DALAM TAFS
Î
R AL-KAB
Î
R
TESIS
Diajukan Kepada Sekolah Pasca Sarjana
Konsenterasi Tafsir-Hadis Untuk Memenuhi Syarat-Syarat Mencapai Gelar Magister Agama
Oleh :
M. Najmil Husna
03.2.00.1.05.01.0002
Pembimbing :
Prof. DR. H. Ahmad Thib Raya, MA.
DR. Abdul Wahib Mu
’
thi, MA.
SEKOLAH PASCA SARJANA
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
Alhamdulillah adalah kata yang paling tepat untuk penulis
ucapkan sebagai wujud syukur kepada Allah Swt., atas hidayahNya
kepada penulis, hingga dapat menyelesaikan tesis ini. Shalawat dan salam
kepada Rasulullah saw., juga para sahabat dan keluarganya sebagai
cermin diri sejati dari setiap diri yang menginginkan Allah.
Pada pengantar ini, penulis ingin berterima kasih kepada
beberapa orang yang telah berjasa membantu penyelesaian tesis ini.
Pertama sekali kepada Ayahanda tercinta, Mursyid Tarekat al-Syattâriyyah
wa al-shamadiyyah, Murabbi Pondok Pesantren Al-Husna Medan, guru dan
pembimbing ruhani penulis, Buya KH. Drs. Usman Husni, MA dan
Ibunda tersayang, sumber inspirasi penulis, Ummi, Hj. Aidatul Fauziah,
Hsb, dan semua adik-adik penulis, M. Aidil Husna dan M. Ahyal Husna,
serta terima kasih kepada teman-teman “ Para Pencinta Tuhan” Handoko,
Amrullah, dan Sholihin, diskusi-diskusi kita sangat membantu penulis.
Terima kasih juga kepada keluarga besar Pondok Pesantren Al-Husna.
ﲔﻌﲨﺃ
ﷲﺍ
ﻝﻮﺳﺭ
ﺔﻋﺎﻔﺸﺑ
ﺎﻧﺪﻣﺃﻭ
ﺎﻨﺒﲢﻭ
ﻚﺒﳛ
ﻦﳑ
ﺎﻨﻠﻌﺟﺍ
ﻢﻬﻠﻟﺍ
Kemudian kepada guru akademik penulis, Ustad DR. H. Ramli
Abdul Wahid, MA dan Ustad Prof. DR. H. Syahrin Harahap, MA, dan
teman-teman Tafsir-Hadis ALFU IAIN-SU tahun 98, yang mendukung
Thib Raya, MA sebagai pembimbing I tesis ini dan Ustad DR. Abdul
Wahib Mu’thi, MA sebagai pembimbing II, yang banyak memberikan
bimbingan, masukan dan kritikan terhadap tesis ini. Kemudian kepada
fihak-fihak lain yang ada di lingkungan Sekolah Pasca Sarjana UIN
SYAHID Jakarta, terima kasih penulis ucapkan atas bantuan yang telah
diberikan selama ini.
Terima kasih penulis kepada teman-teman kelas Tafsir-Hadis
Sekolah Pasca Sarjana UIN SYAHID 2003, Badru Tamam, Fathurrozi,
Hafizurrahman, Fakhrurrazi, Bang Irwansyah, Kholilurrahman dan
lain-lain. Jangan pernah tanya apa yang diberikan Allah kepada kita, tapi
tanyakanlah apa yang bisa kita berikan kepada Allah.
Terakhir, terima kasih kepada keluarga besar penulis di Ciputat
Tangerang, yang telah mendukung, memotivasi dan membakar semangat
penulis untuk menyelesaikan tesis ini, semoga Allah Swt., membalas
jasa-jasa mereka.
Kupersembahkan tesis ini kepada semua orang yang sedang
merenungi hakekat alam, dan yang sedang mencari kebenaran yang tak
lagi terbantahkan. Kritik saran dan masukan-masukan penulis harapkan
sebagai pengembangan tesis ini nanti ke depan. Amin.
Tesis dengan judul “ Wawasan Sihir Dalam Tafsîr al-Kabîr”, yang ditulis
oleh M. Najmil Husna, NIM : 03.2.00.1.05.01.0002, program studi :
Tafsir-Hadis. Telah disetujui pembimbing untuk dinilai oleh tim penguji atau
tim penilai.
Pembimbing I Pembimbing II
Prof.DR.H.Ahmad Thib Raya, MA DR. Abdul Wahib Mu’thi
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Tesis yang berjudul Wawasan Sihir Dalam Tafsîr al-Kabîr telah diujikan dalam sidang munaqasyah Sekolah Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal ________________________ 2007 M. Tesis ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Agama pada program strata 2 konsenterasi Tafsir-Hadis.
Jakarta, ______________ 2007 M
Panitia Sidang Munaqasyah
Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,
_____________________________ ______________________________
Nip. Nip.
Anggota-Anggota
_____________________________ ______________________________
Nip. Nip.
_____________________________ ______________________________
PEDOMAN TRANSLITERASI
Pedoman transliterasi yang digunakan di dalam tesis ini adalah pedoman transliterasi Arab-Latin yang ada di buku Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis dan Disertasi oleh UIN Jakarta Press dengan sedikit modifikasi.
Huruf Arab Huruf Latin Huruf Arab Huruf Latin
ﺍ
tidak dilambangkanﺽ
dhﺏ
bﻁ
thﺕ
tﻅ
zhﺙ
tsﻉ
‘ﺝ
jﻍ
ghﺡ
hﻑ
fﺥ
khﻕ
qﺩ
dﻙ
kﺫ
dzﻝ
Lﺭ
r
ﻡ
mﺯ
zﻥ
nﺱ
sﻭ
wﺵ
syﻩ
hﺹ
shﺀ
`ﻱ
yKeterangan tambahan :
a. Vokal Tunggal sihr ﺮﺤـﺳ h. Penulisan Kata
b. Vokal Rangkap kaifa ﻒـﻴﻛ amr khâriq li al-‘âdah
c. Maddah al-‘ibârah ﺓﺭﺎـﺒﻌﻟﺍ ﺓﺩﺎﻌـﻠﻟﻕﺭﺎـﺧﺮـﻣﺃ d. Ta` Marbuthah al-syahâdah ﺓﺩﺎﻬﺸﻟﺍ i. Huruf Kapital
e. Syaddah al-umm ﻡﻷﺍ al-A’râf ﻑﺍﺮﻋﻷﺍ
f. Kata Sandang al-Baqarah ﺓﺮﻘﺒﻟﺍ Fakhr al-Dîn ﻦﻳﺪﻟﺍﺮﺨﻓ
al-Râzi ﻱﺯﺍﺮﻟﺍ Karâmiyah ﺔﻴﻣﺍﺮﻛ
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ……… i
PENGESAHAN PEMBIMBING ……….. iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN ……….. iv
PEDOMAN TRANSLITERASI ……… v
DAFTAR ISI ……… vi
BAB I : PENDAHULUAN ……… 1
A. Latar Belakang Masalah ……….. 1
B. Rumusan Masalah ……… 10
C. Kajian Pustaka ………... 11
D. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian ………... 14
E. Metode Penelitian ………. 15
F. Sistematika Pembahasan ……….. 19
BAB II : FAKHR AL-DÎN AL-RÂZI DAN TAFSÎR AL-KABÎR ………. 21
A. Profil Fakhr al-Dîn al-Râzi ……… 21
1. Nama, Kelahiran, Keluarga dan Kepribadiannya ……….. 22
2. Intelektualitasnya ……… 27
3. Sikapnya Terhadap Mazhab-Mazhab Islam ……… 31
B. Profil Kitab Tafsîr al-Kabîr ………... 39
1. Sumber-Sumber Tafsirnya ………. 41
2. Metode Penafsirannya ……… 45
3. Sikapnya Terhadap Ilmu-Ilmu Al-Quran ……… 49
BAB III : WAWASAN AL-QURAN TENTANG SIHIR ………. 53
A. Hakekat Sihir ……….. 53
1. Pengertian Sihir ………. 56
2. Perbedaan Sihir, Mukjizat Dan Karamah ……….. 65
B. Ungkapan Sihir Dalam Al-Quran ……… 75
1. Ungkapan Dalam Bentuk Kata Kerja ………. 75
2. Ungkapan Dalam Bentuk Nama Perbuatan ……….. 77
3. Ungkapan Dalam Bentuk Subyek ………... 79
5. Hadis Nabi Muhammad saw
Yang Berkaitan Dengan Sihir ………. 81
BAB IV : PANDANGAN IMÂM AL-RÂZI TERHADAP SIHIR ………. 84
A. Asal Mula Sihir ……….. 84
B. Jenis-Jenis Sihir ……….. 98
1. Sihir Kaldaniyyin Dan Kasdaniyyin ……… 98
2. Sihir Kekuatan Khayalan dan Pengaruh Jiwa ……… 100
3. Sihir Dengan Bantuan Jin ……….. 103
4. Sihir Halusinasi atau Pengalihan Pandangan ……… 109
5. Sihir Dengan Karya Yang Menakjubkan ………. 112
6. Sihir Dengan Alat Bantu Yang Berkhasiat ……….. 114
7. Sihir Penakluk Hati ……… 115
8. Sihir Adu Domba ……… 117
C. Hukum Sihir Dan Penyihir ………. 119
D. Upaya Pengobatan Sihir ……….. 127
1. Pengobatan Nusyrah ………. 130
2. Pengobatan Ruqyah ………... 132
BAB V : PENUTUP ……… 137
A. Kesimpulan ………... 137
B. Saran-Saran ………... 139
DAFTAR PUSTAKA ………. 140
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ………... viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Keistimewaan dan kelebihan yang dimiliki Al-Quran sangat
berdampak baik, bagi orang-orang yang beriman dan meyakini kebenarannya.
Ini dimaknai dari kandungan surat al-Anfâl : 2, bahwa orang yang beriman
akan bertambah keimanannya jika mendengar ayat-ayat Al-Quran dibacakan
kepada mereka. Akan tetapi, bagi mereka yang tidak beriman atau munafik
terhadap kebenaran Al-Quran, menimbulkan dampak buruk yang sangat
memalukan. Bahkan mereka menyatakan bahwa Al-Quran adalah buku sihir,
yang mampu menyihir orang-orang hingga berubah dari keyakinan yang
selama ini dipegang (mengikuti keyakinan nenek moyang) kepada keyakinan
yang menetapkan tauhid keesaan Allah Swt. Ini dijelaskan Al-Quran di dalam
surat al-Ahqâf (46) : 7 yaitu,
Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami yang menjelaskan, berkatalah orang-orang yang mengingkari kebenaran ketika kebenaran itu datang kepada mereka, Ini adalah sihir yang nyata.
Bahkan, para rasul yang mengemban amanah untuk menyampaikan
umat mereka, sebagaimana yang disebutkan dalam surat al-Zâriyât (51) : 52
yaitu,
ﹲﻥﻮﻨﺠﻣ
ﻭﹶﺃ
ﺮِﺣﹶﺎﺳ
ﹾﺍﻮﻟﹶﺎﻗ
ﱠﻻِﺇ
ٍﻝﻮﺳﺭ
ﻦِّﻣ
ﻢِﻬِﻠﺒﹶﻗ
ﻦِﻣ
ﻦﻳِﺬﱠﻟﺍ
ﻰﺗﹶﺃﺎﻣ
ﻚِﻟﹶﺍﺬﹶﻛ
Demikianlah tidak seorang rasulpun yang datang kepada orang-orang yang sebelum mereka, melainkan mereka mengatakan, ia adalah tukang sihir atau orang gila.
Demikianlah, beberapa bukti yang ditampilkan Al-Quran tentang
kebekuan hati orang-orang kafir dan ketertutupan rasa orang-orang munafik
untuk menerima kebenaran ajaran Allah Swt. Oleh karenanya, muncul
ketertarikan dalam diri penulis untuk mengangkat tema sihir dalam sebuah
penelitian yang berbentuk tesis ini.
Sihir, sebenarnya bukanlah sebuah istilah yang baru di tengah-tengah
masyarakat, sebab dalam kenyataannya sihir telah ada sejak zaman para nabi
sebelum kedatangan Nabi Muhammad saw. Kisah perjuangan Nabi Sulaiman
as., yang berhadapan dengan penyihir-penyihir kaumnya telah diabadikan
Al-Quran dalam surat al-Baqarah (2) : 102-103. Begitu juga dengan perjuangan Nabi
Musa as., yang mesti berhadapan dengan pakar-pakar sihir Fir’aun. Kisah ini
juga telah diabadikan Al-Quran dalam surat al-A’râf (7) : 103-122. Bahkan ada
bahwa Rasulullah Muhammad saw., kena sihir, yang dibuat oleh seorang
Yahudi yang bernama Labîd ibn al-A’sham.1
Fenomena mistis,2 tentang sihir juga sampai ke masa kita sekarang.
Masyarakat sangat menggandrungi tayangan-tayangan televisi yang
menyiarkan acara-acara mistis. Mulai dari tayangan yang dikemas dalam
film-film sejarah klasikal hingga telenovela-telenovela kehidupan modern. Selain
itu, kemunculan tokoh-tokoh mistis seperti Dedi Corbuzer, Romi Rafael dan
David Cover Field, menyebabkan antusias masyarakat kepada dunia mistik
semakin tajam dan menjurus kepada kesesatan. Bahkan pengaruh
tayangan-tayangan tersebut meresap sampai ke anak-anak kecil, yang notabenenya
adalah penerus-penerus perjuangan agama dan bangsa.
Penelitian tentang kaum fakir di India, menunjukkan bahwa dengan
latihan dan keyakinan dari fikiran dan olah tubuh manusia, seseorang mampu
melakukan sesuatu yang luar biasa. Pada tahun 1853 M, seorang Maharaja di
Lahore Pakistan pernah meminta seorang fakir bernama Haridas untuk
menunjukkan kemampuannya. Haridas dikubur dengan peti mati yang
1
Muhammad ‘Ali al-Shâbûni, Tafsîr Âyât al-Ahkâm, (Beirut : Dâr al-Kutb al-‘Ilmiyyah, 1999 M/1420 H), jilid 1, h. 54. Untuk selanjutnya akan disebut dengan al-Shâbûni.
2
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, mistik memiliki 2 arti, yaitu :
a. Sub sistem yang ada dalam hampir semua agama dari sitem religi untuk memenuhi hasrat manusia mengalami dan merasakan emosi bersatu dengan Tuhan seperti tasawuf atau suluk.
b. Hal-hal gaib yang tidak terjangkau dengan akal manusia yang biasa.
digembok dan tanaman gandum ditanam di atas tanah kuburannya. Empat
puluh hari kemudian, kuburan haridas digali. Ketika peti mati dibuka, ternyata
Haridas masih hidup dan sehat. Selain itu, dia juga mampu berbaring di atas
ranjang berpaku tanpa cedera.3
Di Cina, juga dikenal adanya pengobatan akunpunktur, dengan
menggunakan energi chi dan yin-yang. Di Massachussets, pada tahun 1692 M
lebih dari 150 orang dihakimi karena dituduh sebagai penyihir. Bahkan pada
abad ke 17 M di Eropa, jika ada orang yang memiliki tanda lahir, maka akan
dituduh sebagai penyihir, seperti peristiwa berdarah yang terjadi di Inggris.
40.000 orang disiksa karena memiliki tanda lahir.4
Berita-berita penganiayaan terhadap orang-orang yang dituduh
sebagai penyihir juga sampai ke Indonesia. Di Jawa Tengah, hampir ratusan
orang diculik, dibunuh atau dikeroyok massa karena tuduhan sebagai dukun
santet yang suka menyihir. Bahkan seseorang lebih mudah menyalahkan nenek
tua yang tinggal di tepi hutan sendirian, sebagai orang yang menyihir sapinya
hingga sakit atau ladangnya hingga rusak. Padahal dia tidak mau menerima
kenyataan, bahwa dia tidak merawat sapi dan ladangnya dengan baik.
3
Rhiannon Lassitier, The Unexplained Series : Supranatural, terj. Veronica Angel, Misteri Supranatural, (Jakarta : PT. Elex Media Komputindo, 2001), h. 7.
4
Salah satu pengertian sihir adalah, waktu antara akhir malam
sebelum terbit fajar. Dari makna ini, bisa difahami bahwa terjadi kesamaran
terhadap sesuatu yang dilihat mata ketika waktu malam menjelang fajar. Boleh
jadi sesuatu yang dilihat itu adalah kenyataan dari keadaan yang sebenarnya,
dan boleh juga sebaliknya. Oleh karenanya, sihir merupakan tipu daya atau
kekuatan pesona yang digunakan untuk memalingkan penglihatan dari
keadaan yang sebenarnya.5
Dalam lingkup akidah, sihir termasuk dalam kategori sesuatu yang
terjadi di luar hukum kebiasaan, atau disebut dengan amr khâriq li al-‘âdah. Di
samping sihir, muncul juga istilah-istilah lain yang dinyatakan sebagai suatu
kemampuan yang luar biasa (amr khâriq li al-‘âdah), yaitu mukjizat dan
karamah. Bila kemunculan kemampuan yang luar biasa tersebut dari diri
seorang Nabi atau Rasul, maka disebut dengan mukjizat. Tetapi jika
kemunculannya bukan dari diri Nabi atau Rasul, maka boleh jadi hal itu adalah
karamah atau sihir.6
Para ulama dari kalangan ahl al-sunnah wa al-jamâ’ah membenarkan
keberadaan kemampuan seseorang untuk melakukan sesuatu perbuatan di luar
hukum kebiasaan. Imâm Haramain misalnya, menyatakan bahwa jika
5
Ibn Manzhûr, Lisân al-‘Arab, (Beirut : Dâr al-Ma’ârif, t.th), jilid 3, h. 1951-1952.
6‘
kemampuan yang luar biasa tersebut datang dari seseorang yang membawa
risalah kenabian, maka disebut sebagai mukjizat.7 Ciri utama mukjizat selalu
diiringi dengan adanya tantangan dan tidak diusahakan kemunculannya.8
Artinya, mukjizat seperti sebuah pertolongan Allah Swt., kepada para Nabi dan
RasulNya sebagai bukti kebenaran ajaran yang disampaikan mereka.
Sedangkan kemunculan karamah berasal dari diri seorang wali,
dengan syarat tidak menyalahi hukum syari’at dan sesuai dengan
kaidah-kaidah agama. Artinya, karamah terjadi bukan karena ada misi kenabian, dan
bukan pula sebagai sebuah pengantar yang mengindikasikan ke arah
kenabian.9 Oleh karenanya, karamah hanyalah suatu bentuk kemuliaan yang
diberikan Allah Swt., kepada hamba-hambaNya yang benar-benar shalih dan
patuh kepada hukum-hukumNya. Baik sihamba itu menyadari bahwa ia
memiliki kemampuan yang luar biasa ataupun tidak.10 Karamah boleh juga
bersifat suatu kemampuan yang bukan di luar hukum kebiasaan. Seperti
seseorang yang dianugerahi Allah Swt., sifat istiqamah, hingga dia stabil dalam
beribadah.11 Namun demikian, karamah bukan untuk dipertontonkan, dan
7
Imâm al-Haramain, Kitâb al-Irsyâd Ila Qawâti’ al-Adillah, (Beirut : Dâr al-Kutb al-‘Ilmiyyah, 1995 M/1416 H), h. 129-130.
8
Said Sâbiq, al-‘Aqîdah al-Islâmiyah, terj. Muktamar Islami, Akidah Islam, (Bandung : CV. Diponegoro, 1995 M), h. 349-350.
9
Imâm al-Haramain, Kitâb al-Irsyâd Ila Qawâti’ al-Adillah, h. 131-132.
10 Ibid.
11
tidak perlu digunakan sebagai penantang karena sifatnya memang bukan
untuk menaklukkan.
Adapun sihir, sebagaimana tinjauan makna bahasa yang lalu,
hanyalah sebuah tipuan pandangan mata. Kemampuan sihir muncul dari
seorang yang kafir, fasik dan munafik. Allah Swt., memang memberikan
kelebihan tersebut kepada mereka sebagai istidrâj. Yaitu agar mereka tetap
tenggelam dalam kekufuran, kefasikan dan kemunafikannya.12 Kemampuan
sihir seseorang sering digunakan untuk menghancurkan atau menipu. Oleh
karenanya, kemampuan sihir ada yang didapatkan dari proses pembelajaran
atau latihan dan ada juga lewat bantuan syeithan.13
Ada sekelompok orang yang meyakini eksistensi black magic dan
white magic. Bila sesuatu yang luar biasa tersebut keluar dari seorang nabi, wali,
ulama atau orang yang shalih, maka mereka mengatakan hal itu adalah white
magic. Begitu juga sebaliknya, bila muncul dari seorang dukun, peramal atau
non muslim dinamakan black magic.14 Dari pengertian ini tampak ada
kesimpang siuran, sehingga sangat perlu dicari pengertian yang lebih logis.
12
Abû Bakr ibn Muhammad ibn Sayyid al-Hanbali, al-Tashdîq bi Karâmah al-Auliyâ min
‘Aqîdah Atbâ’i Khatm al-anbiyâ, terj. Saefullah MS, Karamah Para Wali Menurut Pandangan Ahlussunnah, (Jakarta : Darussunnah Press, 2004), h. 22.
13
Ibid., h, 23.
14
Dalam memahami kenyataan dan pengaruh yang dikeluarkan dari
sihir, pendapat para ulama terbagi dalam dua kelompok, yaitu :15
1. Kelompok yang meyakini bahwa sihir mempunyai pengaruh dan
benar-benar nyata. Pendapat ini diusung oleh mufassir-mufassir dari
kelompok ahl al-sunnah wa al-jamâ’ah. Mereka berpedoman kepada surat
al-Baqarah (2) : 102 dan riwayat asbâb al-nuzûl surat al-Falaq (113) : 4 yaitu,
hadis yang diriwayatkan oleh Zaid ibn al-Arqam tentang seorang
Yahudi yang bernama Labîd ibn al-A’sham menyihir Nabi Muhammad
saw., sehingga beliau sakit dan merasa berbuat sesuatu, padahal tidak.
2. Kelompok yang tidak meyakini keberadaan dari fakta sihir dan juga
tidak percaya bahwa sihir itu berpengaruh. Pendapat ini diusung oleh
mufassir-mufassir dari kelompok Muktazilah. Mereka berpedoman
kepada surat al-A’râf (7) : 116 dan Thâhâ (20) : 66-69. Mereka juga berpendapat bahwa jika sihir dapat membuat sesuatu yang luar biasa,
seperti berjalan di atas air, terbang di udara atau merubah tanah menjadi
emas, maka kehebatan mukjizat akan sirna, sebab keduanya sama-sama
sebuah perbuatan yang dilakukan dengan luar biasa. Di samping itu,
manusia tidak perlu susah-susah bekerja, cukup dengan sihir saja maka
kebutuhan hidup terpenuhi.
15
Imam al-Zamakhsyâri dalam tafsir al-Kasysyâf mewakili kelompok Muktazilah, menyatakan bahwa sihir sebenarnya sesuatu tipuan yang tidak
pernah terjadi dengan sebenar-benarnya. Ini ditemukan ketika dia menafsirkan
surat al-falq pada ayat yang mengandung kata al-naffâtsât. Secara zahir, apa
yang dilakukan orang-orang yang meniup tali temali dengan membaca
mantera-mantera menurutnya tidak mempengaruhi apa-apa. Jika seseorang
ingin mempelajarinya, tentu ia akan mampu dan bisa melakukan seperti yang
dilakukan oleh para tukang sihir tersebut. Imam al-Zamakhsyâri juga menukil sebuah sya'ir yang menyebutkan bahwa mempelajari sihir bukan untuk
diamalkan, tetapi untuk mencari kelemahannya.16 Menurut penulis, ungkapan
Imam al-Zamakhsyâri ini, menjadi salah satu sebab yang membuat Imam al-Râzi termotivasi untuk melakukan penafsiran maksimal terhadap ayat-ayat tentang sihir.
Adapun Syeikh Muhammad Abduh dalam tafsir al-Manâr
mengingkari keberadaan sihir. Ini ditemukan ketika dia menafsirkan surat
al-Falaq pada ayat yang berbunyi, wa min syarr al-naffâtsât fi al-'uqad. Menurutnya,
yang dimaksud dengan al-naffâtsât adalah orang-orang yang mengadu domba
antar sesame. Merekalah orang-orang yang memutuskan persaudaraan dan tali
silaturrahim. Mereka juga membakar semangat dendam di antara
16
kelompok orang yang telah menjalin ikatan persaudaraan. Mereka ini
dinamakan al-namîmah. Sedangkan al-namîmah menurutnya merupakan salah
satu cabang dari ilmu sihir.17 Di samping itu, perbuatan al-namîmah membawa
kepada kesesatan, karena orang yang berbuat demikian akan cenderung ingin
menyesatkan orang lain. Pengkaburan kebenaran menjadi kesesatan menurut
Syeikh Muhammad Abduh adalah perbuatan sihir.
Begitu juga Syeikh Rasyîd Ridha. Sebagai murid Muhammad Abduh, dan banyak memberi komentar dalam tafsir al-Manâr berpendapat bahwa ilmu
sihir hanya sebuah kebohongan dan tipu daya belaka. Dia sependapat dengan
gurunya Muhammad Abduh dan mengusung pendapat kelompok Muktazilah.
Ini ditemukan dalam penafsirannya terhadap surat al-An'âm : 7. Menurutnya,
ayat tersebut sangat jelas menerangkan bahwa sihir merupakan perbuatan
tipuan dan kebohongan dan tidak dapat memberi manfa'at atau mudharat.
Sedangkan terhadap hadis Imam Bukhari yang menceritakan bahwa Rasulullah
saw pernah tersihir, Rasyid Ridhâ mentakwilkannya. Bahwa Rasul tidak
tersihir tetapi pandangan istri-istrinya yang tersihir sehingga melihat Nabi saw
seolah-olah melakukan sesuatu padahal beliau tidfak melakukannya.18 Selain
itu, menurutnya perawi hadis tersebut dinilai cacat oleh mayoritas ulama.
17
18
Ibn Kastîr dalam Tafsîr al-Qurân al-'A zhîm menyatakan bahwa ilmu sihir dapat dipelajari dan nyata keberadaannya. Bahkan seseorang yang mahir
sihir dapat merubah sesuatu kepada sesuatu yang lain. Tetapi mempelajari
ilmu sihir menurutnya makruh karena hanya akan mendatangkan bahaya.19
Al-Marâghi dalam penafsirannya terhadap surat al-baqarah : 102 menyatakan bahwa para penyihir sanggup melakukan sesuatu yang luar biasa karena
menggunakan perantara. Ada yang menggunakan jin dan ada juga yang
menggunakan alat-alat yang dibacakan mantera. Semuanya ini membuktikan
bahwa sihir ada dan bisa dipelajari. Hanya terdapat perbedaan ulama dalam
hukum mempelajarinya.20
Imam Fakhr al-Dîn al-Râzi tampil dengan kitab tafsirnya Mafâtih
al-Ghaib mewakili kalangan mufassir-mufassir ahl al-sunnah wa al-jamâ’ah banyak
memberikan kontribusi pemikiran dan perhatian terhadap masalah sihir. Oleh
karenanya, Penulis memilih untuk meneliti kitab tafsirnya tersebut. Di samping
itu, penobatan para ulama terhadap kitab tafsirnya bahwa kullu syai’ in fîhi illâ
al-tafsîr (semua ilmu ada di dalam kitabnya, kecuali tafsir itu sendiri), juga
memacu penulis untuk membuktikannya.
Penulis berasumsi, bahwa ada alasan dan bukti yang valid dari
penafsiran Imâm al-Râzi terhadap ayat-ayat tentang sihir, sehingga sihir
19
20
dinyatakan bukan sesuatu kemampuan yang luar biasa dan tidak berada di
luar hukum kebiasaan (khâriq li al-‘ adah). Artinya, pendapat Imâm al-Râzi
tentang kenyataan sihir berbeda dengan mazhab yang dianutnya, yaitu mazhab
ahl al-sunnah wa al-jamâ’ah. Bahkan, di sisi lain Imâm al-Râzi mewajibkan belajar
ilmu sihir, sebagaimana wajib belajar terhadap ilmu-ilmu Agama yang lain.
Upayanya ini sangat terlihat ketika dia menafsirkan firman Allah Swt., dalam
surat al-Baqarah (2) : 102.
Dalam menjelaskan ayat tersebut, Imâm al-Râzi mengaitkannya
dengan ayat sebelumnya, yaitu al-Baqarah (2) : 99-101. Kelompok ayat-ayat
tersebut menceritakan tentang keburukan pekerjaan Yahudi. Salah satunya
adalah mempelajari sihir dan mengajarkannya guna menghancurkan orang
lain.21 Menurutnya, Sihir adalah sesuatu yang sebab kemunculannya masih
tertutup atau tersembunyi, sehingga yang tergambar bukan hakikat
sebenarnya, melainkan sebuah tipu daya dari kebohongan belaka.22
Selanjutnya, ia menyatakan bahwa sihir hanyalah perbuatan yang
memalingkan pandangan orang dari pandangan yang sebenarnya. Dia juga
melandasi penafsirannya ini kepada surat al-A’râf (7) : 116.23 Dalam hal ini,
21
Imâm al-Râzi, Tafsîr Fakhr Râzi Musytahar bi Tafsîr Kabîr wa Mafâtih al-Ghaib, (Beirut : Dâr al-Fikr, 1993 M/1414 H), jilid 2, h. 220.
22
Ibid., h. 223.
terlihat Imâm al-Râzi seolah-olah hendak menyatakan bahwa selama seseorang
belum mengetahui hakikat sesuatu, maka dia masih tersihir oleh sesuatu itu.
Kemudian Imâm al-Râzi menyatakan bahwa sihir bisa dan wajib
dipelajari dan diperbolehkan untuk mengajarkannya, apalagi digunakan untuk
menghancurkan sihir juga. Pernyataannya ini menimbulkan konflik dikalangan
ulama. Untuk itu, di dalam tesis ini penulis mencoba untuk menganalisis
penafsiran Imâm al-Râzi terhadap ayat-ayat yang berkenaan dengan sihir,
sehingga dapat ditemukan sintesa dari hakikat sihir tersebut. Oleh karenanya,
penulis membuat judul tesis ini adalah wawasan sihir dalam kitab Tafsîr
al-Kabîr karya Imâm Fakhr al-Dîn al-Râzi.
B. Rumusan Masalah
Dari uraian-uraian yang lalu, terdapat berbagai permasalahan
seputar sihir. Untuk itu, penulis telah merumuskan satu masalah yang akan
penulis coba untuk membahasnya, yaitu bagaimana penafsiran Imâm al-Râzi
tentang sihir dalam kitab tafsirnya.
C. Kajian Pustaka
Literatur-literatur sihir antara lain, kitab Syams al-Ma’ ârif al-Kubrâ dan
‘Ali al-Bûni banyak sekali membahas cabang-cabang ilmu sihir. Mulai dari
persoalan kaitan angka-angka Arab-Romawi terhadap jiwa manusia,
wifik-wifik, jampi-jampi, mantera-mantera hingga tentang ilmu ramalan atau
perbintangan. Selain itu, ada juga kitab al-Awfâq karya Imâm al-Ghazali yang
mengkhususkan kajian tentang wifik-wifik. Kemudian kitab Tâj al-Mulk karya
Teungku Kota Karang yang berbahasa Melayu, mengkhususkan kajian pada
alamat dan gejala-gejala alam serta perbintangan.
Selain itu, ada juga kitab Mafâtih al-Ghaib karya Ahmad Mûsâ
al-Zarqâwi yang terdiri dari 232 halaman, berisi tujuh risalah, banyak
menceritakan masalah mantera-mantera yang digunakan untuk menyihir.
Kemudian kitab Fath al-Mâlik al-Majîd atau sering disebut Mujarrabah al-Dairâbi
karya Ahmad al-Dairâbi, terdiri dari 143 halaman. Banyak membahas
masalah-masalah ayat-ayat hikmah, do’a-do’a hikmah yang dapat digunakan sebagai
penghancur dan tangkal sihir. Ada juga buku Bahjah al-Sâmi’în Fî Taskhîr Muluk
al-Jîn A jma’ în karya ahli-ahli sihir yang terkenal dengan panggilan Hud-Had.
Kemudian buku al-Sab’ al-Kawâkib al-Sayyârah karya filosof Yunani Hilmus yang
banyak menceritakan tentang ilmu perbintangan dan ramalan bintang.
Ada juga kitab Rahmah Fî Thib Wa Hikmah karya Jalâl Dîn
al-Sayûthi yang banyak menguraikan tentang bacaan-bacaan yang dapat
Dr. Abdurrahmah Ismâ’il yang banyak mengulas tentang kedokteran dan
kesehatan, dengan menggabungkan metode modern dengan metode masa lalu.
Kemudian ada juga kitab yang banyak berisi ramalan-ramalan karya Abû
Ma’syar al-Falaki yang bernama Thâli’ Maulûd Li Rijâl Wa Nisâ ‘ Alâ
al-Burûj. Kitab ini banyak mengulas masalah-masalah perjodohan. Selanjutnya
kitab al-Fihrasât karya Muhammad ibn Ishaq yang banyak menguraikan
masalah-masalah gejala-gejala alam dan kaitannya dengan ramalan. Dan masih
banyak lagi kitab-kitab dan buku-buku yang membahas sihir.
Selanjutnya ada buku yang berjudul Daf’ Syar Min Hasd Wa
al-Sihr karya Ibn Qayyim Al-Jauziyah, mengkhususkan pembahasan pada tafsir
surat al-Falq (113). Dalam bukunya al-Thibb al-Nabawi, Ibn Qayyim juga banyak
mengarahkan kajian kepada terapi atau pengobatan orang yang terkena sihir.
Selanjutnya, buku yang berjudul al-Munqiz al-Qurân Li Ibthâl al-Sihr wa ‘Ilâj
al-Mas al-Syayâthîn karya Syeikh Muhammnad al-Shâyim, membahas tentang
ayat-ayat al-Quran dan surat-surat yang dapat dijadikan sebagai penangkal
sihir (ruqyah). Selain itu, dia juga menyebutkan sebab–sebab orang terkena sihir,
dan jenis–jenis penyakit yang disebabkan oleh sihir.
Untuk literatur yang telah membahas tentang Imâm al-Râzi, penulis
menemukan buku yang berjudul Manhaj al-Fakhr al-Râzi fi al-Tafsîr Baina
bukunya, Muhammad Ibrâhîm membandingkan antara metode penafsiran
Imâm al-Râzi dengan mufasir–mufasir yang hidup sezaman dengannya. Di
buku tersebut, dijelaskan juga posisi al-Râzi dalam berbagai ilmu dan mazhab–
mazhab Islam. Selanjutnya, buku yang berjudul al-Imâm al-Fakhr al-Dîn al-Râzi
Hayâtuhu Wa Atsâruhu karya ‘Ali Muhammad Hasan al–‘Imâri, membahas
tentang sejarah kehidupan Imâm al-Râzi. Bahkan buku tersebut, juga
membahas sekilas tentang kitab tafsirnya. Kemudian, penulis menemukan tesis
S2 karya Surahman Amin yang berjudul Wawasan Jin Dalam Al-Quran : Studi
Tentang Tafsir Mafâtih al-Ghaib Karya al-Râzi, terbitan Program Pasca Sarjana
UIN Syarif Hidayatullah tahun 1425 H/ 2004 M, mengungkapkan pandangan
al-Razi tentang asal–usul jin, tujuan penciptaan jin, perbedaan jin dengan
manusia, seputar kehidupan jin dan solusi terapi al-Quran untuk menghindari
Jin. Demikianlah beberapa literatur yang telah penulis temukan. Adapun
pembahasan sihir atau tentang Imâm Fakhr al-Dîn al-Râzi dan kitab tafsirnya
yang lain, banyak tersebar di berbagai kitab atau buku, tetapi dalam bentuk
sub-sub judul pembahasan.
D. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian
1. Untuk menjawab rumusan masalah sebagaimana yang telah ditetapkan
pada sub bahasan sebelumnya.
2. Untuk memberikan solusi bagi masyarakat terhadap sikap muslim
dalam menghadapi sihir.
3. Untuk mengkritisir faham yang selama ini berlaku di masyarakat, yaitu
sihir terlarang untuk dipelajari dan digunakan.
Sedangkan kegunaan yang dinginkan dari penelitian tesis ini adalah :
1. Sebagai sumbangan pemikiran terhadap aktifitas pengembangan
pemikiran tokoh-tokoh tafsir, sekaligus sebagai perbandingan bagi para
peneliti-peneliti sihir dan peneliti-peneliti kitab tafsir Mafâtih al-Ghaib.
2. Sebagai aktualisasi petunjuk-petunjuk Al-Quran dalam memberikan
solusi qurani ketika menghadapi persoalan-persoalan sihir.
3. Sebagai upaya untuk menetralisir faham tentang ilmu sihir yang
berkembang di masyarakat.
E. Sumber Dan Metode Penelitian
Telah menjadi suatu ketetapan, bahwa setiap penelitian yang akan
dilakukan mesti menggunakan beberapa metode dan teknik penelitian. Untuk
itu, penulis juga menggunakan beberapa teknik dan metode serta langkah–
1. Obyek, Jenis dan Pendekatan Penelitian
Obyek penelitian tesis ini adalah kitab Tafsîr al-Kabîr Wa Mafâtih al-
Ghaib karya Imâm Fakhr Dîn al-Râzi. Oleh karenanya, jenis penelitian ini
adalah penelitian kepustakaan atau library research, sebab cara pengumpulan
data-datanya didapatkan dengan membaca penafsiran Imâm al-Râzi terhadap
ayat–ayat tentang sihir. Selain itu, disertakan juga pembacaan buku– buku atau
kitab–kitab yang terkait dengan pembahasan materi ayat dan literatur– literatur
yang terkait dengan judul penelitian.
Sedangkan pendekatan yang akan dipakai adalah, pendekatan
linguistik dan filosofis. Dengan maksud, memberikan batasan–batasan dari
makna yang terkandung dalam penafsiran Imâm al-Râzi. Kemudian
mengungkapkannya secara logis berdasarkan aspek–aspek yang menjadi
perhatian Imâm al-Râzi selama menafsirkan ayat–ayat tentang sihir.
Selanjutnya, berdasarkan pokok dan rumusan masalah yang telah
ditetapkan, maka untuk menemukan konsep yang utuh tentang sihir dalam
penafsiran Imâm Fakhr al-Dîn al-Râzi, digunakan teknik eksploratif. Sedangkan
untuk mengungkapkan data–data dari berbagai sumber tentang sihir,
digunakan teknik deskriptif.
Sesuai dengan judul tesis ini, maka sumber primer yang penulis
gunakan adalah kitab Tafsîr al-Kabîr Wa Mafâtih al-Ghaib yang diterbitkan oleh
Dâr al-Fikr Beirut pada tahun penerbitan 1993 M/ 1414 H. Kitab tafsir ini terdiri
dari 17 jilid yang terbagi dalam 32 juz. Kemudian yang menjadi data primernya
adalah teks-teks penafsiran Fakhr al-Dîn al-Râzi terhadap ayat–ayat tentang
sihir, yang berjumlah 63 ayat.
Selanjutnya, untuk memudahkan penelusuran ayat-ayat Al-Quran
tersebut, penulis menggunakan al-Mu’ jam al-Mufahras Li Alfâz al-Qurân karya
Muhammad Fu`âd ‘Abd al-Bâqi. Sedangkan untuk memudahkan pelacakan
hadis-hadis Nabi saw., tentang sihir, penulis menggunakan Mu’jam
al-Mufahras Li Alfâz al-Hadîts al-Nabawi karya A.J Wensink. Sebagai alat bantunya,
penulis menggunakan CD Mausû’ah al-Qurân al-Karîm dan CD Mausû’ ah al-Kutb
al-Tis’ah.
Adapun sumber sekundernya adalah beberapa kitab tafsir yang
dianggap pembanding penafsiran Imâm al-Râzi, seperti Tafsîr Qurân
al-‘Azhîm karya Ibn Katsîr dan buku-buku lain yang membahas sihir, seperti buku
al-Sharâim al-Battâr karya Abdus Salam Bali, Khazînah al-Asrâr karya
Muhammad Haqq an-Nâzili dan al-Azkâr karya Jalâl al-Dîn al-Sayûthi.
Dalam pengolahan dan analisis data, penulis menggunakan metode
content analysis untuk menganalisis ide-ide Imâm al-Râzi dalam
penafsirannya.24 Sedangkan untuk mencari wawasan ayat-ayat Al-Quran
tentang sihir, penulis menggunakan metode tematik. Dalam proses analisis
data, penulis telah menyusun beberapa langkah yang akan diterapkan, yaitu :
a. Mengelompokkan dan menganalisis beberapa ayat tentang sihir dengan
menampilkan penafsiran Imâm al-Râzi.
b. Mencari makna atau pengertian yang terkandung dalam
penafsiran-penafsiran Imâm al-Râzi.
c. Menganalisis penafsiran Imâm al-Râzi dengan membandingkannya
kepada penafsiran mufassir-mufassir lain.
d. Menyeleksi seluruh infromasi–informasi yang relevan dengan
permasalahan dan menyusunnya sesuai dengan outline yang telah
ditentukan.
4. Teknik pengambilan kesimpulan
Dalam pengambilan kesimpulan, penulis menggunakan metode
induktif dan deduktif secara bersamaan. Ini berguna untuk menemukan sebuah
kesimpulan tentang penafsiran sihir sesuai dengan yang dimaksudkan oleh
Imâm al-Râzi. Selanjutnya, teori tersebut akan dikemas menjadi sebuah konsep
24
Qurani sehingga dapat ditawarkan bagi pengembangan ilmu, terutama ilmu
tafsir Al-Quran, khususnya penafsiran mufassir.
F. Sistematika Pembahasan
Tesis ini terdiri dari lima bab. Untuk bab yang pertama dijelaskan latar
belakang permasalahan, pokok dan rumusan masalah, tujuan dan kegunaan
penelitian, kajian pustaka, metode penelitian dan sistematika pembahasan. Ini
dimaksudkan untuk memberikan gambaran umum tentang teknik dan cara
penulis dalam mengkaji, mencari dan menemukan solusi dari permasalahan
yang akan diteliti.
Adapun pada bab yang kedua, penulis membahas tentang profil
Imâm al-Râzi dan kitab tafsirnya. Pada bab ini, penulis menguraikan riwayat
hidup Imâm al-Râzi dan segala yang berhubungan dengan kehidupannya,
keintelektualitasannya dan ditutup dengan uraian sikap Imâm al-Râzi terhadap
mazhab-mazhab Islam. Selanjutnya penulis menguraikan profil kitab tafsir
Imâm al-Râzi, sumber-sumber literatur penafsirannya, metode penafsirannya
dan sikapnya terhadap ilmu-ilmu Al-Quran. Dengan uraian-uraian tersebut
penulis menemukan gambaran umum sosok seorang Fakhr al-Dîn al-Râzi.
Sedangkan pada bab yang ketiga, penulis mencantumkan deskripsi
umum wawasan Al-Quran tentang sihir, dengan diawali penjelasan terhadap
karamah. Kemudian diuraikan juga beberapa contoh ayat Al-Quran yang
mengandung bentuk-bentuk ungkapan kata sihir dalam Al-Quran dan juga
contoh dari hadis Nabi saw., tentang sihir. Dari uraian-uraian tersebut penulis
menemukan gambaran umum tentang sihir, walaupun belum terarah dengan
maksimal.
Pada bab yang keempat, penulis menjabarkan
pandangan-pandangan dan penafsiran-penafsiran Imâm al-Râzi terhadap ayat-ayat sihir.
Pada bab ini dimulai dengan deskripsi tentang asal mula sihir, jenis-jenis sihir,
hukum sihir dan penyihir (dukun) dan diakhiri dengan penjelasan tentang
upaya pengobatan sihir. Uraian-uraian tersebut dimaksudkan untuk
menemukan konsep sihir yang diinginkan oleh Imâm al-Râzi dalam kitab
tafsirnya. Dengan demikian, akan ditemukan jawaban dari permasalahan yang
telah dirumuskan.
Sedangkan pada bab yang terakhir, yaitu bab yang kelima, penulis
akan menyimpulkan pembahasan dan mengupayakan rumusan masalah baru,
BAB II
FAKHR AL-DÎN AL-RÂZI DAN TAFSIR AL-KABÎR
A. Profil Fakhr al-Dîn al-Râzi
Ada 3 orang ulama dari berbagai bidang keilmuan yang punya
julukan sama, al-Râzi. Mereka semua berasal dari satu daerah, yaitu Ray.1
Penulis akan menyebutkan sebagiannya, agar tidak terjadi kesalahan dalam
pemahaman ketika disebutkan nama al-Râzi.
1. Abu Bakr Muhammad ibn Zakariâ al-Râzi. Popular sebagai dokter (
al-thabîb). Menurut Ibn Khalkan, dia adalah seorang dokter yang
memiliki dedikasi tinggi dan punya banyak karya tulis yang sangat
bermanfaat. Imâm al-Râzi (penulis tafsir) banyak menukil
pendapat-pendapatnya.2
2. Abû al-Husein Ahmad ibn Fâris ibn Zakariâ al-Râzi. Populer sebagai
pakar bahasa dan sastra. Menurut Ibn Khalkan, dia juga seorang
1
Alî Muhammad Hasan al-‘Imâry, al-Imâm Fakhr al-Dîn al-Râzi Hayâtuhu wa Âtsâruhu, (Uni Emirat Arab : al-Majlis al-a’lâ al-Syu`ûn al-Islâmiyah, 1969 M), h. 35 a/ d 39. Selanjutnya akan disebut al-‘Imâry.
2
penulis yang handal, terbukti dari 2 bukunya yang menjadi referensi
ulama al-Mujmal dan Hulliyah al-Fuqahâ.3
3. Fakhr al-Dîn al-Râzi, pengarang kitab tafsir al-Kabîr. Dia dikenal juga
sebagai pakar ilmu tauhid dan penganut mazhab Imâm Syâfi’i.4
Demikianlah beberapa ulama yang dinisbahkan kepada kata al-Râzi
dalam penabalan nama-nama mereka. Untuk penelitian tesis ini, penulis
mengarahkan kajian kepada Imâm Fakhr al-Dîn al-Râzi, si pengarang tafsir.
Berikut ini akan diuraikan pribadi Imâm al-Râzi al-Mufassir.
1. Nama, Kelahiran, keluarga dan Kepribadian Imâm al-Râzi.
Nama asli Imâm Râzi adalah Muhammad ibn ‘Umar ibn
al-Husein ibn al-Hasan ibn ‘Ali al-Râzi al-Qurasyi al-Bakri al-Thabrastâni.5
Nasabnya diduga sampai ke sahabat Nabi saw., Abû Bakr al-Shiddîq,
sehingga dia dinisbahkah ke Quraisy dari kelompok Tâim. Adapun julukan
yang disematkan para ulama kepadanya adalah Abû ‘Abdullâh, Abû
al-Ma’âli, Abû al-Fadhl, Ibn al-Khathîb al-Ray. Sedangkan gelar yang diberikan
kepadanya adalah al-Imâm, Fakhr al-Dîn, Syeikh al-Islâm dan al-Râzi.6 Gelar
3
Ibid, jilid 1, h. 118.
4
Ibid, h. 248-249.
5
Ismâ’îl Abû al-Fidâ` Ibn Katsîr, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, (Beirut : Dâr Kutb
al-‘Ilmiyyah, t.th), jilid 7, juz 13, h. 57. Selanjutnya akan disebut Ibn Katsîr.
6
yang sangat banyak ini menjadi saksi akan kehebatan ilmu yang dimilikinya.
Bahkan banyak para ulama yang memuji keluasan ilmu dan kedalaman
pemahamannya terhadap persoalan-persoalan agama.
Imâm al-Râzi dilahirkan di kota Ray pada tanggal 25 Ramadhân
tahun 544 H/ 1150 M. Wafat di kota Harrât pada hari senin di hari raya Idul
Fithri pada tahun 606 H, diusia 62 tahun 6 hari.7 Imâm al-Râzi terlahir di
tengah-tengah keluarga Arab yang telah bermukim di Thabrastan, tepatnya
di kota Ray. Ayahnya adalah seorang ulama terkemuka di sana, bernama
Imâm Dhiyâ’ al-Dîn Abû al-Qâsim al-Râzi. Dia adalah seorang pakar ilmu
fiqh dan ushûl. Dia juga murid Abû al-Qâsim al-Anshâri, yang juga adalah
murid Imâm al-Haramain. Oleh karenanya, pengaruh mazhab kalam
al-asy’ariyah pada diri Imâm al-Râzi sangat besar, karena ayahnya juga
bermazhab al-asy’ariyah, dan dia juga pernah mendidik Imâm al-Râzi.8
Setelah menimba ilmu dari ayahnya, Imâm al-Râzi juga menimba
ilmu dari beberapa ulama terkenal di daerahnya, seperti Majd al-Dîn al-Jîlî,
Muhammad al-Baghawi dan Imâm al-Kamâl al-Samnâni. Selanjutnya, dia
melakukan perjalanan ilmiyah (rihlah ‘ilmiyyah) ke beberapa kota di sekitar
daerah Ray, seperti Bukhâra, Khawârizm dan daerah-daerah lainnya. Akan
7
Muhammad ibn Muhammad ibn ‘Abd al-Karîm ibn ‘Abd al-Wâhid al-Syaibâni Ibn al-Atsîr,
al-Kâmil Fî al-Târîkh, (Beirut : Dâr al-Kutb al-‘Ilmiyyah, 1988 M/1418 H), jilid 10, h. 350. Lihat juga Ibn Katsîr, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, juz 4, h. 57.
8
tetapi ajaran-ajaran yang disampaikan, kurang mendapat respon baik, karena
berbeda faham dengan faham yang telah dianut oleh tokoh-tokoh keilmuan
di kota-kota tersebut. Kondisi ini menyebabkan munculnya perlakuan yang
tidak baik dari masyarakat setempat, sehingga dia pernah terusir dari
beberapa daerah yang dikunjunginya. Kondisi ini juga memaksa Imâm
al-Râzi untuk kembali ke kota Ray.9
Di kota Ray, Imâm Râzi menemui Sultan Syihâb Dîn
al-Ghouri untuk membawanya menghadap Sultan ‘Alâ` al-Dîn Muhammad ibn
Tuksyi Khawârizmi. Ternyata sultan menyambut baik keinginan Imâm
al-Râzi untuk mengembangkan ide-ide ajarannya. Bahkan Sultan Syihâb al-Dîn
al-Ghouri memberikan dana untuk mensubsidi usaha pengembangan
ajaran-ajarannya. Dari sini tampak bahwa ada jalinan kuat antara penguasa daerah
Ray dengan Imâm al-Râzi, bahkan anaknya ada yang dinikahkan dengan
salah seorang dari penguasa tersebut.10
Imâm Fakhr al-Dîn al-Râzi juga memiliki saudara kandung yang
dijuluki Rukn al-Dîn. Berbeda dengan Imâm al-Râzi, Rukn al-Dîn memiliki
sifat yang sangat tidak baik, dia merasa dirinya lebih pintar dan lebih alim
dari Imâm al-Râzi. Bahkan dia sangat iri melihat perhatian dan pengaruh
besar Imâm al-Râzi terhadap masyarakat di masanya. Untuk menghindari
9Ibid., h. 251-252. 10
perpecahan di antara saudara, sekaligus menunjukkan kecintaannya dalam
bersaudara, Imâm al-Râzi meminta kepada sultan Khawârizmi untuk
mempekerjakan saudaranya itu. Lantas sultan menerima permohonannya,
dan memberi pekerjaan sebagai pengawal benteng di istana.11
Imâm al-Râzi juga memiliki 5 orang anak. Yang paling besar
bernama Dhiyâ’ al-Dîn, yang dijuluki Abdullâh, anak yang kedua bernama
Muhammad dan yang ketiga bernama Syams al-Dîn. Sedangkan anak yang
keempat dan yang kelima adalah perempuan. Salah satu dari anak
perempuannya, ia nikahkan dengan salah satu petinggi kerajaan yang
bernama, Jalâl al-Dîn Tuksyi ibn Muhammad ibn Tuksyi.12
Pada tahun 617 H tentara Tar Tar di bawah pimpinan Jenghis Khan
menyerbu kota Ray dan membunuh penduduknya. Bahkan mereka masuk ke
kota Harrât tempat keluarga Imâm Râzi menetap. Mesjid tempat Imâm
al-Râzi mengajarkan ilmu-ilmunya dibakar oleh mereka. Demi keselamatan
keluarganya, Jalâl al-Dîn Tuksy suami salah seorang anak perempuan Imâm
al-Râzi, mengerahkan semua kemampuan untuk melindungi rumah dan
keluarga mertuanya. Akan tetapi, ketika tentara Tar Tar sampai ke lokasi
rumah Imam al-Razi, mereka menangkap seluruh keluarganya dan
11 Al-‘Imâry, al-Imâm Fakhr al-Dîn al-Râzi Hayâtuhu W a Âtsâruhu, h. 23-24. 12
orang yang ikut berlindung di rumah tersebut. Keluarga Imâm al-Râzi
diasingkan ke Samarkand, sedangkan yang lain dibunuh.13
Ayah Imâm al-Râzi mendidiknya dengan sangat baik dalam
lingkungan yang sangat religius, sehingga kepribadian al-Râzi terbentuk
menjadi seorang manusia yang wara’ dan shaleh. Bahkan Imâm al-Râzi
melakoni hidup secara sufistik. Ini dilihat dari beberapa wirid, shalat, puasa
dan jenis-jenis ibadah lain yang telah menjadi rutinitasnya. Imâm al-Râzi juga
sangat mencintai para ulama. Dia sangat mengharap keberkahan dari
ulama-ulama yang pernah ditimba ilmunya. Selama hidupnya, Imâm al-Râzi sangat
sering menangis, karena ingat akan mati dan juga karena nikmat Allah Swt.,
kepadanya. Dia merasa ilmu yang dia miliki merupakan cobaan besar bagi
dirinya, yang akan dimintai pertanggung jawabannya.14
Selain itu, Imâm al-Râzi memiliki akhlak yang sangat mulia. Dia
mencontohkan praktek budi pekerti tersebut ke anak-anaknya, hingga ketika
anaknya Muhammad wafat, dia memujinya dengan mengatakan anak
tersebut adalah anak yang shaleh. Bahkan dia memohon kepada siapa saja
yang teringat kepada anaknya tersebut, untuk mendoakannya dengan
13
Ibn al-Atsîr, al-Kâmil Fî al-Târîkh, h. 409. Lihat juga al-‘Imâry, al-Imâm Fakhr al-Dîn al-Râzi Hayâtuhu wa Âtsâruhu, h. 27.
14
membaca surat al-Fâtihah.15 Demikian beberapa kepribadian Imâm al-Râzi
dalam keluarga dan masyarakatnya.
2. Intelektualitas Imâm al-Râzi.
Awal karir intelektul Imâm al-Râzi dimulai dari pendidikan yang
diberikan oleh ayahnya sendiri, yaitu Imâm Dhiyâ’ ad-Dîn. Dari ayahnya,
Imâm al-Râzi belajar ilmu fiqh dan ilmu ushûl. Dia memperdalam fiqh atas
mazhab Imâm al-Syâfi’i, bahkan dia sangat membela mazhab tersebut
walaupun sangat ironis kalau disebut ta’ashshub. Bahkan Imâm al-Râzi
memiliki karya dalam bidang fiqh, yaitu kitab al-Tharîqah al-‘Alâiyah dan
Syarh al-Wajîz. Dalam bidang ushul yaitu kitab Ibthâl al-Qiyâs. Kemudian
Imâm al-Râzi juga hapal kitab al-Mu’tamad karya Imâm Hasan al-Bashri dan
kitab al-Mustashfâ karya Imâm al-Ghazâli.16
Dalam bidang ilmu kalam, Imâm Râzi belajar ke Imâm Majd
al-Dîn al-Jîlî. Bahkan Imâm al-Râzi juga hapal kitab al-Syâmil karya Imâm
al-Haramain dalam bidang ilmu kalam. Selanjutnya, dia juga menyusun karya
dalam bidang ilmu kalam, antara lain yaitu kitab Ta`sîs Taqdîs, Asrâr
al-Tanzîl Wa Anwâr al-Ta`wîl, I`tiqâdât Firaq al-Muslimîn Wa al-Musyrikîn, Risâlah
15
Al-‘Imâry, al-Imâm Fakhr al-Dîn al-Râzi Hayâtuhu W a Âtsâruhu, h. 25.
16
al-Jauhar al-Fard dan al-Mathâlib al-‘Âliyyah. Di dalam karya-karyanya ini,
Imâm al-Râzi sangat membela faham asy’ariyah.17
Dalam bidang filsafat dan ilmu mantiq, Imâm al-Râzi sangat
membela filsafat, walaupun dia bermazhab asy’ariyah. Ini terlihat dari
beberapa karyanya yang membias dengan faham-faham filsafat.
Karya-karyanya di bidang filsafat antara lain adalah Syarh al-Isyârat, Lubâb al-Isyârat
dan al-Mulakhkhas Fî al-Falsafah. Dalam karya-karyanya tersebut, Imâm
al-Râzi sangat mendukung pemikiran filosof semisal Ibn Sînâ dan al-Thûsî.18
Dalam bidang kedokteran, nama Imâm al-Râzi tercatat sebagai
salah satu tokoh yang paling berpengaruh. Karya-karyanya dibidang
kedokteran, seperti Masâil al-Thib, Kitâb Fi al-Handasah dan Mashâdirât Iqlîdis,
dibaca dan menjadi referensi para tokoh-tokoh kedokteran setelahnya.
Bahkan menurut al-Qifthi, Imâm al-Râzi sempat mendalami ilmu kimia,
walaupun tidak sehebat pengetahuannya dalam kedokteran. Pengaruh
keilmuannya ini juga mempengaruhi penafsirannya, seperti analisisnya
terhadap surat al-Muzammil (73) tentang masalah pertumbuhan uban di
rambut.19
17
Al-‘Imâry, al-Imâm Fakhr al-Dîn al-Râzi Hayâtuhu W a Âtsâruhu, h. 45-46.
18Ibid., h. 48-49. 19
Dalam bidang ilmu hadis, keilmuan Imâm al-Râzi tidak
menunjukkan sesuatu yang istimewa. Dalam Mîzân al-I’tidâl, al-Zahabi
memasukkan Imâm al-Râzi dalam kelompok al-dhu’afâ. Akan tetapi, yang
melegakan adalah hadis-hadis fadhâil al-suwar yang ia cantumkan dalam kitab
tafsirnya, menunjukkan bahwa dia juga punya perhatian terhadap
hadis-hadis Nabi saw. Begitu juga dalam bidang sastra Arab, Imâm al-Râzi tidak
terlalu populer, walaupun dalam penafsirannya kelihatan perhatian yang
sangat besar terhadap bidang kebahasaan. Hampir seluruh persoalan
kebahasaan dalam penafsirannya dinukil dari tafsir al-Kasysyâf karya Imâm
al-Zamakhsyari.20 Tetapi, ini juga tidak menguatkan bukti bahwa Imâm
al-Râzi sangat minim pengetahuan dalam bidang kebahasaan.
Dari berbagai uraian yang lalu, terlihat bahwa intelektualitas Imâm
al-Râzi hampir mencapai tingkat kompleksitas. Wajar saja jika para ulama
setelahnya banyak menukil pendapat-pendapatnya untuk berbagai bidang.
Untuk itu, karya-karya Imâm al-Râzi hampir mencapai ratusan. Ada yang
telah diterbitkan dan ada juga yang masih dalam bentuk manuskrip,
tersimpan di berbagai perpustakaan. Karya-karya tersebut antara lain :21
kitab Tafsîr Mafâtih al-Ghaib, Tafsîr Sûrah al-Fâtihah, Tafsîr Sûrah al-Baqarah ‘Alâ
al-Wajh al-‘Aql, Kitâb Syarh al-Wajîz, Kitâb al-Tharîqah al-‘Alâiyah, Kitâb Lawâmi’
20Ibid., h. 56 s/d 58. 21
al-Bayânât, Kitâb al-mahshûl, Kitâb Fî Ibthâl al-Qiyâs, Syarh Kitâb al-Mufashshal,
Syarh Saqth al-Zindiq, Syarh al-nahj al-Balâghah, Kitâb Fadhâil al-Shahâbah, Kitâb
Manâqib Imâm Syâfi’i, Kitâb Nihâyah ‘Uqûl Fî Dirâyah Ushûl, Kitâb
Muhshal, Kitâb Mathâlib ‘Âliyah, Kitâb Arba’în Fî Ushûl Dîn, Kitâb
al-Ma’âlim, Kitâb Asâs al-Taqdîs, Kitâb al-Qadhâ Wa al-Qadr, Risâlah al-Hudûts,
Kitâb Ta’jîz Falâsifah, Kitâb Barâhin Bahâ`iyah, Kitâb Lathâif
Ghiyatsiyah, Kitâb Syifâ ‘Ali Min khilâf, Kitâb Khalq Wa ba’ts, Kitâb
Khamsîn Fî Ushûl Dîn, Kitâb ‘Umdah Nazhâr, Kitâb Akhlâq, Kitâb
al-Risâlah al-Shahâbiyah, Kitâb al-al-Risâlah al-Majdiyah, Kitâb ‘Ishmah al-Anbiyâ, Kitâb
al-Mulakhkhash Fî al-Hikmah, Kitâb al-abâhits al-asyriqiyah, Kitâb al-Inârât Fî
Syarh al-Isyârât, Kitâb Lubâb al-Isyârât, Syarh Kitâb ‘Uyûn al-Hikmah, al-Risâlah
al-Kamâliyah Fî Haqâi al-Kamâliyah, Risâlah al-Jauhar al-Fard, Kitâb al-Ri’âyah,
Kitâb Fî Raml, Kitâb Mashâdirât Iqlîdis, Kitâb Fî Ikhtibârât Samâwiyah,
al-Ikhtibârât al-‘Alâiyah, Kitâb Fî al-Handasah, Kitâb Nafsah al-Mashdûr, Kitâb Fî zam
Dunyâ, Kitâb ihkâm Ahkâm, Kitâb Mausûm Fî sirr Maktûm, Kitâb
al-Riyâdh al-Mûniqah, Risâlah Fî al-Nafs, Risâlah Fî al-Nubuwwât, Kitâb al-Milal Wa
al-Nihal, Kitâb Dankalusya, Kitâb Mabâhis al-Wujûd, Kitâb Nihâyah ijâz Fî Dirâyah
al-I’jâz, Kitâb al-Asyribah, Kitâb al-Thibb al-Kabîr dan lain-lain.
Masa kehidupan Imâm al-Râzi bertepatan dengan kepemimpinan
Dinasti ‘Abbasiyyah di pertengahan abad ke enam hijriah. Pada masa itu,
kemunculan berbagai mazhab dan aliran dalam memahami ajaran agama
menyebabkan terjadi banyak pertentangan, bahkan menjurus kepada saling
mengkafirkan. Umat muslimin saat itu terperosok ke fanatisme mazhab dan
aliran. Masing-masing mengunggulkan mazhab dan alirannya, sesuai dengan
kepentingan yang diemban.
Aliran Karâmiyyah adalah salah satu aliran yang sangat
bertentangan dengan Imâm al-Râzi.22 Bahkan, sewaktu Sultan Syihâb al-Dîn
al-Ghoury tewas dibunuh oleh seseorang yang bernama Ghakkar,
pengikut-pengikut aliran Karâmiyah langsung menuduh Imâm al-Râzi, sebagai dalang
aksi pembunuhan tersebut. Ternyata, akibat yang ditimbulkan dari selisih
faham antara dirinya dengan aliran Karâmiyah, memaksanya untuk
mengasingkan diri dengan bantuan Menteri Mu`ayyid al-Mulk.23
Kondisi ini memaksa Imâm al-Râzi untuk kembali mengkaji dan
mendiskusikan persoalan-persoalan yang menjadi bahan pemecah belah
22
Aliran Karâmiyah adalah aliran kalam yang dinisbahkan kepada Abû ‘Abd Allâh Muhammad Ibn Karâm. Dia adalah seorang zahid yang berasal dari Sijistan. Aliran ini terbagi kepada 7 kelompok, yaitu : al-Tharâyiqah, al-Ishâqiyah, al-Abadiyah, al-Yûnâniyah, al-Surmiyah dan al-Haishâmiyah. Salah satu I’tikad mereka adalah keyakinan bahwa Allah Swt. Zat yang bermateri (zauhar) dan tinggal di’arsy. Allah Swt. Berbentuk dengan jism dan merasuk ke sagala maujûdât. Lihat Fakhr al-Dîn al-Râzi, I’tiqâdât Firâq al-Muslimîn wa al-Musyrikîn, (Kairo : Maktabah Kulliyah al-Azhâriyah, 1398 H/1978 M), h. 101-102.
23
umat saat itu. Tujuannya agar ummat sadar dan kembali bersatu di bawah
panji-panji kebenaran dengan tetap taat mengikuti sunnah Rasulullah saw.
Di masanya, dalam bidang hukum Islam (fiqh), ummat secara mayoritas
terbagi dalam kelompok mazhab Syâfi’i, mazhab Hanafi dan mazhab Mâliki
(mazhab yang paling mayoritas). Sedangkan dalam bidang akidah, ummat
terbagi dalam kelompok Asy’ariyah, Muktazilah, Karâmiyah dan Syi’ah.24
Sebagai penganut mazhab Syâfi’i dalam hukum Islam dan aliran
asy’ariyah dalam bidang akidah, tentunya sikap Imâm al-Râzi terpengaruh.
Akan tetapi, sebagai seorang sunni sejati, ternyata Imâm al-Râzi tampil
dengan mengemukakan alasan-alasan yang sangat rasional dalam menyikapi
pertentangan mazhab-mazhab. Sehingga, ide-ide yang dikemukakan tampak
sangat lugas dan memperlihatkan bahwa dia sebenarnya seorang sunni yang
moderat. Dalam tesis ini, penulis akan mencoba untuk menguraikannya.
a. Sikap Imâm al-Râzi Terhadap Karâmiyah
Bantahan Imâm al-Râzi terhadap aliran Karâmiyah, terlihat ketika
dia menafsirkan surat al-Baqarah (2) : 221 yaitu,
ﻢﹸﻜﺘﺒﺠﻋﹶﺃ
ﻮﹶﻟﻭ
ٍﺔﹶﻛِﺮﺸﻣ
ﻦﻣ
ﺮﻴﺧ
ﹲﺔﻨِﻣﺆﻣ
ﹲﺔﻣﹶﺄﹶﻟﻭ
ﻦِﻣﺆﻳ
ﱴﺣ
ِﺕﹶﺎﻛِﺮﺸﹸﳌﹾﺍ
ﺍﻮﺤِﻜﻨﺗ
ﹶﻻﻭ
ﻢﹸﻜﺒﺠﻋﹶﺃ
ﻮﹶﻟﻭ
ٍﻙِﺮﺸﻣ
ﻦﻣ
ﺮﻴﺧ
ﻦِﻣﺆﻣ
ﺪﺒﻌﹶﻟﻭ
ﹾﺍﻮﻨِﻣﺆﻳ
ﱴﺣ
ﻦﻴِﻛِﺮﺸﹸﳌﹾﺍ
ﺍﻮﺤِﻜﻨﺗ
ﹶﻻﻭ
24
ﹶﻥﻮﻋﺪﻳ
ﻚِﺌﹶﻟﻭﹸﺃ
ِﺱﱠﺎﻨﻠِﻟ
ِﻪِﺗﹶﺎﻳَﺁ
ﻦﻴﺒﻳﻭ
ِﻪِﻧﹾﺫِﺈِﺑ
ِﺓﺮِﻔﻐ
ﻤ
ﹾﻟﺍﻭ
ِﺔﻨﺠﹾﻟﺍ
ﱃ
ﹶ
ِﺇ
ﹾﺍﻮﻋﺪﻳ
ُ
ﷲﺍﻭ
ِﺭﱠﺎﻨﻟﺍ
ﹶ
ﱃ
ِﺇ
ﹶﻥﻭﺮﱠﻛﹶﺬﺘﻳ
ﻢﻬﱠﻠﻌﹶﻟ
Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik daripada wanita musyrik walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik daripada orang yang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izinNya. Dan Allah menerangkan ayat-ayatNya kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.
Berdasarkan ayat tersebut, aliran Karâmiyah berpendapat bahwa
iman adalah gambaran dari ketetapan mulut (al-‘ibârah ‘an mujarrad al-iqrâr)
yang muncul dari sebuah kesaksian (al-syahâdah). Mereka juga menyatakan
bahwa keharaman dalam ayat tersebut adalah keharaman dalam bentuk iqrâr
(ketetapan di mulut). Imâm al-Râzi membantah pendapat ini dengan tiga
argumentasi, dalam penjelesannya di al-mas`alah al-khâmisah, yaitu :25
1. Iman adalah pembenaran (al-tashdïq) dengan hati sesuai dengan
firman Allah Swt., dalam surat al-Baqarah (2) : 3 yaitu,
ﹶﻥﻮﹸﻘِﻔﻨﻳ
ﻢﻫﹶﺎﻨﹾﻗﺯﺭ
ﱠﺎ
ﻤ
ِﻣﻭ
ﹶﺓﹶ
ﻼ
ﺼ
ﻟﺍ
ﹶﻥﻮ
ﻤ
ﻴِﻘﻳﻭ
ِ
ﺐ
ﻴﻐﹾﻟﺎِﺑ
ﹶﻥﻮﻨِﻣﺆﻳ
ﻦﻳِﺬﱠﻟﹶﺍ
Mereka yang beriman kepada yang gaib dan mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian rezeki yang kami anugerahkan kepada mereka.
2. Firman Allah Swt., dalam surat al-Baqarah (2) : 8 yaitu,
25
Muhammad al-Râzi Fakhr al-Dîn Ibn Dhiya’ al-Dîn ‘Umar, Tafsîr al-Fakhr al-Râzi al-Musytahar Bi al-Tafsîr al-Kabîr Wa Mafâtih al-Ghaib, (Beirut : Dâr al-Fikr, 1994 M/1414 H), jilid 3, juz 5, h. 64-65. Selanjutnya akan disebut dengan Imam al-Râzi. Untuk tafsirnya akan disebut dengan
ﻦﻴِﻨِﻣﺆ
ﻤ
ِﺑ
ﻢﻫﹶﺎﻣﻭ
ِﺮِﺧَ
ﻵ
ﹾﺍ
ِﻡﻮﻴﹾﻟﺎِﺑﻭ
ِﷲﺎِﺑ
ﱠﺎﻨﻣَﺁ
ﹸﻝﻮﹸﻘﻳ
ﻦﻣ
ِﺱﱠﺎﻨﻟﺍ
ﻦِﻣﻭ
Di antara manusia ada yang mengatakan kami beriman kepada Allah dan hari kemudian, padahal mereka itu bukan orang-orang yang beriman.
Jika memang benar iman adalah ketetapan di mulut (al-iqrâr), maka
ujung firman Allah tersebut akan tertulis wa mâ hum bi mu`minîn, tanpa
dihubungkan dengan harf waw yang berarti bohong.
3. Pembenaran yang ada di dalam hati tidak mungkin dapat
dimunculkan atau diperlihatkan. Oleh karenanya, diperlukan ucapan
lewat omongan mulut sebagai bukti pembenaran hati.
Imâm al-Râzi mengakui bahwa perselisihannya dengan aliran
Karâmiyah hanya perselisihan yang muncul dari perbedaan dalam
memahami makna lafaz. Ini semua dimaksudkan untuk menjaga tauhid
kepada Allah Swt., agar tetap benar dan tidak terjerumus dalam kesalahan.
b. Sikap Imâm al-Râzi Terhadap Muktazilah
Dalam menghadapi pendapat-pendapat Muktazilah, Imâm al-Râzi
kadang-kadang membantah keras dengan mengemukakan
argumen-argumen yang tajam. Seperti penafsirannya terhadap surat Yûsuf (12) : 76
ﹶﺎﻧﺪِﻛ
ﻚِﻟﹶﺍﺬﹶﻛ
ِﻪﻴِﺧﹶﺃ
ِﺀﹶﺎﻋِﻭ
ﻦِﻣ
ﹶﺎﻬﺟﺮﺨﺘﺳﺍ
ﻢﹸ
ﺛ
ِﻪﻴِﺧﹶﺃ
ِﺀﹶﺎﻋِﻭ
ﹶ
ﻞ
ﺒﹶﻗ
ﻢِﻬِﺘﻴِﻋﻭﹶﺄِﺑ
ﹶﺃﺪﺒﹶﻓ
ﻦﻣ
ٍﺕﹶﺎﺟﺭﺩ
ﻊ
ﹶﻓﺮﻧ
ُ
ﷲﺍ
َﺀﹶﺎﺸﻳ
ﹾﻥﹶﺃ
ﱠﻻِﺇ
ِﻚِﻠﹶﳌﹾﺍ
ِﻦﻳِﺩ
ﻲ
ِﻓ
ﻩ
ﹶﺎﺧﹶﺃ
ﹶﺬﺧﹾﺄﻴِﻟ
ﹶﻥﹶﺎﻛﹶﺎﻣ
ﻒﺳﻮﻴِﻟ
ﹾﻠِﻋ
ﻱِﺫ
ﱢﻞ
ﹸﻛ
ﻕﻮﹶﻓﻭ
ُ
ﺀﹶﺎﺸﻧ
ﻢﻴِﻠﻋ
ٍﻢ
Maka mulailah Yûsuf (memeriksa) karung-karung mereka, sebelum memeriksa karung saudaranya sendiri, kemudian dia mengeluarkan piala raja itu dari karung saudaranya. Demikianlah kami atur untuk (mencapai maksud) Yûsuf. Tiadalah patut Yusuf menghukum saudaranya menurut undang-undang raja, kecuali Allah menghendakinya. Kami tinggikan derajat orang yang kami kehendaki, dan di atas tiap-tiap orang yang berpengetahuan itu ada lagi Yang Maha Mengetahui.
Imâm al-Râzi menyatakan bahwa Muktazilah menjadikan ayat
tersebut sebagai dalil bahwa Allah Swt., mengetahui dengan zatNya, bukan
mengetahui dengan ilmuNya. Alasannya, jika Allah Swt., mengetahui
dengan ilmu, maka Allah Swt., memiliki ilmu. Dengan demikian di atas ilmu
Allah Swt., akan ada ilmu yang lain. Ini difahami Muktazilah lewat
keumuman ayat. Menurut Imâm al-Râzi, pendapat tersebut batal, karena
telah ada dalil-dalil lain yang menetapkan sifat ilmu pada zat Allah Swt.,
seperti surat Luqmân (31) : 34, al-Nisâ (4) : 166, al-Baqarah (2) : 255 dan Fâthir
(35) : 11. Oleh karenanya, pemahaman yang lebih tepat adalah keumuman
ayat tersebut mesti ditakhshîsh, dengan cara ilmu yang dimaksud adalah ilmu
yang dimiliki Yûsuf dan saudara-saudaranya, bukan ilmu Allah Swt.26
26