• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN AKADEMIK PUSLITBANG POLRI TERHADAP MATERI RANCANGAN UNDANG-UNDANG KAMNAS BAB I PENDAHULUAN - KAJIAN AKADEMIK RUU KAMNAS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "KAJIAN AKADEMIK PUSLITBANG POLRI TERHADAP MATERI RANCANGAN UNDANG-UNDANG KAMNAS BAB I PENDAHULUAN - KAJIAN AKADEMIK RUU KAMNAS"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN AKADEMIK PUSLITBANG POLRI TERHADAP MATERI RANCANGAN UNDANG-UNDANG KAMNAS

BAB I PENDAHULUAN

1. UMUM

a. Bahwa lazimnya sebuah produk rancangan undang-undang, direncanakan penyusunannya berdasarkan ketentuan yang benar yaitu harus ada legal drafting/naskah akademik yang menjelaskan secara umum arti penting keberadaan dan urgensinya sebuah produk rencana undang-undang untuk diajukan menjadi produk undang-undang pada hakikatnya memuat tentang gambaran umum dari kebutuhan masyarakat dan organisasi, filosofi yang mendasari kelahiran undang-undang tersebut. Terutama dikaitkan dengan masalah-masalah yang mengemuka seperti nuansa demokratisasi, supremasi hukum, transparansi, akuntabilitas, dan Hak Asasi Manusia sebagai kerangka mewujudkan supremasi sipil disamping mengacu kepada aspek sistem ketatanegaraan yang berlaku dan merujuk kepada legalitas formal perundang-undangan yang berlaku. b. Hal ini sangat penting agar nantinya dapat menjelaskan secara utuh, hakekat, tujuan dan

manfaat sehingga terlihat alur/kerangka berpikir dari semangat penyusunan produk UU tersebut, mengingat selama ini sering terjadi kekeliruan dalam perumusan RUU yang sering berangkat dari pembahasan pasal per pasal bukan sebaliknya menjelaskan dan menguraikan naskah akademiknya.

c. Dan salah satu produk RUU yang menjadi fenomena kontroversi dalam pembahasannya di lembaga legislatif sampai saat ini adalah produk RUU KAMNAS yang pada hakekatnya bertujuan untuk bagaimana penyelenggaraan fungsi keamanan nasional dalam melaksanakan fungsinya terlihat integral, sinergitas, koordinatif dan terpadu yang dapat memberikan kontribusi terhadap produktivitas dan kinerja, sehingga penyelenggaraan fungsi tersebut dapat berjalan efektif, efisien dalam implementasinya serta berhasil dan berdayaguna.

(2)

d. Namun fakta yang ada dalam konteks RUU KAMNAS tersebut saat ini belum mencerminkan wujud keutuhan dari sebuah naskah akademik atau legal drafting yang menjadi pijakan ilmiah dalam menguraikan apa yang menjadi semangat, tujuan dan urgensi penyusunan RUU KAMNAS tersebut. Sehingga dalam konteks ini Polri sangat berkepentingan melakukan analisis/kajian akademik dari sudut legal drafting terhadap RUU KAMNAS tersebut untuk disampaikan kepada para stake holder yang berkepentingan dengan proses legalisasi perundang-undangan dilembaga legislatif DPR RI mengingat implikasinya sangat besar terhadap eksistensi dan kemandirian Polri saat ini dan kedepan.

2. DASAR

a. UUD 1945;

b. Ketetapan MPR-RI No.VI dan VII tahun 2000 tentang pemisahan struktur TNI Polri dan peran TNI Polri;

c. KUHAP No. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;

d. UU No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia; e. UU No. 3 tahun 2002 tentang Pertahanan;

f. UU No. 34 tahun 2004 tentang TNI;

g. Konvensi Internasional tentang penyelenggaraan tugas Polri dan TNI; h. Grand Strategi Polri;

i. Surat Kadivbinkum Polri No. B/4481/XII/2011/Divkum Kepada distribusi A B dan C Mabes Polri, tanggal 14 Desember 2011 perihal penyampaian RUU KAMNAS;

j. Pemolisian Birokrasi, Anton Tabah; k. Disposisi Kapuslitbang Polri untuk dipelajari.

3. MAKSUD DAN TUJUAN

a. Maksud pembuatan kajian akademik ini disusun sebagai bentuk pertanggung jawaban terhadap tindak lanjut perintah Kapuslitbang untuk mempelajari guna memberikan masukan, informasi kepada pimpinan Polri dalam menentukan kebijakan lebih lanjut. b. Tujuan pembuatan kajian akademik ini disusun sebagai bentuk kritis dan kecintaan

(3)

4. RUANG LINGKUP

Ruang lingkup penyusunan kajian akademik terhadap RUU KAMNAS ini dibatasi pada fokus pembahasan tentang standarisasi kelayakan sebuah produk RUU KAMNAS yang akan dijadikan sebagai dasar hukum penyelenggaraan fungsi keamanan nasional ditinjau dari berbagai sudut pandang antara lain :

a. Keberadaan kesempurnaan naskah akademik yang memuat rasionalisasi,

b. Tidak bertentangan dengan Sistem ketatanegaraan yang ada dan

c. Berdasar pada Sumber rujukan yang memiliki legalitas formal dan pertimbangan perbandingan hukum internasional.

Dengan demikian apa yang menjadi semangat dan tujuan pentingnya penyusunan produk RUU KAMNAS tersebut dapat memberikan manfaat yang positif terhadap produktifitas dan kinerja serta tidak melanggar kaidah dan ketentuan hukum yang berlaku nasional.

5. SISTEMATIKA

Sistematika penyusunan analisis/kajian akademik RUU KAMNAS ini meliputi :

BAB I PENDAHULUAN

BAB II LANDASAN TEORI

BAB III PERMASALAHAN YANG MUNCUL DARI RUU KAMNAS TERHADAP EKSISTENSI POLRI

BAB IV KAJIAN AKADEMIK TERHADAP RUU KAMNAS

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

(4)

BAB II LANDASAN TEORI

Landasan teori merupakan pijakan ilmiah dalam rangka mengkaji atau menganalisis suatu permasalahan agar memiliki nilai yang didasarkan pada sebuah teori dan dasar hukum dalam melihat dan mencermati suatu permasalahan yang menjadi fokus bahasan sehingga tidak keluar dari konteks permasalahan.

Dianalogikan bahwa hukum di suatu negara bagaikan layar lebar ditempat terbuka, siapa saja biasa melihat terang dan gamblang sehingga jelas hukum akan mudah di baca dan dilihat orang, dimana kondisi seperti ini akan menimbulkan akibat sulit bagi suatu bangsa untuk menyembunyikan kenyataan pahit dalam kehidupan hukumnya. Suatu bangsa akan di segani dan negara dihormati oleh bangsa dan Negara lain jika ada empat hal yang terhormat bisa terwujud secara baik yaitu : kekompakan para elit politik, kepastian hukum yang tegas, ekonomi yang maju dan diplomasinya kuat dan menang.

Bagaimana Indonesia dengan ke 4 (empat) hal tersebut di atas, maka tidak satupun bisa di banggakan sehingga era reformasi Indonesia semakin dilecehkan bahkan oleh negara kecil seperti Singapura dan Malaysia. Menyikapi kondisi tersebut di atas, strategi yang mesti di bangun adalah satu persatu diatasi, kepastian hukum menjadi daya tarik investor asing untuk ikut membangun Indonesia, namun ketidakpastian hukum di Indonesia telah membuat investor asing lari karena bukan hanya modal mereka yang terancam, tetap juga jiwa mereka.

Ketidakpastian hukum telah menjadikan ketidakamanan dan ketidaknyamanan bagi investor, apalagi rakyat Indonesia yang suka unjuk rasa,yang sering berubah anarkis termasuk buruh.

Kemudian kalangan elit politik harus dapat menjadi tauladan dalam taat hukum dan kekompakannya, bukan malah menjadi contoh buruk, dalam ketidaktaatan hukum dan ketidak rukunan, juga ketaatan dalam membuat RUU seperti RUU KAMNAS yang semestinya menghormati Basic Law undang-undang di atasnya tidak boleh melanggar apalagi bertentangan.

(5)

Contoh yang dimaksudkan dalam konteks tersebut diatas antara lain produk undang –undang perikanan, undang-undang intellijen, Undang-undang bea cukai, imigrasi, pajak, transportasi (penerbangan, pelayaran, kereta api) dan KUHAP yang malah mau kembali ke HIR dan lain-lain, begitu pula praktek CJS, di lapangan dimana banyak kasus penuntut umum langsung menerima berkas dari penyidik pagawai negeri sipil (PPNS) padahal hukum acara mewajibkan koordinasi dengan penyidik Polri selaku koordinator dan pengawas PPNS. Kenapa Polri menjadi korwas PPNS dan kenapa PPNS wajib berkoordinasi dengan Polri karena Polri diperintah oleh undang-undang untuk menjadi Pusat Pendataan dan Informasi Criminal Nasional (PIKNAS).

Oleh karena itu, sangat relevan jika landasan dalam kajian ini kita mengangkat statement pakar hukum Belanda yang beberapa waktu lalu berkunjung ke Indonesia yaitu Prof. PH. Kooijmans, Dia menilai bahwa pembangunan hukum di Indonesia tidak taat azas dan tidak taat prosedur dan ini merupakan sebuah kemunduran (sit back). Menurut pakar hukum dari Universitas Ledien Belanda itu juga menyoroti mengenai mekanisme pembuatan RUU, dimana banyak terdapat undang–undang baru saat ini yang bertentangan dengan produk undang – undang induk, yang semestinya di jadikan sebagai acuan.

Kepentingan sektoral yang dominan bukan hanya merusak tatanan undang-undang tetapi juga menimbulkan kerancuan dan tidak ada lagi adanya kepastian hukum di Indonesia saat ini.

Dampak “iguanarantia yuris” tersebut sangat mengerikan, padahal tatakrama dalam membuat undang-undang sudah sangat tegas dan jelas RUU apa yang di buat, siapa dan bagaimana (lihat undang-undang No.10 tahun 2004), contoh paling dekat kepada RUU KAMNAS yang dibuat oleh DepHan padahal keamanan bukan domain bidang tugas mereka.

Dimana DepHan dengan sangat gigih membuat rancangan undang-undang keamanan nasional (RUU KAMNAS), dan terus mereka siapkan sosialisasi dengan gelar opini argumentatif, memunculkan sebuah teori K (besar) dimaknai sebagai Keamanan Nasional dan k (kecil) diartikan sebagai keamanan masyarakat secara sempit (kamtibnas), ini dilakukan untuk merevisi reposisi dan meredefenisi keberadaan TAP MPR No.VI dan VII tahun 2000, yang menurut mereka telah memetakan fungsi keamanan dan pertahanan secara hitam putih sehingga terjadi pengaplingan keamanan yang tidak mereka harapkan.

Dalam konteks ini maka ada berbagai pertanyaan dalam hal tersebut diatas yaitu :

1. Apakah RUU KAMNAS diperlukan mengingat banyak Negara yang juga tidak memerlukan undang-undang seperti RUU KAMNAS tersebut, karena tanpa RUU KAMNAS banyak negara dapat berjalan normal;

(6)

3. Jika memang perlu dibuat RUU KAMNAS maka tidak boleh bertentangan dengan undang-undang induk yang sudah ada apalagi melampaui batas kewenangan dan mengambil peran fungsi lain serta memasuki otoritas sipil yang bukan wewenangnya.

Para pakar sependapat bahwa RUU KAMNAS yang sudah dibuat dan akan disyahkan saat ini telah melampaui kewenangan, dan mereka bertanya kenapa RUU KAMNAS tersebut dibuat oleh DEPHAN, bukankah kewenangan mereka adalah bidang pertahanan, kondisi ini bisa mendorong para pakar dan DPR harus bicara jujur, bagaimana RUU KAMNAS jika akan disahkan. Dalam mengkaji RUU KAMNAS yang telah disuguhkan isu sangat berbeda dengan Ruh Reformasi. Dari Tap MPR No. VI dan VII tahun 2000 yang bertujuan agar bangsa Indonesia memiliki TNI dan Polri yang benar-benar profesional tidak lagi terlibat politik praktis. Dan Tap MPR tersebut telah diperkuat dengan undang-undang No. 2 tahun 2002 tentang Polri, UU No.3 tahun 2002 tentang pertahanan dan UU No. 34 tahun 2004 tentang TNI.

Dalam UU TNI sangat jelas misalnya meniadakan fungsi pembinaan teritorial dan secara bertahap akan meniadakan kodam, kodim dan koramil kecuali didaerah-daerah perbatasan dengan negara lain, didaerah-daerah konflik dan di pulau-pulau terpencil dan terluar yang potensi kerawanan dan kekayaan alamnya besar (media Indonesia 30 september 2004) namun implementasi reformasi TNI (TNI-AD) terhadap substansi UU No 34 tahun 2004 tentang TNI tersebut justru tidak dijadikan rujukan dalam RUU KAMNAS yang akan disahkan sehingga hal ini “kontraproduktif”. Dalam kaitan tersebut diatas maka ada 4 (empat) isu penting yang harus dijadikan landasan mengapa ide penyusunan RUU KAMNAS tersebut menjadi prioritas bagi Dephan dan TNI.

4 (empat) ISU PENTING SEBAGAI DASAR DALAM MENGKRITISI PENYUSUNAN RUU KAMNAS 1. TNI (TNI-AD) akan segera menghidupkan kembali Koter sampai ke tingkat desa guna menangkal berbagai permasalahan bangsa dewasa ini, sehingga diharapkan semua pihak menyetujui dihidupkannya kembali Koter karena merupakan kebutuhan bangsa yang mendesak. UU Nomor 34/2004 yang mengamanatkan TNI selain bertugas operasi perang juga bertugas operasi Non Perang. Berbagai kalangan menilai; ide tersebut sebuah langkah mundur dengan melihat pengalaman buruk Koter yang telah banyak melanggar demokrasi, melanggar hak-hak sipil dan HAM.

(7)

3. RUU KAMNAS yang melibatkan kiprah militer ke berbagai otoritas sipil ditenggarai akan berlaku permanen seperti era orde baru yang eksesif merugikan tatanan demokrasi dan civil society. Kritik ini semakin keras di tengah fakta reformasi yang stagnan.

4. Dua hal mendasar RUU KAMNAS, TNI akan memasuki dan mereduksi kewenangan Polri. Merancang Polri di bawah Departemen tertentu bahkan di bawah Dephan hanya karena nanti TNI akan di bawah Dephan maka Polri tidak boleh langsung di bawah Presiden.

Hal ini didasarkan pada analisis Rumusan Bandung awal tahun 1999 dimana ada lima pemikiran polemistis yaitu TNI tak lagi selalu didepan, tidak lagi menduduki tetapi mempengaruhi, memberikan sumbangan konseptual pada negara, bertindak berdasarkan bagi peran (role sharing) dan ambil keputusan dalam hal-hal penting dibidang ke negaraan dan pemerintahan. Jika dicermati paradigma baru TNI (baca TNI-AD) tersebut dicermati bukan saja polimistis tetapi juga ambivalen keterlibatan TNI dalam perpolitikan negara justru sangat kental dalam penggal-penggal kalimat yang multi tafsir, oleh karena itu tidak mengejutkan jika dinamika politik TNI akan terus mempengaruhi jalannya proses demokratisasi di Indonesia yang dapat terlihat dari hal-hal sebagai berikut :

1. Repolitisasi kalangan perwira angkatan darat untuk menjadikan reformasi sebagai instrument proyeksi TNI sebagai kekuatan politik paling handal dan reformis karena politisi sipil lemah.

2. Inkonsistensi dalam menyikapi tuntutan reformasi ketika TNI (TNI AD) berencana likuidasi koter-koter dari kodam sampai koramil dilebur menjadi batalyon, brigade, dan resimen yang saat itu dimotori oleh Letjen Agus Widjoyo (1999) dimana hasilnya Letjen Agus Widjoyo tersebut malah dibuang ke legislatif kemudian gagasan melikuidasi koter itu padam bahkan malah sebaliknya memekarkan koter dengan membentuk kodam-kodam dan korem baru.

3. Pertikaian politik antara politisi sipil telah menyebabkan lembaga DPR RI tak cukup waktu memikirkan apalagi mengkritisi agenda-agenda reformasi TNI lebih substantif.

4. Bangkitnya konservatisan pembentukan koter dengan alasan bahwa Polri tak mampu menangani konflik-konflik dalam negeri sehingga ancaman diintegrasi dan separatisme meningkat seperti terorisme, konflik-konflik komunel dan isu separatis menjadi argumentatif bagi TNI yang dimotori oleh DEPHAN.

IDEALISASI STRUKTUR ORGANISASI TNI DAN POLRI DALAM SISTEM KETATA NEGARAAN DAN KONVENSI INTERNASIONAL.

(8)

Tidak demikian halnya dengan Kepolisian. Dipastikan bahwa struktur organisasi kepolisian di tiap negara berbeda-beda ada yang dalam departemen tersendiri, ada yang di bawah departemen tertentu ada yang dibawah Perdana Menteri (Parlementer) ada yang dibawah presiden (Presidensil). Yang utama kepolisian adalah lembaga negara independen agar tidak diintervensi berbagai kepentingan yang merusak proses penegakan hukum dan keadilan. Berbagai pengalaman membuktikan setiap Polri di bawah departemen pasti Polri lemah tak berdaya, akibat intervensi sangat tinggi. Karena itu harus kembali ke sejarah kejayaan dan keemasannya ketika Polri independen di bawah Presiden.

Ditinjau dari perspektif sistem hukum tata negara harus dipahami bahwa negara memposisikan Polri dibawah Presiden adalah dengan kajian teoritas dan empiris para pendiri negara dengan cermat dan matang sebab itu bangsa yang cerdas tak akan mengulangi kesalahan ketika memposisikan Polri di bawah institusi/departemen tertentu karena Polri telah menjadi lemah dan tak berdaya, banyak intervensi dan menjadi rebutan berbagai kepentingan yang sulit dikontrol, dari sisi sejarah hukum tata negara kita hanya ada satu pilihan jika ingin memiliki Polri yang kuat tak mudah diintervensi yaitu Polri harus dibawah Presiden sebagai keputusan TAP MPR No. VI dan VII/MPR/2000

Adapun penetapan posisi TNI di bawah DEPHAN tidak langsung di bawah Presiden karena institusi militer di dunia manapun hanya menganut satu doktrin “Euis Ed Bellum” sehingga TNI harus tunduk pada doktrin tersebut agar tidak mudah diperalat oleh suatu lembaga apapun karena tidak boleh ada bahkan tidak boleh ada aktor tunggal yang boleh menggerakkan militer atau TNI tanpa sebuah keputusan politik apalagi masuk ke otoritas sipil seperti RUU KAMNAS mengingat demokrasi sangat melarang keras untuk itu sekecil apapun pelibatan tentara ke otoritas sipil setidaknya harus melalui keputusan politik minimal tiga institusi (Presiden, DPR, dan DEPHAN) kecuali penanganan bencana alam.

Hal ini sangat berbeda dengan institusi Polri yang memang tugas pokok, fungsi dan perannya berada di otoritas sipil yang sangat luas terlebih lagi selaku pelayan publik. Hal ini mendasari pada 7 (tujuh) pedoman strategis yang harus selalu dijadikan pegangan :

1. Polri bukan aparat sipil murni seperti kejaksaan tetapi Polri berdiri antara sipil dan militer, institusi besar, bersenjata, berperalatan teknologi tinggi bukan hanya menyidik masyarakat umum yang melakukan tindak pidana tetapi juga menyidik oknum tentara yang melakukan tindak pidana umum.

2. Jabatan Kapolri adalah jabatan karir bukan politis.

3. Struktur organisasi Polri hirarkis demi menciptakan disiplin ketat agar tidak rentan. 4. Polri bukan institusi yang bisa di otonomikan (UU No. 22 / 99 tentang Otonomi Daerah)

(9)

6. Polri harus independen dengan begitu Polri dapat menampilkan jati dirinya secara total selaku penyelidik, penyidik, penegak hukum, pengayom, pelindung dan pelayan yang professional, berwibawa dan dipercaya masyarakat.

7. Kekuatan Polri jika tidak di intervensi karena itu jika Polri dibawah Presiden maka akan sulit di intervensi. Jika ada intervensi kemungkinan itu hanya datang dari Presiden dan itu akan mudah dikontrol.

Konteks tersebut di atas telah mengacu kepada teori “Let Police Be Police” sebagaimana pernyataan Prof. Reckless yang menegaskan bahwa polisi lebih tahu bagaimana sebaiknya dirinya agar kinerjanya semakin efektif, bukan lembaga lain.

Ditinjau dari perspektif Politis, yaitu bahwa kepastian hukum untuk mewujudkan “Law Abiding citizen” (warga negara yang patuh hukum) menjadi sangat penting dalam demokrasi dewasa ini karena hal tersebut dapat mempengaruhi peta politik dan kondisi keamanan bangsa dimana Polri sebagai garda terdepan untuk memaksa agar Undang-undang dipatuhi, kekeliruan dalam memahami demokrasi dan memposisikan Polri akan berpengaruh terhadap kondisi keamanan nasional suatu bangsa, dimana hal ini akan membentuk opini bahwa Indonesia tidak aman dan berpengaruh besar terhadap perkembangan ekonomi. Dalam tataran ini maka seluruh bangsa Indonesia harus satu tekat, satu misi dan satu visi mewujudkan masyarakat yang “Law Abiding citizen” and “Community Policing” karena inti dari masyarakat demokratis adalah pada tingkat kepatuhannya terhadap hukum.

Dengan demikian untuk mewujudkan impian dan harapan tersebut maka negara harus membangun dan memiliki Kepolisian yang kuat dan professional bukan sebaliknya melemahkan agar tidak mandiri dan tidak berdaya sebagaimana keinginan terselubung dari ide RUU KAMNAS tersebut.

3 (tiga) HAL PENTING YANG DIJADIKAN RUJUKAN DALAM IMPLEMENTASI TATARAN PELIBATAN MILITER TERHADAP OTORITA SIPIL

1. Pertama, dunia sepakat jika tataran pelibatan tentara dibatasi hal-hal yang menyangkut pertahanan negara. Negara menjadi aktor utama dalam mengatur pertahanan, melakukan akumulasi kekuatan bersenjata, mendelegasikan hak tersebut pada aktor militer professional untuk penggunaan kekuatan bersenjata, pelaksanaan pendelegasiannya diawasi secara seksama oleh negara.

(10)

untuk pertahannan negara). Causaiusta (pulihkan kondisi damai) dan Last resort (pelibatan militer ke otoritas sipil pilihan terakhir pada masalah dan batas waktu yang tegas).

3. Ketiga, prinsip akuntabilitas/transparansi pelibatan militer ke otoritas sipil dan penyimpangan peran dapat dicegah secara dini.

TUGAS-TUGAS INTERNASIONAL :

Dalam UU TNI Nomor 34/Tahun 2004 memang secara jelas TNI melakukan Operasi Militer Perang dan Operasi Militer Non Perang. Hal ini diilhami konsep universal MOOTW (Military Operation Other Than War) yang lahir awal tahun 1990an. MOOTW dikenal dalam Military Science sebagai tugas-tugas misi damai (peace mission) yang lazimnya bersama polisi karena polisi juga punya tugas peace mission domestic, regional, bilateral maupun internasional dengan payung PBB lalu melahirkan istilah Polisi Sipil (Civilian Police) karena itu jangan membuat disparitas penggunaan istilah polisi sipil secara salah kaprah lalu menafsirkan polisi hanya menangani masyarakat sipil apalagi mengasumsikan polisi sama dengan masyarakat sipil.

Memunculkan istilah grey area (wilayah abu-abu). Latar ini dianggap berhimpitan antara aspek pertahanan dan aspek keamanan lalu memunculkan pula istilah K (besar) dan K (kecil). “K besar” berarti keamanan nasional secara luas sedang “K kecil” adalah keamanan masyarakat. Pelibatan tugas antara polisi dan tentara memang sering tak bisa dihindarkan dalam suatu keadaan yang menghendaki pelibatan antara keduanya. Di negara-negara maju hal ini tak menjadi masalah karena sudah berjalan dengan baik dalam batas-batas tertentu, waktu tertentu, kewenangan tertentu, tanggungjawab tertentu.

Tetapi di Indonesia dalam masa transisi ini memang tak mudah karena Negara/Pemerintah belum dapat mendisain Tataran Kewenangan Pelibatan Tentara dalam otoritas sipil kemudian memunculkan multi tafsir terhadap masalah keamanan nasional dan pelibatan kewenangannya masih ditafsirkan secara sektoral oleh pihak DEPHAN dan TNI.

Mencermati isi materi bentuk konfigurasi permasalahan keamanan nasional tampak jelas TNI ingin memasukkan kewenangannnya ke fungsi KAMNAS secara luas dan serta merta. Dalam isi materi bentuk konfigurasi permasalahan keamanan nasional maupun literatur tak ada keterangan, misalnya harus dengan keputusan politik. Padahal dalam UU TNI Nomor 34 Tahun 2004 sudah tegas, pelibatan militer dalam MOOTW harus dengan keputusan politik. Dalam berbagai referensi sudah sangat gamblang, bahwa pelibatan militer ke wilayah sipil yang serta merta akan merusak demokrasi, melanggar hak-hak sipil bahkan HAM dan secara empiris sudah kita alami dan berpotensi otoriter, diktator yang menghancurkan sendi-sendi kehidupan social politik dan ekonomi bangsa.

(11)

minimal melibatkan 3 lembaga negara yaitu Presiden, DPR dan Menhan. Jika kita perhatikan pada konfigurasi permasalahan yang ada pada RUU KAMNAS versi DEPHAN/TNI di atas banyak mangkas kewenangan Polri padahal dalam konsepsi universal Kepolisian harus menjadi motor pendukung tegaknya demokrasi karena inti demokrasi adalah kepatuhan pada hukum. Sehingga RUU KAMNAS yang akan disyahkan oleh DPR berpotensi duplikasi dan menimbulkan friksi-friksi terkait perbenturan kepentingan kelompok tertentu yang ingin mempertahankan status quo, yang tidak memahami nuansa supremasi sipil terutama perlibatan TNI pada otoritas sipil sebagaimana RUU KAMNAS (dimana hal ini mencederai semangat reformasi dan melanggar konstitusi, kaedah dan norma konvensi-konvensi internasional yang ada).

POTRET HUKUM DI INDONESIA

Sejak presiden SOEHARTO “Lengser ke Prabon” Tanggal 21 Mei 1998 bangsa Indonesia memasuki panggung sejarah baru yang dikenal dengan Era Reformasi. Reformasi adalah sebuah tekad bangsa Indonesia untuk menjadi bangsa yang demokratis dengan tiga substansi mendasar yaitu mengedepankan supremasi penegakan hukum, mengutamakan keterbukaan dan akuntabilitas sehingga reformasi ingin mengkoreksi kekurangan dan kesalahan bangsa di masa lalu setidaknya tiga hal yang sangat esensial yaitu kekuasaan yang otoritarian, sentralistrik dan KKN.

Dengan demikian inti reformasi adalah memperbaiki hal-hal buruk dan yang dipandang baik dipertahankan dan ditingkatkan, keburukan masa lalu intinya adalah tiga hal tersebut diatas.

Kekuasaan yang otoritarian telah mengabaikan bahkan mematikan demokrasi sedangkan kekuatan yang sentradistrik telah menghambat pemerataan kesejahteraan dan keadilan serta tidak adanya keterbukaan yang menghambat terwujudnya akuntabilitas sehingga tiga hal tersebut menimbulkan dan menyuburkan praktek KKN di Indonesia.

Selanjutnya untuk memudahkan pemahaman tentang reformasi, para pakar telah mendefinisikan orde baru dengan bijak adalah perilaku kekuasaan yang otoritarian, sentralistik dan KKN, jadi siapapun penguasa yang punya tiga ciri atau salah satu dari tiga ciri tersebut pada dasarnya dia adalah ORDE BARU meskipun ia terlahir dari rahim reformasi, konteks ini dimaksudkan bukan orang per orang, bukan kelompok, bukan pula partai politik, tetapi perilaku penguasa atau kekuasaan dengan tiga ciri diatas. Sangat salah bila kita mengartikan Orba adalah orangnya atau kelompoknya karena kalau itu dipaksakan berarti kita telah melanggar HAM dan hukum yang justru harus di tegakan di era reformasi ini dengan tatanan supremasi hukum.

(12)

Disisi lain dalam rangka mengkaji masalah ini sangat perlu kiranya kita kaji pula perkembangan tentang sistim Kepolisian sejak pradaban sampai era global saat ini karena perkembangan ini akan sangat berpengaruh dalam strategi terhadap sistim penegakan hukum, demikian pula jika kita jujur harus dapat melihat sejarah lahirnya Polri di Indonesia dan belajar dari pengalaman nasional bangsa yang merupakan saksi sejarah yang paling jujur di tanah air.

Di era reformasi negara dan rakyat menata kembali peran dan fungsi TNI dan Polri secara proporsional, dan inilah korelatif dalam tulisan ini yang kita coba sosialisasikan melalui pemolisian birokrasi yang merupakan sebuah landasan teori baru yang sedang dikembangkan saat ini sebagai dasar pijakan dalam penyelenggaraan reformasi di Indonesia.

Kita sadar bahwa Reformasi Polri mencakup tiga hal mendasar yang meliputi struktural, instrumental, dan kultural. Struktural secara bertahap telah selesai tahun 1999 dengan keluarnya Polri dari TNI dan tahun 2000 keluar dari Dephan. Instrumental berhasil secara pasti awal 2002 dengan diundangkannya UU Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara RI. Semua ini mempengaruhi kultural Polri bentangan reformasi kultural inilah yang dirasa tidak mudah. Karena selama lebih 50 tahun Polri dilahirkan dan dibesarkan dari kawah candradimuka tentara sehingga masyarakat selama era itu nyaris sulit membedakan antara TNI dan Polri.

Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidato akhir tahun 31 Desember 2005, mengatakan lemahnya penegakan hukum di Indonesia disebabkan oleh kurangnya kemauan politik serta lemahnya sistem kelembagaan dari aparatur penegak hukum, kelemahan itu terutama dirasakan dalam pemberantasan korupsi, pencucian uang, ilegal logging, ilegal fishing dan berbagai penyelundupan. Dengan demikian pemerintah akan segera mengambil langkah-langkah tegas untuk mengatasi berbagai kelemahan tersebut, tandas Presiden.

Konteks ini mengisyaratkan bahwa perlunya pembangunan Polri yang kuat selaku garda terdepan dalam rangka penegakan hukum, jika dikaitkan dengan konteks RUU KAMNAS saat ini sangat kontra produktif dan mencederai semangat reformasi serta melanggar kaidah dan norma-norma hukum yang ada.

(13)

kepastian hukum dibangun dan ditentukan dari hal-hal kecil yang esensial yang sangat menyentuh kehidupan sehari-hari sampai ke hal-hal yang besar seperti larangan merokok.

Bahwa negara dalam membangun demokrasinya tidak bisa dibangun dengan tergesa-gesa setahun, 10 tahun apalagi sehari reformasi tetapi membutuhkan waktu panjang dan matang karena demokrasi yang dibangun dengan tergesa-gesa karena bukan hanya merusak sendi-sendi sosial politik tetapi juga sistem penegakan hukum, dimana didalam kontek ini ada 2 asumsi terhadap era reformasi dewasa ini :

1. Reformasi berjalan lamban bahkan mandeg terlihat jika ruh reformasi adalah penegakan supremasi hukum yang belum berjalan secara baik kepastian dan kesamaan hukum nyaris belum berubah dari era sebelumnya.

2. Kalangan akademik menilai bahwa reformasi yang paling cepat di Indonesia justru pada lembaga Polri ketimbang lembaga-lembaga lain seperti TNI dan BIN. Terutama dalam tatanan struktural dan instrumental. Reformasi di bidang kultur masih perlu waktu karena cakupannya sangat kompleks meski sudah diawali dengan perubahan paradigma Polri dan peningkatan profesionalisme dengan cara mengedepankan scientific crime investigation untuk mengungkap berbagai kasus-kasus besar dan terorisme di Indonesia yang telah mengharumkan nama bangsa Indonesia di panggung dunia dan Polri mendapat hadiah berbagai bantuan dari luar negeri dan PBB dan menjadi kiblat pendidikan terorisme dunia dan selaku ketua TNCC dan DVI yang ditunjuk oleh PBB.

SEMANGAT REFORMASI

Di era reformasi segala penyimpangan harus diluruskan secara proporsional karena dalam berdemokrasi tidak bisa lepas dari tata krama global dimana harus mentaati hukum serta konvensi-konvensi dunia dan dampak peradaban global. Perkembangan peradaban juga mempengaruhi tata cara berdemokrasi dan dalam pergaulan dunia yang humanis. Selanjutnya jika kita cermati ruh reformasi amanat Tap MPR III, V, VI dan VII tahun 2000 maka ada empat hal prioritas :

1. Civil Society;

2. Pemisahan fungsi pertahanan yang diemban dan menjadi tanggung jawab TNI dan fungsi keamanan yang diemban dan menjadi tanggung jawab Polri.

3. Pemisahan struktur TNI dan Polri

4. TNI dan Polri tunduk pada peradilan umum.

(14)

pertahanan dan fungsi keamanan. Fungsi pertahanan tanggung jawab TNI. Fungsi keamanan tanggung jawab Polri. Tap MPR juga mengamanatkan tuntutan rakyat agar TNI dan Polri tak berpolitik praktis, tidak berbisnis dan menaati UUD 1945 secara konsekuen TNI dan Polri harus tunduk pada KUHP umum dan peradilan umum seperti filosofis hukum, “equality before the law”. Selain itu TNI dituntut tidak membuat struktur organisasinya seperti era orba karena TNI termasuk TNI-AD bukan pelayanan publik.

Polri telah mereform 3 hal : reformasi struktural (struktur organisasi modern), reformasi instrumental sudah punya UU nomor 2 Tahun 2002 Tentang Polri, reformasi kultural mengubah paradigma Polri profesional independen, santun dan beradab (civilized).

Reformasi struktural Polri, harus mengacu pada era kejayaannya (1946-1960) dimana struktur Polri langsung dibawah Presiden setelah mencoba di bawah Departemen Dalam Negeri, Kejaksaan dan DepHankam malah membuat Polri tidak berdaya. Terlebih lagi budaya masyarakat Indonesia, intervensif melemahkan Polri selaku penegak hukum yang mestinya independen. Polri mulai lemah menjelang akhir rezim Bung Karno, Polri serumah dengan TNI menjadi ABRI. Polri pada titik nadir era orba rezim pak Harto yang telah mendesain Polri hanya sub kecil dari sistem Hankam dan TNI-AD sangat berkuasa di semua sektor termasuk pekerjaan Polri diambil alih TNI-AD. Inilah ruh reformasi, TNI-AD harus sesuai dengan Tap MPR VI dan VII tahun 2000 mau merubah struktur organisasinya tidak seperti era orba dan tunduk pada peradilan umum. Ruh atau semangat reformasi ini harus dijadikan tonggak awal pembaruan di tubuh TNI khusunya TNI-AD.

CAUSING FACTORS

Merujuk kepada konvensi-konvensi dunia yang telah menetapkan Kepolisian adalah pelayan publik. Dimana struktur organisasinya disesuaikan dengan perkembangan masyarakat dan spektrum ancaman setiap negara. Dengan demikian tak ada struktur organisasi Kepolisian yang sama diberbagai negara. Yang pasti kini banyak negara telah merubah sistem Kepolisiannya menjadi Kepolisian nasional dari pusat sampai tingkat terbawah (Kecamatan atau Desa) sesuai peta migrasi. Polri di tahun-tahun awal kemerdekaan sampai akhir abad XX menjadikan Polsek (Struktur Polri tingkat Kecamatan) sebagai Basic Deteksi Dini (BDD) terhadap kerawanan sosial maka dengan peta migrasi yang sangat cepat bisa jadi daerah-daerah tertentu tak relevan lagi Polsek sebagai BBD tetapi desa atau Pos Pol sebagai BBD.

(15)

Jika struktur organisasi TNI-AD mengikuti struktur Polri selain tak lazim juga membuat titik singgung dengan Polri tak terelakkan. Semestinya struktur organisasi TNI-AD berbentuk Batalyon, Brigade, Resimen dan sebagainya, bukan seperti Polri yang pelayan publik. Selama TNI-AD strukturnya seperti Polri maka perselisihan dengan Polri akan terus terjadi. Inilah “causing factor” timbulnya friksi antara oknum TNI-AD dan Polri, bukan karena tingkat kesejahteraannya minim. Karena struktur organisasi TNI-AL dan TNI-AU tidak seperti TNI-AD tetapi berbentuk Batalyon, Skadron, Brigade, Armada dengan demikian tak pernah bersinggungan dengan ladang tugas Polri.

Karena Polisi pelayan publik maka tiap hari kantor polisi dari tingkat Polsek sampai Mabes selalu banyak tamu masyarakat mengurus berbagai kepentingan, sedang kantor-kantor TNI-AD sepi tamu karena memang tak ada hubungan dengan masyarakat. Bagi anggota TNI-AD yang tak sadar peran ini bisa iri lalu melakukan tindakan yang bisa menimbulkan friksi-friksi. Karena itu jika TNI-AD tetap bersikukuh membuat struktur organisasi sama dengan Polri, harus legowo melihat kantor polisi selalu banyak tamu sedang kantor TNI-AD sepi dari tamu karena TNI bukan pelayan publik. Jadi masalahnya bukan pada kesejahteraan prajurit. Jika jujur pegawai negeri manakah di Indonesia yang sejahtera hidupnya? Tidak ada.

Karena negara memang belum dapat mensejahterakan mereka. Jika ada pegawai negeri baik PNS, TNI maupun Polri yang kaya raya harus diusut kekayaannya karena boleh jadi hasil dari korupsi atau berbisnis dengan memanfaatkan pengaruh jabatan/kewenangan.

TEORI MONTESQUE

Bahwa tugas Polri selain bertugas sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat juga sebagai pengawas dan sebagai penegak hukum. Berangkat dari tataran empiris yang panjang ketika pakar hukum tata negara Van Vollen Hopen yang merevisi teori Montesque “Trias Politica” tentang tiga kekuatan negara yaitu

1. legislatif (pembuat Undang-undang);

2. eksekutif (penyelenggaraan Undang-undang) dan 3. yudikatif (peradilan dari Undang-undang)

(16)

Bertitik tolak dari uraian landasan teori tersebut diatas maka sadar atau tidak sadar bahwa semua yang muncul saat ini dan kondisi bangsa carut marut seperti ini adalah juga residu dari sebuah sistem dimasa lalu dimana jika boleh bangsa Indonesia ini jujur bahwa TNI telah menjadi contributing factor dan causing factor

Dengan demikian para pendiri bangsa ini haruslah bersikap cerdas dalam menyikapi berbagai permasalahan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara secara arif, bijaksana dan berhati-hati serta proporsional dan komprehensip dalam mencermati merumuskan dan akan mensyahkan sebuah produk seperti RUU KAMNAS yang jelas-jelas bertentangan dengan kaidah dan norma-norma hukum yang ada terlebih lagi dalam nuansa supremasi sipil.

Hal ini sangat penting untuk menjadi catatan serius dan diperhatikan oleh para penyelenggara negara bahwa jika RUU KAMNAS tersebut disyahkan tanpa dilakukan upaya kritisasi secara komprehensip dengan melibatkan para pakar hukum tata negara dan pidana serta melibatkan badan pengkajian hukum perguruan tinggi untuk memberikan masukan, koreksi terhadap substansi yang ada dalam RUU KAMNAS tersebut. Karena memiliki dampak yang sangat luas terhadap tatanan demokrasi dan sistem penegakkan hukum ketika dalam implementasinya operasionalnya bertentangan dengan semangat reformasi bangsa dan tidak mengindahkan norma aturan hukum internasional maupun konvensi-konvensi internasional yang menjadi acuan universal penyelenggaraan tugas TNI di wilayah otoritas sipil yang sangat syarat dengan nuansa supremasi sipil yang menuntut sebagai berikut :

1. terwujud dan tegaknya demokrasi;

2. terbangunnya kesadaran dan kepatuhan warga negara terhadap undang-undang; 3. terjamin dan tegaknya kepastian hukum dan kesamaan hukum secara konsekwen; 4. terselenggaranya akuntabilitas kinerja penyelenggaraan negara;

5. terwujudnya transparansi selaras dengan era keterbukaan; 6. dihormati dan terlindungnya hak asasi manusia;

7. semakin kuatnya kelembagaan aparatur penegak hukum; 8. terwujudnya keterbukaan informasi publik;

9. adanya pertanggungjawaban aparatur penyelenggara negara terhadap penyelenggaraan tugas dan perannya yang berjalan efektif dan efesien.

(17)

BAB III

PERMASALAHAN YANG MUNCUL DARI RUU KAMNAS TERHADAP EKSISTENSI POLRI

Bahwa penyelenggaraan tugas pokok fungsi dan peran Polri secara legalitas formal telah diatur dan ditegaskan dalam UUD 1945 yang kemudian secara jelas, tegas dan rinci diatur tersendiri dalam UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang didasarkan pada beberapa aspek pertimbangan meliputi aspek filosofis, sosial, yuridis, dan pertimbangan perbandingan hukum internasional yang diakomodir sejalan dengan landasan formal bagi reformasi Polri sebagaimana tertuang dalam TAP MPR No. VI / MPR/2000 tentang pemisahan TNI dan Kepolisian Negara Republik Indonesia dan TAP MPR No. VII/MPR/2000 tentang peran TNI dan Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Adapun keluarnya ketetapan MPR tersebut dilatarbelakangi oleh apresiasi masyarakat dan antisipasi bangsa dan negara dalam mengikuti perkembangan baik ketatanegaraan maupun laju pesatnya perkembangan dunia dan manusia dimana kehidupan masyarakat lebih mengerti akan hak dan kewajibannya di era supremasi sipil yang sarat dengan nuansa demokratisasi supremasi hukum, transparansi, akuntabilitas, dan hak asasi manusia. Kondisi tersebut diatas perlu diimbangi dengan peraturan perundang-undangan yang mampu mengantisipasi perkembangan jaman.

Dimana dalam UU kepolisian tersebut mencakup pokok-pokok konsepsi kepolisian yang meliputi sebagai berikut :

1. tujuan Kepolisian Negara Republik Indonesia;

2. landasan idiil filosofis Kepolisian Negara Republik Indonesia;

3. kedudukan dan susunan Kepolisian Negara Republik Indonesia; 4. fungsi Kepolisian Negara Republik Indonesia;

5. tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia; 6. asas-asas pelaksanaan tugas;

7. wewenang Kepolisian Negara Republik Indonesia;

8. tanggung jawab anggota Polri;

9. administrasi dan pembinaan personil;

(18)

Konteks permasalahan muncul ketika Polri dan TNI mengalami pemisahan setelah 40 tahun bergabung dalam ABRI, yang diawali dengan keluarnya Instruksi Presiden RI No. 2 tahun 1999 tentang langkah-langkah kebijakan dalam rangka pemisahan Polri dan ABRI yang menjadi landasan formal bagi reformasi Polri, kemudian diperkuat dengan keluarnya keputusan Presiden No. 89 tahun 2000 tentang kedudukan Polri, strukturnya dinyatakan bahwa Polri berkedudukan langsung dibawah Presiden dan berikutnya dipertegas lagi dengan keluarnya TAP MPR No. VI/MPR/2000 tentang pemisahan TNI dan Polri maupun TAP MPR No. VII/MPR/2000 tentang peran TNI dan peran Polri.

Kondisi tersebut diatas menjadi embrio awal munculnya multitafsir/interpretasi tentang definisi keamanan nasional antara Polri dan TNI yang salah satunya terwujud kedalam lahirnya RUU KAMNAS yang pada hakikat konsep awalnya terlihat bertujuan untuk membangun semangat kebersamaan dengan paradigma baru serta mensinergikan penyelenggaraan tugas keamanan, namun dalam konsep tataran implementasinya sangat bertentangan dan tidak memenuhi rasionalisasi dari sebuah legal drafting yang didalamnya menguraikan beberapa pertimbangan antara lain pertimbangan filosofis, sosiologis, yuridis, dan perbandingan hukum / konvensi internasional dalam nuansa supremasi sipil.

Disamping itu munculnya permasalahan ini dilatarbelakangi oleh begitu kuatnya upaya untuk memaksakan faktor kepentingan sesaat oleh pihak-pihak tertentu yang berupaya mempertahankan status quo dengan melakukan upaya strategis untuk mengalihkan dan mereduksi kewenangan peran strategis Polri kendati secara de facto dan de jure bertentangan dengan peraturan perundangan yang sudah ada serta mencederai semangat reformasi yang sudah dibangun untuk menggiring agar institusi Polri semakin kehilangan jati diri sebagai lembaga yang mandiri dalam menjaga keamanan dan penegakan hukum yang secara perlahan-lahan untuk diposisikan berada dibawah departemen agar Polri semakin tidak independen.

Kendati setelah pemisahan TNI dan Polri telah berjalan dengan landasan yuridis masing-masing namun tidak berarti kondisi ketidakberdayaan dan belum optimalnya penyelenggaraan tugas pokok, fungsi dan peran Polri dimasa transisi lalu dikhianati dengan upaya yang muncul melalui pengalihan, mereduksi dan memangkas peran strategis Polri dengan munculnya, ide penyusunan RUU KAMNAS yang notabene sebuah produk RUU yang cacat hukum karena tidak memenuhi rasionalisasi dari berbagai aspek sebagaimana diuraikan tersebut diatas.

(19)

penyusunan RUU KAMNAS yang menginginkan terbentuknya dewan keamanan nasional, telah menimbulkan permasalahan yang berlatar belakang kepentingan sektoral yang dapat memunculkan duplikasi/perbenturan kepentingan bahkan menghambat kemandirian Polri. Secara garis besar permasalahan utama terhadap konteks dan isi RUU KAMNAS sebagai berikut :

1. Bahwa RUU KAMNAS ide penyusunannya hanya melihat persoalan keamanan nasional dari 3 sudut pandang/variabel padahal permasalahan keamanan nasional tidak cukup itu namun setidaknya dilihat dari 4 variabel.

2. Bahwa RUU KMNAS disusun dengan kurang cermat tanpa melihat kaidah pokok yang terkandung dalam UU Polri, TNI dan pertahanan yang sudah ada dan berjalan serta tidak menimbulkan permasalahan dalam implementasi operasionalnya sehingga tidak perlu dimunculkan dan dipaksakan RUU KAMNAS.

(20)

BAB IV

KAJIAN AKADEMIK TERHADAP RUU KAMNAS

I. DISKRIPSI UMUM

Analisis kajian akademik terhadap draft RUU Keamanan Nasional (KAMNAS) yang akan disyahkan merupakan upaya strategis Polri dalam mencermati, mengkritisi sebuah produk RUU, apakah sudah memenuhi persyaratan formal untuk disahkan menjadi produk UU atau masih perlu pembahasan secara mendalam. Sebab RUU KAMNAS pada akhirnya akan menjadi sebuah rujukan/sumber referensi hukum bagi penyelenggaraan fungsi pemerintahan di bidang penyelenggaraan keamanan nasional. Terutama tugas fungsi dan peran Polri dalam RUU KAMNAS tersebut, dimana harus mencerminkan sebuah semangat perubahan dan kebersamaan yang menitik beratkan kepada upaya integrasi, sinergitas, koordinatif, yang dilakukan secara terpadu dan komprehensif.

Dengan demikian dapat memberikan kontribusi terhadap produktifitas dan kinerja Polri dalam menjawab kebutuhan masyarakat terkait dengan fenomena permasalahan yang berkembang di berbagai aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Dalam konteks ini analisis kajian terhadap RUU KAMNAS ini sangat dibutuhkan bagi Polri agar dapat melihat sejauh mana sebuah produk RUU KAMNAS tersebut telah memenuhi standarisasi persyaratan sebagai sebuah produk UU dan juga tidak bertentangan/menimbulkan duplikasi dengan Undang-undang lain sehingga dalam implementasinya tidak menimbulkan persoalan dengan UU yang sudah ada. Adapun standarisasi perumusan RUU antara lain : 1. Memenuhi dari persyaratan legal drafting/naskah akademik dari sebuah ide produk

Undang-undang.

2. Memberikan gambaran utuh secara jelas tentang kerangka berpikir dari sebuah ide produk Undang-undang.

3. Nuansa kebatihan dari sebuah ide produk Undang-undang.

4. Memenuhi persyaratan dari sudut pandang sistem dan format ketatanegaraan yang berlaku di Indonesia baik meliputi aspek eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

5. Memenuhi nilai filosofi/nuansa kebatinan yang mengemuka dan menjadi acuan/dasar pentingnya penyusunan RUU tersebut.

(21)

II. HASIL ANALISIS

Dari uraian tersebut diatas, telah dilakukan analisis kajian akademik terhadap RUU KAMNAS ditinjau dari sudut pandang legal drafting, maka dapat disampaikan beberapa hasil analisis sebagai berikut :

1. Dalam RUU KAMNAS tersebut belum terlihat jelas gambaran utuh tentang konsep rasionalisasi dalam bentuk legal drafting/naskah akademik tentang penyelenggaraan fungsi keamanan nasional dikaitkan dengan nuansa kebatinan yang menjadi filosofi kebutuhan dan tuntutan masyarakat dan oganisasi di era supremasi sipil yang mengutamakan dan menegaskan bahwa setiap penyelenggaraan fungsi pemerintahan di negara yang menganut paham supremasi sipil dimana setiap penyelenggaraan tugasnya harus senantiasa berlandaskan kepada asas demokratisasi, supremasi hukum, transparansi, akuntabilitas dan hak asasi manusia, bukan sebaliknya merumuskan sebuah produk RUU seperti KAMNAS dengan memprioritaskan kepada pembahasan pasal per pasal.

2. Dari segi latar belakang ide/konsep penyusunan RUU KAMNAS pada hakikatnya bertujuan baik dan bernilai strategis terhadap kepentingan negara, namun dalam isi materi RUU KAMNAS tidak terlihat utuh mengalir sebagai sebuah kerangka berpikir ilmiah baik dari isi materi, pembahasan awal maupun pembahasan isi pasal per pasal, dalam RUU KAMNAS terlihat masih lebih menekankan pada proses penanganan masalah keamanan nasional dari sudut pandang ASPEK ANCAMAN sisi konsep pertahanan.

(22)

4. Pada materi ruang lingkup RUU KAMNAS tersebut, tidak semestinya mengklasifikasikan bentuk keamanan nasional kedalam bentuk seperti yang sudah ada didalam materi RUU KAMNAS tersebut dengan merujuk kepada istilah yang ada dalam Undang-undang 1945, seperti

a. keamanan insani,

b. keamanan publik,

c. keamanan kedalam, dan

d. keamanan keluar,

Ruang lingkup keamanan nasional sebagaimana yang tercantum dalam RUU KAMNAS kurang lazim digunakan dalam konvensi dunia dan terkesan dipaksakan, bahkan cenderung bertentangan dengan konsep dan pengertian keamanan yang sudah berlaku umum baik ditingkat nasional dan konvensi internasional. Seperti pengertian keamanan insani dan keamanan publik pada hakekatnya sama dan overlapping, sebab subyek dan obyek keamanan adalah publik dan keamanan insani sama yakni masyarakat baik sebagai individu maupun sebagai warga masyarakat (warga negara). Ruang lingkup RUU KAMNAS yang mencantumkan keamanan insani lebih mengarah pada kepentingan tertentu agar masalah penanganan keamanan dalam negeri dan atau nasional dapat dilaksanakan oleh aktor lain selain Polri.

Pengertian dan ruang lingkup keamanan ditenggarai syarat dengan kepentingan karena diguga akan muncul aktor lain dalam pemeliharaan keamanan dalam negeri disamping institusi Polri. Apabila RUU KAMNAS telah disyahkan menjadi UU maka tidak menutup kemungkinan akan terjadi benturan kepentingan pada tingkat operasional karena ada lebih dari satu institusi yang memiliki kewenangan dan tanggungjawab dalam memelihara keamanan dalam negeri, setidaknya akan terjadi overlapping dan duplikasi sesuai dengan UU No.2 Tahun 2002.

5. Prioritas utama dalam RUU KAMNAS seharusnya mengklasifikasikan bentuk keamanan nasional tersebut kedalam bentuk degradasi gangguan keamanan nasional kedalam 4 jenis gangguan keamanan meliputi kejahatan konvensional, trans nasional crime, kejahatan terhadap kekayaan negara dan kejahatan yang berimplikasi kontijensi/SARA, agar tidak kontraproduktif dengan definisi keamanan.

(23)

ancaman yang mengarah pada aspek keamanan nasional tetapi bukan dari konteks pertahanan.

7. Dari segi definisi operasional, pengertian Keamanan Nasional dalam RUU KAMNAS tersebut cenderung bias karena bukan merupakan redaksional yang baku dan sudah dijadikan rujukan atau referensi kesepakatan umum. RUU yang baku biasanya melihat dari berbagai sudut pandang meliputi aspek filosofis, yuridis, sosiologis dan pertimbangan perbandingan hukum internasional.

8. Dari sudut kerangka berpikir RUU KAMNAS, masih belum jelas dan tidak runtut/tidak mengalir sebagai sebuah kerangka berpikir yang ilmiah akademik dan bernilai strategis. Pengertian Keamanan Nasional walaupun kelihatan luas namun hakekatnya terlalu sempit karena hanya melihat diimensi keamanan dari persepektif ancaman, seharusnya melihat keamanan dari persepektif yang lebih luas, baik ancaman, tantangan, hambatan, maupun ganggunan (ATHG).

9. Dalam pasal 1 tentang ketentuan umum RUU KAMNAS, hampir semua definisi yang menyangkut keamanan nasional bukan merupakan redaksional yang berlaku umum, disamping itu ada yang janggal dan tidak ada korelasinya dalam BAB pengertian dengan memasukan definisi DPR RI dan DPRD dalam RUU KAMNAS (apa maksudnya)?

10. Dalam Pasal 2 RUU KAMNAS tentang hakikat KAMNAS, belum terlihat jelas definisi operasional tentang keamanan nasional itu apa dan darimana sumber rujukannya, tidak jelas siapa yang bertugas kedalam dan keluar (dalam konteks ini siapa yang menjadi leading sektor untuk kedua definisi tersebut).

11. Pada pasal 3 RUU KAMNAS tujuannya masih sempit, belum dapat menjawab persolan atau hakekat keamanan yang sebenarnya karena hanya berujung pada bebas dari ancaman saja bukan dari ATHG. Pada hal yang dibutuhkan oleh individu, masyarakat, bangsa dan negara serta proses pembangunan nasional bebas dari ATHG bukan hanya ancaman. Implikasi tujuan semacam itu maka muncullah pasal 4 huruf c, yang secara jelas merupakan tugas dan fungsi intelegen negara (BIN), fungsi penyelenggara keamanan nasional lebih mengedepankan pada tugas-tugas intelegen atau operasi intelegen sebagaimana termaktub/tersirat dalam huruf c tersebut.

(24)

13. Masalah rumusan ancaman “keamanan nasional”, sebagaimana tersirat pada pasal 16 berkenaan dengan spektrum ancaman paling lunak sampai dengan paling keras, spektrum ancaman paremeternya belum jelas sehingga akan mengundang multi tafsir dalam membaca dan memahami UU KAMNAS. Kiranya tidaklah cukup ancaman dalam arti lunak diterjemahkan dalam keadaan aman dan tertib kemudian yang ancaman keras diartikan keadaan gawat atau kerusuhan social yang bersifat nasional.

Pasal ini akan menimbulkan permasalahan pada tingkat implementasi atau pengelolaan keamanan karena parameter dan spektrumnya serta indikatornya belum jelas, dan siapa atau institusi apa (TNI, atau Polri) yang bertanggungjawab pada saat kondisi ancaman masih lunak, local, begitu pula bila eskalasi ancaman semakin luas siapa yang bertanggungjawab ? Dalam konteks ini dimana peran Polri sebab Polri juga memiiki kewenangan dan tupoksi mengamankan dan bertanggungjawab terhadap keamanan dalam negeri.

Dalam hal prinsip pelaksanaan keamanan nasional, tidaklah cukup hanya 9 item atau aspek saja, tetapi masih terdapat aspek yang lebih penting ditinggalkan oleh RUU KAMNAS, yakni aspek sosial budaya, aspek ini amat penting karena berkaitan dengan harkat, martabat, dan karakter budaya bangsa. Dalam perspektif social budaya keamanan nasional akan sulit terwujud mana kala negara tidak mampu melayanani publik secara adil, menciptakan kesejahteraan social, dan mempertahankan serta menumbuhkembangkan budaya bangsa. Karenanya aspek sosial budaya inilah yang akan menjadi key factor ketahanan dan keamanan nasional yang sebenarnya. 14. Dalam Pasal 20 RUU KAMNAS tentang unsur dan peran penyelenggaraan KAMNAS

sangat sedikit dan tidak jelas peran dan eksistensi Polri berapa persen porsinya dalam RUU KAMNAS tersebut mengingat RUU KAMNAS domainnya adalah masalah keamanan. Sementara secara “defakto dan dejure” masyarakat umum sudah mengetahui dan mengakui bahwa selama ini institusi Polri selaku leading sector pelaksana dan penanggung jawab keamanan dalam negeri dibantu TNI. Dalam konteks ini seharusnya RUU KAMNAS mempertegas dan memperkuat 2 institusi yang bertanggung jawab di bidang keamanan nasional yaitu :

a) Institusi Polri bertugas pokok di bidang penegakan hukum dan keamanan; b) Institusi TNI bertugas pokok menjaga kedaulatan negara.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa unsur keamanan nasional dalam konteks RUU KAMNAS ini dibentuk dalam kerangka memenuhi kepentingan kelompok tertentu dalam arti syarat dengan nuansa politis.

(25)

15. Dalam diuraikan pada pasal 22 RUU KAMNAS terlihat tidak jelas dan tegas fungsi dan tugas pokok institusi Polri dan TNI berapa porsi peran masing-masing pembagian tugasnya dihadapkan dengan degradasi gangguan keamanan nasional tersebut. Bila dibandingkan dengan peran BIN. Sementara akar masalah munculnya ide RUU KAMNAS tersebut berawal dari adanya implikasi pemisahan peran TNI dan Polri.

16. Dalam pasal 20 RUU KAMNAS unsur keamanan nasional dimaksud tidak muncul istilah dewan keamanan nasional, namun di pasal 24, 25 dan 26 , tiba-tiba muncul istilah dewan keamanan sedangkan diketentuan umum istilah tersebut tidak ada. Demikian juga dengan istilah DPR yang merupakan badan legislatif dari sistem ketatanegaraan dimana Polri merupakan bagian dari unsur yudikatif dan institusi TNI statusnya berada diluar dari sistem Ketatanegaraan tersebut, dalam konteks ini mengapa tiba-tiba muncul dalam definisi keamanan nasional dan institusi BIN posisinya berada dimana dari sistem Ketatanegaraan.

17. Dalam pasal 20 RUU KAMNAS bila dicermati pada dasarnya merupakan pasal yang syarat kepentingan politik pemerintahan, karena RUU KAMNAS menegaskan kembali keberadaan ‘eksekutif’ baik pada pemerintahan tingkat pusat, propinsi maupun kabupaten/kota. Pada hal dalam UU Pemerintah Daerah peran strategis pemerintah pusat, pemerintah propinsi dan kabupaten/kota sudah sangat jelas sehingga tidak perlu disebutkan kembali pada UU KAMNAS. Disamping itu, pasal 20 ini tidak dapat dipisahkan dengan pasal 22 tentang peran aktif BIN dan mempertegas keberadaan unsur BIN dalam setiap penyelenggaraan keamanan nasional. RUU KAMNAS dengan demikian dapat dikatakan sebuah strategi dan taktik pemerintah untuk memperkuat peran strategisnya (eksekutif) dalam mengendalikan keamanan nasional atau pembangunan nasional. 18. Pengelolaan Keamanan Nasional menurut draf RUU KAMNAS pada pasal 24 ialah

“Dewan Keamanan Nasional” yang diketuai oleh Presiden dan wakil ketua oleh Wakil Presiden, sedangkan Ketua Harian Pejabat Negara setingkat Menteri yang ditunjuk Presiden dengan anggota dewan tetap dan tidak tetap. Persoalannya, mengapa sudah ada institusi pengelola keamanan dan pertahanan negara harus dilahirkan kembali pengelola keamananan nasional ? apakah Kementerian Pertahanan, TNI, dan Polri sudah tidak mampu mengelola keamananan negara ? Bukankah ini bentuk inefisiensi birokrasi publik dalam era reformasi birokrasi ? yang diperlukan sebenarnya bukanlembaga baru seperti Dewan Keamanan Nasional tetapi optimalisasi koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi (KIS) kinerja pengelola pertahanan dan keamanan serta ketertiban masyarakat dengan melibatkan berbagai stakeholders keamanan.

(26)

19. Dalam pasal 30 RUU KAMNAS, perumus RUU KAMNAS terjebak dengan konsepnya sendiri antara lain :

a. Panglima TNI bertugas menetapkan dan melaksanakan kebijakan operasional dan strategi militer berdasarkan kebijakan dan strategi penyelenggaraan negara dalam rangka pelaksanaan KAMNAS.

b. Kapolri menetapkan dan melaksanakan kebijakan penyelenggaraan fungsi kepolisian yang meliputi pemeliharaan keamanan, ketertiban masyarakat, perlindungan, pelayanan, pengayoman, dan penegakan hukum dalam rangka pelaksanaan keamanan nasional.

20. Penjelasannya berkaitan dengan pasal tersebut adalah pasal tersebut sudah tegas dan jelas merumuskan definisi keamanan nasional yang diemban antara TNI dan Polri yang telah dipisahkan, dengan demikian seharusnya RUU KAMNAS tersebut lebih mengadopsi dan memperkuat sisi kepentingan fungsi tugas dan peran Kepolisian yang selama ini sebagai leading sector pelaksana dan penanggung jawab keamanan dalam negeri. Hal ini harus dijadikan catatan penting oleh para stake holder penyelenggara negara bahwa ketidakoptimalan serta ketidakberdayaan Polri bukan berarti menjadikan Polri semakin tidak eksis dengan melakukan upaya strategis melalui ide penyusunan RUU KAMNAS, karena pada akhirnya akan merugikan institusi Polri bila tidak diposisikan sebagaimana yang seharusnya sesuai dengan ketentuan dan pertimbangan dari berbagai aspek antara lain ditinjau dari segi profesionalitas, proporsional dan pertimbangan hukum-hukum internasional yang menjadi acuan tugas Polri selama ini.

21. Dalam pasal 29 tersebut tentang fungsi lembaga pemerintah non kementerian juga menetapkan kebijakan dan melaksanakan kebijakan penyelenggaraan dan tanggung jawab sesuai fungsinya berdasarkan kebijakan. Sementara dipasal 30, ada 3 institusi yang muncul yaitu TNI, Polri dan BIN. Dimana Peran BIN dalam sistem ketatanegaraan kita tidak ada istilah BIN, sehingga keberadaan BIN berada dimana dari 3 kerangka sistem ketatanegaraan.

(27)

Dilihat dari sudut rantai komando pengendalian penanganan masalah keamanan akan mengalami hambatan dan tantangan cukup serius, mengingat eskalasi keamanan membutuhkan tindakan tepat dan rantai komando yang cepat, Polri dan TNI harus cepat melaporkan kepada pimpinan masing-masing secara hierarkis. Dalam konteks ini para stake holder Polri harus mewaspadai bahwa strategi tersebut bertujuan untuk menggiring agar institusi Polri berada dibawah departemen yang pada akhirnya menjadikan Polri semakin tidak berdaya, tidak mandiri dan hal ini mencederai semangat reformasi. 23. Pada pasal 24 ayat 1, dalam konteks RUU KAMNAS, terjadi pengulangan peran presiden

yang sangat besar yang kemudian dipertegas kembali dalam pasal 34 ayat 1.

24. Didalam pasal 23 RUU KAMNAS, begitu sangat jelas mengatur keberadaan fungsi dan peran TNI dan Bin yang seharusnya dalam RUU KAMNAS tersebut fungsi dan peran Polri harus lebih besar dari fungsi-fungsi penyelenggara lainnya.

25. Pada Pasal 53 RUU KAMNAS tentang Komando dan kendali penyelenggaraan keamanan nasional, terjadi kerancuan garis komando dimana

a. untuk tingkat nasional keamanan ditangani Presiden;

b. untuk tingkat strategis ditangani pemimpin kementerian, Panglima TNI, Kapolri, Kepala BIN, Kepala BNPB dan pemimpin lembaga pemerintah non kementerian; c. untuk tingkat operasional ditangan Panglima/komando satuan gabungan terpadu

(dalam konteks ini yang dimaksud panglima adalah Panglima TNI,demikian dengan; d. untuk tingkat taktis adalah dari unsur TNI.

Pasal 53 RUU KAMNAS ini apabila dikaji lebih dalam merupakan bentuk eliminasi peran Polri selaku penanggungjawab Keamanan Dalam Negeri, karena dalam RUU KAMNAS Komando operasional ditangan TNI/Panglima. Dalam konteks inilah terjadi duplikasi dan overlapping antara UU Kepolisian dan RUU KAMNAS.

26. Khusus pada ayat (1) butir c, tentang Komando dan kendali penyelenggaraan keamanan nasional, yang seharusnya pada tataran operasional, Kapolri selaku Leading Sector pelaksana dan penanggung jawab Keamanan Nasional Dalam Negeri, bukan Panglima TNI, yang didasarkan pada aspek kondisi degradasi gangguan keamanan yang berlangsung sebagaimana semangat daripada UU KAMNAS tersebut.

(28)

Hal ini terlihat pada pasal 53 ayat 2, tentang tataran kewenangan komando kendali sebagaimana dimaksud pada ayat 1 bertanggugjawab secara hierarki, hierarki yang dimaksud dalam konteks ini adalah fungsi TNI, yang seharusnya fungsi Polri.

28. Pasal 54 tentang pengawasan penyelenggaraan sistem keamanan nasional yang dilaksanakan secara berlapis melalui suatu pengawasan konsentrik sesuai kaidah pengamanan yang demokratis yang meliputi pengawasan melekat, pengawasan eksekutif, pengawasan legislatif, pengawasan publik dan pengawasan pengguna kuasa khusus. Hal ini tidak jelas maksudnya apa mengingat definisi operasional pengawasan tersebut tidak jelas.

29. Pada pasal 34 RUU KAMNAS tersebut belum terlihat jelas gambaran/arah dari bentuk-bentuk ancaman bersenjata yang merupakan bagian dari definisi kejahatan.

30. Pada pasal 25 RUU KAMNAS dalam butir d, perlu ditinjau kembali, bahwa mengendalikan penyelenggaraan keamanan nasional haruslah berdasarkan Degradasi Gangguan Keamanan, bukan ancaman.

Dalam butir b, menilai dan menetapkan kondisi keamanan nasional ini harus ditentukan sesuai dengan eskalasi gangguan keamanan bukan ancaman sehingga akan tergambar apa berbuat apa dan bertanggung jawab pada siapa pada masing-masing domain fungsi.

31. Pada pasal 27 dan 28, sangat tidak relevan dengan cakupan RUU KAMNAS dimana kementerian pertahanan sebagai Koordinator terhadap kementerian lain, sementara hal ini menyangkut keamanan itu sendiri, disatu sisi masih belum jelas kedudukan dan keberadaan KEMENPOLHUKAM, apakah tetap ada atau hilang dengan berlakunya RUU KAMNAS tersebut kendati dan lebih tepat dikoordinasikan oleh institusi seperti KEMENPOLHUKAM seperti saat ini.

32. Pada bagian mengingat dalam RUU KAMNAS tentang dasar hukum yang menjadi sumber rujukan pada penyusunan ide RUU KAMNAS acuannya UUD 1945, UU No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, UU No. 3 tahun 2002 tentang Pertahanan dan UU No. 34 tahun 2003 tentang TNI, terlihat kurang cermat dan komprehensif memperhatikan semangat reformasi Polri yang tertuang dalam Instruksi Presiden No. 2 tahun 1999 dan Keputusan Presiden No. 89 tahun 2000 yang kemudian dipertegas dengan keluarnya TAP MPR No VI/MPR dan VII/MPR tahun 2000 tentang pemisahan peran TNI dan Polri agar tidak terjadi kontraproduktif dengan penyelenggaraan tugas Polri.

(29)

33. Disisi lain Materi RUU KAMNAS dalam mengelompokan jenis gangguan keamanan nasional lebih didasarkan pada sudut pandang ancaman dari sisi pertahanan yang pada akhirnya akan terjadi bias dan tumpang tindih kewenangan antar Polri dan TNI dalam implementasinya yang seharusnya dalam RUU KAMNAS tersebut peran dan fungsi Polri porsinya harus besar dari fungsi TNI dalam konteks keamanan nasional.

34. Begitu pula Kebijakan dan strategi penyelenggaraan keamanan nasional dalam RUU KAMNAS tersebut harus lebih utama mengangkat masalah-masalah yang berpotensi dan menjadi FKK, PH dan ancaman faktual timbulnya gangguan keamanan, dimana Kapolri sebagai salah satu perumus kebijakan dalam RUU KAMNAS tersebut bukan panglima TNI.

35. RUU KAMNAS bila dilihat dari Bab VI pasal 57 cenderung dipaksakan untuk membentuk atau mengantarkan lahirnya lembaga baru atau birokrasi baru yang dikendalikan langsung oleh Presiden dalam mengantisipasi masalah pembangunan dan keamanan. Bahkan tidaklah berlebihan bila dikatakan Dewan Keamanan Nasional dan RUU KAMNAS merupakan Grand Strategi TNI dalam memainkan peran politiknya di masa depan. Pasal 57 yang menandaskan bahwa 6 bulan setelah UU KAMNAS harus terbentuk Dewan Keamaman Nasional merupakan indikator adanya akselerasi untuk mengamankan Pilpres 2014.

36. Oleh karena itu sepatutnya RUU KAMNAS harus disikapi secara kritis dan diwaspadai oleh para stake holder Polri sebagai bentuk strategi pengalihan dan upaya mereduksi pengurangan kewenangan tugas pokok dan fungsi Polri untuk beralih penanganannya kepada TNI dan unsur penyelenggara keamanan nasional sebagaimana dimaksud dalam RUU KAMNAS tersebut.

Dimana fenomenanya sudah terlihat dalam konteks refleksi kejadian konflik sosial dibeberapa daerah yang terindikasi sudah “dikondisikan” sebelumnya untuk menjadi sebuah peristiwa anarkis antara Polri dan massa, dengan memperlihatkan sebuah potret kelemahan dan ketidak berdayaan penyelenggaraan tugas pokok Polri dalam menyikapi permasalahan yang muncul dan berkembang dalam kontek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara saat ini.

(30)

BAB V

KESIMPULAN dan REKOMENDASI

I. KESIMPULAN

1. Setengah abad TNI dan Polri serumah di era orde baru telah mempengaruhi persepsi bahwa TNI dan Polri itu sama padahal TNI dan Polri berbeda dimana TNI harus tunduk pada satu doktrin militer dunia “Euis Ed Bellum” sebagai konvensi internasional yang menegaskan bahwa TNI dibawah DEPHAN untuk kontrol agar tidak mudah disalahgunakan, adapun Polri adalah lembaga independen dibidang pelayanan publik dan aparat penegak hukum sehingga organisasi Kepolisian disetiap negara berbeda-beda, tergantung pada system pemerintahan.

2. Reposisi Polri dibawah Presiden dan TNI dibawah DEPHAN merupakan keputusan reformasi oleh para pendiri negara yang harus disadari dan disikapi secara legowo dan arif serta dilaksanakan secara konsisten karena telah dikaji secara cermat dan matang oleh para pakar hukum juga berdasarkan kepada pengalaman nasional bangsa yang merupakan saksi sejarah yang jujur.

3. Ide penyusunan RUU KAMNAS sangat keliru dan sarat kepentingan serta terkesan dipaksakan sementara tidak memenuhi dari standar format penyusunan akademik/legal drafting sebuah produk UU yang benar sebagaimana ketentuan yang berlaku dalam Undang-undan nomor 10 tahun 2004.

4. Lahirnya sebuah produk RUU KAMNAS pada hakikat awalnya semangatnya adalah untuk memberikan penguatan dan mewujudkan semangat kebersamaan dengan paradigma baru dalam mewujudkan integritas, sinergitas, keterpaduan dan harmonisasi beberapa produk UU yang ada untuk saling melengkapi namun kenyataannya tidak harus mengambil alih, mereduksi dan memangkas secara perlahan-lahan tugas fungsi dan peran yang sudah ada dan dimiliki Polri melalui pembentukan dewan keamanan nasional”.

5. Tampak jelas bahwa TNI dan BIN ingin memasukan kewenangannya ke fungsi KAMNAS secara luas dan serta merta sementara dalam berbagai referensi/literatur sudah sangat gamblang bahwa pelibatan militer ke dalam otoritas sipil yang serta merta akan merusak tatanan demokratisasi dan hak asasi manusia sehingga setiap keterlibatan TNI harus dengan sebuah keputusan politik.

(31)

penanggung jawab keamanan nasional dan penegakan hukum serta ketertiban umum bukan fungsi TNI.

7. Output dari penyusunan RUU KAMNAS cenderung mengarah pada pembentukan lembaga koordinasi lintas sektoral yang mengurusi bidang keamanan nasional, sangat bertentangan dengan perundang-undangan TNI dan Polri yang sudah ada dan beberapa konvensi internasional.

8. Istilah dewan keamanan nasional bila dikaji secara filosofi adalah bentuk penghalusan dari model-model koordinasi keamanan nasional, padahal intinya adalah ingin memunculkan lembaga koordinasi baru dalam bidang keamanan yang pada hakekatnya bertujuan menghambat proses kemandirian Polri selaku leading sektor pelaksana dan penanggung jawab dibidang keamanan dalam negeri, penegakan hukum dan ketertiban umum selama ini dijalankan.

9. Bahwa sangat sulit dipahami semangat sebuah RUU seperti KAMNAS tanpa membaca naskah akademik apakah materi dan isi sudah sempurna dilihat dari dari sisi legal drafting, untuk dapat dipahami apa lagi untuk disosialisasikan.

10. Bila RUU KAMNAS tersebut ini disahkan, maka implikasinya sangat berpengaruh besar terhadap :

a. Kondisi politik, ekonomi, social budaya, ekologi dan agama karena isu keamanan sangat luas cakupannya.

b. Proses terwujudnya supremasi sipil yang syarat dengan nuansa demokratisasi, supremasi hukum, hak asasi manusia, transparansi dan akuntabilitas publik di Indonesia.

c. Proses sistem penegakan hukum, terwujudnya kesamaan hukum, keadilan serta ketaatan hukum masyarakat sebagai warga negara dimana di era demokratisasi Polri merupakan garda terdepan dalam mewujudkan kepatuhan warga masyarakat terhadap Undang-undang.

d. Posisi Polri yang tidak lagi sebagai lembaga independent/mandiri sehingga bertentangan dengan semangat reformasi.

Referensi

Dokumen terkait

Adapun program individu utama adalah Pembuatan Video Profil untuk Departemen Elektronika dengan tujuan Untuk membuat video promosi Prodi Elektronika Pertahanan di

Pada halaman utama seperti ditunjukkan pada Gambar 13 terdapat menu-menu yang dapat diakses oleh user, yang meliputi informasi tentang jumlah pasien, dokter

Sebuah bahan bisa memancarkan cahaya sendiri seperti lampu pada sebuah mobil atau mungkin menyebarkan beberapa cahaya yang masuk ke segala penjuru, dan mungkin juga

Nilai persamaan tidak berubah jika pada ruas kiri dan kanan dikalikan atau dibagi dengan bilangan negatif atau bilangan positif yang sama... MGMP Matematika SMK

Pembatasan ruang lingkup substansi sehingga hanya mencakup obyek keamanan yang terkait ancaman yang dapat merongrong kepentingan nasional (vital) yaitu kepentingan

Kriteria kegrafisan ditinjau dari beberapa komponen yaitu: Desain penyajian pada media memudahkan peserta didik memahami materi; Keserasian warna background,

Nije proveravao zavoje samo zbog toga što je to bilo neophodno, već i zato što nije bio u stanju da naĊe reĉi za nešto. Posmatram ga

Akan tetapi yang telah disepakati oleh para ulama dan orang-orang berakal akan keharamannya dan mereka menganggapnya termasuk kezoliman yang sangat besar dan dosa terbesar serta