• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KERANGKA TEORI: Teori-teori Dasar dan Konsep-konsep Terpilih - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam Perjumpaan dengan Agama-Agama dan Otoritas Politik-Ekonomi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "BAB II KERANGKA TEORI: Teori-teori Dasar dan Konsep-konsep Terpilih - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam Perjumpaan dengan Agama-Agama dan Otoritas Politik-Ekonomi"

Copied!
49
0
0

Teks penuh

(1)

37

KERANGKA TEORI:

Teori-teori Dasar dan Konsep-konsep Terpilih

Studi berpusar di sekitar dinamik dan proses etnogenesis etnik lokal Mbaham Matta dalam perjumpaan dengan agama-agama dunia di Kabupaten Fakfak. Kerangka teori dalam studi ini dibangun di atas dasar rangkaian teorisasi tentang etnisitas, sistim kekerabatan, identitas sosial, dan multikulturalisme.

A. Memahami Etnisitas sebagai Basis Teoritik.

Lingkup teoritik utama yang digunakan dalam studi ini adalah teori-teori etnisitas atau ethnogenesis.1 Sejarah

teorisasi etnisitas2 mengindikasikan adanya tiga rumpun teori

dasar, yakni perspektif primordial-kulturalis, konstruksionis atau instrumentalis, dan konvergensis. Dan akan pula disertakan teorisasi etnogenesis dari perspektif teori praktik atau human agency sebagai alternatif pendasar riset

1Ethnogenesis: kompleks dinamika dan proses formasi dan

perkembangan suatu kelompok atau komunitas etnik.

2 Lihat: Ronald A.Reminick, Theory of Ethnicity:An Anthropologist’s

(2)

etnogenesis yang berbasis pada praktik-praktik sosial kelompok etnik. Dengan kata lain teorisasi praktik ini memastikan bahwa unit amataan riset etnogenesis adalah praktik-praktik sosial kelompok etnik. Pengajuan perspektif teori praktik ini penting pula untuk menunjukkan bahwa etnogenesis tidak berhenti pada reproduski sosial etnik, tetapi meluas pada proyek transformasi sosial.

Perspektif primordial-kulturalis sangat menekankan keberakaran dan keberasalan etnisitas di dalam struktur kebudayaan kelompok etnik. Etnisitas terikat erat dengan originalitas, eksistensi, dan kontinuitas suatu kelompok etnik dalam kompleks dan dinamika internal kebudayaan mereka sendiri. Milton Yinger3 mengajukan pemahaman bahwa

kelompok etnik adalah segmen masyarakat yang memahami diri mereka sendiri dan dipahami oleh orang lain memiliki satu keberasalan dan kebudayaan bersama yang menjadi pengikat, pemandu dan pengarah bagi aktifitas-aktifitas bersama mereka. Smith secara lebih terperinci mendefinisikan komunitas etnik sebagai “a social group whose members share a sense of common origins, claim a common and distinctive history and destiny, possess one or more distinctive characteristics, and feel a sense of collective uniqueness and solidarity.4 Dalam konteks ini menurut Smith mite keasalan

bersama dalam ruang dan waktu sangatlah mendasar bagi pemahaman diri komunitas etnik. Karena mite keasalan bersama ini adalah titik dasar pemahaman sejarah komunitas maupun individu. Dari sinilah kekerabatan (kinship) menjadi sangat penting sebagai kompleks basis etnisitas.

3 J. Milton Yinger, Ethnicity: Source of Strength or Source of Conflict

(Albany: State University of New York Press, 1994), 3-4.

4Anthony D. Smith, The Ethnic Revival (Cambridge, New York:

(3)

Edward Shils,5 sebagai salah satu peletak dasar penting

pendekatan primordialis-kultural, berargumentasi bahwa di balik ikatan-ikatan kekeluargaan atau kekerabatan terdapat ‘a complex of siginificant relational qualities’ yang harus dipahami sebagai primordial dan tidak hanya merupakan suatu fungsi interaksi, tetapi memiliki keberakaran di dalam ikatan-ikatan darah. Ikatan-ikatan darah atau kekerabatan ini, sebagai primordial bonds atau primordial attachment, memiliki signifikansi yang luar biasa sebagai properti kultural yang memaksa dan mengikat para anggota (coerceive). Di sini Shils, sepemahaman dengan Geertz,6 menyatakan bahwa

ikata-ikatan primordial itu bersifat involunter dan memiliki daya paksa yang mentrasendensi alinasi-aliansi serta relasi-relasi yang dipengaruhi oleh interes-interes situasional dan kondisi-kondisi sosial.

Pemahaman etnisitas Shil dan Geertz jelas menggaungkan kembali visi Durkheim tentang perangkat hukum represif, yang merupakan wujud dari kesadaran dan representasi kolektif dalam masyarakat asli dalam konteks pembicaraanya tentang solidaritas sosial-mekanikal.7

Durkheim mengklem bahwa masyarakatlah yang mengatur individu melalui kesadaran kolektif yang direpresentasikan melalui perangkat hukum represif. Perangkat hukum ini merupakan representasi kolektif berupa kode moral yang menghadirkan coercive power dari masyarakat atau komunitas atas individu atau anggota. Kode moral sebagai kuasa kultural masyarakat inilah yang membentuk dan mempertahankan solidaritas atau kohesi sosial. Sekali lagi: masyarakat atau

5Edward Shils, “Primordial, Personal, Sacred, and Civil Ties” in

Center and Periphery: Essays in Macrosocioloy. Selected Papers of Edward Shils, Volume II (Chicago: Chicago University Press, 1957), 111-126.

6Clifford Geertz, “The Integrative Revolution: Primordial Sentiment

and Civil Politics in the New States” inThe Interpretation of Cultures. Selected Essays (New York: Basic Books, 1973), 259-260.

7Emile Durkheim, The Division of Labour in Society (London: The

(4)

komunitas menciptakan suatu struktur budaya yang terdiri dari seperangkat kode moral untuk menyatukan dan menata anggota-anggota menjalani hidup dalam solidaritas dan memelihara kohesi sosial. Dengan itu, Malesevic8

menyimpulkan bahwa bagi Durkheim komunitas-komunitas etnik dibangun di dalam dan atas dasar passion of group solidarity dan diorganisir sebagai komunitas-komunitas moral dalam konteks historis mereka.

Uraian di atas menunjukkan bahwa terdapat dua komponen yang saling terkait membentuk tatanan masyakat, yakni struktur kebudayaan dan struktur sosial.9 Struktur

kebudayaan (cultural structure) merupakan the independent and self-contained structure– memiliki eksistensi yang relatif otonom–yang terdiri dari kompleks ide-ide, norma-norma, dan praktik-pratik kultural. Bagi Geertz10 struktur kultur adalah

fabrik makna dengan mana manusia menafsirkan pengalaman mereka dan mengarahkan tindakan mereka, sementara struktur sosial adalah bentuk yang tindakan ambil, yang membentuk jejaring sistim sosial. Jadi struktur kebudayaan mempertimbangkan tindakan sosial dalam kaitan dengan maknanya bagi sang petindak tersebut, sementara struktur sosial mempertimbangkan tindakan sosial dalam kaitan dengan kontribusinya kepada pemfungsian sistem sosial.

Rumpun teori ke-dua dalam memahami etnisitas adalah perspektif konstruksi sosial atau instrumentalis, yang merupakan reaksi terhadap rumpun primordial-kultural. Argumen utamanya didasarkan pada pandangan bahwa etnisitas adalah bentuk respons aktif komunitas terhadap

8 Sinisia Malesevic, The Sociology of Ethnicity (London, Thousand

Oak, New Delhi: Sage Publications, 2004), 18-21.

9 Pemisahan dua entitas pembentuk masyarakat ini diajukan oleh

Clifford Geertz, ‘Person, Time, and Conduct in Bali’ in Clliford Geertz, The Interpretation of Cultures (Basic Books, 1973), 361

10Clifford Geertz, ‘Ritual and Social Change: ‘A Javanese Example’ in

(5)

perubahan-perubahan sosial. Etnisitas bukanlah sebuah produk kekal, yang telah ada sebelumnya, tetapi merupakan bentuk yang lahir sebagai buah dari respons-respons aktif komunitas terhadap perubahan-perubahan sosial. Proses pembentukan etnis ini bertolak dari strategi dan melalui

mekanisme-mekanisme penataan kelompok etnik

bersangkutan yang menekankan pemeliharaan kekhasan pembeda kultur (boundary maintenance atau ethnic boundarying). Kaum konstruksionis menekankan tiga dasar penjelasan tentang etnisitas,11 yakni pertama, etnisitas adalah

identitas yang terkonstruksi secara sosial – sesuatu yang diciptakan oleh komunitas. Dengan begitu, ke-dua, batasan etnik bersifat fleksibel, dapat berubah dan dinamis. Ke-tiga, afiliasi atau identifikasi dan keanggoataan etnik dibatasi dan dikonstruksi oleh masyarakat atau komunitas melalui proses-proses perjumpaan dan interaksi yang panjang.

Joane Nagel12 secara lebih spesifik menjelaskan bahwa

etnisitas dikonstruksi dan direkonstruksi oleh pengaruh kekuatan-kekuatan internal maupun eksternal. Kekuatan-kekuatan internal bekerja melalui tindakan-tindakan kelompok etnik sendiri: negosiasi, redefinisi dan rekonstruksi ethnic boundaries. Kekuatan-kekuatan eksternal menunjuk kepada proses-proses sosial, ekonomik, dan politik yang berlangsung dan memengaruhi kelompok etnik. Dengan begitu etnisitas harus dilihat sebagai “a dynamic, constantly changing property of individual identity and group organization.”

Model konstruksionis ini erat terkait dengan antropolog sosial Fredrik Barth yang sangat berpengaruh

11Yang, ibid.44; Catherine Morgan, ‘Ethnic Expression on the Early

and Early Archaic Greek Mainland. Where should we be looking?’ in Ethnic Constructs in Antiquity – The Role of Power and Tradition edited by Ton Derk and Nico Roymans (Amsterdam: Amsterdam University Press, 2009), 12.

12Joane Nagel, American Indian Ethnic Renewal: Red Power and

(6)

dalam pengembangan teori dan metodologi riset atas etnisitas.13 Riset Barth bergerak dari titik tolak yang berbeda

dengan model promordial-kulturalis terkait dengan defenisi etnisitas (ethnicity). Etnisitas bukanlah ekspresi langsung dari kultur, sebaliknya: adalah a form of social organization of culture difference. Barth medekonstruksi pendekatan idealistik

primordialis-kultural dengan perspektif

empirikal-materialistik. Etnisitas merupakan bentuk tanggapan strategis pengorganisasian perbedaan kultural yang terkondisikan oleh perubahan-perubahan interaksional, sejarah, ekonomis dan politis. Proses pengorganisasian ini berlangsung di dalam interaksi sosial atau interaksi tatap muka sehari-hari.14 Proses

ini melibatkan beberapa komponen dan aktivitas utama, yaitu peran para aktor-subyektif individual, rekruitmen/identitas sosial, cultural stuff dan pemeliharaan wilayah perbatasan sosial-kultural (ethnic boundary). Etnisitas diproduksi dan direproduksi oleh manusia, yakni para aktor subyektif individual dan pengejar tujuan.15 Dalam perjumpaan lintas

etnik, para aktor ini mengembangkan dan menjalankan strategi sosial yang didasarkan pada intensionalitas, orientasi tujuan, dan rasionalitas pilihan.16 Skema komponensial

13See: Fredrik Barth, “Introduction” to Ethnic Groups and

Boundaries – The Social Organization of Culture Difference (Boston: Little, Brown and Company, 1969), 11-38; Fredrik Barth, “Enduring and Emerging

Issues in the Analysis of Ethnicity” in The Anthropology of Ethnicity – Beyond Ethnic Groups and Boundaries, ed. Hans Vermeulen and Cara Govers (Amsterdam: Het Spinhuis, 1994), 11-32; Adam Kuper (ed.), Proces and form in social life – Selected essays of Fredrik Barth: Volume I (London, Boston and Henly: Routledge & Kegan Paul, 1981): Richard Gronhaug, Gunnar Haaland, Georg Henriksen (eds.), The Ecology of Choice and Symbol – Essays in Honour of Fredrik Barth (Bergen, Norway: Alma Mater Forlag AS,1991).

14 Konsep interaksi sosial tatap muka ini dikembangkan oleh Barth

dari teori interaksionisme simbolik.

15 Barth menunjuk para elit dan pemimpin kelompok etnik sebagai

aktor-aktor individual yang melaksanakan ‘enterpreunial role’; mereka lah yang mewkaili komunitas melakukan negosiasi-negosiasi sosial-kultural.

16Kuper, Process and form in Social Life, 14-47; R. Jenkins,

(7)

ethnogensis Barth ini dapat penulis tunjukkan melalui diagram di bawah ini:

Perjumpaan lintas aktor dan kelompok etnik melahirkan problematisasi identitas dan ethnic boundary. Karena perjumpaan lintas aktor maupun kelompok etnik membuka jalan bagi warga melakukan negosiasi, redefenisi identitas, dan rekonstruksi ethnic boundaries. Proses fenomenal ini dapat kita sebut sebagai ethnic boundarying.

Interaksi itu mendorong para aktor menggunakan identitas etnik untuk mengategorikan diri mereka maupun orang lain melalui askripsi dan askripsi-diri serta askripsi oleh orang lain. Penciptaan-ulang identitas etnik ini berbasis pada keasalan dan latar belakang kultural khusus mereka. Tapi bagi Barth, dari sumber kultural itu para aktor hanya mengambil dan menggunakan unsur atau aspek yang bagi mereka signifikan dan relevan dalam konteks interaksi sosial yang sementara berlangsung. Jadi kultur (cultural structure)

(8)

berfungsi sebagai penyedia perangkat semata. Kecederungan pemahaman atas eksistensi dan peran cultural structure seperti ini tampak dalam teorisasi Ann Swidler17 tentang

kebudayaan yang sangat intrumentalis. Swidler mengajukan suatu metafora (image) kebudayaan sebagai lemari peralatan kerja (tool-kit) yang berisi “symbols, stories, rituals and worldviews, which people may use in varying configurations to solve different kinds of problem.”

Bagi Barth cultural stuff hanya menyediakan sinyal-sinyal dan tanda-tanda pembeda yang oleh para aktor diseleksi, dipilih, dan digunakan untuk mengindetifikasi keanggotaan etnik mereka dalam interaksi sosial. Pembeda kultural yang diseleksi dan digunakan itu mengambil wujud fisik (tampak) dan orientasi nilai-nila dasar. Penanda fisik seperti pakaian, bahasa, bentuk rumah atau gaya hidup digunakan untuk memperlihatkan identitas. Sementara orientasi-orientasi nilai dasar adalah perangkat standar moralitas dan kualitas hidup dengan mana penampilan seseorang dinilai. Identifikasi sosial ini berlangsung dalam apa yang disebut sebagai ethnic boundary. Identifikasi dan kelangsungan kekhasan kultural etnik serta kesinambungan eksistensi etnik bergantung pada pemeliharaan batas etnik (maintenance of boundary) ini.

Perjumpaan lintas etnik ini menekankan pentingnya ethnic boundary, yang adalah ruang demarkasi simbolik

17An Swidler, ’Culture in Action: Symbols and Strategies.’ American

(9)

kultural etnik.18 Ruang perbatasan atau demarkasi ini tidak

bisa dilewati atau diterobosi begitu saja. Ini merupakan ruang negosiasi lintas budaya. Dalam ruang batas ini masing-masing kelompok etnik atau budaya memiliki perangkat sinyal peringatan berupa penanda fisik dan orientasi nilai sebagaimana telah dijelaskan di atas. Ethnic boundary terdiri dari ‘criteria and signals for identification’ dan ‘a structuring of interaction which allow the persistence of cultural differences.’ Ke dalam, ethnic boundary menjadi ruang penguatan dan atau rekonstruksi identitas keanggotaan etnik. Ke luar, ethnic boundary merupakan ruang penstruktur dan penata interaksi sosial dengan komunitas etnik lain. Barth menjelaskan bahwa fungsi ke luar ini dilakukan melalui perangkat aturan preskriptif dan proskriptif demikian

a set of prescriptions governing situations of contact, and allowing for articulation in some sectors or domains of activity, and a set of proscriptions on social situations preventing inter-ethnic interaction in other sectors, and thus insulating parts of the cultures from confrontation and modification.19

Perangkat ini berfungsi menata situasi dan arah kontak atau interaksi. Pada satu sisi, ada izin atau pembolehan untuk melakukan kontak dalam beberapa sektor atau wilayah aktivitas, yang mengandaikan kemungkinan bagi proses pertukaran dan modifikasi budaya. Dengan begitu preskripsi memungkinkan berlangsungnya redefinisi identitas dan rekonstruksi struktur sosial-kultural. Tetapi pada pihak lain ada perangkat aturan yang melarang dan mencegah interaksi lintas etnik di sektor-sektor aktifitas sosial lainnya dan dengan begitu akan melindungi bagian-bagian kebudayaan etnik dari

18Anthony P. Cohen (Ed.), Symbolising Boundaries: Identity and

Diversity in British Cultures (Manchester, UK.: Manchester University Press,

1986), 2, menegaskan bahwa “It is in the symbolic that we now look for

people’s sense of difference, and in symbolism, rather than structure, that we

seek the boundaries of their worlds of identity and diversity.”

(10)

konfrontasi serta modifikasi. Dengan proses-proses ini kelangsungan perbedaan-perbedaan atau kekhasan dasar kultural dapat dijaga oleh kelompok etnik dalam interaksi dengan kelompok etnik lain.

Guna melengkapi teorisasi Barth ini, kita perlu

memperhatikan kritik yang dikemukakan terhadap

eksplanasinya. Jenkins20 dan Malesevic21 mengajukan

kritik-elaboratif bahwa Barth mengabaikan dan gagal menjelaskan pengaruh relasi kekuasaan (power) atau struktur politik dan struktur sosial dalam ethnogenesis. Menurut Jenkins, Barth terlampau fokus hanya pada proses-proses identifikasi kelompok (group identification), yang berlangsung dalam lingkup internal etnik dan mengabaikan pentingnya proses-proses kategorisai sosial (social categorization) yang berlangsung diluar lingkup sosial etnik. Proses kategorisasi sosial berlangsung dalam suasana kompetisi lintas etnik, yang terjalin dengan persoalan relasi kekuasaan. Jenkins menjelaskan bahwa kategorisasi sosial

is intimately bound up with power relations and relates to the capacity of one group succesfully to impose its categories of ascription upon another set of people, and to the resources which the categorized collectivity can draw upon to resist, if need be, that imposition.”22

Malesevic menyebutkan bahwa penekanan yang berlebihan pada peran para aktor individual menyebabkan Barth mengorbankan aspek struktur sosial-politik dalam konstruksi, pengorganisasian dan institusionalisasi diferensi kultural.

Sementara pelemahan posisi dan peran penting kebudayaan serta individualisasi ethnogenesis oleh Barth, memunculkan kritik dari rumpun teorisasi konvergensi. Abner

(11)

Cohen,23 yang sebenarnya masih bisa dikategorikan sebagai

penganut perspektif konstruksionis-instrumenatlis, menekan-kan kembali keutamaan kolektifitas dan efek normatif dari kebudayaan beserta daya penuh pengaruhnya membatasi dan mengarahkan tindakan-tindakan individu. Ini dijelaskan oleh Cohen demikian

An ethnic group is not simply the sum total of its individual members, and its culture is not sum total of the strategies adopted by independent individuals. Norms and beliefs and values are effective and have their own constraining power only because they are collective representations of a group and are backed by pressure of that group.24

Pandangan Cohen ini didasarkan pada apa yang Ia sebut sebagai definisi operasional tentang kelompok etnik. Cohen mendefinisikan kelompok etnik sebagai kolektivitas orang yang (a) memiliki pola-pola perilaku normatif bersama dan (b) merupakan bagian dari populasi yang lebih luas, yang berinteraksi dengan orang-orang dari kelompok-kelompok lain dalam sistem sosial mereka.25 Cohen sangat menekankan

pentingnya adat atau kultur yang tampak dalam pola-pola perilaku normatif (paterns of normative behavior) sebagai basis bagi konstruksi etnisitas. Hal itu dijelaskannya demikian:

By pattern of normative behaviour, I am refering here to the symbolic formations and activities found in such contexts as kinship and marriage, friendship, ritual, and other types of ceremonial. Some of anthropologists refer to these patterns as customs or symply as culture. These are not idiosyncratic habits, hallucinations, or illusions of isolated individuals but they manifest themselves in individual behaviour. They are involved in psychic

23Sian Jones, The Archeology of Ethnicity: Constructing Identities in

the Past and Present (London; New York: Routledge, 1997), 74.

24Abner Cohen, “Introduction: The Lesson of Ethnicity” to Urban

Ethnicity edited by A. Cohen (London:Tavistock Publications, 1974), xiii.

(12)

processes and thus can be subjectively experienced by the actors. They are nevertheless objective in the sense that the symbolic formations representing them, i.e. the

stereotypes, mythologies, slogans,’theories’, ideologies

and ceremonials are socially created and are internalized through continous socialization. Often it is objective symbolic form that generate the subjective experience of ethnicity and not the other way round.26

Penjelasan Cohen di atas menekankan beberapa hal penting terkait kebudayaan atau adat. Pertama, kebudayaan berpusat pada pola-pola perilaku normatif, yaitu formasi-formasi dan aktivitas-aktivitas simbolik yang termanifestasi secara kuat dalam perilaku individu maupun kolektif. Kedua, pola-pola perilaku normatif ini terbangun dalam konteks kultural tertentu seperti kekerabatan dan pernikahan, persahabatan, ritual, dan tipe-tipe upacara lainnya. Ketiga, pola-pola perilaku normatif ini dialami oleh para aktor baik secara subyektif melalui proses-proses psikis maupun obyektif melalui berbagai bentuk nyata stereotype, mitologi, slogan, teori, ideologi dan upacara yang diciptakan dan diinternalisasi secara sosial. Keempat, bentuk-bentuk simbolik objektif inilah yang melahirkan dan membentuk pengalaman akan etnisitas.

Charles F. Keyes,27 sebagai sosok utama perspektif

konvergensi, mengembangkan pendekatan yang mempertim-bangkan baik dimensi kultural maupun sosial etnogenesis. Menurutnya, menanggapi perubahan-perubahan sosial, kelompok etnik merujuk kembali pada cultural stuff mereka dalam rangka membangun strategi dan mempertahankan wilayah batas etnik mereka. Bagi Keyes perangkat identittas primordial etnik seperti kekerabatan, garis keturunan, dan

26 Cohen, ibid., x.

27Charles F. Keyes, “The Dialectics of Ethnic Change” in Ethnic

(13)

teritori keasalan28 seumpama tuas (gyroscopes) yang berfungsi

sebagai pusat tumpu pengatur keseimbangan dan pembatas arah pergerakan semua komponen sosial-kultural. Keyes menjelaskan secara lengkap teori giroskopik ini demikian:

People often respond to these changes in terms of their established ethnic identities, but find that these identities, either in their cultural content or because of the assumptions about who shares the same identities, are not appropriate in the new situation. In adapting the new situation, new identities may be evolved. Yet, once evolved, these new identities are assumed to define for people who they truly are as descendants of their ancestors or forebears. Primordial identities continue to serve as gyroscopes for those buffeted by uncertainties as to the best way to pursue their interests or for those alienated by dehumanized agencies designed to organize the ordering of social ends in a rational way.29

Konfigurasi teorisasi demikian mendorong Jones menyimpulkan bahwa kelompok-kelompok etnik harus dipertimbangkan sebagai hasil dari pengejaran interes-interes ekonomik dan politik pada satu sisi maupun sebagai buah dari kekuatan-kekuatan memaksa afinitas primordial“30

Problem yang masih tertinggal adalah hakikat relasi antara human agency dan struktur budaya serta struktur sosial. Dalam lingkup teorisasi primordial-kultural para aktor diperlakukan sebagai agen-agen reaktif-pasif-terbatasi; sebaliknya, dalam lingkup teorisasi konstruktif-instrumentalis, para aktor ditempatkan dipusat dinamika ethnogenesis sebagai agen individual-proaktif-radikal yang dalam teori Barth disebut the enterpreneurial actors. Jones menyatakan bahwa kita membutuhkan suatu teorisasi koheren tentang tindakan

28Judith Nagata, “In Defense of Ethnic Boundaries: The Changing

Myths and Charters of Malay Identity” in Ethnic Change, 92-96.

(14)

manusia yang dapat mentransendensi dikotomi perspektif prmirodial dan instrumentalis ini.31

Kita dapat memformulasikan problematisasi di atas demikian: bagaimana memahami dan meletakkan secara tepat hakikat dan peran agensi manusia dalam relasi integral antara struktur kultural dan struktur sosial. Untuk menjawab problem ini, penulis mengajukan gugus teorisasi lain sebagai alternatif-elaboratif, yakni perspektif teori praktik (theory of practice). Teori praktik diajukan antara lain oleh Pierre Bourdieu32 dan Anthoni Giddens.33 Gugus teorisasi praktik

menekankan peranan agensi para aktor, melalui praktik-praktik sosial, dalam konteks interaksi sosial. Dalam studi ini Penulis menggunakan teori praktik Giddens sebagai basis pengembangan teoritik dengan Bourdieu sebagai pembanding.

Giddens, melalui teori dualitas struktur, membangun suatu kerangka kerja, yang tersusun dari beberapa konsep komponensial, yakni (1) agensi subyektif petindak atau aktor; (2) Praktik sosial; (3) sistem sosial atau interaksi sosial; (4) struktur budaya: rules dan resources; (5) sejarah: ruang dan waktu; serta (6) identitas sosial. Konsep-konsep ini merupakan komponen dari proses sosial reproduksi sistem sosial dan idnetitas komunitas etnik. Proses reproduksi ini digerakkan dan dijalankan oleh manusia -- oleh the acting actors melalui praktik-praktik sosial dalam interaksi sosial sehari-hari. Dalam proses ini, di satu pihak, aktivitas dan praktik sosial para aktor dibatasi dan diarahkan oleh struktur (budaya) dan identitas sosial asal mereka atau yang telah

31 Jones, ibid., 83.

32Lihat: Pierre Bourdieu: Outline of a Theory of Practice

(Cambridge: Cambridge University Press, 1976); Pierre Bourdieu, The Logic of Practice (Cambridge: Polity Press, 1990).

33Lihat: Anthony Giddens: The Constitution of Society Outline of

(15)

mereka miliki. Bersamaan dengan itu, pada pihak lain, melalui aktivitas dan praktik-praktik sosial, para aktor mereproduksi struktur dan identitas sosial. Oleh karena itu, Giddens merumuskan teorinya sebagai dualitas struktur (duality of structure). Dualitas struktur ini menunjuk kepada “the essential recursiveness of social life, as constitued in social practices; structures is both medium and outcome of reproduction of practices. Structures enters simultaneously into constitution of agent, and exist in the generating moments of thus constiutions.”34 Semua proses ini berlangsung dalam

rentang historis waktu dan tempat: dalam sejarah dan geografi komunitas etnik. Reproduksi atau formasi sosial di atas dapat penulis skemakan seperti di bawah ini:

Agensi manusia yang dijalankan oleh para aktor sosial Giddens letakkan di bawah konsep dasarnya tentang subyektivitas: the acting-reflective subjectivity.35 Dengan ini

Giddens menegaskan bahwa para aktor manusia adalah agen-agen aktif dan proaktif yang bertindak berdasarkan kapasitas reflektif mereka sendiri. Jadi para aktor memiliki kapasitas agensi dalam memonitor aktivitas mereka dalam konteks interaksi sosial atau interaksi muka dengan muka. Kapasitas

(16)

refleksif para aktor sosial ini ditopang oleh dua level kesadaran (consciousness), yakni kesadaran praktikal dan kesadaran diskursif.36 Kesadaran praktikal menunjuk kepada

what actors know (believe) about social conditions, including especially the conditions of their action, but cannot experess discursively.”37 Sementara itu, kesadaran diskursif

menekankan bahwa para aktor atau agen dalam interaksi sosial memiliki “compotence to know and to explain most of what they do, if asked.”38

Daya reflektif para agen ini merupakan sebuah kompetensi sosial atau resiprokal yang terhubungkan dengan kapasitas rasionalisasi atau pemberian alasan atas tindakan-tindakan mereka. Di sini Giddens menekankan bahwa para aktor sosial selalu berusaha mempertahankan keberlanjutan theoritical understanding dari dasar-dasar tindakan atau aktivitas mereka.

Dari mana pengetahuan yang dimiliki dan digunakan para aktor dalam aktifitas sosial? Para aktor sosial telah dibekali dengan kesadaran praktis (the stock of knowledge),39

yang disediakan oleh struktur (cultural structure).40 Kesadaran

36 Giddens, The Constitution of Society, 5-14; Jonathan H. Turner,

The Structure of Sociological Theory (Belmont, California: Wadsworth Publishing Company, 1998), 497-498.

37 Giddens, The Constitutuion of Society, 375. 38 Giddens, The Constitutuion of Society, 5.

39Konsep “kesadaran praktis” (stock of knowledge) dari Giddens

ini mirip dengan konsep habitus dari Bourdieu.

40Dalam bangunan teorinya, Giddens berusaha merevitalisasi

(17)

praktis menyediakan interpretasi-interpretasi dan kerangka kerja kontekstual. Turner menjelaskan hakikat dan fungsi kesadaran praktis ini demikian:

the stock of knowledge that one implicitly uses to act in situations and to interpret the actions of others. This knowledgeability is constantly used, but rarely articulated, to interpret events –one’s own and those of others. Almost of indexical in that they must be interpreted by their context, and this implicit stock of knowledge provides these contextual interpretations and frameworks.41

Stuktur (cultural structure), sebagai penyedia interpretasi dan kerangka kerja kontekstual bagi para aktor sosial, oleh Giddens tidak menunjuk kepada bentuk-bentuk sosial tertentu, tetapi kepada generative rules dan resources. Rules adalah prosedur-prosedur yang telah teruji (generalizable) dalam ragam konteks penerapannya. Para aktor aktor mengenal dan memahami serta menggunakan prosedur-prosedur ini dalam interaksi sosial. Giddens mengasumsikan bahwa rule adalah metodologi atau teknik

dipraktikkan dalam interaksi sosial. Ini yang Archer sebut dualisme kebudayaan (struktur), sementara Giddens mengunakan dualitas struktur. Maksudnya selalu harus dipertahankan adanya struktur kebudayaan yang berdiri sendiri sebagai produk keyakinan, nilai, dll., yang berdiri di luar struktur sosial dan agensi manusia serta praksis sosial; Usul lain diajukan oleh Clifford Geertz,“Ritual and Social Change: A Javanese Example” dalam The Interpretation ofCulture ( New York: Basic Books, 1973), 142-169, yang

memisahkan secara analitik struktur kebudayaan dan struktur sosial: “On

the one level [cultural structure] there is the framework of beliefs, expressive symbols, and values in terms of which individuals define their world, express their feelings, and make their judgments; on the other level there is the ongoing process of interactive behavior, whose persisten form we call social structure. Culture is the fabric of meaning in terms of wich human beings interpret their experience and guide their action; social strucutre is the form that action take, the actually existing network of social relations... The one considers social action in respect to its meaning for those who carry it out, the other considers it in terms of its contribution to the

functioning of some social system.” Kemudian Geertz kembangkan struktur

ketiga, yakni struktur personalitas.

(18)

yang para aktor tahu, sering secara implisit, dan yang menyediakan suatu formula relevan bagi tindakan. Roger Sibeon memberi penjelasan tentang rules sebagai “social conventions and knowledge of the context of their application that relating to the constitution of meaning and sacntions involved in social conduct and production of social practices.”42

Giddens sendiri menggarisbawahi ciri-ciri rules43: (1)

mereka sering digunakan dalam percakapan-percakapan dan ritual-ritual interkaksi sehari-hari; (2) mereka dipegang dan dipahami secara diam-diam (tacitly) dan merupakan bagian dari kesadaran praktis para aktor yang berkompeten; (3) mereka bersifat informal, tidak tertulis dan tidak terucapkan; dan (4) mereka tidak bersangsi keras melalui teknik-teknik atau kode-kode interpersonal.

Dalam teori dualitas struktur, para aktor dalam mengahadapi situasi atau peristiwa dan interaksi sosial tertentu dapat mentransformasi rules ke dalam kombinasi-kombinasi baru.

Di samping rules, terdapat komponen struktural lainnya, yaitu reosurces (sumber daya),44 fasilitas yang

digunakan oleh para aktor untuk melakukan sesuatu. Jadi bila rules memberi arah kepada tindakan, maka resources menyediakan kapasitas untuk bertindak atau berkativitas. Resources adalah perlengkapan material dan organisasional.

Hal penting yang harus diperhatikan adalah bahwa resources ini terkait dengan kekuasaan (power). Maksudnya: kekuasaan muncul ketika sumber daya material dan organisasional dimobilisasi oleh para aktor. Jadi sumber daya

42Roger Sibeon, Rethinking Social Theory (London: Sage

Publications Ltd., 2004), 74; Giddens, Central Problems in Social Theory – Action, Structure and Contradiction in Social Analysis, 82.

43 Turner, The Structure of Sociological Theory, 492.

44 Konsep resources ini mirip dengan konsep capital dalam teori

(19)

itu sendiri bukan kekuasaan. Tetapi di sinilah Giddens

menunjukkan bahwa mobilisasi sumber daya, yang

melahirkan kekuasaan, terkait dengan aspek dominasi dari tindakan sosial. Mobilisasi sumber daya menunjukkan pula kemampuan para aktor untuk mentransformasi sumber-sumber daya yang tersedia.

Aspek waktu dan ruang (time-space) sangat penting dalam konteks teori dualitas struktur Giddens terkait formasi sosial. Ruang-Waktu terkait erat dengan kontekstualitas kehidupan sosial dan institusi-institusi sosial. Pewaktuan dan keruangan dari kehidupan sehari-hari adalah sentral bagi semua aspek sistem sosial. Mereka adalah bagian integral dari setiap obyek – mereka tidak berada di luar obyek, yang semata-mata memengaruhi obyek.

Aspek waktu-ruang membawa kita kepada hubungan antara integrasi sosial dan integrasi sistem dalam teori Giddens:45 hubungan antara intera aksi dalam konteks

kelompok-kelompok kecil dan interaksi dengan pihak-pihak lain yang secara fisik tidak hadir (atau tidak hadir secara temporer). Intergasi sistem terkait dengan sistim

sosial-makro. Konsep integrasi sosial digunakan untuk

menggambarkan resiprositas praktik-praktik antara para aktor dalam konteks kopresensi (co-presence). Sedangkan, integrasi sistim menunjuk kepada resiprositas antara para aktor atau kolektivitas lintas waktu dan ruang–di luar kondisi-kondisi kopresensi.

Kerangka teorisasi formasi sosial Gidden ini dapat diaplikasikan secara elaboratif dalam menggambarkan formasi sosial rumpun etnik Mbaham Matta terkait perjumpaan dengan agama Islam, Protestan, dan Katolik. Elaborasi kerangka teori ini dapat penulis skemakan demikian:

(20)

Dari sisi antropologi sosial, Pierre Bourdieu

mengajukan pendekatan teoritikal sturkturalisme

konstruktivis atau konstruktivisme strukturalis.46

Strukturalisme Bourdieu menegaskan bahwa didalam dunia sosial sendiri--bukan hanya dalam sistem simbolis (bahasa, mitos, dsb.)--terdapat struktur-struktur obyektif dari kesadaran dan kehendak agen, yang mampu mengarahkan dan

menghambat praktik atau representasi mereka.

Konstruktivisme menunjukkan bahwa terdapat asal-usul sosial bercabang dua, yakni di satu sisi, asal-usul berupa skema, persepsi, pikiran dan tindakan yang membentuk habitus, dan di sisi lain, asal-usul berupa struktur sosial, yakni arena dan berupa kelompok atau kelas sosial.

Bourdieu menyebutkan teori konstruksi sosialnya sebagai teori praktik (theory of practice). Ia merumuskan teori praktik sebagai “the theory of the mode of the generation of practices, which is the precondition for establishing an experimental science of the dialectic of the internalization of externality and externalization of internality, or, more simply, of

46 Pierre Bourdieu, ‘Ruang Sosial’ dalam Pierre Bourdieu, Choses

(21)

incorporation and objectification.”47 Secara

analitik-komponensial bangunan teori praktik Bourdieu tersusun dari tiga konsep fundamental, yaitu habitus, kapital, dan arena. Ketiga konsep dasar ini saling terkait dan memengaruhi membentuk dan mengalas praktik-praktik sosial dalam proses konstruksi sosial. Ketiga konsep ini dikelola oleh para agen sosial dari dalam kelompok-kelompok sosial (kelas) mereka. Untuk menjelaskan proyek ini, yang terkait dengan praktik-prkatik sosial dalam kerangka produksi atau reproduksi sistem atau struktur sosial, penulis skemakan seperti di bawah ini:

Habitus adalah konsep utama dan sentral dalam teori praktik Bourdieu. Bagi Bourdieu praktik sosial yang membentuk dunia sosial. Terdapat dua ekstrim pandangan atau perspektif terkait konstruksi sosial atau praktik sosial ini. Pada satu sisi, pandangan subyketivistik menegaskan bahwa praktik sosial dibentuk oleh keputusan dan tindakan individual. Pada sisi lain, perspektif obyektivistik menekankan bahwa praktik sosial dibentuk oleh struktur-struktur luar dan yang mengatasi individu. Bourdieu mengajukan konsep

habitus sebagai konsep yang menjembatani atau

(22)

mentransendensi oposisi dua pertentangan pandangan tentang praktik sosial ini.

Untuk mentrasendensi dua pendekatan ini, Bourdieu memperlakukan kehidupan sosial sebagai bentukan interaksi dari struktur-struktur, disposisi-disposisi,48 dan

tindakan-tindakan. Interaksi struktur-struktur sosial dan pengetahuan tentang struktur-struktur tersebut memproduksi orientasi-orientasi bagi tindakan dan sebaliknya, tindakan-tindakan agen membentuk struktur-struktur sosial. Dengan demikian, orientasi-orientasi sekaligus adalah struktur-struktur yang men-strukturkan (structuring structures) dan struktur-struktur yang distruktur-strukturkan (structured structures). Orientasi-orientasi tindakan ini membentuk dan dibentuk oleh praktik sosial. Akan tetapi, praktik sosial tidak dihasilkan secara langsung oleh orientasi-orientasi (disposisi-disposisi), seperti dalam studi-studi perilaku, tetapi agaknya merupakan hasil dari proses improvisasi, yang sebaliknya distrukturkan oleh orientasi-orientasi kultural, trayektori-trayektori personal, dan kemampuan untuk beraktivitas (play the game) dalam interaksi sosial.

Kemampuan improvisasi terstruktur inilah yang Bourdieu sebut habitus. Habitus adalah suatu sistem skema-skema generatif umum yang bertahan lama/durable. Skema-skema generatif ini termaktub dalam konstruksi diri secara sosial dan dapat teralihkan/transposable dari satu arena ke arena lainnya, bekerja dalam tataran ketidaksadaran, dan terjadi dalam suatu ruang kemungkinan-kemungkinan yang

48 Bourdieu menjelaskan secara khusus konsep disposisi ini pada

salah satu catatan kaki dalam bukunya Outline of Theory of Practice, ibid.,

(23)

terstruktur. Habitus ini berupa persepsi-persepsi, pilihan-pilihan, dan perilaku. Habitus merupakan ‘kesadaran kolektif’ bersama dari satu kelompok atau kelas atau posisi sosial.Habitus menyediakan garis-garis pengarah kognitif dan emosional yang memampukan para individu menghadirkan dunia dalam cara-cara umum atau bersama dan bertindak dalam cara tertentu. Konsep kedua Bourdieu adalah modal (capital) terkait dengan kapasitas untuk melaksanakan kontrol atas masa depan sesorang maupun orang-orang lain. Jadi modal adalah suatu bentuk kekuasaan.49 Pandangan tentang

modal ini secara teoritik juga melayani sebagai mediator antara individu dan masyarakat. Pada satu sisi, masyarakat distrukturkan oleh perbedaan distribusi modal. Tetapi pada pihak lain, individu berjuang untuk memaksimalkan modal mereka.

Bourdieu membedakan beberapa jenis modal, yaitu modal sosial, kultural, dan ekonomi.50 (1) Modal ekonomi atau

alat-alat produktif seperti uang dan obyek-obyek material yang dapat digunakan untuk memproduksi barang-barang dan pelayanan-pelayanan. (2). Modal sosial atau posisi-posisi dan relasi-relasi dalam kelompok-kelompok dan jejaring-jejaring sosial. (3) Modal kultural atau keahlian-keahlian interpersonal informal, kebiasaan-kebiasaan, cara-cara, gaya-gaya berbahasa, kredensi-kredensi pendidikan, cita rasa, dan gaya hidup. Modal ekonomi dapat secara mudah dan efesien dikonversikan menjadi modal simbolik, yakni modal sosial dan kultural, dari pada sebaliknya. Dalam implementasi sosial, modal ekonomi ini harus dimediasikan secara simbolik.

Karena reproduksi terang-terangan modal ekonomi

49Dalam teorisasi Giddens resources pada dirinya sendiri bukanlah

power. Ketika respurces digunakan oleh aktor-aktor sosial barulah melahirkan social power.

50 J.H. Turner, ibid., 512 menambahkan modal simbolik, yang Craig

(24)

mengungkap karakter kesewenang-wenangan dari distribusi kekuasaan dan kekayaan. Dalam kondisi ini modal sosial berfungsi sebagai penyelubung dominasi ekonomi dari kelas dominan51 dan secara sosial melegitimasi hirarkhi dengan

pendasaran dan naturalisasi posisi sosial.

Arena (field) adalah sebuah ruang sosial di dalam mana berlangsung pergulatan-pergulatan atau manuver-manuver untuk memperoleh dan menguasai sumber-sumber daya khusus dan akses ke mereka. Arena adalah sebuah sistem yang telah terstruktur dari posisi-posisi sosial. Arena diduduki oleh individu atau insititusi-institusi. Arena yang mendefinisikan situasi bagi para warganya. Arena juga merupakan sistem kekuasaan yang ada di antara posisi-posisi tersebut. Jadi suatu arena terstruktur secara internal dalam relasi-relasi kekuasaan. Posisi-posisi seseorang atau kelompok terhadap orang atau kelompok lain tertata dalam relasi-relasi dominasi, subordinasi atau setara, tergantung pada akses mereka terhadap sumber-sumber daya (modal) yang ada di dalam arena itu.

Arena menunjuk kepada pentingnya relasi sosial bagi analisis sosial, yakni penjelasan tentang ruang multidimensi dari posisi-posisi dan pengambilan posisi oleh para agen. Sekali lagi, posisi seorang agen adalah hasil saling pengaruh antara habitus seseorang dan tempatnya di dalam arena posisi-posisi serta sesuai dengan distribusi bentuk modal/kapital.

Dunia sosial dibentuk melalui praktik-praktik sosial agen manusia (individu dan kolektif) dari posisi sosial tertentu (dalam lingkup kelas dan arena), yang ditopang oleh habitus dan dengan habitus memanfaatkan modal (ekonomi, sosial, kultural) yang tersedia dalam arena sosial tertentu dalam rangka mereproduksi sistem atau dunia sosial mereka. Dengan

(25)

model teori ini kita dibantu untuk meniliti dan menjelaskan peran aktif agensi manusia, melalui kemampuan improvisatif (habitus), dalam melakukan perubahan sosial dalam suatu masyarakat.

Sherry B. Ortner52 lebih mempertegas importansi teori

praktik sebagai alternatif dalam konstruksi masyarakat. Sebagaimana kritik elaboratif yang telah diajukan oleh Jenkins dan Malesevic terhadap etnogenesis Barth di atas. Penekanan

dan elaborasi Ortner dikembangkan dari usahanya

mendialogkan wawasan teori-teori praktik dengan

karakteristik teori-teori kekuasaan, pembalikan sejarah, dan studi kultural. Pendialogan ini menghasilkan beberapa karakteristik lanjutan yang harus diperhatikan dalam pengembangan teori praktik. Pertama, yang paling menentukan, penekanan pada human agency yang mengalir melalui praktik dalam interaksi sosial sehari-hari. Dalam konteks ini praktik sosial dipahami sebagai “organized nexus of actions.”53 Praktik sosiallah yang memproduksi subyek-subyek

sosial dan dunia sosial kita. Praktik sosial adalah tindakan-tindakan atau aktivitas-aktivitas sosial terpola dan reguler serta berulang dan resiprokal yang dilakukan oleh manusia dalam konteks interaksi sehari-hari. Aktivitas-aktivitas tersebut mencakup aktivitas jasmani maupun mental, benda-benda yang digunakan, perasaan dan motivasi.54

52 Sherry B. Ortner, Culture, Power, and Acting Subject (Durham and

London: Duke University Press, 2006); William H. Sewell, Logics of History: Social Theory and Social Transformation (Chicago and London: University of Chicago Press, 2005).

53Theodore Schatzki, The Site of The Social: Philosophical accounts

of the constitution of social life and change (Pennsylvania: The Pennsylvania State University, 2002), 77-82, merumuskan praktik sosial sebagai

organized nexus of actions.” Definisi ini Ia jelaskan selanjutnya bahwa tindakan-tindakan dan perkataan-perkataan yang menyusun suatu praktik dihubungkan melalui (1) pemahaman-pemahaman praktikal, (2) aturan-aturan, (3) struktur teleo-afektif, dan (4) pemahaman-pemahaman umum.

54Andreas Reckwitz, “Toward a Theory of Social Practices: A

(26)

Menurut Giddens, tindakan atau agensi ini “... does not refer to a series of discrete acts combined together, bu to a continous flow of conduct.”55 Praktik sosial adalah alir perilaku

berkesinambungan, bukan satuan-satuan tindakan atau aktivitas lepas yang digabungkan. Konsepsi agensi manusiawi sebagai “knowledgeable” dan “enabled” dari Giddens membawa implikasi bahwa para agen (manusia modern) memiliki kemampuan mengaktualisasikan kapasitas-kapasitas mereka yang terbentuk secara struktural dalam interaksi dan transformasi sosial secara kreatif dan inovatif.

Kedua, importansi kekuasaan (power), yakni relasi-relasi kekuasan atau struktur politik dalam pembahasan etnogenesis. Hal mana sudah dimunculkan oleh Jenkins terhadap teorisasi Barth serta persaingan dan perebuataan kekuasaan terkait dominasi harus diberi perhatian. Dalam kaitan ini pula kita ingat pada kondisi struktur sosial yang tidak setara dan dominatif.

Ketiga, Ortner mengatakan bahwa teori-teori praktik yang ada lebih berkonsentrasi pada reproduksi sosial: bagaimana masyarakat mempertahankan eksistensi atau batas-batas sosialnya. Ortner menegaskan importansi transformasi sosial melalui praktik-praktik sosial. Ini tentu terkait dengan prinsip teleo-afektif atau kesadaran diskursif dari tindakan sosial. Melalui rangkaian praktik, para aktor atau agen sosial bertujuan sadar untuk melakukan transformasi sosial–tidak sebatas reproduksi sosial. Oleh karena itu, Ortner menyebut transformasi sosial sebagai proyek. Transformasi sosial mencakup baik penataan ulang institusi-institusi sosial atau struktur sosial maupun transformasi kebudayaan atau

[2002], 243-263 (diakses pada 25 Agustus 2015), 249 yang merumukan praktik sosial sebagai a routinized type of behaviour which consist of several elements interconnected to one another; forms of bodily activities, forms of mental activities, things and their use, a background knowledge in the form of understanding know-how, states of emotions and motivational knowledge.

(27)

struktur kebudayaan dalam dualitas fungsinya sebagai pembatas/pengarah (constraining) serta pemberdaya (enabling) tindakan-tindakan sosial. Ortner menjelaskan bahwa

Taking culture in the new-old sense, as the (politically inflected) schemas through which people see and act upon the world and the (politically inflected) subjectivities through which people feel about themselves and the world, social transformation involves the rupturing of those schemas and subjecitivities.

Bagi penulis, ketika fokus ditempatkan pada agensi manusia dan praktik sosial, masih perlu dilakukan elaborasi pada prinsip dasar teori praktik yang diajukan oleh Giddens dan Bourdieu, yakni dualitas struktur dan habitus. Relasi dikonstruksi-mengonstruksi atau dibatasi – memberdayakan antara struktur (budaya) dan agensi/praktik sosial dalam struktur sosial dapat diperluas mencakup semua relasi antar struktur budaya – struktur sosial – struktur personalitas berbasis pada agensi manusia dan praktik sosial.56

B. Identitas Sosial

Identitas sosial merupakan komponen ketiga dalam bangunan teorisasi konstruksi sosial dalam hal ini etnogenesis dan transformasi sosial.Varien dan Potter,57 yang

mengaplikasikan teori strukturasi Giddens dalam riset arkeologi sosial, menyatakan bahwa konstruksi identitas sosial merupakan salah satu tujuan universal manusia yang sangat penting. Identitas sosial bukanlah sesuatu yang dapat

56 Usaha elaboratif telah pula dikemukan oleh William H. Sewell, Jr.,

“A Theory of Structure: Duality, Agency, and Transformation” in American Journal of Sociology, Vol.98, No.1 (July, 1992), pp.1-29.

57Mark D. Varien and James M. Potter (eds.), The Social Construction

(28)

dibendakan (reifikasi) dan tetap. Sebaliknya identitas sosial adalah fenemona sosial yang relasional, dinamis dan negosiatif.Oleh karena itu sejak awal pembahasannya Richard Jenkins58 mengingatkan untuk kita berhati-hati terhadap

reifikasi identitas dan identitas harus ditempatkan dalam kerangka identifikasi sosial terkait dengan penataan kesamaan dan perbedaan kultural. Jenkins merumuskan identifikasi sosial secara minimal sebagai:

the ways which individuals and collectivities are distinguished in their social relations with other individuals and collectivities. Identity is a matter of

knowing who’s who (without which we can’t know what’s what). It is the systematic establishment and

signification, between individuals, between collectivities, between individuals and collectivities, of relatioships of similarity and difference.59

Varien dan Potter sejak awal juga mengingatkan bahwa identitas bukanlah fenomena tunggal dan berdiri sendiri, tetapi “always multifaceted: no one has just one identity. Identities can be hybrid or multiple, and different type of identities can intersect and corsscut each other.”60 Anthony

Giddens pun menyatakan bahwa identitas sosial adalah salah satu komponen aktivitas sosial yang transformable atau changeable. Ini mengasumsikan bahwa perjumpaan lintas

kultur kelompok atau komunitas atau masyarakat

menciptakan proses-proses akulturasi yang mendorong kemunculan dan pertumbuhan subyektivitas-subyektivitas, tipe-tipe pengetahuan, identitas-identitas, aspirasi-aspirasi, hibriditas-hibriditas, dan temuan-temuan yang baru.61

58 Richard Jenkis, Social Identity (New York: Routledge, 2004). 59 Jenkins, Social Identity, 5.

60 Varien and Potter, The Social Construction ..., 15.

61Leonel Prieto, tagi Sagafi-nejad and Balaji Janamanchi, “A

Bourdieusian Perspective on Aculturation: Mexican Immigrants in the united

(29)

Selanjutnya akan disampaikan beberapa teori untuk lebih memahami identifikasi sosial sebagai bagian dari etnogenesis.

Dalam teori etnogenesis Barth identitas sosial terkait langsung dengan identifikasi sosial. Identifikasi sosial menunjuk kepada proses rekruitmen melalui askripsi-diri dan askripsi oleh orang lain dalam konteks ethnic boundarying atau maintenance of ethnic boundary. Dan bagi Barth identifikasi sosial tidak lain adalah proses dinamis pemeliharaan batas-batas etnik itu sendiri. Artinya dengan identifikasi sosial, via askripsi diri dan askripsi oleh orang lain, warga etnik sedang berusaha menentukan dan memelihara batas-batas etnik mereka terhadap kelompok etnik lain. Penekanan pada aspek proses ini menolong kita untuk memahami ethnic social boundary bukan sebagai ruang berdinding statik, tetapi sebagai check-points – yang menjadi titik-titik henti dalam proses dialog lintas etnik atau kelompok. Itu berarti pula identitas sosial bukanlah suatu fenomena statik, walaupun dalam konteks dan waktu tertentu identitas itu terutinisasi atau terinstitusionalisasi. Pandangan Barth ini dijelaskan oleh Jenkins demikian:

Identification is not a simple matter of cultural stuff which associated with any specific identity, and which may appear to constitute the soild criteria of membership. Identity is about boundary process rather than boundaries. As interactional episodes, those processes are contemporary check-points rather than concrete walls. Boundary processes may be routinised or institutionalised in particular settings and occasions.62

Jenkins kemudian menyebut proses identifikasi sosial dalam dua lokasi yang saling berinteraksi dialektik: identitifikasi kelompok (internal) dan kategorisasi sosial (eksternal). Dalam dua proses dialektik identifikasi inilah

62 Richard Jenkins, Social Identity (London and New York:

(30)

identitas individu dan kolektif dibentuk. Dengan begitu identitas individual dan kolektif secara sistematik diproduksi dan direporoduksi dalam saling pengaruh satu terhadap yang lain. Jadi jelas bahwa identitas individu tidaklah bermakna bila dipisahkan dari dunia sosial orang atau kelompok lain. Identitas individu (selfhood) secara keseluruhan terkonstruksi secara sosial melalui proses-proses sosialisasi utama dan lanjutan, interaksi sosial di dalam mana para individu mendefinisikan dan meredefinisikan diri mereka sendiri maupun orang lain sepanjang hidup mereka.

Dari ragam riset tentang identitas sosial ini menunjukkan bahwa identitas terkait dengan human agency yang dibahas dibawa topik cultural philosophies of personhood.63 Lieber64 mengembangkan pandangan tentang

identitas etnik melalui konsep consocial personhood. Dalam konsep ini identitas orang atau kelompok didefinisikan dalam kaitan dengan tempat sosial mereka. Consocial personhood diambil dari konsep consosiates Geertz.65 Consosiates adalah

individuals who actually meet, persons who encounter one another somewhere in the course of daily life. They thus share..., not only a community of time but also of space. They are

involved in one another’s biography at least minimally; they

gorw older together at leas memonetarily, interacting directly an personally as egoes, subject, selves.” 66 Dari konsep inilah

Lieber menyatakan bahwa “The person is instead a locus of shared biographies personal histories of people’s relationships

63 Lihat artikel-artikel dalam Jocelyn Linnekin and Lin Poyer,

“Introduction” to Cultural Identity and Ethnicity in The Pacific edited by Jocelyn Linnekin and Lin Poyer (Honolulu: University of Hawaii Press, 1990).

64Lihat:Michael D. Lieber, “Lamarckian Definitions of Identity on

Kapingamarangi and Pohnpei” in Linnekin and Poyer, Cultural Identity and Ethnicity in The Pacific, 71-101.

65Konsep ini Lieber pinjam dan elaborasi dari konsep consociates

yang Geertz juga kembangkan dari Alred Schutz, lihat Cliffird Geertz,

“Person, Time, and Conduct in Bali” dalam C. Geertz, The Intepretation of Cultures (New York: Basic Books, 1973), 360-411.

(31)

with other people and with things.” Jadi di sini relasi sosiallah yang mendefinsikan kedirian atau identitas seseorang. Bahkan Geertz menyatakan bahwa dalam konteks masyarakat sedemikian personalitas mengalami depersonalisasi.67

Linnekin dan Poyer sendiri menegaskan pemahaman tentang identitas diri ini melalui konsep diri seabagai poros realasi-relasi sosial (person as node of social relationships) sebagaimana diinformasikan oleh institusi-institusi seperti kekerabatan, adopsi, lads right, dan sistem-sistem gelar.68

Dari diskusinya tentang kekerabatan orang-orang Melanesia, Marshal Sahlins mengajukan konsep kedirian (personhood) sebagai mutual being.69 Orang Melanesia

memahami diri mereka sebagai poros partisipasi (a node of participations). Seseorang itu lebih berada di luar dirinya daripada di dalam dirinya sendiri. Di sini tampilah konsep diri bukan sebagai individual, tetapi dividual, yakni diri yang terbagi, dan tidak pula khas tertutup, di dalam pengertian bahwa aspek-aspek diri secara beragam didistribusikan di antara orang-orang lain. Jadi diri seseorang terbagikan ke dalam diri orang-orang lain, sebegitu juga diri orang-orang lain itu termaktub dalam diri seseorang. Alur pikir seperti ini hendak menerangkan bahwa kemajemukan unsur-unsur pembentuk diri seseorang menggerakkan orang itu untuk berpartisipasi dalam realitas-realitas di luar dirinya, yakni orang-orang lain maupun keberadaan-keberadaan yang lain dalam kelompok atau masyarakatnya.

Selain dari sisi proses dan dinamika konstruksi dan rekonstruksi identitas sosial, kita butuh juga teori yang terkait

67Geertz,“Person, Time and conduct”, ibid., 390.

68Linnekin and Poyer, “Introduction” to Culture Identity and

Ethnicity in the Pacific, 7.

69Marshal Sahlins, What Kinship Is And It is Not (Chicago: The

(32)

dengan pengarahan identitas sosial dengan transformasi sosial sebagai sebuah proyek kultural. Dalam konteks ini Manuel Castells70 menyebutkan bahwa isu kongrit adalah bagaimana,

dari apa, oleh siapa, dan untuk apa konstruksi atau rekonstruksi identitas sosial dilangsungkan.Rekonstruksi identitas ini menggunakan ragam bahan dari sejarah, memori kolektif, biologi, institusi-institusi produktif dan reproduktif, aparatus kekuasaan dan wahyu-wahyu keagamaan. Tetapi individu-individu, kelompok-kelompok sosial dan masyarakat memroses semua itu dan menata ulang makna-makna sesuai dengan kondisi-kondisi sosial maupun proyek-proyek kebudayaan yang berakar dalam struktur sosial mereka serta dalam rentang ruang-waktu. Seperti teori praktik, Castells melihat bahwa rekonstruksi identitas ini berlangsung dalam konteks yang ditandai oleh relasi-relasi kekuasaan. Untuk itu Castells membedakan tiga bentuk dan keberasalan bangunan atau konstruksi identitas, yaitu legitimizing identity, resitance identity, dan project identity.71 Pertama, legitimizing identity

diprakarsai oleh institusi-institusi dominan dalam masyarakat untuk memperluas dan merasionalisasi dominasi mereka berhadap-hadapan dengan para aktor sosial.

Kedua, resisntance identity diprakrasai dan dilahirkan oleh para aktor yang hidup dalam posisi-posisi dan kondisi-kondisi tertindas dan terstigmatisai oleh logika dominasi kelompok berkuasa. Para aktor atau kelompok membangun perlindungan dan pertahanan berbasiskan prinsip-prinsip yang berbeda bahkan bertentangan dengan nilai-nilai yang sementara menyebar dan menguasai institusi-institusi masayarakat.

Dan ketiga project identity adalah level identitas berproyeksi pada transformasi sosial. Identitas ini

70 Manuel Castells, The Power of Identity (West Sussex, UK:

Willey-Blackwell, 2010),7.

(33)

dikonstruksi oleh para aktor sosial dengan ragam material yang cocok dengan mereka. Para aktor sosial membangun identitas baru yang mereidentifikasi identitas dan merumuskan posisi mereka dalam masyarakat. Dengan begitu mereka sedang mengusahakan transformasi atas keseluruhan sturktur sosial.

C. Kekerabatan

Dalam kerangka teori studi ini, kekerabatan (kinship) merupakan basis strategi kultural reproduksi dan transformasi sistem sosial dalam rangka membangun tatanan masyarakat multikultural. Secara metodologis kekerabatan terkait erat dengan perkawinan, keturunan, dan aliansi.72 Pada

bagian ini hanya dipaparkan hal-hal dasar terkait kekerabatan.

Riset-riset antropologis menunjukkan bahwa hampir semua masyarakat diorganisasikan berdasarkan sistem kekerabatan dan keberasalan bersama dari satu garis keturunan yang dapat ditarik sampai kepada para leluruhur. Robin Fox menyimpulkan bahwa “Dalam masyarakat primitif maupun yang canggih, relasi-relasi dengan para leluhur dan kerabat telah menjadi relasi kunci dalam struktur sosial. Mereka telah menjadi titik sumbu/poros pemutar bagi hampir semua interaksi, hak dan kewajiban, loyalitas dan sentimen dalam sistem sosial suatu masyarakat.”73 Dalam rumusan

72Uraian rinci lihat: Roger M. Keesing, Kin Groups and Social

Structures (New York: Holt, Rinehart and Winston, 1975); Maurice Godeler, Thomas R. Trautmann and Franklin E. Tjon Sie Fat (Eds.), Transformations of Kinship (Washington and London: Smithsonian Institution Press); Roberth Parkin and Linda Stone (Eds.), Kinship and Family: An Anthropological Reader (Malden, MA.: Blackwell, 2004); Marilyn Gregerson and Joyce Sterner (Eds.), Kinship and Social Organization in Irian Jaya: A Glympse of Seven Sysmtems (Jayapura, Indonesia and Dallas, Texas: Cenderawasih University and Summer Institute of Linguistics, 1997).

73Robin Fox, Kinship and Marriage: An Anthropopogical Perspective

(34)

Nelson Graburn, kekerabatan adalah prinsip pengorganisasian masyarakat.74 Hal yang sama juga ditegaskan oleh Keyes:

ethnicity is a form of kinship reckoning, it is one in which connections with forebears or with those with whom one believes one shares descent are not traced along precisely genealogical lines.”75 Sedemikian juga Eugeen Rosens, yang

meneliti etnisitas kaum migran, mengemukakan bahwa “What, ..., makes an ethnic group specific, is the genealogical dimension, which unavoidably refers to the origin, and always involves some form of kinship of family metaphor.”76 Dengan begitu kita

dapat mengatakan dengan pasti bahwa sistim kekerabatan adalah matriks konstruksi sosial etnik. Etnisitas, melalui konstruksi dan jejaring kekerabatan, merupakan penciri dasar kultural dan identitas sosial.

Robin Fox77 membedakan dua pendekatan antropologi

dalam studi relasi-relasi kekerabatan. Pada satu sisi, fokus pada masyarakat sebagai satu keseluruhan dan menanyakan bagaimana masyarakat membentuk kelompok-kelompok kekerabatan (seperti gens, curia, phratry, dll.). Pada pihak lain, fokus diletakkan pada jejaring relasi-relasi yang mengikat individu satu dengan yang lain dalam jejraing kekerabatan. Fox menegaskan bahwa sistem kekerabatan adalah tanggapan-tanggapan terhadap raga - tekanan yang dimunculkan oleh keterabatasan-keterbatasan biologis, psikologis, ekologis dan sosial. Jadi sistem-sistem kekerabatan ada karena mereka menjawab kebutuhan-kebutuhan tertentu – karena

74 Nelson Graburn, Reading in Kinship and Social Structure (New

York: Harper & Row, 1971), 2.

75 Charles F. Keyes, “The Dialectics of Ethnic Change” in Ethnic

Change edited by F. Keyes (Seatle and London: University of Washington Press, 1982), 6.

76Eugeen Roosens, “The Primordial nature of Origins in Migrant

Ethnicity,” in The Anthropology of Ethnicity – Beyond Ethnic Groups and Boundaries, edited by Hans Vermeulen and Cora Govers (Amsterdam: Het Spinhuis, 1994), 83.

77Robin Fox, Kinship And Marriage: An Anthropological Perspective

(35)

sistem ini menjalankan tugas atau fungsi-fungsi tertentu. Ketika kondisi dan kebutuhan berubah maka sistem-sistem kekerabatan pun mengalami perubahan walau hanya dalam batas-batas tertentu pula.

Hildred Geertz dan Clifford Geertz78 melakukan riset di

Bali berdasarkan pemisahan analitik antara dimensi kultural dan dimensi sosial dari tatanan kekerabatan. Bagi mereka

By the cultural dimension we refer to those Balinese ideas, beliefs, and values are relevant to those Balinese behavior as kinsmen - ideas, beliefs, and values that are abstracted from and distinguished from the actual regularities in that behavior, from the concrete

interpersonal relationships which obtain “on the ground” among particular kinsmen. The relevant ideas,

beliefs, and values are those having to do with, for instance, the perceived nature of the connection between parent and child, or between deceased ancestors and living persons, or between individuals who share (or think they share) a common parentage or common ancestry. Taken together, these asumptions form a culturally unique conceptual framework that Balinese use to represent, to understand, and to organize their social relationships with their kinsmen.79

Bagi mereka berdua konsepsi-konsepsi kekerabatan terintegrasi dengan konsepsi-konsepsi mendasar yang berakar secara khusus dalam realisme agama, residensi dan tingakatan sosial membentuk pola kebudayaan menyeluruh. Dengan demikian kekerabatan bukanlah suatu sistem mandiri, tetapi merupakan bagian integral dari pola kebudayaan yang di

78Hildred Geertz and Clifford Geertz, Kinship in Bali (Chicago and

London: The University of Chicago Press, 1975). They suggest their own approaches as an alternative to the three main views of kinship study: the affective, the normative, and the cognitive.

Referensi

Dokumen terkait

Salah satu rasio profitabilitas yang dapat digunakan adalah Return On Assets (ROA) yaitu rasio yang berfungsi untuk mengukur efektivitas perusahaan di dalam

Perselisihan kepentingan: timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat meengenai pembuatan, dan atau perubahan syarat – syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja,

informasi yang terdapat dari sumber tertulis dan atau internet serta sumber lainnya untuk mendapatkan kesimpulan tentang masa kanak-kanak Pangeran

Kompetensi Dasar Pembelajaran Materi Kegiatan Pembelajaran manfaat perkembangan peradaban Islam pada masa kejayaan.  Menyajikan

penulis mampu menyelesaikan skripsi yang berjudul ” Analisis Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Corporate Social Responsibility Disclosure Pada Perusahaan Manufaktur

Deskripsi Mata Kuliah: Dalam mata kuliah ini, mahasiswa dapat memahami, mendiskusikan pokok-pokok iman dan kepercayaan masing-masing dan khususnya Agama Kristen

Eddy (2005) menyatakan bahwa salah satu argumen dalam hubungan antara profitabilitas dan tingkat pengungkapan tanggung jawab sosial adalah bahwa ketika perusahaan

Dengan bimbingan dan arahan guru, siswa mempertanyakan antara lain perbedaan antara berbagai ungkapan menyatakan dan menanyakan tentang niat melakukan sesuatu dalam bahasa