• Tidak ada hasil yang ditemukan

052 MOTIVASI, INSENTIF MONETER DAN KINERJA SEBUAH EKSPERIMEN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "052 MOTIVASI, INSENTIF MONETER DAN KINERJA SEBUAH EKSPERIMEN"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

MOTIVASI, INSENTIF MONETER DAN KINERJA: SEBUAH EKSPERIMEN

Lisa Martiah Nila Puspita Universitas Bengkulu

Abstract

This experiment results show the performance of the subjects who completed a complex task under two types of compensation contract. Additionally, the subjects evaluated their task motivation before to learning how they would be compesated during the experiment, and after they performed the task under their assigned compensation contract. The results show that: first, when the task perceived originally motivated, the incentive scheme doesnot led to change the late perception, second, motivation can influence the task performance, finally, the fixed-wage of incentives scheme can increase the performance of subject who has been motivated originally.

Keywords: motivation, incentive, performance

(2)

1. PENDAHULUAN

Sistem remunerasi saat ini mulai diterapkan pemerintah sebagai bentuk penghargaan bagi pegawai pemerintah. Sistem ini diharapkan dapat memberikan

keadilan bagi pegawai sesuai dengan kontribusi yang diberikannya. Selain sebagai bentuk penghargaan, sistem ini diharapkan mampu memberikan motivasi bagi pegawai untuk meningkatkan kinerja mereka di masa yang akan datang. Bagi sebuah organisasi, upaya peningkatan kinerja pegawai merupakan bagian dari upaya peningkatan kinerja instansi/organisasi secara keseluruhan (Arniati, 2012).

Sebagai sistem yang baru saja diterapkan, tentu saja sistem ini akan menghadapi berbagai kendala, mengingat beberapa penelitian di sektor privat menunjukkan bahwa kinerja individu tidak hanya dipengaruhi oleh sistem pemberian insentif yang diberikan, melainkan terdapat berbagai faktor lain yang mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut antara lain: ketertarikan terhadap tugas itu sendiri, motivasi, kepuasan kerja, budaya organisasi, gaya kepemimpinan, dan sistem pengukuran kinerja itu sendiri. Beberapa di antara penelitian mengenai faktor-faktor kinerja tersebut dilakukan oleh (Fessler, 2003), (Thomas, 2004), (Drake et al., 2007), (Umar, 2012), (Purwati, 2012), (Arniati, 2012), dan (Arifin, 2012).

Menurut Baker et al. (1998) dalam Fessler (2003), kepentingan karyawan dengan pemilik perusahaan dapat diselaraskan dengan menggunakan kompensasi berbasis insentif. Dalam hubungannya dengan sistem pengendalian manajemen, kompensasi memberikan pengaruh yang besar dalam menjalankan usaha suatu organisasi, karena tiap individu berpacu melaksanakan prestasi yang terbaik untuk organisasi demi mendapat balas jasa yang setimpal (Arifin, 2012). Secara teoritis, karyawan akan bekerja lebih optimal bila ia mendapatkan imbalan materi yang mempunyai kaitan dengan tugas yang diberikan kepadanya. Imbalan yang diperoleh

karyawan atas pekerjaan tersebut akan berpengaruh terhadap motivasi kerja karyawan yang selanjutnya akan mempengaruhi kinerja karyawan (Anthony & Govindarajan,

2005).

(3)

cenderung memiliki ketertarikan (motivasi intrinsik) yang tinggi terhadap tugas dengan tingkat kompleksitas yang tinggi asal kebutuhan materialnya terpenuhi. Namun demikian, Holmstrom dan Milgrom (1991) menyatakan bahwa seorang karyawan menjadi merasa nyaman dan senang terhadap suatu pekerjaan sampai pada batas

tertentu, dan pemberian insentif hanya menjadi faktor pendorong pada batasan-batasan tertentu. Karena pada saat tertentu, karyawan akan berada pada satu titik jenuh, dimana daya tarik terhadap tugas akan menurun karena terlalu monoton dan telah menjadi rutinitas yang biasa (Colvin, 1998 dalam Fessler, 2003). Oleh karena itu, pemberian insentif moneter dengan skema tertentu dapat mempengaruhi daya tarik tugas, yang kemudian akan berpengaruh terhadap kinerja karyawan (Fessler (2003) dan Arniati (2012). Dengan kata lain, bila insentif yang diberikan tidak sesuai seperti yang diharapkan karyawan, maka tugas yang akan dilakukan tidak akan menarik baginya dan pada akhirnya akan mempengaruhi kinerja yang dicapainya, begitu pula sebaliknya.

Selain menciptakan ketertarikan terhadap tugas bagi karyawannya, motivasi ekstrinsik karyawan dalam berbagai bentuk bagi sebuah organisasi merupakan hal yang penting yang harus dipertahankan dalam menjalankan kegiatan sehari-harinya karena motivasi merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kinerja. Salah satu upaya dilakukan untuk mempertahankan motivasi individu adalah pemberian insentif dengan menggunakan skema tertentu (Drake et al., 2002). Penelitian Drake et al. (2002) ini menunjukkan bahwa skema pemberian insentif mempengaruhi motivasi seseorang dalam melaksanakan tugas. Dengan kata lain, bila insentif yang diberikan sesuai dengan keinginan seorang karyawan, maka ia akan lebih termotivasi dalam melaksanakan tugasnya. Sementara penelitian Marsden & Richardson (1998) pada sebuah instansi pemerintah di negara Inggris menunjukkan motivasi yang berlatar

skema insentif yang berbeda akan mempengaruhi kinerja individu tersebut. Beberapa penelitian terdahulu juga menunjukkan bahwa kinerja seseorang juga dipengaruhi oleh

motivasi yang dimilikinya (Drake et al., 2007), (Umar, 2012), dan (Purwati, 2012).

(4)

pemberian insentif yang ditetapkan untuknya. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui perubahan daya tarik subjek eksperimen yang didasarkan motif ekonomi.

Untuk itu, penelitian kali ini akan mengembangkan variabel daya tarik tugas

menjadi variabel motivasi (yang meliputi motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik) dengan memodifikasi instrumen yang digunakan Fessler (2003) dan Drake et al. (2007). Instrumen motivasi tersebut mengukur seberapa menarik tugas yang diberikan, dan juga mengukur keinginan untuk melaksanakan tugas dengan mempertimbangkan insentif yang diberikan.

Sebagian hasil riset yang diperoleh Arniati (2012) dan Arifin (2012) menunjukkan ketidakkonsistenan dengan penelitian Fesller (2003). Ketidakkonsistenan tersebut mungkin saja disebabkan oleh beberapa hal yang menjadi keterbatasan penelitian mereka. Keterbatasan penelitian terdahulu menunjukkan bahwa tugas yang diberikan kepada partisipan bukanlah tugas yang sifatnya berulang (hanya sekali diberikan) dan tidak menunjukkan adanya sifat untuk mengingat, mendeteksi, waspada, klerikal, dan sifat pengambilan keputusan (Fessler, 2003). Dengan menggunakan tugas yang sama dengan Fessler (2003), Arifin (2012) menyatakan bahwa tingkat kesulitan tugas yang diberikan tidak sesuai dengan rata-rata IPK partisipan, sehingga kinerja yang dicapai tidak dapat optimal. Oleh karena itu, penelitian kali ini akan menjadikan instrumen tugas yang diadopsi dari Drake et al. (2007) yang tingkat kesulitannya lebih rendah serta bersifat klerikal sebagai tugas utama untuk dikerjakan dan menjadikan instrumen Fessler (2003) sebagai tugas tambahan. Selain itu, Arifin (2012) dan Arniati (2012) yang mereplikasi murni terhadap penelitian Fessler (2003) menyatakan bahwa salah satu keterbatasan penelitian lain yang dilakukannya adalah rendahnya insentif yang diberikan, sehingga dapat menimbulkan bias hasil penelitian.

Dari uraian tersebut, penulis tertarik untuk melakukan penelitian kembali

dengan judul “Studi Eksperimental Atas Hubungan Insentif Moneter, Motivasi, dan Kinerja” dengan mengubah tugas yang diberikan, memodifikasi instrumen motivasi

(5)

Penelitian ini memberikan bukti eksperimental yang terkait tentang pengaruh interaksi antara motivasi awal dan skema pemberian insentif tertentu terhadap perubahan motivasi, pengaruh motivasi terhadap kinerja tugas, serta pengaruh interaksi antara motivasi awal individu dan skema pemberian insentif tertentu terhadap kinerja

tugas.

Kontribusi penelitian ini berupa masukan terhadap semua instansi baik

pemerintah maupun swasta agar dalam setiap pemberian tugas memperhatikan faktor-faktor yang berkaitan dengan kinerja, terutama faktor-faktor pemberian insentif, tingkat ketertarikan terhadap tugas (motivasi intrinsik) dan motivasi ektrinsik, khususnya yang berkaitan dengan insentif. Sejalan dengan teori aktivasi yang menyatakan “untuk menjaga karyawan selalu memiliki motivasi selama bekerja, aktivitas pekerjaan haruslah beragam, menarik dan diselaraskan dengan tujuan individu itu sendiri. Hal ini pada akhirnya akan meningkatkan kinerja organisasi secara keseluruhan” (Prentiss, 2011) Selain itu, penelitian ini juga memperkaya penelitian di bidang perilaku dengan menggunakan metode eksperimen yang masih sangat jarang digunakan dalam penelitian di Indonesia.

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1Activation Theory

Untuk memenuhi kebutuhan hidup, setiap manusia akan bekerja. Tingkat kebutuhan masing-masing manusia tidaklah sama, demikian pula dengan motif kerjanya. Ada sebagian orang yang bekerja semata-mata untuk memperoleh penghasilan guna memenuhi kebutuhan pokoknya, namun ada pula yang bekerja bukan untuk memperoleh penghasilan akan tetapi untuk mengejar prestasi dan penghargaan (teori kebutuhan Maslow). Kebutuhan ini akan selalu berubah dari waktu ke waktu. Dalam kaitan dengan pemenuhan kebutuhan, motivasi merupakan variabel penting yang

mempengaruhi perilaku seseorang pada lingkungan kerjanya. Artinya semakin tinggi motivasi seseorang maka akan semakin tinggi pula kinerja yang dapat dihasilkannya,

dan akhirnya kemungkinan untuk dapat memenuhi kebutuhan bagi orang tersebut akan semakin tinggi pula ( (Steers & dan Porter, 1987) dan Prentiss (2011)).

(6)

individu dapat berupa ketertarikan dengan tugas atau pekerjaan (motivasi intrinsik). Terkait dengan hal tersebut, Scott (1966) dalam Fessler (2003) mengembangkan teori aktivasi sebagai salah satu teori untuk membuktikan motivasi intrinsik seseorang terhadap tugas.

Teori aktivasi (activation theory) ini merupakan salah satu teori motivasi yang memfokuskan pada proses psikologis yang dilibatkan dalam desain ulang pekerjaan. Teori aktivasi Scott (1966) dalam Fessler (2003) menyatakan bahwa aktivasi adalah tingkat rangsangan pada sistem reticular otak. Prinsip pendekatan teori aktivasi pada rancangan pekerjaan adalah bahwa pekerjaan itu dengan sendirinya menjadi sumber aktivasi bagi orang yang melaksanakannya. Riset menunjukkan bahwa kinerja yang jelek berada pada tingkat aktivasi yang sangat rendah atau sangat tinggi. Sehingga, pekerjaan yang membosankan atau berulang-ulang mungkin mendorong untuk tingkat kinerja yang rendah karena mereka gagal untuk aktivasi. Di sisi lain, pekerjaan yang lebih diperkaya seharusnya mendorong untuk keadaan aktivasi dengan menghasilkan peningkatan kinerja (Scott (1966) dalam Fesller (2003)).

Pinder (1997) menyatakan bahwa beberapa sifat obyek stimulus atau pengaturan pekerjaan tertentu menghasilkan lebih tinggi derajat aktivasi dan gairah (arousal). Khususnya, intensitas, variasi dan keanekaragaman, kompleksitas, ketidakpastian, kebaruan (novelty) dan makna obyek maupun situasi merupakan hal yang sangat penting. Oleh sebab itu, suatu pekerjaan yang memiliki sedikit keragaman, sedikit komponen tugas, sedikit menemukan hal-hal baru, dan tanpa ketidakpastian atau tanpa daya prediksi, kurang menimbulkan aktivasi dibandingkan suatu pekerjaan yang menunjukkan ciri (karakteristik) sebaliknya.

2.2 Insentif Moneter/Kompensasi

Kompensasi pada dasarnya mencakup semua penghargaan, baik yang berupa penghargaan finansial maupun penghargaan non finansial. Kompensasi finasial

(7)

Bernardin dan Russel (1998) dalam Iswanto (2007), membagi kompensasi finansial langsung dalam dua kategori, yaitu : a) Program upah dan gaji, dan, b) Pembayaran yang tergantung pada kinerja (jasa yang meningkat, bonus, bagi hasil, komisi penjualan, dan seterusnya). Selanjutnya yang termasuk dalam kompensasi non finansial adalah

penghargaan / hadiah, prestise dan pengakuan (Iswanto, 2007).

Menurut Milkovich dan Newman (1999) dalam Arniati (2012), kompensasi

adalah semua bentuk return keuangan dan jasa tidak berwujud dan manfaat yang diterima pekerja sebagai bagian dari hubungan ketenagakerjaan. Kompensasi dalam bentuk insentif moneter biasanya diberikan oleh perusahaan sebagai imbalan atas kerja keras karyawan dan kontribusinya terhadap kemajuan perusahaan. Intensif moneter dapat diberikan dalam bentuk bonus, komisi, pembagian laba, bantuan hari tua.

2.3 Motivasi

Motivasi kerja adalah pemberian daya gerak yang menciptakan kegairahan kerja seseorang agar mereka mau bekerja sama, bekerja efektif dan terintegrasi dengan segala upayanya untuk mencapai kepuasan (Hasibuan, 2008). Motivasi menjadi bagian terpenting bagi perusahaan untuk meningkatkan kinerja karyawan untuk mencapai tujuan perusahaan. Motivasi akan mendorong karyawan untuk bekerja secara optimal dan berprestasi. Menurut (Rivai, 2004), semakin kuat motivasi kerja pegawai maka akan semakin tinggi kinerja pegawai. Pemberian motivasi bersal dari dalam diri seseorang (internal) dan berasal dari luar diri seseorang (eksternal). Motivasi intrinsik mengacu pada motivasi yang didorong oleh minat dan kesenangan yang ada dalam diri individu. Sedangkan motivasi eksternal mengacu pada motivasi yang berasal dari luar diri individu. Motivasi eksternal dapat berupa pemaksaan dan ancaman hukuman serta penghargaan nilai dan kompensasi dalam bentuk intensif moneter.

2.4 Hubungan Insentif Keuangan, Motivasi Tugas dan Kinerja

Teori aktivasi menyatakan bahwa daya tarik yang dirasakan adalah fungsi dari

(8)

memberikan kompensasi dapat meningkatkan kesadarannya sehingga dapat menyebabkan daya tarik pada tugas menjadi berkurang.

Faktor lain yang mempengaruhi kinerja karyawan adalah daya tarik tugas yang

merupakan salah satu bentuk motivasi. Daya tarik tugas adalah suatu tingkat yang menggambarkan persepsi seseorang tentang seberapa menarik dan menantang suatu tugas/pekerjaan untuk dilakukan. Sementara motivasi kerja adalah pemberian daya gerak yang menciptakan kegairahan kerja seseorang agar mereka mau bekerja sama, bekerja efektif dan terintegrasi dengan segala upayanya untuk mencapai kepuasan (Hasibuan, 2008). Baik persepsi daya tarik karyawan terhadap suatu pekerjaan maupun motivasi itu sendiri dipengaruhi oleh persepsi karyawan tersebut terhadap insentif yang diberikan perusahaan (Fessler, 2003), (Arniati, 2012) dan (Marsden & Richardson, 1998).

Insentif merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi motivasi instrinsik seseorang (Thomas dan Velthouse, 1990). Penelitian Fessler (2003) yang mendukung teori aktivasi tersebut, menyatakan bahwa insentif terbukti dapat menurunkan daya tarik tugas (motivasi intrinsik) ketika tugas awalnya dirasakan menarik. Sebaliknya penelitian Wimperis dan Farr (1979) dalam Fessler (2003) tidak berhasil membuktikan dukungan pengaruh insentif pada motivasi intrinsik, yang dikenal dengan overjustification effect.

Selain motivasi intrinsik, motivasi yang dipengaruhi oleh lingkungan eksternal (motivasi eksternal) juga banyak diteliti, terutama motivasi yang didasari oleh motif ekonomi. Beberapa di antaranya dilakukan oleh Marsden dan Richardson (1998), Sprinkle (2000), Bonner dan Sprinkle (2000), Thomas (2004) dan Drake et al. (2007) yang menunjukkan bahwa skema pemberian insentif yang berbeda mempengaruhi motivasi tugas yang dirasakan karyawan.

Dalam hubungannya antara daya tarik tugas dan kinerja tugas, Judge et al.

(9)

terhadap daya tarik tugas tidak sepenuhnya berpengaruh terhadap kinerja tugas. Persepsi seseorang terhadap daya tarik tugas dapat berubah akibat perbedaan skema pengupahan insentif, yang pada akhirnya berpengaruh terhadap perubahan tingkat kinerja secara parsial. Menurut Fessler (2003), ketika pada awalnya subjek berpersepsi bahwa tugas

itu menarik dan kemudian diberi imbalan dengan pemberian insentif bertingkat, maka dapat menyebabkan penurunan yang signifikan terhadap daya tarik tugas dan berpengaruh terhadap menurunnya kinerja. Kemudian, ketika pada awalnya subjek tidak tertarik pada tugas tersebut, namun diberi insentif moneter dengan tarif tetap, tidak berpengaruh terhadap daya tarik tugas dan kinerja. Penelitian ini juga didukung oleh Arniati (2012), menunjukkan bahwa hubungan insentif keuangan, daya tarik tugas, dan kinerja, penelitian ini berhasil memperoleh bukti empiris tentang perbedaan kinerja yang lebih baik pada subyek yang tertarik dengan tugas dan mendapat kompensasi tetap, dibanding subyek yang mendapat kompensasi berdasarkan insentif. Arifin (2012) juga melakukan riset yang sama, namun hasil yang diperoleh tidak mendukung penelitian sebelumnya. Tabel 1 berikut menunjukkan penelitian yang pernah dilakukan.

Tabel 1. PENELITIAN TERDAHULU

RISET TERDAHULU HASIL PENELITIAN KETERBATASAN PENELITIAN

Fessler (2003)

1. saat tugas pada awalnya dirasakan menarik, sistem

1. hanya menguji dua bentuk kompensasi

2. saat tugas pada awalnya dianggap tidak menarik, skema insentif apapun tidak mempengaruhi daya tarik tersebut begitu pula dengan kinerjanya

2. tugas yang diberikan tidak memiliki karakter tugas yang biasa pada tugas akuntan, seperti mendeteksi, mengingat, klerikal, atau pengambilan keputusan.

Arniati (2012)

1. terdapat perbedaan kinerja yang lebih baik pada subyek yang tertarik dengan tugas dan mendapat

kompensasi tetap, dibanding subyek yang

mendapat kompensasi bertingkat

(10)

2. tidak berhasil membuktikan bahwa subjek yang dikendalikan, tidak tertarik dengan tugas

dengan kompensasi berdasarkan insentif, kinerjanya akan lebih baik daripada subjek yang tidak dikendalikan, tertarik dengan tugas dan dengan kompensasi tetap.

2. kasus/tugas yang disajikan dalam eksperimen tidak interaksi antara daya tarik tugas awal dan skema tarif

pengupahan insentif moneter dapat berpengaruh

terhadap perubahan daya tarik tugas.

1. tingkat kesulitan tugas yang diberikan tidak sepadan dengan kondisi kinerja akademik subjek

2. Daya tarik tugas tidak

memiliki pengaruh terhadap kinerja tugas.

2. kompensasi yang diberikan kurang memotivasi subjek penelitian

3. Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa interaksi antara daya tarik tugas awal dan skema tarif pengupahan insentif moneter dapat berpengaruh terhadap Kinerja tugas

2.5 Pengembangan Hipotesis

Kompensasi berdasarkan insentif diharapkan mempunyai pengaruh negatif pada daya tarik tugas ketika tugas awalnya dipandang menarik, tetapi berpengaruh positif pada daya tarik tugas ketika tugas awalnya dipandang tidak menarik, dan kompensasi berdasarkan insentif diharapkan untuk mempunyai pengaruh yang sama pada kinerja, yaitu berpengaruh negatif pada kinerja ketika tugas awalnya dipandang menarik dan berpengaruh positif pada daya tarik tugas ketika tugas awalnya dipandang tidak menarik (Fessler, 2003). Namun baik penelitian Fessler (2003), maupun Arniati (2012) dan Arifin (2012) tidak mampu membuktikan hipotesis tersebut, sehingga penelitian kali ini merumuskan kembali hipotesis sebagai berikut:

(11)

Hipotesis tersebut akan diuraikan secara lebih rinci dalam hipotesis berikut:

H1(a): ketika subjek melakukan sebuah tugas yang awalnya membuat mereka termotivasi, kompensasi berdasarkan tarif bertingkat akan mengurangi motivasi mereka

H1(b): ketika subjek melakukan sebuah tugas yang awalnya membuat mereka tidak termotivasi, kompensasi berdasarkan tarif bertingkat akan meningkatkan motivasi mereka

Bila tarif insentif yang diberikan pada seseorang bersifat tetap, maka seseorang relatif tidak banyak terpengaruh pada kondisi menarik atau tidaknya pekerjaan. Hal ini dibuktikan oleh Fessler (2003) yang menunjukkan bahwa tidak ada perubahan persepsi mengenai daya tarik pada subjek penelitiannya ketika mereka dibayar berdasarkan tarif tetap. Untuk itu, hipotesis pada penelitian kali ini:

H1(c): ketika subjek melakukan sebuah tugas yang awalnya membuat mereka ada yang termotivasi dan ada juga yang tidak termotivasi, kompensasi berdasarkan tarif tetap tidak mengubah kondisi tingkat motivasi yang mereka miliki.

Persepsi mengenai daya tarik tugas yang ada pada subjek akan mempengaruhi kinerja tugas yan mereka capai. Meski Arifin (2012) tidak dapat membuktikannya, penelitian Fessler (2003) dan Arniati (2012) menunjukkan bukti yang mendukung hipotesis ini.

H2: motivasi subjek berhubungan secara positif dengan kinerja tugas mereka

Di awal dinyatakan bahwa skema pemberian insentif yang ditetapkan kepada seorang karyawan akan mengubah ketertarikan (motivasi) yang dimilikinya, dan motivasi tersebut pada akhirnya akan mempengaruhi kinerja yang dicapainya. Dengan

demikian, ketika seseorang diberitahu tentang metode/skema pemberian insentif yang akan diterimanya, maka kinerjanya juga akan berubah (Yerkes dan Dodson (1908)

dalam Fessler (2003)).

(12)

Hipotesis tersebut akan diuji secara rinci melalui dua hipotesis berikut sebagaimana yang dilakukan oleh Fessler (2003):

H3(a): Saat melakukan tugas yang memberikan motivasi tinggi, subjek yang dibayar dengan insentif tetap akan mencapai kinerja yang lebih baik daripada subjek yang diberi insentif bertingkat

H3(b): Saat melakukan tugas yang dianggap tidak memberikan motivasi, subjek yang dibayar dengan insentif bertingkat akan mencapai kinerja yang lebih baik daripada subjek yang diberi insentif tetap.

3. METODE PENELITIAN

3.1 Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel

Skema Insentif Moneter

Variabel independen yang dimanipulasi (treatment) dalam eksperimen ini adalah skema insentif moneter yang diukur dengan menggunakan skala dikotomi. Skema pengupahan yang dimaksud dibagi menjadi dua, yaitu tarif tetap (diberi skala 1) dan tarif bertingkat (diberi skala 2). Untuk tarif tetap, subjek akan mendapatkan Rp 10.000 atas partisipasinya, sementara untuk tarif bertingkat, subjek akan dibayar Rp 1.000 untuk setiap satu tugas I/kasus I yang diselesaikannya dan Rp2000 untuk tugas II. Dalam tarif bertingkat, subjek akan mendapat total pengupahan sebesar Rp 30.000 jika berhasil menyelesaikan semua tugas/kasus yang telah disediakan. Namun nominal yang ditentukan tersebut, baik untuk insentif tetap maupun bertingkat, akan diuji kelayakannya terlebih dahulu dalam sebuah pilot test. Hal ini dilakukan karena peneliti terdahulu Arniati (2012) dan Arifin (2012) menganggap tarif yang mereka tentukan dalam eksperimen yang mereka lakukan tergolong rendah.

Motivasi

Variabel independen lain yang akan diteliti dalam eksperimen ini adalah

(13)

menyelesaikan tugas/kasus dalam eksperimen. Perbedaan dikeduanya disebut sebagai variabel selisih motivasi. Motivasi tugas individu diukur dengan menggunakan 7 skala yang diadaptasi dari Scott dan Erskine (1980) dalam Fessler (2003) dan Drake et al. (2007). Semakin tinggi nilai yang diberikan berarti semakin tinggi motivasi yang

dimiliki partisipan.

Kinerja Tugas

Variabel dependen yang diukur adalah kinerja tugas individu. Tinggi rendahnya kinerja tugas individu dapat dilihat dari seberapa baik partisipan menyelesaikan tugas/kasus yang disediakan oleh peneliti dengan dua kondisi dari skema pengupahan insentif moneter. Kinerja Individu pada eksperimen kali ini memodifikasi instrumen yang digunakan Drake et al. (2007) yang terdiri dari seperangkat tugas dengan tingkat kesulitannya yang semakin tinggi untuk tugas I (membaca sandi selama 10 menit), dan untuk tugas II (Water Jar Problem-20 menit) akan digunakan instrumen yang pernah digunakan Fessler (2003), Arniati (2012) dan Arifin (2012). Tugas kedua dilakukan setelah tugas pertama selesai dikerjakan. Untuk 1 jawaban tugas pertama yang benar, diberi poin 5 dan poin 10 untuk tugas kedua.

3.2 Subjek Penelitian

Subjek eksperimen yang dipilih dalam penelitian ini adalah 60 orang mahasiswa Akuntansi yang dipilih secara acak. Namun data yang dapat diolah dari ke 60 responden tersebut hanya sebanyak 45 responden. Partisipan dikelompokkan menjadi 4 kelompok berdasarkan variabel eksperimen, meskipun demikian dalam suatu eksperimen tidak terdapat aturan baku mengenai jumlah minimal subjek yang harus dipenuhi di setiap kelompok.

3.3 Desain Eksperimen

Dalam eksperimen ini dirancang suatu desain mengenai pengaruh dari skema

(14)

Skema Pengupahan Insentif Moneter

Tarif Tetap Tarif Bertingkat

Motivasi

Gambar 1. Desain Eksperimen (2x2) 3.4 Pilot-test

Pengujian ini dilakukan untuk memodifikasi instrumen kinerja yang digunakan peneliti terdahulu. Pada penelitian Fessler (2003), instrumen yang digunakan adalah

instrumen yang dibuat oleh Luchin (1942), begitu pula dengan eksperimen yang dilakukan Arniati (2012) dan Arifin (2012). Pada eksperimen tersebut dirasakan tingkat

kesulitan yang dirasakan partisipan cukup tinggi. Hal ini dapat dilihat dari rata-rata skor yang diperoleh yakni berkisar antara 3-5 dari skor tertinggi (15) yang harusnya dapat dicapai. Untuk itu, dilakukan pilot test yang diikuti 15 orang untuk menentukan jumlah soal dalam setiap tugas dan lama waktu yang akan diberikan baik tugas pertama maupun tugas kedua. Tugas pertama menggunakan instrumen Drake et al. (2007) berupa tugas menerjemahkan sandi huruf ke dalam angka dan melakukan kalkulasi seperti halnya yang biasa dilakukan oleh seorang akuntan (lihat apendiks A). Soal yang disediakan 20 soal dan dikerjakan dalam waktu 10 menit pertama. Hasil yang diperoleh menunjukkan peserta mampu menyelesaikan rata-rata 10 soal. Tugas kedua yang diberikan sama seperti tugas terdahulu (water jug problem) dalam waktu 20 menit terakhir.

(15)

seluruh tugas pertama). Untuk tarif bertingkat, ditentukan Rp 500 dan Rp 1000 untuk setiap jawaban benar dari tugas pertama, serta Rp 1000 dan Rp 2000 untuk setiap jawaban benar dari tugas kedua yang tingkat kesulitannya lebih tinggi. Hasil yang diperoleh menunjukkan jawaban mahasiswa lebih bervariasi pada tarif tertinggi.

Dengan demikian, untuk pelaksanaan eksperimen sesungguhnya ditentukan tarif tetap senilai Rp 10.000 dan tarif bertingkat senilai Rp1000 per jawaban benar pada tugas pertama dan Rp2000 per jawaban benar pada tugas kedua.

3.5 Skenario Eksperimen

Berikut ini Skenario Eksperimen yang dilakukan untuk menganalisis hubungan antara insentif moneter, motivasi tugas dan kinerja tugas. Skenario ini dibagi ke dalam 8 tahap:

1. Pemilihan subjek penelitian secara acak/random yang kemudian tanpa sepengetahuan mereka dibagi ke dalam dua, yakni kelompok 1 dan 2.

2. Pengisian identitas subjek pada lembar Kuisioner sekitar 2 menit.

3. Partisipan diberi waktu 5 menit untuk latihan mengerjakan 3 contoh soal yang akan menggambarkan seperti apa soal/tugas yang harus dikerjakan dalam eksperimen ini. Tahap ini berguna untuk memastikan apakah partisipan memahami benar treatment yang akan diberikan kepada mereka.

4. Partisipan diukur motivasi tugasnya dengan menggunakan skala motivasi tugas untuk mengetahui persepsi awal subjek terhadap contoh soal yang telah diberikan.

5. Peneliti memberitahu mengenai dua bentuk skema pengupahan yang ada. Dimana kelompok 1 dikondisikan sebagai partisipan yang mendapatkan insentif moneter dengan tarif tetap, yaitu sebesar Rp 10.000 jika partisipan dapat menyelesaikan semua soal yang disediakan (tanpa memperhatikan benar atau

(16)

6. Partisipan diberi waktu 30 menit untuk meyelesaikan 20 soal (10 soal untuk tugas I dan 10 soal untuk tugas II) yang telah disediakan oleh peneliti.

7. Partisipan diukur lagi motivasi tugasnya setelah menyelesaikan kasus yang diberikan

8. Partisipan menerima Insentif sesuai dengan kontrak awal.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Awal

Dari data yang dikumpulkan melalui eksperimen yang dilakukan, diperoleh gambaran statistik untuk setiap variabel sebagai berikut:

Tabel 2 Statistik Deskriptif

N Minimum Maximum Mean

Median Modus Std. Deviation

Jenis Kompensasi 45 1.00 2.00 1.4222 1.00 1.00 .49949

Rata-rata motivasi Awal 45 2.33 7.00 5.3833 6.0833 6.25 1.15435

Kinerja 45 40.00 100.00 73.6667 70.00 65.00 18.10324

Rata-rata motivasi akhir 45 3.58 7.00 5.5833 5.50 4.50 .96808

Selisih Motivasi 45 -3.25 2.58 -.2000 0.16675 -0.25 1.09642

Valid N (listwise) 45

Sumber: data diolah (2013)

Tabel 2 menunjukkan nilai minimum dan maksimum setiap variabel yang diteliti. Variabel jenis kompensasi merupakan variabel dikotomi yang masing-masing berjumlah 26 subjek memperoleh kompensasi tetap dan 19 subjek memperoleh kompensasi bertingkat. Standar deviasi menunjukkan nilai sebesar 1,154. Nilai standar deviasi yang lebih rendah dari nilai rata-rata yakni senilai 5,3833 memang merupakan representasi dari keseluruhan nilai yang ada.

(17)

dianggap lebih merepresentasikan rata-rata motivasi awal subjek yang jumlahnya hanya 45 orang. Oleh karena itu, distribusi subjek dibagi berdasarkan kelompoknya sebagai berikut:

Tabel 3 Desain Eksperimen-Motivasi Awal

Skema Pengupahan Insentif

Moneter Total

Tarif Tetap Tarif Bertingkat

Motivasi Tugas

Tidak

Termotivasi 16 15 31

Termotivasi 10 4 14

Total partisipan 26 19 45

Sumber: data diolah (2013)

Pada tabel tersebut dapat diketahui motivasi awal subjek berkisar antara 2,33 (di

bawah modus) hingga nilai maksimum 7,00 (di atas modus). Hal ini berarti, sejak awal memang terdapat subjek yang kurang termotivasi untuk melakukan tugas yang diberikan (31 orang). Subjek menanggapi secara berbeda tentang daya tarik tugas yang diberikan. Sebagaimana diketahui, ketertarikan terhadap tugas tertentu merupakan bagian dari motivasi internal yang diukur dari subjek. Di samping itu pula, terdapat subjek yang memang sejak awal sudah sangat termotivasi dengan tugas yang diberikan (14 orang).

(18)

Tabel 4. Desain Eksperimen-Motivasi Akhir Skema Pengupahan Insentif

Moneter Total

Tarif Tetap Tarif Bertingkat

Motivasi Tugas

Tidak

Termotivasi 11 12 23

Termotivasi 15 7 22

Total 26 19 45

Sumber: data diolah (2013)

4.2 Jenis Kompensasi, Motivasi dan Perubahan Motivasi

Pengujan hipotesis pertama dilakukan dengan menggunakan uji anova. Hasil yang diperoleh tampak pada tabel 5. Dari nilai siginifikansi intercept yang lebih besar dari 0,05 tersebut sudah menunjukkan bahwa variabel dependen dalam hal ini variabel perubahan motivasi, dapat berubah nilainya karena ada pengaruh dari variabel

(19)

Tabel 5. Uji ANOVA- Hipotesis 1

Variabel

Type III Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Intercept 1.452 1 1.452 4.401 .074

Jenis kompensasi .307 1 .307 .930 .367

Rata-rata motivasi awal 44.878 28 1.603 4.859 .019

Jenis kompensasi * rata-rata

Motivasi awal 3.351 8 .419 1.270 .383

Error 2.309 7 .330

Total 54.694 45

a. R Squared = ,956 (Adjusted R Squared = ,726) Variabel Dependen: Perubahan Motivasi

Sumber: data diolah (2013)

Perubahan motivasi terjadi ketika subjek telah melakukan tugas sebenarnya. Perubahan ditunjukkan oleh selisih antara nilai motivasi awal dengan nilai motivasi akhir. Motivasi awal diukur setelah subjek diberi sedikit gambaran mengenai tugas yang akan dilakukan dan setelah mereka melakukan latihan kecil. Motivasi akhir diukur setelah subjek melakukan tugas yang didisain memiliki karakter yang sama dengan tugas klerikal seorang akuntan.

Dari hasil yang diperoleh menunjukkan tidak didukungnya teori aktivasi yang

dicetuskan Scott (1966) dalam Fessler (2003). Teori tersebut menyatakan bahwa seseorang akan lebih bersemangat setelah ia mendapatkan rangsangan melalui pengetahuan dan pengalaman pekerjaan yang dilakukannya atau hal-hal lain yang ada di sekitar mereka. Meskipun dinyatakan oleh Pinder (1997) bahwa beberapa sifat obyek stimulus atau pengaturan pekerjaan tertentu menghasilkan lebih tinggi derajat aktivasi dan gairah (arousal), namun ternyata pemberian informasi mengenai insentif yang akan diterima tidaklah menambah motivasi subjek terhadap tugas yang diberikan.

(20)

4.3 Motivasi dan Kinerja

Pengujian hipotesis kedua dilakukan untuk membuktikan hubungan antara motivasi dan kinerja. Meskipun motivasi awal tidak berhubungan secara signifikan

dengan kinerja, hasil yang diperoleh dari pengujian motivasi akhir dengan kinerja menunjukkan nilai yang signifikan di bawah 0,05, yakni 0,013 (Tabel 6). Hal ini berarti bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara motivasi akhir dengan kinerja.

Tabel 6. Uji-Hipotesis 2-Uji Korelasi-Spearman’s rho Rata-rata motivasi akhir

Kinerja

Spearman's rho

Rata-rata motivasi akhir

Correlation Coefficient 1.000 .367*

Sig. (2-tailed) . .013

N 45 45

Kinerja Correlation Coefficient .367* 1.000

Sig. (2-tailed) .013 .

N 45 45

*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). Sumber: Data Diolah (2013)

Meski Arifin (2012) tidak dapat membuktikannya, penelitian kali ini sejalan dengan hasil penelitian Fessler (2003) dan Arniati (2012) yang menunjukkan bukti bahwa hipotesis ini dapat diterima.

Seseorang akan melakukan tugas dengan baik apabila ia termotivasi baik secara intrinsik maupun ekstrinsik. Motivasi pada penelitian ini diukur dengan menilai ketertarikan subjek terhadap tugas yang diberikan. Sejalan dengan teori motivasi, semakin seseorang termotivasi untuk melaksanakan tugas dengan lebih baik, semakin baik pula kinerja yang dicapainya.

4.4 Jenis Kompensasi, Motivasi dan Kinerja

(21)

variabel independen (motivasi, jenis kompensasi, dan interaksi keduanya). Variabel jenis kompensasi menunjukkan nilai F=13.990 pada tingkat signifikansi <0,05, yakni 0,007. Hal ini berarti jenis kompensasi yang berupa pemberian kompensasi secara tetap dan pemberian kompensasi secara bertingkat mempengaruhi secara signifikan kinerja

yang dicapai. Pada penelitian kali ini menunjukkan, pemberian kompensasi secara tetap ternyata lebih meningkatkan kinerja subjek penelitian. Sementara pemberian kompensasi secara bertingkat, justru menurunkan kinerja subjek penelitian.

Tabel 7. Pengaruh Motivasi dan Jenis Kompensasi terhadap Kinerja

Panel A: Rata-rata Kinerja

Kompensasi tetap Kompensasi Bertingkat

Tidak termotivasi 79.2308 58.8889

Termotivasi 83.4615 67.0000

Panel B: Ringkasan Hasil Uji ANOVA

Variabel Dependen: kinerja

Source

Type III Sum

of Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model 13907.500a 37 375.878 5.134 .015

Intercept 203571.053 1 203571.053 2.780E3 .000

Jenis kompensasi 1024.242 1 1024.242 13.990 .007

Rata-rata motivasi awal 7424.226 28 265.151 3.622 .042

Jenis kompensasi *

rata-rata motivasi awal 3116.111 8 389.514 5.320 .020

a. R Squared = ,964 (Adjusted R Squared = ,777) sumber: Data Diolah (2013)

Pada tabel 7. juga dapat diketahui, motivasi awal subjek mempengaruhi kinerja subjek penelitian pada nilai F=3,622; p<0,042. Sementara interaksi antara dua variabel independen tersebut menunjukkan nilai F=5,320; p<0,020.

(22)

kepadanya membuat dirinya melakukan pekerjaan lebih baik daripada subjek yang diberi kompensasi bertingkat. Dengan demikian Hipotesis 3(a) dapat diterima. Hasil ini sejalan dengan penelitiannya Fessler (2003) yang menyatakan bahwa saat melakukan tugas yang memberikan motivasi tinggi, subjek yang dibayar dengan insentif tetap akan

mencapai kinerja yang lebih baik daripada subjek yang diberi insentif bertingkat.

Namun demikian, penelitian kali ini tidak dapat membuktikan hipotesis 3(b)

yang menyatakan bahwa saat melakukan tugas yang dianggap tidak memberikan motivasi, subjek yang dibayar dengan insentif bertingkat akan mencapai kinerja yang lebih baik daripada subjek yang diberi insentif tetap. Hal ini dapat dillihat dari tingginya nilai kinerja subjek yang sejak awal merasa tidak termotivasi untuk mengerjakan tugas dan diberi insentif tetap (79.2308) dibanding dengan subjek yang tidak termotivasi sejak awal dan diberi insentif bertingkat (58.8889). Kecenderungan yang diperoleh menunjukkan insentif yang tetap ternyata membuat seseorang lebih termotivasi dibanding dengan insentif yang bertingkat. Seseorang yang cenderung risk-adverse akan merasa ‘nyaman’ dengan kepastian tarif tetap yang akan diterimanya.

Dengan demikian, ketika seseorang diberitahu tentang metode/skema pemberian insentif yang akan diterimanya, maka kinerjanya juga akan berubah (Yerkes dan Dodson (1908) dalam Fessler (2003)). Secara umum dapat disimpulkan bahwa interaksi antara motivasi tugas awal individu dan skema pengupahan insentif tertentu berpengaruh terhadap kinerja tugas.

5. PENUTUP

Pemberian kompensasi merupakan hal yang penting bagi seorang manajer atau pimpinan dalam menjalankan fungsi pengevaluasian dan memberikan penghargaan kepada bawahan/karyawannya. Pemberian kompensasi dengan jenis tertentu diharapkan dapat mengubah motivasi seseorang dalam melaksanakan tugas/pekerjaan yang menjadi

tanggung jawabnya (Fessler, 2003).

Penelitian kali ini sejalan dengan penelitian Fessler (2003), Arniati (2012) dan

(23)

Hasil lainnya menunjukkan adanya pengaruh motivasi terhadap kinerja. Semakin tinggi motivasi yang dirasakan seseorang, maka kinerja yang dicapaipun semakin baik. Demikian pula sebaliknya. Hasil ini mendukung penelitian terdahulu.

Pengujian terakhir yang merupakan inti dari penelitian ini menunjukkan hasil

yang signifikan dan sejalan dengan penelitian terdahulu. Meskipun seseorang merasakan motivasi yang tinggi untuk melaksanakan tugas, pemberian insentif dengan menggunakan sistem kompensasi yang tetap, dapat menghasilkan kinerja yang lebih baik daripada pemberian insentif dengan menggunakan sistem kompensasi bertingkat. Sebaliknya ketika seseorang memang tidak merasa termotivasi sejak awal, sistem kompensasi bertingkat tidak membuatnya menghasilkan kinerja yang lebih baik daripada sistem kompensasi tetap.

Implikasi hasil penelitian ini menunjukkan bahwa skema pemberian kompensasi secara bertingkat justru tidak mampu meningkatkan kinerja seseorang. Seseorang akan merasa lebih ‘nyaman’ ketika sistem pemberian kompensasi dilakukan secara tetap. Hal ini kemungkinan karena setiap orang pada dasarnya tidak menyukai ketidakpastian. Sistem pemberian kompensasi secara bertingkat dianggap tidak pasti karena tergantung pada tugas yang akan dilaksanakannya. Dengan kata lain, pada kondisi tertentu sistem pemberian kompensasi secara bertingkat ternyata tidaklah efektif dalam upaya peningkatan kinerja.

Hal ini tentu saja berdampak diperlukannya evaluasi kinerja bagi pegawai yang telah menjalani sistem remunerasi di kalangan instansi pemerintah saat ini. Sistem yang semula diharapkan dapat memotivasi para pegawai dan pada akhirnya dapat meningkatkan kinerja mereka, bisa menjadi tidak efektif.

Meskipun penelitian ini mencoba untuk menindaklanjuti keterbatasan pada

penelitian sebelumnya, penelitian ini tetap memiliki beberapa keterbatasan. Adapun keterbatasan yang dimaksud adalah penelitian ini tidak membedakan motivasi intrinsik

(24)

Daftar Pustaka

Anthony, R. N., & Govindarajan, V. (2005). Management Control System. Jakarta: Salemba Empat.

Arifin, A. 2012. Analisis Hubungan Antara Insentif Moneter, Daya Tarik Tugas dan Kinerja Tugas. Skripsi. Universitas Negeri Bengkulu. Bengkulu: Universitas Negeri Bengkulu.

Arniati. 2012. Pengaruh Insentif Keuangan, Daya Tarik Tugas dan Faktor Situasional terhadap Kinerja. Jurnal Seminar Nasional Akuntansi dan Bisnis (SNAB) .

Drake, A. R., Wong, J., & B.Salter, S. 2007. Empowerment, Motivation, and Performance: Examining the Impact of Feedback and Incentives on Nonmanagement Employees . BEHAVIORAL RESEARCH IN ACCOUNTING Volume 19 , 71–89 .

Fessler, N. J. 2003. Experimental Evidence on the Links among Monetary Incentives, Task Attractiveness, and Task Performance. Journal of Management Accounting Research, Vol. 15 , 161-176.

Hasibuan, M. 2008. Organisasi dan Motivasi. Jakarta: Bumi Aksara.

Holmstrom, B., and P. Milgrom. 1991. Multitask principal-agent analysis: Incentive contracts, asset ownership, and job design. Journal of Law, Economics and Organization 7 (Spring): 24–52.

Iswanto, Y. 2007. Ebook.com. Retrieved Maret 25, 2013, from http://www.Ebook//KinerjaManajemen//Wordpress.com

Marsden, D., & Richardson, R. 1998. Motivation And Performance Related Pay In The Public Sector: A Case Study Of The Inland Revenue,. Discussion Paper No.75.

Pinder, C. C. 1997. Work Motivation in Organizational Behavior. New Jersey: Prentice Hall.

Prentiss, B. 2011. Antiessay. Retrieved Maret 25, 2012, from http://www.antiessays.com/free-essays/356323.html

Purwati, S. 2012. Pengaruh Motivasi Karyawan terhadap Kinerja Karyawan PT Anindya Mitra Internasional. Jurnal. Yogyakarta: Universitas Ahmad Dahlan. Yogyakarta: Universitas Ahmad Dahlan.

Rivai, V. 2004. Manajemen Sumber Daya Manusia: Dari Teori Ke Praktik. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Sprinkle, G. B. 2000. The effect of incentive contracts on learning and performance. The Accounting Review 75 (3) , 299–326.

(25)

Thomas, K. W., & Velthouse, B. 1990. Cognitive elements of empowerment: An ‘‘interpretive’’ model of intrinsic task motivation. : . Academy of Management Review 15 , 666–681.

Thomas, S. B. 2004. Comparing The Performance Effect Of Financial Incentives For Simple, Recurrent Task. . Journal of Management Accounting, 13 , 59-75.

Umar, A. 2012. Pengaruh Upah, Motivasi Kerja, dan Kepuasan Kerja terhadap Kinerja Pekerja pada Industri Manufaktur di Kota Makassar. Simposium Nasional Akuntansi.

Appendiks

Gambar

Gambar 1. Desain Eksperimen (2x2)
Tabel 2 Statistik Deskriptif
Tabel 3 Desain  Eksperimen-Motivasi Awal
Tabel 4. Desain  Eksperimen-Motivasi Akhir
+4

Referensi

Dokumen terkait

Fitur Go-Jek yang menarik adalah penumpang bisa menggunakan Credit Go-Jek dalam setiap transaksinya jadi lebih paktis dan yang tak kalah menarik adalah

Intensitas ektoparasit yang terendah terdapat pada Stasiun 1 dengan nilai sebesar 18,8 yang artinya setiap satu ekor ikan di Stasiun 1 terinfeksi 18 ekor parasit,

Ostala onečišćenja koja se mogu dokazati su potencijalna, nisu detektirana niti u jednom ispitivanom uzorku tijekom izrade monografi je, ali su ograničena ispitivanjima u

pembinaan profesi pendidik melalui peng- kajian pembelajaran secara kolaboratif dan berkelanjutan berlandaskan prinsip-prinsip kolegalitas dan mutual learning untuk

yang dibiayai dari Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Kantor Wilayah BPN Provinsi.../Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota ... PERTAMA : Nama-nama Surveyor

Pengisian : Pada bagian ini anda dimohon untuk mengisi jawaban anda pada tempat yang telah disediakan, dengan memilih salah satu jawaban dan memberikan tanda Ѵ pada jawaban

do isecanja lider peptida sa N-terminusa prekursora bakteriocina nakon čega se obrađen bakteriocin transportuje kroz membranu. Kod većine bakteriocina, svi geni koji kodiraju