• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENENTUAN MEKANISME EFEK RELAKSASI EKSTRAK ETANOL DAUN CIPLUKAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENENTUAN MEKANISME EFEK RELAKSASI EKSTRAK ETANOL DAUN CIPLUKAN"

Copied!
132
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

PENENTUAN MEKANISME EFEK RELAKSASI EKSTRAK

ETANOL DAUN CIPLUKAN (Physalis minima L.) TERHADAP

KONTRAKSI OTOT POLOS TRAKEA MARMUT TERISOLASI

YANG DIINDUKSI ASETILKOLIN

OLEH :

EVI DEPIANA GULTOM

NIM 157014001

PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

TESIS

PENENTUAN MEKANISME EFEK RELAKSASI EKSTRAK

ETANOL DAUN CIPLUKAN (Physalis minima L.) TERHADAP

KONTRAKSI OTOT POLOS TRAKEA MARMUT TERISOLASI

YANG DIINDUKSI ASETILKOLIN

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Magister dalam Ilmu Farmasi Pada Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara

OLEH:

EVI DEPIANA GULTOM

NIM 157014001

PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)
(4)

LEMBAR PENGESAHAN TESIS

Nama Mahasiswa : Evi Depiana Gultom

Nomor Induk Mahasiswa : 157014001

Program Studi : Magister Farmasi

Judul Tesis : Penentuan Mekanisme Efek Relaksasi Ekstrak Etanol Daun Ciplukan (Physalis minima L.) Terhadap Kontraksi Otot Polos Trakea Marmut Terisolasi Yang Diinduksi Asetilkolin

Telah diuji dan dinyatakan LULUS didepan TIM penguji pada hari Selasa tanggal dua puluh tiga bulan Januari tahun dua ribu delapan belas

Mengesahkan Tim Penguji Tesis

Ketua Tim Penguji Tesis : Prof. Dr. Urip Harahap., Apt. Anggota Tim Penguji Tesis : Dr. Aminah Dalimunthe, S.Si., M.Si., Apt.

Dr. Edy Suwarso, SU., Apt.

(5)
(6)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas segala limpahan rahmat dan karunianya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan tesis ini yang berjudul “Penentuan Mekanisme Efek Relaksasi Ekstrak Etanol Daun Ciplukan (Physalis minima L.) Terhadap Kontraksi Otot Polos Trakea Marmut Terisolasi yang Diinduksi Asetilkolin”.

Daun Ciplukan merupakan salah satu keanekaragaman hayati yang terdapat di alam dan dikenal oleh masyarakat luas dengan khasiat penyembuhan yang beragam. Salah satunya adalah untuk pengobatan asma. Beberapa penelitian terdahulu menunjukkan bahwa daun ciplukan mengandung metabolit sekunder yang berperan dalam pengobatan asma. Namun belum ada penelitian yang membuktikan secara ilmiah terkait mekanisme kerja daun ciplukan dalam pengobatan asma. Hal tersebut yang menjadi dasar penulis melakukan penelitian ini untuk membuktikan secara ilmiah terkait mekanisme kerja daun ciplukan dalam pengobatan asma.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Urip Harahap, Apt. dan Ibu Dr. Aminah Dalimunthe, S.Si., M.Si., Apt., yang telah membimbing dengan sangat baik, memberikan petunjuk, saran-saran dan motivasi selama penelitian hingga selesainya tesis ini. Penulis juga mengucapkan penghargaan yang tiada terhingga kepada ayahanda Abdul Gultom (Alm) dan ibunda Hj. Mahlan Hasibuan. Kedua mertua ayahanda Prof. Drs. H. Effendi Barus, MA, Ph.D., dan ibunda Dra. Nurmawan Pandia, MS., Suami tercinta Mohd. Evin Barus, SH. MH., serta buah hati tersayang Raffi Caesar Barus dan Rafa Athaya Barus, yang selalu mendukung, mendoakan dan memberikan semangat.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis menerima kritik dan saran demi kesempurnaan tesis ini. Semoga tesis ini dapat memberi manfaat bagi kita semua.

Medan, Januari 2018 Penulis,

(7)

NIM 157014001 PENENTUAN MEKANISME EFEK RELAKSASI EKSTRAK ETANOL

DAUN CIPLUKAN (Physalis minima L.) TERHADAP KONTRAKSI OTOT POLOS TRAKEA MARMUT TERISOLASI YANG DIINDUKSI

ASETILKOLIN

ABSTRAK

Asma merupakan suatu penyakit akibat penyempitan saluran pernapasan dengan prevalensi sekitar 20% di dunia. Salah satu tujuan pengobatan asma yaitu menurunkan kontraksi otot polos bronkus. Ciplukan (Physalis minima L.) merupakan tanaman herbal yang mengandung alkaloid, glikosida, flavonoid, saponin, tanin dan steroid/ triterpenoid yang digunakan untuk mengobati asma. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan apakah ekstrak etanol daun ciplukan (EEDC) dapat merelaksasikan otot polos trakea marmut terisolasi yang diinduksi dengan asetilkolin.

Penelitian ini dilakukan secara in vitro dengan menggunakan alat organ

bath. Parameter yang diukur adalah kontraksi dan relaksasi otot polos trakea

marmut terisolasi. Sebelum dilakukan pengujian, trakea diinkubasi dalam organ

bath yang berisi larutan kreb’s pada suhu 37ºC dan diaerasi dengan gas O2:CO2

(95%:5%). Pengujian efek relaksasi dilakukan setelah trakea marmut dikontraksi dengan asetilkolin, kemudian diberikan konsentrasi kumulatif EEDC. Pengujian mekanisme efek relaksasi EEDC dilakukan dengan menginkubasi trakea dengan EEDC 3,2 M kemudian dikontraksikan dengan asetilkolin untuk melihat respon penghambatan kontraksi, sedangkan uji penghambatn enzim PDE dilakukan dengan cara menginkubasi trakea dengan teofilin 10-4 M. Kemudian trakea dikontraksikan dengan asetilkolin, selanjutnya diberikan konsentrasi kumulatif EEDC.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa EEDC (0,5 - 4 mg/ml) merelaksasikan otot polos trakea marmut terisolasi yang dikontraksikan dengan asetilkolin 1,43 x 10-4 M (r=0,982; p<0,05). EEDC pada konsentrasi 4mg/ml tidak berbeda nyata dengan atropin sulfat 1 x 10-6 M dalam menurunkan kontraksi otot polos trakea marmut terisolasi yang diinduksi oleh asetilkolin 1,43 x 10-4 M (p>0,05). Berdasarkan hal tersebut, diduga mekanisme efek relaksasi EEDC dimediasikan melalui penghambatan reseptor muskarinik dan fosfodiesterase (PDE).

Kata kunci: Ekstrak etanol daun Ciplukan, asetilkolin, marmut, trakea, relaksasi,

(8)

DETERMINATION OF MECHANISM OF RELAXATION EFFECT THE ETHANOLIC EXTRACT OF CIPLUKAN LEAVES (Physalis minima L.) ON CONTRACTION SMOOTH MUSCLE OF GUINEA PIG’S TRACHEA

ISOLATED INDUCED BY ACETYLCHOLINE

ABSTRACT

Asthma is a disease caused by constriction of the respiratory tract with a prevalence of approximately 20 % in the world. Goal of asthma treatment is to lose bronchial smooth muscle contraction. Ciplukan (Physalis minima L.) is an herbal plant contain alkaloid, glycosides, flavonoids, saponins, tanin dan steroid/ terpenoid that is used to treat asthma. The purpose of this study to prove the ethanolic extract of ciplukan leaves (EEDC) has a relaxation effect on smooth muscle of guinea pig's trachea isolated induced by acetylcholine.

This research was conducted by in vitro methode using the organ bath. The parameter measured in this research is the contraction or relaxation of isolated guinea pig's trachea smooth muscle. Before the test, the guinea pig's trachea isolated were incubated in organ bath-containing Kreb’s solution at the temperature of 37ºC and aerated with a mixed gas of O2:CO2 (95%:5%). Test of relaxation effect conducted after guinea pig's trachea contracted with acetylcholine and then given a cumulative concentration of EEDC. Testing the mechanism of EEDC performed by incubating the trachea with EEDC 3.2 M and then contracted with acetylcholine while testing the mechanisms associated with inhibition of phosphodiesterase by incubating the trachea with theophylline 10-4 M for 20 min and then contracted with acetylcholine, then given a cumulative concentration EEDC.

The result showed that EEDC (0.5-4 mg/ml) concentration has relaxation effect on the trachea smooth mucle contraction induced by acetylcholine 1.43 x 10-4 M (r=0.982; p<0.05). EEDC has concentration of 4mg/ml, that is not different with atropine sulfate 1 x 10-6 M in reduced the contraction of guinea pig’s trachea smooth muscle induced by acetylcholine 1.43 x 10-4 M (p>0.05). It showed that the possibility of the mechanism of the relaxation effect of EEDC mediated through inhibition muscarinic receptors and phosphodiesterase (PDE).

Key words: Ciplukan leaf ethanol extract, acetylcholine, guinea pig, trachea,

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ... i

HALAMAN JUDUL ... ii

LEMBAR PERSETUJUAN... iii

LEMBAR PENGESAHAN ... iv SURAT PERNYATAAN ... v KATA PENGANTAR ... vi ABSTRAK ... vii ABSTRACT ... viii DAFTAR ISI ... ix DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR GAMBAR ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

DAFTAR SINGKATAN ... xix

BAB I. PENDAHULUAN ... 1 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Perumusan Masalah ... 5 1.3 Hipotesis ... 6 1.4 Tujuan Penelitian ... 6 1.5 Manfaat Penelitian ... 7

(10)

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 9

2.1 Saluran Pernapasan ... 9

2.1.1 Trakea... 9

2.2 Sistem persarafan pada saluran pernapasan ... 11

2.2.1 Saraf kolinergik dan Histaminergik ... 11

2.2.2 Saraf adrenergik ... 12

2.2.3 Saraf Non-adrenergik-Non-kolinergik ... 12

2.3 Asma ... 13

2.4 Otot Polos ... 14

2.4.1 Anatomi mikroskopik dari otot polos ... 14

2.4.2 Jenis otot polos ... 16

2.4.3 Fisiologi otot polos ... 16

2.4.4 Mekanisme kontraksi otot polos ... 17

2.5 Reseptor ... 20

2.5.1 Jenis-jenis reseptor ... 20

2.5.2 Agonis reseptor ... 22

2.5.3 Antagonis reseptor... 23

2.6 Asetilkolin (Ach) ... 24

2.6.1 Sintesa dan degradasi asetilkolin ... 24

2.6.2 Reseptor asetilkolin muskarinik ... 25

2.6.3 Subtipe reseptor asetilkolin muskarinik ... 25

2.6.4 Mekanisme asetilkolin dalam kontraksi otot polos ... 27

2.6.5 Antagonis reseptor muskarinik... 28

(11)

2.8 Teofilin ... 30

2.9 Uraian Tumbuhan Ciplukan ... 32

2.9.1 Sistematika ciplukan ... 32

2.9.2 Nama daerah ciplukan ... 32

2.9.3 Habitat ciplukan ... 32

2.9.4 Morfologi ciplukan ... 33

2.9.5 Kandungan kimia ciplukan ... 33

2.9.6 Manfaat ciplukan ... 34

2.10 Penelitian Terkait Efektivitas Dalam Merelaksasi Otot Polos 34

2.11 Organ Terisolasi ... 36

2.12 Ekstraksi ... 37

2.12.1 Ekstraksi cair-cair ... 38

2.13 Kerangka Teori Penelitian ... 39

BAB III. METODE PENELITIAN ... 42

3.1 Alat, Bahan dan Sampel Penelitian ... 42

3.1.1 Alat penelitian ... 42

3.1.2 Bahan penelitian ... 43

3.1.3 Bahan uji ... 43

3.2 Hewan Percobaan ... 43

3.3 Pembuatan Simplisia Daun Ciplukan ... 44

3.4 Pembuatan EEDC ... 44

3.5 Pembuatan Pereaksi ... 45

3.5.1 Pereaksi Mayer ... 45

(12)

3.5.3 Pereaksi Bouchardat ... 45

3.5.4 Pereaksi Molish ... 46

3.5.5 Pereaksi Asam klorida 2 N ... 46

3.5.6 Pereaksi Asam sulfat 2 N ... 46

3.5.7 Pereaksi Natrium hidroksida 2 N ... 46

3.5.8 Pereaksi Timbal (II) asetat 0,4 M ... 46

3.5.9 Pereaksi Besi (III) klorida 1% ... 46

3.5.10 Pereaksi Liebermann-Burchard ... 46

3.6 Pemeriksaan Karakterisasi Simplisia ... 47

3.6.1 Pemeriksaan makroskopik ... 47

3.6.2 Pemeriksaan mikroskopik ... 47

3.6.3 Penetapan kadar air ... 47

3.6.4 Penetapan kadar abu total ... 48

3.6.5 Penetapan kadar abu tidak larut asam ... 48

3.6.6 Penetapan kadar sari larut dalam air ... 48

3.6.7 Penetapan kadar sari larut dalam etanol ... 49

3.7 Pemeriksaan Skrining Fitokimia Simplisia dan Ekstrak ... 49

3.7.1 Pemeriksaan alkaloid ... 49 3.7.2 Pemeriksaan flavonoida ... 50 3.7.3 Pemeriksaan tanin ... 50 3.7.4 Pemeriksaan glikosida ... 50 3.7.5 Pemeriksaan antrakuinon ... 51 3.7.6 Pemeriksaan saponin ... 51 3.7.7 Pemeriksaan steroida/triterpenoida ... 51

(13)

3.8 Tahapan Persiapan Percobaan ... 52

3.8.1 Pembuatan Larutan Kreb’s ... 52

3.8.2 Pembuatan larutan asetilkolin ... 52

3.8.3 Pembuatan larutan EEDC ... 54

3.8.4 Penyiapan larutan teofilin ... 55

3.8.5 Pembuatan larutan atropin sulfat. ... 55

3.9 Tahapan Pengujian ... 56

3.9.1 Preparasi organ ... 56

3.9.2 Pengujian kontraksi seri konsentrasi asetilkolin terhadap otot polos trakea marmut ... 57

3.9.3 Pengujian efek relaksasi EEDC pada kontraksi otot polos trakea melalui induksi asetilkolin ... 58

3.9.4 Pengujian efek relaksasi atropin sulfat pada kontraksi otot polos trakea melalui induksi asetilkolin ... 58

3.9.5 Pengujian mekanisme aksi terhadap efek relaksasi EEDC pada otot polos trakea melalui penghambatan reseptor muskarinik ... 59

3.9.6 Pengujian mekanisme efek relaksasi EEDC melalui melalui penghambatan PDE oleh teofilin... ... 60

3.10 Analisa Data ... 61

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 62

4.1 Hasil Identifikasi Bahan Tumbuhan ... 62

4.2 Hasil Standarisasi Simplisia ... 62

4.3 Skrining Fitokimia Simplisia ... 64

4.4 Hasil Ekstraksi ... 64

4.5 Hasil Pengujian Effective Concentration (EC80) Asetilkolin pada Otot Polos Trakea... 65

(14)

4.6 Hasil Pengujian Efek Relaksasi EEDC pada Kontraksi

Otot Polos Trakea... 67

4.7 Hasil Pengujian Efek Relaksasi Atropin Sulfat pada Kontraksi Otot Polos Trakea ... 69

4.8 Hasil Pengujian Mekanisme Aksi Terhadap Efek Relaksasi EEDC Pada Otot Polos Trakea Melalui Penghambatan Reseptor Muskarinik... 71

4.9 Hasil Pengujian Mekanisme Akasi Terhadap Efek Relaksasi EEDC pada Otot Polos Trakea Melalui Penghambatan PDE oleh Teofilin ... 73

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 76

5.1 Kesimpulan ... 76

5.2 Saran ... 76

(15)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

2.1 Subtipe reseptor muskarinik dengan antagonisnya dan jenis

transduser ... 25 3.1 Pemberian asetilkolin secara kumulatif pada organ bath

volume 40 ml ... 57 3.2 Pemberian konsentrasi EEDC secara kumulatif pada organ bath

volume 40 ml ... 58 3.3 Pemberian atropin sulfat secara kumulatif pada organ bath

volume 40 ml ... 59 4.1 Hasil standarisasi simplisia daun ciplukan ... 62 4.2 Hasil skrining fitokimia simplisia dan EEDC ... 64

(16)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1.1 Kerangka pikir penelitian ... 8

2.1 Potongan melintang trakea ... 10

2.2 Anatomi mikroskopis otot polos ... 15

2.3 Kontraksi dan relaksasi otot polos ... 19

2.4 Hidrolisis cAMP oleh fosfodiesterse ... 30

2.5 Struktur teofilin ... 31

2.6 Kerangka teori ... 41

4.1 Grafik % kontraksi otot polos trakea terisolasi yang dikontraksi dengan seri konsentrasi asetilkolin 1 x 10-8 M sampai 3 x 10-3 M ... 66

4.2 Grafik % relaksasi seri konsentrasi EEDC (0,5- 4 mg/ml) pada otot polos trakea terisolasi yang dikontraksi dengan asetilkolin 1,43 x 10-4 M ... 68

4.3 Grafik % relaksasi seri konsentrasi EEDC (0,5 - 4 mg/ml) dan atropin sulfat (1x 10-8 – 3 x 10-5 M) yang dikontraksi dengan asetilkolin 1,43 x 10-4 ... 70

4.4 Nilai kekuatan kontraksi (cm) asetilkolin 1,43 x 10-4 M, inkubasi EEDC 3,2 M dan atropin sulfat 1 x 10-6 M setelah dikontraksi dengan asetilkolin 1,43 x 10-4 ... 71

4.5 Grafik % relaksasi seri konsentrasi EEDC (0,5 - 4 mg/ml) dengan inkubasi awal menggunakan teofilin 10-4 M dengan % relaksasi EEDC tanpa inkubasi sebagai kontrol .... 74

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Hasil identifikasi tumbuhan ... 84

2. Gambar tumbuhan ciplukan ... 85

3. Persetujuan komite etik tentang pelaksanaan penelitian ... 86

4. Perhitungan kadar air simplisia daun ciplukan ... 87

5. Perhitungan kadar abu total simplisia daun ciplukan ... 88

6. Perhitungan kadar abu tidak larut asam simplisia daun ciplukan ... 89

7. Perhitungan kadar sari larut air simplisia daun ciplukan ... 90

8. Perhitungan kadar sari larut etanol simplisia daun ciplukan ... 91

9. Data pengujian kontraksi seri konsentrasi asetilkolin pada Otot polos trakea ... 92

10. Data % relaksasi EEDC pada otot polos trakea yang dikontraksikan dengan asetilkolin 1,43 x 10-4 M... 94

11. Data % relaksasi atropin sulfat pada otot polos trakea yang dikontraksikan dengan asetilkolin 1,43 x 10-4 M... 96

12. Data hasil uji kontraksi asetilkolin 1,43 x 10-4 M tanpa inkubasi, kontraksi asetilkolin 1,43 x 10-4 M setelah inkubasi EEDC 3,2 M dan kontraksi asetilkolin 1,43 x 10-4 M setelah inkubasi atropin sulfat 1 x 10-6 ... 98

13. Data % relaksasi EEDC pada otot polos rakea yang dikontraksikan dengan asetilkolin 1,43 x 10-4 M setelah inkubasi teofilin 10-4 ... 99

14. Pola kenaikan kontraksi otot polos trakea marmut terisolasi setelah diinduksi asetilkolin konsentrasi bertingkat ... 100

15. Pola penurunan kontraksi otot polos trakea marmut terisolasi setelah pemberian EEDC ... 101

(18)

17. Hasil uji korelasi regresi efek relaksasi EEDC pada kontraksi

otot polos trakea melalui induksi asetilkolin 1,43 x 10-4 M ... 104 18. Hasil uji-t independen nilai % relaksasi EEDC 4mg/ml

dengan nilai % relaksasi atropin sulfat 1 x 10-6 pada

kontraksi otot polos trakea oleh asetilkolin 1,43 x 10-4 M ... 106 19. Hasil uji independent sample T-test kekuatan kontraksi

asetilkolin 1,43 x 10-5 M setelah inkubasi EEDC 3,2 M dan kekuatan kontraksi asetilkolin 1,43 x 10-5 M setelah

inkubasi atropin sulfat 1 x 10-6 M pada otot polos trakea ... 107 20. Hasil uji independent sample T-test kekuatan kontraksi

asetilkolin 1,43 x 10-5 M setelah inkubasi EEDC 3,2 M dan kekuatan kontraksi asetilkolin 1,43 x 10-5 M tanpa

inkubasi pada otot polos bronkus... ... 109 21 Analisis uji-t independen nilai % relaksasi EEDC terhadap

kontraksi otot polos trakea oleh pemberian asetilkolin 1,43 x 10-4 M dengan inkubasi awal dengan teofilin 10-4 M selama 20 menit dengan % relaksasi EEDC terhadap kontraksi otot polos trakea oleh pemberian

(19)

DAFTAR SINGKATAN

Ach : Asetilkolin

cAMP : Cyclic adenosine monophosphate

cGMP : Cyclic guanosine monophosphate

DAG : 1,2-diasilgliserol

EC80 : Effective Concentration 80

EEDC : Ekstrak etanol daun ciplukan IP3 : Inositol 1,4,5-triposfat

LB : Liebermann-Burchard

M3 : Muskarinik-3

MLCK : Myosin light chain kinase

MLCP : Myosin light chain phospatase

NO : Nitrogen Oksida

PDE : Phosphodiesterase

PIP2 : Phosphoinositol 4,5-bisphosphate

PKA : Protein kinase A PKC : Protein kinase C PKG : Protein kinase G PLC : Phospolipase C

SEM : Standard error mean

(20)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Asma merupakan suatu penyakit akibat penyempitan saluran pernapasan yang berhubungan dengan hiperaktivitas otot polos, hipersekresi mukus, edema dinding saluran pernapasan, dan infiltrasi sel inflamasi yang disebabkan berbagai rangsangan (Alsagaff, 2010). Ketika serangan asma, permukaan saluran bronkus membengkak, sehingga saluran udara menyempit dan sekaligus menurunkan volume udara yang masuk ke paru (WHO, 2014). Aktivasi sistem saraf parasimpatis otot polos pernafasan yang berlebihan juga merupakan salah satu penyebab asma (Struckmann, et al., 2003).

Studi epidemiologi menunjukkan bahwa hampir 20% penduduk dunia menderita penyakit yang berkaitan dengan alergi dan asma (WHO, 2003). Di Indonesia, asma termasuk sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian. Hal ini tergambar dari data Studi Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) di berbagai propinsi di Indonesia. SKRT tahun 2000 asma menduduki urutan ke-5 dari 10 penyebab kesakitan (morbiditas) bersama-sama dengan bronkitis kronik dan emfisema (Astuti, 2011). Berbagai faktor yang dapat menimbulkan serangan asma antara lain olahraga (exercise), infeksi, alergen, perubahan suhu, asap rokok, dan lain-lain. Selain itu berbagai faktor lain yang mempengaruhi prevalensi penyakit asma yaitu usia, jenis kelamin, ras, sosial-ekonomi dan faktor lingkungan (Rahajoe, dkk., 2008)

(21)

Inflamasi saluran pernapasan yang ditemukan pada pasien asma diyakini merupakan hal yang mendasari gangguan fungsi yaitu obstruksi saluran pernapasan yang membatasi aliran udara. Penyebab utama penyempitan saluran pernapasan adalah kontraksi otot polos bronkus yang disebabkan oleh pelepasan agonis (histamin, asetilkolin, triptase, leukotrien, dan neuropeptida) sel-sel yang menyebabkan inflamasi (Sudowo, dkk., 2006).

Pada dasarnya pengobatan asma terdiri dari dua kategori yaitu obat-obat yang bekerja sebagai penghambat kontraksi otot polos saluran nafas (bronkodilator) dan obat-obat yang mencegah dan mengurangi inflamasi. Obat-obatan bronkodilator misalnya agonis adrenergik, derivat xantin dan anti kolinergik; sedangkan obat-obat yang mencegah dan mengurangi inflamasi adalah glukokortikoid, penghambat leukotrin serta mast cell-stabilizing agent (McFadden, 2001).

Asma merupakan penyakit kronis yang memerlukan terapi panjang, penderita asma cenderung membutuhkan obat-obatan, terutama penggunaan sediaan inhaler ketika terjadi serangan asma (asma kambuh). Penggunaan inhaler dalam dosis tinggi dan jangka panjang dapat meningkatkan risiko efek samping seperti sakit kepala, kram otot, dan iritasi faring, selain harganya yang juga relatif mahal. Oleh karena itu, perlu dicari obat alami yang berpotensi dalam terapi asma (Anonim, 2013).

Menurut Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), tujuan pengobatan asma adalah untuk mencegah serangan dan mengontrol atau mengubah progres penyakit. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mencapai kedua tujuan

(22)

tersebut yaitu menggunakan terapi komplementer dengan menggunakan bahan alam.

Ciplukan merupakan salah satu keanekaragaman hayati yang terdapat di alam. Tumbuhan ciplukan banyak digunakan secara tradisional dalam pengobatan seperti diuretik, imunomodulator, antidiabetes, toksisitas akut, antikanker, antimikroba, antiasma, antimalaria, analgesik, antirematik, dan antiinflamasi (Sharma, dkk., 2015). Bagian tanaman yang digunakan yaitu daun, buah dan akar. Ciplukan mudah tumbuh di tanah yang subur, gembur, dan tidak tergenang air (Pitojo, 2002). Hasil penapisan fitokimia serbuk simplisia daun ciplukan menunjukkan adanya senyawa flavonoid, alkaloid, saponin, tanin, glikosida dan steroid/triterpenoid (Sianturi, 2011).

Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa daun ciplukan mempunyai beberapa aktivitas farmakologi antara lain antioksidan (Nuranda, dkk., 2016), antibakteri (Sianturi, 2011), antikanker (Fitria, dkk., 2012), antidiabetes (Kurniawati, dkk., 2010), aktivitas imunoglobulin M (Effendi dan Widiastuti, 2014), antiinflamasi (Khan, et al., 2009).

Ciplukan merupakan tanaman berkhasiat obat dari famili solanaceae satu famili dengan tumbuhan kecubung (Datura metel L.). Daun kecubung mengandung alkaloid atropin yang digunakan sebagai antiasma (Gibbs, 2000). Atropin merupakan salah satu jenis alkaloid yang banyak ditemukan pada tumbuhan famili solanaceae (Anonim, 2009). Ekstrak daun ciplukan mengandung alkaloid berupa atropin dan scopolamin yang memiliki efek terhadap penurunan kontraktilitas aorta terpisah kelinci yang distimulasi dengan noradrenalin eksogen. Telah diketahui bahwa atropin sebagai antikolinergik dapat

(23)

merelaksasikan otot polos saluran napas yang merupakan salah satu terapi pada asma (Rizki, dkk., 2015).

Aktivasi syaraf kolinergik akan melepaskan asetilkolin dan kemudian berikatan dengan reseptor muskarinik (M3) pada otot polos bronkus (Nugroho,

2012). Asetilkolin adalah neurotrasmitter yang bertindak sebagai agonis pada reseptor M3; aktivasi reseptor M3 oleh asetilkolin akan menginduksikan kontraksi

sehingga mengakibatkan bronkokontriksi. Atropin sebagai antikolinergik bertindak mengantagonis asetilkolin pada reseptor M3 otot polos bronkus,

sehingga terjadi bronkodilatasi (Harahap, dkk., 2015).

Fosfodiesterase (PDE) adalah enzim yang terdapat dalam tubuh manusia, bekerja mengkatalisis cAMP menjadi 5’- AMP. cAMP merupakan second

messenger yang dibentuk dari senyawa ATP oleh enzim adenilat siklase. cAMP

berfungsi mengatur relaksasi otot polos pernapasan dengan menstimulasi

cAMP-dependent protein kinase. Kerja cAMP akan dihentikan oleh PDE, sehingga

penghambatan PDE akan memperlambat laju degradasi cAMP (Katzung, 2001). Teofilin merupakan derivat xantin yang menyebabkan relaksasi otot polos. Sifat antiinflamasi teofilin diperkirakan karena kemampuannya menghambat PDE III dan IV yang ditemukan pada sel-sel inflamasi seperti sel mast, limfosit-T, neutrofil, dan eosinofil (Harahap, dkk., 2015). Kombinasi inhibitor PDE III dan IV yang paling efektif dalam merelaksasi otot polos saluran napas. Hal ini menunjukkan bahwa kerjasama dua isoenzim PDE III dan IV diperlukan untuk efek bronkodilator yang optimal (Hall, 2000).

Tarannita, dkk., (2006) membuktikan bahwa ekstrak daun ciplukan dapat menurunkan kontraktilitas otot polos usus halus terpisah marmut dengan induksi

(24)

metakolin. Ekstrak alkohol dari daun ciplukan (Physalis minima L.) juga dapat menurunkan kontraktilitas otot polos arteri terpisah tikus yang diberi impuls listrik. Penurunan kontraksi ini menunjukkan terdapat zat aktif dalam ciplukan yang mampu menurunkan kontraksi otot polos arteri. (Wakhidatin, 1996). Priyantoro, dkk., (2004) menyimpulkan bahwa ekstrak etanol daun ciplukan (EEDC) memberikan efek relaksasi otot polos pada trakea marmut yang diinduksi histamin, namun belum diketahui mekanisme daun ciplukan dalam merelaksasi otot polos trakea.

Berdasarkan pemaparan di atas, ciplukan yang termasuk ke dalam famili solanaceae diketahui mengandung senyawa atropin yang memiliki efek sebagai antiasma. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk meneliti lebih lanjut untuk menentukan mekanisme efek relaksasi ekstrak etanol daun ciplukan (EEDC) terhadap kontraksi otot polos trakea pada marmut jantan yang diinduksi asetilkolin secara in vitro dan peranannya terhadap reseptor muskarinik, serta pengaruhnya dalam menghambat enzim fosfodiesterase.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah penelitian ini adalah:

a. apakah EEDC memiliki efek relaksasi terhadap kontraksi otot polos trakea marmut terisolasi yang diinduksi asetilkolin?

b. apakah EEDC konsentrasi tertentu memiliki kemampuan yang tidak berbeda dengan atropin sulfat dalam menurunkan kontraksi otot polos trakea marmut terisolasi yang diinduksi asetilkolin?

(25)

c. apakah mekanisme efek relaksasi EEDC pada otot polos trakea marmut terisolasi yang diinduksi asetilkolin dimediasikan melalui penghambatan reseptor M3?

d. apakah mekanisme efek relaksasi EEDC pada otot polos trakea marmut terisolasi yang diinduksi asetilkolin dimediasikan melalui penghambatan enzim PDE?

1.3 Hipotesis

Berdasarkan perumusan masalah di atas maka hipotesis pada penelitian ini adalah:

a. EEDC memiliki efek relaksasi terhadap kontraksi otot polos trakea marmut terisolasi yang diinduksi asetilkolin.

b. EEDC konsentrasi tertentu memiliki kemampuan yang tidak berbeda dengan atropin sulfat dalam menurunkan kontraksi otot polos trakea marmut terisolasi yang diinduksi asetilkolin.

c. mekanisme efek relaksasi EEDC pada otot polos trakea marmut terisolasi yang diinduksi asetilkolin dimediasikan melalui penghambatan reseptor M3.

d. mekanisme efek relaksasi EEDC pada otot polos trakea marmut terisolasi yang diinduksi asetilkolin dimediasikan melalui penghambatan enzim PDE.

1.4 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah dan hipotesis di atas maka tujuan penelitian ini adalah untuk:

a. mengetahui efek relaksasi EEDC terhadap kontraksi otot polos trakea marmut terisolasi yang diinduksi asetilkolin.

(26)

b. membandingkan efek relaksasi EEDC dengan atropin sulfat terhadap kontraksi otot polos trakea marmut terisolasi yang diinduksi asetilkolin.

c. menentukan mekanisme efek relaksasi EEDC terhadap kontraksi otot polos trakea marmut terisolasi yang diinduksi asetilkolin dimediasikan melalui penghambatan reseptor M3.

d. mengetahui mekanisme efek relaksasi EEDC terhadap kontraksi otot polos trakea marmut terisolasi yang diinduksi asetilkolin dimediasikan melalui penghambatan enzim PDE.

1.5 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam pengembangan daun ciplukan sebagai obat antiasma baru, berkaitan dengan informasi tentang efek relaksasi dari daun ciplukan terhadap kontraksi otot polos trakea marmut berdasarkan mekanismenya yang dimediasikan melalui penghambatan reseptor M3 dan penghambatan enzim PDE. Sehingga daun

ciplukan dapat digunakan secara tepat dalam terapi asma. 1.6 Kerangka Pikir Penelitian

Pada penelitian ini terdapat dua variabel yaitu variabel bebas dan variabel terikat; variabel bebas adalah ekstrak etanol daun ciplukan (EEDC) dengan konsentrasi 0,5; 1; 1,5; 2; 2,5; 3; 3,5; dan 4 mg/ml, sedangkan variabel terikat adalah relaksasi otot polos trakea marmut terisolasi yang dikontraksi asetilkolin (Gambar 1a dan 1b).

(27)

1a. kerangka pikir efek relaksasi EEDC

Variabel Variabel Parameter

bebas terikat

1b. kerangka pikir pengaruh EEDC terhadap hambatan reseptor M3 dan enzim

PDE

Gambar 1.1 Kerangka pikir penelitian EEDC

Relaksasi otot polos trakea Asetilkolin Nilai tegangan (mV) Kontraksi otot polos trakea Trakea marmut EEDC konsentrasi 0,5 - 4 mg/ml Relaksasi otot polos trakea Nilai tegangan (mV) Kontraksi otot polos trakea Trakea marmut Asetilkolin Hambatan Reseptor M3 dan Enzim PDE EEDC konsentrasi 0,5 - 4 mg/ml

(28)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Saluran Pernapasan

Saluran pernapasan atau tractus respiratorius (respiratory tract) merupakan sistem organ yang penting bagi tubuh karena bertanggung jawab menyediakan oksigen yang diperlukan dan mengeluarkan karbon dioksida hasil metabolisme sel. Saluran ini berpangkal pada hidung atau mulut dan berakhir pada paru-paru (Wibowo, 2008). Sistem organ pernapasan terdiri dari dua saluran, yaitu saluran nafas atas berfungsi dalam menyaring, menghangatkan, dan melembapkan udara yang dihirup. Saluran ini terdiri dari hidung, faring, dan laring. Sedangkan saluran pernapasan bagian bawah berfungsi untuk mengalirkan udara. Saluran ini terdiri dari trakea, bronkus, bronkiolus dan alveolus (Wang, 2002).

2.1.1 Trakea

Trakea atau batang tenggorok memiliki panjang dan jumlah cincin kartilago yang berbeda-beda antar spesies. Trakea manusia tersusun dari 16-20 cincin-C kartilago, panjang trakea sekitar 10 cm dengan diameter ±2 cm (Marieb dan Hoehn, 2007). Trakea pada marmut mencapai panjang 4-4,5 cm. Panjang trakea tikus dewasa rata-rata adalah 3 cm dengan diameter 2-3 mm. Sementara pada spesies hamster rata-rata memiliki 14 cincin kartilago dengan diameter 0,5 mm (Reznik, 1990).

Trakea terletak di permukaan anterior dari esofagus berjalan dari laring sampai kira-kira ketinggian vertebra koralis kelima dan di tempat ini bercabang menjadi dua bronkus (bronki) (Suryo, 2010).

(29)

Dinding trakea terdiri dari 3 lapisan (Suryo, 2010). Adapun 3 lapisan tersebut yaitu:

a. Lapisan luar, terdiri dari jaringan ikat;

b. Lapisan tengah, terdiri dari otot polos dan cincin tulang rawan; dan c. Lapisan dalam, terdiri dari jaringan epithelium bersilia.

Kartilago/tulang rawan berbentuk-C yang dihubungkan oleh jaringan ikat dan otot polos. Tulang rawan berfungsi mempertahankan agar trakea tetap terbuka; karena itu, ujung posterior dari cincin trakea dihubungkan oleh otot polos, yaitu di tempat trakea menempel pada esophagus, yang memisahkannya dari tulang belakang (Slonane, 2004) ( Gambar 2.1).

Gambar 2.1 Potongan melintang trakea (Saladin, 2003)

Trakea dilapisi oleh epitelium bersilia pada lapisan dalamnya. Silia ini akan bergerak menuju ke atas ke arah laring; maka dengan gerakan ini debu dan butir-butir halus lainnya yang turut masuk bersama dengan udara dapat dikeluarkan (Pearce, 2009). Trakea marmut terisolasi dapat digunakan untuk menguji aktivitas

(30)

reseptor muskarinik, histaminergik dan adrenergik. Selain itu, model ini dapat digunakan untuk menguji senyawa yang menghambat bronkospasme. Hal ini digunakan untuk mendeteksi β-simpatomimetik, penyekat reseptor H1 dan

reseptor muskarinik (Vogel, 2002).

2.2 Sistem persarafan pada saluran pernapasan 2.2.1 Saraf kolinergik dan histaminergik

Saraf kolinergik atau saraf parasimpatis merupakan saraf perifer utama yang memegang peranan penting dalam menjaga tonus otot polos saluran napas pada kondisi normal atau disebut fungsi konstitutif. Hiperaktivitas saraf parasimpatis berkaitan erat dengan terjadinya penyakit obstruksi paru kronis (COPD) dan asma (Struckmann, et al., 2003). Reseptor kolinergik banyak dijumpai di sistem saraf otonom perifer. Ada berbagai reseptor kolinergik, yakni reseptor nikotinik, reseptor muskarinik dan berbagai subtipenya. Ligan dari reseptor kolinergik adalah neurotransmitter asetilkolin (Rahardjo, 2009). Ujung saraf kolinergik akan melepaskan neurotrasmitter asetilkolin. Asetilkolin yang dilepaskan kemudian akan menduduki reseptor muskarinik. Perangsangan tipe reseptor M3 oleh

asetilkolin pada otot polos bronkus mengakibatkan bronkokonstriksi (Struckmann, et al., 2003).

Histamin pada dasarnya muncul dalam semua jaringan, tetapi tidak didistribusikan secara rata, dalam jumlah yang tinggi ditemukan dalam paru, kulit, dan saluran cerna. Histamin yang dilepaskan sebagai respons terhadap berbagai rangsangan menghasilkan efek dengan cara berikatan dengan reseptornya (Mycek et al., 2001). Pendudukan histamin pada reseptor H1 akan menghasilkan kontraksi

(31)

otot polos saluran napas melalui jalur sinyal transduksi yang sama seperti sinyal transduksi pada pendudukan reseptor M3 oleh senyawa agonis kolinergik yaitu

melalui protein Gq (Billington dan Penn, 2003). 2.2.2 Saraf adrenergik

Saraf adrenergik juga memegang peranan penting dalam regulasi otot polos saluran napas meskipun ekspresinya di saluran napas tidak sedominan persarafan kolinergik. Reseptor yang penting dari saraf adrenergik di saluran napas adalah reseptor β2-adrenergik. Reseptor ini diketahui terdapat dalam otot polos dan sel epitelial saluran pernapasan. Pendudukan reseptor β2-adrenergik oleh agonis akan mengubah konformasi protein Gs subunit α, sehingga GDP terlepas dan digantikan GTP. Pergantian ini mengakibatkan pelepasan protein Gs subunit α (Gsα) dari bentuk heterotrimer αβy. Protein Gsα kemudian berikatan dengan adenil siklase dan merangsang peningkatan cAMP. cAMP sebagai second

messenger berikatan dengan protein kinase A (PKA). PKA akan memfosforilasi

reseptor IP3 pada retikulum sarkoplasma sehingga menghambat pelepasan Ca2+

intraseluler. Meningkatnya konsentrasi cAMP intraseluler akan menyebabkan terjadinya bronkorelaksasi (Husori, 2011).

2.2.3 Saraf Non-adrenergik-Non-kolinergik

Selain persarafan kolinergik dan adrenergik, saluran nafas juga dipersarafi oleh Non-Adrenergic-Non-Cholinergic (NANC). NANC terdiri dari inhibitory NANC (iNANC) dan exicatory NANC (eNANC) yang terdapat baik pada manusia maupun pada hewan (Husori, 2001). Saraf eferen eNANC pada saluran nafas melepaskan mediator takikinin yang mengakibatkan penyempitan saluran napas melalui kontraksi otot polos saluran napas (bronkokonstriksi), udema dan

(32)

sekresi mukus. Sedangkan iNANC pada nervus vagus akan melepaskan NO, yang menghasilkan efek bronkodilatasi. (Husori, 2011). Efek relaksasi otot polos oleh NO dapat diperoleh melalui 2 jalur. Pertama, jalur tergantung-cGMP (NO-GC-cGMP), NO mengaktivasi jalur guanilat siklase dan meningkatkan kadar cyclic GMP (cyclic guanosine monophosphate) hasil konversi dari GTP. Jalur melalui cGMP ini disebut jalur tergantung-cGMP (NO-GC-cGMP). Efek relaksasi diperoleh melalui aktivasi protein kinase G (PKG) oleh cGMP. PKG akan menghambat reseptor IP3 sehingga mencegah pelepasan Ca2+ dari retikulum

sarkoplasma (Pinkse, et al., 2009).

2.3 Asma

Menurut RISKESDAS (2013), asma adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh peradangan saluran napas. Peradangan saluran napas ini mengakibatkan lapisan dalam saluran pernapasan membengkak dan sekresi mukus berlebihan. Selain itu, otot disekitar saluran pernapasan juga mengalami konstriksi. Gejala klinis penyakit ini berupa kesukaran bernapas yang disebabkan oleh penyempitan saluran pernapasan. Penyempitan saluran napas bersifat dinamis, derajat penyempitan dapat berubah, baik secara spontan maupun karena pemberian obat (Alsagaff, 2010).

Penyebab hiperaktivitas otot polos saluran pernapasan salah satunya karena pengaktifan jalur saraf muskarinik oleh asetilkolin yang menstimulasi kontraksi otot polos. Pemberian antagonis reseptor muskarinik akan menghambat efek asetilkolin dengan cara berikatan dengan reseptor muskarinik sehingga menghambat kontraksi otot polos dan mengurangi sekresi kelenjar submukosa

(33)

saluran pernapasan (Supriyatno, 2010). Namun, obat seperti teofilin dapat juga merelaksasikan otot polos saluran pernapasan secara langsung dengan menghambat enzim fosfodiesterase yang mengkatalisis cAMP (Katzung, 2001).

2.4 Otot Polos

Otot polos terdapat pada dinding tubuh bagiam dalam, misalnya pada dinding usus, dinding pembuluh darah, pembuluh limfe, dinding saluran pencernaan, trakea dan cabang tenggorokan, pada iris dan muskulus sirliaris mata, otot polos dalam kulit, saluran kelamin, dan saluran ekskresi. Otot polos bergerak secara lambat dan teratur serta tidak cepat lelah, walaupun kita tidur otot polos mampu bekerja (Irianto, 2004). Kerja otot polos biasanya secara involunter dan bekerja pada beberapa jaringan otot polos (Tortora dan Derrickson, 2009).

2.4.1 Anatomi mikroskopik dari otot polos

Otot polos terdiri dari sel-sel otot polos. Sel otot ini bentuknya seperti gelendong, di bagian tengah terbesar dan kedua ujungnya meruncing. Otot polos memiliki serat yang arahnya searah dengan panjang sel disebut miofibril. Serat miofibril terdiri dari miofilamen dan masing-masing miofilamen terdiri dari protein otot yaitu aktin dan miosin (Irianto, 2004).

Satu serabut otot polos dalam keadaan relaksasi memiliki panjang 30-200 µm dengan struktur yang lebih tebal pada bagian tengahnya (3-8 µm) dan meruncing pada masing-masing ujungnya. Setiap serabut otot polos memiliki satu nukleus berbentuk oval dan terletak di tengah. Sarkoplasma dari serabut otot polos terdiri dari filamen tebal (miosin) dan filamen tipis (aktin), dengan rasio antara 1:10 dan 1:15; selain itu serabut otot polos juga mempunyai filamen intermediet.

(34)

Karena filamen-filamen tersebut tidak tertata dalam susunan yang teratur, maka serabut otot polos tidak memperlihatkan gambaran serat-lintang (Tortora dan Derrickson, 2009) (Gambar 2.2).

Gambar 2.2 Anatomi mikroskopis otot polos (Tortora dan Derrickson, 2009).

Pada serabut otot polos, filamen aktin melekat pada struktur yang dinamakan benda padat (dense bodies), berfungsi serupa dengan garis Z pada serabut otot lurik (Guyton dan Hall, 2006). Sel otot polos dilapisi oleh sarkolema, dan protoplasmanya disebut sarkoplasma. Otot polos memiliki inti, letaknya ditengah dengan miofibril yang homogen, panjangnya 15-500 mikron dengan diameter 20 mikron. Otot polos merupakan otot tak sadar, karena bekerja di luar kesadaran, dan dipengaruhi oleh susunan saraf otonom (Irianto, 2004).

Beberapa benda padat tersebar di seluruh sarkoplasma, tetapi ada yang melekat pada sarkolema. Selama kontraksi, mekanisme pergeseran filamen

Relaksasi Kontraksi

Nukleus si

(35)

melibatkan filamen tebal dan filamen tipis menghasilkan tegangan yang ditrasmisikan ke filamen intermediet (Tortora dan Derrickson, 2009).

2.4.2 Jenis Otot Polos

Struktur dan fungsi otot polos beragam di berbagai organ tubuh. Secara umum, otot polos dapat terbagi menjadi dua tipe, yaitu otot polos viseral (unitary) dan otot polos multi-unit. Otot polos multi-unit tersusun dari unit-unit otot polos yang terpisah dan berlainan tanpa jembatan penghubung, dimana setiap unit otot polos bekerja secara independen, seperti halnya pada otot rangka. Karakteristik paling penting dari otot polos multi-unit adalah setiap serabut otot polos dapat berkontraksi secara independen dan tidak bergantung dengan serabut otot polos lainnya, serta dikontrol terutama oleh sinyal saraf (Guyton dan Hall, 2006).

2.4.3 Fisiologi Otot Polos

Meskipun memiliki prinsip-prinsip kontraksi yang sama, otot polos menunjukkan beberapa perbedaan fisiologis penting dari jaringan otot rangka dan otot jantung. Otot polos memiliki kecepatan siklus jembatan-silang yang jauh lebih lambat dibandingkan dengan otot rangka. Hal ini menyebabkan untuk setiap satu siklus hanya membutuhkan satu molekul ATP, dimana merupakan 1/10 sampai 1/300 dari jumlah energi yang dibutuhkan untuk membentuk tegangan kontraksi dari otot polos yang sama seperti pada otot rangka (Guyton dan Hall, 2006).

Saat otot polos sudah mengalami kontraksi penuh, jumlah dari eksitasi berkelanjutan biasanya dapat diturunkan menjadi lebih kecil dari tingkat awal. Selanjutnya, energi yang digunakan untuk memelihara kontraksi sangat kecil, hal ini dinamakan latch mechanism, karena mampu mempertahankan kontraksi tonik

(36)

berkepanjangan pada otot polos dengan penggunaan sedikit energi. Selain itu, karakteristik penting lainnya otot polos, khususnya otot polos viseral yaitu kemampuan untuk kembali ke bentuk semula (Guyton dan Hall, 2006).

2.4.4 Mekanisme Kontraksi dan Relaksasi Otot Polos

Peningkatan konsentrasi Ca2+ pada sitosol otot polos akan menginisiasi kontraksi, sama seperti halnya pada otot lurik (Tortora dan Derrickson, 2009). Peningkatan ini dapat disebabkan oleh stimulasi saraf, stimulasi hormonal, regangan serabut otot, atau bahkan karena perubahan lingkungan kimiawi pada serabut otot polos. Selama proses eksitasi, peningkatan Ca2+ pada sitosol berperan sebagai intracellular messenger, yang akan menginisiasi fosforilasi miosin (Guyton dan Hall, 2006).

Aktivasi reseptor muskarinik oleh asetilkolin akan membuat phospholipase-C (PLphospholipase-C) mengaktifkan fosfolipid membran (PIP2) untuk mengeluarkan inositol

trifosfat (IP3) dan diasilgliserol (DAG). IP3 akan berikatan dengan reseptor IP3

pada retikulum sarkoplasma, kemudian melepaskan Ca2+ dari simpanan Ca2+ di intraseluler dalam retikulum sarkoplasma itu sendiri dan menyebabkan peningkatan Ca2+ intraseluler. Selain itu, peningkatan Ca2+ juga dapat dipicu oleh influks pada voltage-gated Ca2+ channels (VCG) (Fry, et al., 2010; Puetz, et al., 2009).

Pada sel otot polos Ca2+ akan berikatan dengan kalmodulin, protein intraseluler yang ditemui pada hampir semua sel dengan struktur menyerupai troponin. Ca2+ dan kalmodulin ini saling berikatan untuk mengaktifkan protein lainnya, myosin light chain kinase (MLCK). MLCK merupakan enzim spesifik yang menggunakan ATP untuk menambahkan gugus fosfat ke bagian kepala

(37)

miosin. Setelah grup fosfat melekat, kepala miosin dapat berikatan dengan aktin dan kemudian terjadilah kontraksi (Fry, et al., 2010; Puetz,et al., 2009).

Defosforilasi dari miosin rantai ringan akan menginduksi relaksasi, dengan bantuan MLCP (myosin light chain phosphatase). Sifat kontraktilitas dapat diubah dengan mengatur aktivasi dari MLCK dan MLCP. Intracellular messenger yang dapat mengatur aktivitas dari kedua enzim tersebut maka dapat mengatur pula kontraktilitas otot polos. Aktivasi MLCK sendiri dapat diturunkan dengan fosforilasi dari beberapa kinase termasuk cAMP-dependent Kinase (PKA),

mitogen-activated protein (MAP) kinase, p21-activated kinase dan CaM kinase II.

Aktivitas MLCP juga dapat diturunkan melalui fosforilasi, dengan peningkatan sensitivitas Ca2+ pada sistem kontraktil (Webb, 2003; Fry, et al., 2010).

Aktivasi dari PKC juga akan memicu peningkatan sensitivitas Ca2+ dan kemudian menghambat MLCP, sehingga kontraksi terjadi. Sementara itu, densitisasi Ca2+ akan menyebabkan relaksasi. Relaksasi dapat diinduksi oleh nukleotida siklik yang dihasikan dari reseptor M2 yang berikatan dengan Messeger membuat otot polos relaksasi dengan menurunkan jumlah Ca2+

intaseluler dan densitisasi Ca2+. Penurunan jumlah Ca2+ dapat terjadi dengan penghambatan influks Ca2+ dan meningkatkan uptake Ca2+ retikulum sarkoplasma (Puetz, et al., 2009).

Keseimbangan kontraksi dan relaksasi otot polos tergantung pada aktivasi parasimpatetik dan simpatetik. Agonis reseptor β akan mengaktivasi adenilat siklase melalui subunit protein G, yaitu protein GS. Reseptor M2 dan M3 dapat

memodulasi kontraksi. Reseptor M3 tergandeng protein Gq akan meningkatkan

(38)

pun aktivasi reseptor M2 dimediasikan melalui protein Gi yang menghambat

adenilat siklase (Harahap, dkk., 2015) (Gambar 2.3).

Gambar 2.3 Kontraksi dan relaksasi otot polos (Harahap, dkk., 2015)

2.5 Reseptor

Reseptor merupakan komponen makromolekul sel umumnya berupa protein yang berinteraksi dengan senyawa kimia endogen pembawa pesan (hormon, neurotransmiter, mediator kimia dalam sistem imun, dan lain-lain) untuk menghasilkan respon seluler. Reseptor memiliki fungsi mengenal dan mengikat suatu ligan/obat dengan spesifisitas yang tinggi, meneruskan signal ke dalam sel melalui perubahan permeabilitas membran, pembentukan second

messenger dan mempengaruhi transkripsi gen. Kebanyakan reseptor, berstruktur

protein, ditemukan pada membran sel. Aktivitas kebanyakan obat ditentukan oleh kemampuan obat berikatan dengan reseptor spesifik. Obat-obat yang bekerja melalui reseptor akan menghasilkan (memulai) respon atau menghambat

(39)

(mencegah) respon. Semakin baik suatu obat berikatan dengan reseptor, maka obat tersebut semakin aktif secara biologis. Reseptor yang terdapat ditempat-tempat berbeda dalam tubuh menghasilkan bermacam-macam respons fisiologis, tergantung di mana reseptor itu berada. Reseptor kolinergik terdapat dikandung kemih, jantung, pembuluh darah, paru-paru, dan mata. Obat-obat yang menghasilkan respons disebut agonis, dan obat-obat yang menghambat respons disebut antagonis (Ikawati, 2006).

2.5.1 Jenis-jenis reseptor

Berdasarkan transduksi sinyalnya, reseptor terbagi menjadi empat, yaitu: a. Reseptor kanal ion

Reseptor nikotinik merupakan reseptor yang terhubung dengan kanal ion dan terdiri dari lima subunit yaitu subunit α1, α2, β, γ, dan δ yang masing-masing berkontribusi membentuk kanal ion dan memiliki tempat ikatan untuk molekul asetilkolin. Reseptor ini terdapat di neuromuscular junction, ganglia otonom, medula adrenal, dan susunan saraf pusat (Rahardjo, 2009). Reseptor nikotinik adalah saluran ion bergerbang ligan dan aktivitasnya selalu menyebabkan peningkatan permeabilitas selular yang cepat terhadap Na2+ dan Ca2+, depolarisasi, dan eksitasi (Ganiswara, 2007). Contoh adalah reseptor asetilkolin nikotinik, reseptor GABAA dan reseptor glutamat (Ikawati, 2006).

b. Reseptor tergandeng protein G

Reseptor tergandeng protein G (G protein-Couple Reseptor/GPCR) disebut juga reseptor metabotropik, merupakan famili terbesar dari reseptor yang terdapat pada membran sel. Reseptor ini menjadi mediator respons seluler berbagai molekul seperti hormon, neurotransmitter, dan mediator lokal. Reseptor ini

(40)

terutama mengaktivasi rangkaian peristiwa yang mengubah konsentrasi satu molekul signaling intraseluler atau lebih yang disebut second messenger untuk menimbulkan respon seluler. Beberapa second messenger yang terlibat dalam transduksi signal melalui reseptor ini adalah siklik AMP (cAMP), protein kinase A (PKA), Diasil gliserol (DAG), Inositol trifosfat (IP3), protein kinase C (PKC)

dan kalsium (Ca2+)(Ikawati, 2006).

Jalur Protein G adalah nukleotida gunanin heterotrimerik-binding proteins yang mengatur second messengers dan saluran ion. Protein G terdiri dari subunit α, β, dan γ. Aktivasi reseptor oleh ligan (agonis) akan memisahkan protein G heterotrimerik menjadi subunit α dan β/γ. Subunit Gα terutama mengatur respons intraseluler (Harahap, dkk., 2015).

Jalur transduksi signal pada GPCR ada dua, yaitu jalur adenilat siklase dan jalur fosfolipase. Berdasarkan aksinya, protein G ada tiga jenis, yaitu:

i. Gs(stimulatory G protein), bekerja mengaktifkan enzim adenilat siklase. ii. Gs (inhibitory G protein), bekerja menghambat enzim adenilat siklase. iii. Gq, bekerja mengaktifkan fosfolipase pada jalur fosfolipase

Contoh reseptor ini adalah reseptor asetilkolin muskarinik, reseptor adrenergik, dan reseptor serotonin (Ikawati, 2006).

c. Reseptor terkait dengan aktivitas kinase

Reseptor ini merupakan reseptor transmembran, yang memiliki aktivitas kinase dalam signal transduksinya. Contohnya reseptor insulin.

d. Reseptor intraseluler

Berbeda dengan ketiga reseptor di atas yang terdapat pada membransel, reseptor ini berada di dalam sitoplasmik atau nukleus. (Ikawati, 2006).

(41)

2.5.2 Agonis Reseptor

Agonis adalah suatu ligan yang bila berinteraksi dapat menghasilkan efek (efek maksimum). Agonisme dalam menghasilkan respon fisiologi (seluler) melalui dua cara:

a. Agonisme langsung

Respon berasal dari interaksi agonis dengan reseptornya yang menyebabkan perubahan konformasi reseptor aktif dan menginisiasi proses biokimiawi sel. Interaksi bisa berupa stimulasi atau penghambatan respon seluler. Proses agonisme langsung merupakan hasil aktivasi reseptor oleh obat yang mempunyai efikasi (aktivitas intrinsik).

b. Agonisme tidak langsung

Senyawa obat yang mempengaruhi senyawa endogen dalam menjalankan fungsinya dan melibatkan proses modulasi atau potensiasi efek senyawa endogen, umumnya bersifat alosterik (Ikawati, 2006).

2.5.3 Antagonis Reseptor

Antagonisme adalah peristiwa terhadap suatu senyawa dapat menurunkan aksi suatu agonis atau ligan dalam menghasilkan efek. Berdasarkan mekanisme terhadap makromolekul reseptor agonis, antagonisme dibedakan menjadi 2 yaitu:

a. Antagonisme tanpa melibatkan makromolekul reseptor agonis terdiri dari antagonis kimiawi, antagonis farmakokinetik, antagonis fungsional dan antagonis fisiologi.

(42)

b. Antagonisme melibatkan makromolekul reseptor agonis: i. Antagonis kompetitif :

a. agonis dan antagonis bersaing mendapatkan kedudukannya pada situs yang sama dengan agonis di reseptor.

b. situs agonis dan antagonis pada reseptor berdekatan, ikatan antagonis pada bagian aktifnya mengganggu secara fisik interaksi agonis dengan sisi aktifnya, atau

c. situs agonis dan antagonis berbeda, namun ikatan antagonis pada bagian aktifnya mempengaruhi reseptor agonis sehingga memungkinkan agonis dan antagonis tidak dapat secara bersamaan berinteraksi dengan reseptor. ii. Antagonis non-kompetitif: agonis dan antagonis berikatan pada saat yang

bersamaan, pada bagian yang berbeda pada reseptor (Ikawati, 2006). 2.6 Asetilkolin (ACh)

2.6.1 Sintesis dan degradasi asetilkolin

Asetilkolin (ACh) merupakan molekul ester-kolin yang pertama diidentifikasi sebagai neurotransmitter. ACh disintesis di dalam susunan saraf pusat oleh saraf yang badan selnya terdapat pada batang otak. ACh yang dihasilkan kemudian akan dilepas dari ujung presinaptik dan menduduki reseptornya. ACh diambil kembali (re-uptake) ke ujung presinaptik setelah mengalami degradasi menjadi kolin dan asetat oleh enzim asetilkolinesterase. (Katzung, 2001).

(43)

Enzim-enzim yang berperan dalam sintesis dan degradasi ACh. a. Kolin asetiltransferase

Enzim ini mengkatalisis asetilasi kolin dengan asetil koenzim A (disintesis di mitokondria dan tersedia dalam jumlah banyak di ujung saraf) sehingga membentuk asetilkolin, kemudian asetilkolin ditransportasikan dari sitoplasma ke dalam vesikel (Taylor dan Brown, 2006). Perkiraan jumlah ACh dalam vesikel sinaptik berkisar antara 1,000-50,000 molekul setiap vesikel (Fawcett, 2002). b. Asetilkolin esterase (ACE)

ACE terdapat pada saraf kolinergik. Enzim ini mempunyai dua situs pengikatan yang penting untuk degradasi Ach; daerah anionik berfungsi untuk pengikatan sebuah molekul ACh pada enzim. Begitu ACh terikat, reaksi hidrolisis terjadi pada daerah esteratik. Di sini ACh terurai menjadi kolin dan asam asetat. Kolin kemudian diambil lagi melalui sistem uptake kolin pada membran presinaps. Kolin ditransportasikan dari plasma ke dalam terminal neuron (McCormick, 1989; Taylor dan Brown, 2006).

2.6.2 Reseptor asetilkolin muskarinik

Reseptor asetilkolin muskarinik terdistribusi luas di seluruh tubuh dan mendukung berbagai fungsi vital, di otak, sistem saraf otonom terutama saraf parasimpatis. Reseptor muskarinik merupakan reseptor yang terhubung dengan protein G. Respons yang timbul dari aktivasi reseptor muskarinik oleh ACh dapat berbeda, tergantung pada subtipe reseptor dan lokasinya (Rahardjo, 2009).

2.6.3 Subtipe reseptor asetilkolin muskarinik

Pada reseptor muskarinik terdapat lima subtipe reseptor (M1, M2, M3, M4

(44)

tergandeng dengan protein merujuk pada keberadaan transduser yang melangsungkan rangkaian peristiwa sehingga dihasilkan efek sejak reseptor diaktivasi oleh ligan pertama (first ligand). Oleh karena itu protein G yang tergandeng dengan reseptor lebih tepat dikatakan transduser (Tabel 2.1).

Tabel 2.1 Subtipe reseptor muskarinik dengan antagonisnya dan jenis transduser (Harahap, dkk., 2015).

Sub tipe Antagonis Jaringan Transduser Efektor

M1 Atropin, Pirenzefin Ganglion otonom Gq Fosfolipase C (meningkatkan Ca2+ sitosol) M2 Atropin, AFDX 384 Miokardium, otot polos

Gi, Go Mengaktivasi saluran K+, inhibisi adenilil siklase

M3 Atropin Otot polos,

kelenjar sekretori Gq Fosfolipase C (meningkatkan Ca2+ sitosol) M4 Atropin, AFDX 384

Gi, Go Inhibisi adenilil siklase

M5 Atropin Gq Fosfolipase C

(meningkatkan Ca2+ sitosol)

a. Reseptor Muskarinik-1 (RM1)

Reseptor Muskarinik-1 (RM1) ditemukan di sel parietal lambung, reseptor

M1 tergandeng dengan protein Gq jika diaktivasi akan mensekresikan asam

lambung di sel parietal dan mendepolarisasi saraf otonomikdan neuron di SSP. b. Reseptor Muskarinik-2 (RM2)

Reseptor M2 dominan terdapat di otot jantung, meskipun subtipe reseptor M

(45)

Reseptor M2 terhubung dengan protein Gi dan dengan suatu kanal ion. Saraf

parasimpatetik adalah komponen sistem saraf otonom yang memegang peranan penting dalam mengatur fungsi fisiologi jantung bersama sistem saraf simpatetik (Harahap, dkk., 2015).

c. Reseptor Muskarinik-3 (RM3)

Reseptor M3 terhubung dengan protein Gq, reseptor M3 yang terdapat pada

sel otot polos bronkus jika berikatan dengan suatu ligan (asetilkolin) maka akan terjadi aktivasi sistem fosfolipase C yang pada gilirannya akan meningkatkan konsentrasi Ca2+ sehingga terjadi kontraksi otot bronkus. Aktivasi reseptor M3

Pada pupil mata dan otot siliari akan menginduksikan kontraksi, sedangkan pada kelenjar saliva menginduksi sekresi saliva. Semua subtipe reseptor muskarinik dapat diblok oleh atropin (Harahap, dkk., 2015). Reseptor M3 juga dijumpai pada

kandung kemih, salah satu antagonisnya yaitu tolterodin yang digunakan untuk mengatasi gangguan kandung kemih (Ikawati, 2006).

2.6.4 Mekanisme asetilkolin dalam kontraksi otot polos

Asetilkolin menduduki reseptor M3, mengakibatkan terjadinya peningkatan afinitas kompleks reseptor M3 terhadap protein Gq heterotrimer (αβγ) yang terikat pada GDP, menghasilkan kompleks reseptor M3-protein G heterotrimer melalui ikatan pada termin C protein Gq subunit α. Terbentuknya kompleks ini menyebabkan GDP yang terikat pada protein G subunit α terlepas dan digantikan oleh GTP yang banyak terdapat dalam sitosol. Ikatan dengan GTP menginduksi perubahan konformasi pada struktur protein Gq subunit α sehingga terjadi disosiasi. Gqα-GTP terpisah dari heterodrimer Gqβγ. Gqα-GTP bebas kemudian mengaktifkan Phospolipase C (PLC). Aktifnya PLC akan meningkatkan

(46)

hodrolisis fosfoinositol bifosfat (Phosphoinositol 4,5-bisphosphate/PIP2) menjadi inositol 1,4,5-triposfat (IP3) dan 1,2-diasilgliserol (DAG).

Kedua senyawa hasil hidrolisis ini merupakan second messenger, IP3 akan menduduki reseptor IP3 pada calcium store di retikulum sarkoplasma menghasilkan pembukaan kanal kalsium. Kalsium kemudian dilepas ke dalam sitosol sehingga kadar kalsium intraseluler meningkat. Kalsium dari calcium store retikulum sarkoplasma merupakan faktor utama dalam kontraksi otot polos selain kalsium dari influks. Kalsium intraseluler kemudian terikat dengan kalmodulin, membentuk kompleks kalsium-kalmodulin yang akan mengaktifkan myosin light

chain kinase (MLCK). MLCK akan memfosforilasi myosin light chains (MLC)

dan mengaktifkan miosin. ATPase yang diperlukan untuk terjadinya ikatan silang antara aktin-miosin yang menghasilkan kontraksi otot polos (Penn dan Benovic, 2008; Ikawati, 2006; Billington dan Penn, 2003; Katzung, 2001). Sementara itu

second messenger DAG tetap terikat pada membran sel dan akan mentranslokasi

protein kinase C (PKC) dari sitosol menuju membran sel. PKC lalu terikat pada substrat di kanal kalsium membran sel dan menghasilkan pembukaan kanal kalsium sehingga terjadi influks Ca2+. Aktivasi PKC merupakan hasil kombinasi antara pengaktifan oleh Ca2+ intraseluler yang bersifat cepat dan oleh DAG yang menjaga kesinambungan aktivasi PKC (Penn dan Benovic, 2008; Newton, 2004; Ikawati, 2006; Billington dan Penn, 2003; Oancea dan Meyer, 1998).

2.6.5 Antagonis reseptor muskarinik

Antagonis muskarinik beraksi secara selektif menghambat aktivitas saraf parasimpatik, sehingga disebut juga parasimpatolitik. Efek dari obat antagonis muskarinik adalah berlawanan dengan efek agonis muskarinik. Efek antagonis

(47)

muskarinik pada organ saluran pernafasan yaitu bronkodilatasi. Contoh antagonis muskarinik dari senyawa alami adalah atropin (Atropa belladona) dan hyosin (Datura stramonium) (Nugroho, 2012). Hambatan oleh atropin bersifat reversibel dan dapat diatasi dengan pemberian asetilkolin dalam jumlah berlebihan atau pemberian antikolinesterase (Zunilda, 2007).

Kepekaan reseptor muskarinik terhadap antimuskarinik berbeda antar organ. Pada dosis kecil atropin hanya menekan sekresi air liur, mukus bronkus dan keringat, pada dosis yang lebih besar baru terlihat dilatasi pupil gangguan akomodasi dan penghambatan nervus vagus sehingga terlihat takhikardia. Diperlukan dosis yang lebih besar untuk menghambat peristalsis usus dan sekresi kelenjar dilambung (Ganiswara, 2007).

Mekanisme kerja Atropin memblok aksi kolinomimetik pada reseptor muskarinik secara reversible (tergantung jumlahnya) yaitu, hambatan oleh atropine dalam dosis kecil dapat diatasi oleh asetilkolin atau agonis muskarinik yang setara dalam dosis besar. Hal ini menunjukan adanya kompetisi untuk memperebutkan tempat ikatan. Hasil ikatan pada reseptor muskarinik adalah mencegah aksi seperti pelepasan IP3 dan hambatan adenilil siklase yang di

akibatkan oleh asetilkolin atau antagonis muskarinik lainnya (Raharja dan Tan, 2007).

2.7 Fosfodiesterase

Siklik nukleotida cyclic adenosine-3',5' monophosphate (cAMP) adalah

second messenger yang penting dalam regulasi aktivitas sel. Di saluran

(48)

inflamasi. Meningkatnya konsentrasi cAMP intraseluler akan menyebabkan terjadinya bronkorelaksasi. Konsentrasi cAMP intraseluler ditentukan oleh stimulasi reseptor pada permukaan sel dan degradasi cAMP menjadi 5’-AMP oleh fosfodiesterase (PDE) (Raff, et al., 2002). Fosfodiesterase adalah enzim yang mengkatalisis hidrolisis ikatan ester pada molekul fosfat, seperti pada oligo- dan poli- nukleotida (Pudjaatmaka, 2002; Feneck, 2007). Degradasi cAMP oleh PDE dapat dilihat pada Gambar 2.4.

Gambar 2.4 Hidrolisis cAMP oleh fosfodiesterase (Raff, et al., 2002). Terdapat lima jenis isoenzim PDE yang telah dibedakan berdasarkan spesifisitas substrat dan pengembangan inhibitor selektif. Pada otot polos trakea dan bronkus manusia, telah diidentifikasi adanya PDE I, II, III, IV dan V. Pada percobaan secara in vivo menggunakan marmut, diketahui bahwa penghambatan

(49)

terhadap PDE III, IV dan V dapat menyebabkan bronkorelaksasi. Penghambatan PDE III menyebabkan relaksasi otot polos saluran napas, baik saat tonus spontan atau tonus yang disebabkan oleh induksi karbakol. Sedangkan penghambatan PDE IV tidak menurunkan tonus spontan tetapi dapat menurunkan tonus yang disebabkan oleh induksi karbakol (Barnes, 1995).

Kombinasi inhibitor PDE III dan IV yang paling efektif dalam merelaksasi otot polos saluran napas. Hal ini menunjukkan bahwa kerjasama dua isoenzim PDE III dan IV diperlukan untuk efek bronkodilator yang optimal. Inhibitor PDE V, juga efektif sebagai bronkodilator, yang menunjukkan bahwa cGMP juga terlibat dalam relaksasi otot polos saluran napas (Hall, 2000).

2.8 Teofilin

Teofilin merupakan derivat xantin yang menyebabkan relaksasi otot polos, terutama otot polos bronkus, serta merangsang otot jantung, dan meningkatkan diuresis. Adapun mekanisme kerja dari teofilin yaitu dengan cara menghambat enzim fosfodiesterase sehingga mencegah pemecahan cAMP dan cGMP masing-masing menjadi 5’-AMP dan 5’-GMP. Penghambatan fosfodiesterase menyebabkan akumulasi cAMP dan cGMP dalam sel sehingga menyebabkan relaksasi otot polos, termasuk otot polos bronkus (Katzung, 2001). Sehingga teofilin digunakan sebagai bronkodilator yang diperlukan pada serangan asma yang berlangsung lama. Selain itu, teofilin juga digunakan sebagai profilaksis terhadap serangan asma (Ward, et al., 2008).

(50)

Teofilin mempunyai efek samping berupa mual dan muntah, gangguan sistem saraf pusat (gelisah dan gangguan tidur), juga efek kardiovaskular, seperti takikardia, aritmia dan hipotensi (Schmitz, et al., 2003).

Gambar 2.5 Struktur teofilin (Depkes RI, 1995)

Nama Kimia : 1,3-dimethyl-3,7-dihydro-1H-purine-2,6-dione Rumus Molekul : C7H8N4O2

Berat Molekul : 180,17

Pemerian : Serbuk hablur, putih, tidak berbau, rasa pahit, stabil di udara Kelarutan : Sukar larut dalam air, tetapi lebih mudah larut dalam air panas,

mudah larut dalam larutan alkali hidroksida dan dalam amonium hidroksida, agak sukar larut dalam etanol, dalam kloroform dan dalam eter (Depkes RI, 1995).

(51)

2.9 Uraian Tumbuhan Ciplukan

Uraian tumbuhan ini meliputi sistematika taksonomi, nama daerah, morfologi dan khasiat tumbuhan daun ciplukan.

2.9.1 Sistematika taksonomi ciplukan

Tumbuhan ciplukan (Physalis minima L.) diklasifikasikan sebagai berikut (Sianturi, 2011):

Kingdom : Plantae

Divisio : Spermatophyta Sub divisio : Angiospermae Kelas : Dicotyledoneae Bangsa : Solanales Suku : Solanaceae Marga : Physalis

Spesies : Physalis minima L.

Sinonim : Halicacabus indicus Rumphius, Physalis angulata, Physalis peruviana (Anonim, 2010).

2.9.2 Nama daerah tumbuhan ciplukan

Di Indonesia ciplukan banyak dikenal dengan berbagai nama yaitu daun boba (Ambon), daun kopo-kopo (Makasar), leletop (Sumatra), ceplukan (Melayu), cecendet atau cicindet (Sunda), keceplokan (Kangean), yoryoran (Madura), kopok-kopokan atau ciciplukan (Bali) (Sianturi, 2011).

2.9.3 Habitat ciplukan

Ciplukan cocok tumbuh di tanah yang subur, gembur, dan tidak tergenang air. Kondisi lapisan tanah bagian atas sangat berpengaruh terhadap kesuburan

(52)

ciplukan. Ciplukan tumbuh ditanah yang kosong, ciplukan yang tumbuh liar biasanya bersama dengan tanaman lain seperti ditempat yang ditanami kacang tanah, kedelai, atau tanaman jagung. Kadangkala ciplukan ditemukan tumbuh di tepi hutan, tegalan kering, tepi selokan dan beberapa tempat lain (Pitojo, 2002). 2.9.4 Morfologi ciplukan

Ciplukan merupakan herba yang memiliki akar, batang, daun, bunga, buah, dan biji. Akar tunggang dan serabut, berbentuk bulat, dan berwarna putih, percabangannya tumbuh melebar kesamping dan bahkan sebagian mendatar hingga menyentuh tanah, tingginya bisa mencapai 2 m, percabangan terjadi pada daun keenam hingga kesepuluh. Daun berwarna hijau, permukaan berbulu, bentuk meruncing, berurat jelas, tulang daun menyirip, daun bergerigi pada bagian tepinya, ujung daun meruncing, pangkal daun runcing, panjang daun 5-12 cm dan lebar 4-7 cm, daun tipis, cepat layu, berbau langu, dan rasanya sangat pahit. Panjang tangkai daun berkisar 2-3 cm dan berwarana hijau. Bunga berbentuk tunggal muncul dari ketiak daun yang terdiri dari tangkai bunga, kelopak bunga menyerupai terompet, mahkota bunga berwarna kuning berbentuk lonceng, tangkai sari dan tangkai putik (Pitojo, 2002).

2.9.5 Kandungan kimia ciplukan

Daun dan batang ciplukan mengandung senyawa flavonoid, alkaloid, saponin, tanin, glikosida dan steroid/triterpenoid (Sianturi, 2011). Ciplukan mengandung senyawa alkaloid berupa atropin dan scopolamin (Efendi, 1998). Ciplukan juga mengandung senyawa-senyawa steroid yang diberi nama fisalin A, fisalin B, fisalin C, fisalin D, wita fisalin A, wita fisalin C dan 5,6 epoksi fisalin B. Kandungan kimia lain yang teramati dalam tanaman ciplukan adalah senyawa

Gambar

Gambar 1.1 Kerangka pikir penelitian EEDC
Gambar 2.3 Kontraksi dan relaksasi otot polos (Harahap, dkk., 2015)
Tabel 2.1 Subtipe  reseptor  muskarinik  dengan  antagonisnya  dan  jenis  transduser  (Harahap, dkk., 2015)
Gambar 2.4 Hidrolisis cAMP oleh fosfodiesterase (Raff, et al., 2002).
+7

Referensi

Dokumen terkait

Guru menunjuk beberapa siswa untuk maju dan menjelaskan hasil diskusi tentang penyelesaian pecahan desimal dengan bimbingan guruB. Guru memberikan pembenaran

Keselamatan Kesehatan Kerja dan Lingkungan Hidup 72.. Tanaman Obat

[r]

[r]

Produktifitas tenaga kerja dan alat struktur pelat lantai sis- tem floor deck lebih tinggi dibandingkan dengan struktur pelat lantai konvensional, sedangkan kinerja

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat pengaruh perbedaan respon kognitif antara konsumen yang mendapat stimuli iklan komparatif dan iklan non komparatif.. Kemudian

Router Freesco memiliki beberapa keuntungan dibandingkan harus memakai dedicated router yang harganya jelas mahal yaitu dapat lebih leluasa menggunakan berbagai kemampuan dan

Pembantu Dekan, Ketua Lembaga, Sekretaris Lembaga, Kepala Pusat, Ketua Jurusan, Sekretaris Jurusan, Kepala Laboratorium/Bengkel/Studio, dan Kepala UPT sebagaimana