• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aplikasi Terapi Murottal Dalam Asuhan Keperawatan Pasien Pre Operasi Fraktur Dengan Kecemasan di Ruang Rindu B3 RSUP.HAM Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Aplikasi Terapi Murottal Dalam Asuhan Keperawatan Pasien Pre Operasi Fraktur Dengan Kecemasan di Ruang Rindu B3 RSUP.HAM Medan"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 FRAKTUR 2.1.1 Definisi

Menurut Price dan Wilkinson (2006) dalam Nur Arif dan Kusuma (2013) fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik. Kekuatan dan sudut dari tenaga tersebut, keadaan tulang, dan jaringan lunak disekitar tulang akan menentukan apakah fraktur yang terjadi itu lengkap atau tidak lengkap. Menurut Sjamsuhidayat (2005) dalam Ningsih (2009) fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa.

Fraktur femur adalah terputusnya kontiunitas batang femur yang biasa terjadi akibat trauma langsung ( kecelakaan lalulintas jatuh dari ketinggian ) dan menimbulkan perdarahan yang cukup banyak, mengakibatkan penderita jatuh dalam syok (Sjamsuhidajat, 1999).

2.1.2 Etiologi

Penyebab fraktur adalah (Wahid, 2013) : a. Kekerasan langsung

Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya kekerasan. Fraktur demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan garis patahan melintang atau miring.

(2)

Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang yang jauh dari di tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah bagian yang paling lemah dalam jalur hantaran vektor kekerasan.

c. Kekerasan akibat tarikan otot

Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi. Kekuatan dapat berupa pemuntiran, penekukan, penekukan dan penekanan, kombinasi dari ketiganya, dan penarikan.

2.1.3. Klasifikasi fraktur

Klasifikasi fraktur menurut Chairuddin (2003) dalam Nur Arif dan Kusuma (2013) mengatakan :

a. Klasifikasi etiologis 1) Fraktur traumatik

2) Fraktur patologis terjadi pada tulang karena adanya kelainan atau penyakit yang menyebabkan kelemahan pada tulang (infeksi, tumor, kelainan bawaan) dan dapat terjadi secara spontan atau akibat trauma ringan.

3) Fraktur stress, terjadi karena adanya stress yang kecil dan berulang-ulang pada daerah tulang yang menopang berat badan. Fraktur stress jarang sekali ditemukan pada anggota gerak atas.

b.Klasifikasi klinis

1) Fraktur tertutup (simple fraktur), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar.

(3)

c.Klasifikasi radiologis

1)Lokalisasi : diafisial, metafisial, intra-artikuler, fraktur dengan dislokasi. 2)Konfigurasi: fraktur transfersal, fraktur oblik, fraktur spinal, fraktur segmental,

fraktur komunitif (lebih dari deaf ragmen), fraktur beji biasa vertebra karena trauma, fraktur avulse, fraktur depresi, fraktur pecah, dan fraktur epifisis. 3)Menurut ekstensi : fraktur total, fraktur tidak total, fraktur buckle atau torus,

fraktur garis rambut, dan fraktur green stick.

4)Menurut hubungan antara fragmen dengan fragmen lainnya : tidak bergeser, bergeser (berdampingan, angulasi, rotasi, distraksi, overring, dan impaksi). d.Fraktur terbuka dibagi atas 3 derajat, yaitu :

1) Derajat I :

a) Luka < 1cm. Kerusakan jaringan lunak sedikit, tidak ada tanda luka remuk. b) Fraktur sederhana, transversal, atau komunitatif ringan.

c) Kontaminasi minimal. 2) Derajat II :

a) Laserasi > 1 cm

b) Kerusakan jaringan lunak, tidak luas, flap atau avulasi. c) Fraktur komunitif sedang.

d) Kontaminasi sedang. 3) Derajat III :

Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas meliputi struktur kulit, otot, dan neurovaskuler serta kontaminasi derajat tinggi.

2.1.4 Menifestasi klinis

(4)

a) Tidak dapat menggunakan anggota gerak. b) Nyeri pembengkakan.

c) Terdapat trauma (kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian, atau jatuh di kamar mandi pada orang tua, penganiayaan, tertimpa benda berat, kecelakaan kerja, trauma olah raga).

d) Gangguan fungsio anggota gerak. e) Deformitas.

f) Kelainan gerak. 2.1.5 Patofisiologi

Fraktur femur terjadi akibat jatuh pada daerah trokanter, baik pada kecelakaan lalu lintas maupun jatuh dari tempat yang tidak terlalu tinggi, seperti terpeleset di kamar mandi ketika panggul dalam keadaan fleksi dan rotasi. Pada kondisi osteoporosis, insiden fraktur pada posisi ini tinggi. Perubahan struktur pinggul menyebabkan cedera saraf skeatika yang menimbulkan keluhan nyeri pada klien, adanya deformitas pinggul, ketidak mampuan melakukan pergerakan pinggul, dan intervensi reduksi tertutup dengan traksi skeletal menimbulkan menifestasi masalah resiko tinggi trauma dan hambatan mobilitas fisik. Intervensi medis berupa bedah perbaikan memberikan implikasi pada nyeri pasca-bedah dan resiko tinggi infeksi luka pascabedah (Muttaqin, 2012 : 182-183).

2.1.6 Komplikasi Fraktur

Komplikasi pada fraktur digolongkan menjadi dua, yaitu (Wahid,2013) : 1) Komplikasi awal

(5)

Pecahnya arteri karena bisa ditandai dengan tidak adanya nadi, CRT menurun, cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin pada ekstremitas yang disebabkan oleh tindakan emergensi splinting, perubahan posisi pada yang sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan.

b) Kompartemen syndrom

Kompartemen syndrome merupakan komplikasi serius yang terjadi karena terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam jaringan parut. Ini disebabkan oleh oedema atau perdarahan yang menekan otot, saraf, dan pembuluh darah. Selain itu karena tekanan dari luar seperti gips dan pembebatan terlalu kuat. c) Fat Embolism Syndrom

Fat Embolism Syndrom (FES) adalah komplikasi serius yang sering terjadi pada kasus tulang panjang. FES terjadi karena sel-sel lemak yang dihasilkan bone marrow kuning masuk ke aliran darah dan menyebabkan tingkat oksigen dalam darah rendah ditandai dengan gangguan pernafasan, tachykardi, hipertensi,

tachypnea, dan demam. d) Infeksi

Setelah pertahanan tulang rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma orthopaedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bias juga karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat.

e) Avaskuler nekrosis

(AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan diawali dengan adanya Volkman’s

(6)

f) Syok terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya oksienasi. Ini biasanya terjadi pada fraktur.

2)Komplikasi dalam waktu lama a. Delayed Union

Delayed union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini disababkan karena penurunan suplai darah ke tulang.

b. Non Union

Non union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi dan memproduksi sambungan yang lengkap,kuat, dan stabil setelah 6-9 bulan. Non union ditandai denga adanya pergerakan yang berlebih pada sis fraktur yang membentuk sendi palsu atau pseudoaethosis. Ini juga disebabkan karena aliran darah yang kurang. c. Mal union

Mal union merupakan penyembuhan tualng di tandai dengan meningkatnya tingkat kekuatan dan perubahan bentuk (deformitas). Mal union dilakukan dalam pembedahan dan reimobilisasi yang baik.

2.1.7 Penatalaksanaan

Penatalaksaan pada fraktur yaitu (Muttaqin, 2008) : a. Konservatif dengan indikasi yang sangat terbatas. b.Terapi operatif

(7)

untuk hasil yang akurat dan stabil. Orang tua yang mengalami sfraktur femur perlu dimobilisasi dengan cepat untuk mencegah komplikasi. Jenis operasi yang bisa dilakukan pada klien femur adalah pemasangan pin, pemasangan plate atau

screw, herniartroplasti, serta artroplasi dilakukan pada pasien usia diatas 55 tahun yang berupa eksisi artroplasti.

2.1.8 Pemeriksaan diagnostik

Menurut Ignatavicius dan Donna D (2006) dalam Wahid (2013) mengatakan pemeriksaan diagnostik pada pasien fraktur adalah sebagai berikut : a. Pemeriksaan Radiologi

Untuk menentukan gambaran 3 dimensi keadaan dan kedudukan tulang yang sulit, maka diperlukan 2 proyeksi yaitu AP atau PA dan lateral. Dalam keadaan tertentu diperlukan proyeksi tambahan (khusus) ada indikasi untuk memperlihatkan patologi yang dicari karena adanya super posisi. Perlu disadari bahwa X-ray harus atas dasar indikasi kegunaan pemeriksaan penunjang dan hasinya dibaca sesuai dengan permintaan. Hal yang harus dibaca pada hasil X-ray: 1) Bayangan jaringan lunak.

2) Tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau biomekanik atau juga rotasi.

3) Trombukulasi ada tidaknya rare fraction.

4) Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi.

Selain foto polos X-ray (plane X-ray) mungkin perlu teknik khususnya sepertinya :

1) Tomografi

(8)

3) Arthrografi

4) Computed Tomografi-Scanning.

b.Pemeriksaan Laboratorium.

1) Kalsium serum dan fosfor serum meningkat pada tahap penyembuhan tulag. 2) Alkalin fosfat

Meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukan kegiatan osteoblastikdalam membentuk tulang.

3) Enzim otot seperti kreatinin kinase, laktat dehidrogenase (LDH-5), asparat amino transferase (AST), aldolase yang meningkat pada tahap penyembuhan tulang.

c. Pemeriksaan lain-lain

1) Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas : Didapatkan mikroorganisme penyebab infeksi.

2) Biopsi tulang dan otot :

Pada intinya pemeriksaan ini sama dengan pemeriksaan diatas tapi lebih diindikasikan bila terjadi infeksi.

3) Elektromyografi:

Terdapat kerusakan konduksi saraf yang diakibatkan fraktur. 4) Arthoscopy:

Didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena trauma yang berlebihan.

5) Indium imaging:

(9)

Menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur. 2.1.9 Asuhan Keperawatan Fraktur

a. Pengkajian

Pengkajian adalah proses yang mencakup pengumpulan informasi tentang gejala-gejala terakhir juga manifestasi penyakit sebelumnya (Smeltzer dan Bare, 2002: 595).

Pengkajian pada pasien fraktur meliputi (Ningsih, 2009) : 1) Aktivitas atau istirahat

Tanda : keterbatasan gerak atau kehilangan fungsi motorik pada bagian yang terkena (dapat segera atau sekunder, akibat pembengkakan atau nyeri). 2) Sirkulasi

Tanda : hipertensi (kadang-kadang terlihat sebagai respon terhadap nyeri atau ansietas) atau hipotensi(hipovolemia).Takikardi (respon stres, hipovolemia). Penurunan atau tidak teraba nadi distal, pengisisn kapiler lambat (capillary refille), kulit dan kuku pucat atau sionatik. Pembengkakan jaringan atau massa hematom pada sisi cidera.

3) Neurosensori

Gejala : hilang gerak atau sensasi, spasme otot. Kebas atau kesemutan (parestesi)

(10)

4) Keamanan Tanda : laserasi kulit, avulsi jaringan, perdarahan dan perubahan warna kulit. Pembengkakan lokal (dapat meningkatkan secara bertahap atau tiba-tiba).

b. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan adalah cara mengidentifikasi, memfokuskan dan mengatasi kebutuhan spesifikpasien serta respons terhadap masalah aktual dan resiko tinggi. Label diagnosa keperawatan memberi format untuk mengekspresikan bagian indentifikasi masalah dari proses keperawatan (Doenges, 2000: 8). Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada klien fraktur collum femur menurut Muttaqin (2011) salah satunya yaitu: ansietas berhubungan dengan krisis situasional, ancaman terhadap konsep diri, perubahan status kesehatan atau ekonomi atau fungsi peran.

c. Intervensi keperawatan

Intervensi keperawatan adalah presripsi untuk perilaku spesifik yang diharapkan dari pasien dan atau tindakan yang harus dilakukan oleh perawat. Tindakan/intervensi keperawatan dipilih untuk membantu pasien dalam mencapai hasil pasien yang diharapkan dan tujuan pemulangan. Intervensi ini mempunyai maksud mengindividualkan perawatan dengan memenuhi kebutuhan spesifik pasien serta harus menyertakan kekuatan-kekuatan pasien yang telah di identifikasi bila memungkinkan (Doenges, 2000 : 10).

Ansietas yang berhubungan dengan krisis situasional, akan menjalani operasi, status ekonomi dan perubahan fungsi peran (Muttaqin, 2008).

(11)

Kriteria Hasil : klien mengenal perasaanya, dapat mengidentifikasi penyebab atau faktor yang mempengaruhi dan menyatakan ansietas berkurang atau hilang. Intervensi :

(1) Kaji tanda verbal dan non verbal ansietas, dampingi klien dan lakukan tindakan bila klien menunjukan perilaku merusak.

Rasional : reaksi verbal atau nonverbal dapat menunjukkan rasa agitasi, marah dan gelisah.

(2) Hindari konfrontasi

Rasional : konfrontasi dapat meningkatkan rasa marah, menurunkan kerja sama, dan mungkin memperlambat penyembuhan.

(3) Mulai melakukan tindakan untuk mengurangi ansietas. Beri lingkungan yang tenang dan suasana penuh istirahat.

Rasional : mengurangi rangsangan eksternal yang tidak perlu.

(4) Orientasikan klien terhadap tahap-tahap prosedur operasi dan aktivitas yang diharapkan.

Rasional : orientasi tahap-tahap prosedur operasi dapat mengurangi ansietas (Muttaqin, 2008 : 222).

d. Evaluasi

Evaluasi pada masalah keperawatan fraktur adalah (Muttaqin, 2008) : ansietas berkurang.

2.2 Kecemasan

(12)

Menurut Asmadi (2008) dalam Syahputra dkk (2013) kecemasan merupakan gejolak emosi seseorang yang berhubungan dengan sesuatu diluar dirinya dan mekanisme diri yang digunakan dalam mengatasi permasalahan, terlihat jelas bahwa kecemasan ini mempunyai dampak terhadap kehidupan seseorang, baik dampak positif maupun negatif. Pasien yang menjalani perawatan di rumah sakit dengan berbagai situasi dan kondisi akan membuatnya semakin cemas. Kaplan (2010) dam Syahputra dkk (2013) kecemasan adalah suatu sinyal yang menyadarkan, memperingatkan adanya bahaya yang mengancam dan memungkinkan seseorang mengambil tindakan untuk mengatasi ancaman. Kecemasan merupakan respons terhadap suatu ancaman yang sumbernya tidak diketahui, internal, samar-samar, atau konfliktual. Kecemasan tidak dapat dihindarkan dari kehidupan individu dalam memelihara keseimbangan. Pengalaman cemas seseorang tidak sama pada beberapa situasi dan hubungan interpersonal.

Hal yang dapat menimbulkan kecemasan biasanya bersumber dari ancaman integritas biologi meliputi gangguan terhadap kebutuhan dasar makan, minum, kehangatan, sex, dan ancaman terhadap keselamatan diri seperti tidak menemukan integritas diri, tidak menemukan status prestise, tidak memperoleh pengakuan dari orang lain dan ketidak sesuaian pandangan diri dengan lingkungan nyata.

(13)

tidak jelas dan dihubungkan dengan perasaan tidak menentu dan tidak berdaya. Sebagai contoh kekhawatiran menghadapi operasi/pembedahan (misalnya takut sakit waktu operasi, takut terjadi kecacatan), kekhawatiran terhadap anestesi atau pembiusan (misalnya takut terjadi kegagalan anestesi/meninggal, takut tidak bangun lagi) dan lain-lain (Suliswati, 2005:109).

2.2.1 Ciri cemas

Menurut Hawari (2013), ciri-ciri cemas antara lain: a. Cemas, khawatir, tidak tenang, dan bimbang b. Memandang masa depan dengan was-was

c. Tidak percaya diri, gugup apabila tampil dimuka umum d. Sering tidak merasa bersalah, menyalahkan orang lain e. Tidak mudah mengalah, suka ngotot

f. Gerakan sering serba salah, tidak tenang bila duduk, gelisah

g. Seringkali mengeluh ini dan itu (keluhan-keluhan somatic), khawatir berlebihan terhadap penyakit

h. Mudah tersinggung, membesar-besarkan masalah yang kecil (dramatis)

i. Dalam mengambil keputusan sering biingbang dan ragu

j. Bila mengemukakan sesuatu atau bertanya sering kali di ulang-ulang k. Kalau sedang emosi sering kali histeri

2.2.2 Gejala klinis cemas

Menurut Hawari (2013), gejala cemas antara lain:

(14)

b. Merasa tegang, tidak tenang, gelisah, mudah terkejut c. Takut sendirian, takut pada keramaian, dan banyak orang d. Gangguan pola tidur, mimpi-mimpi yang menegangkan e. Gangguan konsentrasi dan daya ingat

f. Keluhan-keluhan somatic, misalnya rasa sakit dan tulang pendengaran berdengin (tinnitus), berdebar-debar, sesak nafas, gangguan pencernaan, gangguan perkemihan, sakit kepala.

2.2.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan

Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kecemasan menurut Struart (2007) antara lain:

a. Dalam pandangan psikoanalisa kecemasan/ ansietas adalah konflik emosional yang terjadi antara dua elemen kepribadian yaitu id dan Super ego. id mewakili dorongan insting dan impuls primitif, sedangkan super ego mencerminkan hati nurani dan dikendalikan oleh norma-norma budaya. Ego atau aku, berfungsi menengahi tuntutan dari dua elemen yang bertentangan tersebut, dan fungsi ansietas adalah mengingatkan ego bahwa ada bahaya.

b. Menurut pandangan interpersonal, kecemasan timbul dari perasaan takut terhadap ketidak setujuan dan penolakan interpersonal. Kecemasan juga berhubungan dengan perkembangan trauma, sepertiperpisahan dan kehilangan, yang menimbulkan kerentanan tertentu. Individu dengan harga diri rendah terutama rentan mengalami kecemasan yang berat.

(15)

yang diinginkan. Pakar perilaku lain menganggap kecemasan sebagai suatu dorongan untuk belajar berdasarkan keinginan dari dalam untuk menghindari kepedihan. Ahli teori perilaku lain menganggap kecemasan sebagai suatu dorongan yang dipelajari berdasarkan keinginan dari dalam diri untuk menghindari kepedihan.

Ahli teori pembelajaran meyakini bahwa individu yang terbiasa sejak kecil dihadapkan pada ketakutan yang berlebihan lebih sering menunjukkan kecemasan pada kehidupan selanjutnya. Ahli teori konflik memandang kecemasan sebagai pertentangan antara dua kepentingan yang berlawanan. Mereka meyakini adanya hubungan timbal balik antara konflik dan kecemasan. Konflik menimbulkan kecemasan, dan kecemasan menimbulkan perasaan tidak berdaya, yang pada gilirannya meningkatkan konflik yang dirasakan.

d. Kajian keluarga, menunjukkan bahwa gangguan kecemasan biasanya terjadi dalam keluarga. Gangguan kecemasan juga tumpang tindih antara gangguan kecemasan dengan depresi.

e. Kajian biologis menunjukkan bahwa otak mengandung reseptor khusus untuk

benzodiazepines. Obat-obatan yang meningkatkan neuroregulator inhibisi asam gama-aminobutirat (GABA), yang berperan penting dalam mekanisme biologi berhubungan dengan kecemasan. Selain itu kesehatan umum individu dan riwayat kecemasna pada keluarga memiliki efek nyata sebagai predisp osisi kecemasan. Kecemasan mungkin disertai dengan gangguan fisik dan selanjutnya menurunkan kemampuan individu unutk mengatasi stressor.

(16)

Menurut Peplau (1952) dalam Videbeck (2008) ada empat tingkat ansietas, yaitu ringan,sedang, berat dan panik. Pada masing-masimg tahap individu memperlihatkan perubahan perilaku, kemampuan kognitif dan respon emosional ketika berupaya menghadapi ansietas. Menurut Stuart (2007) kecemasan dibagi menjadi empat tingkat kecemasan, yaitu :

1) Kecemasan Ringan

Kecemasan ini berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan sehari-hari, kecemasan ini menyebabkan individu menjadi waspada dan meningkatkan lapang persepsinya. Kecemasan ini dapat memotivasi belajar dan menghasilkan pertumbuhan serta kreativitas.

Respon fisiologis ditandai dengan sesekali nafas pendek, nadi dan tekanan darah naik, gejala ringan pada lambung, muka berkerut, bibir bergetar. Respon kognitif merupakan lapang persepsi luas, mampu menerima rangsangan yang kompleks, konsentrasi pada masalah, menyelesaikan masalah secara efektif. Respon perilaku dan emosi seperti tidak dapat duduk tenang, tremor halus pada tangan, suara kadang-kadang meningkat.

2) Kecemasan Sedang

(17)

perilaku dan emosi : meremas tangan, bicara banyak dan lebih cepat, susah tidur dan perasaan tidak enak.

3) Kecemasan Berat

Sangat mengurangi lahan persepsi seseorang terhadap sesuatu yang terinci dan spesifik dan tidak dapat berpikir tentang hal yang lain. Semua perilaku ditujukan untuk menghentikan ketegangan individu dengan kecemasan berat memerlukan banyak pengarahan untuk dapat memusatkan pikiran pada suatu area lain. Respon fisiologi : nafas pendek, nadi dan tekanan darah meningkat, berkeringat, ketegangan dan sakit kepala. Respon kognitif : lapang persepsi, amat sempit, tidak mampu menyelesaikan masalah. Respon perilaku dan emosi :perasaan ancaman meningkat.

4) Panik

Individu kehilangan kendali diri dan detail perhatian hilang. Hilangnya kontrol, menyebabkan individu tidak mampu melakukan apapun meskipun dengan perintah. Respon fisologis : nafas pendek, rasa terkecik, sakit dada, pucat, hipotensi, koordinasi motorik rendah. Respon kognitif : lapang persepsi sangat sempit, tidak dapat berpikir logis. Respon perilaku dan emosi : mengamuk, marah, ketakutan dan kehilangan kendali.

2.2.4 Manifestasi Kecemasan

Manifestasi respon kecemasan dapat berupa perubahan respon fisiologis, perilaku, kognitif dan afektif antara lain (Stuart, 2007):

a. Respon fisiologi

(18)

2) Respon pernafasan seperti nafas cepat, nafas pendek, tekanan pada dada, nafas dangkal, pembengkakan tenggorokan, sensasi tercekik, terengah-engah. 3) Respon neuromuskuler seperti refleks meningkat, reaksi kejutan, mata

berkedip-kedip, insomnia, tremor, rigiditas, gelisah, wajah tegang, kelemahan umum, kaki goyah, gerakan yang janggal.

4) Respon gastrointestinalseperti kehilangan nafsu makan, menolak makan, rasa tidak nyaman pada abdomen, mual, rasa terbakar pada jantung, diare.

5) Respon traktus urinarius seperti tidak dapat menahan kencing, sering berkemih.

6) Respon kulit antara lain wajah kemerahan, berkeringat setempat, gatal, rasa panas dan dingin pada kulit, wajah pucat, berkeringat seluruh tubuh.

b. Respon perilaku seperti: gelisah, ketegangan fisik, tremor, bicara cepat kurang koordinasi, cenderung mendapat cedera, menarik diri dari hubungan interpersonal, melarikan diri dari masalah.

c. Respon kognitif meliputi perhatian terganggu, konsentrasi buruk, salah dalam memberikan penilaian.

d.Respon afektif meliputi hambatan berpikir, bidang persepsi menurun, kreatifitas dan produktifitas menurun, bingung, sangat waspada, kesadaran meningkat, kehilangan objektifitas, takut kehilangan control, takut pada gambaran visual, takut cidera, mudah terganggu, tidak sabar, gelisah, tegang, ketakutan, tremor, gugup, gelisah.

(19)

ukur (instrumen) yang disebut Hamilton Rating Scale for Anxiety (HRS-A). Adapun hal-hal yang dinilai dalam alat ukur HRS-A ini adalah:

a) Perasaan cemas (ansietas) yang ditandai dengan cemas, firasat buruk, takut akan pikiran sendiri, mudah tersinggung.

b) Ketegangan yang ditandai dengan merasa tegang, lesu, tidak dapat istirahat tenang, mudah terkejut, mudah menangis, gemetar, gelisah.

c) Ketakutan ditandai dengan ketakutan pada gelap, ketakutan ditinggal sendiri, ketakutan pada orang asing, ketakutan pada binatang besar, ketakutan pada keramaian lalu lintas, ketakutan pada kerumunan orang banyak.

d) Gangguan tidur ditandai dengan sukar masuk tidur, terbangun pada malam hari, tidur tidak nyenyak, bangun dengan lesu, mimpi buruk, mimpi yang menakutkan.

e) Gangguan kecerdasan ditandai dengan sukar konsentrasi, daya ingat buruk, daya ingat menurun.

f) Perasaan depresi ditandai dengan kehilangan minat, sedih, bangun dini hari, kurangnya kesenangan pada hobi, perasaan berubah sepanjang hari.

g) Gejala somatik ditandai dengan nyeri pada otot, kaku, kedutan otot, gigi gemerutuk, suara tidak stabil.

h) Gejala sensorik ditandai oleh tinitus, penglihatan kabur, muka merah dan pucat, merasa lemah, perasaan ditusuk-tusuk.

(20)

j) Gejala pernapasan ditandai dengan rasa tertekan atau sempit di dada, perasaan terkecik, merasa nafas pendek/sesak, sering menarik nafas panjang.

k) Gejala gastrointestinal ditandai dengan sulit menelan, mual, perut melilit, gangguan pencernaan, nyeri lambung sebelum dan setelah makan, rasa panas di perut, perut terasa kembung atau penuh, muntah, defekasi lembek, berat badan menurun, konstipasi.

l. Gejala urogenital ditandai oleh sering kencing, tidak dapat menahan kencing, amenorrhoe, menorrhagia, masa haid berkepanjangan, masa haid amat pendek, haid beberapa kali dalam sebulan, frigiditas, ejakulasi dini, ereksi melemah, ereksi hilang, impoten.

m. Gejala otonom ditandai dengan mulut kering, muka merah, mudah berkeringat, pusing, sakit kepala, kepala terasa berat, bulu-bulu berdiri.

n. Perilaku sewaktu wawancara ditandai dengan gelisah, tidak tenang, jari gemetar, mengerutkan dahi atau kening, muka tegang, tonus otot meningkat, nafas pendek dan cepat, muka merah.

2.2.5 Cara Penilaian Kecemasan

Cara penilaian tingkat kecemasan menurut awari (2007) sebagai berikut: a.Skor 0 : tidak ada gejala sama sekali.

b.Skor 1 : 1 dari gejala yang ada. c.Skor 2 : separuh dari gejala yang ada. d.Skor 3 : lebih dari separuh gejala yang ada. e.Skor 4 : semua gejala ada.

(21)

a.Skor kurang dari 14 = tidak ada kecemasan. b.Skor 14 sampai dengan 20 = kecemasan ringan. c.Skor 21 sampai dengan 27 = kecemasan sedang. d.Skor 28 sampai dengan 41 = kecemasan berat.

e.Skor 42 sampai dengan 56 = kecemasan berat sekali/panik. 2.2.6 Penatalaksanaan non farmakologi

a. Distraksi

Distraksi merupakan metode untuk menghilangkan kecemasan dengan cara mengalihkan perhatian pada hal-hal lain sehingga pasien akan lupa terhadap cemas yang dialami. Stimulussensori yang menyenangkan menyebabkan pelepasan endorphin yang bisa menghambat stimulus cemas yang mengakibatkan lebih sedikit stimuli cemas yang ditransmisikan ke otak (Potter dan Perry, 2006). Menurut Heru (2008) dalam Siswantinah (2011) salah satu distraksi yang efektif adalah dengan Murottal (mendengarkan bacaan Al-Qur’an), yang dapat menurunkan hormon-hormon stres, mengaktifkan hormon endorphin alami, meningkatkan perasaan rileks, dan mengalihkan perhatian dari rasa takut, cemas dan tegang, memperbaiki sistem kimia tubuh sehingga menurunkan tekanan darah serta memperlambat pernafasan, detak jantung, denyut nadi, dan aktivitas gelombang otak. Laju pernafasan yang lebih dalam ataulebih lambat tersebut sangat baik menimbulkan ketenangan, kendaliemosi, pemikiran yang lebih dalam dan metabolisme yang lebih baik.

(22)

Relaksasi merupakan kebebasan mental dan fisik dari ketegangan. Teknik relaksasi memberikan individu kontrol diri ketika terjadi rasa nyaman atau nyeri, stress fisik dan emosi pada nyeri (Potter dan Perry, 2006).

Instrumen dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan alat ukur kecemasan yang dalam penggunaannya dalam metode observasi dan wawancara. Alat ukur dengan menggunakan HARS berisi tentang intensitas kecemasan yang dirasakan klien. Untuk mendukung jalannya penelitian, penelitian menggunakan MP3/tablet yang berisikan murottal (Al-fatihah). Pada penelitian ini merujuk pada observasi kecemasan HARS (Hamilton Rathing Scale for Anciety) dengan skala 0-4 untuk setiap item dan dari score <6->27 untuk penentuan tingkat kecemasan akhir (faradisi, 2012).

2.2.7 Alat ukur kecemasan

Menurut Hawari (2013) untuk mengetahui sejauh mana derajat kecemasan seseorang dapat menggunakan alat ukur ( instrument ) yang dikenal dengan nama Hemilton Rating Scale For Anciety ( HRS-A). Alat ukur ini terdiri dari 14 kelompok di antaranya meliputi:

NO Gejala kecemasan Nilai angka (score )

1 Perasaan cemas (ansietas) 0 1 2 3 4

Cemas

Firasat buruk

Takut akan fikiran sendiri Mudah tersinggung 2 Ketegangan

(23)

Gelisah Gemetar

Mudah terganggu Lesu

3 Ketakutan

Takut terhadap gelap

Takut terhadap orang lain/asing Takut bila tinggal sendiri Takut pada binatang besar 4 Ganguan tidur

Sukar memulai tidur

Terbangun pada malam hari Mimpi buruk

5 Gangguan kecerdasan Penurunan daya ingat Mudah lupa

Sulit konsentrasi 6 Perasaan depresi Hilangnya minat

Berkurangnya kesenangan pada hoby Sedih

Perasaaan tidak menyenangkan sepanjang hari 7 Gejala somatic

(24)

Gertakan gigi Suara tidak stabil Kedutan otot 8 Gejala sensorik

Perasaan ditusuk-tusuk Penglihatan kabur Muka merah

Pucat serta merasa lemah 9 Gejala kardiovaskuler Takikardi

Nyeri didada

Denyut nadi mengeras Detak jantung hilang sekejap 10 Gejala pernafasan

Rasa tertekan didada Pereasaan tercekik

Sering menarik nafas panjang Merasa nafas pendek

11 Gejala gastrointestinal Sulit menelan

Konstipasi

Berat badan menurun Mual

Muntah

(25)

Perasaan panas di perut 12 Gejala urogenital

Sering kencing

Tidak dapat menahan kencing Aminorea

Ereksi lemah/impotensi 13 Gejala vegetative

Mulut kering Mudah berkeringat Muka merah

Bulu roma berdiri Pusing/sakit kepala

14 Perilaku sewaktu wawancara Gelisah

Jari gemetar

Mengerutkan dahi/kening Muka tegang

Tonus otot meningkat Nafas pendek dan cepat

(26)

dari ke 14 kelompok gejala tersebut di jumlahkan dan dari hasil penjumlahan tersebut dapat diketahui derajat kecemasan pasien, yaitu dengan nilai kurang dari 14 menunjukkan tidak ada kecemasan, nilai 14 sampai 20 menunjukkan kecemasan ringsn, nilai 21 sampai 27 menunjukkan kecemasan sedang, nilai 28 sampai 41 menunjukkan kecemasan berat, dan 42 sampai 56 menunjukkan kecemasan berat sekali/panik (Hawari, 2013).

Instrumen pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan alat ukur kecemasan yang dalam penggunaannya menggunakan metode observasi dan wawancara. Alat ukur tingkat kecemasan HRS-A berisi rentang intensitas kecemasan yang dirasakan klien. Untuk mendukung jalannya penelitian, peneliti menggunakan MP3 atau tablet yang berisikan murotal (Al-fatiha). Lembar observasi yang digunakan peneliti ini menunjukkan pada kuesioner kecemasan HRS-A (Hamilton Rating Scale for Anxiety) dengan skala 0 sampai 4 untuk setiap item dan dari score 6-27 untuk penentuan tingkat kecemasan akhir (Faradisi, 2012).

2.3 Terapi Murottal 2.3.1 Definisi

(27)

kimia tubuh sehingga menurunkan tekanan darah serta memperlambat pernafasan, detak jantung, denyut nadi, dan aktivitas gelombang otak. Laju pernafasan yang lebih dalam atau lebih lambat tersebut sangat baik menimbulkan ketenangan, kendali emosi, pemikiran yang lebih dalam dan metabolisme yang lebih baik. 2.3.2 Mekanisme murottal terhadap kecemasan

Terapi murotal memiliki aspek yang sangat diperlukan dalam mengatasi kecemasan, yakni kemampuanya dalam membentuk koping baru untuk mengatasi kecemasan sebelum operasi. Sehingga secara garis besar terapi murotal mempunyai dua poin penting, memiliki irama yang indah dan juga secara psikologis dapat memotivasi dan memberikan dorongan semangat dalam menghadapi problem yang sedang dihadapi (Faradisi, 2012).

Menurut Oriordan (2002) dalam Faradisi (2012) terapi murotal memberikan dampak psikologis kearah positif, hal ini dikarenakan ketika murotal diperdengarkan dan sampai ke otak, maka murotal ini akan diterjemahkan oleh otak. Persepsi kita ditentukan oleh semua yang telah terakumulasi, keinginan, hasrat, kebutuhan dan pra anggapan. Menurut Krishna (2001) dalam Faradisi (2012) keinginan dan harapan terbesar pasien yang akan menjalani operasi adalah agar operasi dapat berjalan lancar dan pasien dapat pulih seperti semula. Maka kebutuhan terbesar adalah kekuatan penyokong, yaitu realitas kesadaran terhadap adanya Tuhan Yang Maha Esa.

(28)

alpha, merupakan gelombang otak pada frekuensi 7-14Hz. Ini merupakan keadaan energi otak yang optimal dan dapat menyingkirkan stres dan menurunkan. Dalam keadaan tenang otak dapat berpikir dengan jernih dan dapat melakukan perenungan tentang adanya Tuhan, akan terbentuk koping, atau harapan positif pada pasien.

2.3.3 Manfaat

Berikut ini adalah beberapa manfaat dari murottal (mendengarkan bacaan ayat-ayat suci Al-Qur’an) menurut Heru (2008) dalam Siswantinah (2011) : a. Mendengarkan bacaan ayat-ayat Al-Qur’an dengan tartil akan mendapatkan ketenangan jiwa.

b. Lantunan Al-Qur’an secara fisik mengandung unsur suara manusia, suara manusia merupakan instrumen penyembuhan yang menakjubkan dan alat yang paling mudah dijangkau. Suara dapat menurunkan hormon-hormon stres, mengaktifkan hormon endorphin alami, meningkatkan perasaan rileks, dan mengalihkan perhatian dari rasa takut, cemas dan tegang, memperbaiki sistem kimia tubuh sehingga menurunkan tekanan darah serta memperlambat pernafasan, detak jantung, denyut nadi, dan aktivitas gelombang otak. Laju pernafasan yang lebih dalam atau lebih lambat tersebut sangat baik menimbulkan ketenangan, kendali emosi, pemikiran yang lebih dalam dan metabolisme yang lebih baik.

Menurut Mustamir (2009) dalam Siswantinah (2011) bacaan surat Al-Qur’an yang terbaik adalah Al-Faatihah, karena intisari dari Al-Qur’an adalah

(29)

Al-Faatihah sangat selaras dengan nuansa sholat dan ibadah. Uraiannya yang singkat dan jelas, serta kualitas nada hurufnya yang tinggi membuat Al-Faatihah mudah dibaca dan dihafal semua orang dengan latar belakang apa pun. Al-Faatihah merupakan surat yang paling banyak dibaca oleh umat manusia, karena Al-Faatihah harus dibaca dalam setiap sholat.

Ketika seseorang mendengarkan alunan Al-Fatihah, sinyal itu akan ditangkap oleh daun telinga. Selanjutnya impuls bacaan Al-Faatihah diteruskan sampai talamus (bagian batang otak). Bila seseorang memahami bahasa/makna Al-Faatihah, impuls akan diteruskan ke area auditorik primer dan sekunder, lalu diolah di area wernicke untuk di interpretasikan makna-maknanya. Kemudian, impuls akan diasosiasikan ke area prefrontal agar terjadi perluasan pemikiran atau pendalaman makna yang turut berperan dalam menetukan respon hipotalamus terhadap makna-makna tersebut. Hasil yang diperoleh di area Wernicke akan disimpan sebagai memori, lalu dikirimkan ke amigdala untuk ditentukan reaksi semosionalnya. Oleh karena itu, jika kita meresapi makna Al-Faatihah, maka kita akan memperoleh ketenangan jiwa.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan Varietas kentang DTO-33 dengan pemberian pupuk biologi menghasilkan batang tanaman terpanjang yaitu 65 Cm waktu umur 115 hari, walaupun secara

Dan untuk mengetahui rancangan terbaik maka dilakukan percobaan dengan menggunakan 2 jenis filter yaitu bandpass filter butterworth dan bandpas filter chebyshev.. Kemudian

Penetapan Peraturan Pemerintah ini dimaksudkan untuk memberikan landasan hukum bagi pelaksanaan pemberian gaji/pensiun/tunjangan bulan ketiga belas bagi Pegawai Negeri, Pejabat

Kebutuhan ini memberikan dorongan kepada setiap remaja untuk mengembangkan / mewujudkan seluruh potensinya. Dorongan ini merupakan dasar perjuangan setiap individu

[r]

Di samping kegiatan yang sifatnya individu, ada juga kegiatan keagamaan (peribadatan) yang melibatkan banyak orang yang dilaksanakan pada hari-hari tertentu pada setiap

Penelitian ini diharapkan dapat memperoleh hasil yang lebih mampu untuk menjelaskan fenomena perubahan sistem fraksi harga saham (yaitu fraksi Rp. 50 ) terhadap bid-ask spread,

Dari latar belakang di atas maka penulis memberikan judul pada penelitian ini adalah “Penggunaan Metode Demonstrasi untuk Meningkatkan Pemahaman Siswa