PELAKSANAAN PEMUNGUTAN ROYALTI ATAS KARYA CIPTA BERUPA LAGU ATAU MUSIK OLEH YAYASAN KARYA CIPTA INDONESIA (YKCI) KEPADA
PENGGUNA MUSIK KOMERSIAL
A. Latar Belakang Masalah
Dalam perkembangan perdagangan yang semakin pesat ini, tidak bisa lepas dari hal-hal
lain yang terkait dengan kegiatan ekonomi, industri dan perdagangan itu sendiri diantaranya
adalah Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Saat ini, permasalahan perlindungan HKI tidak lagi
menjadi urusan satu negara saja, tetapi sudah menjadi urusan masyarakat internasional, karena
dalam hal intellectual property rights harus didasarkan pada tuntutan perkembangan peradaban
dunia. Terlebih sejak ditandatanganinya Agreement Establishing The World Trade Organization
(WTO) beserta lampiran-lampirannya, perlindungan HKI secara internasional semakin ketat.
Oleh karena itu, negara-negara yang turut serta dalam kesepakatan internasional, yang dalam
kerangka GATT/WTO (1994), yaitu kesepakatan TRIPs (Agreement On Trade Related Aspects
Of Intellectual Property Rights) sebagai salah satu hasil dari Final Act Embodying The Uruguay Round Of Multilateral Trade Negotiation harus menyesuaikan peraturan nasionalnya dengan kesepakatan TRIPs. Indonesia termasuk salah satu negara yang ikut menandatangani kesepakatan
itu dan meratifikasinya dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Ratifikasi
Perjanjian Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia. Sebagai salah satu negara yang
memiliki komitmen yang sangat kuat terhadap perlindungan HKI, Indonesia telah lama terlibat
HKI. Meskipun keikutsertaan tersebut tidak secara otomatis menghapus faktor-faktor penghalang
dalam penegakan HKI di Indonesia, setidaknya Indonesia telah menunjukkan kepada dunia
internasional bahwa HKI telah menjadi prioritas utama dalam pembangunannya saat ini.
Misalnya, pada saat WIPO (World Intellectual Property Organization) mengadakan perundingan
mengenai perjanjian internasional di bidang Hak Cipta dalam lingkup lingkungan digital, dikenal
sebagai Perjanjian Internasional Hak Cipta WIPO (WIPO Copyright Treaty/WCT). WCT
merupakan kemajuan besar pertama dalam Hukum Hak Kekayaan Intelektual internasional sejak
adanya TRIPs dan Indonesia adalah negara pertama yang meratifikasi perjanjian tersebut.
Indonesia terus melanjutkan perannya yang penting, termasuk menjadi satu dari kelompok
pertama negara-negara berkembang yang terus-menerus meninjau ulang perundang-undangan di
bidang HKI untuk disesuaikan dengan TRIPs. Hak Cipta merupakan salah satu cabang utama
HKI. Pada dasarnya, Hak Cipta adalah sejenis kepemilikan pribadi atas suatu ciptaan yang
berupa perwujudan dari suatu ide pencipta di bidang seni, sastra dan ilmu pengetahuan. Hak
Cipta memang sudah semestinya dilindungi karena perlindungan HKI sangat diperlukan dalam
rangka mewujudkan iklim yang lebih baik bagi tumbuh dan berkembangnya semangat mencipta
di bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra yang sangat diperlukan dalam pelaksanaan
pembangunan nasional yang bertujuan terciptanya masyarakat Indonesia yang adil, makmur,
maju dan mandiri berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945. Demi tercapainya tujuan tersebut,
maka Pemerintah Indonesia bersama DPR terus berusaha menyusun peraturan
diundangkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Setelah masa
revolusi sampai tahun 1982, Indonesia masih memakai Undang-Undang Pemerintah Kolonial
Belanda, yaitu Auteurswet 1912 No.600. Karena adanya keinginan dari bangsa Indonesia untuk
membuat suatu Undang-Undang Hak Cipta sendiri, maka banyak usaha telah dilakukan. Diawali
pada tahun 1958, Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan, Prijono, bersama Menteri
Kehakiman, G.A.Maengkom, telah menyiapkan Rancangan Undang-Undang Hak Cipta (RUU
HC). Kemudian diteruskan dengan usaha Departemen Kehakiman yang lalu dilanjutkan lagi oleh
LPHN (sekarang BPHN) pada tahun 1965, yang juga telah menyiapkan RUU HC. Tidak
ketinggalan juga RUU berikutnya dari pihak IKAPI pada tahun 1972. Dari atas usaha-usaha
tersebut, disusunlah Undang-Undang Hak Cipta (untuk selanjutnya disebut UUHC) Nasional
pertama, yaitu Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982. Setelah lebih kurang bertahan selama lima
tahun, ternyata Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982 perlu mengalami perubahan. Berdasarkan
UUHC 1982 perlindungan atas para Pencipta dianggap kurang memadai dibandingkan dengan
yang diberikan oleh hak cipta di luar negeri. Misalnya, perlindungan hak cipta berlaku selama
hidup Pencipta dan 25 tahun setelah meninggalnya Pencipta. Kategori karya-karya yang hak
ciptanya dilindungi pun terbatas karena hak-hak yang berkaitan dengan hak cipta (neighbouring
rights), misalnya, tidak memperoleh perlindungan hukum. Pada tahun 1987, UUHC Indonesia direvisi dan skala perlindungan pun diperluas. Diantara perubahan mendasar yang terjadi di
dalamnya adalah masa berlaku perlindungan karya cipta diperpanjang menjadi selama hidup
Pencipta dan 50 tahun setelah meninggalnya Pencipta. Karya-karya seperti rekaman dan video
demi kepentingan nasional dicabut karena pasal-pasal wajib mengenai lisensi hak cipta dianggap
telah memadai untuk menjaga kepentingan nasional. UUHC Nomor 6 Tahun 1982 pun berubah
menjadi UUHC Nomor 7 Tahun 1987. Sebagai konsekuensi keikutsertaan Indonesia
dalam pergaulan antar bangsa, Indonesia dengan segala keharusannya mesti turut serta untuk
meratifikasi GATT 1994/WTO yang salah satu dari kesepakatan tersebut memuat persetujuan
TRIPs. Meratifikasi GATT 1994/WTO berarti Indonesia harus menyesuaikan peraturan
perundang-undangan terkait dengan kesepakatan internasional itu. Konsekuensi logis dari
ratifikasi tersebut, Indonesia kembali harus merevisi UUHC Nomor 7 Tahun 1987 agar sesuai
dengan tuntutan TRIPs dan akhirnya lahir Undang Nomor 12 Tahun 1997.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1997 sendiri sebenarnya juga belum selaras dengan persetujuan TRIPs
yang telah dicapai dalam putaran GATT (Uruguay Round). Akhirnya, pada tahun 2002, UUHC
yang baru telah diundangkan dengan mencabut dan menggantikan UUHC Nomor 12 Tahun 1997
dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta yang memuat
perubahan-perubahan untuk disesuaikan dengan TRIPs dan penyempurnaan beberapa hal yang perlu untuk
memberi perlindungan bagi karya-karya intelektual di bidang Hak Cipta termasuk upaya untuk
memajukan perkembangan karya intelektual. Selain itu, yang penting artinya dalam UUHC yang
baru, ditegaskan dan dipilah kedudukan hak cipta di satu pihak dan hak terkait (neighbouring
rights), di lain pihak dalam rangka memberikan perlindungan karya intelektual ini secara lebih tegas. Di dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta ini juga dimuat
a. Database merupakan salah satu ciptaan yang dilindungi;
b. Penggunaan alat apapun baik melalui kabel maupun tanpa kabel termasuk media internet,
untuk pemutaran produk-produk cakram optik (optic disc) melalui media audio, media
audiovisual dan/atau sarana telekomunikasi;
c. Penyelesaian sengketa oleh Pengadilan Niaga, arbitrase, alternatif penyelesaian sengketa;
d. Penetapan sementara pengadilan untuk mencegah kerugian lebih besar bagi pemegang hak;
e. Batas waktu proses perkara perdata di bidang Hak Cipta dan Hak Terkait, baik di Pengadilan
Niaga maupun di Mahkamah Agung;
f. Pengaturan hak informasi manajemen elektronik dan sarana kontrol teknologi;
g. Pengaturan mekanisme pengawasan dan perlindungan terhadap produk-produk yang
menggunakan sarana produksi berteknologi tinggi;
h. Ancaman pidana atas pelanggaran Hak Terkait;
i. Ancaman pidana dan denda minimal;
j. Ancaman pidana terhadap perbanyakan penggunaan program komputer untuk kepentingan
komersial secara tidak sah dan melawan hukum.
Selain peraturan perundang-undangan yang telah disebutkan di atas, masih ada ketentuan
lain mengenai Hak Cipta di Indonesia sebelum adanya UUHC Nomor 19 Tahun 2002.
a. Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1986 jo Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 1989
Tentang Dewan Hak Cipta
b. Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1989 Tentang Penerjemahan dan/atau Perbanyakkan
Ciptaan untuk Kepentingan Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, Penelitian dan Pengembangan
c. Peraturan Menteri Kehakiman Nomor M.01-HC.03.01/1987 Tentang Pendaftaran Ciptaan
d. Keputusan Menteri Kehakiman Nomor M.04.PW.03/1988 Tentang Penyidikan Hak Cipta
e. Surat Edaran Menteri Kehakiman Nomor M.01.PW.07.03/1990 Tentang Kewenanangan
Menyidik Tindak Pidana Hak Cipta
Keseriusan Pemerintah untuk menjadikan permasalahan Hak Kekayaan Intelektual (HKI)
sebagai salah satu prioritas, juga ditunjukkan dengan adanya beberapa perjanjian internasional
yang kemudian diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden. Berikut ini
adalah beberapa Keputusan Presiden tentang Pengesahan Persetujuan Timbal Balik Hak Cipta,
yaitu
a. Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 1988 Tentang Pengesahan Persetujuan Timbal Balik
Hak Cipta Antara Pemerintah RI dengan Masyarakat Eropa
b. Keputusan Presiden Nomor 25 Tahun 1989 Tentang Pengesahan Persetujuan Timbal Balik
Hak Cipta Antara Pemerintah RI dengan Amerika Serikat
c. Keputusan Presiden Nomor 38 Tahun 1993 Tentang Pengesahan Persetujuan Timbal Balik
d. Keputusan Presiden Nomor 56 Tahun 1994 Tentang Pengesahan Persetujuan Timbal Balik
Hak Cipta Antara Pemerintah RI dengan Inggris
e. Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 1997 Tentang Pengesahan Bern Convention
f. Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 1997 Tentang Pengesahan WIPO Copyright Treaty
Dalam memberikan perlindungan hak cipta, hukum membedakan dua macam hak, yaitu
hak ekonomi (economic right) yang berhubungan dengan perlindungan kepentingan ekonomi
Pencipta, misalnya untuk mendapatkan pembayaran royalti atas penggunaan
(pengumuman/perbanyakkan) karya cipta yang dilindungi dan hak moral (moral right) yang
berkaitan dengan perlindungan kepentingan nama baik dari pencipta, misalnya untuk tetap
mencantumkan namanya sebagai Pencipta dan untuk tidak mengubah isi karya cipta. Sedangkan
pengguna musik atau lagu itu sendiri dapat dibedakan menjadi dua, yaitu pengguna musik atau
lagu non komersial (non commercial user) dan pengguna musik atau lagu komersial (commercial
user). Pengguna non komersial adalah pengguna yang menggunakan karya cipta berupa lagu
atau musik hanya untuk kepentingan atau dinikmati sendiri. Para pengguna non komersial ini
juga membayar royalti atas musik atau lagu yang mereka nikmati, namun royalti itu dibayarkan
bersamaan pada saat mereka membeli kaset atau compact disc (CD) tersebut. Sedangkan
pengguna komersial adalah pengguna musik atau lagu yang mempunyai tujuan komersial karena
dengan mereka memutar lagu atau musik tersebut, mereka akan mendapatkan keuntungan. Para
pengguna musik atau lagu komersial ini contohnya adalah hotel, bioskop, radio, televisi, dll.
Pengguna komersial ini memiliki ketentuan tersendiri dalam menbayar royalti lagu atau musik
tersebut. Untuk mengadministrasi royalti ciptaan-ciptaan lagu, di Indonesia dan juga di
Pengguna musik (music users) untuk mengurusi dan mengadministrasi pemakaian lagu dan
menyelesaikan kewajiban user untuk membayar royalti. Di Indonesia, lembaga yang melakukan
pekerjaan ini adalah Yayasan Karya Cipta Indonesia (YKCI). Lembaga ini bertujuan untuk
memudahkan Pencipta/Pemegang Hak Cipta dalam memonitor penggunaan karya ciptanya,
karena Pemegang Hak Cipta tersebut tidak bisa setiap waktu mengontrol setiap stasiun televisi,
radio, restoran ataupun pengguna komersial lainnya untuk mengetahui berapa banyak karya
cipta lagunya telah diperdengarkan di tempat tersebut.Hampir setiap sendi kehidupan, tidak
terlepas dari pemakaian lagu atau musik. Indonesia merupakan negara yang sangat besar dan
memiliki wilayah yang sangat luas, sehingga setiap Pencipta/Pemegang Hak Cipta tidak mudah
dalam memantau pemakaian lagu atau musik ciptaannya. Dengan demikian, peranan YKCI
sangat dibutuhkan untuk mengadministrasi royalti lagu atau musik dari user untuk selanjutnya
diserahkan kepada Pencipta ataupun Pemegang Hak Cipta. Namun, pada praktiknya,
pemungutan royalti yang dilakukan oleh Yayasan Karya Cipta Indonesia (YKCI) tidak jarang
menemui hambatan bahkan menimbulkan sengketa dengan para pengguna musik komersial.
Salah satu contoh kasus yang pernah dihadapi YKCI adalah adanya penolakan membayar royalti
oleh Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI). PHRI keberatan untuk membayar
royalti atas pemutaran lagu-lagu di hotel dan restoran yang ditetapkan oleh YKCI karena
menganggap belum tersedianya peraturan hukum tentang hak cipta musik. Tentunya hal ini dapat
menimbulkan sengketa serta menghambat kinerja YKCI dan pendistribusian royalti tersebut