• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Perilaku - Karakteristik dan Perilaku Petugas Cleaning Service Mengenai Pengelolaan Limbah Padat Medis Terhadap Risiko Kecelakaan Kerja di RSU Permata Bunda Medan Tahun 2014

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Perilaku - Karakteristik dan Perilaku Petugas Cleaning Service Mengenai Pengelolaan Limbah Padat Medis Terhadap Risiko Kecelakaan Kerja di RSU Permata Bunda Medan Tahun 2014"

Copied!
47
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Perilaku

Menurut Ensiklopedia amerika yang dikutip oleh Notoadmodjo (1993), perilaku diartikan sebagai suatu aksi reaksi organisme terhadap lingkungannya. Perilaku baru terjadi apabila ada sesuatu yang di perlukan untuk menimbulkan reaksi yang disebut rangsangan. Dengan demikian maka suatu rangsangan tertentu akan menghasilkan reaksi atau perilaku tertentu.

Perilaku dapat dikelompokkan menjadi 3 (Kuswadi, 1994):

1. Perilaku dalam bentuk pengetahuan, yakni dengan mengetahui situasi atau rangsangan dari luar.

2. Perilaku dalam bentuk sikap, yakni tanggapan batin terhadap keadaan atau rangsangan dari luar subjek. Walaupun sangat sukar diketahui tetapi sikap merupakan hal yang penting dalam menentukan corak perilaku selanjutnya.

3. Perilaku dalam bentuk tindakan, yakni perilaku yang berbentuk perbuatan (action) terhadap situasi atau rangsangan dari luar.

2.1.1 Pengetahuan (Knowledge)

(2)

diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang.

Dari pengalaman dan penelitian terbukti bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Penelitian Rogers (1974) yang di kutip Notoatmodjo (1993), mengungkapkan sebelum orang berperilaku baru didalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan yakni:

1. Awareness (kesadaran), dimana orang tersebut menyadari dalam arti pengetahuan terlebih dahulu terhadap stimulus (objek).

2. Interest (merasa tertarik), dimana orang mulai tertarik kepada stimulus.

3. Evaluation (menimbang-nimbang), terhadap baik dan tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya. Hal ini berarti sikap respon sudah lebih baik lagi.

4. Trial (mencoba), dimana orang telah mulai mencoba perilaku baru.

5. Adoption (mengadopsi), dimana subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus, tetapi Rogers menyimpulkan bahwa perubahan perilaku tidak selalu melewati tahap-tahap tersebut.

Tingkat Pengetahuan mempunyai 6 tingkatan, yakni tahu (know), memahami (comprehension), aplikasi (application), analisis (analysis), sintesis (Synthetis) dan evaluasi (evaluation).

(3)

menanyakan tentang isi materi yang ingin di ukur dari subjek penelitian atau responden. Kedalaman pengetahuan pengetahuan yang ingin di ketahui dapat disesuaikan dengan tingkat-tingkat tersebut diatas.

2.1.2 Sikap (Attitude)

Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek. Pengertian sikap menurut New Comb, salah seorang ahli psykologi sosial yang dikutip oleh Notoatmodjo (1993), mengatakan bahwa sikap merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu.

Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi adalah predisposisi tindakan suatu perilaku. Sikap itu masih merupakan reaksi tertutup bukan reaksi terbuka. Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap objek dilingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek (Notoatmodjo, 1993)

Menurut Allport (1954) yang dikutip oleh Notoatmodjo menjelaskan bahwa sikap mempunyai tiga komponen pokok yaitu: kepercayaan, ide dan konsep terhadap suatu objek, kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek serta kecenderungan untuk bertindak.

Seperti halnya pengetahuan, sikap terdiri dari empat tingkatan: 1. Menerima (reciving)

(4)

2. Merespon (responding)

Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap.

3. Menghargai (valuing)

Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga.

4. Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko merupakan sikap yang paling tinggi.

2.1.3 Tindakan (Practice)

Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan. Untuk terwujudnya suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan antara lain dalah fasilitas, disamping faktor fasilitas juga diperlukan faktor dukungan (support) dari pihak lain.

Menurut Notoatmodjo (1993), tindakan mempunyai beberapa tingkatan yaitu: 1. Persepsi (perseption) yaitu mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan

dengan tindakan yang akan diambil.

2. Respon terpimpin (guided respone), bila seseorang dapat melakukan sesuatu dengan urutan yang benar.

(5)

Adaptasi (adaptation ) merupakan suatu praktek atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik, diantaranya tindakan itu sudah dimodifikasinya tanpa mengurangi kebenaran tindakan tersebut.

Pengukuran tindakan dilakukan secara langsung dengan cara observasi tindakan atau kegiatan yang dilakukan, sedangkan secara tidak langsung melalui wawancara dengan menggunakan kuisioner.

2.2 Faktor-faktor yang Memengaruhi Perilaku dalam Pengelolaan Limbah Padat Medis

Menurut Arifin (2009), limbah rumah sakit adalah semua sampah dan limbah yang dihasilkan oleh kegiatan rumah sakit dan kegiatan penunjang lainnya. Menurut Permenkes RI No. 1204/Menkes/SK/X/2004, limbah rumah sakit yaitu semua limbah yang dihasilkan dari kegiatan rumah sakit dalam bentuk padat, cair dan gas. Dalam upaya pengelolaan limbah rumah sakit, diperlukan peran serta petugas pengelolaan limbah yaitu perawat dan cleaning servis serta peralatan-peralatan yang memadai dari segi kuantitas dan kualitas. Namun, hal yang paling utama adalah bagaimana perilaku petugas pengelolaan limbah tersebut dalam memproses limbah medis rumah sakit agar tidak membahayakan lingkungan.

(6)

Robbins (2002) merumuskan bahwa perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar), namun dalam memberikan respons sangat tergantung pada karakteristik atau faktor-faktor lain dari orang yang bersangkutan. Faktor-faktor yang membedakan respons terhadap stimulus yang berbeda disebut determinan perilaku.

Menurut Green yang dikutip dari oleh Notoadmodjo (2007), yang mendasari timbulnya perilaku dapat dikelompokkan menjadi faktor predisposisi (predisposing factor), faktor pendukung (enabling factor) dan faktor pendorong (reinfocing factor). Faktor-faktor yang tergolong sebagai faktor predisposisi (predisposing factor) antara lain pengetahuan, sikap, jenis kelamin, pendidikan, umur dan lama bekerja, faktor pendukung (enabling factor) antara lain mencakup ketersediaan sarana dan prasarana dalam hal ini peralatan ataupun perlengkapan pengelolaan limbah padat medis rumah sakit yang meliputi kualitas dan kuantitas alat. Sedangkan faktor pendorong (reinfocing factor) mencakup tidak langsung yang memengaruhi perilaku petugas (perawat dan cleaning servis) di rumah sakit yang meliputi peran kepala perawatan atau pengawas instalasi pengelolaan limbah medis serta peraturan-peraturan dari rumah sakit tentang pengelolaan limbah juga mengenai sistem informasi tata cara pengelolaan limbah rumah sakit.

2.2.1. Faktor Predisposisi (Predisposing Factor)

(7)

medis yang berperan dalam tindakan petugas tersebut dalam upaya pengelolaan limbah padat medis.

1. Pengetahuan

Pengetahuan merupakan ranah yang sangat penting bagi terbentuknya perilaku. Perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan cenderung tidak bersifat langgeng atau berlangsung lama (Notoatmodjo, 2007). Selanjutnyamenurut soekidjo pengetahuan adalah merupakan hasil “tahu” dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indra manusia, yaitu indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga.

Pengetahuan yang di cakup dalam ranah pengetahuan mempunyai enam tingkatan, yaitu:

a. Tahu (know), tahu diartikan pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) terhadap sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau dirangsang yang telah diterima. Oleh karena itu “tahu” ini adalah merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah.

b. Memahami (comprehension), memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara benar tentang obyek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi harus dapat menjelaskan, menyebut contoh, menyimpulkan, meramalkan dan sebagainya terhadap obyek yang dipelajari.

(8)

Aplikasi disini dapat diartikan penggunaan metode, rumus, prinsip dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.

d. Analisis (analysis), analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu obyek kedalam komponen-komponen, tetapi masih didalam suatu struktur tersebut dan masih ada kaitannya satu sama lain.

e. Sintesis (synthesis), sintesis menunjukkan pada kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian didalam bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis itu suatu kemampuan untuk menyusun formulasi-formulasi yang ada.

f. Evaluasi (evaluation), evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau obyek.

2. Sikap

Sikap individu tidak terlepas dari perilaku, sebab proses terjadinya perilaku seseorang berlangsung karena adanya sikap orang terhadap obyek. Menurut Berkowitz dalam kutipan Azwar (1987) sikap seseorang terhadap suatu obyek adalah perasaan mendukung atau memihak (favourable), maupun perasaan tidak mendukung atau memihak (unfavourable), pada obyek tersebut.

(9)

tersebut. Sebaliknya kalau orang bersikap negatif terhadap suatu obyek, orang tersebut akan menjauhi, menolak, menggagalkan atau menghindari obyek tersebut.

Sedangkan Edgley yang dikutip Azwar (1987), mendefenisikan sikap sebagai suatu pola prilaku, tendensi atau kesiapan antisipatif, predisposisi untuk menyesuaikan diri dalam situasi sosial yang telah terkondisikan. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Notoatmojo (2007) bahwa sikap belum merupakan suatu perilaku tertentu. Dari bahan-bahan di atas dapat disimpulkan bahwa manifestasi sikap itu tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu. Dalam diri individu sebenarnya terdapat suatu dorongan yang didasarkan pada kebutuhan, perasaan, perhatian dan kemampuan untuk mengambil suatu keputusan pada suatu saat terhadap suatu perubahan atau stimulus. Proses dalam tahapan ini sesungguhnya masih bersifat tertutup, tetapi sudah merupakan keadaan yang disebut sikap. Bila terus menerus diarahkan, maka pada suatu saat akan meningkatkan menjadi lebih terbuka dan berwujud pada suatu reaksi yang berupa perilaku (Notoatmodjo, 2007). 3. Jenis Kelamin

(10)

Tidak ada perbedaan yang konsisten antara pria dan wanita dalam kemampuan memecahkan masalah, keterampilan analisis, dorongan kompetitif, motivasi, sosiabilitas atau kemampuan belajar. Namun studi-studi psikologis telah menemukan bahwa wanita lebih bersedia untuk memenuhi wewenang, dan pria lebih agresif dan lebih besar kemungkinannya dari pada wanita dalam memiliki pengharapan untuk sukses. Bukti yang konsisten juga menyatakan bahwa wanita mempunyai tingkat kemangkiran yang lebih tinggi dari pada pria (Robbins, 2002). 4. Pendidikan

Pendidikan seseorang memengaruhi cara berfikir dalam menghadapi pekerjaan. Santis dikutip oleh Notoatmojo (2003) dimana dalam penelitiannya membuktikan bahwa pendidikan adalah salah satu faktor yang memengaruhi pendapatan dan cara kerja seseorang.

(11)

menerima informasi sehingga makin banyak pula pengetahuan yang dimiliki. Pendidikan diperlukan untuk mendapatkan informasi misalnya hal-hal yang menunjang kesehatan, sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup. Pendidikan dapat memengaruhi seseorang termasuk juga perilaku seseorang akan pola hidup terutama dalam memotivasi untuk siap berperan serta dalam pembangunan kesehatan. Makin tinggi tingkat pendidikan seseorang, makin mudah menerima informasi sehingga makin bnayak pula pengetahuan yang dimiliki, sebaliknya pendidikan yang kurang akan menghambat perkembangan sikap seseorang terhadap nilai-nilai yang baru diperkenalkan. Pendidikan adalah suatu proses belajar yang berarti di dalam pendidikan itu dan terjadi proses pertumbuhan, perkembangan atau berubah ke arah yang lebih dewasa, lebih baik dan matang pada diri individu, kelompok atau masyarakat.

Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka akan memengaruhi pola fikir yang nantinya akan berdampaka apda tingkat kepuasan kerja. Pendapat lain juga dikemukakan oleh Robbins (2002), bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan, maka tuntutan-tuntutan terhadap aspek-aspek kepuasan kerja di tempat kerjanya akan semakin meningkat.

5. Umur

(12)

seseorang lebih dewasa lebih dapat dipercaya dari orang yang belum tinggi tingkat kedewasaannya. Hal ini merupakan bagian dari pengalaman dan kematangan jiwa.

Umur seseorang memengaruhi kematangan berfikir seseorang dalam berprilaku. Semakin tinggi umur, maka akan tercipta kematangan berfikir, sehingga cenderung berprilaku yang baik. Begitu pula sebaliknya, bila umur masih tergolong belia maka perilakunya masih perlu dilakukan sedikit pertimbangan atau cenderung sesuka hatinya. Dalam pengelolaan limbah padat medis di rumah sakit, umur berpengaruh terhadap upaya tersebut. Penjelasannya sama dengan penjelasan pada kalimat sebelumnya.

Umur memengaruhi produktivitas, alasannya adanya keyakinan yang meluas bahwa produktivitas merosot dengan meningkatnya umur seseorang. Sering diandaikan bahwa keterampilan individu terutama kecepatan, kecekatan, kekuatan dan koordinasi menurun seiring berjalannya waktu, dan bahwa kebosanan pekerjaan yang berlarut-larut dan kurangnya rangsangan intelektual semuanya berhubungan dengan berkurangnya produktivitas. Pada karyawan yang berumur juga dianggap kurang luwes dan menolak teknologi baru. Namun di lain pihak ada sejumlah kualitas positif yang ada pada karyawan yang lebih tua, meliputi: pengalaman, pertimbangan, etika kerja yang kuat dan komitmen terhadap mutu. (Sani , 2012).

6. Lama Bekerja

(13)

yang dibuktikan dengan tingginya tingkat penjualan dan akan berdampak kepada kinerja dan keuntungan yang menjadi lebih baik, sehingga memungkinkan untuk mendapatkan promosi atau kenaikan jabatan (Gibson, 2000).

2.2.2. Faktor Pendukung (Enabling Factor)

Faktor pendukung perilaku adalah fasilitas, sarana ataupun prasarana yang mendukung atau yang memfasilitasi terjadinya perilaku seseorang ataupun masyarakat. Pengetahuan dan sikap saja belum menjamin terjadinya perubahan perilaku, maka masih diperlukan sarana atau fasilitas untuk memungkinkan atau mendukung perilaku tersebut. Dari segi pengelolaan limbah padat rumah sakit, perlu adanya ketersediaan alat-alat tersebut. Jadi, dalam hal ini terpenuhi syarat kuantitas dan kualitas peralatan pengelolaan limbah padat medis di rumah sakit.

Dibutuhkan pedoman tertentu tentang penempatan fasilitas dan penanganannya, disamping untuk memenuhi kebutuhan jabatan seseorang, azas keserasian juga tetap untuk meningkatkan efisiensi kerja pegawai. Keserasian perbandingan antara manusia dengan alat kerja sehingga turut menjamin adanya suasana kerja yang menggairahkan. Peralatan dan perlengkapan harus tepat guna yang diadakan sesuai dengan tingkat kebutuhan (Fathoni, 2006).

2.2.3. Faktor Pendorong (Reinforcing Factor)

(14)

masyarakat. Faktor reinforcing adalah konsekuensi dari determinan perilaku, dimana masyarakat menerima feedback dan setelah itu ada dukungan sosial. Faktor

reinforcing meliputi dukungan sosial, pengaruh dan informasi serta feedback oleh tenaga lainnya.

Faktor ini meliputi faktor sikap dan perilaku tokoh masyarakat, tokoh agama, sikap dan perilaku para petugas kesehatan. Termasuk juga undang-undang, peraturan-peraturan, baik dari pusat maupun pemerintah daerah yang terkait dengan kesehatan. Robbins (2008), mengemukakan bahwa salah satu tugas pimpinan adalah melakukan supervisi terhadap evalusi pelaksanaan kegiatan dalam upaya pencapaian tujuan. Evaluasi yang digunakan berdasarkan efektivitas dan efisiensi. Adanya dua kategori evaluasi yaitu kesesuaian (appropriateness) yang dihubungkan dengan kebutuhan memenuhi tujuan program dan prioritas pilihan dan nilai-nilai yabg tersedia, dan kecukupan (adequency) yang berhubungan dengan masalah dapat terselesaikan melalui kegiatan yang telah diprogramkan. Fathono (2006), menyimpulkan bahwa supervisi yang baik dilakukan sebanyak enam kali dalam satu tahun. Ada hubungan yang bermakna antara supervisi dengan kinerja bidan dimana bidan yang kurang mendapat supervisi mempunyai resiko sebanyak 9,2 kali untuk berkinerja kurang.

Dalam pengelolaan limbah padat medis, faktor yang terkait sebagai faktor

(15)

2.3 Pengertian Rumah Sakit

Menurut UU RI No. 44s Tahun 2009 tentang Kesehatan, rumah sakit adalah institusi yang fungsi utamanya memberikan pelayanan kepada pasien, diagnostik dan teraupetik untuk berbagai penyakit dan masalah kesehatan, baik yang bersifat bedah maupun non bedah. Rumah sakit harus di bangun dan dilengkapi, serta dipelihara dengan baik untuk menjamin pelayanan kesehatan, keselamatan pasien serta harus menyediakan fasilitas yang lapang , tidak berdesak-desakan dan terjamin sanitasinya yang bertujuan untuk kesembuhan pasiennya.

Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI No.983/Menkes /SK/XI/1992 tanggal 12 November tentang Pedoman Organisasi Rumah Sakit yang menyebutkan bahwa rumah sakit umum adalah rumah sakit yang memberikan pelayanan kesehatan yang bersifat dasar, spesialistik dan sub spesialistik. Rumah sakit ini mempunyai misi memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu dan terjangkau oleh masyarakat dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Tugasnya adalah melaksanakan upaya kesehatan secara berdaya guna dan berhasil guna dengan mengutamakan upaya penyembuhan dan pemulihan yang dilaksanakan secara serasi dan terpadu dengan upaya peningkatan dan pencegahan penyakit serta penyulluhan kesehatan bagi masyarakat sekitarnya.

(16)

sarana pelayanan rujukan yang semula hanya melaksanakan upaya peningkatan dan pencegahan secara terpadu dan berkesinambungan (Soejitno, 2002).

2.3.1 Pelayanan Rumah Sakit

Rumah sakit merupakan suatu sub sistem dari pelayanan kesehatan, juga merupakan suatu industri jasa yang berfungsi untuk memenuhi salah satu kebutuhan primer manusia, baik sebagai individu, masyarakat atau bangsa secara keseluruhan untuk meningkatkan hajat hidup yang utama yaitu kesehatan. Dalam upaya menghasilkan masukan, proses dan keluaran pelayanan yang bermutu, efektif, efisien yang berorientasi kepada kepentingan pasien. Departemen Kesehatan RI telah menyusun kriteria-kriteria penting mengenai jenis disiplin pelayanan yang berkaitan terutama dengan struktur dan proses pelayanan rumah sakit. Kroteria tersebut terutama dalam bentuk “standar pelayanan rumah sakit”, sebagai salah satu nilai atau modul yang dijadikan sebagai dasar perbandingan yang harus dipakai oleh pengelola rumah sakit dalam melaksanakan pelayanan yang didasari ilmu pengetahuan dan keterampilan manajemen rumah sakit yang memadai dengan dijiwai oleh etika profesi (Depkes RI, 2002).

2.3.2 Sumber Daya Pengelolaan Limbah di Rumah Sakit

(17)

adalah hal yang paling sangat menentukan dalam hal melakukan proses untuk mencapai suatu tujuan. Sumber daya manusia di rumah sakit terdiri dari sumber daya non medis (cleaning servis dan bagian administrasi) serta sumber daya medis (dokter dan perawat). Tanpa adanya sumber daya baik medis dan non medis maka tidak akan ada proses kerja, sebab pada dasarnya sumber daya manusia adalah makhluk kerja.

Manajemen di rumah sakit tidak terlepas dari sumber daya manusia (sumber daya aktif), koordinasi antar manusia yang dikendalikan untuk mencapai tujuan adalah merupakan proses manajemen yang meliputi 4 (empat) elemen dasar sumber daya manusia:

1. Kegiatan sumber daya untuk mencapai tujuan

2. Proses dilakukan secara rasional melalui manusia lain 3. Menggunakan metode dan teknik tertentu

4. Dan dalam lingkungan organisasi tertentu.

Prinsip-prinsip umum manajemen yang berkaitan dengan sumber daya manusia, sebagai berikut:

1. Adanya pembagian kerja, kualitas anggota perlu di perhatikan baik fisik, mental, pendidikan, pengalaman dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang maha Esa.

2. Disiplin merupakan ketaatan, kepatuhan untuk mengikuti aturan yang menjadi tanggung jawabnya.

3. Kewenangan dan tanggung jawab setiap pekerja untuk melaksanakan pekerjaannya sesuai pembagian tugas yang di berikan kepadanya.

(18)

5. Penggajian pegawai dan karyawan sangat menentukan dalam kelancaran tugas. 6. Pusat kewenangan yang berdampak kepada perumusan pertanggungjawaban

dalam rangka mencapai tujuan.

7. Mekanisme kerja dalam organisasi sehingga anggota tahu siapa yang menjadi atasan dan bertanggung jawab kepada siapa dan sebaliknya.

8. Inovasi pengembangan serta inisiatif dari pekerja agar berkembang kearah perubahan kemajuan.

9. Semangat bekerja sama, yaitu hubungan manajemen dengan sumber daya manusia merupakan proses usaha pencapaian tujuan melalui kerjasama dengan orang lain untuk mencapai tujuan (Marsum dkk. 2009).

Pengorganisasian usaha sanitasi rumah sakit harus mencerminkan fungsi dinamis dengan wadah kegiatan terdiri dari unsur:

1. Pimpinan layanan sanitasi rumah sakit 2. Teknis sanitasi

3. Penunjang layanan sanitasi

Adapun tugas-tugas dalam sanitasi rumah sakit yaitu: 1. Mengembangkan prosedur rutin untuk pelaksanaannya.

2. Melatih dan mengawasi petugas pengelolaan limbah dimulai dari perawat,

cleaning servis hingga petugas khusus yang melakukan pengelolaan limbah padat medis.

(19)

Petugas yang berwenang dalam pelaksanaan usaha sanitasi di rumah sakit yang termasuk didalamnya adalah perawat dan cleaning servis merupakan kunci dalam panitia atau komite keamanan dan harus melaksanakan tugasnya dalam pengawasan infeksi. Petugas harus melakukan suatu pengamatan (surveilence) sanitasi yang efektif dan melaporkan pelaksanaan program yang telah dibuat kepada pimpinan rumah sakit. Petugas khususnya perawat sebagai pemberi layanan kepada penderita dapat memengaruhi proses pengobatan. Hubungan psikobiososial penderita dengan petugas maupun dengan pengunjung dapat memengaruhi hasil penyembuhan, lebih-lebih apabila interaksi faktor biopsikososial ini berproses dalam suasana lingkungan yang bersih, nyaman dan asri (Hapsari, 2010).

2.4 Konsep Limbah Padat Medis di Rumah Sakit 2.4.1 Pengertian Limbah Padat Medis

Limbah padat medis adalah limbah yang langsung dihasilkan dari tindakan diagnosis dan tindakan medis terhadap pasien. Limbah padat medis terdiri dari limbah infeksius, limbah patologi, limbah benda tajam. Limbah farmasi, limbah sitotoksis, limbah kimiawi, limbah radioaktif dan limbah kontainer bertekanan dan limbah dengan kandungan logam berat yang tinggi (Depkes RI, 2004).

(20)

Limbah padat non medis artinya limbah yang dihasilkan dari kegaiatan di luar medis yang berasal dari dapur, perkantoran, taman dan halaman yang dapat dimanfaatkan kembali apabila ada teknologinya. Limbah padat non medis meliputi kertas-kertas pembungkus atau kantong dan plastik yang tidak berkaitan dengan cairan tubuh. Pewadahan limbah padat non medis dipisahkan dari limbah padat medis dan ditampung dalam kantong plastik warna hitam khusus untuk limbah padat non medis (Depkes RI, 2004).

Tabel 2.1 Klasifikasi Limbah Padat Medis yang Berasal dari Rumah Sakit

No Kategori

Limbah Definisi

Contoh Limbah yang Dihasilkan 1 Infeksius Limbah yang terkontaminasi

organisme patogen (bakteri, virus, parasit atau jamur) yang tidak secara rutin ada di lingkungan dan oeganisme tersebut dalam jumlah dan virulensi yang cukup untuk menularkan penyakit pada manusia rentan.

Kultur laboratorium, limbah dari bangsal isolasi, kapas, materi atau peralatan yang tersentuh pasien terinfeksi.

2 Patologis Limbah berasal dari pembiakan dan stock bahan yang sangat infeksius, otopsi, organ binatang percobaan dan bahan lain yang telah diinokulasi, terinfeksi atau kontak dengan bahan yang sangat infeksius.

Bagian tubuh manusia dan hewan (limbah anatomis), darah dan cairan tubuh yang lain, janin.

(21)

Tabel 2.1 (Lanjutan)

No Kategori

Limbah Definisi

Contoh Limbah yang Dihasilkan 4 Benda tajam Merupakan materi yang dapat

menyebabkan luka iris atau luka tusuk. Semua benda tajam ini memiliki potensi bahaya dan dapat menyebabkan cedera melalui sobekan atau tususkan. Benda-benda tajam yang terbuang mungkin terkontaminasi oleh darah, cairan tubuh, bahan mikrobiologi, bahan beracun atau radioaktif.

Jarum suntik, skalpel, piasu bedah, peralatan infus, gergaji bedah dan pecahan kaca.

5 Farmasi Limbah farmasi mencakup produksi farmasi. Kategori ini juga mencakup barang yang akan dibuang setelah digunakan untuk menangani produk farmasi, misalnya botol atau kotak yang berisi residu, sarung tangan, masker, selang penghubung

6 Kimia Mengandung zat kimia yang berbentuk padat, cair, maupun gas yang berasal dari aktivitas diagnostik dan eksperimen serta dari pemeliharaan kebersihan rumah sakit dengan menggunakan desinfektan.

Reagent di laboratorium, film untuk rontgen, desinfektan yang kadaluarsa atau sudah

tidak di perlukan lagi, solven.

7 Radioaktif Bahan yang terkontaminasi dengan radioisotop yang berasal dari penggunaan medis atau riset radio nukleida .

Limbah ini dapat berasal dari antara lain: tindakan kedokteran nuklir, radio-imunoassay dan bakteriologis, dapat berbentuk padat, cair atau gas.

(22)

Tabel 2.1 (Lanjutan)

Limbah yang mengandung logam berat dalam konsentrasi tinggi termasuk dalam sub kategori limbah kimia bernahaya dan biasanya sangat toksik. Contohnya adalah limbah merkuri yang berasal dari bocoran peralatan kedokteran yang rusak.

Thermometer, alat

Limbah yang berasal dari berbagai jenis gas yang digunakan di rumah sakit.

Tabung gas, kaleng, aerosol yang mengandung residu, gas catridge.

(Sumber: Pengelolaan Aman Limbah Layanan Kesehatan, 2005).

2.5 Persyaratan Pengelolaan Limbah Padat Medis di Rumah Sakit

Persyaratan pengelolaan limbah padat medis pada layanan kesehatan sesuai

International Commite of The Red Cross dan keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1204/Menkes/SK/X/2004:

a. Minimisasi Limbah Padat

Minimasi limbah padat medis, ataupun proses daur ulang dilakukan dengan tindakan sebagai berikut:

1. Setiap rumah sakit harus melakukan reduksi limbah dimulai dari sumbernya. 2. Setiap rumah sakit harus memilih produk yang menghasilkan limbah paling

sedikit atau lebih sedikit, misalnya tidak menggunakan pembungkus materi tertentu.

(23)

4. Setiap rumah sakit harus mencegah pemborosan pemakaian alat atau produk tertentu.

5. Setiap rumah sakit harus memilih peralatan yang dapat dipakai kembalai seperti peralatan makan yang dapat dicuci kembali untuk digunakan dari pada yang sekali pakai.

6. Setiap rumah sakit harus dapat mengelola dan mengawasi penggunaan bahan kimia yang berbahaya dan beracun.

7. Limbah yang akan dimanfaatkan kembali harus dipisahkan dari limbah yang tidak dimanfaatkan kembali.

b. Pemilahan, Pewadahan dan Penanganan (Handling)

Pemilahan limbah padat medis adalah proses pengidentifikasian berbagai jenis limbah padat medis dan bagaimana limbah tersebut dikumpulkan secara terpisah. Ada dua prinsip penting dalam proses pemilahan, yaitu:

1. Pemilahan sampah harus selalu menjadi tanggung jawab bagian yang memproduksi mereka. Hal ini harus dilakukan sedekat mungkin dengan tempat dimana limbah dihasilkan. Misalnya perawat harus membuang benda tajam di wadah jarum suntik untuk menghindari pemakaian kembali. Perawat juga harus memasangkan penutup jarum suntik sebelum meletakkannya di wadah limbah yang tergolong tajam.

(24)

pengelolaan limbah rumah sakit, dimana semua staf rumah sakit harus berpartisipasi dalam pelaksanaannya. Pelatihan dan pemeriksaan rutin adalah hal penting.

Cara termudah untuk memilah berbagai jenis limbah adalah dengan mendorong orang untuk menyortir limbah atau untuk mengumpulkan berbagai jenis limbah di wadah terpisah atau kantong plastik dengan warna dan ditandai dengan simbol. Rekomendasi warna dan simbol internasional dapat kita lihat pada tabel berikut ini:

Tabel 2.2 Jenis Wadah dan Label Limbah Medis Padat Sesuai Kategori

(25)

Sampah rumah tangga di rumah sakit diletakkan di wadah plastik berwarna hitam yang selanjutnya diperlakukan sesuai dengan limbah rumah tangga biasa. Tetapi sebelum diangkut, maka sebaiknya dilakukan pemilahan sampah organik dan anorganik. Harus ada persediaan wadah limbah padat medis yang cukup di rumah sakit. Ini adalah tanggung jawab manajemen limbah di suatu rumah sakit.

Berikut ini gambar wadah limbah padat medis dengan kantong plastik berwarna kuning dan wadah limbah padat non medis dengan kantong plastik berwarna hitam.:

Gambar 2.1 Contoh Wadah Limbah Gambar 2.2 Contoh Wadah Limbah

Padat Medis Padat Non Medis

2. Pewadahan limbah padat medis menurut Kepmenkes RI No. 1204/Menkes/SK/X 2004 harus memenuhi persyaratan yaitu:

a. Terbuat dari bahan yang kuat, cukup ringan, tahan karat, kedap air dan mempunyai permukaan yang halus pada bagian dalamnya, misalnya

(26)

b. Di setiap sumber penghasil limbah padat medis harus tersedia tempat pewadahan yang terpisah dengan limbah limbah padat nonmedis.

c. Kantong plastik diangkat setiap hari atau kurang sehari apabila bagian telah terisi limbah.

d. Untuk benda-benda tajam hendaknya ditampung pada tempat khusus (safety box) seperti botol atau karton yang aman.

e. Tempat pewadahan limbah padat medis padat infeksius dan sitotoksik yang tidak langsung dengan limbah harus segera dibersihkan dengan larutan desinfektan apabila akan dipergunakan kembali, sedangkan untuk kantong plastik yang telah di pakai dan kontak langsung dengan limbah tersebut tidak boleh digunakan lagi.

3. Penanganan (Handling)

Dalam hal penangan limbah padat medis dapat dilakukan dengan cara jarum dan syringes harus dipisahkan sehingga tidak dapat digunakan kembali. Limbah padat medis yang akan dimanfaatkan kembali harus melalui proses strerilisasi. Untuk menguji efektivitas sterilisasi panas harus dilakukan tes Bacilus stearothermophilus

dan untuk sterilisasi kimia harus dilakukan tes Basilus subtilis.

Metode sterilisasi terdiri dari:

(27)

b. Sterilisasi kimia dengan ethylene oxide (gas) dengan suhu 50ºC-60ºC selama 3-8 jam atau glutaraldehyde (cair) selama 30 menit.

Limbah jarum hipodermik tidak dianjurkan untuk dimanfaatkan kembali. Apabila fasilitas layanan kesehatan tidak mempunyai jarum yang sekali pakai

(dispossible), limbah jarum hipodermik dapat dimanfaatkan kembali setelah melalui proses salah satu metode sterlilisasi.

c. Pengumpulan dan Penyimpanan

Limbah harus dikumpulkan secara teratur, setidaknya sekali sehari. Limbah tidak boleh dibiarkan menumpuk dimana limbah diproduksi. Pengumpulan limbah padat medis dari tempat produksinya direncanakan dengan baik, setiap jenis limbah harus dikumpulkan dan di simpan secara terpisah. Limbah infeksius tidak boleh disimpan dalam tempat-tempat yang terbuka untuk umum. Petugas yang bertugas mengumpulkan dan mengangkut limbah harus diberitahu untuk mengumpulkan hanya wadah berwarna kuning dan wadah khusus benda tajam yang telah ditutup dan petugas juga harus memakai sarung tangan. Kantong-kantong yang telah dikumpulkan harus segera diganti dengan tas baru.

(28)

berada di dalam wilayah instansi layanan kesehatan. Lokasi penampungan sementara tidak boleh berada di dekat lokasi penyimpanan dan penyiapan makanan.

Tempat atau daerah khusus untuk penyimpanan limbah padat medis harus memenuhi kriteria berikut:

1. Harus tertutup dan hanya petugas saja yang dapat masuk. 2. Harus terpisah dengan tempat penyediaan makanan. 3. Harus tertutup dan terlindungi dari sinar matahari. 4. Lantai harus kedap air dan dengan drainase yang baik. 5. Mudah dibersihkan.

6. Harus terlindungi dari gangguan hewan seperti tikus. 7. Harus ada akses mudah untuk keluar masuk transfortasi. 8. Pengaturan udara dan penerangan yang baik.

9. Harus ada pembatasan antar jenis limbah. 10. Dekat dengan lokasi insenerator.

11. Harus ada tempat pencucian di dekatnya.

12. Pintu masuk ditandai dengan “hanya petugas yang boleh masuk”. d. Transportasi

Transportasi limbah padat medis adalah bagaimana limbah diangkut dengan cara atau alat tertentu. Terkait transportasi, berbagai jenis limbah sebaiknya memiliki alat pengangkutan yang berbeda pula. Alat angkut limbah harus memenuhi persyaratan berikut:

(29)

2. Kantong limbah padat medis sebelum dimasukkan ke kendaraan pengangkut harus diletakkan dalam kontainer yang kuat dan tertutup.

3. Kantong limbah padat medis harus aman dari jangkauan manusia maupun binatang.

4. Tidak boleh memiliki sudut yang tajam atau tepi yang mungkin merobek kantong atau merusak wadah.

5. Harus mudah dibersihkan (dengan klor aktif 5%) setiap harinya. 6. Harus ditandai dengan jelas.

7. Petugas yang menangani limbah (cleaning servis), harus menggunakan alat pelindung diri yang terdiri dari:

a. Topi b. Masker

c. Pelindung mata

d. pakaian panjang (coverall)

e. apron untuk industri

f. pelindung kaki/sepatu boat, dan

g. sarung tangan khusus (dispossable gloves atau heavy duty gloves).

e. Pengolahan, Pemusnahan dan Pembuangan Akhir Limbah Padat Medis

(30)

menggunakan autoklaf atau dengan pembakaran menggunakan insenerator. Adapun cara pengolahan, pemusnahan dan pembuangan akhir limbah padat medis sebagai berikut:

1. Limbah infeksius dan benda tajam

a. Limbah yang sangat infeksius seperti biakan dan persediaan agen infeksius dari laboratorium harus disterilisasi dengan pengolahan panas dan basah seperti dalam autoclav sedini mungkin. Untuk limbah infeksius yang lain cukup dengan cara desinfeksi.

b. Benda tajam harus diolah dengan insenerator bila memungkinkan dana dapat diolah bersama dengan limbah infeksius lainnya. Kapsulisasi juga cocok untuk benda tajam.

c. Setelah insenerasi atau desinfeksi, residunya dapat dibuang ke tempat penampungan B3 atau dibuang ke landfill jika residunya sudah aman.

2. Limbah farmasi

Limbah farmasi dalam jumlah kecil dapat diolah dengan insenerator pirolitik

(31)

3. Limbah sitotoksik

a. Limbah sitotoksik sangat berbahaya dan tidak boleh dibuang dengan penimbunan (landfill) atau saluran limbah umum.

b. Pembuangan yang dianjurkan adalah dikembalikan keperusahaan penghasil atau distributornya, insenerator pada suhu tinggi dan degredasi kimia, bahan yang belum dipakai dan kemasannya masih utuh karena kadaluarsa harus dikembalikan ke distributor apabila tidak ada insenerator dan diberi keterangan bahwa obat tersebut sudah kadaluarsa atau tidak dipakai lagi.

c. Insenerasi pada suhu tinggi sekitar 1200ºC dibutuhkan untuk menghancurkan semua bahan sitotoksik. Insenerasi pada suhu rendah dapat menghasilkan uap sitotoksik yang berbahaya ke udara. Insenerator pirolitik dengan 2 (dua) tungku pembakaran pada suhu 1200ºC dengan minimum waktu tinggal 2 detik atau suhu 1000ºC dengan waktu tinggal 5 detik di tungku kedua sangat cocok untuk bahan ini dan dilengkapi dengan penyaring debu. Insenerator juga harus dilengkapi dengan peralatan pembersih gas, insenerasi jika memungkinkan dengan rotary kiln yang didesain untuk dekomposisi panas limbah kimiawi yang beroperasi dengan baik pada suhu diatas 850ºC. Insenerator dengan 1 tungku atau pembakaran terbuka tidak tepat untuk pembuangan limbah sitotoksik.

(32)

e. Cara kimia relatif mudah dan aman meliputi oksidasi oleh kalium permanganat (KMNO4) atau asam sulfat (H2SO4), penghilang nitrogen dengan

asam bromida atau reduksi nikel dan alumunium.

f. Insenerasi maupun degredasi kimia tidak merupakan solusi yang sempurna untuk pengolahan limbah, tumpahan atau cairan biologis yang terkontaminasi agen antineoplastik. Oleh karena itu rumah sakit harus berhati-hati dalam menangani obat sitotoksik.

g. Apabila cara insenerasi maupun degradasi kimia tidak tersedia, kapsulisasi atau insenerasi dapat dipertimbangkan sebagai cara yang dapat dipilih.

4. Limbah bahan kimiawi

a. Pembuangan limbah kimia biasa

Limbah biasa yang tidak bisa daur ulang seperti asam amino, garam dan gula tertentu dapat dibuang kesaluran air kotor. Namun pembuangan tersebut harus memenuhi persyaratan konsentrasi bahan pencemar yang ada seperti bahan melayang, suhu dan pH.

b. Pembuangan limbah kimia berbahaya dalam jumlah kecil

Limbah bahan berbahaya dalam jumlah kecil seperti residu yang terdapat dalam kemasan sebaiknya dibuang dengan insenerator pirolitik, kapsulisasi atau ditimbun (landfill).

c. Pembuangan limbah kimia berbahaya dalam jumlah besar.

(33)

dikandung oleh limbah tersebut, limbah tertentu bisa dibakar seperti bahan pelarut dapat diinsenerasi, namun bahan pelarut dalam jumlah besar seperti pelarut halogenida yang mengandung klorin atau florin tidak boleh diinsenerasi, kecuali inseneratornya dilengkapi dengan alat pembersih gas. d. Cara lain adalah dengan mengembalikan bahan kimia berbahaya tersebut ke

distributornya yang akan menanganinya dengan aman atau dikirim ke negara lain yang mempunyai peralatan yang cocok untuk mengolahnya. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penangann limbah kimia berbahaya adalah sebagai berikut:

1) Limbah berbahaya yang komposisinya berbeda harus dipisahkan untuk menghindari reaksi kimia yang tidak diinginkan.

2) Limbah kimia berbahaya dalam jumlah besar tidak boleh ditimbun karena dapat mencaemari air tanah.

3) Limbah kimia didesinfektan dalam jumlah besar tidak boleh dikapsulisasi karena sifatnya yang korosif dan mudah terbakar.

4) Limbah padat bahan kimia berbahaya cara pembuangannya harus dikonsultasikan terlebih dahulu kepada instansi yang berwenang.

5. Limbah dengan kandungan logam berat tinggi

(34)

limbah dengan kandungan logam berat tinggi,bila tidak memungkinkan limbah dibuang ke tempat penyimpanan yang aman sebagai pembuangan akhir untuk limbah industri yang berbahaya. Cara lain yang paling sedeerhana adalah dengan kapsulisasi kemudian dilanjutkan dengan landfill, bila hanya dalam jumlah kecil dapat dibuang dengan limbah biasa.

6. Kontainer bertekanan

a. Cara yang terbaik untuk menangani limbah kontainer bertekanan adalah dengan daur ulang atau penggunaan kembali. Apabila masih dalam kondisi utuh dapat dikembalikan ke distributor untuk pengisian ulang gas. Agen

halogenida dalam bentuk cair dan dikemas dalam botol harus diperlakukan sebagai limbah bahan kimia berbahaya untuk pembuangannya.

b. Cara pembuangan yang tidak diperbolehkan dalam pembakaran atau insenerasi karena dapat meledak adalah:

1) Kontainer yang masih utuh

Kontainer-kontainer yang harus dikembalikan ke penjualnya adalah sebagai berikut:

a) Tabung atau silinder etilen oksida yang biasanya disatukan dengan peralatan anastesi.

(35)

c) Tabung bertekanan untuk gas lain seperti oksigen, nitrogen, karbon dioksida, udara bertekanan, siklopropana, hidrogen, gas elpiji dan asetelin.

2) Kontainer yang sudah rusak

Kontainer yang rusak tidak dapat diisi ulang harus dihancurkan setelah dikosongkan kemudian baru dibuang ke landfill.

3) Kaleng aerosol

Kaleng aerosol kecil harus dikumpulkan dan dibuang bersama dengan limbah biasa dalam kantong plastik dan tidak untuk dibakar atau diinsenerasi. Limbah ini tidak boleh dimasukkan ke dalam kantong kuning karena akan dikirim ke insenerator, kaleng aerosol dalam jumlah banyak sebaiknya dikembalikan kepenjualnya atau keinstalasi daur ulang bila ada.

7. Limbah radioaktif

a. Pengelolaan limbah radioaktif yang aman harus diatur dalam kebijakan dan strategi nasional yang menyangkut peraturan, infrastruktur, organisassi pelaksana dan tenaga yang terlatih.

b. Setiap rumah sakit yang menggunakan sumber radio aktif yang terbuka untuk keperluan diagnosis, terapi atau penelitian harus menyiapkan tenaga khusus yang terlatih khusus di bibdang radiasi.

(36)

d. Instrumen kalibrasi yang tepat harus tersedia untuk monitoring dosis dan kontaminasi. Sistem pencatatan yang baik akan menjamin pelacakan limbah radioaktif dalam pengiriman maupun pembuangannya dan selalu diperbaharui datanya setiap waktu.

e. Limbah radioaktif harus dikategorikan dan dipilah berdasarkan ketersediaan pilihan cara pengolahan, pengondisian, penyimpanan dan pembuanagn dan kategori yang memungkinkan yaitu:

1) Umur paruh (half-life), seperti umur pendek (short-lived), misalnya umur paruh < 100 hari, cocok untuk penyimpanan pelapukan.

2) Aktivitas dan kandungan radionuklida. 3) Bentuk fisika dan kimia.

4) Cair, berair dan organik.

5) Tidak homogrn (seperti mengandung lumpur atau padatan yang melayang).

6) Padat: mudah terbakar/tidak mudah terbakar (bila ada) dan dapat dipadatkan/tidak mudah dipadatkan (bila ada).

7) Sumber tertutup atau terbuka seperti sumber tertutup yang dihabiskan. 8) Kandungan limbah seperti limbah yang mengandung bahan berbahaya

(patogen, infeksius, beracun).

f. Setelah pemilahan, setiap kategori harus disimpan terpisah dalam kontainer dan kontainer tersebut harus:

(37)

2) Ada simbol radioaktif ketika sedang digunakan. 3) Sesuai denga kandunga limbah.

4) Dapat diisi dan di kosongkan dengan aman. 5) Kuat dan saniter.

g. Informasi yang dicatat pada setiap kontainer limbah adalah: 1) Nomor identifikasi.

2) Radionuklida.

3) Aktivitas (jika diukur atau diperkirakan) dan tanggal pengukuran. 4) Asal limbah (ruangan, laboratorium atau temapt lain).

5) Angka dosis permukaan dan tanggal pengukuran. 6) Orang yang bertanggung jawab.

h. Kontainer untuk limbah padat medis harus dibungkus dengan kantong plastik transparan yang dapat ditutup dengan isolasi plastik.

i. Limbah padat radioaktif dibuang sesuai dengan persyaratan teknis dan peraturan perundang-undangan yang berlaku (PP Nomor 27 Tahun 2002) dan kemudian diserahkan untuk penangan lebih lanjut atau dikembalikan kepada negara distributor, semua jenis limbah medis termasuk limbah radioaktif tidak boleh dibuang ke tempat pembuangan akhir sampah domestik (landfill)

sebelum dilakukan pengolahan terlebih dahulu sampai memenuhi persyaratan (Permenkes RI No.1204/Menkes/SK/X/2004, Depkes RI, 2004).

(38)

pemisahan dan penampungan limbah. Dalam kaitan dengan pengelolaan, limbah medis dikategorikan menjadi 5 golongan sebagai berikut:

1. Golongan A

Terdiri dari: a. Dressing bedah, swab dan semua limbah terkontaminasi dari kamar bedah.

b. Bahan-bahan kimia dari kasus penyakit infeksi.

c. Seluruh jaringan tubuh manusia (terinfeksi maupun tidak), bangkai/jaringan hewan dari laboratorium dan hal-hal yang berkaitan dengan swab dan dreesing.

Dimana Dressing bedah yang kotor, swab dan limbah lain yang terkontaminasi dari ruang pengobatan hendaknya ditampung dalam bak penampungan limbah padat medis yang mudah dijangkau bak sampah yang dilengkapi denga pelapis pada tempat produksi sampah. Kantong plastik tersebut hendaknya diambil paling sedikit satu hari sekali atau bila sudah mencapai tiga perempat penuh. Kemudian diikat kuat sebelum diangkut dan ditampung sementara di bak sampah klinis.

Bak sampah tersebut juga hendaknya diikat dengan kuat bila mencapai tiga perempat penuh atau sebelum jadwal pengumpulan sampah. Sampah tersebut kemudian dibuang dengan cara sebagai berikut:

(39)

Sampah hendaknya dimasukkan dengan incinerator. Bisa juga digunakan

autoclaving, tetapi kantong harus dibuka dan dibuat sedemikian rupa sehingga uap panas bisa menembus secara efektif.

b. Limbah dari unit lain

Limbah hendaknya dimusnahkan dengan incinerator. Bila tidak mungkin bisa menggunakan cara lain, misalnya dengan membuat sumur dalam yang aman. Semua jaringan tubuh, plasenta dan lain-lain hendaknya ditampung pada bak limbah padat medis atau kantong lain yang tepat kemudian dimusnahkan dengan incinerator. Perkakas laboratorium yang terinfeksi hendaknya dimusnahkan dengan incinerator. Incinerator harus dioperasikan di bawah pengawasan bagian sanitasi atau bagian laboratorium.

2. Golongan B

Terdiri dari: Syringe bekas, jarum, cartridge, pecahan gelas dan benda-benda tajam lainnya.

Dimana syringe, jarum dan cartridges hendaknya dibuang dengan keadaan tertutup. Sampah ini hendaknya ditampung dalam bak tahan benda tajam yang bilamana penuh (atau dengan interval maksimal tidak lebih dari satu minggu) hendaknya diikat dan ditampung di dalam bak sampah klinis sebelum diangkut dan dimasukkan dengan incinerator.

3. Golongan C

(40)

4. Golongan D

Terdiri dari: Limbah bahan kimia dan bahan-bahan farmsi tertentu. 5. Golongan E

Terdiri dari: Pelapis Bed-pan Disposable, urinoir, incontinence-pad dan stomach

2.6 Tata Cara Pelaksanaan Membuang Limbah Padat Medis Berdasarkan Masing-masing Fungsinya di Rumah Sakit

Kering (spuit, dsb) incenerator a. Laboratorium

Cair Infection Autoclav Penapungan setempat UPL

UPL ( Unit Pengelolahan Limbah ) merupakan saran untuk mengolah limbah cair dari limbah kotor yang kemudian diproses sampai menjadi cukup bersih dan diusahakan untuk dibawah baku mutu yang ditetapkan pemerintah.

Kering (spuit, dsb) incenerator Basah (sisa makanan, dsb) Bak penampungan Luar RS b. OK Cair bak penampungan UPL sungai

Sisa organ tubuh pathology incenerator

c. Radiologi cair bak penampungan khusus

(41)

bak penampungan UPL d. Unit rawat jalan Cair

Septik tank Luar Rs Medis incenerator Sampah padat

Non medis bak Luar RS e. Unit rawat inap Kering (spuit, perban) incenerator

Basah (sisa makanan) Bak penampungan luar RS

Septic tank luar RS Cair

(westafel dsb) UPL f. Laundry/catering UPL

(Sumber: Manajemen Rumah Sakit, 2003)

2.7 Pengaruh Limbah Rumah Sakit terhadap Lingkungan dan Kesehatan

Depkes RI (2001), pengaruh limbah medis rumah sakit terhadap kualitas lingkungan dan kesehatan dapat menimbulkan berbagai maslah seperti:

a. Gangguan kenyamanan dan estetika

(42)

pasien, petugas, pengunjung serta masyarakat sekitar. Ini berupa warna yang berasal dari larutan bahan kimia dan bau phenol.

b. Kerusakan harta benda

Dapat disebabkan oleh bahan-bahan kimia yang terlarut (korosif, reaktf, yang dapat menimbulkan karat), air yang berlumpur dan sebagainya yang dapat menurunkan kualitas bangunan di sekitar lingkungan layanan kesehatan maupun masyarakat luar.

c. Gangguan/kerusakan tanaman dan binatang

Ini dapat disebabkan olh residu bahan farmasi yang mengandung antibiotik dan antiseptik, zat kimia seperti fenol, logam berat seperti merkuri dan lain-lain. d. Gangguan terhadap kesehatan manusia

(43)

logam seperti hydrargyrum (Hg). Cadmium (cd), dan plumbum (Pb) yang berasal dari bagian kedokteran gigi. Keracunan air raksa atau hydrargyrum (Hg) menimbulkan gejala susunan syaraf pusat seperti tremor, konvulsi, pikun, insomnis, gangguan pencernaan dan kulit seperti dermatitis dan ulcer. Keracunan cadmiium (Cd) akut akan menyebabkan gejala pencernaan, penyakit ginjal dan fase lanjut menyebabkan pelunakan tulang dan patah (fraktur) tulang punggung. Keracunan plumbum (Pb) atau timbal menyebabkan gangguan pencernaan dan susunan saraf pusat. Bahan radioaktif seperti radium mempunyai sifat kimia seperti kalsium, oleh karena itu mempunyai kecenderungan untuk terabsorbsi ke dalam tulang jika masuk ke dalam tubuh sehingga dapat mengganggu kesehatan. e. Gangguan genetik dan reproduksi

Meskipun mekanisme gangguan belum sepenuhnya diketahui secara pasti, namun beberapa senyawa dapat menyebabkan gangguan atau kerusakan genetik dan sistem reproduksi manusia misalnya pestisida dan bahan radioaktf (Depkes RI, 2004).

2.7.1 Risiko Kesehatan terhadap Petugas Pengelola Limbah Medis di Rumah Sakit

1. Risiko limbah infeksius dan benda tajam

Limbah infeksius dapat mengandung berbagai macam mikroorganisme patogen. Patogen tersebut dapat memasuki tubuh manusia beberapa jalur, yaitu dari:

(44)

c. Melalui pernafasan. d. Melalui ingesti.

Di fasilitas kesehatan, keberadaan bakteri yang resisten terhadap antibiotik dan desinfektan kimia juga dapat memperbesar bahaya yang muncul akibat limbah layanan kesehatan yang buruk pengelolaannya. Contoh, plasmid dari strain

laboratorium yang terkadang dalam limbah layanan kesehatan ternyata dapat berpindah kedalam bakteri di alam melalui sistem pembuangan limbah. Selain itu, kultur patogen yang pekat dan benda tajam yang terkontaminasi (terutama jarum suntik) mungkin merupakan jenis limbah yang potensial bahayanya paling akut bagi kesehatan.

Benda tajam tidak hanya dapat menyebabkan luka gores maupun luka tusuk tetapi juga dapat menginfeksi lika jika benda tajam ini terkontaminasi patogen. Karena resiko ganda inilah (cedera dan penularan penyakit), benda tajam termasuk ke dalam kelompok limbah yang sangat berbahaya. Kekhawatiran pokok yang muncul adalah bahwa limbah infeksius yang ditularkan melalui subkutan dapat menyebabkan masuknya agen penyebab penyakit.

2. Dampak limbah kimia dan farmasi

(45)

dapat menyebabkan intoksikasi atau keracunan, baik akibat pajanan secara akut maupun kronis dan cedera, termasuk luka bakar. Intoksikasi dapat terjadi akibat diabsorbsinya zat kimia atau bahan farmasi melalui kulit atau membran mukosa atau melalui pernafasan juga pencernaan. Zat kimia yang mudah terbakar, korosif atau reaktif (misalnya: formaldehid atau zat volatil yang mudah menguap) jika mengenai kulit, mata atau membran mukosa saluran pernafasan dapat menyebabkan cedera (luka bakar).

Desinfektan merupakan anggota penting dalam kelompok ini karena digunakan dalam jumlah besar dan seringkali bersifat korosif. Perlu kita perhatikan bahwa zat kimia yang reaktif dapat membentuk senyawa sekunder yang sangat toksik.

Pestisida kadaluarsa yang disimpan di dalam drum atau kantong-kantong kemasan secara langsung maupun tidak langsung dapat memengaruhi siapa saja yang kontak dengan bahan tersebut. Ketika hujan lebat, kontainer yang bocor dapat menyebabkan pestisida meresap ke dalam tanah dan mencemari tanah. Keracunan dapat terjadi akibat kontak langsung dengan produk, menghirup uapnya dan meminum air yang terkontaminasi serta memakan makanan yang terkontaminasi. Selain itu, cara pembuangan yang tidak tepat misalnya dibakar atau dikubur juga dapat memperbesar potensi munculnya bahaya kebakaran dan kontaminasi.

(46)

juga dapat disebabkan oleh residu bahan farmasi yang mungkin mengandung antibiotik serta obat lainnya, logam berat seperti merkuri, fenol dan turunannya serta desinfektan dan antiseptik.

3. Dampak limbah radio aktif

(47)

2.8 Kerangka Konsep

Kerangka konsep dalam penelitian ini menggunakan konsep perilaku dapat dilihat pada Gambar 2.5 berikut ini:

Variabel Independen Variabel Dependen

Gambar 2.3 Kerangka Konsep Penelitian Keterangan : garis putus-putus hanya di observasi

Karakteristik Responden:

- Umur

- Pendidikan

- Lama bekerja

- Shift kerja

Perilaku petugas cleaning service

mengenai pengelolaan limbah padat medis :

- Pengetahuan

- Sikap

- Tindakan

Pengelolaan limbah padat medis :

- Pemilahan limbah pada medis

- Pengumpulan dan penyimpanan

- Transportasi

- Pengolahan dan pembuangan akhir

limbah padat medis

Gambar

Tabel 2.1 Klasifikasi Limbah Padat Medis yang Berasal dari Rumah Sakit
Tabel 2.1 (Lanjutan)
Tabel 2.1 (Lanjutan)
Tabel 2.2 Jenis Wadah dan Label Limbah Medis Padat Sesuai Kategori
+3

Referensi

Dokumen terkait

Ruang Kepala dan Pelaksana Seksi Verifikasi dan Akuntansi berada pada lantai 1 gedung KPPN, dilengkapi dengan meja/kursi kerja kepala seksi dan pelaksana, 2 unit PC

ActionScript adalah bahasa pemrograman Adobe Flash CS 3 yang digunakan untuk membuat animasi atau interaksi (Ferry Herlambang, 2007).. ActionScript mengizinkan untuk membuat

(2) Dalam hal terjadi pemberitaan oleh media massa lokal yang keliru terhadap kegiatan UPT, maka unit kehumasan UPT sesuai dengan kewenangannya melakukan hak jawab dengan

Bab III buku I KUHP mengatur tentang hal-hal yang menghapuskan, mengurangkan atau memberatkan pidana.. Menurut UU No.3 Tahun 1997 : Anak yang umurnya telah mencapai 8

Artinya, tidak pernah terjadi kasus pelecehan seksual dan tindak perkosaan yang diberitakan media massa melaporkan bahwa si pelaku adalah adik, anak si korban, murid ataukah

Kandungan unsur kimia yang ada dalam tanah juga dipengaruhi oleh bentuk penggunaan lahannya seperti pada lahan agroforestri, kebun campuran dan penggunaan

Sasaran sekunder dalam adalah masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, serta orang-orang yang memiliki kaitan serta berpengaruh penting dalam kegiatan ini, dengan

Monitoring Jaringan dengan Menggunakan Simple Network Management Protocol. Tujuan dari penelitian ini untuk merancang dan membuat aplikasi monitoring jaringan yang