan biaya perkara kepada terdakwa dalam perkara ini sebesar Rp.20.000,- (dua puluh ribu rupiah)10. Terdakwa hanya dikenakan sanksi selama 6 (enam) bulan masa percobaan, apabila hakim dikemudian hari mempunyai suatu indikasi jeratan hukum baru yang dapat menjerat terdakwa

10

(56)

maka terdakwa harus ditahan lagi dan dapat disidangkan kembali ketika indikasi tersebut muncul selama waktu masa hukuman percobaan.

Dalam kasus tersebut terdakwa tidak dikenakan sanksi internal atau sanksi yang diberikan oleh kesatuannya. Hal tersebut dikarenakan terdakwa hanya melakukan penganiayaan biasa. Oleh karena itu terdakwa hanya dikenakan sanksi eksternal yang dimana sanksi tersebut telah diatur di dalam KUHP.

Hal ini kurang sesuai dengan tuntutan Oditur Militer Tinggi yang menuntut terdakwa selama 4 bulan masa penjara dengan bukti satu lembar kertas berisikan doa-doa secara islam, tiga lembar foto yang menunjukan adanya luka pada bagian tubuh saksi-1 akibat pemukulan yang dilakukan terdakwa, satu lembar visum et repertum atas luka yang diterima saksi-1. Majelis hakim hanya menjatuhkan hukuman 4 bulan penjara 6 bulan masa percobaan, yang berarti terdakwa tidak dipenjara apabila selama 6 bulan terdakwa tidak melakukan tindak pidana lain yang menjerat terdakwa untuk disidangkan kembali.

3.2 Pemenuhan hak-hak korban tindak pidana penganiayaan

Selain menjatuhkan sanksi terhadap terdakwa, korban juga memiliki hak-hak untuk dilindungi dalam melakukan tugasnya sebagai korban dan saksi atas perkara ini. Berikut merupakan hak-hak korban yang berlaku selama proses persidangan :

(57)

2. Berhak untuk berbicara sesuai dengan apa yang dialaminya, korban dilindungi untuk mengungkapkan segala hal yang berkaitan dengan perkara tersebut baik yang meringankan maupun yang memberatkan terdakwa.

3. Berhak untuk mendapatkan penasehat hukum baik dari dalam lingkungan peradilan militer yang diberikan secara cuma – cuma atau dari luar lingkungn peradilan militer yang semua biaya administrasinya ditanggung oleh korban.

4. Mendapatkan ganti rugi dalam hal finansial dan kesehatan, apabila korban mendapati luka serius yang membuat cacat pada tubuh korban maka korban berhak mendapatkan biaya kesejahteraan, biaya perawatan kesehatan selama korban tidak bisa berkarya.

5. Mendapatkan kepastian penyelesaian hukum oleh aparatur penegak hukum atas kasus yang dihadapinya11.

Seluruh pemenuhan hak-hak ini dilaksanakan oleh pihak pengadilan yang dibantu oleh kepolisian militer dan oditurat setempat diamana kasus ini disidangkan.

Ada beberapa langkah atau upaya yang perlu ditempuh agar para anggota tidak melakukan tindak pidana terhadap sesama anggota militernya yaitu :

1. Meliputi pendidikan jasmani dan rohani. Jasmani dalam hal ini berarti kesehatan tubuh yang membuat anggota militer menjadi bugar dan sehat,

11

(58)

sehingga para anggota militer dapat selalu berfikir jernih dan senantiasa berfikir positif, hal ini dikarenakan in sana mana corporesano yang berarti di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat. Sehingga pada anggota militer terhindar dari sifat-sifat negatif yang hinggap pada tubuh yang kurang sehat akibat pekerjaan atau lingkungan sosial. Rohani dalam hal ini adalah ketaqwaan kepada Tuhan yang mereka percayai, setiap agama memiliki energi yang positif dalam setiap ajaran-ajarannya, dimana setiap anggota militer ditekankan untuk selalu menaati apa yang diperintahkan oleh agamanya masing-masing.

2. Penegakan hukum disiplin militer dan pidana militer yang harus selalu ditegakan, baik itu ditegakkan oleh para anggota militer pada umumnya atau anggota polisi militer yang bertanggung jawab atas keamanan dan keamanan para anggota militer yang masih dalam ikatan dinas12.

Menurut penulis, para anggota militer juga harus sering mengadakan kerjabakti agar tercipta jiwa gotong royong dan kekeluargaan antara satu dengan yang lainnya (bawahan dengan atasan) dan agar saling mengenal satu dengan yang lainnya. Mewajibkan setiap anggota TNI agar ikut serta dalam kegiatan bakti sosial pada waktu bencana alam di daerah – daerah mana saja.

12

(59)

BAB IV PENUTUP

2.1 Kesimpulan

1. Dari Putusan Nomor : 06-K/PMT.III/AL/IX/2010 penulis menyimpulkan bahwa unsur – unsur penganiayaan dalam penerapan dakwaan dan putusan sudah setepat – tepatnya yang mengacu pada Pasal 351 KUHP yaitu :

Unsur ke-1 : ”Barang siapa” Unsur ke-2 : ”Dengan sengaja”

Unsur ke-3 : ”Menimbulkan rasa sakit atau luka pada orang lain”

Proses penanganan tindak pidana penganiayaan yang dilakukan anggota militer adalah dimulai dengan laporan korban atau tertangkap tangannya pelaku oleh pihak polisi militer, kemudian polisi militer menyidik dan membuat laporan kepada tersangka kepada papera, apakah tersangka ini akan disidangkan atau dapat diselesaikan di dalam kesatuannya saja, jika di setujui oleh papera, maka papera menunjuk Oditur Militer untuk memproses kasus tersebut lebih lanjut, Oditur Militer bertugas membuat surat dakwaan dan tuntutan serta menghadirkan saksi dan bukti yang memberatkan terdakwa, hingga hakim memutuskan hukuman apa yang akan ditempuh oleh terdakwa atau deibebaskan dalam agenda pengadilan. 2. Sanksi bagi anggota militer yang melakukan tindak pidana penganiayaan

(60)

apabila selama 6 bulan terdakwa tidak melakukan tindak pidana apapun yang dapat menjerat terdakwa kedalam ranah persidangan kembali. Hak – hak yang didapatkan oleh korban penganiayaan adalah : Perlindungan keamanan sehari – hari selama masa persidangan, berhak untuk berbicara sesuai dengan apa yang dialaminya, berhak untuk mendapatkan penasehat hukum dari pengadilan militer secara cuma – cuma, terkecuali mencari penasehat hukum dari luar pengadilan, mendapatkan ganti rugi dalam hal finansial, jika ada kerugian dalam kesehatan berhak mendapatkan perawatan medis secara cuma – Cuma, mendapatkan kepastian penyelesaian hukum oleh aparatur penegak hukum atas kasus yang dihadapinya.

2.2Sar an

1. Bagi Tentara Nasional Indonesia

Agar setiap anggota militer lebih bisa menahan diri untuk menyelesaikan suatu permasalahan dan Agar setiap anggota TNI yang memiliki pangkat yang lebih tinggi tidak seharusnya melakukan pemukulan atau penganiayaan terhadap bawahan atau pangkatnya yg lebih rendah yang dikarenakan masalah pribadi dan permasalahan yang belum jelas.

2. Untuk Peradilan Militer

(61)

sewenang - wenangnya, melainkan harus memberikan contoh yang baik kepada bawahan atau anak buahnya karena seorang TNI mempunyai rasa kedisiplinan yang tinggi.

3. Untuk Masyarakat

(62)

Marzuki, Peter Mahmud, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana, Jakarta 2009 Prodjodikoro, Wirjono, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, PT Eresco,

Bandung 1989

Prakoso, Djoko, Hukum Penitensier di Indonesia, Liberty, Jakarta 1988

Tutik, Titik Triwulan, Pengantar Ilmu Hukum, Prestasi Pusaka, Bandung 2006 Waluyo, Bambang, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika,Jakarta,

2008

Rianto, Adi, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, Granit, Jakarta 2010 Kanter, E.Y dan S.R. Sianturi. Hukum Pidana Militer Di Indonesia,Alumni

AHM-PTHM, Jakarta, 1981

Salam, Moch Faisal, Hukum Pidana Militer Di Indonesia,Mandar Maju, Bandung, 2006

_______, Peradilan Militer Indonesia, Cetakan I, Cv. Mandar Maju, Bandung, 1994

Ashofa, Burhan, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2010 Undang-Undang :

Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Bumi Aksara, Jakarta, 2003 Undang-Undang Peradilan Militer No.31 Tahun 1997 dan UU Tentara Nasional

Indonesia No.34 Tahun 2004, Media Centre, Surabaya Sumber Lain :

(63)

Elfi Indra, Tindak Pidana Khusus, http://elfi-indra.blogspot.com/2011/04/tindak-pidana-khusus.html, diakses pada hari Rabu 9 Januari 2013 pukul 18.00 WIB.

Gambar

Tabel 1

Referensi

Dokumen terkait

Dokter Penanggung Jawab Pasien (DPJP) ... Hasil Wawancara dengan Responden.... Pengaturan Tentang Tindakan Medis Yang Dilakukan Oleh Perawat Terhadap Pasien Dalam Keadaan

Berdasarkan latar belakang tersebut, tujuan penelitian antara lain utuk mengentahui faktor-faktor yang menimbulkan terjadinya disparitas pemidanaan terhadap pelaku

Pada contoh Gambar 3.9 file data raster memiliki ekstensi .asc dan telah tergeoreferensi sehingga akan menempati lokasi yang benar dalam peta QGIS.. Apabila data raster

Pemberhentian Calon Anggota, Anggota Biasa, Anggota Luar Biasa dan Anggota Kehormatan Mapaptri dapat dilakukan secara langsung oleh Badan Pengurus Harian Mapaptri tanpa

Di bagian berikutnya, secara parsial juga ternyata kecemasan siswa juga ti- dak berpengaruh positif dan signifikan terhadap hasil belajar siswa, yang arti- nya semakin

Ketika membuat misi, penting untuk diperhatikan hal-hal berikut: (1) misi harus mampu mendeskripsikan nilai-nilai yang dianut oleh organisasi; (2) misi harus berorientasi

Tabel 3 di atas menunjukkan bahwa setiap pertanyaan yang digunakan yang terdiri dari 5 pertanyaan dalam menggambarkan variabel keputusan pembelian maka nilai

Pada acara ini, pihak pesantren mengundang pula para habaib (ahlu bait Nabi), baik dari Jombang dan sekitarnya, sebagai penghormatan bagi keturunan dari Nabi Muhammad