Film sebagai media
propaganda politik di Jawa
pada masa pendudukan Jepang 1942-1945
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Melengkapi Gelar Sarjana Sastra Jurusan Sastra Sejarah
Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret
Disusun oleh:
Widiatmoko
C.0502055
FAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
FILM SEBAGAI MEDIA
PROPAGANDA POLITIK DI JAWA
PADA MASA PENDUDUKAN JEPANG 1942-1945
Disusun oleh: WIDIATMOKO
C0502055
Telah disetujui oleh pembimbing
Pembimbing
Drs. Andreas Susanto, M.Hum. NIP 19591129 198803 1001
Mengetahui
Ketua Jurusan Sastra Sejarah
FILM SEBAGAI MEDIA
PROPAGANDA POLITIK DI JAWA
PADA MASA PENDUDUKAN JEPANG 1942-1945
Disusun oleh: WIDIATMOKO
C0502055
Telah disetujui oleh Tim Penguji Skripsi
Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Pada Tanggal………..
Jabatan Nama Tanda Tangan
Ketua : Dra. Sri Wahyuningsih, M. Hum ……….. NIP 19540223 198601 2001
Seketaris : Insiwi Febriary Setiasih, SS, MA ……….. 19800227 200501 2001
Penguji I : Drs. Andreas Susanto, M.Hum ……….. NIP 19591129 198803 1001
Penguji II : Drs. Suharyana, M.Pd ... NIP 1958011 198603 1002
Dekan
Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret
PERNYATAAN
Nama : Widiatmoko NIM : C0502055
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi berjudul Film Sebagai Media Propaganda Politik Di Jawa Pada Masa Pendudukan Jepang 1942-1945 adalah betul-betul karya sendiri, bukan plagiat, dan tidak dibuatkan oleh orang lain. Hal-hal yang bukan karya saya, dalam skripsi ini diberi tanda citasi (kutipan) dan ditunjukkan dalam daftar pustaka.
Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan ini tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan skripsi dan gelar yang diperoleh dari sanksi tersebut.
Surakarta, April 2010 Yang membuat pernyataan,
MOTTO
Dua Hal Yang Di sia-sia kan Manusia
Diriwayatkan dari Ibn Abbas ra. : Rasulullah Saw pernah bersabda, "ada dua anugerah yang disia-siakan manusia: kesehatan dan waktu luang".
(Sahih Bukhari)
Ketahuilah, bahwa hati itu bagaikan cermin, memantulkan bayangan dari semua yang ada di hadapannya. Karena itu manusia harus menjaga hatinya, sebagaimana
ia menjaga kedua bola matanya
(Al Habib Muhammad bin Abdullah Al-Idrus)
Apakah anda takut dengan masa depan? “Saya ragu Pak” jawab Ku Sedangkan dengan Bapak sendiri, Apakah Bapak takut dengan masa depan? “Tidak” jawabnya. “Karena didalam diri Saya ada banyak Sejarah” ia meneruskan
PERSEMBAHAN
Skripsi ini kupersembahkan pada :
Ø Ayah dan Ibu tercinta
kesabaran dan ke ikhlasan mu Membuat Ku selalu menangis
Ø Kakak dan Adik-adik tercinta
Tawa keceriaan yang tak akan habis
Ø Keluarga Besar ku di situlah
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah
Segala puji dan syukur kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, hidayah dan karuniaNya sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan. Selama proses penyususnan skripsi ini penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak baik dalam bentuk materi maupun dorongan moral yang besar artinya. Oleh karena itu, merupakan kewajiban penulis untuk mengucapkan terima kasih kepada :
1. Drs. Sudarno, M.A. selaku Dekan Fakultas Sastra dan Seni Rupa.
2. Dra. Sri Wahyuningsih, M.Hum selaku Ketua Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret, serta selaku pembimbing akademik yang telah memberikan saran, pengarahan, motivasi dari awal perkuliahan sampai akhir studi dan yang telah memberikan izin dan kemudahan dalam penyusunan skripsi ini.
3. Dra. Sawitri P.P, M.Pd, selaku Sekretaris Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa.
4. Drs. Andreas Susanto, M.Hum, selaku Pembimbing Skripsi, yang memberikan banyak dorongan, masukan, dan kritik yang membangun dalam proses penulisan skripsi ini.
5. Seluruh dosen Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa yang telah memberikan bekal ilmu pengetahuan kepada penulis selama masa perkuliahan.
6. Seluruh staf Perpustakaan Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS, Perpustakaan Pusat UNS, Perpustakaan Monumen Pres, Perpustakaan Rekso Pustoko Mangkunegaran yang telah memberikan kemudahan bagi penulis untuk memanfaatkan fasilitas yang tersedia.
9. Forum Lenteng Budi Wahyono, Nurul Hidayat, Winanto, Hendra.
10.Teman-teman Angkatan 2002. Empat Serangkai Oriza Vilosa, Ponco Suseno, Stevanus Yugo H (Crew Toko Buku dan Rumah Baca Bumi Manusia).
11.Asrama ceria. 12.LPM Kalpadruma. 13.Garba Wira Bhuana.
14. Jong Grha Dede, Widita, Panji.
15.Delapan Penjuru Muni Roh, Pras, Dharma, Iwan T.
16.Semua pihak yang telah membantu dan tidak dapat disebutkan satu persatu. Semoga amal kebaikan yang telah diberikan kepada penulisan mendapat imbalan setimpal dari Allah SWT.
Penulis menyadari dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Segala saran dan kritik yang bersifat membangun penulis terima dengan tangan terbuka. Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pembaca.
Surakarta, April 2010
DAFTAR ISI
JUDUL ... i
HALAMANPERSETUJUAN... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN PERNYATAAN... iv
HALAMAN MOTTO ... v
HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi
KATA PENGANTAR ... vii
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR DAFTAR KOSAKATA DAN NAMA ORANG JEPANG... xii
DAFTAR TABEL ... xv
DAFTAR LAMPIRAN ... xvi
ABSTRAK ... xvii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ………... 1
B. Rumusan Masalah ………. . 12
C. Tujuan Penelitian ………. 12
D. Manfaat Penelitian ……… 13
E. Tinjauan Pustaka ……….. 13
F. Metode Penelitian ………. 18
G. Sistematika Penulisan ………... 23
BAB II KEDATANGAN TENTARA PENDUDUKAN JEPANG………. 24
A. Emigran Jepang ke Hindia Belanda ……… 24
B. Masa Akhir Pemerintahan Hindia Belanda ……….. 29
C. Bergantinya Penguasa ……….. 35
D. Motif Pendudukan Jepang dan Mengambil Simpati………. 45
BAB III MEDIA-MEDIA PROPAGANDA JEPANG ……… 56
A. Sendenhan di Jawa ………... 57
1. Ke Selatan……… 57
2. Lahirnya Sendenhan...……….. 67
3. Pembentukan Departemen Propaganda (Sendenbu)……… 74
4. Sendenhan Mulai Beroperasi……… 82
B. Propaganda Jepang di Jawa 1942-1945……….. 85
1. Propaganda Jepang Sebelum Invansi ke Indonesia………. 85
2. Alat Perang Propaganda Jepang……….. 89
a. Dari Pasukan Pena ke Barisan Propaganda………. 89
b. Almanak Asia-Raya 2603……… 92
c. Kebijakan Jepang Dalam Puisi Indonesia……… 95
d. Foto di Surat kabar……… 99
e. Lagu Jaesjio……….. 106
f. Siaran yang Berperang………. 108
g. Film Bercerita Merupakan Raja Propaganda... 112
BAB IV MEDIA PROPAGANDA JEPANG MELALUI FILM…………. 116
A. Film Sebagai Alat Perang Tanpa Senjata………. 116
1. Kebijakan Jepang Mengenai Perfilman……….. 116
2. Munculnya Lembaga Film Buatan Jepang………. 119
B. Para Propagandis di Balik Layar……….. 122
1. Rancangan Propaganda Media Film……….. 122
2. Propagandis di Balik Layar……… 123
D. Metode Penyebar Luasan Pemutaran Film……….. 143
1. Pemutaran di Bioskop……… 145
2. Layar Putih itu Bernama Layar Tancap………. 150
3. Boui Engo Kai (Badan Pembantu Prajurit)……… 153
a. Kebijakan Pembentukan Boui Engo Kai (Badan Pembantu Prajurit)………. 153
b. Pemutaran Film di Boui Engo Kai……… 155
E. Promosi Film Bagian dari Seni Iklan……… 158
1. Iklan Surat Kabar……… 158
2. Peran “Pasukan Kuas” di Sendenhan……….. 163
F. Seni Sebagai Media Perlawanan Terhadap Propaganda Jepang……... 165
1. Keimin Bunka Shidosho……… 166
2. Seni Sebagai Wahana Penyampaian Aspirasi Bangsa Indonesia… 170 G. Perselisihan Sendenhan dengan Gunseikanbu……… 185
H. Respon Masyarakat Terhadap Aksi Propaganda Jepang Melalui Media Film………. 200
BAB V KESIMPULAN……… 207
DAFTAR PUSTAKA……… 211
DAFTAR KOSAKATA DAN NAMA ORANG JEPANG
Nama Arti
Doméi Nama kantor berita Jepang
Éiga Haikyû Sha Perusahaan Distribusi Film; disingkat menjadi Eiha Éiga Hô Undang-Undang Film
Éihai lihat Eiga Haikyu Sha Gunséibu Badan Pemerintahan Militer
Gunséikan Kepala Markas Besar Pemerintahan Militer di Jawa Gunséikanbu Markas Besar Pemerintahan di Jawa
Gunshiréibu Komandan Militer
Hôkokukai lihat Nihon Bungaku Hokokukai
Hôsô Kanrikyoku Biro Pengawas Penyiaran di Jawa Jawa Éiga Kôsha Korporasi Umum Film di Jawa
Jawa Hôkôkai Himpoenan Kebaktian Rakjat di Djawa Jawa Shinbunkai Gaboengan Persoeratkabaran di Djawa Jawa Shinbunsha Perusahaan Surat Kabar di Jawa
kamishibai Pergelaran cerita bergambar yang teksnya dibacakan oleh seorang tukang
Kéimin Bunka Shidôsho Poesat Keboedajaan; disingkat menjadi Keimin Kén’étsuhan Barisan Sensor Militer
Naikaku Jôhôbu Bagian Penerangan Kabinet
Naikaku Jôhôkyoku Dinas Penerangan Kabinet; disingkat menjadi Johokyoku
Nichiéi lihat Nihon Eiga Sha
Nihon Bun’gaku Hôkokukai Perhimpunan Sastrawan untuk Pengabdian pada Negara; disingkat menjadi Hokokukai
Nihon Bun’géika Kyôkai Lembaga Sastrawan Jepang
Nihon Éiga Sha Perusahaan Film Jepang; disingkat menjadi Nichiei Pén Butai “Pasukan Pena”
Séndénhan Barisan Propaganda di Jawa
Taiséi Yokusan Kai Persatuan Pembantu Pemerintahan Kekais
Daftar Nama Orang Jepang
Nama Peran
Abé, Tomoji Novelis Anggota Sendehan Adachi, Hisayoshi Pimpinan Sendenbu
Asano, Akira Kritikus; Anggota Sendenhan
Békki, Atsuhiko Geolog; Kepala Kantor Riset Budaya Daerah Selatan Nanpo Bunka Kenkyushitsu di Jawa
Gunji, Jirômasa Novelis; Anggota Sendenhan Hirano, Kén Kritikus Tenaga Honorer di Johokyoku
Ichiki, Tatsuo Penerjemah; Anggota Sendehan; Anggota Komisi Penyempurnaan Bahasa Indonesia
Iida, Nobuo Penggubah lagu; Anggota Sendehan Imamura, Hitoshi Komando Pasukan ke-16
Inoué, Shirô Kepala Seksi Ketiga Bagian Kelima Johokyoku Ishimoto, Tôkichi Kepala Cabang Eihai di Jawa
Kikuchi, Kan Novelis/Penulis Naskah Drama; Ketua Nihon Bungeika Kyokai; Pengurus Hokokukai Kitahara, Takéo Novelis; Anggota Sendenhan
Koiso, Kuniaki Perdana Menteri
Kôno, Takashi Pelukis; Pembimbing Bagian Seni Rupa Keimin Konoé, Fumimaro Perdana Menteri
Kumé, Masao Novelis; Pengurus utama rangkap Direktur Administrasi Hokokukai
Machida, Kéiji Pemimpin Sendenhan
Ôé, Kénji Novelis; Anggota Sendehan
Okazaki, Séizaburô Kepala Staf Pasukan ke-16 Rangkap Gunseikan Jawa
Ôki, Atsuo Penyair; Anggota Sendenhan Ono, Saséo Komikus; Anggota Sendenhan
Ôya, Sôichi Jurnalis; Anggota Sendehan; Pemimpin Pengurus Jawa Eiga Kosha; Kepala Kantor Besar Keimin rangkap
Pembimbing Bagian Film Keimin Ozaki, Shirô Novelis; Pengurus tetap Hokokukai
Shimizu, Hitoshi Propagandis Professional; Kepala Seksi Propaganda di Sendehan/Sendenbu Shimizu, Norio Filsuf; Anggota Sendenhan
Takéda, Rintarô Novelis; Anggota Sendehan; Pembimbing Bagian Kesusastraan Keimin
Taniguchi, Gorô Kepala Kantor Besar Jawa Shinbunkai Térauchi, Toshikazu Komando Tertinggi Pasukan Selatan Tôjô, Hidéki Perdana Menteri
Tomisawa, Uio Novelis; Anggota Sendenhan
Yasuda, Kiyoo Dramawan; pembimbing Bagian Seni Sandiwara dan Seni Tari Keimin
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1 Perbandingan Jumlah Bioskop Th 1937 dan Th 1943 di Jawa……….147 Tabel 2 Pembagian Bioskop Dalam 4 Tingkat di Masa Pendudukan Jepang....148
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1 Oendang-Oendang No. 28... 221
Lampiran 2 Pendjelasan Oendang-Oendang No.27 dan 28... 223
Lampiran 3 Kan Po (Berita Pemerintah) Pemerintah Agoeng…...225
Lampiran 4 Sedikit Tentang Film “Pak Kromo”………233
Lampiran 5 Studio Film Djawa………..235
Lampiran 6 Para Pekerja Film……….236
Lampiran 7 Para Penduduk Menonton Petunjukan Film………237
Lampiran 8 Barisan gambar Hidup……….238
Lampiran 9 Eiga Ho (Undang-undang Film)………..239
Lampiran 10 Surat Perjanjian penyerahan Nippon Eiga sha………...240
Lampiran 11 Gedung PPFN……….241
Lampiran 12 Lirik lagu mari Menabung………...242
Lampiran 13 Lirik lagu Asia berpadoe………..243
Lampiran 14 Oendang-Oendang No. 8………244
Lampiran 15 Asia Raya………245
Lampiran 16 Oendang-oendang No. 2……….246
Lampiran 17 Oendang-oendang No. 1………247
Lampiran 18 Oendang-oendang No. 21……… ..248
Lampiran 19 Oendang-Oendang No. 16………..249
Lampiran 20 Oendang-oendang No. 6………...250
ABSTRAK
Widiatmoko. C0502055. 2010. Media Film Sebagai Alat Propaganda Film Di Jawa Pada Masa Pendudukan Jepang 1942-1945. Skripsi Jurusan Sastra Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Perumusan masalah dalam penelitian ini meliputi (1) Mengapa Jepang menggunakan media film sebagai alat propaganda politik, (2) Bagaimana pelaksanaan propaganda Jepang melalui media film di Jawa, (3) Bagaimana respon masyarakat terhadap aksi propaganda Jepang melalui media film.
Tujuan penelitian ini adalah (1) Untuk mengetahui penyebab Jepang menggunakan media film sebagai alat propaganda politik, (2) Untuk mengetahui pelaksanaan propaganda Jepang melalui media film diJawa, (3) Untuk mengetahui respon masyarakat terhadap aksi propaganda Jepang melalui media film.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode historis, sehingga langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi heuristik, kritik sumber baik intern maupun ekstern, interprestasi, dan historiografi. Adapun data primer yang diperoleh melalui studi dokumen yang berupa arsip dari Arsip Nasional Republik Indonesia dan Japan Foundation. Data primer itu ditunjang dengan wawancara dengan beberapa orang yang berhubungan dengan tema ini. Adapun data sekunder didapat dari buku, artikel dan makalah.
ABSTRAK
Widiatmoko. C0502055. 2010. Film Sebagai Media Propaganda Politik Di Jawa Pada Masa Pendudukan Jepang 1942-1945. Thesis Of History Department Of Fine Arts And Literature Faculty. Sebelas Maret University.
Problem statements of this research consist of (1) Why does Japan employ movies as a means of political propaganda. (2) How is its implementation of Japan’s propaganda by making use movies in Java, (3) How are Javanese’s responses toward Japan’s propaganda through movies.
Objectives of this research are (1) To reveal Japan’s reasons why movies are employed as a means of political propaganda, (2) To reveal its implementation of Japan’s propaganda by making use movies as their medium in Java, (3) To reveal Javanese’s responses toward Japan’s propaganda by making use movies as their medium.
Research method employed is an historical approach, so that procedures applied in this research include heuristically approach, resource’s critic both internal and external, interpretation, and historiography. In addition, primary data obtained are through documentary study which is in form of archives from Arsip Nasional Republik Indonesia and Japan Foundation. Some persons which are relevant to this topic support the primary data as well. Besides, secondary data are obtained from books, articles, papers, etc.
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Setelah berakhirnya pemerintahan Belanda di Indonesia, maka dimulailah kekuasaan baru yang dipegang oleh Jepang.1 Dengan kekuasaan kependudukan Jepang ini, mereka segera menyusun pemerintahan di daerah yang harus membantu keinginan dan misi Jepang, yakni tercapainya kemenangan perang bagi Jepang. Sifat pemerintahan ini lebih tepat dikatakan sebagai pemerintahan pendudukan dari pada pemerintahan jajahan, sebab perang masih berlangsung dengan sengitnya. Adapun bentuk pemerintahannya adalah pemerintahan militer.2
Pada masa pemerintahan militer ini, kebijakan demi kebijakan yang diambil senantiasa didasarkan atas perkembangan perang yang sedang terjadi. Secara garis besar, kebijakan yang dibuat pemerintahan militer Jepang meliputi tiga tahap, yaitu: tahap pertama (1942-1943) adalah tahap persuasif, pada tahap ini jepang membuat dan memberikan janji-janji yang samar-samar mengenai konsesi-konsesi politik agar bangsa
1 Onghokham, 1989, Runtuhnya kekuasaan Di Hindia Belanda, Jakarta: PT.Gramedia,
hlm 220.
2 Bayu Suryaningrat, 1981, Sejarah Pemerintahan Di Indonesia, Jakarta: Dewaruci Press,
Indonesia bersedia bekerja sama dengan pemerintah pendudukan Jepang. Tahap kedua (1943-1944) adalah tahap partisipasi dan mobilisasi, pada tahap ini orang-orang Indonesia dilibatkan dalam jabatan-jabatan pada kantor-kantor pemerintahan sebagai pendamping atau penasehat pejabat bagi kepentingan pemerintahan pendudukan Jepang. Tahap ketiga (1944-1945) adalah tahap peningkatan mobilisasi dengan memberikan suatu janji-janji politik tentang kemerdekaan bagi bangsa Indonesia.3
Secara operasional pemerintahan pendudukan Jepang dilaksanakan oleh kepala staf yang disebut Guenseikan. Guenseikan ini membawahi departemen-departemen (bu) yang terdiri atas somubu (Departemen Urusan Umum), Naimubu (Departemen Dalam Negeri), Sangyobu (Departemen Perekonomian), Zaimubu (Departemen Keuangan), Shidobu (Departemen Kehakiman), Keimubu (Departemen Kepolisian), Kotsubu (Departemen Lalu Lintas), Sendenbu (Departemen Propaganda).4
Dalam rangka memperlancar pelaksanaan kebijakan mereka di wilayah pendudukan Jawa, Pemerintahan militer memerlukan alat untuk mengambil hati rakyat, dan alat inilah yang
3 Pemda Kotamadya TK. II, 1981, Sejarah Kota Bandung Periode Revolusi Kemerdekaan
1945-1950, Bandung, hlm 57.
4 Nugroho Notosusanto, dkk., 1984, Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI, Jakarta:Balai
digunakan sebagai alat propaganda. Alat ini disalurkan ke lapangan- lapangan yang jauh lebih luas dari pada lapangan kemiliteran, oleh karena itu organisasi propaganda-propaganda yang dibentuk jepang mempunyai tugas menyalurkan pesan ke lapangan masyarakat umum, sampai ke lapangan penghiburan dan kebudayaan.
Propaganda adalah penyiaran penerangan yang disiarkan dengan maksud mencari pengikut atau bantuan. Propaganda merupakan kata yang tidak asing lagi di kalangan orang Indonesia, terutama yang terlibat langsung dalam masa pendudukan Jepang. Perkataan ini memang sangat populer pada waktu Jepang menduduki Indonesia, dan merasuki hampir di segala aspek kehidupan.
Propaganda Jepang dilakukan seiring dengan penaklukan terhadap negeri-negeri yang didudukinya. Keinginan yang besar dalam penaklukan ini bukanlah suatu hal yang baru timbul di dalam sejarah Jepang. Anggapan sebagai “bangsa terpilih” menguatkan kepercayaan bangsa ini akan tugas suci Jepang untuk menaklukan dan menguasai negeri orang. Dua ribu enam ratus tahun yang lalu Djinanmu Tennc, kaisar Jepang yang pertama, disebut-sebut sebagai raja pemberi “sabda suci” Hakko Ichiu, yang bertujuan menaruh ke delapan penjuru arah mata angin di bawah panji-panji dari Nippon.5 Bahkan rencana tertentu di dalam politik penaklukan Jepang, seperti rencana “Lingkungan Kesemakmuran Asia Timur Raya”, dapat dicari kembali pada akhir abad-16. Jika Toyomi Hideyoshi, si
Napoleon negeri Jepang itu, menyerang Korea dalam tahun 1592 sebagai batu loncatan untuk menguasai Tiongkok, tidak hanya bertujuan di situ saja. Politik Toyotomi Hideyoshi ialah suatu rencana kerajaan Asia yang besar dengan Tiongkok, Jepang dan Korea sebagai kelompok kesatuan yang pertama dan kemudian diperluas dengan wilayah-wilayah Asia lainnya, sampai-sampai kedaerah Nanyo atau daerah lautan selatan.6
Dalam melakukan ekspansi dan imperialisnya, Jepang tidak hanya menjalankannya secara membabi buta tanpa diiringi sikap moral dan maksud baik dari Jepang. Mereka selalu mengatakan hal-hal seperti: “ingin membebaskan bangsa asia dari penjajahan barat” atau yang lainnya seperti “menciptakan Lingkungan Kesemakmuran Asia Timur Raya terhadap negara-negara yang ditaklukannya”. Hal ini dilakukan untuk menciptakan citra dikalangan rakyat jajahan, bahwa sebenarnya Jepang mempunyai maksud yang baik dan cita-cita yang besar untuk kebesaran bangsa Asia.
Dengan bantuan para propagandis yang bersama-sama datang dengan tentara Jepang, mereka terus giat dengan berbagai semboyan yang muluk-muluk. Semboyan-semboyan ini umumnya berdasarkan pada politik rasial. Kita masih ingat propaganda mereka di Indonesia yang berbunyi “Nippon-Indonesia sama-sama” dan “Asia untuk Orang Asia”. Semboyan ini sangat mempengaruhi orang-orang Indonesia, baik tua maupun muda di kala itu, karena tidak banyak orang-orang Indonesia yang mengenal dan mengetahui seluk beluk pemerintah pendudukan Jepang mendarat di pulau Jawa, mereka juga sering menyebut persamaan Nippon
dan Indonesia. Tentu saja hal tersebut sangatlah berkesan di hati orang-orang Indonesia pada mulanya.
Hal yang paling utama dan paling giat yang dilakukan Jepang selama mereka menduduki apa yang mereka namakan daerah selatan, ialah men”Jepang”kan penduduk, terutama angkatan mudanya. Men”Jepang”kan penduduk berarti melakukan penjajahan politik, ekonomi, dan budaya, sistem ini sudah terbukti bagi Jepang di negeri-negeri yang sudah jauh lebih dahulu dikuasainya seperti: Taiwan, Korea, dan Mancuria. Sistem penjajahan yang demikian membuktikan bahwa penduduk yang sudah diJepangkan lebih dahulu, mudah dikerahkan untuk berbagai macam usaha peperangan guna kebesaran negeri Matahari Terbit.
Sebelum Jepang datang ke Indonesia usaha-usaha untuk menarik simpati orang Indonesia sudah pernah dilakukan. Seperti, diundangnya para tokoh pergerakan, baik pergerakan nasional maupun pergerakan Islam ke Jepang, untuk melihat-lihat keberhasilan yang telah dicapai Jepang. Kepada kaum pelajar, Jepang memberikan beasiswa bagi mereka yang ingin menuntut ilmu di sana.
Pada masa pergerakan nasional banyak orang Jepang yang mencari nafkah di Hindia Belanda sebagai pedagang, Mereka dikenal sebagai tuan-tuan toko. Sikap mereka terhadap orang-orang Indonesia yang sangat ramah, menjadikan mereka mendapat simpati dari masyarakat. Maka tak heran ketika Jepang datang, sambutan yang hangat pun diberikan penduduk begitu antusias.
media. Penggunaan media melalui surat kabar, poster, foto, siaran radio, pameran, pamflet, seni pertunjukan tradisional, pertunjukan gambar kertas, musik, sandiwara, drama, dan film. Di antara media tersebut penggunaan film merupakan alat propaganda yang paling efektif.
Salah satu ciri utama propaganda Jepang di masa perang ialah penggunaan berbagai media tersebut secara positif, terutama ditekankan kepada media yang mengusik “pendengaran dan penglihatan” (audio visual) seseorang.7 Media audio visual ini dianggap paling efektif untuk mempengaruhi penduduk yang tidak berpendidikan dan buta huruf serta haus hiburan.
Pada masa Jepang sendiri, film digunakan sebagai alat propaganda politik. Film mempunyai keunggulan dalam mengekpresikan gambar bergerak yang dapat dengan mudah dimengerti oleh penonton. Hal ini menyebabkan film dengan mudah mendapatkan banyak penggemar. Film merupakan salah satu media propaganda penting pada masa perang. Sebelum Perang Dunia Kedua, media ini tidak pernah digunakan sebagai alat indoktrinasi pilitik di Indonesia. Jepang merupakan satu-satunya negara yang memanfaatkan media film sebagai alat propaganda di dalam masyarakat Indonesia, khususnya Jawa. Kebijaksanaan-kebijaksanaan yang berkaitan dengan produksi, distribusi dan pemutaran film di
7 Aiko Kurasawa, 1993,
Jawa masa pendudukan merupakan tiruan yang digunakan di Jepang masa perang melawan Cina tahun 1930-an.8
Segera setelah Angkatan Darat Ke-16 mengambil alih Jawa, staf Sendenbu bersama-sama pihak militer menyita semua perusahaan film, kemudian pada bulan Oktober 1942, mereka membentuk suatu organisasi sementara untuk menjalankan kebijakan film. Organisasi ini disebut Djawa Eiga Kosha (Korporasi Film Djawa) dan dikepalai oleh Oya Saichi, seorang penulis terkenal Jepang yang dipekerjakan sebagai anggota staf Sendenbu.
Di Jawa, secara khusus dikembangkan produksi film yang bermula pada bulan September 1942, setelah korporasi film Jawa membuka studio mereka di Jatinegara, dan setelah bulan April 1943 dilanjutkan oleh Nicchi-ei (perusahaan film Jepang). Pada tahun 1943 perusahaan film Jepang memutar film-film produksinya sendiri. Film-film yang diputar biasanya berjangka waktu pendek, dan menggunakan kata-kata Indonesia serta bertema propaganda seperti film “Torpedo Tempaan Djiwa” yang bercerita tentang kejadiaan sebelum pecahnya perang asia timur raya.9 Film-film yang dibuat di Jawa, disesuaikan dengan situasi dan kebutuhan lokal. Film-film ini merupakan propaganda dan bersifat instruktif. Salah satu contohnya adalah film “Neppu” yang berisi tentang anjuran agar giat bekerja di pabrik untuk dapat menghancurkan Amerika dan Inggris guna kemenangan tanah air.10 Hal ini sesuai dengan tujuan pemerintah pendudukan di mana penduduk Jawa akan dikerahkan untuk turut serta dalam peperangan. Untuk
8 Grant K. Goodman (edit), 1992,
Japanese Cultural Policies in Southeast Asia during world War 2, New York: St. Martins Press,hlm 44.
itu, maka langkah awalnya adalah mengindoktrinasi mereka akan pentingnya perang bagi penduduk Jawa.
Instruksi-instruksi yang terkandung dalam film tidak terbatas pada suasana politik dan spiritual tetapi juga termasuk ajaran-ajaran praktis dan teknis. Sebagai contoh film-film “Pemakaran Tombak Bamboe” dan “Indonesia Raja” mengajarkan ilmu militer dan lagu kebangsaan. Adapula film-film yang memberi pelajaran teknik pertanian dan kerajinan tangan seperti menenun, membajak tanah,menanam padi, dan membuat tambang. Film tentang Tanarigumi (rukun tetangga) menggambarkan kegiatan sehari-hari dari rukun tetangga dan untuk mengembangkan pemahaman peran dan sifatnya. Film Taiteki Kanshi (mewaspadai musuh) menginstruksikan bangsa Indonesia agar bersikap waspada terhadap musuh. Penggunaan film-film semacam ini sebagai sarana instruksi teknis secara keseluruhan merupakan suatu yang baru bagi orang Jepang maupun orang Jawa. Kenyataannya film-film masa perang ini dapat dianggap sebagai perintis pendidikan audio visual kontemporer.11 Topik film berita pada umumnya berhubungan dengan perkembangan politik dan gerakan massa. Kemudian disusul dengan topik film berita yang menyangkut masalah pertahanan dan ekonomi.
Produksi film-film cerita dimulai beberapa waktu kemudian. Pertama, adalah “Kemakmoeran” yang diputar pada bulan Januari 1944. Kedua “Berdjoeang” yang diputar pada bulan Maret 1944. Tema-tema film ini didikte oleh Sendenbu. Staf Jepang dari perusahaan film Jepang membuat garis besar kisahnya, yang kemudian ditulis dalam bahasa Indonesia dan para pemerannya dipilih di antara penduduk Indonesia.
11 Aiku Kurasawa, “Film as Propaganda Media on Java Under the Japanese”,dalam
Beberapa
kategori film yang telah diproduksi dapat digolongkan pada empat bagian, yakini 1) film-film yang menggambarkan kekuatan militer Jepang mengalahkan pasukan Inggris dan Amerika 2) film yang dibuat setelah awal 1943 yang memakai konsep religius dari Hakko Ichi-u (delapan penjIchi-urIchi-u dIchi-unia di bawah satIchi-u atap) Ichi-untIchi-uk memperkuat politik ekspansionis Jepang 3) film yang dibuat setelah akhir 1943 yang memberi tekanan pada peran yang dimainkan oleh masyarakat Indonesia di lingkungan kemakmuran Asia Raya dan 4) film yang dibuat setelah bulan November 1944 berisikan sekedar menyokong nasionalisme dan kesadaran bangsa Indonesia dalam mempertahankan dirinya.12
Untuk keperluan hiburan dan sekalipun alat propaganda dalam pemutaran film, Jepang menggunakan bioskop-bioskop yang awalnya milik orang Cina. Namun karena kekuasaan jepang, diambil alih kepemilikannya. Setiap pemutaran film dikenakan Harga Tiket Masuk (HTM ). Harga itu sudah ditetapkan Jepang. Tiket untuk pribumi HTM-nya 10 sen, orang cina 25 sen, sedangkan kelas terhormat 50 sen dan satu gulden.13
12Ibid, hlm 60.
Jepang dengan bantuan orang-orangnya, membuat jaringan propaganda disetiap sudut dan pelosok desa (desa mempunyai arti penting sebagai sumber bahan baku dan sumber tenaga manusia). Untuk Jawa dibentuk Chiho Kosakutai (Unit Operasi Distrik) yang meliputi kota-kota besar yakni: Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Semarang, Surabaya, dan Malang.14
Untuk menyebarluaskan film-film propaganda tersebut kepada masyarakat, di samping diputar di bioskop-bioskop, Jepang juga menyelenggarakan pemutaran film secara keliling yang kemudian dikenal dengan sebutan “layer tancep” (bioskop keliling)15 yang dimulai pada bulan Agustus 1942, khususnya untuk di Jawa. Kantor pusat Eihai (perusahaan distribusi film Jepang) mengirim 48 ahli proyeksi film disertai dengan fasilitas yang diperlukan untuk mempromosikan bioskop keliling di daerah-daerah pendudukan di Asia Tenggara. Enam antara para ahli ini dikirim ke Jawa.
Pada bulan Desember 1945 lima basis operasional untuk bioskop keliling telah didirikan di Jakarta, Semarang, Surabaya, Yogyakarta dan Malang dengan 15 tim proyeksi. Beberapa diantaranya dikepalai oleh orang Jepang dan yang lainnya oleh orang Indonesia. Kelompok ini berkeliling dari desa yang satu kedesa yang lainnya dengan membawa proyektor film, generator dan film yang diangkut oleh sebuah truk.16 Biasanya hanya satu atau dua desa yang dipilih dari
14Asia Raya, 16 Mei 1944. 15Ibid., hlm 295.
16 Aiko Kurasawa, Mobilisasi dan Kontrol: Studi Tentang Perubahan Sosial di Pedesaan
masing Son (sub-distrik) dan Gun (distrik) sebagai tempat pemutaran dan rakyat dari desa-desa tetangga diundang untuk menontonnya. Film-film dipertontonkan di alam terbuka bagi siapa saja tanpa dipungut bayaran. Sedangkan penduduk dari semua desa tetangga, sebelumnya diberitahu lewat para pejabat desa dan kepala tonarigumi.
Karena terbatasnya produksi film-film lokal, maka pemerintah mengimpor film-film Jepang yang dipilih secara hati-hati dan hanya yang dianggap berguna bagi propaganda. Di Jawa beberapa dari film-film Jepang itu diputar dengan subjudul Indonesia. Terjemahannya dibuat oleh staf Eihai lokal yang mengerti bahasa Jepang dan Indonesia. Karena di Jawa tingkat buta huruf sangat tinggi, maka biasanya ada seorang penerjemah berdiri di samping layar, dan ia menjelaskan apa yang tengah diproyeksikan dengan bahasa apapun yang digunakan di daerah itu. Seorang penerjemah terkadang dipakai karena di Jawa sebagian besar penduduknya berbicara dalam bahasa-bahasa lokal seperti Jawa dan Sunda dan tidak fasih berbahasa Indonesia. Sebaliknya sedikit di antara penerjemah itu mengerti bahasa Jepang, dan tidak memungkinkan bagi mereka untuk membuat terjemahan kata demi kata. Maka langkah selanjutnya adalah para penerjemah itu sebelumnya mendapat penjelasan tentang isi film dan kemudian mereka menjelaskannya kembali secara umum kepada para penonton.
bagi tujuan-tujuan propaganda, terutama film yang ditujukan pada pengajaran praktis dan teknis.17
Mengenai film-film yang di putar sebagai propaganda hanyalah film yang dinggap berguna bagi kepentingan Jepang. Jenis-jenis film yang dipertontonkan adalah film-film yang mengandung ajaran-ajaran moral dan indoktrinasi politik, seperti “Ke Seberang” yang diputar pada tahun 1944, atau film “12 Djam Sebelum Berangkat ke Medan Perang” yang dikehendaki pemerintah untuk ditransmisikan kepada penduduk Jawa.18 Film-film itu dikategorikan sebagai film “kokusaku eiga” (film-film kebijakan nasional), film-film kebijakan nasional itu bila ditinjau dari segi isinya dapat dibagi ke dalam enam kategori sebagai berikut:
1. Film yang isinya menekankan persahabatan antara bangsa Jepang dengan bangsa-bangsa asia serta pengajaran Jepang.
2. Film yang isinya mendorong pemujaan patriotisme dan pengabdian terhadap bangsa.
3. Film yang isinya melukiskan operasi militer dan menekankan kekuatan militer Jepang.
4. Film yang isinya menggambarkan kejahatan bangsa Barat.
5. Film yang isinya menekankan moral berdasarkan nilai-nilai Jepang. 6. Film yang isinya menekankan peningkatan produksi dan kampanye
perang lainnya.19
Dengan pemutaran film yang dilakukan Jepang berpengaruh terhadap rakyat. Namun dalam menerima pesan Jepang tersebut terdapat keanekaragaman. Kaum terpelajar umumnya lebih mengenal peristiwa dunia dan memiliki rentang pengetahuan yang luas, yang memberi landasan rasional dan akurat mengenai isi pesan
17 Aiko Kurasawa, dalam grant K. Goodman, Op. cit, hlm 60. 18 Djawa Baroe, 1 Oktober 1944, hlm 32.
propaganda. Tetapi kalangan tidak terpelajar, yang kurang akrab dengan informasi, cenderung menerima propaganda sebagaimana adanya.20
Sejak diperkenalkan “gambar hidup”, dunia telah mengakui keunggulan film sebagai media komunikasi dan sekaligus sebagai media propaganda. Film tidak hanya merupakan media komunikasi massa, tetapi sudah lebih dari itu, bahkan telah menjadi instrumen yang dapat disesuaikan dengan maksud-maksud tertentu. misalnya saja sebagai instrumen politik.
Penulis sendiri tertarik untuk meneliti masalah penggunaan film oleh Jepang sebagai sebuah instrumen politik, sehingga penulis berusaha untuk memperoleh gambaran seberapa besar efektif peranan film sebagai alat propaganda politik.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Mengapa Jepang menggunakan media film sebagai alat propaganda politik? 2. Bagaimana pelaksanaan propaganda Jepang melalui media film di Jawa? 3. Bagaimana respon masyarakat terhadap aksi propaganda Jepang melalui
media film?
20 Aiko Kurasawa, Mobilisasi dan Kontrol: Studi Tentang Perubahan Sosial di Pedesaan
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini, sesuai dengan masalah tersebut di atas adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui penyebab Jepang menggunakan media film sebagai alat propaganda politik.
2. Untuk mengetahui pelaksanaan propaganda Jepang melalui media film diJawa.
3. Untuk mengetahui respon masyarakat terhadap aksi propaganda Jepang melalui media film.
D. Manfaat Penelitian
Dengan rumusan masalah seperti tersebut diatas, maka manfaat yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah:
1. Secara Subjektif manfaat penulisan ini adalah Tugas akhir untuk mendapatkan gelar Sarjana, di Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra dan Seni Rupa, Universitas sebelas Maret, surakarta.
2. Secara Objektif penulisan ini bermanfaat untuk pemgembangan ilmu sejarah dalam bidang kebudayaan khususnya sejarah perfilman yang selama ini kurang mendapat perhatian.
E. Tinjauan Pustaka
Peristiwa yang terjadi pada kurun waktu 1942-1945 sangat menarik untuk dikaji dan ditulis. Dalam penulisan sejarah ini menggunakan beberapa literatur yang digunakan sebagai acuan. Diantaranya berupa buku yang tentunya ada relevansinya dengan topik pembahasan.
Aiko Kurasawa dalam sebuah buku yang berjudul Mobilisasi dan Kontrol: Studi Tentang Perubahan di Pedesaan di Jawa 1942-1945 membahas mengenai kebijakan-kebijakan Jepang dan perubahan dibidang sosialo-ekonomi serta dampak psikologi yang terjadi dalam masyarakat di wilayah pedesaan Jawa. Untuk bisa memahami kebijakan-kebijakan Jepang terhadap massa, diperlukan akses/pendekatan dari berbagai aspek. Pendekatan tersebut memerlukan perangkat yang akan digunakan Jepang untuk menarik kerja sama umum, seperti Propaganda, pendidikan, serta mobilisasi politik.
Dalam kaitannya dengan propaganda, Aiko Kurasawa membahasnya dalam bab tersendiri. Salah satu media yang dipakai Jepang adalah film. Film sebagai media yang sangat efektif untuk alat propaganda. Dengan media tersebut Jepang memakainya sebagai penarik dan mempengaruhi jiwa kolektif masyarakat.
Koichi Otani dalam bukunya yang berjudul Takeda Rintaro Biografi Kritis: Rintaro Takeda bagaimana bukunya menjelaskan perjuangan-perjuangan Sendenhan (barisan propaganda) yang dipimpin oleh Rintaro Takeda menyiapkan bahan propaganda sampai survey keliling jawa untuk mengumpulkan bahan-bahan yang akan menjadi tema propaganda. Sampai akhirnya Takeda dan para barisan propaganda mengadakan pertunjukan film untuk penduduk setempat maupun prajurit Jepang di samping mementaskan pertunjukan sandiwara, tarian, dan musik. Dalam pementasan sandiwara, Takeda menjadi sutradara. Dalam buku biografi Hyoden: Takeda Rintaro yang berbahasa Jepang ini juga menggambarkan bagaimana Rintaro Takeda mempunyai rasa bertolak belakang terhadap sikap pendudukan Jepang di Jawa.
Wilayah Hindia-Belanda yang pertama-tama jatuh kekuasaan Jepang adalah kepulauan Tambelan di Laut Cina Selatan yang diduduki pada tanggal 27 Desember 1941 dan tidak lama kemudian, tanggal 11 Januari 1942, Jepang mendarat di Tarakan (Kalimantan-Timur) dan Manado(Sulawesi Utara). Kemudian menyusul Balikpapan 24 Januari, Ambon 2 Februari, dan Makasar (Ujung Pandang) 9 Februari. Pendaratan di Sumatera Utara sendiri (termasuk pulau Sabang) dan timur dimulai tanggal 12 Maret dan 17 Maret 1942 Padang jatuh ketangan Jepang. Di Nusantara sebelah Timur Jepang melanjutkan pendaratan di Fakfak 1 April dan sorong 4 April, serta Ternate 19 April. Banda Neira, Buru, kepulauan Sula, Lombok, dan Flores diduduki dalam bulan Mei.
Kronologi perluasan wilayah Jepang di Nusantara yang diuraikan di atas ini menujukan bahwa masa pendudukan Jepang tidak serentak dialami oleh bangsa Indonesia bersama-sama. Demikian pula berakhirnya masa pendudukan tidak sama.
Dalam buku Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI yang ditulis oleh Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. Dijelaskan mengenai perubahan sosial dan mobilisasi sosial masyarakat pada masa Pendudukan Jepang. Selama tiga setengah tahun Pendudukan Jepang telah mengguncang bukan hanya sendi-sendi Pemerintahan Hindia Belanda tetapi struktur masyarakat Indonesia sendiri. Kependudukan Jepang dengan militernya ke Indonesia dimulai tanggal 11 Januari 1942 di Tarakan Kalimantan Timur. Untuk bisa membuka Jawa, Jepang harus menguasai Palembang terlebih dahulu. Pada tanggal 16 Februari 1942 Palembang berhasil ditaklukan sehingga Jawa pun sudah berada dalam genggaman. Tentara Militer Jepang kemudian menguasai Jawa dan akhirnya pada tanggal 8 Maret 1942 Belanda menyerah tanpa syarat pada Jepang.
terpengaruhi sehingga menimbulkan sikap dan opini publik terhadap Jepang.
Jepang mempunyai badan dan pembantu-pembantu tersendiri dalam penanganan film yang akan dijadikan sebagai media propaganda. Dengan badan tersebut akan mempermudah, memperlancar Jepang melakukan pengedaran, penyebaran, dan pendistribusian film yang berisikan tema propaganda. Berdasarkan keyakinan bahwa bangsa Indonesia harus dibawa kepada pola tingkah laku dan berfikir Jepang, propaganda ditujukan untuk mengindoktinasi bangsa ini agar dapat menjadi mitra yang dapat dipercaya dalam Lingkunagn Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya. Betapa propaganda memiliki arti penting bagi Jepang untuk menguasai wilayah dan rakyat Indonesia, sehingga bangsa itu pun telah mempersiapkan sistem propagandanya secara sistematis dan intensif sejak sebelum pelaksanaan invansi ke negeri ini. Melalu media film Jepang menerapkan propaganda-propagandanya seperti dijelaskan Kurasawa Aiko dalam bukunya Propaganda Media on Java Under Japanese 1942-1945”.
Albert Balink bergerak dalam film-film berita dan film cerita. Film pertama yang dibuat studio itu adalah dengan judul Terang Bulan.
Pada tahun 1941 pecah perang Asia Timur Raya dan awal tahun 1942 pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada Jepang maka seluruh kekayaan diambil alih termasuk studio-studio film dibawah pengawasan Sendenbu (Barisan Propaganda) seperti ditulis dalam sebuah karya Buku 50 Tahun Perum Produksi Film Negara yang diterbitkan oleh Direktorat Pemasaran PFN.
F. Metode Penelitian
Untuk meneliti peranan film sebagai Media propaganda politik Jepang Yang terjadi pada tahun 1942-1945 penulis menggunakan metode historis. Menurut Louis Gottschalk, yang dimaksudkan dengan metode historis adalah proses menguji dan menganalisa secara kritis rekaman dari pengalaman masa lampau.21
Berbeda dengan ilmu sosial lain yang menekankan pada pengulangan dan objek yang bersifat general, sejarah justru meneliti sesuatu yang unik. Hal ini karena peristiwa sejarah adalah einmalegh. Artinya, peristiwa yang menjadi kajian sejarah tidak akan
pernah mengalami pengulangan yang sama persis dalam konstruksi peristiwanya.22 Metode sejarah digunakan karena penggunaan metode harus disesuaikan dengan objek yang dikaji. Hal tersebut menurut Koentjoroningrat, metode yang merupakan cara kerja untuk dapat memahami objek harus sesuai dengan ilmu yang bersangkutan.23 Pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah pendekatan dengan
menggunakan ilmu komunikasi. Khususnya komunikasi politik. Dalam memahami komunikasi politik ini kemudian digunakan teori tentang propaganda. Hal ini karena propaganda merupakan salah satu cara dalam komunikasi politik yang sangat efektif dan sesuai dengan background yang akan diteliti. Pendekatan ini kemudian dijalankan dengan metode historis yang terdiri dari empat tahap. Tahapan dalam metode sejarah saling berkaitan antara tahap satu dengan tahap yang lainnya karena tahap yang dilakukan akan berurutan dalam cara kerjanya. Tahapan itu adalah Heuristik, Kritik Sumber, Inteprestasi, dan Historiografi.24
22 Peter Burke, 2003, Sejarah dan Teori Sosial, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, hlm
32.
23Koentjaraningrat, 1983, Metode-Metode Penelitian Masyarakat , Jakarta: P.T.
Gramedia, hlm 7.
24 Nugroho Notosusanto, 1988,
Masalah Penelitian Sejarah Kontemporer, Jakarta:
Tahap
pertama
adalah
Heuristik,
yaitu cara mengumpulkan
bahan atau sumber-sumber sejarah dengan mengumpulkan jejak-jejak
sejarah. Sumber-sumber sejarah tersebut tentunya yang sejaman dan
dalam bentuk tercetak, tertulis maupun lisan. Dalam penulisan ini
tehnik yang digunakan untuk mendapatkan sumber adalah dengan
Studi Dokumen dan Studi Pustaka.
Studi Dokumen dalam hal ini adalah suatu cara untuk
mendapatkan data primer atau data sejaman atau sumber utama dari
tangan pertama yang bisa digunakan untuk menceritakan peristiwa
tersebut. Hal ini karena dalam ilmu sejarah tidak akan ada fakta “
no
fact no history”
. Fakta dalam sejarah diartikan sebagai pernyataan atas
kenyataan.
Dokumen sendiri dibedakan menjadi dua yaitu dokumen dalam
arti sempit dan dokumen dalam arti luas.
25Dokumen dalam arti sempit
adalah kumpulan data verbal dalam bentuk tulisan seperti surat kabar,
catatan harian, laporan dan lain-lain. Dokumen dalam arti luas adalah
termasuk didalamnya foto-foto, artefact, film dan lain sebagainya.
Dokumen mempunyai arti yang sangat besar dalam metode
penelitian Historis. Dalam dokumen, terkandung banyak data primer
25 Sartono Kartodirjo, 1992,
PendekatanIlmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, Jakarta:
yang akan bisa menjelaskan peristiwa yang telah terjadi, semakin
banyak data primer akan mendapatkan hasil sejumlah besar fakta. Hal
ini karena dokumen dapat digunakan untuk menjawab 5W+1H (apa,
siapa, kapan, dimana, mengapa dan bagaimana).
26Dokumen-dokumen yang diperlukan dalam penelitian ini
diantaranya adalah arsip-arsip berupa surat resmi maupun tidak resmi,
selebaran, foto, film, dan lain-lain. Arsip Adachi, Osahi, Yoshikawa,
dan tsuda “Replies Of Questionaire Concerning Sendenbu” dalam
arsip Kementerian pertahanan Belanda dengan No. GG-21-1947.
Surat resmi yang dikelurkan oleh pemerintahan Jepang berkaitan
dengan kondisi dan situasi sekitar keadaan politik pada masa itu yang
diperoleh di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) di antaranya:
Undang-undang No. 1 Dari Pembesar Balatentara Dai Nippon (7
Maret 1942), Undang-undang No. 2 Tentang Keamanan Masyarakat
(Maret 1942), Undang-undang No. 6 tentang memakai waktu Nippon
dan mengubah batasan berjalan diwaktu malam (27 Maret 1942),
Undang-undang No. 8 tentang mengibarkan bendera “Kokki” (11
April 1942),Undang-undang No. 27 tentang perubahan tata
pemerintahan daerah (5 Agustus 1942), Undang-undang No. 21
tentang pembatasan gelombang pesawat radio (16 juni 1942),
26 Sartono Kartodirjo, 1998, Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia,
undang No. 16 tentang pengawasan baan-badan pengumuman
penerangan dan pemilikan pengumuman dan penerangan (25 Mei
1942), Eiga Ho (Undang-undang Film Juli 1938, Eiga Ho petunjuk
tambahan oktober 1939.
Sumber lain tak kalah pentingnya adalah surat Pembentukan
Keimin Bunka Shidoso
(Pusat Kebudayaan) pada bulan April 1943,
pembentukan
Nihon Eigasha\Nichi’e
(Perusahaan film Jepang) pada
bulan April 1943 sebagai produksi film,
Eiga haikyusha\Eihai
(Perusahaan Pendistribusian Film) pada bulan April 1943 sebagai
distribusi film, surat Perjanjian antara
Nippon Eiga Sha Production
,
cabang Jakarta dan Berita Film Indonesia Jakarta (6 Oktober 1945). Di
Pusat Perfilman Sinematek Usmar Ismail ada juga koleksi film-film
bertemakan propaganda-propaganda Jepang seperti film berjudul
Hawai-Marei Oki Kaisen
(perang Laut dari Hawaii sampai Malaya),
kris Pusaka, Gelombang dll. Juga dipakai sumber berupa surat kabar
dan majalah yang memuat berita atau artikel mengenai propaganda
Jepang serta hal-hal yang berkaitan dengan film yang bertemakan
propaganda jepang. Mayoritas surat kabar yang diambil sebagai
sumber adalah surat kabar nasional, dan hanya sedikit yang bersekala
daerah, diantaranya
Almanak Asia-Raya 2603: Tahoen I
,
Asia Raya
,
Shinbun
,
Pandji Poestaka
,
Sande Mainichi , Serebes Shinbun ,Shin
Jawa, Star News
,
Tjahaya, Tokyo Asahi Shinbun, Unabara,
dan
Wawasan Kepulauan
yang kesemuanya itu berada dan diperoleh di
perpustakaan nasional, monumen pers nasional, perpustakaan
mangkunegaran, Arsip Nasional dan Japan Foudation.
Studi pustaka adalah metode pengumpulan data dengan
mempelajari literatur serta buku yang relevan dengan pokok
permasalahan. Data yang didapatkan dari studi ini adalah berupa data
sekunder. Studi pustaka ini dimaksudkan untuk memperkuat dan
menambah data untuk mendukung kelengkapan penulisan.
Studi pustaka dilakukan diberbagai perpustakaan yang ada di
Surakarta, Jakarta. Selain itu juga di perpustakaan lain yang
menyimpan koleksi-koleksi buku berkaitan dengan pokok
permasalahan dalam penelitian ini seperti perpustakaan Sinematek.
Tahap
kedua
adalah
Kritik
terhadap bahan atau sumber yang
telah ditemukan. Hal ini untuk mendapatkan keabsahan
(
trustworthies
) sumber. Dalam kritik ini terdapat dua jenis kritik yaitu
pertama kritik ekstern untuk memastikan otensitas dan orisinalitas
sumber, dan kedua kritik intern untuk memastikan kapabilitas dan
validitas isi sumber.
Tahap
ketiga
adalah
intepretasi
yaitu penafsiran terhadap
sumber yang telah terseleksi, dimana tahap ini adalah pernyataan atas
kenyataan berdasarkan sumber yang ditemukan. Intepretasi dalam hal
ini adalah analisis terhadap sumber untuk menggambarkan fenomena
yang diteliti.
Pada tahap ini data-data dikerjakan dan diolah sedemikian rupa
sampai berhasil menemukan kebenaran yang dipakai untuk menjawab
permasalahan yang diajukan.
Tahap Keempat adalah historiografi, yaitu penyusunan
sumber-sumber data yang telah di seleksi ke otentikannya
tersebut menjadi suatu kisah atau penyajian yang saling
berhubungan dengan tetap mengutamakan aspek kronologis.
Dalam penulisannya, seperti layaknya suatu karya ilimiah,
maka penelitian ini mengandung maksud, agar memudahkan pembaca
dalam memahami permasalahan yang disjikan. Untuk memenuhi hal
tersebut maka skripsi ini dibagi menjadi lima bab.
Bab I: Pendahuluan. Bab ini berisi tentang latar belakang
masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, metode. Bab ini
merupakan suatu gambaran penelitian secara umum.
Bab II: Kedatangan Tentara Pendudukan Jepang. Bab ini
memberikan gambaran mengenai bergantinya penguasa pemerintahan
di Indonesia yaitu kedatangan tentara Jepang.
Bab III: Media-Media Propaganda Jepang. Bab ini
menggambarkan tentang media-media yang dipakai oleh Jepang pada
awal pendudukan Jepang dan menjadikannya sebagai media
propaganda politik.
Bab IV: Media Propaganda Jepang Melalui Film. Bab ini
memberikan gambaran pengaruh dan respon masyarakat terhadap
media film yang dipakai Jepang sebagai alat propaganda.
BAB II
KEDATANGAN TENTARA PENDUDUKAN JEPANG
A. Emigran Jepang ke Hindia Belanda
Kedatangan orang-orang Jepang ke Hindia Belanda sebenarnya sudah berlangsung sebelum depresi ekonomi tahun 1929. Pada abad ke-17 di Batavia sudah terdapat 30 orang Jepang yang terlibat dalam perniagaan bahari.27 Kelompok ini semakin menjadi khusus dengan adanya kebijakan politik pintu tertutup28 Jepang dari hubungan luar negerinya yang dilakukan oleh Shogun Tokugawa pada tahun 1632 yang berakibat bahwa komunitas Jepang tersebut tidak lagi mempunyai kaitan dengan tanah airnya. Selain itu, tidak banyak yang diketahui tentang komunitas Jepang di Batavia dan Jawa pada abad ke-18 sampai paruh kedua abad ke-19.
Emigran29 Jepang ke Hindia Belanda sendiri mulai kembali marak pada awal Restorasi Meiji sampai akhir tahun 1930-an. Perubahan yang dialami Jepang setelah Restorasi Meiji yang didasarkan oleh kebijakan nasional yang kuat dengan
27Mona Lohanda, “Penetrasi Jepang di Perairan Hindia Belanda” prasarana yang
disampaikan dalam seminar sehari Membangun Kembali Peradaban Bahari di Jurusan Sejarah FSUI, Depok, 24 April 1997.
28Politik Pintu Tertutup (Sakoku) Jepang ini sudah berlangsung pada masa pemerintahan
Shogun Tokugawa mulai tahun 1603 sampai tahun 1862. Politik Pintu Tertutup ini pada awalnya dilaksanakan hanyalah berisi peraturan yang melarang orang asing dating ke Jepang, akan tetapi, pada tahun 1632, aturannya menjadi lebih ketat, melarang juga orang-orang Jepang berada di luar negeri untuk kembali ke Jepang.
29Emigran adalah orang yang meninggalkan tanah tumpah darahnya dan pergi ke negeri
bertumpu pada slogan Fukoku Kyohei (Negara Kaya,militer kuat)30 yang untuk mewujudkan cita-cita itu diperlukan adanya tatanan politik, sosial, ekonomi, dan industri yang mendukung kebijakan tersebut. Jepang menginginkan agar mereka sejajar dan dapat diterima sebagai Negara modern, berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dengan bangsa Barat yang sudah maju.
Salah satu dampak dari Restorasi Meiji ini adalah terjadinya kemiskinan keluarga petani Jepang. Hal ini disebabkan industrialisasi merupakan kebijakan utama Jepang pada masa itu. Untuk mempertahankan hidup mereka, banyak di antara anak laki-laki Jepang dari keluarga petani tersebut mencari daerah baru guna memperbaiki kehidupan perekonomian keluarganya. Dalam tradisi budaya Jepang, anak laki-laki mempunyai tanggung jawab terhadap keluarganya. Tanggung jawab ini sudah dipikul anak laki-laki Jepang sejak usia sangat muda yang bukan merupakan pewaris keluarga.31 Maka tidaklah mengherankan bila pada masa awal pemerintahan Meiji banyak emigran Jepang berasal dari keluarga miskin di daerah Selatan Jepang. Hal ini diungkapkan oleh pemilik toko Jepang di Jawa:
Saya lahir sebagai anak kelima dari keluarga petani miskin di desa pegunungan Kyushu yang terpencil, dan tidak hentinya mendengar orang tua saya mengatakan “Alangkah sulitnya mencari nafkah”, mengalami kemiskinan dan ketidakberda-yaan hidup di pedesaan yang tidak pernah maju dari priode Meiji hingga Taisho. Akibatnya, saya memutuskan untuk berangkat ke negeri seberang dan mulai suatu hidup baru……32
30Ken Ichi Goto, Sejarah Hubungan Antara Jepang dan Indonesia pada zaman
Pra-perang, Japan Review, Maret 1987, hlm 20.
31Ruth Benedict,1967,
Pedang Samurai dan Bunga Seruni: Pola-pola Kebudayaan Jepang, Jakarta: Sinar Harapan, hlm 59.
32Ken Ichi Goto, “Kehidupan dan Kematian Abdul Rachman”: (1906-1949) Satu Aspek
Selain sulitnya perekonomian Jepang, motivasi emigran Jepang ke Hindia Belanda juga didasari oleh berita keberhasilan orang-orang Jepang yang berniaga di Jawa yang dimuat dalam majalah Shin Sheinen (Pemuda Baru) dan lagu-lagu seperti “Bandit Berkuda” dan “Perantau” yang sangat menarik perhatian dan simpati terutama pemuda Jepang yang belum dapat menikmati hasil modernisasi di Jepang.33
Emigran Jepang di Hindia Belanda pada awalnya adalah Kimin, yaitu orang-orang yang ditelantarkan oleh Negara yang diselundupkan ke luart Jepang tanpa paspor untuk mencari pekerjaan di luar negerinya dan sering ditipu atau diculik, yang akhirnya membawa mereka ke Asia Tenggara.34
Emigran Jepang ke Hindia Belanda meningkat pada awal abad ke-20. gelombang kedatangan orang-orang Jepang terbagi dalam dua fase yaitu:
1. Awalnya tahun pemerintahan Meiji (tahun 1880-an) sampai akhir tahun 1910-an porstitusi merupakan mayoritas kegiatan orang Jepang terutama di Jawa.35
2. Awal tahun 1910-an sampai akhir tahun 1930-an. Pemilik toko bebas dan pegawai merupakan mayoritas kegiatan orang Jepang pertama di Jawa.36 Jumlah emigran yang meningkat terutama sesudah tahun 1920 lalu menimbulkan perdebatan di kalangan pejabat Hindia Belanda jika melihat pada
33Goto, “
Sejarah Hubungan Jepang dengan Indonesia”, op.cit., hlm 21.
34Saya Shiraishi dan Takashi Shiraishi, Orang Jepang di Kota Koloni Asia Tenggara,
(Jakarta: Obor Indonesia, 1998), hlm 4.
35Hal ini dapat dilihat dari catatan pekerjaan para emigrant Jepang tersebut pada tahun
1910-an yang berjumlah 463 orang, 48% diantaranya atau 219 adalah karayukisan (wanita yang
pergi ke Cina tetapi kemudian berkonotasi dengan pekerjaan sebagai prostitusi). Lihat Mona Lohanda, op.cit., hlm 2.
catatan kependudukan bulan November 1920, jumlah emigran Jepang di Hindia Belanda seluruhnya berjumlah 4.148 orang, termasuk di Jawa 1.734 orang belum dianggap sebagai unsur yang berbahaya.37 Akhir Juni 1922 jumlah ini meningkat menjadi 4.496 orang tetapi pada bulan yang sama tahun 1923 jumlahnya menurun menjadi 4.233. Pada bulan Juni 1926 pemukiman Jepang di seluruh Hindia Belanda baru berjumlah 4.351.38
Jumlah emigran Jepang ke Hindia Belanda setelah Perang Dunia I juga menarik perhatian Departemen Luar Negeri Amerika Serikat. Dapat diperoleh gambaran menarik mengenai kepentingan Jepang di Jawa Timur dan Jawa Tengah pada tahun 1924 dari laporan konsul Amerika di Surabaya, Rollin R. Winslow, yang dikirim ke Washington D. C. Menurut laporan ini, populasi Jepang sebanyak 627 orang di Surabaya, 135 orang di Keresidenan Pasuruan, dan 23 orang di Malang. Ini merupakan perkembangan terakhir karena sudah terdapat arus masuk orang Jepang ke Hindia selama tahun perang. Mereka membuka toko-toko kecil dan tinggal di sana, dan pada tahun 1920-an tampak peningkatan perhatian pada karet dan perkebunan tebu.39
Menurut perkiraan sampai tahun 1939 jumlah emigran Jepang di Hindia Belanda berjumlah kira-kira 6.600 orang, sementara 4.000 orang Jepang bermukim di Jawa.40 Dari yang bermukim di Jawa ini, konsentrasi terbesar ada di
37Mona Lohanda,
op.cit., hlm 3.
38Ibid.
39Saya Shiraishi,
op.cit., hlm 12.
40‘Verslag van den Adjunct-Refrendaris ter beschikking vanm den Adviseur, Hoofd van
den Dienst der Oost-Aziatische Zaken, H. Hagenaar, Omtrent een diienstreis naar de Provinciale Oost-Java, van 29 Oktober-11 november 1939”, dalam Binnenlands Bestuur no. 141 Arsip
Surabaya yaitu berjumlah 1.371 orang. Namun jika melihat pada ketimpangan dibidang perdagangan ekspor impor kekuatan ekonomi Jepang di Hindia Belanda mulai memiliki dominasi di dalam perekonomian Hindia Belanda.
Dibukanya konsulat Jepang di Batavia dan di Surabaya tahun 191941 merupakan institusi perwakilan resmi pemerintah Jepang di Hindia Belanda terutama di Jawa. Tugas pertamanya adalah pendataan terhadap orang-orang Jepang yang berada di daerah konsulatnya.
Perhimpunan orang Jepang (Nihonjinkai) didirikan di Batavia tahun 1913 dan Surabaya tahun 1921. Tujuan perhimpunan ini adalah untuk menggalang “saling persahabatan dan informasi” diantara penduduk Jepang. Pimpinannya biasanya adalah orang-orang terkemuka Jepang diwilayahnya dan biasanya pendatang perintis.
Dengan didirikannya perhimpunan orang Jepang paling tidak orang-orang Jepang yang dating ke Hindia Belanda terutama di Jawa mulai ada ikatan dengan Negara induk mereka. Hal ini dapat dipahami bahwa kehadiran mereka di sini seperti dijelaskan sebelumnya adalah orang-orang yang tidak terkordinasi oleh Negara dan pada umumnya mencari nafkah untuk memperbaiki perekonomian mereka. Perhatian yang diberikan oleh pemerintah Jepang terhadap masyarakatnya di luar negeri dirasakan sangat membantu kegiatan orang Jepang di Jawa. Sebagai contoh ketika konsulat dan Nihonjinkai belum terbentuk banyak di antara pedagang Jepang melindungi kegiatan dagang mereka sendiri padahal
ketika itu (pada awal abad ke-20 trutama sebelum tahun 1912) status social Jepang sudah disamakan dengan orang Jepang.42
B. Masa Akhir Pemerintahan Hindia Belanda
Sejak 12 September 1931 Jhr. B. C. de Jonge, pengganti Jhr. Mr. A. C. D. de Graeff, telah menduduki jabatannya sebagai Gubernur Jenderal yang baru di Hindia Belanda. Ia dihadapkan pada situasi ekonomi dunia yang buruk. Untuk itu ia berusaha untuk tidak akan mempermudah segala tindakan para agitator politik Indonesia43 dimana dalam keadaan seperti itu yang lebih dipentingkannya adalah memelihara ketenangan dan ketertiban.44
Pada bulan September 1932, de Jonge menerapkan peraturan dalam bidang pendidikan yang dikenal dengan nama Organisasi Sekolah Liar (Wild Schoolen Ordonantie). Ordonansi ini pada pokoknya berisi tentang peraturan yng menetapkan bahwa semua guru sekolah swasta harus mempunyai izin khusus dari pemerintah setempat sebelum mereka diperbolehkan mengajar.
Peraturan ini secara sekilas nampaknya memang sederhana. Tetapi yang memberatkan para guru sekolah swasta adalah untuk mendapatkan surat izin itu mereka terlebih dahulu harus mempunyai sertifikat dari sekolah negeri atau dari sekolah yang bersubsidi. Kecuali itu surat izin akan diberikan apabila dalam pandangan pemerintah setempat guru yang bersangkutan tidak membayangkan ketenangan dan ketertiban. Keadaan ini merupakan pukulan berat bagi
42Peter Post,1994, “characteristics Of Japanese Enterpreneurship in the Pre-war Indonesia
Economy”dalam Historical Foundation of a National Economy in Indonesia, 1890’s-1990, J. Th.
Lindblad (ed.), Amsterdam, hlm 299.
43John Ingleson, 1983,
Jalan Ke Pengasingan, Jakarta: LPES, hlm 176.
sekolah pribumi yang kebanyakan guru-gurunya lulusan sekolah tak bersubsidi, yang berarti tidak berhak mendapatkan sertifikat. Lebih menyulitkan lagi ijazah sekolah-sekolah swasta itu tidak diakui oleh pemerintah, sehingga para lulusan kemungkinan kehilangan untuk bekerja pada pemerintah.
Ki Hajar Dewantara, seorang pendiri sekolah swasta Taman Siswa, menentang dengan keras atas diberlakukannya ordonasi itu. Melalui sepucuk suratnya yang ditujukan kepada de Jonge, ia menyatakan kekecewaannya atas keputusan pemerintah itu dan ia akan menentang dengan cara mengorganisir “perlawanan Pasif” terhadap ordonasi itu. Sikapnya ini memperoleh dukungan luas baik dari partai-partai politik maupun yang bukan, termasuk Indonesia Muda.
Di dalam Volksraad, pemerintah mendapatkan protes keras dari Fraksi Nasional. M. H. Thamrin, yang menjadi ketuanya, menuntut agar pemerintah mencabut peraturan tersebut. Ia bersama dengan anggotanya yang lain mengancam akan mengundurkan diri dari dewan apabila tuntutannya tidak dikabulkan.45 Luasnya dukungan yang diberikan kepada Ki Hajar Dewantara, menimbulkan kekawatiran di kalangan pemerintah, sehingga pada bulan Februari 1933 ordonansi itu secara resmi dicabut.46
Pencabutan ordonansi ini merupakan kemenangan bagi kaum nasional yang harus dibayar cukup mahal. Bagi Indonesia Muda, dukungannya terhadap penentangan Ordonansi berakibat serius. Pada bulan Agustus 1933, pemerintah melarang para pelajar yang bersekolah disekolah negeri untuk menjadi anggota Indonesia Muda . Berbagai tekanan dilakukan pemerintah terhadap orang tua
45Nugroho Notosusanto, dkk., 1984, Sejarah Nasional Indonesia Jilid V, Jakarta:Balai
Pustaka, hlm 222-225.
murid agar mengeluarkan anak-anaknya dari anggota Indonesia Muda, karena organisasi ini dianggap telah menyimpang dari tujuan semula.47 Tindakan pemerintah tidak hanya itu. Pada bulan Mei 1936, majalah Indonesia Muda dilarang terbit. Begitu pula dengan Kongres Indonesia Muda yang akan berlangsung pada bulan Juli tahun itu dilarang.48 Tindakan pemerintah yang menekan ini memaksa IM dalam konghresnya yang ke-6 pada akhir tahun itu di Surabaya, memutuskan untuk memperlunak sikapnya dimasa mendatang.
Tindakan pemerintah terhadap partai yang berhaluan non-kooperatif lebih keras lagi. Pada tanggal 1 Agustus 1933, sehari sebelum diadakannya rencana rapat-rapat Partindo (Partai Indonesia)49 di Jakarta dan Bandung, Soekarno sebagai pemimpin partai ini ditangkap. H. Colijn, yang menjabat Perdana Menteri Belanda merangkap Menteri Urusan Jajahan, menjelaskan kepada Parlemen Belanda bahwa penangkapan itu disebabkan Soekarno telah menyebarkan gagasan-gagasan revolusioner sehingga membuat sebagian besar orang terdidik memusatkan perhatiannya pada kegiatan politik. Oleh sebab itu tindakan ini perlu diambil untuk melindungi ketertiban umum.50
Nasib yang serupa juga dialami oleh Mohammad Hatta dan St. Syahrir pemimpin PNI-Baru. Keyakinannya bahwa dengan kegiatannya yang lebih tertuju pada pembentukan kader daripada agitasi politik dapat menghindarkan
47
45 Tahun sumpah Pemuda,1974, Jakarta, Yayasan Gedung-gedung Bersejarah Jakarta,
hlm 96.
48 A. K. Pringgodigdo, 1984, Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia,Jakarta: Dian Rakyat. 49Partindo berdiri tanggal 1 Mei 1931. Partai ini dan juga PNI-Baru (Pendidikan Nasional
Baru) merupakan pecahan dari PNI (Partai Nasional Indonesia) yang dibentuk tahun 1927 dan dibubarkan bulan April 1931. Ibid, hlm 111-116.