• Tidak ada hasil yang ditemukan

View of DARI MISOGNIS MENUJU SETARA: EVOLUSI PEMBEBASAN PEREMPUAN DALAM SEJARAH ISLAM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "View of DARI MISOGNIS MENUJU SETARA: EVOLUSI PEMBEBASAN PEREMPUAN DALAM SEJARAH ISLAM"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

1

DARI MISOGNIS MENUJU SETARA:

EVOLUSI PEMBEBASAN PEREMPUAN DALAM SEJARAH ISLAM

Oleh: Fikria Najitama

Institut Agama Islam Nahdlatul Ulama (IAINU) Kebumen e-mail: fikrianajtama@gmail.com

Abstrak

Tulisan ini membahas mengenai evolusi relasi antara laki-laki dan perempuan dalam sejarah nalar Islam. Berkaitan dengan relasi laki-laki dan perempuan dalam pemikiran Islam, selama ini lebih banyak menyandarkan dalam dimensi normativitas. Para ulama dan akademisi awal dan pertengahan dalam mendiskusikan relasi laki-laki dan perempuan lebih pada aspek kajian atas al-Qur’an dan teks-teks keagamaan secara normative. Tentu saja hasilnya memiliki nuansa patriarkhi yang begitu kuat karena teks tersebut lahir dalam konteks yang bersifat patriarkhi. Namun kenyataan superioritas laki-laki atas perempuan dengan melihat pada dimensi normativitas agama agaknya tidak bisa dipertahankan tanpa melihat aspek dimensi historisitasnya. Pendekatan historis akan memberikan informasi lebih signifikan mengenai konteks dan dinamika perubahan secara periodik mengenai posisi perempuan. Karena pada dasarnya, perubahan mengenai posisi perempuan bisa disandingkan dengan pola pengharaman terhadap khamar yang bersifat evolutif. Logika ini bisa dihubungkan dengan pola historis bagaimana perbudakan yang ada dalam justifikasi teks-teks keagamaan juga tidak lagi berlaku dalam realitas kehidupan kontemporer. Dengan demikian dengan menggunakan teori progress, relasi laki-laki dan perempuan pada dasarnya juga bersifat evolutif, yakni dari nalar misoginis menuju nalar marjinal dan berakhir pada nalar kesetaraan.

Kata kunci: evolusi, historisitas, relasi, perempuan, laki-laki

PENDAHULUAN

(2)

2 pendekatan historis, filosofis, psikologis, sosiologis, kultural maupun antropologis.1 Kedua kutub ini merupakan instrumen penting untuk menuju kajian Islam yang komprehensif.

Berkaitan dengan isu perempuan dalam Islam, selama ini lebih banyak menyandarkan dalam dimensi normativitas. Para ulama dan akademisi menitikberatkan pada diskusi tentang relasi laki-laki dan perempuan dalam al-Qur‟an dan teks-teks keagamaan. Tentu saja tidak dapat dipungkiri bahwa dalam al-Qur‟an dan teks-teks keagamaan, memiliki nuansa patriarkhi yang begitu kuat. Keberadaan al-Qur'an yang bernuansa patriarkhi tersebut sebenarnya wajar adanya, karena realitas konteks yang ada saat teks al-Qur'an turun sangat didominasi dengan budaya patriarkhi.2 Selain itu, proses penafsiran yang kemudian melahirkan teks-teks keagamaan juga senantiasa melibatkan kontestasi untuk menetapkan otoritas dan kompetensi „penafsir‟ baik dari segi strata sosial, etnisitas dan juga gender.3 Dengan demikian, dalam konstruksi budaya patriarkhi, para penafsir yang mayoritas kaum laki-laki kemudian juga memunculkan teks-teks keagamaan yang bernuansa patriarkhi.

Kenyataan superioritas laki-laki atas perempuan dengan melihat pada dimensi normativitas agama agaknya tidak bisa dianggap absah tanpa melihat aspek dimensi historisitasnya. Pendekatan historis akan memberikan informasi lebih signifikan mengenai konteks dan dinamika perubahan secara periodik mengenai posisi perempuan. Karena pada dasarnya, perubahan mengenai posisi perempuan bisa disandingkan dengan pola pengharaman terhadap khamar yang bersifat evolutif. Logika ini bisa dihubungkan dengan pola historis bagaimana perbudakan yang ada dalam justifikasi teks-teks keagamaan juga tidak lagi berlaku dalam realitas kehidupan kontemporer.

Dasar dari logika dimensi historisitas yang evolutif ini disandarkan pada pendekatan historis yang didalamnya terdapat empat teori dasar. Pertama, teori lingkaran (cyclical theory). Teori ini menyatakan bahwa pada dasarnya terdapat fenomena-fenomena dasar yang sama antara satu peristiwa dengan peristiwa yang lain; perbedaan yang ada seringkali hanya pada dataran permukaan, bukan esensi. Kedua, teori takdir (providential theory). Teori ini merupakan reaksi atas teori lingkaran yang

1

M. Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historisitas, cet. ke-3, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. v.

2

Asma Barlas, Cara Qur'an Membebaskan Perempuan, terj. R. Cecep Lukman Yasin, (Jakarta: Serambi, 2005), hlm. 47.

3

(3)

3 dipandang tidak sejalan dengan ajaran Kristen. Asumsi dasar dalam teori ini adalah bahwa proses kesejarahan adalah kejadian yang unik dan bukan kejadian yang biasa. Hal ini dimaksudkan untuk mengokohkan posisi Kristus yang dianggap tidaklah terulang lagi dalam proses kesejarahan. Ketiga, teori progres (progress theory). Teori ini mencoba menjelaskan bahwa manusia itu bisa berkembang dan maju menuju keadaan yang lebih baik. Proses tersebut dapat dicapai bila manusia dapat mengontrol diri dan lingkungannya dengan penelitian dan memahami proses kausalitas dari peristiwa yang diteliti. Proses inilah yang kemudian melahirkan apa yang kemudian dikenal dengan Renaissance, Reformation, Enlightment dan lain sebagainya. Keempat, teori kombinasi (miscellaneous philosophies of history). Sesuai dengan namanya, teori ini teori ini menawarkan pandangan bahwa tidak ada satu teori pun yang bisa melihat sejarah secara komprehensif. Kombinasi antar teori merupakan keniscayaan yang harus digunakan oleh sejarawan. 4

Dengan perspektif di atas, teori progres (progress theory) merupakan salah satu teori yang mampu merespon dinamika evolutif dari relasi laki-laki dan perempuan dalam Islam. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa sejarah tidaklah berjalan statis, namun melangkah secara dinamis atau dengan kata lain, sejarah mengalami proses evolutif.5 Dengan demikian, pada dasarnya manusia berkembang dan maju, tidak hanya dalam persoalan teknologi -sebagaimana yang sering dijadikan parameter- namun lebih mendasar lagi, yakni terkait dengan cara berpikir.

Dengan demikian, perubahan secara evolutif mengenai relasi laki-laki dan perempuan dalam Islam merupakan keniscayaan. Asumsi tersebut nampaknya sejalan dengan ungkapan Joachim Wach yang menyatakan bahwa pemikiran keagamaan tidak dapat dilepaskan dari konteks yang melingkupinya, yang meliputi: konteks waktu, konteks ruang, konteks sejarah, konteks sosial, konteks budaya, konteks psikologi dan konteks agama.6 Dengan logika tersebut, tulisan ini berusaha menjabarkan dinamika

4Akh. Minhaji, “Pendekatan Sejarah dalam Kajian Hukum Islam” dalam Jurnal Mukaddimah , No. 8. Th. V/1999. hlm. 71-72.

5

Dalam sejarahnya, model pemahaman mengenai evolusi sejarah juga nampak dalam pemikiran August Comte yang menyatakan bahwa perkembangan alam pikiran dan nilai-nilai sosial yang dominan mengalami proses evolusi yang berupa tahapan teologis, tahapan metafisis dan tahapan positivistik. Lihat, Graham C. Kinlock, Perkembangan dan Paradigma Utama Teori Sosiologi, terj. Dadang Kahmad, (Bandung: Pustaka Setia, 2005), hlm. 74. Demikian juga Karl Marx dengan pandangan materialis sejarahnya yang mengkonsepsikan proses evolusi menjadi tahapan feodalistik, kapitalisme dan sosialisme. Lebih lanjut lihat, Frans Magnis-Suseno, Pemikiran Karl Marx dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme, (Jakarta: Gramedia, 2000), hlm. 135-177.

6

Joachim Wach, Ilmu Perbandingan Agama, terj. Jam‟anuri, (Jakarta: Rajawali Press, 1992),

(4)

4 historis mengenai evolusi relasi antara laki-laki dan perempuan dalam bingkai sejarah pemikiran Islam.

SKETSA PEREMPUAN DALAM PERADABAN DUNIA

Secara historis, hampir semua bentuk kebudayaan menggunakan jenis kelamin sebagai kriteria utama dalam pembagian peranannya dalam masyarakat. Sejarah juga mencatat bahwa patriarkhi telah mendominasi di hampir semua bentuk masyarakat.7 Sebut misalnya masyarakat agraris dimana kegiatan ekonomi sangat didominasi oleh laki-laki, sedangkan perempuan sebagaian besar tersisih dalam peranan produksi ekonomi. Sebenarnya dominasi patriarkhi tidak menjadi persoalan selama hal tersebut tidak melahirkan ketidakadilan gender (gender inequalities) di masyarakat. Namun dalam realitasnya, sistem patriarkhi yang berkembang menempatkan perempuan dalam posisi yang tidak adil dan tidak menguntungkan secara kultural, ekologis dan struktural.8

7

Hampir semua jenis masyarakat yang ada di dunia menempatkan perempuan dalam posisi yang marjinal. Dalam masyarakat pemburu dan peramu misalnya, peranan ekonomi sangat bertipe jenis kelamin seks. Dalam hal ini, berburu tercakup dalam bidang kaum laki-laki, sedangkan meramu pada dasarnya merupakan tugas kaum perempuan. Sebenarnya kaum perempuan dapat pula berburu namun terbatas pada binatang kecil dan menangkap ikan, sedangkan perburuan hewan besar ataupun menangkap ikan di laut tetaplah menjadi monopoli kaum laki-laki. Dalam masyarakat pemburu dan peramu, kaum laki-laki pada umumnya mempunyai kesempatan yang lebih besar dibanding kaum perempuan untuk memperoleh pengakuan dan prestise. Demikian juga dalam masyarakat agraris. Masyarakat model ini, kegiatan ekonomi sangat didominasi oleh laki-laki, sedangkan perempuan sebagaian besar tersisih dalam peranan produksi ekonomi. Laki-laki mengontrol produksi dan perempuan diperuntukkan untuk rumah tangga dan kegiatan yang berkaitan dengan hal tersebut. Dengan demikian berkembanglah “dikotomi luar-dalam” (inside-outside dichotomy) atau yang juga disebut dengan pebedaan publik-domestik. Pembedaan ini memunculkan dua dunia terpisah dan berbeda. Disatu pihak, terdapat satu lingkungan

kegiatan “publik” yang berlangsung di luar rumah. Lingkungan ini meliputi ekonomi, politik, kehidupan

religius, pendidikan dan sebagainya yang kesemuanya dimonopoli oleh laki-laki. Sedangkan dipihak lain terdapat lingkungan kegiatan rumah tangga, yakni lingkungan yang berhubungan dengan masak, membersihkan, mencuci, mengurus anak yang semuanya dipandang sebagai bagian perempuan. Lebih jauh lihat, Stephen K. Sanderos, Sosiologi Makro, Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosial, terj. Farid Wajidi dan S. Menno, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1995), hlm. 395-407.

8

Dalam hal ini, banyak manifestasi ketidakadilan yang dapat ditemukan dalam perempuan. Mansour Fakih misalnya, memetakannya dalam beberapa wilayah, antara lain: Pertama, marginalisasi perempuan baik di rumah tangga, di tempat kerja, maupun di dalam bidang kehidupan bermasyarakat lainnya. Proses marginalisasi ini berakibat pada pemiskinan ekonomi perempuan. Kedua, subordinasi terhadap perempuan karena adanya anggapan bahwa perempuan itu irasional, emosional, maka ia tidak bisa memimpin dan oleh karena itu harus ditempatkan pada posisi yang tidak penting. Ketiga, stereotype

(5)

5 Selain karena dominasi budaya partriarkhi yang begitu kuat, faktor lain yang memiliki andil besar dalam diskriminasi perempuan adalah terkait dengan mitologi yang berkembang di masyarakat. Menurut Umar, mitologi merupakan satu aspek yang penting dalam mengkontruksi hubungan antara laki-laki dan perempuan.9 Sebagaimana diketahui, budaya di berbagai tempat dalam hubungan tertentu antara laki-laki dan perempuan dikontruksi oleh mitologi. Sebagai misal sebuah cerita Yunani Kuno yang kemudian beredar di Eropa mengenai Pandora. Kisah ini mengenai perempuan paling pertama yang diciptakan dari tanah oleh Hephaetus atas kehendak Zeus (raja para dewa). Perempuan ini kemudian diturunkan ke dunia dengan membawa sebuah kotak yang berisi semua jenis kesengsaraan dan kejahatan. Dengan melakukan hal ini, Zeus berniat menghancurkan berkah api yang dicuri Prometheus dari langit untuk dianugerahkan kepada mahluk hidup. Kisah ini menyatakan bahwa sejak kotak itu terbuka, dunia dilanda wabah kejahatan dan kesedihan. Perempuan ini diberi nama

Pandora. Kata Yunani yang arti asalnya adalah “maha memberi”, tetapi kemudian menjadi sinonim dengan “pemberi semua bentuk kejahatan”.10

Kisah ini menggambarkan adanya mitos yang buruk tentang perempuan. Perempuan dianggap sebagai makhluk yang membawa unsur kejahatan, keburukan dan merusak.11 Kisah lainnya juga terdapat dalam buku Malleus Maleficarum yang menyebutkan bahwa perempuan adalah hewan yang tidak sempurna dan plin-plan, suka menipu, mudah tergoda nafsunya, mudah tergoda syetan sehingga sering menjadi penyihir.12

Dalam masyarakat Yunani yang merupakan representasi puncak dalam pemikiran-pemikiran filsafat tidaklah banyak memberikan apresiasi yang baik kepada

perempuan. Pada umumnya, para filsuf memandang perempuan sebagai “daya tarik lahiriah” yang memperdayakan, yang sedapat mungkin harus dihindari oleh laki-laki.13

9

Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Qur’an, (Jakarta: Paramadina, 2001), hlm. 88.

10

Wahiduddin Khan, Antara Islam dan Barat: Perempuan di Tengah Pergumulan, terj. Abdullah Ali, (Jakarta: Serambi, 2001), hlm 21.

11

Realitas ini juga dapat ditemui dalam peradaban Hindu. Dalam Kitab Mahabarata

disebutkan,”jika perempuan belajar kitab Veda, maka ini pertanda kehancuran kerajaan”. Pada akhirnya

sebagian agama Hindu mewajibkan hijab kepada perempuan dan melarang pemeluknya bergaul dengan perempuan. Lihat, Muh}ammad Syah}r>ur, Nah}w>a Us}>ul jadid>ah li al-Fiqh al-Isl>am>i, (Damaskus: al-Ahaly, 2000), hlm.338.

12

Nelly Van Doorn-Harder, Menimbang Tafsir Perempuan Terhadap al-Qur’an, terj. Josien Folbert, (Salatiga: Pustaka Percik, 2008), hlm. 1-2.

13

Kenyataan ini dapat dilihat dari kisah Sokrates. Diceritakan bahwa Sokrates bertemu dengan

seorang perempuan yang berhias agak berlebihan. Ketika ditanyakan kepada perempuan itu, “mau kemana?”, perempuan itu menjawab bahwa ia mau melihat kota. Maka Sokrates segera menjawab, “saya

kira nona akan pergi bukan untuk melihat kota, tetapi agar kota melihat nona. Demikian juga ketika

(6)

6 Adapun dalam masyarakat Yunani, nasib para perempuan memiliki keadaan yang begitu menyedihkan. Mereka diperjualbelikan, tidak memiliki hak-hak sipil, dan tidak memiliki hak waris.14

Tidak berbeda jauh dengan realitas di masyarakat Yunani, perempuan dalam masyarakat Mesopotamia juga diposisikan secara marjinal dalam berbagai bidang. Menurut Umar, Kode Hammurabi yang merupakan peraturan-peraturan hukum Mesopotamia dan dianggap merupakan naskah hukum pertama yang lengkap dalam

sejarah manusia juga telah mengintrodusir perempuan sebagai “jenis kelamin kedua”.15

Terkait dengan hal ini, Laela Ahmed menjelaskan bahwa pemberian hak-hak istimewa kepada laki-laki dan pembatasan-pembatasan terhadap perempuan sudah ditemukan di dalam kode Hammurabi. Kenyataan ini dapat dilihat dari beberapa isi kode Hammurabi yang menerangkan, antara lain: Pertama, seorang laki-laki dapat menggadaikan isteri atau anak-anaknya selama tiga tahun dan melarang tegas memukul atau melukai agunan gadai tersebut dan bila tidak mampu membayar utang, mereka dapt dijadikan budak utang. Kedua, laki-laki dapat dengan mudah menceraikan isterinya jika mereka tidak dapat melahirkan anak, tetapi berhak memperoleh uang denda (uang perceraian). Ketiga, perempuan dapat menuntut perceraian hanya dengan cara sangat sulit. Jika

seorang perempuan begitu membenci suaminya sehingga ia menyatakan “engkau boleh menceraikanku”, maka catatannya dapat diteliti di dewan kotanya, dan jika ia berhati-hati dan tidak salah, sekalipun suaminya telah pergi dan menghinanya habis-habisan, maka perempuan itu tanpa disalahkan sama sekali boleh mengambil maharnya dan pulang ke rumah orang tuanya. Akan tetapi menuntut perceraian mengandung banyak resiko. Apabila ketika diteliti dewan menemukan bahwa ia tidak hati-hati, tetapi pergi dan dengan demikian mengabaikan rumahnya dan menghina suaminya, maka mereka dapat menceburkan perempuan tersebut ke dalam air. Keempat, kepala keluarga berhak mengatur perkawinan anak-anaknya dan mempersembahkan anak perempuannya kepada para dewa, untuk menjadi seorang pendeta dan tinggal di biara. Kelima, perkawinan umumnya bersifat monogami, kecuali di kalangan istana sekalipun orang-orang awam boleh mempunyai isteri kedua atau selir, bila isteri pertama tidak bisa

(pasangan) yang paling sedikit keburukannya”. Mengenai eksplorasi mengenai kisah ini, lihat, Mulyadi Kartanegara, “Mitos-mitos Kecantikan dan Kelembutan: Perempuan Dalam Literatur Filsafat” dalam Ali Munhanif (ed.), Mutiara Terpendam: Perempuan Dalam Literatur islam Klasik, (Jakarta: Gramedia, 2002), hlm. 203-206.

14

Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, cet. ke-11, (Bandung: Mizan, 2000), hlm. 296.

15

(7)

7 melahirkan anak. Bagaimanapun juga laki-laki diperbolehkan berhubungan seksual dengan budak atau pelacur. Namun perzinahan yang dilakukan oleh isteri (pasangannya) dikenakan hukuman mati, sekalipun suami boleh memilih untuk membiarkannya hidup.16

Penjelasan tersebut menggambar betapa buruknya posisi perempuan dalam masyarakat Mesopotamia. Dari berbagai diskriminasi yang ada, nampaknya diskriminasi yang paling nampak adalah terkait dalam institusi keluarga. Kenyataan ini menurut Qasim Amin tidak hanya terjadi di Mesopotamia, namun terjadi di berbagai kebudayaan. Mengenai kenyataan ini, Qasim memberikan informasinya:

“Perempuan kehilangan kebebasannya yang berhubungan dengan perkembangan

institusi keluarga. Sebagai misal ialah hak kepemilikan isteri menjadi lazim dikalangan orang Yunani, Roma, Jeman, India, Cina dan Arab. Laki-laki mendapatkan isterinya seperti ia mendapatkan seorang budak perempuannya. Laki-laki membelinya dengan kontrak nikah yang merefleksikan sebuah pembelian dan penjualan properti. Fenomena ini cukup dikenal oleh setiap sarjana Latin, dan diceritakan oleh para wisatawan kontemporer. Seorang laki-laki membeli perempuan dari ayahnya untuk dijadikan isteri., dan secara tidak langsung hak dari sang ayah si perempuan diberikan kepada suaminya, dan laki-laki yang menjadi suaminya selanjutnya memiliki hak untuk menentukan perempuan tersebut untuk dijual kepada laki-laki lain atau tidak. Bila suami meninggal, perempuan digantikan oleh ahli waris suami, yakni anak laki-lakinya, sebagai bagian dari kepemilikannya. Perempuan dalam situasi semacam ini tidak memiliki ataupun mewarisi apapun. Poligami adalah bentuk umum dari perkawinan, karena monogami sendiri menuntut kesamaan antara laki-laki dan

perempuan.”17

Dalam kode Hammurabi juga dijelaskan bahwa ayah atau suami dalam keluarga memegang peranan utama dan memiliki kewenangan yang tidak terbatas. Sebuah perkawinan dianggap tidak sah tanpa restu atau izin dari ayah. Hal ini dapat dilihat dalam kode Hammurabi pasal 128:

“jika seorang laki-laki melaksanakan perkawinan, tetapi tidak membuat kontrak tertulis kepada pihak calon isterinya (dalam hal ini diwakili oleh ayahnya), maka

perempuan itu tidak sah sebagai isterinya”.18

Dalam kehidupan keluarga, laki-laki dalam kode Hammurabi juga memiliki posisi yang lebih utama daripada perempuan. Hal ini dapat dilihat dari pasal yang berbunyi:

16

Laela Ahmed, Wanita dan Gender dalam Islam, Akar-akar Historis Perdebatan Modern, terj. M. S. Nasrullah, (Jakarta: Lentera, 2000), hlm 5-8.

17

Qasim Amin, Sejarah Penindasan Perempuan, terj. Syariful Alam, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2003), hlm. 29.

18

(8)

8

“bilamana seorang perempuan gagal menjadi isteri yang baik, sering keluyuran, melalaikan tugas-tugasnya di rumah, dan melecehkan suaminya, maka

perempuan tersebut harus dilempar ke dalam air”19

Diskriminasi terhadap perempuan dalam kode Hammurabi juga dapat dilihat dalam kasus penerapan hukuman. Dalam hal ini, bila suatu perkara menimpa perempuan, maka penerapan hukumnya tidak setegas dengan sanksi yang menimpa laki-laki. Apabila yang menjadi korban adalah laki-laki, maka pelaksanaan hukumannya tidak dapat ditawar-tawar, sedangkan bila korbannya seorang perempuan, maka sanksinya tidak mutlak. Hal ini dikarenakan adanya beberapa pasal dalam Kode Hammurabi yang menyebutkan secara ekslusif keutamaan laki-laki.

Tidak hanya dalam hukum di Mesopotamia, dalam hukum Assyiria posisi perempuan juga tidak lebih baik. Hal ini dapat dilihat dari isi hukum tersebut yang antara lain menjelaskan: Pertama, laki-laki dibolehkan melakukan pemukulan atas agunan gadai (perempuan, isteri anak), menusuk telinga mereka, menjambak rambut mereka. Kedua, seorang suami dibolehkan menjambak rambut isterinya, memotong atau melintir telinganya, tanpa dikenai hukuman. Ketiga, hukuman bagi seorang pemerkosa

yang telah menikah adalah isterinya sendiri “dihinakan” dan diambil darinya untuk

selama-lamanya. Keempat, hukuman bagi seorang pemerkosa yang belum menikah adalah membayar harga seorang perawan kepada ayahnya dan mengawini perempuan yang telah diperkosa.20

Dalam masyarakat Romawi, perempuan sepenuhnya berada di bawah kekuasaan ayahnya. Setelah pelaksanaan pernikahan, kekuasaan tersebut kemudian berpindah kepada suaminya. Kekuasaan ini meliputi kewenangan menjual, mengusir, menganiaya, dan membunuh. Keadaan tersebut berlangsung terus sampai abad ke-6 Masehi. Segala hasil usaha perempuan, menjadi milik keluarganya yang laki-laki. Perubahan nampak ketika zaman Kaisar Constantine, yaitu dengan diundangkannya hak pemilikan terbatas bagi perempuan, dengan catatan bahwa setiap transaksi harus disetujui oleh keluarga (suami atau ayah).21

Dari eksplorasi di atas nampak bahwa dalam berbagai kebudayaan yang ada disepanjang perjalanan peradaban manusia, nampaknya belum memberikan tempat yang

19Ibid.

, hlm. 97-98. 20

Laela Ahmed, Wanita dan Gender…, hlm. 5-8. 21

(9)

9 baik untuk perempuan. Dalam hal ini, perempuan dihampir seluruh peradaban masih mengalami perlakuan yang diskriminatif dan menyedihkan.

PEREMPUAN PRA-ISLAM : NALAR MISOGINIS

Menurut Umar, Jazirah Arab22 secara topografi tidaklah terlalu istimewa dibanding dengan wilayah yang ada disekitarnya masa itu seperti Romawi ataupun Persia. Ia menambahkan bahwa realitas Jazirah Arab tidak dapat dipisahkan dengan sejarah klasik Mesopotamia, yang letaknya bersebelahan dengan jazirah Arab. Fakta menjelaskan bahwa Mesopotamia merupakan titik tolak sejarah peradaban dan kebudayaan manusia.23 Dalam hal ini, pengalaman dan budaya Mesopotamia telah memberikan pengaruh yang besar kepada wilayah lainnya, termasuk wilayah jazirah Arab. Diskriminasi terhadap perempuan yang terjadi diwilayah Mesopotamia dan sekitarnya secara perlahan memberi pengaruh terhadap realitas hubungan laki-laki dan perempuan di Jazirah Arab.

Pendapat Umar nampaknya sangat beralasan karena dalam sejarahnya telah terjadi interaksi antar budaya di Jazirah Arab. Sebagai misal terkait dengan jilbab, banyak ahli berpendapat bahwa jilbab bukan merupakan budaya Arab, tapi merupakan budaya asing yang kemudian diadopsi oleh masyarakat Arab.24 Semula, jilbab merupakan tradisi Mesopotamia-Persia sedangkan pemisahan laki-laki dan perempuan merupakan tradisi Hellenistik-Byzantium. Dalam kelanjutannya, kedua budaya tersebut kemudian menyebar menembus batas geokultural, tidak terkecuali bagian utara dan timur jazirah Arab seperti Damaskus dan Bagdad yang pernah menjadi ibukota politik Islam zaman

Dinasti Mu‟awwiyah dan Abbasiyah25

22

Menurut al-Faruqi, yang dimaksud jazirah Arab yakni semenanjung Arab yang terletak di Asia Barat Daya. Luas wilayahnya sekitar 2500 x 2000 km. Batas wilayahnya berada di antara Laut Mediterania dan Palestina. Di bagian utara, dan Padang Syam di sebelah timur agak ke utara. Lebih ke utara lagi berbatasan dengan Hira, sungai Tigris (Dijlah), Euprates (Furat), dan Teluk Persia. Agak ke timur berbatasan dengan padang pasir yang sekaligus menghubungkannya dengan Asia. Agak ke Timur berhadapan dengan Teluk Persia. Di sebelah timur berbatasan dengan Samudera Hindia, dan agak ke selatan berhadapan dengan laut Merah yang memanjang ke Barat. Lihat, Ismail R. al-Faruqi dan Louis Lamya al-Faruqi, The Cultural Atlas of Islam, (New York: Macmillan Publishing Company, 1986), hlm. 3.

23

Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan…, hlm. 93. 24

Kenyataan bahwa jilbab bukan merupakan budaya Arab juga diungkapkan oleh para intelektual.

Hensen misalnya, berpendapat bahwa “pemingitan dan jilbab merupakan fenomena asing bagi

masyarakat Arab. Lihat, Fadwa El Guindi, Jilbab, Antara Kesalehan, Kesopanan dan Perlawanan, terj. Mujiburahman, (Jakarta: Serambi, 2003), hlm. 38.

25

(10)

10 Dari penjelasan tersebut nampak sekali bahwa karakteristik masyarakat Arab pada awalnya bukanlah penganut patriarkhis, namun dominasi budaya patriarkhis yang hidup di masyarakat Arab merupakan imbas dari budaya yang ada disekitarnya. Kenyataan ini sesuai dengan penelitian Catal Huyuk yang mengungkapkan bahwa masyarakat di kawasan Arab pada awalnya adalah masyarakat matrilinial dimana perempuan memegang dominasi daripada laki-laki.26 Hal ini dapat dilihat dari status keagamaan perempuan yang secara umum pada masa itu tidak terlalu buruk. Terdapat catatan yang menjelaskan bahwa sejumlah kahinah (pendeta perempuan) ada di masyarakat Arab. Sebagai misal adalah pendeta perempuan Tarifah di daerah Arab bagian selatan yang telah meramalkan jebolnya dam Ma‟arif. Demikian juga dengan pendeta perempuan

„Arifa yang biasa menafsirkan mimpi-mimpi dengan tepat. Di daerah Arab bagian utara

juga terdapat Hudaym, yakni salah seorang puteri dari Sa‟ad. Hudaym memberi

kontribusi besar dalam menengahi konflik pembagian air zamzam di Makkah. Selain itu juga terdapat pendeta perempuan al-Ghitalah yang merupakan anggota keluarga Bani Marrah bin Abdul Mannaf yang pernah meramalkan munculnya Nabi jauh-jauh hari. Dalam hal ini, seorang pendeta tidak hanya meramalkan peristiwa-peristiwa, namun juga bertugas untuk menengahi perselisihan yang muncul. Dari eksplorasi tersebut nampak bahwa perempuan dalam masyarakat Arab memiliki peran dan pengaruh yang besar. Dengan demikian dapat diketahui bahwa status keagamaan dan kependetaan dalam masyarakat Arab pra-Islam bukanlah monopoli laki-laki, tetapi juga dimiliki oleh perempuan.27

Masyarakat Arab juga mempercayai adanya dewi-dewi yang disembah karena dianggap memiliki kekuatan. Dalam hal ini dapat dilihat dari perilaku orang-orang Yaman yang menganggap matahari sebagai dewi yang harus disembah. Demikian juga

dengan keadaan masyarakat disekitar Ka‟bah. Dalam lingkungan Ka‟bah terdapat

patung dewi-dewi yang disembah masyarakat, yakni al-La>t, al-‘Uzza> dan al-Mana>t. Al-La>t merupakan dewi yang sangat tua dan sangat dihormati serta disembah oleh beberapa suku. Bagi suku Quraisy dan Kinanah, al-‘Uzza> adalah dewi yang terpenting. Sedangkan al-Mana>t merupakan dewi yang penting juga dalam masyarakat Arab pra-Islam.28 Dengan demikian nampak bahwa sosok perempuan yang dalam hal

26

Lihat, Laela Ahmed, Wanita dan Gender…, hlm. 45. 27

Lihat, Asghar Ali Engineer, Hak-hak Perempuan…, hlm. 54. 28

(11)

11 ini direpresentasikan dalam wujud dewi memiliki posisi yang begitu tinggi dalam masyarakat.

Dalam perkembangannya, masyarakat Arab kemudian mengalami perubahan dan peralihan dari masyarakat matriarkhi menuju masyarakat patriarkhi. Menurut Nasaruddin, perubahan ini berhubungan dengan proses peralihan kekuasaan Tuhan perempuan (The Mother God) menuju Tuhan Laki-laki (The Father God). Dalam hal ini agama-agama semit (Abrahamic Religions) yakni, Yahudi, Kristen dan Islam dinilai mempunyai peran besar dalam proses transformasi tersebut.29 Selain karena imbas agama-agama semit, proses tranformasi dari masyarakat matriarkhi menuju patriarkhi juga nampaknya juga imbas dari pengaruh budaya disekitarnya. Dalam hal ini, terjadi penyebaran budaya ke daerah jazirah Arab yang dimulai ketika terjadi perang antara Romawi-Byzantium dan Persia. Karena kejadian tersebut, rute perdagangan antar pulau mengalami perubahan sebagai akibat dari perang tersebut. Pesisir jazirah Arab menjadi penting sebagai wilayah transit perdagangan juga sebagai tempat pengungsian. Globalisasi peradaban secara besar-besaran terjadi pada masa itu. Kultur Hellenisme-Byzantium dan Mesopotamia-Sasaniapun ikut menyentuh jazirah Arab. Diskriminasi terhadap perempuan yang terjadi diwilayah Mesopotamia dan sekitarnya juga dapat dipahami merupakan pengaruh budaya sekitar Arab yang kemudian secara perlahan berkembang di Jazirah Arab.

Setelah proses peralihan dari masyarakat matriarkhi menuju partiarkhi, masyarakat Arab pra-Islam memposisikan laki-laki lebih unggul daripada perempuan. Dengan demikian secara perlahan terjadi dominasi laki-laki dalam masyarakat. Menurut Lapidus, masyarakat Arab pra-Islam merupakan masyarakat yang dibangun berdasarkan ikatan keluarga, keturunan (nasab) kekerabatan, dan ikatan etnis. Identitas etnis dilindungi oleh kejelasan kewajiban kolektif, dan laki-laki bertanggungjawab melindungi seluruh keluarga.30 Dalam hal ini mereka hidup dalam ikatan kelompok kekerabatan keluarga patriarkhal yang terdiri dari seorang ayah, anak laki-laki dan keluarga mereka. Masyarakat model ini menurunkan keturunan melalui garis laki-laki, sementara perempuan merupakan kelompok inferior dan bukan merupakan warga yang

seperti matahari (asy-syams), bumi, (al-ardh), jiwa (an-nafs) dan sebagainya. Lihat, Nasaruddin Umar,

Argumen Kesetaraan…, hlm. 14. 29

Ibid. 30

Ira L. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, terj. Ghufran A. Mas‟adi, (Jakarta: RajaGrafindo

(12)

12 penuh.31 Bahkan lebih parah lagi, realitas perempuan dalam masyarakat pra-Islam tidak memiliki hak apa-apa dan tidak lebih dari barang dagangan. Mereka tidak hanya diperbudak, tetapi dapat juga diwariskan sebagaimana harta benda. Menurut

Muhammad Ali, “Dikalangan masyarakat Arab pra-Islam, apabila seorang laki-laki meninggal dunia, putranya yang lebih tua atau anggota keluarga lainnya memiliki hak untuk memiliki janda atau janda-jandanya, mengawini mereka jika mereka suka, tanpa memberikan mas kawin, atau mengawinkannya dengan orang lain, atau melarang

mereka kawin sama sekali”.32

Realitas tersebut menggambarkan betapa menyedihkannya posisi perempuan dalam masyarakat Arab pra-Islam. Selain itu, banyak kebiasaan dan adat yang berkembang dimasyarakat Arab pra-Islam yang sangat biadab dan tidak manusiawi, khususnya terhadap perempuan. Salah satu budaya yang muncul dimasyarakat Arab pra-Islam adalah mengubur hidup-hidup anak perempuan. Hal ini merupakan adat lazim diwilayah Arab pra-Islam yang kemudian mendapat kecaman dari Islam. Menurut

Muhammad Assad, “Adat menguburkan anak perempuan hidup-hidup yang tidak beradab nampaknya sudah sangat tersebar luas di tanah Arab pra-Islam, walaupun mungkin tidak sejauh apa yang menjadi anggapan orang. Motifnya ada dua: ketakutan kalau-kalau pertambahan keturunan perempuan akan menimbulkan beban ekonomi, dan juga ketakutan akan kehinaan yang seringkali disebabkan karena para gadis yang oleh suku musuh dan selanjutnya menimbulkan kebanggaan penculiknya di hadapan para orang tua dan saudara laki-lakinya”.33 Adapun menurut Juwairiyah Dahlan,34 adat mengubur hidup-hidup yang muncul di masyarakat Arab pra-Islam berhubungan dengan beberapa faktor, antara lain: Pertama, perasaan pesimis. Biasanya orang tua merasa sangat pesimis jika dikaruniai seorang anak perempuan. Terutama perasaan pesismis untuk mendapatkan seorang menantu untuk mengawini putrinya. Biasanya sang ayah sangat malu bila sang anak tidak ada yang meminangnya, bahkan dengan hal itu sang ayah akan menyembunyikan anak perempuannya supaya tidak terlihat oleh tetangga ataupun temannya. Kedua, Perasaan takut malu. Seorang ayah biasanya merasa malu bila tidak dapat membiayai kebutuhan putrinya. Hal ini dikarenakan pertimbangan biaya

31

Khoiruddin Nasution, Fazlur Rahman Tentang Wanita, (Yogyakarta: Tazzafa dengan ACAdeMIA, 2002), hlm. 39.

32

Asghar Ali Engineer, Hak-hak Perempuan dalam Islam, terj. Farid Wajidi dan Cici Farkha Assegaf, (Yogyakarta: Bentang, 1994), hlm. 28.

33Ibid.

34Juwairiyah Dahlan, “Peranan Wanita Dalam Islam (Studi Tentang Wanita Karier dan Pendidikan

(13)

13 untuk anak perempuan lebih mahal sehingga orang tua tidak mampu memenuhi pembayarannya. Ketiga, menginginkan harta. Pada umumnya orang kaya tidak senang jika mereka mendapatkan anak perempuan dikarenakan kekhawatiran apabila harta kekayaannya menjadi sia-sia. Hal ini dikarenakan anggapan bahwa anak perempuan tidak mampu mengelolanya. Keempat, untuk sesajen. Ada pendapat yang mengatakan bahwa masyarakat pra-Islam mengubur anak perempuannya hidup-hidup merupakan pengaruh dari kepercayaan terdahulu, yaitu bahwa anak perempuan dijadikan sesajen para dewa. Kelima, harga diri. Kenyataan tersebut memberi gambaran betapa perempuan pada masa pra-Islam dianggap sebagai aib dan kutukan sehingga harus dibunuh dengan begitu kejinya.

Dalam masyarakat Arab pra-Islam yang patriarkhis, suami disebut ba’al35(tuan) isteri. Kenyataan tersebut menyiratkan otoritas dan kekuasaan yang dimiliki oleh seorang laki-laki dalam keluarga di kawasan Arab pra-Islam. Menurut Abdul Karim, kata ba’al sering digunakan dalam relasi perkawinan dan diidentikkan dengan suami. Istilah ba’al menyimbolkan poros otoritas tertinggi yang dinikmati suami atas isterinya. Dalam tradisi keluarga Arab, suami (ba’al) merupakan pemilik, tuan, dan majikan isteri.36

Kekuasaan laki-laki (suami) yang begitu besar memberi keleluasaan juga dalam berbuat, termasuk dalam menikahi perempuan. Dalam masyarakat pra-Islam, laki-laki mempraktekkan poligami dan mereka tidak memberi batasan jumlah maksimal.37 Menurut Asghar, para pemuka dan pemimpin mempunyai banyak isteri untuk menjalin hubungan dengan keluarga-keluarga lainnya. Praktek pembujukan keluarga lain dan aliansi politik melalui perkawinan ini dipraktekkan dalam masyarakat-masyarakat feodal lainnya dalam skala yang sangat besar.38 Seorang anggota suku Quraisy rata-rata mempunyai sepuluh orang isteri. Bahkan menurut Robertson Smith, terdapat laki-laki yang mempunyai isteri lebih dari 900.39 Walaupun gambaran tersebut mungkin terlalu

35Ba’al

adalah nama seorang dewa kuno yang disembah di Ba’labakka atau Heliopolis. Bahkan

ada indikasi bahwa ba‟al adalah dewa sesembahan beberapa bangsa semit. Hal ini dapat dilihat dari

kenyataan bahwa berhala bangsa Arab juga dinamakan dengan ba‟al. lihat, Khalil Abdul Karim, Syari’ah

Sejarah Perkelahian Pemaknaan, terj. Kamran As‟ad, (Yogyakarta: LKiS, 2003), hlm. 33. 36Ibid

., hlm. 34. 37

Menurut Abdul Karim, praktek poligami tanpa batas yang ada di Bangsa Arab merupakan spirit sistem paternalisme yang dianut oleh suku-suku nomaden secara umum. Sistem tersebut meniscayakan komposisi rumah tangga patriarkhi yang terdiri dari laki-laki sebagai poros, lalu sejumlah isteri merdeka ditambah budak-budak sariyyah. Lihat, ibid., hlm. 33.

38

Asghar Ali Engineer, Hak-hak Perempuan…, hlm. 29. 39

(14)

14 dilebih-lebihkan, namun hal tersebut secara jelas mengindikasikan lemahnya posisi perempuan dalam masyarakat Arab pra-Islam.

Budaya Arab pra-Islam juga mengenal beberapa model perkawinan yang sangat tidak manusiawi terhadap perempuan. Model perkawinan tersebut antara lain adalah nika>h} ad-daiza>n. Bentuk perkawinan ad-daiza>n ialah menetapkan bahwa apabila suami dari seorang perempuan meninggal dunia, maka anak yang tertua akan berhak mengawininya. Dalam hal ini, bila dia ingin mengawininya, dia akan melemparkan selembar pakaian kepada perempuan tersebut dan diapun telah mewarisinya sebagai isterinya. Bila dia tidak ingin mengawininya, dia dapat mengawinkannya dengan orang lain atau melarangnya kawin dengan orang lain sampai meninggal dunia. Pada saat kematiannya, dia secara otomatis mewarisi kekayaan yang dimiliki oleh perempuan tersebut. Dalam hal ini,sebenarnya perempuan tersebut dapat membebaskan diri dari putera suaminya yakni dengan cara membayar uang tebusan.40 Jelas sekali, perkawinan model ini memposisikan perempuan layaknya barang dan sangat menafikan unsur-unsur kemanusian didalamnya.41

Model perkawinan lainnya adalah nika>h} mut’a>h. Perkawinan ini merupakan perkawinan sementara yang telah ditetapkan masa berlakunya. Dengan demikian, ketika masa berlakunya habis, maka secara otomatis pernikahannya juga berakhir. Adapun anak-anak dari model perkawinan ini biasanya ditarik garis melalui ibu mereka –bukan dari ayah mereka- karena ayah akan pergi setelah masa perkawinan berakhir.42 Pernikahan ini berimplikasi pada tidak adanya nafkah ‘idda>h serta tidak adanya saling mewarisi diantara keduanya kecuali kalau disyaratkan sejak awal. Dalam sejarahnya, model pernikahan mut’a>h biasanya diberlakukan selama dalam perjalanan jauh, seperti dalam kafilah perdagangan ataupun perang.

Bentuk perkawinan lainnya adalah zawa>j al-badal yakni model perkawinan yang berjalan ketika seorang laki-laki meminta seorang laki-laki lainya agar melepaskan isterinya untuk dinikahi, dan sebagai gantinya dia akan menyerahkan isterinya untuk dinikahi oleh laki-laki tersebut tanpa adanya mas kawin.43

Selain itu juga terdapat model perkawinan yang dikenal dengan zawa>j ash-shiga>r. Dalam hal ini, zawa>j ash-sigha>r adalah seorang laki-laki memberikan

40

Lihat, Asghar Ali Engineer, Hak-hak Perempuan…, hlm. 32-33. 41

Perkawinan model ini kemudian dilarang dengan tegas oleh al-Qur‟an dengan turunnya S. an -Nisa, 4: 19.

42

(15)

15 saudara perempuan, anak perempuannya atau anak perempuan yang berada di bawah perwaliannya kepada seorang laki-laki dengan imbalan diterimanya perempuan tersebut dengan tanpa mas kawin.44 Dengan demikian, bentuk perkawinan ini sebenarnya serupa dengan perkawinan pada umumnya, kecuali tidak ada mas kawin yang diberikan. Namun yang menjadi persoalan dalam perkawinan ini bukan dalam hal mas kawin saja, namun karena perkawinan ini merendahkan nilai dan kehormatan perempuan. Model ini mengisyaratkan perempuan sebagai sebuah beban dan pada saat tertentu dapat diberikan secara cuma-cuma kepada orang lain.

Terdapat juga model perkawinan yang disebut zawa>j al-istibda’. Dalam perkawinan ini, suami akan meminta isterinya bersetubuh dengan laki-laki lain supaya bisa hamil. Dalam hal ini, suami akan menahan diri untuk tidak mendekatin isterinya samapai sang isteri hamil dari laki-laki lain. Pada umumnya orang mengirimkan isterinya kepada laki-laki yang terkenal karena keberaniannya, kemurahan hatinya, dan sebagainya. Namun menurut Asghar, perkawinan ini berjalan dilandasi oleh motif bisnis semata. Praktek yang terjadi adalah dengan menyerahkan budak perempuan kepada laki-laki yang berperawakan baik dan kuat sehingga mereka dapat hamil dan melahirkan anak-anak yang sehat, dapat dipekerjakan dan dijual ke pasar.45

Bentuk perkawinan lainnya adalah nika>h az-za>’inah. Perkawinan ini terjadi ketika seorang laki-laki berhasil menawan seorang perempuan pada saat perang dan dia ingin mengawininya. Tawanan perempuan tidak dapat menolak kawin dengan yang menawannya dan tidak ada mas kawin baginya. Demikian juga, laki-laki yang menawannya juga memiliki hak untuk mengawini budak perempuan yang dimilikinya.46 Berbagai model perkawinan tersebut menggambarkan betapa menyedihkannya posisi perempuan dalam masyarakat Arab pra-Islam. Mereka diperlakukan seperti barang yang dapat dipakai seenaknya dan diposisikan hanya sebagai pelepas nafsu laki-laki.

PEREMPUAN MASA ISLAM MEDIEVAL : NALAR MARJINAL

Dalam khazanah kitab-kitab fiqh perempuan seringkali mengalami perlakuan yang diskriminatif. Realitas tersebut tidak lain dikarenakan fiqh dibangun dari konstruksi al-Qur‟an dan hadis yang mana kedua sumber pokok tersebut mempunyai nuansa patriarkhis yang begitu kuat. Dalam fiqh, perlakuan berbeda dan terkesan

44Ibid . 45

(16)

16 diskriminatif terhadap perempuan muncul mulai dari awal kelahiran perempuan sampai akhir kehidupannya. Pada awal kelahirannya, lak-laki dan perempuan sudah diperlakukan berbeda dalam persoalan aqiqah. Dalam hal ini, ketika lahir anak laki-laki, maka orangtua dianjurkan untuk menyembelih dua ekor kambing. Sedangkan bila yang lahir anak perempuan, maka cukup menyembelih satu ekor kambing.47 Perlakuan ini meskipun mendapat dukungan dari hadis, namun mengindikasikan perlakuan yang diskriminatif terhadap perempuan. Demikian juga terdapat perlakuan yang berbeda antara anak laki dan perempuan dalam hal air kencing. Untuk kencing anak laki-laki, cukuplah dipercikkan air, sedangkan untuk anak perempuan harus disiram dengan air.48

Dalam hal ibadah shalat sebagai ibadah yang paling penting, juga terdapat perlakuan yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Hal ini diindikasikan atas beberapa hal antara lain: Pertama, laki-laki sebaiknya shalat jama‟ah dimasjid sedangkan perempuan lebih utama shalat di dalam rumahnya.49 Kedua, dalam hal mengingatkan imam bila keliru, laki-laki dengan cara membaca tasbih, sedangkan perempuan cukup dengan cara bertepuk tangan.50 Hal ini dikarenakan suara wanita dianggap sebagai aurat. Ketiga, dalam hal berjamaah, perempuan tidak dapat menjadi imam bagi laki-laki.51 Selain itu tempat shaf perempuan yang afdal adalah yang paling belakang.52 Hal ini berbeda dengan tempat shaf laki-laki yang dipandang paling afdal adalah yang terdepan.

Dalam persoalan pernikahan, perempuan dalam konstruksi kitab-kitab fiqh klasik seringkali diperlakukan sebagai obyek. Masdar mencatat paling tidak ada enam ketentuan yang mengindikasikan hal tersebut, antara lain: Pertama, laki-lakilah yang berhak menikahi, sedangkan perempuan statusnya sebagai dinikahi. Hal ini dapat diindikasikan dari adanya mahar (mas kawin) yang diserahkan laki-laki kepada perempuan. Kedua, perempuan yang akan dinikahi boleh dilihat dan diperiksa oleh laki-laki (orang yang hendak melamar) seperti halnya memeriksa barang dalam proses penawaran. Ketiga, karena laki-laki merupakan subyek dalam pernikahan, maka hal itu berimplikasi laki-laki pula yang berhak menjadi subyek perceraian. Keempat, jika talak

47

Pendapat ini didasarkan pada sebuah hadis: ةبش ةيربجلا نعو نبتئفبكم نبتبش ملاغلا نع , lihat. Wahbah az-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, (Damaskus: Dar al-Fikr, 2004), IV: 2747.

48

Misal, lihat, Abi Yahya Zakariyya, Fath al-Wahhab, (Semarang: Toha Putra, tt), I: 21. 49Ibid

.,I: 59. 50Ibid

., I: 51. 51

Lihat, Taqiyuddin Abu Bakar, Kifayah al-Akhyar, (Semarang: Toha Putra, tt), 135; Abi Yahya Zakariyya, Fath al-Wahhab…, I: 62.

52

(17)

17 telah dijatuhkan oleh laki-laki kepada perempuan (istrerinya), kemudian laki-laki bila berkeinginan untuk kembali (ruju’), maka hasrat itu mutlak berjalan selama masih dalam masa menunggu (‘iddah). Dalam hal ini perempuan (isteri) tidak berhak menolaknya kecuali bila talak yang dijatuhkan adalah talak bain. Kelima, keharusan agama atas perempuan untuk memenuhi permintaan suami, termasuk dalam hal-hal yang menurut agama sunah dilaksanakan. Misalnya, permintaan suami agar isterinya tidak lagi membiasakan puasa senin-kamis. Terutama permintaan yang berkaitan dengan hasrat seksual, anjuran agama sangat kuat supaya isteri mengabulkannya. Bahkan hal ini dikuatkan oleh sebuah hadis yang menjelaskan bahwa isteri yang menolak permintaan kumpul suaminya dan kemudian suaminya kecewa, maka perempuan tersebut mendapat kutukan dari malalaikat hingga pagi. Keenam, larangan perempuan (isteri) untuk keluar rumah tanpa seizin laki-laki (suaminya).53

Persoalan yang memiliki kesan diskriminatif memang banyak terdapat dalam pernikahan. Dalam hal ini terdapat banyak problem yang terkesan memposisikan perempuan dalam posisi yang rendah daripada laki-laki. Sebagai misal laki-laki dapat dengan sendiri melakukan akad nikahnya, sedangkan perempuan mengahadapi perlakuan yang berbeda. Pada umumnya, kitab-kitab fiqh klasik membuat perbedaan antara perempuan janda dan gadis. Bila perempuan janda, maka dia tidak boleh dikawinkan secara paksa. Berbeda bagi perempuan perawan, dia boleh dikawinkan secara paksa oleh walinya. Problem lainnya adalah terkait dengan wali nikah yang semuanya merupakan laki-laki.54 Demikian juga terkait dengan kebolehan laki-laki untuk menikahi perempuan lebih dari satu, sedangkan perempuan hanya diperbolehkan memiliki seorang suami saja.

Konstruksi kitab-kitab fiqh klasik juga membedakan perempuan dan laki-laki dalam hal derajat dan bagiannya. Dalam hal ini, derajat laki-laki dalam konstruksi fiqh dipandang sama dengan dua kali anak perempuan. Terkait dengan persoalan kesaksian

53 Masdar F. Mas‟udi, “Perempuan Diantara Kitab Lembaran Kitab Kuning”, dalam Mansour Fakih et.al, Membincang Feminisme, Diskursus Gender Perspektif Islam, (Surabaya: Risalah Gusti, 2000), hlm. 172-173.

54

(18)

18 misalnya, kesaksian dua perempuan sederajat dengan kesaksian satu laki-laki.55 Demikian juga terkait dengan bagian warisan bagi anak laki-laki dan perempuan. Bagian anak perempuan berbeda dengan anak laki-laki, yakni bagian perempuan setengah bagian laki-laki.56

Berbagai perlakuan diskrimatif terhadap perempuan dalam khazanah keislaman tidaklah hanya terdapat dalam tafsir, hadis dan fiqh saja sebagaimana deskripsi di atas, namun telah ada di semua disiplin yang ada. Hal ini dapat juga dilihat dalam khazanah tasawuf57, kalam58 dan bahkan filsafat59. Walaupun demikian, khazanah tersebut haruslah dipahami dengan memposisikan dan membacanya sesuai dengan karakter nilai-nilai budaya yang melingkupinya. Dengan demikian, pembacaan kritis haruslah dipakai dalam membaca berbagai literatur klasik dan upaya untuk melakukan dekontruksi terhadap literatur-literatur klasik yang bias gender adalah layak untuk diupayakan.

PEREMPUAN MASA ISLAM KONTEMPORER: NALAR KESETARAAN

Para pemikir kontemporer umumnya telah beranjak untuk menengedepankan nalar emansipatoris dan kesetaraan dalam menafsirkan teks-teks keagamaan yang ada. Perubahan dalam memahami relasi antara laki-laki dan perempuan ini didasarkan pada perubahan paradigma dan prinsip yang digunakan dalam memahami teks-teks

al-Qur‟an. Dalam hal ini, ada empat prinsip al-Qur‟an yang muncul dan dijadikan landasan dalam memahami kesetaraan antara laki-laki dan perempuan,60 yaitu: Pertama, laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai hamba. Al-Qur‟an menjelaskan bahwa tujuan penciptaan manusia adalah untuk menyembah kepada Tuhan.61 Dalam kapasitas sebagai hamba, tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Hal lain yang mengindikasikan prinsip ini adalah bahwa dalam kapasitas sebagai hamba, laki-laki dan

55

Hal ini didasarkan pada S. al-Baqarah, 2: 282. 56

Hal ini didasarkan pada S. an-Nisa>', 4: 11.

57Lihat, kajian Kautsar Azhari Noer dan Oman Fathurrahman, “Pria

-Wanita dalam Korespondensi

Kosmis: Perempuan dalam literatur tasawuf” dalam Ali Munhanif (ed.), Mutiara Terpendam: Perempuan Dalam Literatur islam Klasik, (Jakarta: Gramedia, 2002), hlm. 209-258.

58Lihat, Syafiq Hasyim, “Gambaran Tuhan yang Serba Maskulin: perspektif Gender Pemikiran

Kalam” dalam Ali Munhanif (ed.), Mutiara Terpendam: Perempuan Dalam Literatur islam Klasik, (Jakarta: Gramedia, 2002), hlm. 146-190.

59Lihat, Mulyadi Kartanegara, “ Mitos

-mitos Kecantikan…,hlm. 191-208. 60

Nasaruddin Umar, Qur’an Untuk …, hlm. 5-24. 61

(19)

19 perempuan akan mendapatkan penghargaan dari Allah sesuai dengan kadar pengabdiannya.62

Kedua, laki-laki dan perempuan sama-sama terlibat aktif dalam drama kosmis. Dalam al-Qur‟an, semua ayat yang menceritakan tentang drama kosmis, yakni cerita tentang keadaan Adam dan pasangannya di surga samapai keluar ke bumi, selalu menekankan kedua belah. Indikasi ini dapat dilihat dari kata ganti untuk kedua orang (huma) yang digunakan al-Qur‟an untuk kata ganti Adam dan pasangannya dalam drama kosmis. Seperti yang terdapat dalam kasus-kasus, antara lain: (1) keduanya diciptakan di surga dan memanfaatkan fasilitas surga.63 (2) keduanya mendapatkan kualitas godaan yang sama dari syaitan.64 (3) keduanya sama-sama memakan buah khuldi dan keduanya menerima akibat yang sama, yakni jatuh ke bumi.65 (4) keduanya sama-sama memohon ampun dan sama-sama diampuni Tuhan.66 (5) setelah di bumi, keduanya mengembangkan keturunan dan saling melengkapi dan saling membutuhkan.67

Ketiga, laki-laki dan perempuan menerima perjanjian primordial. Al-Qur‟an memberikan informasi bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama mengemba amanah dan menerima perjanjian primordial dengan Tuhan.68 Dalam proses ikrar ketuhanan ini, tidak terdapat diskriminasi jenis kelamin dan laki-laki serta perempuan menyatakan ikrar ketuhanan yang sama.

Keempat, laki-laki dan perempuan berpotensi meraih prestasi. Al-Qur‟an menjelaskan bahwa dalam hal meraih peluang maksimum, tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan.69 Dengan demikian, al-Qur‟an mengisyaratkan konsep kesetaraan gender dan memberikan ketegasan bahwa prestasi individual baik dalam bidang spiritual maupun urusan karir profesional.

Keempat prinsip tersebut merupakan pondasi yang digunakan dalam memahami relasi antara laki-laki dan perempuan. Implikasi dari hal tersebut, para ulama feminis cenderung memahami posisi laki-laki dan perempuan setara dan menggugat pemahaman para ulama klasik yang cenderung diskriminatif terhadap perempuan. Terkait dengan persoalan asal-usul penciptaan manusia misalnya, para ulama

62

S. an-Nahl, 16: 97. 63

S. al-Baqarah, 2: 35. 64

S. al-A‟raf, 7: 20. 65

S. al-A‟raf, 7: 22. 66

S. al-A‟raf, 7: 23. 67

S. al-Baqarah, 2: 187. 68S. A‟raf, 7: 172. 69

(20)

20 kontemporer menolak konsep bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam. Riffat

Hasan misalnya, menganggap bahwa penafsiran “nafs wahidah” sebagai Adam dan

zaujaha” sebagai Hawa tidak dapat diterima. Menurutnya, kata “nafs” dalam bahasa Arab bersifat netral dan tidaklah merujuk pada kepada laki-laki atau perempuan.

Demikian juga kata “zawj” yang juga bersifat netral dan berarti pasangan yang bisa laki -laki ataupun perempuan. Dengan demikian, al-Qur‟an tidak menyatakan bahwa Adam merupakan manusia pertama serta tidak menyatakan bahwa Adam adalah laki-laki. Riffat menambahkan, Adam adalah kata benda maskulin hanya secara linguistik, dan

bukan menyangkut jenis kelamin. Dalam hal ini, istilah Adam sama dengan “al-insan wa basyar” dan “an-nas” yang menunjukkan manusia dan sama sekali tidak menunjukkan jenis kelamin.70 Dengan demikian, bagi Riffat Hasan, Adam dan Hawa diciptakan secara bersama-sama dan dari substansi yang sama juga.71 Dengan demikian Riffat menolak pendapat yang menganggap bahwa adam diciptakan dari tanah dan Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam sebagaimana pemikiran ulama klasik.

Terkait dengan pemahaman atas Q.S an-Nisa>‟(4): 34, para mufasir kontemporer juga menggugat pemahaman para pemikir klasik yang mayoritas masih mengedepankan nalar patriarkhis dalam menafsirkan teks-teks keagamaan. Dalam hal ini, para pemikir kontemporer umumnya tidak lagi memahami kata qawwam sebagaimana pemahaman para ulama klasik. Asghar Ali Engineer misalnya, memahami qawwan dalam Q.S an-Nisa>‟(4): 34 dengan kelebihan tertentu kepada laki-laki atas perempuan, bukan karena kelemahan inheren yang ada pada diri perempuan tetapi konteks sosialnya. Dalam hal

ini, jelas bahwa “keunggulan” (fad}ilat) yang diberikan Allah kepada satu atas yang lain atau kepada laki-laki atas perempuan bukan keunggulan jenis kelamin. Akan tetapi, karena laki-laki mencari nafkah dan membelanjakan hartanya untuk perempuan. Karena faktor itulah, laki-laki memperoleh keunggulan fungsional atas perempuan. Engineer menambahkan, dalam al-Qur‟an hanya diungkapkan bahwa laki-laki adalah qawwa>m dan tidak diungkapkan bahwa mereka harus menjadi qawwa>m. Seandainya, dalam

al-Qur‟an diungkapkan bahwa laki-laki harus menjadi qawwa>m, maka ungkapan

al-Qur‟an tersebut akan menjadi sebuah penyataan normatif dan dan pastilah akan

mengikat bagi semua perempuan pada semua zaman dan dalam semua keadaan, tetapi

70

Lihat, Riffat Hasan, “Isu-isu Kesetaraan Laki-laki- Perempuan dalam Tradisi Islam” dalam Fatima Mernisi dan Riffat Hasan, Setara di Hadapan Allah, Relasi Laki-laki dan Perempuan dalam Tradisi Islam Pasca Patriarkhi, terj. Team LSPPA, (Yogyakarta: LSPPA, 1995), hlm. 47.

71Ibid

(21)

21 Allah tidak menginginkan hal itu.72 Dengan demikian, menurut Engineer, ayat itu diwahyukan sebagai anjuran yang menyejukkan demi mengendalikan kekerasan laki-laki terhadap perempuan dan menganjurkan mereka untuk menyesuaikan diri dalam masyarakat yang didominasi laki-laki. Rasulullah Saw bersabda bahwa “tidak seorang pun boleh memukul interinya sebagaimana memukul seorang budak, karena pada waktu malam kita akan bersamanya lagi.”73

Dalam al-Qur‟an, sama sekali tidak diungkapkan bahwa “semua laki-laki otomatis

memiliki kelebihan atas semua kaum perempuan”. Karena itu, dalam al-Qur‟an, kelebihan atau keunggulan tersebut tidaklah bersifat absolut melainkan bersifat relatif. Misalnya, dalam al-Qur‟an diungkapkan bahwa “Allah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian (lain)”. Jelas secara implisit dapat dikatakan bahwa sebagian perempuan juga sangat mungkin memilki kelebihan atas sebagian laki-laki. Al-Qur‟an sama sekali tidak menegaskan superioritas atas dasar gender, seperti kalangan konservatif memahaminya.

Dari penjelasan di atas, nampak para pemikir kontemporer memahami jalinan relasi antara laki-laki dan perempuan dengan konstruksi yang setara. Hal tersebut tentunya berbeda dengan perspektif para mufassir klasik atau pertengahan yang masih memahami posisi perempuan dengan konstruksi patriarkhis. Dengan demikian dalam masa kontemporer, nalar yang muncul adalah nalar kesetaraan, yakni memiliki pandangan bahwa laki-laki memiliki status yang setara dengan perempuan.

PENUTUP

Berkaitan dengan laki-laki dan perempuan dalam pemikiran Islam selama ini lebih banyak menyandarkan dalam dimensi normativitas. Para ulama dan akademisi menitikberatkan pada diskusi tentang relasi laki-laki dan perempuan dalam al-Qur‟an dan teks-teks keagamaan. Tentu saja tidak dapat dipungkiri bahwa dalam al-Qur‟an dan teks-teks keagamaan, memiliki nuansa patriarkhi yang begitu kuat. Keberadaan al-Qur'an yang bernuansa patriarkhi tersebut sebenarnya wajar adanya, karena realitas konteks yang ada saat teks al-Qur'an turun sangat didominasi dengan budaya patriarkhi. Selain itu, proses penafsiran yang kemudian melahirkan teks-teks keagamaan juga senantiasa melibatkan kontestasi untuk menetapkan otoritas dan kompetensi „penafsir‟

72

Asghar Ali Engineer, Hak-hak Perempuan dalam Islam, terj. Farid Wajidi, (Yogyakarta: LSPPA, 1994), hlm. 61-63.

73Ibid

(22)

22 baik dari segi strata sosial, etnisitas dan juga gender. Dengan demikian, dalam konstruksi budaya patriarkhi, para penafsir yang mayoritas kaum laki-laki kemudian juga memunculkan teks-teks keagamaan yang bernuansa patriarkhi.

Namun kenyataan superioritas laki-laki atas perempuan dengan melihat pada dimensi normativitas agama agaknya tidak bisa dipertahankan tanpa melihat aspek dimensi historisitasnya. Pendekatan historis akan memberikan informasi lebih signifikan mengenai konteks dan dinamika perubahan secara periodik mengenai posisi perempuan. Karena pada dasarnya, perubahan mengenai posisi perempuan bisa disandingkan dengan pola pengharaman terhadap khamar yang bersifat evolutif. Logika ini bisa dihubungkan dengan pola historis bagaimana perbudakan yang ada dalam justifikasi teks-teks keagamaan juga tidak lagi berlaku dalam realitas kehidupan kontemporer. Dengan demikian dengan menggunakan teori progress, relasi laki-laki dan perempuan pada dasarnya juga bersifat evolutif, yakni dari nalar misoginis menuju nalar marjinal dan berakhir pada nalar kesetaraan.

(23)

23 M. Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historisitas, cet. ke-3, Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2002.

Asma Barlas, Cara Qur'an Membebaskan Perempuan, terj. R. Cecep Lukman Yasin, Jakarta: Serambi, 2005.

Siti Ruhaini Dzuhayatin, “Pergulatan Pemikiran Feminis dalam Wacana Islam di

Indonesia” dalam Siti Ruhaini Dzuhayatin dkk, Rekontruksi Metodologis Wacana Kesetaraan Gender dalam Islam, Yogyakarta: PSW IAIN Sunan Kalijaga - McGill-ICIHEP, 2002.

Akh. Minhaji, “Pendekatan Sejarah dalam Kajian Hukum Islam” dalam Jurnal Mukaddimah, No. 8. Th. V/1999.

Graham C. Kinlock, Perkembangan dan Paradigma Utama Teori Sosiologi, terj. Dadang Kahmad, (Bandung: Pustaka Setia, 2005.

Frans Magnis-Suseno, Pemikiran Karl Marx dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme, Jakarta: Gramedia, 2000.

Joachim Wach, Ilmu Perbandingan Agama, terj. Jam‟anuri, Jakarta: Rajawali Press, 1992.

Stephen K. Sanderos, Sosiologi Makro, Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosial, terj. Farid Wajidi dan S. Menno, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1995.

Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Qur’an, Jakarta: Paramadina, 2001.

Wahiduddin Khan, Antara Islam dan Barat: Perempuan di Tengah Pergumulan, terj. Abdullah Ali, Jakarta: Serambi, 2001.

Muh}ammad Syah}r>ur, Nah}w>a Us}>ul jadid>ah li al-Fiqh al-Isl>am>i, Damaskus: al-Ahaly, 2000.

Nelly Van Doorn-Harder, Menimbang Tafsir Perempuan Terhadap al-Qur’an, terj. Josien Folbert, Salatiga: Pustaka Percik, 2008.

Mulyadi Kartanegara, “Mitos-mitos Kecantikan dan Kelembutan: Perempuan Dalam

Literatur Filsafat” dalam Ali Munhanif (ed.), Mutiara Terpendam: Perempuan Dalam Literatur islam Klasik, Jakarta: Gramedia, 2002.

Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, cet. ke-11, Bandung: Mizan, 2000.

Laela Ahmed, Wanita dan Gender dalam Islam, Akar-akar Historis Perdebatan Modern, terj. M. S. Nasrullah, Jakarta: Lentera, 2000.

Qasim Amin, Sejarah Penindasan Perempuan, terj. Syariful Alam, Yogyakarta: IRCiSoD, 2003.

Ismail R. al-Faruqi dan Louis Lamya al-Faruqi, The Cultural Atlas of Islam, New York: Macmillan Publishing Company, 1986.

Fadwa El Guindi, Jilbab, Antara Kesalehan, Kesopanan dan Perlawanan, terj. Mujiburahman, Jakarta: Serambi, 2003.

Freyer Stowasser, Woman in the Qur’an, Tradition and Intepretation Oxford: Oxford University Press, 1994.

Ira L. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, terj. Ghufran A. Mas‟adi, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1999.

Khoiruddin Nasution, Fazlur Rahman Tentang Wanita, Yogyakarta: Tazzafa dengan ACAdeMIA, 2002.

Asghar Ali Engineer, Hak-hak Perempuan dalam Islam, terj. Farid Wajidi dan Cici Farkha Assegaf, Yogyakarta: Bentang, 1994.

(24)

24 Khalil Abdul Karim, Syari’ah Sejarah Perkelahian Pemaknaan, terj. Kamran As‟ad,

Yogyakarta: LKiS, 2003.

Wahbah az-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Damaskus: Dar al-Fikr, 2004. Abi Yahya Zakariyya, Fath al-Wahhab, Semarang: Toha Putra, tt.

Taqiyuddin Abu Bakar, Kifayah al-Akhyar, Semarang: Toha Putra, tt.

Masdar F. Mas‟udi, “Perempuan Diantara Kitab Lembaran Kitab Kuning”, dalam

Mansour Fakih et.al, Membincang Feminisme, Diskursus Gender Perspektif Islam, Surabaya: Risalah Gusti, 2000.

Kautsar Azhari Noer dan Oman Fathurrahman, “Pria-Wanita dalam Korespondensi

Kosmis: Perempuan dalam literatur tasawuf” dalam Ali Munhanif (ed.),

Mutiara Terpendam: Perempuan Dalam Literatur islam Klasik, Jakarta: Gramedia, 2002.

Syafiq Hasyim, “Gambaran Tuhan yang Serba Maskulin: perspektif Gender Pemikiran Kalam” dalam Ali Munhanif (ed.), Mutiara Terpendam: Perempuan Dalam Literatur islam Klasik, Jakarta: Gramedia, 2002.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini juga didukung oleh Deria (2009) dan Astuti (2011) bahwa, penanganan komplin dengan cara interactional justice berpengaruh positif dan signifikan

Definisi Islam dirumuskan dengan “Islam agama rahmatan lil’ālamîn” (agama yang mengayomi seluruh alam), yang maknanya, umat Islam sadar bahwa adanya keragaman memang

Meningkatkan pengawasan terhadap tingkah laku Hakim, Panitera/Wakil Panitera/Panitera Muda/Panitera Pengganti dan Jurusita/Jurusita Pengganti, dalam pelaksanaan tugas

Jumlah penduduk yang besar bisa menjadi faktor penting bagi suksesnya Pembangunan Nasional, yaitu sebagai sumberdaya manusia yang potensial dan produktif dalam

Rekayasa perangkat lunak tidak hanya berhubungan dengan proses teknis dari pengembangan perangkat lunak tetapi juga mencakup kegiatan manajemen proyek perangkat lunak

Walaupun tidak ada perberbedaan pad hari ke-21, jika di lihat perbedaan rata rata dari ke dua kelompok tersebut yaitu nilai rata rata salep binahong dosis 50% yaitu 15,67 dan

”Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau

Skripsi yang berjudul “Pengaruh Pemberian Ekstrak Air Daun Angsana Terhadap Makroskopis Dan Histopatologi Organ Hati Dan Otot Mencit Pada Uji Toksisitas Subkronis”