• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS SANKSI PIDANA PERINGATAN TERHADAP ANAK YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "ANALISIS SANKSI PIDANA PERINGATAN TERHADAP ANAK YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS SANKSI PIDANA PERINGATAN TERHADAP ANAK YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA

(Jurnal Skripsi)

Oleh

MUHAMMAD KHADAFI AZWAR

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(2)

ABSTRAK

ANALISIS SANKSI PIDANA PERINGATAN TERHADAP ANAK YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA

Oleh

Muhammad Khadafi Azwar, Tri Andrisman, Eko Raharjo Email: muhkhadafi7777@gmail.com.

Pidana peringatan merupakan salah satu sanksi terhadap anak yang melakukan tindak pidana dalam Pasal 71 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012. Pada pelaksanaannya pidana peringatan ini masih menimbulkan kontroversi khususnya mengenai mekanisme pelaksanaan pidana peringatan tersebut. Permasalahan penelitian: (1) Bagaimanakah pelaksanaan sanksi pidana peringatan bagi anak yang melakukan tindak pidana? (2) Apakah faktor penghambat pelaksanaan sanksi pidana peringatan bagi anak yang melakukan tindak pidana? Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Narasumber terdiri dari hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang, ketua LSM LAdA dan dosen hukum Pidana Fakultas Hukum Unila. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan. Analisis data dilakukan secara kualitatif dan penarikan simpulan dilakukan dengan metode induktif. Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan: (1) Sanksi pidana peringatan bagi anak yang melakukan tindak pidana dapat diterapkan oleh hakim terhadap tindak pidana ringan oleh anak. Hakim dalam menerapkan pidana peringatan mempertimbangkan dampak dari pidana penjara yang berpotensi memberikan dampak buruk pada perkembangan dan kepribadian anak dan penerimaan masyarakat yang kurang baik terhadap anak mantan narapidana, sehingga hakim lebih memilih pemidanaan dalam bentuk pembinaan kepada anak sebagai pelaku tindak pidana. (2) Faktor-faktor yang dapat menghambat pelaksanaan sanksi pidana peringatan bagi anak yang melakukan tindak pidana faktor perundang-undangan yang menghambat penerapan sanksi pidana peringatan terhadap anak yang melakukan tindak pidana adalah belum adanya mengenai upaya yang harus dilakukan apabila terjadi penolakan diversi. Faktor penegak hukum yaitu secara kuantitas masih terbatasnya jumlah penyidik anak dalam menangani perkara anak. Faktor masyarakat, yaitu keluarga korban yang tidak menerima pidana peringatan dan menolak dilaksanakannya diversi.

(3)

ABSTRACT

ANALYSIS OF WARNING PUNISHMENT AGAINT CHILDREN WHO COMMITTED CRIMINAL ACTS

Criminal punishment is one of the sanctions against children who committed criminal acts in Article 71 paragraph (1) sub-paragraph a of Law Number 11 Year 2012. In the implementation of this criminal warning is still causing controversy, especially regarding the mechanism of criminal implementation of the warning. Research issues: (1) How is the implementation of warning punishment againt children who commited criminal acts? (2) What are the limiting factors in the implementation of warning punishment againt children who commited criminal acts? This study uses a juridical normative and juridical empirical approach. The informan consist of the judges of the Tanjung Karang District Court, the head of the LAdA NGO and the criminal law academician of the Law Faculty of Unila. Data collection was done by literature study and field study. The data analysis is done qualitatively and the conclusion drawing is done by inductive method. The results of the study and discussion show: (1) Warning criminal sanction againt children who commit criminal act can be applied by judge to minor crime by child. The judge in applying the warning crime considers the impact of imprisonment which has the potential to adversely affect the child's development and personality and poor community acceptance of the ex-prisoner's child, so the judge prefers to punish in the form of guidance to the child as a criminal offender. (2) Factors that could impede the implementation of warning punishment againt children who commit criminal offense which inhibits the application of warning punishment warning against children who commit a crime is not yet about the effort to be done in case of diversion rejection. Law enforcement factors are in the quantity of limited number of child investigators in handling child cases. The community factor, that is, the families of the victims who did not receive the warning and reject the diversion.

(4)

I. Pendahuluan

Anak yang melakukan tindak pidana dalam hukum pidana yang berlaku di

Indonesia tetap harus

dipertanggungjawabkan atas

perbuatannya. Pelaku anak masih di bawah umur, maka proses penegakan hukum dan pemidanaan yang diterapkan kepada anak dilaksanakan secara khusus, mengingat usia mereka masuk dalam

kategori di bawah umur.1

Upaya pemerintah dalam memberikan perlindungan khusus kepada anak yang

berhadapan dengan hukum adalah

pemberlakukan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Selain itu terdapat pula Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2002 jo Undang-Undang Nomor

35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Pemberlakuan beberapa

undang-undang tersebut merupakan upaya

penyempurnaan perlindungan terhadap

hak-hak anak yang telah lama

diupayakan oleh Pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979

tentang Kesejahteraan Anak.

Sesuai dengan aturan di atas, dapat

diidentifikasi bahwa dalam hal

menghadapi dan menangani proses peradilan anak yang terlibat tindak pidana, maka hal yang pertama yang tidak boleh dilupakan adalah melihat kedudukannya sebagai anak dengan semua sifat dan ciri-cirinya yang khusus,

dengan demikian orientasi adalah

bertolak dari konsep perlindungan

1 Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak, Mandar Maju, Bandung. 2009. hlm. 43

terhadap anak dalam proses

penanganannya sehingga hal ini akan

berpijak pada kepentingan anak.

Penanganan anak dalam proses

hukumnya memerlukan pendekatan,

pelayanan, perlakuan, perawatan serta perlindungan khusus bagi anak dalam upaya memberikan perlindungan hukum pada anak yang berhadapan dengan hukum.

Perlindungan anak pada dasarnya

merupakan suatu bidang pembangunan nasional, di mana semangat yang dikembangkan bahwa melindungi anak

adalah melindungi manusia, dan

membangun manusia seutuhnya.

Hakekat Pembangunan Nasional adalah

pembangunan manusia Indonesia

seutuhnya yang berbudi luhur.

Mengabaikan masalah perlindungan

anak berarti tidak akan memantapkan pembangunan nasional. Akibat tidak

adanya perlindungan anak akan

menimbulkan berbagai permasalahan

sosial yang dapat mengganggu

penegakan hukum, ketertiban,

keamanan, dan pembangunan hukum itu

sendiri.2

Perubahan dan perkembangan dalam

kerangka pembangunan hukum

khususnya dalam Undang-Undang

Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dibandingkan dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun

1997 tentang Pengadilan Anak.

Perubahan dan perkembangan tersebut

diantaranya adalah adanya diversi

terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana. Menurut Pasal 1 Ayat (7)

2 Maulana Hasan Wadong, Pengantar Advokasi

(5)

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

dinyatakan bahwa diversi adalah

pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.

Pasal 6 Undang-Undang Nomor 11

Tahun 2012 menyebutkan diversi

bertujuan sebagai berikut:

a. Mencapai perdamaian antara korban

dan anak

b. Menyelesaikan perkara anak di luar

proses peradilan

c. Menghindarkan anak dari

perampasan kemerdekaan

d. Mendorong masyarakat untuk

berpartisipasi

e. Menanamkan rasa tanggung jawab

kepada anak

Tujuan diversi dalam sistem peradilan pidana adalah untuk semakin efektifnya

perlindungan anak dalam sistem

peradilan demi terwujudnya sistem

peradilan pidana yang terpadu atau juga

bisa jadi pemunduran terhadap nilai-nilai

yang telah ada sebelumnya.

Pemberlakuan kedua undang-undang

tersebut merupakan upaya untuk

memenuhi berbagai hak anak yang bermasalah dengan hukum.

Terdapat upaya yang patut diapresiasi bahwa pemerintah telah mengadakan reformasi hukum di bidang pembaharuan undang-undang atau substansi hukum. Pembaharuan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan/politik hukum

pidana. Urgensi diadakannya

pembaharuan hukum pidana dapat

ditinjau dari berbagai aspek kebijakan (khususnya kebijakan sosial, kebijakan kriminal, dan kebijakan penegakan hukum). Dengan demikian pembaharuan

hukum pidana pada hakikatnya

mengandung makna, suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai nilai-nilai sentral sosio-politik, sosio-filosofik dan

sosio-kultural masyarakat Indonesia

yang melandasi kebijakan sosial,

kebijakan kriminal dan kebijakan

penegakan hukum di Indonesia.3

Sistem Peradilan Pidana di Indonesia memberikan perhatian secara khusus terhadap anak anak yang melakukan tindak pidana. Hal ini dipertegas dengan

diberlakukannya Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2002 jo

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Pertimbangan pemberlakuan undang-undang ini adalah anak dipandang bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa, yang memiliki peranan strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus,

memerlukan pembinaan dan

perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan sosial secara seimbang.

Untuk melaksanakan perlindungan

terhadap anak, diperlukan dukungan, baik yang menyangkut kelembagaan maupun perangkat hukum yang lebih mantap dan memadai, oleh karena itu ketentuan mengenai Pengadilan bagi anak perlu dilakukan secara khusus.

Adapun substansi yang diatur dalam

Undang Undang Sistem Peradilan

3 Erni Dwita Silambi dan Andi Sofyan.

(6)

Pidana Anak antara lain mengenai penempatan anak yang menjalani proses peradilan dapat ditempatkan di Lembaga

Pembinaan Khusus Anak (LPKA).

Substansi yang paling mendasar dalam

Undang-Undang ini adalah

pengaturan secara tegas mengenai

Keadilan Restoratif dan Diversi yang dimaksudkan untuk menghindari dan menjauhkan anak dari proses peradilan sehingga dapat menghindari stigmatisasi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dan diharapkan anak dapat kembali ke dalam lingkungan sosial secara wajar.

Keadilan Restoratif merupakan suatu proses penyelesaian perkara di luar pengadilan, semua pihak yang terlibat dalam tindak pidana tertentu

bersama-sama mengatasi masalah serta

menciptakan suatu kewajiban untuk membuat segala sesuatunya menjadi lebih baik dengan melibatkan korban, anak, dan masyarakat dalam mencari solusi untuk memperbaiki, rekonsiliasi, dan menenteramkan hati yang tidak berdasarkan pembalasan. Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di

luar peradilan pidana. 4

Sistem pemberian sanksi yang diatur

didalam Undang Undang Sistem

Peradilan Pidana Anak, dikenal adanya pidana pokok dan pidana tambahan yang mana pidana pokok dan tambahan yang

diatur didalam undang-undang ini

berbeda dengan pidana pokok dan tambahan yang diatur di dalam KUHP.

4 Adrianus Meliala, Penyelesaian Sengketa

Alternatif: Posisi dan Potensinya di Indonesia

Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta, 2005, hlm.6

Di dalam Pasal 71 Ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak diatur mengenai pidana pokok yakni pidana peringatan.

Adanya pidana pokok berupa pidana

peringatan masih menimbulkan

kontroversi khususnya mengenai

mekanisme pelaksanaan pidana

peringatan tersebut. Adapun

kontroversinya adalah pidana peringatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 tersebut tidak disertai dengan batasan pengertian yang jelas, juga tidak diatur dan dijelaskan mengapa peringatan dimasukkan kualifikasi sebagai pidana dan bukan sebagai tindakan. Pengaturan Pasal 72 tersebut menentukan bahwa pidana peringatan merupakan pidana

ringan yang tidak mengakibatkan

pembatasan kebebasan anak. Dalam hal ini anak hanya diberikan hukuman hanya berupa peringatan, dan tidak sampai ke pengadilan.

Permasalahan dalam penelitian ini

adalah sebagai berikut:

a. Bagaimanakah pelaksanaan sanksi

pidana peringatan bagi anak yang melakukan tindak pidana?

b. Apakah faktor penghambat

pelaksanaan sanksi pidana peringatan bagi anak yang melakukan tindak pidana?

(7)

II.Pembahasan

A. Pelaksanaan Sanksi Pidana Peringatan Bagi Anak Yang Melakukan Tindak Pidana

Sanksi pidana peringatan sebagaimana diatur dalam Pasal 71 Ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak merupakan jenis sanksi baru yang dapat diterapkan bagi anak yang melakukan tindak pidana. Pidana peringatan tersebut ditempatkan pada urutan pertama dalam

jenis-jenis pidana pokok, yang

berikutnya terdapat pidana dengan syarat

(pembinaan di luar lembaga

pemasyarakatan, pelayanan masyarakat

atau pengawasan), pelatihan kerja,

pembinaan dalam lembaga dan pidana penjara.

Penempatan pidana penjara sebagai alternatif terakhir sesuai dengan esensi yang terkandung dalam tujuan Sistem Peradilan Pidana Anak adalah untuk memberikan perlindungan kepada anak, meskipun anak berhadapan dengan

hukum. Selain bertujuan memberikan

perlindungan dan memberikan

kesejahteraan kepada anak, juga

bertujuan agar dalam penjatuhan sanksi hukum terhadap anak harus benar-benar secara proporsionalitas, tidak hanya memberi sanksi yang berorientasi pada

penghukuman atau pidana penjara

semata, akan tetapi juga memberikan alternatif lain dalam bentuk pembinaan sesuai dengan tujuan pemidanaan.

Anak apabila terpaksa harus ditahan, maka penahanan tersebut harus di Rutan khusus anak, dan apabila terpaksa harus dipenjara maka harus ditempatkan di Lapas anak. Baik di Rutan maupun di

Lapas, anak harus tetap bersekolah dan mendapatkan hak-hak asasinya agar mereka dapat menyongsong masa depan yang cerah karena pengabaian terhadap hak-hak anak adalah juga pengabaian terhadap masa depan bangsa dan negara. Penerapan pidana peringatan pada anak dilaksanakan pada tindak pidana ringan yang dilakukan oleh anak.

Sesuai dengan penjelasan di atas hakim sebaiknya menerapkan hukuman yang paling ringan kepada anak yang menjadi pelaku tindak pidana dan semestinya

menerapkan diversi kepada anak.

Apalagi Mahkamah Agung telah

memberlakukan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak, yang pada intinya mewajibkan Polisi, Jaksa dan Pengadilan melakukan Diversi dalam kasus-kasus tindak pidana anak pada semua tahapan peradilan.

Peraturan Mahkamah Agung

mengedepankan prinsip umum

pemidanaan dengan melihat pertanggung

jawaban individual terhadap orang

dewasa merupakan hal yang wajar, karena orang dewasa memang sudah selayaknya dipandang sebagai individu

yang bebas dan mandiri (independent)

dan bertanggungjawab penuh atas

perbuatan yang dilakukannya. Namun penerapan prinsip umum ini kepada anak patut dikaji karena anak belum dapat dikatakan sebagai individu yang mandiri secara penuh. Penerapan prinsip ini dilakukan sangat hati-hati dan selektif, dengan mengingat tingkat kematangan /kedewasaan setiap anak. Lebih lanjut

dikemukakan bahwa ada baiknya

dikembangkan gagasan yang

(8)

pertanggungjawaban individual itu

dengan sistem pertanggungjawaban

struktural/fungsional.

Pada mulanya bagi terdapat atuan sanksi pidana bagi aparat penegak yang tidak melaksanakan diversi dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, yaitu dalam Pasal 96 yang mengatur bahwa penyidik, penuntut umum, dan hakim yang dengan sengaja tidak melaksanakan kewajiban diversi dengan pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00. Pasal 100

menyebutkan hakim yang dengan

sengaja tidak melaksanakan kewajiban diversi dengan pidana penjara paling lama 2 tahun.

Perkembangan selanjutnya dengan

diberlakukannya Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 110/PUU-X/2012

Perihal Pengujian Undang-Undang

Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem

Peradilan Anak terhadap

Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945, maka sanksi

pidana tersebut dibatalkan dengan

pertimbangan bahw pasal-pasal tersebut tidak sesuai dengan prinsip independensi hakim dalam menjalankan tugas teknis yudisialnya di sistem peradilan pidana anak dan bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (3), Pasal 24 Ayat (1), Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945. Hakim sebagai

pelaksana kekuasaan kehakiman

memperoleh jaminan konstitusional

berdasarkan Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945 dalam penyelenggaraan peradilan

yang merdeka. Kemerdekaan ini

mewajibkan hakim melaksanakan

fungsinya agar tidak terpengaruh oleh siapapun.

Peradilan pidana anak bertujuan

mewujudkan kesejahteraan anak,

sehingga anak diadili secara tersendiri. Segala aktivitas yang dilakukan dalam Peradilan Pidana Anak, yaitu Penyidik Anak, Penuntut Umum Anak, Hakim

Anak atau petugas Lembaga

Pemasyarakatan Anak, berdasarkan

prinsip demi kesejahteraan anak. Hakim

menjatuhkan pidana atau tindakan

dimaksudkan untuk memberikan yang paling baik bagi, tanpa mengorbankan kepentingan masyarakat dan tegaknya wibaya hukum.

Sanksi pidana yang dijatuhkan kepada anak didasarkan kepada kebenaran,

keadilan dan kesejahteraan Anak.

Peradilan Pidana Anak, pada dasarnya

juga untuk melakukan koreksi,

rehabilitasi, sehingga cepat atau lambat, anak dapat kembali ke kehidupan masyarakat normal dan bukan untuk mengakhiri harapan dan potensi masa depannya. Penjatuhan pidana merupakan

suatu tindakan yang harus

dipertanggaungjawabkan dan dapat

bermanfaat bagi anak

Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tersebut pada dasarnya dilaksanakan untuk mengatasi berbagai

kekurangan dalam undang-undang

sebelumnya, yaitu Undang-Undang

Pengadilan Anak. Keberadaan

Undang-Undang Pengadilan Anak secara

substantif, belum sepenuhnya dapat dikategorikan sebagai hukum pidana anak materiil pada satu pihak dan sebagai hukum acara pidana anak pada lain pihak. Undang-Undang Pengadilan

Anak masih banyak mengandung

(9)

terhadap anak yang melakukan tindak pidana cenderung merugikan anak. Selain itu, undang-undang tersebut sudah tidak sesuai dengan kebutuhan hukum dalam masyarakat karena belum secara komprehensif memberikan pelindungan khusus kepada anak yang melakukan tindak pidana.

Penyempurnaan Undang-Undang

Pengadilan Anak menjadi Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak merupakan suatu langkah nyata yang ditempuh oleh pemerintah dalam rangka memberikan jaminan dan kepastian hukum bagi anak yang melakukan tindak pidana. Undang-undang ini didasarkan pada semangat tujuan pemidanaan yang berorintasi pada pembinaan terhadap anak sehingga kelak mereka menjadi anak baik serta tidak mengulangi kejahatannya.

Tujuan dari sistem peradilan pidana yakni resosialiasi serta rehabilitasi anak (reintegrasi) dan kesejahteraan sosial anak tidak melalui keadilan restoratif dan diversi tidak menjadi substansi undang-undang tersebut. Hak-hak anak yang menjadi sorotan utama dalam proses ini adalah sebagai berikut;

sebagai tersangka, hak-hak yang

diperoleh sebagai tindakan perlindungan terhadap tindakan yang merugikan (fisik, psikologis dan kekerasan), hak untuk yang dilayani kerena penderitaan fisik, mental, dan sosial atau penyimpangan perilaku sosial; hak didahulukan dalam proses pemeriksaan, penerimaan laporan, pengaduan dan tindakan lanjutan dari

proses pemeriksaan; hak untuk

dilindungi dari bentuk-bentuk ancaman kekerasan dari akibat laporan dan pengaduan yang diberikan. Selain itu

juga menimbulkan stigma yang jelek terhadap anak tersebut.

Pembaharuan terdapat dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 adalah

adanya restorative justice sebagai usaha

untuk mencari penyelesaian konflik secara damai di luar Pengadilan masih sulit diterapkan. Di Indonesia banyak

hukum adat yang bisa menjadi

restorative justice, namun keberadaannya tidak diakui negara atau tidak dikodifikasikan dalam hukum

nasional. Hukum adat bisa

menyelesaikan konflik yang muncul di masyarakat dan memberikan kepuasan pada pihak yang berkonflik. Munculnya ide Restorative justice sebagai kritik atas

penerapan sistem peradilan pidana

dengan pemenjaraan yang dianggap tidak efektif menyelesaikan konflik sosial. Penyebabnya, pihak yang terlibat dalam konflik tersebut tidak dilibatkan dalam penyelesaian konflik. Korban tetap saja menjadi korban, pelaku yang dipenjara juga memunculkan persoalan baru bagi keluarga dan sebagainya.

Ciri yang menonjol dari restorative

justice, kejahatan ditempatkan sebagai gejala yang menjadi bagian tindakan sosial dan bukan sekadar pelanggaran hukum pidana. Kejahatan dipandang sebagai tindakan yang merugikan orang dan merusak hubungan sosial. Berbeda dengan hukum pidana yang telah menarik kejahatan sebagai masalah negara. Hanya negara yang berhak

menghukum, meskipun sebenarnya

komunitas adat bisa saja memberikan sanksi.

(10)

sesuai dengan teori relatif atau tujuan. Sesuai dengan toeri ini maka anak yang melakukan tindak pidana dibina dengan pelaksanaan sanksi pidana peringatan, sebagai upaya memperbaiki kesalahan yang pernah dilakukannya.

Tujuan pidana bukanlah sekedar

rnelaksanakan pembalasan dari suatu perbuatan jahat, tetapi juga rnernpunyai tujuan lain yang bermanfaat, dalam arti bahwa pidana dijatuhkan bukan karena orang telah berbuat jahat, melainkan pidana dijatuhkan agar orang tidak melakukan kejahatan. Memidana harus ada tujuan lebih lanjut daripada hanya menjatuhk:an pidana saja. Jadi dasar pembenaran pidana munurut teori relatif atau tujuan ini adalah terletak pada

tujuannya. Tujuan pidana untuk

mencegah kejahatan ini dapat dibedakan

antara prevensi khusus (special

prevention) dengan prevensi umum (general prevention), prevensi khusus dimaksudkan pengaruh pidana terhadap pidana hingga pencegahan kejahatan ini ingin dicapai oleh pidana dengan mempengaruhi tingkah laku terpidana untuk tidak melakukan tindak pidana. Teori ini seperti telah dikenal dengan rehabilitation theory. Prevensi umum dirnaksudkan pengaruh pidana terhadap

masyarakat, artinya pencegaaan

kejahatan itu ingin dicapai oleh pidana dengan mempengaruhi tingkah laku masyarakat untuk tidak melakukan tindak pidana.

Sistem Peradilan Pidana Anak berupaya untuk mewujudkan kesejahteraan anak, sehingga anak diadili secara tersendiri. Segala aktivitas yang dilakukan dalam Peradilan Pidana Anak, seyogianya dilakukan oleh Penyidik Anak, Penuntut Umum Anak, Hakim Anak atau petugas

Lembaga Pemasyarakatan Anak,

berdasarkan prinsip demi kesejahteraan anak. Hakim menjatuhkan pidana atau

tindakan dimaksudkan untuk

memberikan yang paling baik bagi,

tanpa mengorbankan kepentingan

masyarakat dan tegaknya wibaya hukum. Sanksi pidana yang dijatuhkan kepada anak didasarkan kepada kebenaran,

keadilan dan kesejahteraan Anak.

Peradilan Pidana Anak, pada dasarnya

juga untuk melakukan koreksi,

rehabilitasi, sehingga cepat atau lambat, anak dapat kembali ke kehidupan masyarakat normal dan bukan untuk mengakhiri harapan dan potensi masa

depannya. Penjatuhan pidana atau

tindakan merupakan suatu tindakan yang

harus dipertanggaungjawabkan dan

dapat bermanfaat bagi anak.

Keputusan hakim menjatuhkan pidana penjara dan memasukkan anak dalam lembaga pemasyarakatan anak harus

menjadi pilihan terakhir dengan

mempertimbangkan benar-benar bahwa itu adalah jalan terakhir yang terbaik dalam merehabilitasi anak. Penjatuhan

pidana penjara juga harus

memperhatikan aspek-aspek yang

terbaik bagi kepentingan anak.

Pemidanaan membawa pengaruh yang tidak baik terhadap anak karena anak yang menjalani pidana terutama di

lembaga pemasyarakatan akan

mengalami perubahan lingkungan yaitu ruang lingkup bergerak yang terbatas, rasa tertekan serta kurangnya kasih sayang orang tua mengakibatkan situasi yang dapat mempengaruhi jiwa si anak.

Sehingga dalam lembaga

pemasyarakatan anakpun perlu

(11)

B. Faktor Penghambat Pelaksanaan Sanksi Pidana Peringatan Bagi Anak Yang Melakukan Tindak Pidana

Pelaksanaan sanksi pidana peringatan bagi anak yang melakukan tindak pidana pada dasarnya sesuai dengan tujuan pemidanaan terhadap anak, yaitu upaya pembinaan terhadap anak yang menjadi pelaku tindak pidana. Kelangsungan hidup dan perkembangan anak serta

kehidupan sosial dan penghargaan

terhadap pendapat anak yang berhadapan dengan hukum merupakan permasalahan yang sangat kompleks, dan banyak faktor yang menyebabkan anak yang

berhadapan dengan hukum. Pada

hakikatnya anak tidak dapat melindungi diri sendiri terhadap berbagai ancaman mental, fisik, sosial dalam berbagai

bidang hidup, kehidupan dan

penghidupan, khususnya dalam

pelaksanaan peradilan pidana anak.

Penegakan hukum bukan semata-mata pelaksanaan perundang-undangan saja,

tetapi terdapat faktor-faktor yang

mempengaruhinya. Faktor yang

menghambat penerapan sanksi pidana

peringatan terhadap anak yang

melakukan tindak pidana adalah sebagai berikut:

1. Faktor Peraturan

Perundang-Undangan

Faktor perundang-undangan yang

menghambat penerapan sanksi pidana

peringatan terhadap anak yang

melakukan tindak pidana adalah belum adanya pengaturan di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak mengenai upaya yang harus dilakukan apabila

terjadi penolakan diversi oleh

masyarakat, khususnya korban atau keluarga korban dari suatu tindak pidana.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak mengatur adanya diversi, yaitu pada Pasal 7 Ayat (1) yang menyatakan

bahwa pada tingkat penyidikan,

penuntutan, dan pemeriksaan perkara

anak di Pengadilan negeri wajib

diupayakan diversi. Pasal 7 Ayat (2)

berisi bahwa diversi sebagaimana

dimaksud pada Ayat (1) dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan: a) diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun; dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana. Undang-undang ini tidak mengatur jika

terjadi penolakan diversi yang

diupayakan oleh aparat penegak hukum,

khususnya oleh Kepolisian dan

Kejaksaan.

2. Faktor penegak hukum

Faktor penegak hukum yang

menghambat penerapan sanksi pidana

peringatan terhadap anak yang

melakukan tindak pidana adalah secara kuantitas masih terbatasnya jumlah penyidik anak dalam menangani tindak pidana di seluruh wilayah hukum Pengadilan negeri. Secara kualitas masih

kurangnya pengetahuan dan

keterampilan penyidik dalam

menerapkan diversi dalam penyelesaian tindak pidana.

Kepolisian dapat melaksanakan

(12)

oleh karena belum ada undang-undang yang mengatur pelaksanaan mediasi beserta kekuatan hukum dari akte kesepakatan hasil proses diversi. Jadi pelaku tetap dipidana akan tetapi

pidananya diperingan dan dapat

dilakukan mediasi di mana korban dapat meminta ganti kerugian kepada pelaku dengan sebuah akta kesepakatan bahwa

telah dilakukan pembayaran ganti

kerugian kepada korban.

Pelaksanaan diversi dilatarbelakangi

keinginan menghindari efek negatif terhadap jiwa dan perkembangan anak oleh keterlibatannya dengan sistem peradilan pidana. Dengan penerapan diversi bentuk peradilan formal yang ada selama ini lebih mengutamakan usaha memberikan perlindungan bagi anak dari tindakan pemenjaraan.

Perlindungan anak dengan kebijakan diversi dapat dilakukan di semua tingkat peradilan mulai dari masyarakat sebelum

terjadinya tindak pidana dengan

melakukan pencegahan. Setelah itu jika ada anak yang melakukan pelanggaran maka tidak perlu diproses ke polisi. Selanjutnya jika anak yang melakukan pelanggaran sudah terlanjur ditangkap oleh polisi dalam setiap pemeriksaan peradilan untuk dapat melekukan diversi

dalam bentuk menghentikan

pemeriksaan demi pelindungan terhadap pelaku anak. Apabila kasus anak sudah sampai di pengadilan, maka hakim dapat mengimplementasikan ide diversi demi kepentingan pelaku anak tersebut yang

sesuai dengan prosedurnya dan

diutamakan anak dapat dibebaskan dari pidana penjara. Apabila anak sudah terlanjur dipenjara, maka petugas penjara

dapat membuat kebijakan diversi

terhadap anak sehingga anak dapat di

limpahkan kelembaga sosial, atau sanksi

alternatif yang berguna bagi

perkembangan dan masa depan anak tapi diversi untuk mengeluarkan dari sistem peradilan.

Satu hal utama dari bentuk ini yaitu sikap kehati-hatian dari polisi, dimana anak yang telah ditangani polisi hanya diberikan peringatan lisan dan tertulis, setelah itu anak akan dilepas dan merupakan akhir dari permasalahan

terkecuali kalau anak melakukan

pelanggaran selanjutnya (mengulangi)

maka dilakukan proses lanjutan.

Penahanan yang dilakukan terhadap anak berpedoman kepada aturan hukum mengenai hak anak. Penempatan anak yang terlanjur ditahan, dibedakan tempat

penahannya dengan orang dewasa

dengan menjamin pemenuhan fasilitas yang melindungi perkembangan anak, pendidikan, hobi, akses dengan keluarga,

perlindungan hak propesi anak,

pelindungan dari penyiksaan dan

perlakuan fisik dan mental dan proses peradilan yang singkat dan cepat.

Uraian di atas menunjukkan bahwa

diperlukan profesionalisme aparat

penegak hukum dalam melaksanakan

diversi dan melaksanakan

tugas-tugasnya secara profesional. Upaya yang dapat ditempuh adalah mengoptimalkan pelaksanaan pendidikan dan pelatihan atau pendidikan kejuruan khusus dalam penanganang perkara anak, sehingga kualitas pelaksanaan diversi menjadi lebih baik lagi.

3. Faktor masyarakat

(13)

atau perdamaian. Hal ini dapat dipahami karena masyarakat sudah geram dengan

maraknya tindak pidana yang

meresahkan masyarakat. Faktor lain yang juga mempengaruhi adalah pihak ketiga (pihak lain yang tidak terkait secara langsung) yang meminta korban dan keluarganya agar pelaku tetap diproses secara hukum.

Masyarakat tetap menginginkan agar anak yang melakukan tindak pidana diproses secara hukum, meskipun pada kenyataannya telah dilaksanakan mediasi perdamaian yang menetapkan bahwa pelaku bersedia mengganti kerugian

yang dialami korban. Masyarakat

menginginkan agar pelaku tindak pidana seperti pembegalan atau penadahan kendaraan curian agar dipenjara.

Kendala lain yang dihadapi pada saat proses mediasi terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh anak adalah ketidak lengkapan data dan informasi yang disampaikan oleh pelaku dan korban yang terlibat dalam tindak pidana. Seharusnya penyidik selaku mediator mendapatkan data secara lengkap dan terperinci mengenai latar belakang dan fakta tindak pidana. Ketidak lengkapan data tersebut disebabkan oleh kurangnya kesadaran pelaku dan korban bahwa data

yang seharusnya diberikan secara

lengkap kepada penyidik selaku

mediator akan dijaga kerahasiaan dan privasinya, sehingga pelaku dan korban hanya memberikan data yang dianggap tidak berpotensi merugikan pihaknya.

Proses penyelesaian tersebut dilakukan oleh para pihak sendiri karena

masing-masing pihak sepakat untuk

menyelesaikan tanpa melalui proses yang berbelit-belit dan memakan waktu

yang lama, adapun hal ini terjadi karena pengadilan akan mempelajari bukti-bukti yang ada guna mencari kebenaran dan keadilan yang dapat diterima kedua belah pihak tanpa tekanan atau paksaan dari pihak manapun.

Uraian di atas menunjukkan bahwa tidak lengkapnya data yang diberikan pelaku

dan korban akan menghambat

pelaksanaan perdamaian, karena dalam waktu tujuh hari setelah menerima permintaan penyelesaian perselisihan, penyidik selaku mediator sudah harus mempelajari dan menghimpun informasi yang diperlukan, kemudian segera paling lambat pada hari kedelapan mengadakan proses perdamaian. Apabila data yang

diberikan tidak lengkap maka

pelaksanaan proses perdamaian tidak akan dapat dilaksanakan sesuai dengan jadwal, karena data dan informasi yang bersumber dari pelaku dan korban tersebut selanjutnya akan dibahas pada

proses perdamaian melalui tahap

penciptaaan forum, yang berisi

pernyataan pelaku dan korban, dengar

pendapat (hearing); menyampaikan dan

klarifikasi informasi.

Pada tahap berikutnya dilakukan

pengumpulan dan membagi informasi, mengidentifikasi dan klarifikasi isu dan masalah, mengembangkan alternatif dan pilihan-pilihan sampai pada akhirnya

yaitu tahap pemecahan masalah

(14)

III. Penutup

A. Simpulan

1. Sanksi pidana peringatan bagi anak

yang melakukan tindak pidana dapat diterapkan oleh hakim terhadap tindak pidana ringan oleh anak. Hakim dalam menerapkan pidana

peringatan mempertimbangkan

dampak dari pidana penjara yang

berpotensi memberikan dampak

buruk pada perkembangan dan

kepribadian anak dan penerimaan

masyarakat yang kurang baik

terhadap anak mantan narapidana,

sehingga hakim lebih memilih

pemidanaan dalam bentuk

pembinaan kepada anak sebagai pelaku tindak pidana.

2. Faktor-faktor yang dapat menjadi

penghambat pelaksanaan sanksi

pidana peringatan bagi anak yang melakukan tindak pidana adalah faktor perundang-undangan, yaitu belum adanya mengenai upaya yang

harus dilakukan apabila terjadi

penolakan diversi. Faktor penegak hukum yaitu secara kuantitas masih terbatasnya jumlah penyidik anak dalam menangani perkara anak. Faktor masyarakat, yaitu keluarga korban yang tidak menerima pidana

peringatan dan menolak

dilaksanakannya diversi.

B. Saran

1. Orang tua dan masyarakat

hendaknya semakin meningkatkan pengawasan dan kontrol terhadap lingkungan dan tempat bermain anak, hal ini penting dilakukan guna mengantisipasi potensi terjadinya

tindak pidana yang dilakukan oleh anak.

2. Aparat penegak hukum dan institusi

terkait untuk lebih meningkatkan sosialiasi dan pembinaan kepada anak tentang pencegahan anak dari perilaku anak menyimpang dan berpotensi melakukan tindak pidana.

Daftar Pustaka

Gosita, Arif. 2009. Masalah

Perlindungan Anak, Mandar Maju, Bandung.

Meliala, Adrianus. 2005. Penyelesaian

Sengketa Alternatif: Posisi dan Potensinya di Indonesia Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta.

Silambi, Erni Dwita dan Andi Sofyan.

Penanganan Anak yang

Berkonflik dengan Hukum. http://www.hukumonline.com.

Wadong, Maulana Hasan. 2006.

Referensi

Dokumen terkait

penjatuhan sanksi pidana terhadap anak yang melakukan tindak pidana penyalahgunaan Narkotika adalah berpedoman pada Undang-Undang dan unsur- unsur yang terpenuhi atas perbuatan

Perlindungan hukum kepada anak-anak dalam sistem peradilan pidana, terutama bagi mereka yang berhadapan dengan hukumm diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun

Penerapan diversi terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana berdasarkan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

Dinas Sosial sebagai tenaga Pemerintahan yang harus menjalankan tugas mereka dengan berpedoman Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

BAB IV PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP ANAK DIBAWAH UMUR YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA PENCABULAN DI WILAYAH HUKUM PENGADILAN NEGERI DENPASAR.. 4.1 Sanksi Pidana

Sanksi pidana dalam perkara anak menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak perlu diberlakuan dengan tidak melanggar harkat

Jenis Sanksi Bagi Anak yang Melakukan Tindak Pidana Pencurian Dalam Hukum Pidana Anak Belanda Didasarkan Pada Ned.WvS atau KUHP Belanda ……….. Tabel Persamaan Regulasi

Adapun Tanggung jawab pidana terhadap anak yang melakukan kejahatan pencurian dengan kekerasan dalam sistem peradilan pidana dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012