• Tidak ada hasil yang ditemukan

88885199 Pemikian Gus Dur Budaya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "88885199 Pemikian Gus Dur Budaya"

Copied!
257
0
0

Teks penuh

(1)

Agama Di TV Dan Dalam Kehidupan

Oleh: Abdurrahman Wahid

(2)

karena membahas kurang lebih separuh warga masyarakat, yaitu kaum perempuan, tentu saja merupakan hal yang wajar pula. Pembahasan baru dianggap makro, menurut pandangan ketiga dalam pembedaan pandangan masyarakat tentang negara, karena mereka berpendapat bahwa bahasan yang tidak menyangkut struktur masyarakat, belumlah dianggap sebagai pembahasan yang serius. Bahwa pembahasan mengenai nasib perempuan, termasuk apakah poligami (beristri banyak) selayaknya dilarang atau tidak, juga menyangkut posisi dan harkat tiga milyard jiwa lebih kaum perempuan di seluruh dunia saat ini, dalam pandangan ini tidak otomatis menjadikan masalah gender sebagai masalah makro. Memang ini adalah masalah yang sangat besar dan menyangkut jumlah manusia yang sangat besar pula. Tapi, ia tidak terkait dengan masalah struktur masyarakat. Karena itu pula ia tetap diperlakukan sebagai masalah mikro. Di tambah dengan ketidakpedulian mayoritas jumlah laki-laki dan perempuan yang tidak memperhatikan masalah ini, dengan sendirinya masalah gender ini tidak berkembang menjadi masalah struktural. Memang para aktifis di berbagai bidang di lingkungan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) dari jenis hawa, selalu meneriakkan dengan lantang bahwa masalah perempuan/gender adalah masalah struktural, tetapi tetap saja masalah itu diperlakukan dalam dunia LSM intemasional dan domestik sebagai masalah non-struktural. Ini memang menyakitkan, tapi dalam kenyataan hal ini memang terjadi, dan kita tidak usah meratapinya. Perjuangan memang masih panjang, dan hal itu tidak perlu

diperlakukan secara emosional.

(3)
(4)

Akademi Betawi

Oleh: Abdurrahman Wahid

R. Soeprapto mulai dikenal sebagai gubemur yang memiliki visi unik diantara deretan gubemur dan walikota daerah ibukota kita ini. Visinya sangat sederhana: berpegang pada fungsi pemerintahan sebagai pemerintah daerah. Tidak seperti Ali Sadikin yang sering tidak ambil pusing dengan reaksi atau status pemerintah pusat

Orang dapat bertanya, tidakkah berbahaya bersikap terlalu menganggap diri hanya “berfungsi kedaerahan” seperti itu—mengingat kekhususan Jakarta sebagai daerah ibukota negara dengan keragaman etnis, budaya, agama, dan politik? Negara yang “agraris tapi maritime”, yang “tradisional tapi dinamis”? Semua itu menghendaki peranan tersendiri bagi DKI Jakarta. Australia yang lebih homogen masih memberikan kekhususan penuh kepada ibukotanya, Canberra, yang didudukkan dalam sebuah daerah administrasi bergelar ACT, Australia

Capital Territory.

Yang jelas pendirian "mempersempit jangkauan DKI" itu tercermin juga dalam sikapnya mengenai pengelolaan kehidupan seni di lingkungan Taman Ismail Marzuki tempo hari. Dalam sebuah pertemuan dengan pimpinan harian Dewan Kesenian Jakarta, waktu itu Gubemur Soeprapto mengemukakan pentingnya dalam bidang itu. "Kami hanya menyediakan sarana dan presarana, tidak lebih dari itu." Itu berarti, pembinaan kegiatan seni pada tingkat nasional bukan tanggung jawab masing-masing. Ketoprak urusan Pemda Jawa Tengah dan DIY. Ludruk urusan Pemda Jawa Timur, begitu seterusnya. Atau pemerintah pusat. Pihak DKI hanya menyediakan sarana dan prasarana. Taman Ismail Marzuki boleh dipakai siapa saja, tetapi pembinaannya oleh pemerintah DKI terbatas. Dimensi nasional kegiatan seni di Taman Ismail Marzuki, mau tidak mau lalu harus dikaitkan dengan "pihak pendamping" lain di luar pemerintah daerah. Direktorat Jenderal Kebudayaan? Sudah tentu. Begitu juga pihak pariwisata dan lembaga-lembaga yang mampu menyerap kegiatan seni. Ini harus selalu diingat,

kalau mengikuti jalan pikiran Gubemur.

(5)

menyangkut subsidi Pemerintah DKI. Lain-lainnya harus cari dari sumber lain. Memang mungkin tidak sampai sedrastis itu, tetapi, bagaimanapun memerlukan pemikiran ulang. Pendirian yang demikian jelas landasannya itu dating dari seorang pejabat yang tadinya terbiasa mengelola daerah-daerah dari pusat, sebagai sekretaris jenderal Departemen Dalam Negeri. "Terbiasa" dalam arti selalu harus menerapkan wewenang pemerintah daerah hanya pada daerahnya, karena menyimpang dari itu dapat membuat ia menjadi pejabat yang pilih kasih. Seorang pengatur lalu lintas antar daerah akan selalu menumbuhkan sikap demikian. Bahwa sikap seperti itu lalu membawa perubahan mendasar dalam penetapan kebijakan pemerintah DKI Jakarta dalam "penyediaan sarana dan prasarana" kegiatan seni di lingkungan TIM adalah soal lain lagi. Masalahnya adalah bagaimana halnya dengan Akademi Jakarta yang diisi "manusia-manusia bionik" yang sudah tidak kenal batas geografis, paham, dan lain-lain? Apakah mereka juga diharuskan hanya memikirkan kehidupan seni dan budaya di lingkungan DKI? Padahal, mereka sudah terbiasa dengan wawasan universal, dengan jarak jelajah yang tidak lagi antarbenua, melainkan antarplanet!

(6)

Arafat, Israel, dan Palestina Oleh: Abdurrahman Wahid

Akhimya, yang paling ditakuti terjadi juga. Perdana Menteri Israel Ariel Sharon, mengumumkan keadaan bahaya bagi Israel, mengurung Yasser Arafat di Ramallah dan membiarkan penangkapan besar-besaran-terhadap apa yang disebutnya sebagai "para teroris Palestina". Dengan langkah itu, Sharon secara praktis menutup jalan bagi penyelesaian damai masalah Israel-Palestina. Hal itu telah dimulai dari larangan atas Arafat untuk menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Arab di Beirut, dan disudahi dengan pengurungan atas dirinya oleh serdadu-serdadu Israel di Ramallah.

Karena situasi seperti itu, Gedung Putih di Washington DC terpaksa meminta agar Sharon tetap membuka jalan bagi tercapainya perdamaian permanen di kawasan itu. Benarkah pemyataan itu membuktikan Amerika Serikat tidak turut merencanakan tindakan Sharon tersebut, ataukah justru kunjungan Wakil Presiden Amerika Serikat Dick Cheney ke kawasan itu justru untuk mempersiapkannya, sejarahlah yang akan menjawab. Seperti kebanyakan kejadian sejarah, baru belakangan dapat diketahui secara pasti sampai di mana peranan pemerintahan Bush dalam masalah ini: menipu dunia ataukah ditipu Israel?

Tindakan Sharon itu juga tidak jelas bagi kita: benarkah ia secara logis berani menindak secara tegas semua orang Palestina militan yang disebutnya "kaum teroris?" Ataukah pada gilirannya, ia juga akan bersikap separuh hati, karena biaya ekonomis dan keuangannya akan menjadi sangat besar. Belum lagi kalau diingat biaya politik yang ditanggung Pemerintah Israel dengan kebijaksanaan "garis keras"-nya itu. Dengan kata lain, kekerasan Sharon dan kelemahan Arafat, yang tidak mau menghentikan kaum militan dan radikal Palestina selama ini, merupakan saham yang hampir bersamaan dalam menciptakan keadaan seperti

sekarang ini.

Memang, Sharon benar dalam satu hal: kelembutan yang terlalu jauh justru akan lebih memicu tindakan-tindakan radikal dan konfrontatif dari pihak Palestina. Akan tetapi sebaliknya, tindakan kekerasan saja seperti yang dilakukan Sharon, tidaklah menyelesaikan masalah. Sikap menghormati kedaulatan Israel sebagai negara merdeka dan berdaulat harus juga diimbangi dengan sikap yang sama terhadap Palestina. Inilah yang diperjuangkan sejak dahulu oleh negara-negara Arab, yang tidak bersikap konfrontatif terhadap Israel. KTT Arab di Beirut, justru membuktikan hal ini. Bahwa di kalangan negara-negara Arab ada sikap radikal, seperti ditunjukkan Suriah dan Irak, sama wajamya dengan sikap kaum kanan dalam Partai Likud, yang dipimpin oleh Ariel Sharon sendiri.

***

(7)

berdaulat. Dengan ungkapan lain, penyelesaian damai yang permanen bagi kawasan itu, hanya dapat dicapai melalui sikap saling mempercayai antara pimpinan Israel dan Palestina. Tanpa sikap saling mempercayai itu, kepercayaan yang diperlukan untuk mencapai perdamaian permanen di kawasan itu, akan menjadi hampa belaka. Sekali lagi, tanpa sikap kepercayaan pimpinan kedua bangsa itu, maka krisis Timur Tengah dengan segala akibatnya, akan tetap ada dan-mau tidak mau kita sebagai bangsa bermayoritas Muslim juga akan terkena

akibat-akibat tersebut.

Pokok persoalannya, dengan demikian dapat disederhanakan: akan munculkah kepemimpinan baru yang saling mempercayai di kalangan kedua belah pihak? Akan adakah Anwar Sadar dan Menachen Begin yang baru; yang satu bekas opsir tentara Arab dan yang lain telah melakukan tindakan yang dapat dinamakan "tindakan teror" terhadap pemerintah jajahan Inggris itu, kalau digunakan istilah Sharon. Gerakan teroris Hagana yang diikuti Begin semenjak sebelum Perang Dunia Kedua, sama halnya dalam pengaturan, prinsip-prinsip yang digunakan dan tujuan yang dimiliki gerakan Intifadah yang dilaksanakan bangsa Palestina sekarang.

Dengan demikian, persoalannya menjadi jelas bagi kita sekarang: akan digantikan siapakah Arafat dan Sharon? Hal ini akan membawakan pemyataan berikut; dengan cara apakah kepemimpinan kedua bangsa itu akan dibentuk? Di Israel pemilihan umum atau pembentukan pemerintahan baru melalui Knesset (parlemen) adalah jalan untuk itu. Di kalangan bangsa Palestina, masalahnya menjadi lebih ruwet. Cara Israel, yang didasarkan pada demokrasi model Barat tidak berlaku bagi orang-orang Palestina, karena di kalangan kebanyakan bangsa-bangsa Arab, demokrasi masih lebih merupakan impian dari pada suatu kenyataan.

Karenanya, kedua cara yang digunakan untuk menggantikan kepemimpinan kedua belah pihak, adalah kunci permasalahan yang harus dicari pada saat ini. Kegagalan mendapatkannya hanya akan membuat keadaan lebih parah, yang akan menyeret kepentingan semua bangsa di dunia, karena pertimbangan-pertimbangan geo-politik. Karenanya, tindakan-tindakan luar biasa memang diperlukan untuk menyelesaikan sengketa Israel-Palestina itu. Kegagalan mengganti kepemimpinan kedua bangsa itu, secara realistik akan membuat lebih sulit tercapainya dunia yang aman bagi semua pihak. Kalau keadaan itu dibiarkan, maka hanya ada satu jalan bagi kita: penggunaan kekerasan oleh

negara adikuasa, dalam hal ini Amerika Serikat.

(8)

berarti juga tidak ada kemampuan kaum pecinta damai untuk mencari

perdamaian melalui berunding?

Jelaslah dengan demikian. Kita semua berada pada titik sensitif untuk membiarkan eskalasi kekerasan atau menyelesaikan sengketa dengan berunding, suatu hal yang dirasakan di seluruh dunia dan bukannya di kawasan Timur Tengah saja.

Arti seorang Raja Tradisional

Sri Susuhunan Pakubuwono XII telah meninggalkan kita dalam usia lanjut (80 tahun menurut hitungan almanak Jawa mendekati 81 tahun) sebabnya adalah ketuaan. Kekosongan itu tidak dapat kita rumuskan dengan baik karena beliau adalah seorang Raja (dalam bahasa Jawa juga disebut: Ratu) yang oleh sebagian orang beliau dianggap sebagai penguasa yang sesungguhnya. Karena kita tidak mampu merumuskan dengan baik, maka kita cukupkan dengan istilah ‘Raja Tradisional’. Gelar itu tidak hanya menunjukkan arti kultural/simbolik belaka, melainkan juga menunjuk kepada beberapa aspek “kekuasaan formal” di tingkat daerah, propinsi maupun pusat. Di sinilah terdapat kontradiksi antara wewenang penuh seorang Raja Tradisonal dan penguasa pemerintahan yang efektif. Penggantian beliau sangat, ditentukan oleh kenyataan bahwa beliau tidak meninggalkan Permaisuri (Garwo Padhmi), yang ada hanyalah istri selir (Garwo Ampil) dengan sekian orang putra-putri, tanpa seorang Putra Mahkota yang memperoleh penunjukkan untuk menggantikan beliau di atas tahta kerajaan, untuk menjalankan sisa-sisa kewenangan efektif yang masih ada. Karena sebab itu mungkin akan ada sedikit banyak ‘pertentangan’ intemal antara beberapa orang putra beliau yang bergelar Gusti. Namun tentu saja pertentangan intemal itu tidak akan dilakukan dengan kasar, karena hal itu bukanlah budaya kraton. Justru Kraton tradsional akan menampakkan wajah keutuhan keluar, walaupun pertentangan intemal itu berjalan sangat sengit. Semenjak beberapa tahun terakhir ini disiplin pribadi yang sangat kuat, membatasi ruang gerak para putra beliau, dengan semakin lanjutnya usia beliau. ‘Di tutupi’ oleh kesopanan yang sangat tinggi dan tata pergaulan yang dipersatukan oleh Sang Raja, tidak pemah pertentangan itu (kalaupun ada) terdengar di luar Kraton. Ini tentu saja sangat berbeda dari pertentangan intemal dalam partai-partai politik, yang memang kalau perlu “diperagakan” di muka umum, terutama dengan menggunakan media massa. Kenyataan seperti inilah yang sering membuat orang tidak dapat membedakan mana yang benar dan salah, lalu menciptakan kebingungan tersendiri.

(9)

“melestarikan” wewenang efektif bagi para pengganti beliau, untuk juga menjadi Kepala Daerah di wilayah tersebut, yang saat ini bergelar Gubemur dan saat ini dijabat oleh putra beliau Sri Sultan Hamengkubuwono X. Raja Tradisional merangkap Gubemur inilah yang menarik untuk diperhatikan. Persolaan utama yang dihadapi oleh para Raja Tradisonal, di luar hubungan dengan pejabat negara yang memiliki wewenang efektif, adalah masalah keuangan dan masalah tugas-tugas apa yang dapat diberikan kepada warga Kraton yang semakin lama berjumlah semakin besar. Dalam hal ini, “kekuatan moral” saja tidak cukup untuk memperkokoh kedudukan beliau itu. Juga diperlukan kekuatan ekonomi dan finansial, yang umumnya jarang digerakkan oleh para pengusaha di kawasan para raja itu. Para pengusaha itu hanya menyumbangkan sebagaian kecil saja dari keuntungan yang diperoleh dari usaha-usaha yang dilakukan, karena sebagian besar diambil oleh para pejabat yang memiliki wewenang efektif yang bersandar kepada “wewenang” melalui KKN, karena pendapatan resmi mereka sangat kecil. Akhimya para Raja Tradisional itupun harus juga mengalami apa yang oleh Clifford Geertz dinamai

“kemiskinan bersama” (shared poverty).

Karena itulah, jumlah negara-negara tradisional yang mampu menghidupi kraton-kraton mereka, semakin lama berjumlah semakin kecil. Bahkan ada seorang Raja Tradisional di sebuah daerah yang tidak lagi mampu membayar langganan listrik pada PLN bagi “Istana” yang beliau tinggali. Ketika salah seorang ‘beliau’ itu ada yang membiayai bepergian ke tanah suci untuk melakukan ibadah haji, beliau pun bertemu dengan penulis. Karena sebab itu, dengan sendirinya “kekuatan moral” beliau menjadi sangat kecil, bahkan tampaknya beliau tidak mampu membiayai pendidikan putra-putri yang ada. Tentu saja kenyataan ini terkait sangat erat dengan situasi keuangan beliau-beliau itu. Semakin kecil kemampuan itu, semakin kecil pula “kekuatan moral” beliau-beliau itu. Karena itu, kemampuan finansial/keuangan yang tidak sama antara beliau-beliau, membuat “kekuatan moral” yang dimiliki juga berbeda-beda. Ini juga, lalu membuat para pejabat dengan kekuasaan efektif memberikan perlakuan yang berbeda-beda pada para beliau itu. Apalagi, kalau di sebuah kawasan terdapat lebih dari seorang Raja Tradisional, seperti di kota madya dan Kabupaten Cirebon dengan empat buah Kratonnya. Karena itu lah, hanya diberikan “pelayanan minimal” kepada dua orang Raja Tradisonal saja di sana, yaitu kepada Kraton Kesepuhan dan Kraton Kanoman. Perlakuan itu juga tidak sama, sesuai dengan pendapatan daerah yang bersangkutan. Karenanya, kunci pokok bagi “pelayanan nyata” kepada kraton-kraton tersebut, sangat tergantung kepada kekayaan

daerah yang bersangkutan.

(10)

otonomi daerah (Otda) memegang peranan sangat penting dalam “menghidupkan kembali” tradisi dari Kraton Tradisional yang ada di sebuah daerah. Namun hal ini tidak dapat di generalisisr (disamaratakan) kraton-kraton tradisional di Maluku Utara. Tinggal tiga buah saja yang masih didukung oleh keadaan dan pengaruh pemerintah daerah propinsi, yaitu di Temate, Tidore dan Bacan.

(11)

Bagaimana Membaca NU?

Oleh: Abdurrahman Wahid

Sejak kemerdekaan kita, perdebatan masalah-masalah kemasyarakatan kita senantiasa di dominasi oleh pertukar-pikiran antara kaum elitis melawan kaum populis. Memang ada suara-suara tentang Islam, seperti yang dikembangkan oleh Bung Kamo dan lain-lain, tetapi itu semua hanyalah meramaikan situasi yang tidak menjadi isu utama. Masalah pokok yang dihadapi adalah bagaimana selanjutnya Indonesia harus dibangun –yang, dalam “bahasa agung” disebut “mengisi kemerdekaan”. Kalangan elitis, selalu menggunakan rasio/akal dan argumentasi mereka senantiasa bemada monopoli kebenaran. Mereka merasa sebagai yang paling tahu, rakyat hanyalah orang kebanyakan yang tidak mengerti persoalan sebenamya. Kalau rakyat mengikuti pendapat kaum elitis ini, tentu mereka akan pandai pada “waktunya kelak”. Sebaliknya, kaum populis senantiasa mengulangi semangat kebangsaan yang dibawakan para pemimpin, seperti Bung Kamo, selalu mempertentangkan pendekatan empirik dengan “perjuangan ideologis”.

Tentu saja, cara berdialog semacam ini tidak memperhitungkan bagaimana kaum Muslim tradisionalis –seperti warga NU (Nahdlatul Ulama)-, menyusun pendapat dan pandangan dan mendasarkan hal itu pada asumsi yang tidak dimengerti, baik yang oleh golongan elitis maupun oleh golongan populis. Demikianlah, dengan alasan-alasaan keagamaan yang mereka susun sendiri, kaum Muslimin yang hadir dalam Muktamar NU di Banjarmasin (Bomeo Selatan) tahun1935 memutuskan kawasan ini tidak memerlukan Negara Islam. Keputusan Muktamar NU ini menjadi dasar, mengapa kemudian para pemimpin berbagai gerakan di negeri ini kemudian mengeluarkan Piagam Jakarta dari Undang-Undang Dasar (UUD) kita. Jadilah negeri kita sebuah Negara Pancasila dengan nama Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yang tetap lestari hingga hari ini. Dan,

kelihatannya tidak akan berubah seterusnya.

Pada tanggal 22 Oktober 1945, PBNU (hoofdbestuur NU), yang waktu itu berkedudukan di Surabaya mengeluarkan Resolusi Jihad, berisikan untuk mempertahankan dan memperjuangkan Republik Indonesia (RI) adalah kewajiban agama atau disebut sebagai jihad, walaupun NKRI bukanlah sebuah Negara Islam atau lebih tepatnya sebuah Negara agama. Di sini tampak, bahwa kaum muslimin trasidional dalam dua hal ini mengembangkan jalan pikiran sendiri, yang tidak turut serta dalam perdebatan antara kaum elitis dan populis. Namun, mereka tidak menguasai media khalayak (massa) dalam perdebatan di kalangan ilmuwan. Karena itulah, mereka dianggap tidak menyumbangkan sesuatu kepada debat publik tentang dasar-dasar negara kita. *****

(12)

sosial-politik? Pengamat tersebut lupa bahwa asisten/staf ahli beliau saat itu dijabat oleh ayahanda penulis sendiri, KH. A. Wahid Hasjim, dan Kartosoewirjo sendiri memang berpangkat tentara/militer sebagai akibat dari integrasi Hizbullah ke dalam APRI (Angkatan Perang Republik Indonesia). Jenderal Besar Soedirman sendiri juga tidak pemah menjabat pangkat militer apapun sebelum bala tentara Jepang datang kemari dan menduduki kawasan yang kemudian disebut sebagai NKRI. Dari penjelasan di atas menjadi nyata bagi kita, bahwa layak-layak saja S.M. Kartosoewirjo menjadi asisten/staf ahli Panglima APRI di bidang militer. Bahwa ia kemudian mempergunakan DI/TII sebagai alat pemberontakan, adalah sesuatu yang lain sama sekali. Dan sang sejarawan lupa bahwa penulusuran sejarah tidak hanya harus didapat dalam sumber-sumber tertulis, tapi juga

sumber-sumber lisan.

Dari kasus NII dapat kita lihat, bahwa di masa lampau -pejabat-pejabat negara-juga ada yang membaca secara salah hal-hal yang ada di luar diri mereka dengan cara berpikir yang lain dari ketentuan dan kesepakatan berdirinya negara kita. Ini disebabkan oleh adanya perbedaan cara memandang persoalan, apalagi yang berkenaan dengan ambisi politik pribadi atau karena pertimbangan-pertimbangan lain. Dalam hal ini, yang paling mencolok adalah jalan pikiran NU yang tidak memandang perlu adanya Negara Islam. Kalau ditinjau dari adanya peristiwa itu sendiri, jelas bahwa perbedaan pemahaman itu timbul dari cara berpikir keagamaan yang kita lakukan. Bagi NU, hukum agama timbul dari sumber-sumber tertulis otentik (adillah naqliyyah) yang diproyeksikan terhadap kebutuhan aktual masyarakat. Sedangkan gerakan-gerakan Islam lainnya langsung mengambil hukum tertulis itu dalam bentuk awal, yaitu berpegang secara letterlijk (harfiyah) dan tentu saja tidak akan sama hasilnya. Bahkan,diantara para ulama NU sendiri sering terjadi perbedaan paham, karena anutan dalil masing-masing saling berbeda. Sebagai contoh dapat digambarkan bahwa hampir seluruh ulama NU menggunakan ru’yah (penglihatan bulan) untuk menetapkan permulaan hari Idul Fitri. Tetapi, alm. KH. Thuraikhan dari Kudus justru menggunakan hisab (perhitungan sesuai almanak) untuk hal yang sama. Sedangkan diantara para ahli ru’yah sendiri, terdapat perbedaan paham. Seperti antara alm. KH.M Hasjim Asj’ari –Ra’is Akbar NU dengan KH. M. Bisri Sjansuri, -wakil Khatib ‘Aam/wakil sekretaris Syuriyah PBNU-, yang bersama-sama melakukan ru’yah di Bukit Tunggorono, Jombang namun temyata yang satu melihat dan yang lain tidak. Hasilnya, yang seorang menyatakan hari raya Idul Fitri keesokan harinya, sedangkan yang lain menyatakan hari berikutnya. Jadi, walaupun sama-sama mengikuti jalan pikiran ushul-fiqh (teori hukum Islam), namun dapat mencapai hasil yang saling berbeda. Karena Perbedaan pendapat memang diperkenankan dalam pandangan fiqh, yang tidak diperkenankan adalah terpecah-belah. Ayat al-qur’an jelas dalam hal ini; “Berpeganglah kalian pada tali Allah secara keseluruhan, dan jangan terpecah-belah” (Wa’tashimu bi Habli Allahi

Jami’an wa la Tafarraqu).

****

(13)

orientasi bangsa,- jelas bahwa kita harus menerima perbedaan pandangan, karena semuanya di dasarkan oleh argumentasi masing-masing. Karena itu ketika ada pendirian berbeda antara pihak seperti NU dengan kaum muslimin lainnya, maka kata akhimya bukanlah dari pihak yang mengemudikan negara (pemerintah), melainkan hasil pemilihan umum yang menjadi acuan. Kalau ini tidak dipahami dengan baik, tentu akan ada usulan-usulan yang ditolak atau ditunda oleh partai-partai, para aktifis, para wakil organisasi Islam di satu pihak dengan elemen bangsa lain yang tidak secara resmi mendukung atau menolak gagasan kenegaraan yang diajukan. Inilah yang senantiasa harus kita ingat setiap kali membahas “kesempitan pandangan” dari beberapa agama yang besar, seperti serunya perbedaan antara pihak yang mengharuskan dengan pihak yang tidak pemah melihat pentingnya “keterwakilan rakyat”. Karena Partai Kebangkitan Bangsa –yang memiliki ikatan historis dengan NU-bukanlah sebuah partai Islam, maka tidak perlu terlalu mementingkan ajaran formal Islam dalam setiap penagambilan keputusan. Cukuplah kalau lembaga yang menetapkan Undang-Undang (UU) itu bergerak mengikuti prosedur kelembagaan yang ditopang oleh UU, pakar hukum agama dan segenap pemikiran masyarakat. Pendapat para pakar hukum agama ini menjadi pertimbangan pembuatan hukum bukan pelaksanaannya. Di sinilah diperlukan kearifan dunia hukum nasional kita, untuk juga memperhitungkan pendapat yang dilontarkan masyarakat dan berasal dari para pakar hukum agama. Dengan demikian, kita sampai kepada hal-hal yang berkenaan dengan pandangan kaum Muslimin Sunni tradisional dalam kehidupan bangsa kita. Dalam hal yang sifatnya fundamental bagi kehidupan agama di negeri kita, jelas hal-hal yang bertentangan dengan ajaran agama tidak dapat ditolerir, umpamanya saja, mengenai keyakinan akan ke-Esaan Tuhan (tauhid). Hal-hal semacam ini tidak dapat dibiarkan dan harus diperjuangkan sehabis daya oleh kaum Muslimin sendiri. Sebaliknya, hal-hal yang tidak bersifat fundamental bagi keyakinan agama seseorang, tentu saja masih diperlukan tela’ahan lebih jauh dan dapat ditolerir perubahan-perubahannya. Bukankah al-qur’an sendiri yang justru menyatakan “dan Ku jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku bangsa agar saling mengenal “. Dari hal ini dapat diharapkan, di masa depan produk-produk hukum kita akan berkembang sesuai dengan kebutuhan dan tingkat

(14)

Yang Terbaik Ada Di Tengah

Oleh : KH.Abdurrahman Wahid

Judul diatas diilhami oleh sabda Nabi Muhammad SAW: “ Sebaik-baik persoalan adalah yang berada ditengah “ (Khairu Al-Umur Ausathuha). Ia juga mencerminkan Pandangan agama Budha tentang “jalan tengah” yang dicari dan diwujudkan oleh penganut agama tersebut. Walaupun demikian, judul itu dimaksudkan untuk mengupas sebuah buku karya, tokoh Syi’ah terkemuka Dr. Musa Al Asy’ari, “Menggagas Revolusi Kebudayaan Tanpa Kekerasan” –dalam sebuah diskusi di kampus Universitas Darul Ulum Jombang, beberapa waktu lalu, katakanlah sebagai sebuah resensi, yang juga menunjukan kecenderungan umum mengambil “jalan tengah” yang dimiliki bangsa kita, dan mempengaruhi

kehidupan di negeri ini.

Dalam kenyataan hidup sehari-hari, sikap mencari jalan tengah ini, akhimya berujung pada sikap mencari jalan sendiri di tengah-tengah tawaran penyelesaian berbagai persoalan yang masuk ke kawasan ini. Namun, sebelum menyimpulkan hal itu, terlebih dahulu penulis ingin melihat buku itu dari kacamata sejarah yang menjadi jalan hidup banyak peradaban dunia. Kalau kita tidak pahami masalah tersebut dari sudut ini, kita akan mudah menggangap “jalan tengah” sebagai sesuatu yang khas dari bangsa kita, padahal dalam kenyataannya tidaklah demikian.

Bahwa bangsa kita cenderung untuk mencari sesuatu yang independen dari bangsa-bangsa lain, merupakan sebuah kenyataan yang tidak terbantahkan. Mr. Muhammad Yamin, umpamanya menggangap kerajaan Majapahit memiliki angkatan laut yang kuat dan menguasai kawasan antara pulau Madagaskar di lautan Hindia/Samudra Indonesia di Barat dan pulau Tahiti di tengah-tengah lautan Pasifik, dengan benderanya yang terkenal Merah Putih. Padahal, angkatan laut kerajaan tersebut hanyalah fatsal (pengikut) belaka dari Angkatan Laut Tiongkok yang menguasai kawasan perairan tersebut selama berabad-abad. Kita tentu tidak senang dengan klaim tersebut karena mengartikan kita lemah, tetapi kenyataan sejarah berbunyi lain, Australia yang menjadi dominion Inggris, secara hukum dan tata negara, memiliki indenpendensi sendiri terlepas dari negara induk.

*****

Penulis melihat, bahwa sejarah dunia penuh dengan penyimpangan-penyimpangan seperti itu. Umpamanya saja, seperti di tunjukan oleh Oswald Spengler dalam “Die Untergang des Abendlandes"(The Decline Of The West). Buku yang menggambarkan kejayaan peradaban Barat dalam abad ke 20 ini temyata mulai mengalami keruntuhan (Untergang) . Filosof Spanyol Kenamaan, Ortega Y Gasset, justru menunjuk kepada tantangan dari massa rakyat kebanyakan dalam peradaban moderen terhadap karya-karya dan produk kaum elit, seperti tertuang dalam bukunya yang sangat terkenal “ Rebellion of the

(15)

Kemudian itu semua, disederhanakan oleh Amold Jacob Toynbee dalam karya momentumnya yang terdiri dari 2 jilid, “A Study of History”. Toynbee mengemukakan sebuah mekanisme sejarah dalam peradaban manusia, yaitu tantangan (challenges) dan jawaban (responses). Kalau tantangan terlalu berat, seperti tantangan alam di kawasan Kutub Utara, seperti yang dialami bangsa Eskimo, maka manusia tidak dapat memberikan jawaban memadai, jadi hanya mampu bertahan hidup saja. Sebaliknya, kalau tantangan harus dapat diatasi dengan kreatifitas, seperti tantangan banjir sungai yang merusak untuk beberapa bulan dan kemudian membawa kemakmuran melalui kesuburan tanah untuk masa selanjutnya, akan melahirkan peradaban tepi sungai yang sangat besar, seperti di tepian Nil, Tigris, Eupharat, Gangga, Huang Ho, Yang Tse Kiang, Musi dan Brantas. Lahimya Pusat-pusat peradaban dunia ditepian sungai-sungai itu,

merupakan bukti kesejahteraan yang tidak terbantah.

Jan Romein, seorang sejarawan Belanda, menulis bukunya “Aera Eropa” ia menggambarkan adanya PKU I (Pola Kemanusiaan Umum pertama, Eerste Algemeene menselijk Patron). PKU I itu, menurut karya Romein tersebut memperlihatkan diri dalam tradisionalisme yang dianut oleh peradaban dunia dan kerajaan-kerajaan besar waktu itu, berupa masyarakat agraris, birokrasi kuat dibawah kekuasaan raja yang moralitas yang sama di mana-mana. Dalam abad ke-6 sebelum masehi, terjadi krisis moral besar-besaran yang ditandai dengan munculnya nama-nama Lao Tze dan Konghucu, Budha Gautama, Zarathustra di Persia dan Akhnaton di Mesir. Mereka para moralis hebat ini mengembalikan dunia kepada tradisionalismenya, karena memperkuat “keseimbangan”. Sebaliknya, para filsuf Yunani Kuno, membuat penimpangan pertama terhadap PKU kesatu itu, dengan mengemukakan rasionalitas sebagai ukuran perbuatan manusia yang terbaik. Penyimpangan-penyimpangan PKU I ini di ikuti oleh penyimpangan-penyimpangan lain oleh Eropa seperti kedaulatan hukum Romawi (Lex Romanum) pengorganisasian kinerja, Renaissance (Abad kebangkitan), Abad pencerahan (Aufklarung), Abad Industri dan Abad Ideologi. Dengan adanya penyimpangan itu, Eropa memaksa dunia untuk menemukan PKU II (Tweede Algemeene menselijk Patron), yang belum kita kenal bentuk finalnya. ****

(16)
(17)

Yang Umum dan Yang Khusus

Oleh Abdurrahman Wahid

Sebagaimana umumnya dosen angkatan lama, Pak Hasan lemah lembut dalam segala hal. Ketika berbicara suaranya tidak begitu keras, nadanya datar. Kalau mengemukakan sesuatu tidak begitu menggebu-gebu, melainkan teratur dan sistematis. Istilah yang digunakan sudah baku; dan dipahami sama oleh para pendengamya, karena jelas yang dimaksud. Tidak banyak memerlukan ilustrasi deskriptif, apalagi yang bersifat gambaran fisik. Prinsip-prinsip dan

kategori-kategori lebih penting dari deskripsinya sendiri.

la terlibat dalam kegiatan 'turun ke bawah' yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi tempat ia bekerja — sudah tentu dalam kerjasama dengan lembaga-lembaga lain. Pekerjaannya memperkenalkan teknologi yang sederhana dan lebih sesuai dengan kebutuhan sehari-hari rakyat pedesaan, seperti juga banyak 'aktivis pedesaan' yang berkiprah ke bawah. Namun temyata ia melakukan

sesuatu yang besar

sekali artinya bagi kita semua,tidak seperti yang dilakukan teman-teman sesama aktivis. Yang dilakukannya adalah menyiapkan lahan kemasyarakatan' bagi teknologi yang ditawarkannya—berupa penumbuhan kesadaran dan kebutuhan akan teknologi tersebut. la berarti menciptakan lembaga-lembaga kemasyarakatan yang akan mengembangkan teknologi yang bersangkutan. "Kami mencoba memperkenalkan bio-mass sebagai bahan bakar pengganti kayu, untuk keperluan dapur. Temyata tidak mudah. Karena ibu rumah tangga yang menjadi sasaran kami bukan hanya seorang individu. Ia juga anggota keluarga, dan setelah itu warga masyarakat. Untuk membuat ia menerima bio-mass, keluarga dan masyarakat harus dibuat menerimanya. Dan itu berarti kami harus mendorong munculnya sarana tempat memutuskan sikap, menerima atau menolak gagasan yang ditawarkan. Juga mengelola penggunaan teknologi yang

dijajakan itu."

(18)

'mendorong motivasi keagamaan bagi pembangunan'. Ada pos obat di lingkungan pesantrennya, ada karang kitri dan apotek hidup untuk masyarakat. Ada latihan keterampilan 'yang sudah disempumakan'. Berbagai kegiatan teknis untuk memperbaiki pola kerja dimulai, baik dibidang pertanian atau kerajinan tangan maupun kesehatan masyarakat. Sementara itu Isha adalah seorang intelektual kelas berat.Jidatnya lebar, menerbitkan kesan banyak berfikir. Kalau berbicara senang istilah asing, biar dikira orang pandai. Banyak teori dilontarkannya. Namun iajauh lebih baik dari sejumlah intelektual lain, yang senang hanya dengan retorika melambung dan pikiran ideal, tanpa mampu menerjemahkannya ke dalam kegiatan operasional

yang berangkai.

Yang menarik adalah komentamya tentang apa yang dilakukan Pak Hasan dan Kiai Madun tadi. Pak Hasan katanya memakai pendekatan 'tawaran' umum dalam pembangunan di pedesaan. Jalumya adalah kebutuhan umum masyarakat sendiri. Kebutuban itu disentuh, melalui kelembagaan biasa seperti arisan, paguyuban RT/RK dan sebagainya. Sebaliknya Kiai Masdun. la mengajak kepada

hal sama melalui keunikan, kekhususan pesantren.

Pada pendekatan umum itu ada kelebihan penting.Yakni mudahnya replikasi atau penggandaan. Sekali gagasan dasamya diterima baik, seterusnya jalan sudah licin, kata intelektual kota yang spesialisasi urusan pedesaan itu. Namun sering terjadi, justru penerimaan gagasan dasar itu sangat lama berlangsung. Sebaliknya pendekatan khusus untuk menawarkan pembangunan melalui paham, ideologi, agama atau lembaga tertentu yang memiliki keunikan, sangat cepat diterima. Yaitu kalau pimpinannya sudah 'tersentuh'. Tokoh seperti Isha ini temyata mampu memaparkan jalinan dua pendekatan yang komplementer dan sama pentingnya, dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing.

(19)

Bagaimana Mengelola Garuda?

Oleh: Abdurrahman Wahid*

Jika paparan dalam buku Peter L. Berger, “The Heretical Imperative” diadopsi ke dalam konteks Indonesia, dapat diceritakan tentang seorang petani jawa ditengah sawahnya, berhenti mencangkul karena ia melihat ke atas kepada sebuah benda logam berkilat terkena cahaya matahari, dengan suara mesin menderu-deru di angkasa. Petani itu memandang dengan takjub kepada benda logam itu, yang dari bawah tidak terbaca tulisan disamping badannya: tulisan Garuda Indonesia Airways. Namun petani itu tahu hal tersebut bahwa benda tersebut adalah pesawat terbang nan jauh disana, karena tiap kali menerbangi kawasan tersebut. Ia juga tahu bahwa ada burung besar bemama Garuda, yang menurut cerita adalah burung yang dikendarai Batara Wisnu, Tuhan kebaikan dalam mithologi pra Islam yang sampai saat ini masih berkembang di beberapa tempat.

“Heretical Imperative” bermakna keharusan munafik artinya harus memilih antara dua hal yang tidak dapat dicerai. Kalau kita berpegang pada mithologi lama yang tidak menggunakan rasio, maka berarti kita menafikan rasio itu sendiri dan percaya pada hal-hal supranatural. Dengan demikian kita berpegang kepada mithologi Garudanya Dewa Wisnu dan tidak mementingkan lagi perusahaan penerbangan nasional dengan nama yang sama itu. Padahal Garuda Indonesia Airways (GIA) adalah lambang alih teknologi, dan jika kita mampu mengelola perusahaan penerbangan nasional itu maka akan dapat mengejar ketertinggalan kita. Karena belum tentu kita menguasai industri pembuatan pesawat-pesawat terbangnya, karena sudah terlanjur dimonopoli bangsa-bangsa “maju” dunia, kita hanya mampu menguasai perusahaan penerbangannya dan bukan teknologi

pembuatan pesawat terbang itu sendiri.

Pengelolaan perusahaan penerbangan nasional itu harus pula dipecah antara pengusahaan penerbangan dalam negeri, dan pengelolaan penerbangan luar negeri. Bedanya yang terbesar adalah pada jenis pesawat terbang yang digunakan, dan dengan demikian pengelolanya sendiri, nyata-nyata sangat berbeda satu dari yang lain. Jika pengelolaan penerbangan Intemasional/luar negeri menggunakan pesawat-pesawat berbadan lebar (wide body jet) seperti B-747 (dan sekarang juga B-777) dan A-300, yang berharga sangat mahal tiap unitnya, maka penerbangan dalam negeri cukup menggunakan pesawat-pesawat berbadan sempit seperti B-737 dan A-319 saja. Tentu banyak sekali variasi pesawat terbang jet berbadan sempit yang digunakan, tetapi dominasi kedua pesawat diatas tampaknya sulit lagi ditembus oleh lain-lainnya. *****

(20)

krisis finansial) sejak 1997. sekarang pun, ketika tulisan ini dibuat kita belum lagi mampu mengatasi krisis multi-dimensional itu. Seolah-olah, krisis yang kita hadapi sama panjang dan krisis di Mesir yang dihadapi Nabi Yusuf, yaitu 7 tahun. Namun mudah-mudahan krisis itu tidak memerlukan waktu selama itu untuk menyelesaikannya. Sudah wajar jika dalam krisis itu lalu perusahaan penerbangan Garuda juga mengalami kemunduran karena terpaksa membatalkan rute eksploitasinya, baik domestik maupun Intemasional. Sampai hari inipun Route penerbangan dari/ ke luar negeri itu masih banyak yang yang ditutup. Apalagi harus dihilangkannya sekian banyak rute penerbangan keluar negeri. Yang tinggal hanyalah sangat kecil jumlah penerbangan, umpamanya saja dari/

ke Amsterdam (Schipol).

Akibat dari hal ini maka terlepas sejumlah pesawat terbang dari tangan Garuda. Karena umumnya masih hutang, maka pesawat-pesawat tersebut “dilepas”, baik dikembalikan kepada pemilik sebelumnya ataupun dijual. Sebab “di lepasnya” sejumlah pesawat, karena Garuda menggunakan pesawat milik luar negeri, atau memang dimiliki Garuda tetapi dalam bentuk pinjaman uang/kontrak. Karena proses itu, maka Garuda terpaksa mendasarkan diri kepada pesawat-pesawatnya sendiri dan rute penerbangan yang masih diteruskan hanyalah yang menggunakan pesawat-pesawat yang sudah lama dimiliki Garuda. Karena lamanya ia digunakan tanpa diperbaharui interiomya, tentu saja ia terasa sangat kuno. Bukan itu saja, bahkan “ bencel-bencel” (terkelupas) pada tangan-tangan kursinya sampai hari ini masih dibiarkan, mungkin karena tidak ada dana untuk memperbaikinya. Semua dana yang ada dihabiskan untuk biaya pengelolaan dan manajemen penerbangan, dan hampir-hampir tidak ada tersedia dana untuk perbaikan pesawat. Kalau kita mengerti hal ini, tentu kita membenarkan sikap yang diambil untuk menunggu “kucuran dana” dari pemerintah kepada Garuda. Salah urus di masa lampau, termasuk pemberian uang dalam jumlah sangat besar pada akhir tiap periode keuangan kepada pihak-pihak diluar kebutuhan perusahaan tersebut (katakanlah), sebagai “iuran wajib” kepada pihak-pihak tertentu yang dekat dengan penguasa, akhimya membuat Garuda berantakan sebagai sebuah badan usaha. Karena itu, GIA tidak dapat membeli pesawat-pesawat baru dan justru mengurangi penerbangan-penerbangan yang dimilikinya sebelum krisis multidimensi yang kita alami sekitar

7 tahun yang lalu.

*****

(21)

Negeri), juga menggunakan pesawat-pesawat terbang lebih kecil daripada sebelumnya. Demikianlah, secara salah Garuda terpaksa menerapkan prinsip yang dikemukakan EF Schumacher, “small is beautiful” (kecil itu indah). Nah, dalam hal ini penulis berpendapat Garuda harus “memperoleh” kucuran dana dari pemerintah sebagai modal kerja yang diperlukan untuk memperbaiki pesawat-pesawatnya yang berbadan lebar yang dimilikinya, serta membayar jumlah pertama untuk pembelian pesawat-pesawat terbang baru guna menghidupkan rute-rute penerbangan intemasional yang sudah ada, maupun membuka rute-rute penerbangan yang baru. Dalam upaya “menciutkan” penerbangan dalam negerinya Kalau perlu rute-rute penerbangan dalam negeri “dialihkan” kepada maskapai-maskapai penerbangan lain. Karena sudah pasti maskapai-maskapai penerbangan milik swasta akan membeli saham-sahamnya. Maka harus disediakan jumlah saham tertentu untuk disediakan bagi dan dijual kepada maskapai-maskapai penerbangan dalam negeri seperti Merpati. Dengan demikian, dijaga keseimbangan antara penguasaan pemerintah di satu sisi dan modal swasta disisi lain atas dunia penerbangan, yaitu perpaduan antara kapitalisme (privatisasi/swastanisasinya) dengan orientasi kepemilikan negara dengan demikian, kita mengikuti “arus privatisasi” tanpa melanggar

Undang-undang Dasar 1945.

(22)

Baik Belum Tentu Bermanfaat

Oleh Abdurrahman Wahid

Tertawa senantiasa dilakukannya sepenuh hati. Raut mukanya seperti menyimpan tawa dalam kadar sangat besar. Sedikit alasan saja sudah cukup membuatnya tergelak-gelak. Sering kali orang sekitamya terbawa kepada suasana penuh tawa seperti itu. Hanya kesopanan bersikap di depan seorang kiai sajalah yang

menahan mereka dari turut tertawa tergelak-gelak.

Seperti kecenderungannya yang begitu besar untuk tertawa sepenuh hati itu, Kiai Ali Krapyak memiliki pandangan serba optimistis tentang kehidupan dan tentang

tempatnya sendiri dalam kehidupan itu.

Begitu optimistis ia memandang peranannya dalam kehidupan, sehingga ia sering bagaikan bertindak semau-maunya. Menasehati menteri, menyindir orang lain dan membuat lelucon bahkan hingga tentang soal-soal keagamaan yang terdalam sekalipun (seperti kepercayaan kepada para wali). la sendiri yang menetapkan hak berbuat demikian, dan ia tidak bertanya kepada orang lain tentang tepat atau tidaknya tindakan seperti itu. Pokoknya ia yakin tentang penting atau benamya suatu hal, langsung dilakukannya. Walaupun bergaul dekat dengan banyak pejabat pemerintahan dari tingkat teras di pusat dan daerah, sering kali ia mengambil sikap melawan dan menyanggah. Kasus RUU Perkawinan dalam tahun 1973-74. Kasus tanda gambar Ka'bah menjelang Pemilu 1977. Kasus aliran kepercayaan dalam SU- MPR yang lalu.

Kasus liburan puasa.

Mengapakah Kiai yang begitu luas dan bersifat akomodatif dalam pergaulan dapat mengambil sikap 'keras' dalam kasus-kasus di atas? Bukankah itu berarti adanya inkonsistensi antara pola umum hidupnya yang serba akomodatif dan

kekerasan kepala dalam beberapa hal?

Jawabannya terletak pada kemampuan Kiai Ali untuk menentukan pilihan antara hal-hal esensial agama dari hal-hal yang dianggapnya bukan persoalan utama. Kemampuan untuk melakukan penyesuaian dengan tuntutan zaman, tanpa kehilangan identitas semula yang bersumber pada nilai-nilai keagamaan yang

paling dalam.

Ini terbukti dari keseluruhan pola kehidupan kiai yang baik ini. Sebagai kiai yang mendalam pengetahuan agamanya.sebenamya ia cukup mengikuti sistem pendidikan tradisional yang sudah berjalan begitu lama, untuk memperoleh tempat terhormat dalam barisan ulama 'tangguh'. ltu tak dilakukannya. Sebaliknya, ia membuka sekolah agama yang 'aneh': di samping kitab-kitab kuno agama, para santrinya dirangsang untuk membaca literatur baru dari Timur Tengah. Di samping mempelajari gramatika Arab kuno, para santri itu dirangsang

(23)

Di samping mendalami hukum agama dari buku-buku fiqh kuno, mereka didorong untuk mendalami juga literatur studi perbandingan dengan hukum-hukum lain yang dianut di Barat dan Timur. "Mengapa Kiai menyuruh mereka membaca buku-bukunya Abduh, apakah tidak khawatir para santri 'lepas' dari NU?" Kiai Ali menjawab dengan tertawanya yang khas: "Kalau membaca buku yang macam-macam nanti akan menjadi NU yang matang". "Mengapa Kiai begitu gandrung mengajar di IAIN, mengapa justru tidak membuka sendiri pengajian agama lanjutan khusus untuk kitab-kitab mazbab

Syafi'i? "

Sambil tertawa lagi, Kiai Ali menjawab: "Di IAIN mereka akan memperoleh tambahan pengetahuan di samping kitab-kitab mazhab tersebut". Di sini kita bertemu dengan pribadi yang mencari pemecahan pragmatis bagi masalah-masalah keagamaan yang rumit. Pragmatisme yang dihasilkan lalu memiliki perpaduan antara sikap rasionalistis dan keyakinan yang teguh akan kebenaran ajaran agama. Apa yang harus dipelihara sekuat tenaga dari warisan masa lampau, dan apa yang harus diambil dari kehidupan kontemporer bagi

kepentingan penyesuaian dengan kebutuhan.

Dalam kerangka seperti inilah dapat dipahami 'penafsiran' Kiai All ini atas sebuah pendapat Imam Ghazali dalam karya utamanya lhya'. Imam Ghazali berpendapat, para remaja yang sedang menuntut ilmu harus tirakat. Antara lain dengan jalan memakan hanya daun-daunan dan sedikit buah-buahan, dan menjauhi 'makanan keras' (solid food) seperti nasi jagung dan sebagainya apalagi daging, ikan dan ayam. Hanya mencemakan makanan 'serba prihatin' seperti itu sangat baik dan bermanfaat untuk mencapai kedalaman ilmu agama. Pendapat seperti ini sudah tentu berlawanan dengan sebutan gizi para remaja yang sedang membutuhkan semua jenis makanan yang akan mengembangkan bentuk fisik tubuh mereka. Ketika ditanya pendapatnya tentang seruan Imam Ghazali untuk melakukan tirakat ngrowot seperti di atas, jawab Kiai Ali adalah 'baik, tetapi belum tentu bermanfaat'.

(24)

Bangsa Kita dan Pembiaran Kekerasan Oleh: Abdurrahman Wahid

Yogya TV (YTV) secara rutin menayangkan siaran tunda acara Kongkow Bareng Gus Dur (KBGD). Acara yang disiarkan langsung tiap Sabtu pagi jam 10 oleh Radio 68H dari Kedai Tempo, Utan Kayu, ini juga ditayangkan 13 stasiun televisi lokal. Nah, minggu lalu YTV mendapatkan telpon dari orang yang mengaku sebagai Pengurus Front Pembela Islam (FPI) dan Majlis Mujahidin Indonesia (MMI) daerah Yogyakarta. Orang itu mengatakan kepada YTV agar tidak menayangkan lagi KBGD. Alasan yang digunakan, karena dalam salah satu siaran itu, penulis bergurau dengan menyatakan sebab terjadinya gempa bumi di daerah Bantul adalah karena Nyai Ratu Kidul dipaksa mengenakan jilbab oleh Ketua FPI Habib Riziq. Ini berarti, menurut penelpon tadi, Habib Riziq telah dihina oleh Gus Dur dengan lelucon tersebut. Itulah sebab munculnya permintaan berbentuk ancaman dari pengikut Habib Riziq itu.

Mengapa penulis menyampaikan hal tersebut? Karena penulis sudah muak dengan sikap main hakim sendiri dari tokoh tersebut dan anggotanya. Karena ketidakberanian pemerintah untuk menindak FPI dan tokoh tersebut, maka sikap mereka semakin menjadi kurang ajar. Main ancam dan tindakan main hakim sendiri adalah ciri pokok mereka yang harus kita hadapi sebagai bangsa. Padahal FPI itu melanggar undang-undang, yang jelas menyatakan bahwa membawa senjata di muka umum dan merusak milik orang lain adalah pelanggaran hukum. Karena itulah kejengkelan pun semakin lama semakin bertumpuk.

Itulah penyebab sindiran yang dimaksudkan oleh penulis. Tapi bukannya mencari maksud sindiran penulis, FPI malah dengan arogan mengeluarkan ancaman kepada YTV. Sikap yang buruk itu masih diikuti oleh ‘penilaian’ seorang pimpinan lokal FPI Yogyakarta, yang menyatakan bahwa penulis hanya diikuti satu persen saja dari keseluruhan kaum muslimin di negeri ini. Sisanya mengikuti jalan pikiran FPI. Penulis sendiri terheran-heran dengan pemyataan tersebut. Dengan demikian, mereka menganggap kaum muslimin di negeri ini begitu tololnya. Ini adalah mispersepsi yang timbul dari kurangnya pengetahuan akan kenyataan-kenyataan obyektif perkembangan sejarah Islam di negeri ini. Mereka mengulang-ulang bahwa Islam lebih maju daripada agama-agama lain, padahal penulis artikel ini yakin akan kebenaran sabda Nabi Muhammad SAW bahwa “ al-islamu ya’lu wa la yu’la ‘alaih ” (Islam itu unggul dan tidak terungguli).” Namun karena keyakinan itu maka penulis tidak perlu meremehkan agama-agama lain. Karena ‘sikap terbuka’ itu maka penulis artikel ini dengan santai menunjukkan penghormatan kepada penganut agama lain yang ada di negeri kita. Sebagai mayoritas kaum beragama, kaum muslimin di negeri ini sebaiknya melindungi agama lain itu. Hal ini yang justru menunjukkan kekuatan Islam yang sebenamya.

(25)

bijaksana dan menunjukkan kedewasaan. Kelembutan dianggap jauh lebih bemilai. Dan orang yang berbudi luhur dikenal karena memiliki kekuatan tapi tidak pemah digunakan untuk kekerasan. Seperti dua orang pesilat Cina, yang berputar-putar di atas kotak gelangang. Begitu keduanya beradu kekuatan, maka yang lebih besar tenaga dalamnya, tanpa memforsir tenaga fisiknya, yang akan menang. Dari teriakan masing-masing sudah dapat diketahui siapa yang memiliki tenaga dalam (lweekang) paling tinggi. Inilah cara yang diperlihatkan seorang pandai, berbeda dengan seorang bodoh dan lemah.

Masalah yang sangat mendasar dalam hal ini adalah, apa yang harus diperbuat oleh seorang muslim yang cinta kepada agamanya? Haruskah ia menyatakan dengan jelas dan terbuka akan ‘kelebihan’ Islam? Bagi mereka yang tidak benar-benar yakin ‘kelebihan’ Islam atas agama-agama lain tentu kelebihan itu haruslah dinyatakan secara berulang-ulang. Dengan berbuat demikian, berarti ia memposisikan Islam sebagai altematif bagi agama-agama lain itu. Sebaliknya mereka yang benar-benar memahami kebesaran Islam tentu akan bersikap lebih menghargai agama lain dan tidak ‘takut’ bergaul dengan penganut agama lain. ****

Ketika kemudian FPI Yogyakarta meyampaikan permintaan kedua kepada manajemen YTV yang meminta supaya permintaan pertama itu dianggap tidak ada, maka jelas ini adalah koreksi atas sikap pertama yang meminta acara KBGD dihentikan. Ini masih lumayan, karena menunjukkan kemampuan menggambil sebuah tindakan korektif di kalangan kedua organisasi tersebut. Ataukah karena ‘peringatan halus’ dari Kapolri agar aksi kelompok itu tidak merugikan siapapun, termasuk dengan pihak penulis artikel ini. Bukankah ini menujukkan sikap setengah-setengah dari pihak Kapolri yang segan membubarkan kelompok-kelompok yang gemar menebar kekerasan dan ketakutan? Jika memang demikian hal itu, berarti benar anggapan orang bahwa kepolisian di masa lalu ada kaitannya dengan pendirian FPI?

Kenyataan-kenyataan inilah yang terjadi dalam sejarah obyektif bangsa kita. Jika kita tidak melakukan koreksi, berarti kita mengorbankan ‘obyektifitas’ sejarah kita sebagai bangsa? Entahlah, penulis artikel ini sendiri takut akan konsekuensi sikap mengemukakan obyektifitas sejarah bangsa itu. Berat konsekuensi sikap benar seperti itu, bukan?

Benarkah Diperlukan Sebuah Jaringan?

Oleh Abdurrahman Wahid *

(26)

Gandhi. Setelah malam itu tidur di hotel tersebut, sekitar pukul 11 keesokan harinya, saya diajak ke sebuah rumah di kompleks para menteri dekat gedung parlemen, yaitu tempat tinggal Ghulam Nabi Azad, menteri urusan parlemen dalam kabinet yang dibentuk Sonia Gandhi. Sebagaimana biasa, tokoh muslim

tersebut berusaha menguasai pembicaraan.

Ghulam Nabi Azad seorang Kashmir muslim, yang menjadi orang ketiga di India sekarang setelah Sonia Gandhi dan Perdana Menteri Manmohan Singh. Jadi, dia adalah politikus yang sangat bepengaruh dan, menurut seorang teman saya, ada kemungkinan di kemudian hari dia akan menjadi perdana menteri. Tetapi, saya agak ragu terhadap hal itu karena dia adalah seorang muslim dan bukannya beragama Hindu. Dalam pandangan saya, di kemudian hari, dia dapat menjadi presiden seperti almarhum Zakir Husain. Karena India mengangkat presiden sebagai kepala negara, maka peranannya lebih bersifat protokoler dan

bukannya menjadi kepala pemerintahan.

Walaupun tidak menjadi orang pertama di negeri itu, presiden India bukannya tidak berpengaruh, seperti halnya Maulana Abdul Kalam Azad, pemimpin India yang sekarang sudah meninggal dunia dan dulunya adalah seorang pejuang kemerdekaan yang gigih (dan teman mendiang Mahatma Gandhi), yang juga adalah pengarang tafsir berjudul Tarjuman Al Qur’an berbahasa Urdu. Ghulam Nabi Azad sekarang ini menjadi muslim pertama di negeri tersebut. Sebab, apa yang dia perbuat dan putuskan mempunyai pengaruh besar terhadap 120 juta jiwa kaum muslimin di negeri itu. Dia kini menjadi menteri yang sangat penting akibat terbawa oleh Partai Kongres yang memerintah, karena meraih

kemenangan besar dalam pemilu yang lalu.

Walaupun di saat berkuasa Bharatiya Janata Party (BJP) di bawah pimpinan Vajpayee, membuat India mencapai peningkatan cukup besar dalam perekonomian yang ditandai dengan meningkatnya angka Produk Domestik Bruto (Gross Domestic Product/GDP), temyata dia kalah dalam pemilu tahun ini. Sebabnya ialah peningkatan itu tidak dinikmati masyarakat bawah. Peningkatan kemakmuran itu hanya dirasakan kalangan atas, seperti pegawai negeri dan pengusaha. Sebagai suara protes, para pemilih pun meninggalkan BJP dan

pindah mencoblos Partai Kongres.

Tetapi, karena pemimpin Partai Kongres, Sonia Gandhi, lahir di Italia, oleh parlemen dia dilarang menjadi perdana menteri alias orang pertama di negeri itu. Maka, Sonia menunjuk Manmohan Singh menjadi perdana menteri dan Ghulam Nabi Azad menjadi menteri urusan parlemen/minister of parliamentary affairs, yang menjadikannya langsung sebagai orang ketiga yang berkuasa setelah Sonia

Gandhi dan Perdana Menteri Singh.

(27)

adalah seorang muslim moderat. Apalagi, dia tinggal dan bekerja (dan dengan sendirinya aktif) sebagai politikus di sebuah negara sekuler seperti India, maka tampak sikap moderatnya itu justru membuat dia bertambah penting. Hal inilah yang menarik perhatian penulis. Dan dengan tokoh tersebut, penulis terus

melakukan komunikasi.

***

Kemudian timbul pertanyaan, mengapakah saya menemuinya? Apalagi, saya datang ke New Delhi hanya semalam karena keesokan harinya saya harus pulang

ke Jakarta?

Saya diberi waktu untuk bertemu dengannya pada Sabtu pagi itu. Tadinya, ada keinginan untuk berjumpa dengan beberapa tokoh seperti imam masjid di New Delhi dan pimpinan Universitas Millia (lembaga pendidikan milik kaum muslimin yang paling berpengaruh di India), namun kedatangan Vladimir Putin dari Rusia pada hari yang sama, untuk kunjungan selama tiga hari ke ibu kota India itu,

membuat ruang hotel sangat sulit didapatkan.

Sudah untung mendapatkan kamar untuk semalam saja sehingga penulis tidak dapat berlama-lama berada di kota tersebut. Karena itu, penulis memutuskan untuk kembali ke Jakarta malam Minggu (5 Desember 2004). Mengapakah sejauh itu saya berjalan? Karena ingin segera menciptakan jaringan dan hubungan komunikasi dengan para pemimpin muslim moderat di mana pun mereka berada. Orang-orang seperti Anwar Ibrahim dari Malaysia, Ghulam Azad dari India, Dr M. Khalid Mas’ud dari Pakistan, Khatami yang menjadi presiden Iran saat ini, M. Rajab Erdogan (baca:Ridwan) dari Turki, Muhammad Al-Sammak di Lebanon, dan beberapa orang lainnya yang banyak melahirkan pemikiran dan pandangan moderat mereka di dunia Islam, patutlah membuat jaringan seperti itu. Ini minimal untuk menampilkan sejumlah pemimpin moderat muslim ke permukaan dan untuk menandingi kaum garis keras yang mengajukan pendapat bahwa harus ada negara Islam di tempat masing-masing untuk dapat membuat agama tersebut berjaya dalam hubungan intemasional. Langkah membentuk jaringan tadi lebih konstruktif daripada berdebat melawan kaum garis keras baik terbuka maupun tertutup. Jika hal ini tercapai, langkah selanjutnya adalah melakukan inventarisasi pendapat dan pandangan ’orang-orang moderat’ tersebut. Memang selama ini inventarisasi yang dilakukan hanyalah bersifat terbatas, dan itu pun lebih banyak menggunakan

bahasa-bahasa yang sulit dimengerti rakyat.

(28)

Karena alasan di atas, penulis pada hari-hari ini sibuk menciptakan kontak-kontak baru dengan para pemikir moderat yang berada di negara-negara lain. Katakanlah, sebagai permulaan dari upaya serius untuk menampilkan agama

Islam dengan ajaran-ajarannya yang manusiawi.

Diakui atau tidak, citra Islam identik dengan kekerasan, sekarang terpulang kepada kaum muslimin sendiri untuk memperbaiki citra yang sudah telanjur salah itu. Saya merasa pantas melakukan peranan itu karena perjuangan saya selama lebih dari 30 tahun untuk membela hak-hak asasi manusia (HAM) sekarang diterima luas tidak hanya kaum muslimin, tetapi juga aktivis HAM. Baik di negeri ini maupun di negeri-negeri lain, apa yang dilakukan penulis itu telah menimbulkan reaksi positif. Memang diperlukan penciptaan jaringan untuk itu. Dalam seminar di Belanda beberapa waktu silam, seorang wanita Turki, Fadime Orgu, menyatakan bahwa dia lahir di Eropa. Karena itu, dia mengamalkan ajaran Islam yang tentu saja tidak sama dengan apa yang diamalkan orang tuanya di Turki.

Tapi, dia juga tidak akan dapat menjadi seperti orang-orang Eropa lainnya yang nonmuslim. Dia tidak pemah melakukan hubungan seksual di luar perkawinan. Dia juga tidak pemah minum setetes alkohol, dan dia juga tidak pemah makan

daging babi.

(29)

Beri Jalan Orang Cina

Oleh: Abdurrahman Wahid

Jadi orang Cina di negeri ini, di masa ini pula, memang serba salah. Walaupun sudah ganti nama, masih juga ditanyakan ‚nama asli‘nya kalau mendaftarkan anak ke sekolah atau jika membuat paspor. Mungkin, karena memang nama yang digunakan terasa tidak pas bagi orang lain, seperti nama Nagaria. Biasanya naga menggambarkan kemarahan dan keganasan. Apakah si naga yang riang gembira ini tertawa-tawa? Hartadinata, terasa lucu, karena tidak klop antara kekayaan

dan keanggunan jabatan, antara harta dan nata.

Temyata bukan hanya karena nama baru orang-orang Cina terasa tidak sreg di telinga orang lain. Tetapi karena keputusan politik, untuk membedakan orang Cina dari pribumi. Memang tidak ada peraturan tertulis, melainkan dalam bentuk kesepakatan memperlakukan orang Cina tersendiri. Mengapa? Karena mereka kuat, punya kemampuan terlebih, sehingga dikhawatirkan akan meninggalkan suku-suku bangsa lainnya. Apalagi mereka terkenal dalam hal kewiraswastaan. Kombinasi kemampuan finansial yang kuat, dan kemampuan lain yang juga tinggi, dikhawatirkan akan membuat mereka jauh melebihi orang lain dalam

waktu singkat.

Secara terasa, "kesepakatan" meluas itu akhimya mengambil bentuk pembatasan bagi ruang gerak orang Cina. Mau jadi tentara? Boleh masuk AKABRI, lulus jadi perwira. Tetapi harus siap menerima kenyataan, tidak akan dapat naik pangkat lebih dari kolonel. Mau jadi dokter? Silakan, namun jangan mimpi dapat meniti karier hingga menjadi kepala rumah sakit umum. Mau masuk dunia politik? Bagus, tetapi jangan menduduki jabatan kunci. Di birokrasi? Jadi pejabat urusan teknis sajalah, jangan jadi eselon satu. Apalagi jadi menteri. Sialnya lagi, jalan buntu itu temyata tidak membawakan altematif yang memuaskan. Jalan terbuka satu-satunya adalah mencari uang. Dan itu sesuai pula dengan kecenderungan sosiologis mereka sejak masa lampau, karena di masa kolonial pun mereka hanya boleh cari uang. Usaha berhasil, uang masuk

berlimpah-limpah, kekayaan makin bertambah.

Celakanya, justru karena itu mereka disalahkan pula: penyebab kesenjangan sosial. Akumulasi modal dan bertambahnya kekayaan temyata tidak membawa keberuntungan.

Cara mereka menggunakan uang dinilai sebagai penyebab kecenderungan hedonistik di kalangan generasi muda kita, padahal permasalahannya sangat kompleks. Kekayaan mereka dianggap diperoleh melalui pengisapan si kecil, padahal orang Cina hanyalah satu saja dari sekian banyak faktor kemiskinan. Dengan kata lain, orang Cina dipersalahkan bagi kebanyakan hal yang dirasakan

tidak benar dalam kehidupan kita.

Salah satu hukum kehidupan masyarakat adalah pentingnya

(30)

Potensi untuk survive ini dimiliki orang Cina, di manapun mereka berada dan potensi itu diwujudkan di negeri kita oleh mereka, dengan memanfaatkan satu-satunya ‘jalur kolektif’ yang masih terbuka bidang ekonomi. Segala tenaga dan daya dicurahkan untuk mencari kekayaan. Perkecualiannya hanyalah sedikit orang Cina yang menjadi intelektual, akademisi, tenaga profesi, politisi dan sebagainya. Kemampuan bertahan demikian tinggi bila dimampatkan ke dalam sebuah ‘sasaran kolektif‘ mencari kekayaan, sudah tentu sangat besar hasilnya. Apa pula dibantu oleh kemudahan di segenap faktor produksi dan sektor usaha. Karenanya wajar-wajar saja bila mereka berhasil, tidak perlu dikembalikan kepada sifat serakah, atau direferensikan kepada rujukan akan licin dan sejenisnya. Bahwa banyak sekali orang Cina melakukan hal-hal seperti itu, tetapi tentunya tidak dapat dianggap sebagai watak rasial atau sifat etnis dari orang Cina. Orang lain juga berbuat sama. Dengan demikian, persoalannya bukanlah bagaimana orang Cina itu bisa dibuktikan bersalah, melainkan bagaimana mereka dapat ditarik ke dalam alur umum (mainstream) kehidupan bangsa. Bagaimana kepada mereka dapat diberikan perlakuan yang benar-benar sama di segala bidang kehidupan. Tanpa perlu ditakutkan bahwa sikap seperti itu akan memperkokoh‚ “posisi kolektif” mereka dalam kehidupan bangsa, karena hal-hal seperti itu dalam jangka panjang temyata hanyalah sesuatu yang berupa mitos belaka.

Keperkasaan orang putih temyata dapat disaingi oleh keperkasaan orang hitam di Amerika Serikat. Orang Melayu di Singapura juga menyimpan kemampuan sama maju dengan orang Cina, seperti semakin banyak terbukti saat ini. Begitu pula bangsa-bangsa lain, baik yang menjadi minoritas maupun mayoritas. Tesis pokoknya di sini adalah: dapatkah kelebihan kekayaan orang Cina dimanfaatkan bagi usaha lebih memeratakan lagi tingkat pendapatan segala lapisan masyarakat

bangsa kita di masa depan?

(31)

asal-usul etnis atau rasial mereka, hal yang sama juga harus diberlakukan bagi orang Cina kepada semua bidang kehidupan harus dibuka, tanpa pembatasan apa pun. Kalau prestasi para dokter orang Cina sama baiknya dengan yang lain-lain, mereka pun berhak menjadi kepala rumah sakit umum. Begitu juga menjadi

jenderal, dan demikian seterusnya.

Cerita gurau yang luas beredar menyebutkan perbedaan orang Jawa dari orang Cina. Orang Jawa, kata cerita itu, akan senantiasa menanyakan kesehatan kita kalau bertemu: sampean waras? Bagi orang Jawa yang mudah masuk angin dan sebagainya, kesehatan adalah perhatian utama. Ini berbeda dengan orang Cina. Kalau berjumpa dengan orang lain, pertanyaan yang diajukan: sampean apa sudah cia? alias apakah sudah makan atau belum. Mengapa? Karena mereka dahulu datang kemari akibat bahaya kelaparan di daratan Cina, negeri asal mereka.

“Keanehan“ seperti itu adalah karakteristik etnis, yang tidak boleh mengganggu keserasiah hidup sebuah bangsa. Apalagi bagi bangsa yang pada dasamya sudah sangat heterogen, seperti bangsa kita. Kita sudah harus dapat melihat karakteristik khusus orang Cina seperti juga‚ keanehan‘ suku-suku bangsa kita yang lain. Ini berarti kita harus mengubah cara pandang kita kepada orang Cina. Mereka harus dipandang sebagai unit etnis. Bukan unit rasial. Kalau kita bisa menerima kehadiran orang Flores, Maluku dan Irian sebagai satuan etnis - padahal mereka bukan dari stok Melayu (karena stok mereka adalah Astromelanesia), maka secara jujur kita harus melakukan hal yang sama

kepada stok Cina. Juga stok Arab.

Mereka bukan orang luar, melainkan kita-kita juga. Mudah dikatakan tapi sulit dilakukan. Itulah reaksi pertama pada ajakan “menyatukan dengan orang Cina". Akan banyak alasan dikemukakan dan argumentasi diajukan. Karena, memang, dalam diri kita telah ada keengganan mendasar untuk menerima kehadiran orang Cina sebagai „orang sendiri“. Kita sudah terbiasa mau menerima uang mereka tanpa merasakan kehadiran mereka. Boleh saja keengganan bahkan ketakutan seperti itu kita beri sofistikasi sangat canggih. Tetapi, ia tetap saja merupakan keengganan dan ketakutan. Sesuatu

yang irasional.

(32)

Bersatu dalam Menuntut llmu

Oleh Abdurrahman Wahid

Kiai Fatah dan Kiai Masduki adalah dua orang di antara sekian orang kiai yang hidup di desa Tambakberas. Bersama-sama, kesemua kiai itu menghidupkan kegiatan keagamaan dan mengelola pesantren di desa tersebut, sebagai amanat

Kiai Wahab Chasbullah.

Kiai Fatah tinggal di kompleks utama Bahrul Ulum itu, di sebelah timur sungai yang membelah dua desa yang terletak dua kilometer di utara kota Jombang itu.

Kiai Masduki tinggal di sebelah barat sungai.

Kiai Fatah jadi pemimpin formal kompleks utama dengan ratusan santri yang tinggal, termasuk mengelola semua jenis pendidikan di lingkungan tersebut, Kiai Masduki hanya mengurusi beberapa belas santri saja, itu pun di waktu mereka

tidak bersekolah di kompleks utama.

Kiai Fatah menjadi agamawan penuh, dalam artian tidak memiliki pekerjaan apa pun selain menjadi kiai di pesantrennya. Kiai Masduki adalah petani yang mengerjakan sawahnya sendiri dengan susah payah, dan mengusahakan pekarangan rumah yang di tanaminya dengan tanaman kebun. Kiai Fatah mengajar di madrasah, menggunakan peralatan sekolah dengan jam pelajaran teratur. Balaghah (retorika) adalah mata pelajaran kesayangannya,juga usul fiqh. Lain dari itu, tidak mau ia mengajarkannya di sekolah. Paling-paling di luar jam sekolah, sebagai pengajian weton yang diikuti para santri tanpa memandang kelas sekolah masing-masing. Semacam kuliah umum atau courses menurut bahasa program puma sarjana di universitas modem. Kiai Masduki sebaliknya tidak mengajar di kelas. la mengajar di suraunya sendiri, menunggu santri yang akan mengaji kepadanya. Seperti dokter praktek yang

menunggu kedatangan pasien.

Lima kali sehari ia buka praktek. Sehabis salat subuh pada dini hari, sehabis salat zuhur di tengah hari, sehabis salat 'asar di sore hari, sehabis salat magrib di senja hari dan sehabis salat 'isya di malam hari. Siklus kehidupan ini tidak mengenal nilai waktu secara modem, tidak dibatasi oleh pagaran waktu yang umum digunakan di luar. Pengajian siang terhenti kalau kereta api kejurusan kota Babat melalui desa Tambakberas. Kalau peluit kereta tidak kunjung terdengar pengajian tidak selesai secara cepat. Tiap santri yang mengaji menunggu giliran masing-masing. Kalau tiba gilirannya, akan meletakkan teks yang ingin di pelajarinya di atas meja yang terletak di muka sang kiai. Kiai Masduki akan membaca halaman yang di buka oleh santri, walaupun teks itu di letakan secara terbalik, sang kiai membaca teks itu dari atas, santrinya

memberikan catatan di bawab baris yang dibaca.

(33)

yang lain. Lagi-lagi seperti dokter yang berpraktek. Kalau dokter tidak menampik pasien yang berpenyakit apapun, Kiai Masduki tidak pemah menolak santri yang

membawa kitab teks apapun.

Kiai Fatah pandai berpidato, bahkan termasuk orator yang memikat hati. Bermacam-macann ilustrasi sejarah dikemukan untuk menggambarkan pesan yang disampaikan secara hidup. Banyak lelucon diceritakannya untuk mencegah datangnya kantuk para hadirin, dan banyak hafalan ayat AI-Qur'an dan hadith dan syair-syair Arab dilontarkannya untuk meyakinkan orang banyak. Kiai Masduki, sebaliknya, mungkin tidak pemah berpidato di muka umum seumur hidupnya. Kalaupun 'berperan' dalam majelis-majelis keagamaan di muka umum, paling-paling hanya untuk membacakan doa penutup atau memimpin tahlil. Kiai Fatah sering menggoda dan mempersilakan Kiai Masduki memberikan sambutan. Dan Kiai Masduki akan selamanya menjawab nanti saja, sehabis sampeyan memimpin tahlilan. Maklumlah Kiai Fatah sebagai orang yang tidak pemah urut

dan runtut kalau memimpin tahlil.

Perbedaan gaya, cara hidup dan pola pembagian kegiatan antara keduanya tidak menutupi kenyataan akan persamaan yang mendasar antara keduanya: keteguhan hati untuk mengabdikan diri kepada tugas hidup mengajarkan ilmu-ilmu agama di lingkungan pesantren. Kiai Fatah dalam bahasa kini dapat dikatakan 'kiai full timer', sedangkan Kiai Masduki 'kiai part timer' ( karena merangkap bertani) . Tetapi keduanya mengkhususkan pengabdian mereka

kepada upaya 'menuntut ilmu'.

Tidak heran kalau keduanya lalu diarahkan jalan pikiran mereka oleh tugas hidup 'menuntut ilmu *itu, watak mereka dibentuk oleh kecintaan kepada ilmu-ilmu agama , dan sikap hidup mereka sepenuhnya ditentukan oleh kaidah-kaidah yang

ditetapkan oleh ilmu-ilmu agama itu sendiri .

Mereka menjadi orang yang tulus dalam mengarungi lautan hidup tulus kepada panggilan hidupnya, tulus kepada orang lain (tidak pemah mengemukakan buruk sangka mereka kepada orang lain) dan tulus kepada kebenaran yang datang dari

keputusan yang diambil bersama.

Tidak heranlah jika mereka tidak pemah menyerang pihak lain, berusaha sejauh mungkin tidak menyakiti hati golongan lain, dan lebih-lebih lagi bersikap toleran dalam persoalan yang menyangkut kepentingan umum. Ya, kebersamaan yang datang dari kesannaan tata nilai dan sikap hidup yang bersumber pada kecintaan mereka kepada ilmu-ilmu agama. Mereka menganggap kesemuanya itu sebagai bagian dari upaya 'menuntut ilmu' yang

mereka yakini kebenarannya.

(34)

Bila Kiai Berdebat

Oleh Abdurrahman Wahid

Banyak kiai memiliki sifat aneh, tetapi yang paling sering didapati adalah sikap egosentris mereka. Mungkin ini adalah kompensasi kejiwaan untuk mengimbangi keharusan berpola hidup serba konformistis dengan sesama kiai. Juga untuk mengimbangi 'larutnya kepribadian' dalam tugas pelayanan mereka yang begitu

total kepada kehidupan masyarakat.

Taruhlah ini semacam 'kemewahan' sikap dalam deretan mendatamya pola hidup mereka sendiri: mengajar,beribadat ritual,konsultasi kepada masyarakat, memimpin beberapa jenis upacara keagamaan yang berdimensi sosial (kelahiran,

khitanan,perkawinan dan kematian) dan sebagainya.

Justru dalam forum musyawarah hukum agama antara sesama kiai terletak 'katup pelepas' untuk menunjukkan arti diri mereka dalam rutinitas lalu muncul dalam bentuknya yang paling sedikit berakibat negatif. Memang cukup banyak yang memperagakan eksentrisitas watak hanya untuk sekadar tampak aneh saja, sering dirupakan secara kongkrit dalam bentuk pembicaraan berkepanjangan tentang definisi suatu hal tanpa mampu mencari kerangka sosial yang lebih sesuai dengan kebutuhan hidup masa kini. Seolah-olah dominasi pemikiran skolastik menutupi munculnya kesadaran sosial yang sedang mencari jalannya

sendiri memasuki lingkup pemikiran keagamaan.

Di luar forum musyawarah hukum agama, sedikit sekali tampak perbedaan pendirian dan pendekatan antara semua kiai itu, karena fungsi ritual mereka lakukan kurang lebih dalam pola yang hampir bersamaan. Hanya dalam fungsi mendidik masyarakat melalui dakwah oral, para kiai telah mulai menunjukkan perbedaan cara berpikir. Ada yang menekankan pesan-pesan mereka pada penguatan nilai-nilai moral melalui penolakan atas segala yang bercap modem,tetapi cukup banyak pula yang memusatkan perhatian pada masalah-masalah dasar dalam kehidupan masyarakat, seperti penumbuhan toleransi dan pengembangan sikap perhitungan (rechenhaftigkeit, kalau meminjam istilahnya

Jan Romein)

Dalam musyawarah hukum agama yang berlangsung ribuan kali banyaknya di seluruh penjuru tanah air setiap tahunnya,berlangsung perdebatan sengit antara mereka yang hanya berkepentingan untuk membatasi diri pada rumusan-rumusan harfiah yang sesuai dengan landasan berpikir skolastik, dan mereka yang mencoba mencari relenvansi skolastisisme itu sendiri dalam perkembangan sosial berlangsung cepat. Perdebatan antara mereka yang setuju KB sebagai gagasan dan yang tidak setuju, yang dapat menerima pemindahan kuburan untuk membuat jalan dan yang tidak dapat menerimanya dan seribu kasus lainnya.

Referensi

Dokumen terkait

Adapun simpulan peneliti terkait hasil penelitian pengembangan serta pembahasan ialah: 1) hasil dari pengembangan buku ajar pada mata pelajaran korespondensi

Berkembangnya populasi manusia, maka semakin besar kebutuhan manusia itu akan tanah, terutama dalam hal bangunan gedung, yang akan dipakai untuk menunjang kebutuhan manusia

(2) Tarif jasa layanan di bidang inseminasi buatan dan manajemen peternakan kepada masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam kontrak kerja sama

Jika penurunan dalam nilai wajar atas aset keuangan tersedia untuk dijual telah diakui dalam penghasilan komprehensif lain dan terdapat bukti objektif bahwa aset

Apabila terjadi perubahan ketentuan Polis mengenai tapi tidak terbatas pada ketentuan manfaat, biaya, dan risiko akan diberitahukan kepada Pemegang Polis melalui nomor atau

yang dapat mengendalikan pertumbuhan akomodasi wisata di Kawasan Wisata Kaliurang Belum tersusunnya insentif dan disinsentif sebagai upaya pengendalian perubahan pemanfaatan

Pada 09 Ogos 2018, Pusat Sumber UiTM (Melaka) Kampus Bandaraya telah menerima lawatan ‘Job Attachment ‘ dari Perpustakaan Tun Abdul Razak (PTAR) UiTM Cawangan Peraki. Lawatan

Pengertian keseimbangan pasar adalah tingkat harga maupun jumlah barang yang diminta dalam keadaan seimbang dan tidak ada kekuatan atau kecenderungan untuk