• Tidak ada hasil yang ditemukan

Polemik RUU Santet dalam Perspektif Sosi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Polemik RUU Santet dalam Perspektif Sosi"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Polemik RUU Santet dalam Perspektif Sosiologi Hukum

Oleh

Nur Indah Ariyani

Pascasarjana Sosiologi-Universitas Sebelas Maret-2013

A. Fenomena Santet di Indonesia

Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang masih kuat dalam

memegang tradisi. Kepercayaan masyarakat terkait masalah santet masih mengakar

dengan cukup kuat menjadi sebuah mitos tersendiri di tengah-tengah masyarakat.

Cara pandang masyarakat tentang santet menjadikan santet seperti sudah membudaya

di kalangan masyarakat, baik itu masyarakat santri maupun masyarakat abangan.

Santet atau Guna-guna (Jawa: tenung, teluh) adalah upaya seseorang untuk

mencelakai orang lain dari jarak jauh dengan menggunakan ilmu hitam. Santet

dilakukan menggunakan berbagai macam media antara lain rambut, foto, boneka,

dupa, rupa-rupa kembang, dan lain-lain. Seseorang yang terkena santet akan

berakibat cacat atau meninggal dunia. Santet sering di lakukan orang yang

mempunyai dendam kepada orang lain. (http://id.wikipedia.org/wiki/Santet). Orang

yang melakukan prosesi penyantetan adalah biasa disebut dukun santet. Dukun santet

biasanya hanya melaksanakan order dari pemesan atau orang yang ingin menyantet

lawannya (rival). Dari orang yang menggunakan jasanya tersebut dukun santet

memperoleh imbalan berupa uang.

Santet tidak hanya dikenal di Jawa, melainkan juga ada di berbagai daerah

lain dengan nama yang berbeda. Seperti di Bali dikenal dengan nama desti, leak, atau

teluh terangjana; di Maluku dan Papua dengan nama suangi; di Sumatera Utara

disebut begu ganjang; dan di Sumatera Barat dinamai puntianak; serta masih banyak

(2)

semacam santet, seperti di Afrika yang dikenal dengan nama voodoo, dan belahan

Eropa juga mengenal sihir. Santet atau dikenal namanya seperti tersebut di atas

adalah termasuk bagian dari tindakan sihir, di mana seseorang melihat sesuatu yang

berbeda dengan hakikatnya. Dalam Abdilah (2009) santet itu berbeda dengan ilusi.

Santet tidak hanya sekedar berpengaruh suatu ilusi ata pengelabuhan, tetapi sesacara

hakiki memang bisa menyakiti, membuat gila, menimbulkan rasa cinta atau benci,

bahkan membunuh seseorang. Dan bukti yang nyata yang ada pada korban inilah

yang menjadikan kalangan masyarakat sulit untuk tidak percaya adanya santet.

Santet, menurut Prof. Dr. Th. Ronny Nitibaskara, termasuk sorcery (ilmu

tenung) atau witch craft (ilmu sihir). Keduanya masuk dalam black magic atau ilmu

hitam. Ilmu ini sudah digunakan sejak zaman Nabi Musa. Tentu kebanyakan dari kita

tahu kisah ketika Nabi Musa ditantang oleh para tukang sihir yang dimiliki Raja

Firaun. Walau itu atas perintah Tuhan, Musa melepaskan tongkat gembalanya.

Jadilah tongkat itu ular besar yang mengalahkan ular-ular ciptaan para tukang sihir

Firaun. Tenung maupun sihir dikatakan sebagai ilmu hitam karena tujuan

penggunaannya. Santet adalah tindakan yang merusak kesejahteraan orang lain

dengan motif balas dendam atau sakit hati. Tindakan ini mengakibatkan sakit,

kematian, dan berbagai bentuk penderitaan lain. (http://www.indospiritual.com/).

Dalam Abdillah (2009) diterangkan tentang proses terjadinya santet. Ada dua

kemungkinan dalam melakukan santet. Pertama, santet yang dalam prosesnya memanfaatkan kekuatan makhluk gaib seperti jin dan setan. Dalam pelaksanaan

penyantetan, pelaku santet (dukun santet) bekerja sama dengan makhluk gaib

tersebut. Makhluk gaib dalam hal ini digunakan sebagai media atau sarana dalam

pengiriman santet. Adanya pengajakan makhluk gaib dalam proses penyantetan ini

juga ada hubungan timbal balik antara dukun santet dengan makhluk gaib tersebut.

Imbalan yang diperoleh makhluk gaib tersebut bisa berupa sesaji khusus, aatau segala

sesuatu yang sudah disepakati antara dukun santet dengan makhluk gaib tersebut.

(3)

membutuhkan kekuatan batin sebagai sarananya. Kekuatan batin ini diperoleh dari

hasil melakukan tindakan spiritual (laku spiritual). Pada saat penggunaannya santet

dengan kekuatan batin dibantu dengan kekuatan visualisasi (pembayangan) yang kuat

dari pelaku. Pembacaan mantera pada benda-benda tertentu, kemudian pelaku santet

melakukan konsentrasi.

Pemberlakuan hukum adat yang berlebihan dalam menyelesaikan masalah

santet ini tak pelak juga akan menimbulkan perkara yang bisa diangkat ke ranah

hukum formal, karena sudah melakukan tindak hukum pidana. Penyelesaian kasus

santet ini biasanya dengan melakukan ‘sumpah pocong’. Berlakunya sumpah pocong

di kalangan masyarakat ini karena sumpah pocong dirasa dapat menyelesaikan

masalah dan menjadikan rasa puas bagi mereka yang menuduh. Tidak adanya bukti

materiil dalam kasus santet ini juga menjadikan marak diberlakukannya sumpah

pocong, bahkan di kalangan masyarakat perkotaan, para pakar hukum atau

petinggi-petinggi negara. Seperti ungkapan Farhat Abbas yang merupakan pengacara terkenal

di negeri ini, bahwa jika kelak dia terpilih menjadi presiden akan siap melakukan

sumpah pocong, begitu pula pada pejabat-pejabat tinggi lainnya juga harus berani

melakukan sumpah pocong. Sumpah pocong memang tidak di atur dalam hukum

perundang-undang negara. Tetapi sumpah pocong ini sudah mennjadi budaya

masyarakat indonesia

B. Santet dalam Pandangan Sosiologi

Suatu tindakan individu ataupun kelompok mendapat sorotan penting dalam

ilmu sosiologi. Tindakan tersebut mempunyai tujuan tertentu untuk dirinya sendiri

ataupun untuk orang lain merupakan kajian yang dilakukan oleh para sosiolog.

Tindakan dukun santet yang menyantet orang lain atas permintaan kliennya

merupakan suatu tindakan yang irasional, karena tindakan tersebut kebanyakan

(4)

Praktik ilmu santet, menurut beberapa ahli akademisi memang ada. Namun

bila dilihat hanya mengunakan satu kajian ilmu maka tidak akan pernah ketemu apa

dan bagaimana itu santet. Bahkan untuk penyelesaian permasalahan yang ditimbulkan

adanya tindakan santet. Berlebih dari segi ilmu pengetahuan dan kedokteran, belum

ada penjelasan yang meyakinkan keberadaan isu santet atau korban santet tersebut.

Secara umum dari ilmu sosial, efek pantulan isu santet yang berkembang di

masyarakat menimbulkan berbagai macam tindakan lain yang beruntun. Adanya

korban santet yang muncul di masyarakt dapat melahirkan tindakan-tindakan yang

tak terkontrol, seperti misalnya pengeroyokan masal atau main hakim sendiri kepada

orang yang diduga pelaku santet (dukun santet). Adanya pengeroyokan atau main

hakim sendiri ini dari segi sosiologi karena adanya rasa solidaritas dalam kelompok

(yang membentuk crowd). Menurut Emile Durkheim, tentang teori sosiologi

berkaitan dengan solidaritas bahwa individu yang telah menyatu dan membentuk

massa akan mampu menyebabkan mereka kehilangan entitas pribadinya yang

cenderung berbuat di luar kontrol pribadinya. Identitas sosial seseorang biasanya

akan tenggelam apabila orang tersebut ikut terlibat dalam suatu perkumpulan massa.

Dari adanya keikutsertaan orang dalam suatu crowd, mereka akan mudah mengikuti

tingkah laku orang lain.

Fenomena santet di tengah masyarakat Indonesia seringkali menimbulkan

kekerasan yang tak terkontrol. Di banyak kasus orang sering diusir bahkan dibunuh

karena tuduhan sebagai dalang kejadian tersebut. Hal tersebut yang harus dihindari,

jangan sampai memunculkan anarkisme di masyarakat. Pemberlakuan hukum adat

yang berlebihan dalam menyelesaikan masalah santet tak pelak juga akan

menimbulkan perkara yang bisa diangkat ke ranah hukum formal, karena sudah

melakukan tindak hukum pidana. Digunakannya hukum adat dalam masyarakat untuk

meredamkan kasus ini karena tidak ada penyelesaian hukum secara formal.

Masyarakat merupakan system sosial yang menjadi wadah dari pola-pola interaksi

(5)

1981). Adanya hukum adat dalam suatu masyarakat itu juga mempunyai dasar dan

bentuknya. Dalam kasus santet semacam ini, karena belum ada aturan positif atau

hokum formal yang representative dalam penyelesaiannya, biasanya masyarakat

menyelesaiakan masalah santet ini dengan melakukan ‘sumpah pocong’.

Sumpah pocong adalah sumpah yang dilakukan oleh seseorang dengan

berbalut kain kafan (seperti orang meninggal). Dalam melakukan sumpah pocong ini

mengundang saksi dan biasanya dilakukan di tempat ibadah atau temapat yang

dianggap suci. Sumpah pocong ini merupakan tradisi lokal yang masih kental dengan

norma-norma adat masyarakat setempat. Sumpah ini dilakukan untuk membuktikan

suatu tuduhan yang ditujukan pada seseorang, dalam hal ini adalah pelaku santet.

Dalam kasus sumpah pocong ini cenderung dilakukan kerena tuduhan-tuduhan

tersebut tidak berdasarkan bukti yang riil. Konsekuensi dari yang melakukan sumpah

pocong ini apabila keterangan atau janji yang diucapkan tidak benar, maka sumpah

yang diyakini akan mendapat hukuman dari Tuhan.

C. RUU Santet Perspektif Sosiologi Hukum

Sosiologi hukum adalah salah satu disiplin ilmu sosiologi yang mengamati

dan mencatat hukum dlm kenyataan kehidupan sehari-hari dan kemudian berusaha

utk menjelaskannya. Sosiologi hukum merupakan ilmu pengetahuan yg mempelajari

kenyataan hukum dalam masyarakat, yaitu data, keterangan empirik, berita yg benar,

fakta dan kejadian nyata sbg dasar kajiannya (analisis). Sosiologi hokum merupakan

disiplin ilmu yg mempelajari efektivitas fungsi-fungsi hukum dalam memelihara

stabilitas ketertiban, keamanan, keadilan, dan ketenteraman masyarakat. Mempelajari

dan menjelaskan kenyataan fungsi-fungsi norma sebagai pedoman masyarakat dalam

(6)

Sebagai sarana social engineering, hukum merupakan suatu sarana yang

ditujukan untuk mengubah perikelakuan masyarakat sesuai tujuan yang telah

ditetapkan sebelumnya. (Soekanto, 2003). Tetapi terkadang ada pula hukum-hukum

tertentu dibentuk dan ditetapkan, tetapi tidak efektif dalam masyarakat. Adanya

ketidakefektifan hukum ini karena kurangnya penyebaran atau sosialisasi tentang

ketetapan hokum tersebut di masyarakat. Komunikasi hokum tersebut seharusnya

melembaga di dalam masyarakat baik melalui proses formal maupun informal.

Terkait masalah ‘delik santet’ yang menjadi wacana akhir-akhir ini

menimbulkan jajak pendapat antar para ahli hukum dan ahli akademisi lainnya.

Dalam artikelnya, Ronny Rahman Nitibaskara, Guru Besar Kriminologi UI

menerangkan bahwa santet sebagai praktik magis yang berkekuatan yang

mendatangkan mudarat bagi kehidupan orang lain. Di mana santet ini sulit dibuktikan

secara empiris. Apabila terbukti secara empiris, maka pengertian magic dalam

perbuatan tersebut lenyap, ia menjadi perbuatan biasa yang terikat dengan

hukum-hukum fisika.

Pasal dari Rancangan Undang-Undang (RUU) Santet ini merupakan

pengembangan dari pasal 162 KUHP yang mengatur larangan membantu tindak

pidana. Bunyinya:

“Barang siapa di muka umum dengan lisan atau tulisan menawarkan

untuk memberi keterangan, kesempatan, atau sarana guna melakukan

tindak pidana, diancam dengan pidana penjara paling lama 9 bulan

atau pidana denda paling banyak Rp 400.500”

Dalam bahasan TEMPO, Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

(KUHP) yang diajukan pemerintah, pada pasal 293 mengatur penggunaan ilmu hitam.

(7)

1. Setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib,

memberitahukan harapan, menawarkan, atau memberikan bantuan jasa kepada

orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian,

penderitaan mental atau fisik seseorang, dipidana dengan pidana penjara paling

lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.

2. Jika pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) melakukan

perbuatan tersebut untuk mencari keuntungan atau menjadikan sebagai mata

pencaharian atau kebiasaan, maka pidananya dapat ditambah dengan 1/3 (satu per

tiga) dari 5 tahun. (http://www.lintas.me/go/surabaya.okezone.com)

Karakter magis dalam kasus santet memang paradoks bilamana

diperhadapkan dengan sistem hukum modern yang serba formal dan rasional. Karena

alasan inilah, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sulit menampung

semua hal yang bersifat non-kausatif. Tetapi tidak bisa dipungkiri pula bahwa fakta

tentang peristiwa-peristiwa yang sulit dinalar tetapi terjadi. Fenomena semacam ini

masih diakui eksistensinya oleh sebagian besar masyarakat di negara kita. Bagi

kalangan yang meyakini, santet itu adalah ada dan dipandang mempunyai pengaruh

jahat. Dari realitas ini, usulan kriminalisasi mengenai santet pun bukan datang.

Usulan ini lahir dari penggalian panjang atas realitas masyarakat sendiri melalui

berbagai pendekatan, khususnya antropologi hukum dan sosiologi hukum.

Kepercayaan masyarakat terhadap santet inilah yang sering kali melahirkan

reaksi sosial yang membuahkan tindakan kejahatan (crime). Tindakan itu seperti

pengeroyokan, penganiayaan berat, pembunuhan berencana sampai dengan mutilasi

jelas menjadi perhatian para ahli hukum dan tokoh masyarakat lainnya. Jadi

sebenarnya, bukan hanya pada mekanisme santetnya itu sendiri yang harus

diteropong secara empiris. Dalam masalah ini mengandung dua point penting yang

menjadi focus utama. Apakah reaksi sosial atas isu santet yang membuahkan

(8)

menjadi korban santet umumnya menganggap hukum tidak mampu memberikan

perlindungan. Oleh karena itu, mereka mengambil jalan keadilannya sendiri. Tetapi

di sinilah dilemanya, mereka yang telah menjadi korban, baik yang terkena langsung

maupun yang hanya merasa di bawah ancaman santet, harus menerima akibat hukum

dari reaksi pembelaan yang dilakukannya.

Sedangkan untuk mengangkat bukti-bukti penyantetan ke permukaan, jelas

tidak mungkin karena santet berada dalam entitas alam yang lain. Karena hal ini sulit

dibuktikan, maka orang lantas mudah lari pada dugaan penipuan. Dan karena dampak

dari pasca penyantetan inilah yang banyak menimbulkan tindakan-tindakan yang

dapat dimasukkan ke dalam kasus tindak hukum pidana. Di mana tindakan tersebut

tertuju pada pelaku santet, seperti pengeroyokan masal atau main hakim sendiri,

fitnah atau pengrusakan nama baik, dan tindakan lainnya yang cenderung hanya

praduga tak bersalah. Hal ini di karenakan dugaan-dugaan tersebut hanya berdasarkan

pada ‘anggapaan’ bahwa orang yang dijadikan sasaran mereka untuk dikenai tindakan

adalah orang yang sudah memiliki reputasi negatif di dalam masyarakat. Padahal hal

demikian adalah belum tentu dilakukan oleh orang yang bersangkutan. Bukti dan

saksi dalam kasus penyantetan ini sulit untuk dibuktikan, karena santet ini termasuk

ke dalam ilmu gaib. Jadi untuk memasukkan kasus santet ke dalam hukum-hukum

formal/ rasional masih mengalami banyak pertimbangan dari berbagai ahli akademisi.

Santet yang merupakan tindakan irasional, baik cara kerja yang dilakukan pelaku

santet maupun kejadian yang menimpa korban.

Jadi proses penggodokan RUU Santet ini harus mengalami kontemplasi yang

serius yang dilakukan oleh berbagai ahli, baik dari bidang hokum, sosiologi,

sntropologi, agama, dan bidang lainnya. Dalam perspektif sosiologi hukum,

pengkajian hukum positif, yang cenderung menjadi suatu lembaga yang mendidik

menguasai teknologi hukum, yaitu menguasai hukumnya bagi sesuatu persoalan

tertentu yang terjadi serta bagaimana melaksanakan atau menerapakan

(9)

pada kenyataan didalam kehidupan sosial kemasyarakatan). Sosiologi hukum adalah

ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dengan gejala-gejala

sosial lainnya secara empiris analistis. Jadi dari kasus santet semacam ini, tidak

mampu terselesaikan jika hanya mengikutsertakan ahli dari satu disiplin ilmu.

Kaitannya dengan subjek hukum yang akan dijamin keamannnya, RUU Santet

juga harus memastikan dan menetapkan secara jelas tentang siapa yang akan

dijadikan subjek hukum. Apakah subjek hukum tersebut adalah korban dari santet

tersebut (orang yang disantet), ataukan korban yang dituduh atas praduga tak bersalah

oleh massa (orang yang dianggap sebagai dukun santet).

Dalam Tobing (1983) salah satu guna dari sosiologi hukum adalah

memberikan kemungkinan-kemungkinan serta kemampuan-kemampuan untuk

mengadakan evaluasi tentang evektifitas hukum dalam masyarakat. Menganalisa

fenomena sosial melalui kajian sosiologi hukum akan dapat memberikan

kemampuan-kemampuan untuk mengadakan analisa efektivikasi hukum dalam

masyarakat, baik sebagai sarana untuk mengubah masyarakat agar mencapai

keadaan-keadaan tertentu.

Rancangan Undang-undang Santet yang saat ini digodok oleh para petinggi

Negara kita harus mampu membela subjek hukum yang tepat. Pasal-pasal yang akan

ditetapkan harus mampu mewakili dalam menyelesaikan masalah santet ini, baik

pada korban santet atau orang yang diduga pelaku santet. Penetapan hokum santet

harus dapat menjamin hak-hak asasi manusia, di mana itu adalah merupakan hak

mutlak. Hukum harus bisa melindungi masyarakat dari penipuan dan janji-janji dari

orang yang mencoba menjanjikan dapat menggunakan ilmu gaib untuk membuat

orang lain celaka atau menderita. Selain itu, aturan itu harus membuat masyarakat tak

main hakim sendiri pada orang yang diduga dukun santet. Hal ini juga harus ada

dalam penjelasan pasal tersebut. Dan untuk urusan pembuktian kasus santet ini harus

(10)

pelaku dan terbukti menjanjikan membantu melakukan tindak pidana dengan

menggunakan ilmu hitam, maka bisa menjadi dasar bagi jaksa untuk menuntut dan

hakim untuk menghukum.

Begitupula yang diungkapkan oleh Ronny Rahman Nitibagaskara bahwa

RUU Santet ini harus representatif mampu untuk mencegah orang melakukan santet

dan mencegah orang menjadikan isu mengenai santet sebagai alat untuk melakukan

tindak kejahatan. Dengan adanya ketentuan mengenai santet, diharapkan masyarakat

mampu berpikir rasional, tidak mudah jatuh kepada klenik atau hal-hal yang

berhubungan dengan ilmu gaib lainnya. Dan yang perlu digaris bawahi adalah adanya

perundang-undangan tentang santet ini dapat mendorong masyarakat untuk dapat

mencapai kemaslahatan umum dan tertib sosial.

Referensi

Soekanto, Soerjono. 2003. Pokok-pokok Sosiologi Hukum. Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada.

Tobing, M. L. 1983. Sekitar Pengantar Hukum. Jakarta. Erlangga.

Tim Penyusun. 2000. Wajah Hukum di Era Reformasi (Kumpulan Karya Ilmiah Menyambut 70 Tahun Prof. DR. Satjipto Rahardjo, SH.)

Tim Penyusun. 1981. Beberapa Mengenai Bantuan Hukum: Ke Arah Bantuan Hukum Struktural. Bandung. Penerbit Alumni.

Soekanto, Soerjono dan Soleman b. Taneko. 1981. Hukum Adat Indonesia. Jakarta. CV. Rajawali.

Sumber Internet

http://www.wikipedia.org.id/ (diakses tanggal 19 Maret 2013)

http://www.lintas.me/go/surabaya.okezone.com/ (diakses tanggal 19 Maret 2013)

Referensi

Dokumen terkait

Perspektif tradisonal ini memberikan pengaruh positif perencanaan pajak terhadap nilai perusahaan dimana dengan mengurangi jumlah beban pajak yang dibayarkan kepada

Membutuhkan cara penilaian yang menyeluruh, yaitu menetapkan keberhasilan belajar siswa dari bebarapa bidang kajian terkait yang dipadukan. Sesuai pendapat para ahli

Tujuan penelitian ini adalah (1) Untuk mengetahui proses pencabutan pengaduan dan laporan terhadap delik aduan dan delik biasa di Polresta Surakarta; (2) Untuk mengetahui

Judul Skripsi : Optimasi Rute Penerbangan Untuk Penjadwalan Kalibrasi Terhadap Alat Bantu Navigasi Udara Dengan Metode Algoritma Saving-Ants.. Telah berhasil dipertahankan

Alternatif Pemecahan yang diberikan untuk mengatasi kesulitan tersebut adalah: (a) menjelaskan kembali definisi koefisien melalui pemisalan koefisien ke dalam suatu

dengan demikian dapat diketahui bahwa pengalaman mampu meningkatkan kualitas hasil audit. 5) Koefisien regresi Pengetahuan menunjukkan koefisien yang positif sebesar 0,171.

Teguh Prio S 2015, jurusan pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN Maliki Malang dalam skripsinya yang berjudul Penerapan Kurikulum 2013 Untuk

Berdasarkan penelitian yang dilakukan terkait studi korelasi kepatuhan pasien hipertensi dan peningkatan efek samping dengan metode Naranjo di Puskesmas “X” Wilayah