• Tidak ada hasil yang ditemukan

TASAWUF DAN KESEHATAN DALAM PRIBADI MANU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "TASAWUF DAN KESEHATAN DALAM PRIBADI MANU"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

TASAWUF DAN KESEHATAN DALAM

PRIBADI MANUSIA

Oleh : Ainur Rofiq1

Abstrak

Kesehatan mental sering disebut juga dengan istilah mental health dan atau mental hygiene historis, ilmu ini di akui berasal dari kajian psikologi. Usaha psikologi yang kemudian menelurkan ilmu baru ini berawal dari keluhan-keluhan masyarakat sebagai akibat dari munculnya gejala-gejala yang menggelisahkan. Fenomena psikologis ini tampaknya tidak hanya dirasakan oleh induvidu, perseorangan, dalam sebuah keluarga, tetapi dirasakan pula oleh masyarakat luas. Ketika kegelisahan itu masih berada pada taraf ringan, induvidu yang mengalaminya masih mampu mengatasinya. Akan tetapi, ketika kegelisahan tersebut sudah bertaraf besar, biasanya si penderita tidak mampu mengatasinya. Apabila kondisi itu dibiarkan, yang terganggu tidak hanya induvidu si penderita saja, melainkan mengganggu orang lain di sekitarnya. Latar belakang munculnya ilmu kesehatan mental ini sekaligus melahirkan pengertian awal ilmu tersebut.

Kata Kunci : Tasawuf, Kesehatan, Pribadi Manusia

A. PENDAHULUAN

Dikalangan ahli sufi, istilah tasawuf mempunyai makna berbeda dan pengertihan yang berbeda dari pengertian yang diberikan oleh para sufi

فوصتي

-فوصث menjadi افوصت tasawuf yang mempunyai arti : mensucikan jiwa. menjernihkan akhlaq, membangun dlohir dan batin, lima istilah yang berkenaan dengan tasawuf, al suhfah : orang yang tinggal di masjid, shaf : barisan, sufi : suci, Shopos( yunani : hikmah, suf : kain wall, menjadi berbulu yang banyak. Dengan arti sebenarnya menjadi sufi, yang ciri khas pakaianya selalu terbuat dari bulu domba.

Dalam ajaran tasawuf, pelaksanaan ibadah hanya dengan melakukan gerakan gerakan dan bacaan bacaan tanpa memahami makna yang ada didalam ibadah tersebut, tidak ubahnya seperti anak kecil yang membawa kitab tanpa mengerti apa yang dibacanya. Kehidupan keberagaman dengan ibadah yang hanya terkonsentrasi pada amal lahiriah ( syariat ) ini akan hampa karena hati kosong dari khakekat ibadah yang sedang dilakukan, Makna yang terkandung di dalam ibadah inilah yang dikalangan tasawuf di kenal dengan istilah kahakikat.

Hakikat dalam pandangan tasawuf merupakan inti atau rahasia yang paling dalam dari syariat dan akhir dari perjalanan yang di tempuh oleh

1

(2)

seorang sufi, sebelum memasuki pada makam makrifat. Jika gerak gerik dan bacaan bacaan sholat adalah syariat, dialog spiritual (bertemu) antara seorang abid (hamba) dengan makbud ( yang di sembah) adalah khakikatnya, jika gerak gerik dalam bacaan bacaan yang ada dalam ibadah haji adalah syariat, berjumpa dengan Allah adalah hakikatnya. Dalam pandangan para sufi, syariat dan hakikat adalah dua hal yang tidak dapat di pisahkan. Hal ini karena setiap syariat yang tidak didukung dengan hakikat, urusanya tidak diterima. Setiap hakikat tanpa di dasari dengan syrait, urusanya tidak berhasil.

Dalam pandangan kaum sufi seperti Al Qusyairi dan Al Ghazali, pelaksanaan seluruh ibadah tidak dapat hanya berkosentrasi pada khakikat dengan mengabaikan syariat, Demikian pula sebaliknya. Pandangan pandangan yang mengabaikan syariat tidak dapat mereka terima, dan dianggap sebagai ajaran yang telah keluar dari hakikat Islam.

Oleh karena itu, pandangan mereka tentang tasawuf lebih menekankan pada jiwa (nafes), yaitu pada ketentuan yang teramat dalam, kontek ini akan kami bahas pada halaman berikutnya:

B. RUH DAN POTENSI MANUSIA

Allah menciptakan ruh sebelum benda materi. Ruh berada di dalam diri manusia yang paling dalam dan manusia tidak mampu memahami tentang ruh, karena ruh adalah rahasia Allah, firman Allah : Qulirruuhu min amri rabbi, ruh berada di dunia yang lebih halus, sebuah dunia yang lebih dekat dengan Allah, Di sini tidak ada tabir antara ruh dan Allah, Manusia telah terwujud selama seribu tahun lebih di dunia yang halus, berada di dekat Allah, bermandikan pancaran Allah, dan Allah bertanya ruh, Apakah aku Tuhan kalian? Suara Tuhan menjadi dari semua musik yang mennyentuh hati, yang menggerakan ruh yang berada di dalam diri manusia, menyemangati dan membahagiakan ruh, Ruh mengetahui Tuhan telah menciptakan mereka, mereka selaras dengan kehendak Tuhan bersemangat di dalam hadlirat Nya.

Kemudian Allah mengirim ruh ke dunia. Ia pun terbenam didalam masing masing dari empat elemen ciptaan. ia menciptakan air dan dan menjadi basah, lalu bercampur tanah menjadi lumpur dan kena udara menjadi tanah liat, kemudian bercampur api sehingga menjadi tanah yang keras, dengan demikian jiwa non materi bercampur seluruh elemen dasar yang menghasilkan dunia dan cahaya menjadi tersimpan didalam wadah tanah liat, yakni tubuh manusia.

(3)

tersembunyi, Sayangnya begitu terwujud dalam bentuk materi, kita menjadi buta terhadap rahasia di dalam diri kita. Sebagai mahluk materi, secara umum kita tidak dapat mewujudkan sifat sifat ketuhanan, kita tertarik pada benda duniawi. Akan tetapi Tuhan yang memberi berbagai alat untuk memberi pada tingkat kesadaran azali kita , untuk keluar dari wadah tanah liat, Alat alat tersebut adalah akal dan kehendak yang merupakan potensi potensi yang dimiliki oleh ruh manusia, sebenernya dengan akal manusia akan bisa menjadi orang terbaik, bahkan lebih baik dari pada malaikat, hal ini tentunya manusia harus bisa menggunakan akalnya, karena akal manusia di setir oleh malaikat mulhim, sebaliknya jika dalam diri manusia yang di tempati nafsu yang di setir oleh syetan maka manusia akan hina bahkan lebih hina dari pada hewan.

C. MENGENAL NAFAS DAN KARAKTERISTIKNYA.

Kalimat nafas menurut bahasa arab berarti jiwa atau ruh, dalam Al Quran kalimat nafas bisa berarti bermaca macam :

1. Nafas sebagai totalitas manusia surat Al Maidah 32, 2. Nafas sebagai sisi manusia surat , Al Ra’d, ayat 11, 3. Nafas sebagai ruh seperti dalam surat Al Anam : 93 4. Nafas sebagai jiwa, seperti dalam surat Al Syam : 7

1) nafas sebagai totalitas manusia

Kata nafas untuk menyebut totalitas manusia, artinya manusia sebagai mahluk hidup di dunia maupun di akherat,. Sebagaimana yang sudah menjadi pemahaman bersama bahwa manusia adalah mahluk yang memilki dua dimensi, yaitu jiwa dan raga. Tanpa jiwa dengan fungsi fungsinya, manusia di pandang tidak sempurna tanpa jasad atau raga, jiwa tidak menjalankan fungsi fungsinya.

Jadi hubungan keduanya adalah saling membutuhkan keberadaanya, dalam terma totalitas manusia berarti manusia sebagai mahluk dunia harus mempertanggung jawabkan perbuatanya nanti di akherat. Dan kehidupan yang khakiki sebenarnya adalah kehidupan di akhirat kelak karena ada yang berpendapat bahawa kehidupan di dunia adalah kehidupan yang semu.

Seperti yang di terangkan dalam Al Quran S, At Takwir 7. di akherat nanti, nafas akan dipertemukan dengan badanya, hal ini yang diterangkan dalam tafsir al Maragi manarsirkan kalimat zuwwijat

dengan arti di pertemukan dengan badanya” penafsiran ini

(4)

mata kaki dan seluruh anggota badan manusia di mintahi pertanggung jawaban atas apa yang telah di perbuatkanya pada saat di alam dunia. Jika nafas di akherat nanti akan dipertemukan dengan badanya, pertanyaan yang muncul, apakah badan yang sudah hancur manjadi tanah liat akan di desain untuk hidup di alam rohani?

Di tinjau dari kekuasaan Allah tidak ada sesuatu yang tidak mungkin karena Allah maha kuasa, dengan sifat qudrat Nya mempertemukanya keduanya tidaklah bernamasalah, seperti yang telah di firmankan dalam surat Yasin ayat 79: Allah berkuasa membangkitkan jasad jasad yang sudah mati sebagaimana Allah mampu menghidupkan mahluk Allah pada waktu pertama kalinya, tentunya hal ini di kembalikan pada keimanan masing masing, bagi manusia yang beriman tentulah kita memperyai itu, karena sebenarnya kita juga di buat dari benda mati. Yang menurut rasio kita tidak mungkin, tapi kekuasaan Allah maka hal itu tidak ada yang tidak mungkin dan tidak sulit bagi Nya.

2) Nafas sebagai sisi Manusia

Surat Al Ra’d mengisarahkan bahwa manusia memiliki sisi dalam dan sisi luar , jika manusia di lihat dari sisi luarnya atau lahiriyahnya maka manusia akan bisa di lihat dari perbuatanya, jika di lihat dari sisi dalamnya manusia sebagai penggerak nafasnya, artinya bahwa nafas adalah sebagai wadah bagi suatu potensi, dan sangat besar peranya bagi perbuatan manusia, Ia merupakan ruang dalam rohani manusia yang sangat luas yang menampung berbagai macam fasilitas.

Dengan memunculkan yang tersembunyi dalam nafas, manusia akan bisa mendekatkan diri kepada Allah, karena dengan mengoptimalkan nafas kepada sang pencipta sehingga manusia dapat menjalankan tugasnya sebagai manusia seperti yang di kehendaki oleh sang pencipta,

3) Nafas sebagai ruh seperti dalam surat Al An’am : 93

Nafas sebagai ruh pada surat tersebut dalam firma Nya: keluarkanlah nyawa kamu, di pahami bukan dalam arti ucapan, karena kematian dan kehidupan bukanlah suaatu yang berada dalam wilayah kemampuan manusia untuk meraih atau menampiknya.2 Atas dasar itu, perintah diatas dapat di pahami sebagai gambaran dari keengganan seseorang untuk meninggal dunia. Ini menggambarkan betapa kasar

dan kejam malaikat menghadapi mereka seakan akan mereka berkata”

keluarkan nyawamu dari sisksa yang akan kamu hadapi” .Memang semua orang enggan mati, tetapi seorang mukmin pada saat malaikat maut datang memanggil nyawanya akan melihat tempatnya kelak di surga.

(5)

Nah ketika itu jiwanya merasa tenang dan senang bertemu dengan Allah. Allah pun senang bertemu denganya, Sedang seorang durhaka, diperlihatkan kepadanya saat sekarat tempat yang di huninya adalah neraka, sehingga hatinya gusar, tidak ingin mati, nyawanya bagaikan enggan keluar karena melihat dan menyadari apa yang akan dialaminya.

4) Nafas sebagai jiwa, seperti dalam surat Al Syam : 7

Seperti yang di terangkan dalam surat Al Syam, ayat 7. Dan demi jiwa serta penyempurnaanya, Allah melanjutkan sumpah Nya dengan mengingatkan tentang jiwa manusia – dan inilah yang dituju – agar menyadari dirinya dan memperhatikan mahluk yang di sebut oleh ayat ayat yang lalu. Allah berfirman Dan Aku juga bersumpah demi jiwa manusia serta penyempurnaan ciptaan Nya sehingga mampu menampung yang baik dan yang buruk lalu Allah mengihaminya yakni memberi potensi dan kemampuan bagi jiwa itu untuk menelusuri jalan kedurhakaan dan ketakwaanya, terserah kepadanya, yang mana di antara keduanya yang di pilih serta di asah dan di asuhnya.

Pada ayat berikutnya Allah berfirman fa alhamahaa lalu Allah mengihaminya kedurhakaan dan ketaqwaanya. Memang ilham atau intuisi datang secara tiba tiba tanpa disertahi analisis sebelumnya, bahkan kadang kadang tidak terpikirkan sebelumnya. Kedatangan bagaikan kilat dalam sinar dan kecepatanya, sehingga manusia tidak dapat menolaknya, sebagaimana tak dapat pula mengundang kehadliranya, potensi ini ada pada setiap insan, walaupun peringkat dan kekuatanya berbeda antara seseorang dengan yang lain.

Kata ilham dipahami dalam arti pengetahuan yang di peroleh seseorang dalam dirinya, tanpa diketahui secara pasti dari mana sumbernya. Ia serupa dengan rasa lapar, Ilham berbeda dengan wahyu, karena wahyu walaupun termasuk pengetahuan yang di peroleh namun ia diyakini bersumber dari Allah swt.

D. TASAWUF DAN KESEHATAN MENTAL

(6)

dibiarkan, yang terganggu tidak hanya induvidu si penderita saja, melainkan mengganggu orang lain di sekitarnya. Latar belakang munculnya ilmu kesehatan mental ini sekaligus melahirkan pengertian awal ilmu tersebut. Ilmu kesehatan mental berkait erat dengan terhindarnya seseorang dari gangguan penyakit kejiwaan. Penyakit ruhani. Pengertian klasik ini sangat sempit karena kajian imu kesehatan mental hanya diperuntukkan bagi orang yang mengalami gangguan dan penyakit jiwa saja. Padahal, ilmu ini juga sangat di butuhkan oleh setiap orang yang merindukan ketentraman dan kebahagiaan hidup.

Fenomena ini semakin mendorong para ahli merumuskan pengertian ilmu kesehatan yang mencakup wilayah kajian lebih luas. Marie jahodah, seperti dikutip yahya jaya, memberikan batasan lebih luas dari pengertian pertam. Menurutnya, kesehatan mental mencakup :

1. Sikap keperibadian yang baik terhadap diri sendiri, kemampuan mengenali diri dengan baik

2. Pertumbuhan dan perkembangan serta mewujudkan diri yang baik; 3. Keseimbangan mental, kesatuan pandangan, dan ketahanan terhadap

segala tekanan:

4. Otonomi diri yang mencakup unsur-unsur pengatur kelakuan dari dalam atau kelakuan-kelakuan bebas:

5. Persepsi mengenai realitas, terbatas dari penyimpangan kebutuhan secara memiliki empati dan kepekaan sosial, dan

6. Kemampuan menguasai dan berintegrasi dengan lingkungan

Sementara Goble, mengutip dari Assagioli, mendefinisikan kesehatan mental sebagai terwujudnya integritas keperibadian, keselarasan dengan jati diri, pertumbuhan kearah realisasi diri, dan kearah hubungan yang sehat dengan orang lain. Sepintas lalu, kedua pengertian diatas terkesan komprehensif dan utuh, tetapi setelah pengertian diatas di teliti, kedua definisi tersebut masih mengandung kekurang sempurnaan, terutama apabila dilihat dari wawasan yang berorientasi Islam. Apabila dicermati, kedua definsi tersebut bertopang pada paham psikologi murni. Psikologi sangat mengandalkan data data empiris dan metodologi rasional. Sebagai salah satu bentuk sains kontemporer, tidak banyak mengkaji dan mendiskusikan data-data meta-empiris dan metodologi rasional, dan biasanya ciri-ciri utama telah lebih bersifat sensori, materialistik, objektif, dan kuantitatif,

(7)

diri dan masyarakat di sekitarnya. Realitas meta empiris yang meliputi: makhluk sepiritual, alam roh, Allah, dan sebagainya, tidak dibicarakan. Upaya penyempurnaan pengertian kesehatan mental tersebut terus dilakukan oleh para pakar. Arah penyempurnaanya diarahkan pada “

ketercakupan seluruh potensi manusia yang meliputi dimensi”. Sebagai

pionernya, di antaranya adalah zakiah daradjat, yang mencoba merumuskan pengertian kesehatan mental yang mencakup seluruh potensi manusia menurutnya, kesehatan mental adalah bentuk personifikasi iman dan takwa seseorang. Ini di pahami bahwa semua kriteria kesehatan mental yang dirumuskan harus mengacu pada nilai-nilai iman dan taqwa. Karena dengan iman dan taqwa inilah manusia akan mengalami hidup dengan bahgia. Banyak orang yang sakit karena mereka tidak faham bahwa sakit itu merupakan ujian dari Allah, tetapi karena dengan iman dan taqwa sebagai dasar mereka, akhirnya sadar akan nikmat yang telah diberikan kepada manusia.

Apabila kesehatan mental berbicara tentang integritas kepribadian, realitas diri, aktualisasi diri, penyesuaian diri, dan pengendalian diri, parameternya harus merujuk pada iman dan taqwa, akidah, dan syarat. Dilibatkanya unsur iman dan taqwa dalam teori kesehatan mental itu bertopeng pada suatu kenyataan bahwa tidak sedikit ditemukan orang yang tampaknya hidup sejahtera dan bahagia, keperibadian menarik, sosialitasnya sangat baik, tetapi sebenarnya jiwanya gersang stres, karena dia tidak beragama, atau tidak nya kurang taat dalam beragama. Inilah bentuk kesehatan mental semu.

Secara nyata, orang tesebut dapat disebut sehat mental. Prilaku dan perbuatanya dinilai sangat baik oleh lingkungan. Dan sukses berhubungan dengan dirinya dan orang lain. Akan tetapi, arti pengertian Zakiah darajat, orang tersebut tidak sehat mental karena dia gagal dalam berhubungan dengan tuhanya.

Dengan demikian, dapat dikatakan, bahwa hakikat kesehatan mental adalah terwujudnya keserasian, keharmonisan, dan integritas kepribadian yang mencakup seluruh potensi manusia secara optimal dan wajar. Istilah optimal dan wajar mengisyaratkan betapa sulitnya menemukan sosok manusia yang mencapai tingkat kesehatan mental yang sempurna. Bisa juga dikatakan, manusia berusaha mencapai kesehatan mental menuju kesempurnaan, bahkan yang lazim ditemukan, orang-orang yang mencapai tingkat kesehatan mental yang wajar.

Untuk mengetahui “ seberapa tingkat kesehatan mental sesorang?”,

Zakiah daradjat memberikan empat indikator, yaitu:

(8)

2. Ketika sesorang mampu menyesuaikan diri dengan masyarakat, alam, lingkungan dan Tuhanya;

3. Ketika sesorang mampu mengendalikan diri terhadap semua problem dan keadaan hidup sehari-hari ;

4. Ketika dalam diri seseorang terwujud keserasian, dan keharmonisan antara fungsi-fungsi kejiwaan.

Dengan empat indikator kesehatan mental ini, kita menjadi lebih mudah menilai dan atau mengukur tingkat kesehatan mental seseorang. Dengan asumsi, semakin terpenuhinya keempat indikator tersebut, semakin tinggi kesehatan mental sesorang demikian sebaliknya, semakin kurang terpenuhinya salah satu atau beberapa indikator itu sedemikian itulah persentase tingkat kesehatan mentalnya, berarti menurun. Oleh karena itulah, Zakiah drajat menyebut bahasan kesehatan mental dengan empat

indikator ini dengan istilah “ kesehatan mental sebagai kondisi kejiwaan seseorang“.

Di samping itu, terdapat dua istilah, yakni kesehatan mental sebagai ilmu pengetahuan, dan kesehatan mental sebagai terapi kejiwaan, atau bentuk psikotrapi, sejak awal kelahiranya, kesehatan mental muncul sebagai kajian lanjut dari pesikologi. Bukti yang tak terbantahkan adalah hampir semua buku pesikologi membahas mental hygiene, sehingga tidak keliru bila disimpulkan, kesehatan mental hygiene, sebagai ilmu pengetahuan yang lahir dari rahim pesikologi. Selanjutnya, seiring dengan pesatnya perkembangan sains modern, sosok ilmu baru, yaitu kesehatan mental, ini dengan cepat memisahkan diri dari induknya.

Perkembangan kajian kesehatan mental pun demikian pesat, bahkan ketenaranya hampir mengiringi ketenaran induknya. Sekalipun demikian, corak khas objek kajian ilmu kesehatan mental tetap mengikuti apa yang dikaji induknya, yaitu psikologi.

Sebagai disiplin ilmu, kesehatan mental bertujuan menggabungkan seluruh potensi manusia seoptimal mungkin dan memanfaatkanya sebaik mungkin agar terhindar dari gangguan dan penyakit kejiwaan, menurut Langgulung, kesehatan mental sebagai ilmu pengetahuan mempunyai tugas mengembangkan semua potensi manusia agar mampu mewujudkan sifat-sifat khasnya agar berbeda dengan mahluk lain di muka bumi ini. Apabila pendapat Langgulung itu dilihat secara mendalam, sebab, perwujudan sifat-sifat khas kemanusiaan tersebut bisa mengarah pada terciptanya” sosok manusia bermoral mulia:. Moral mulia disini mencakup moral terhadap diri, dan sesama tuhan.

Kesehatan mental mengkaji “ masalah teknik-teknik konseling dan

(9)

ringan. Biasanya, masalah yang menimpanya masih dalam taraf “ gangguan kejiwaan”, yang sering diistilahkan dengan psycho neurose. Adapun terapi kejiwaan diperuntukkan bagi orang yang terkena masalah psikis yang masuk taraf akut, yang sering disebut istilah psychosis. Apabila di kembalikan pada bahasan sebelumnya, semakin jelas bahwa dilibatkan nilai-nilai Islam dalam perumusan pengertian kesehatan mental bisa diposisikan sebagai mengoreksi dan penyempurnaan teori-teori kesehatan mental yang dirumuskan para psikolog kontemporer

Secara formal sebagai disiplin ilmu, psikologi agama dan kesehatan mental belum banyak ditemukan dalam khazanah keilmuan muslim, terutama pada zaman keemasan kebudayaan muslim. Jadi, hanya ilmu tasawuf yang sudah dikenal dan berkembang sejak dahulu karena psikologi agama dan kesehatan mental baru muncul pada abad modern, tepatnya abad ke 19. meskipun demikian, secara substansial, harus diakui bahwa embbrio kedua ilmu itu sudah ditemukan jauh sebelum tahun kelahiranya, dan ini sudah terjadi pada abad 12, yang saat itu muncul seorang filosof, ilmuwan, dan juga dokter kelahiran persia, sekaranng sudah menjadi bagian Uzbagistan, beliau adalah Ibnu Sina dan sekaligus bapak pengobatan modern, dan benang merah persinggungan antara ketiga ilmu itu memungkinkan untuk dilacak dalam gudang sejarah keilmuan muslim. Diskusi mengenai gudang keilmuan muslim dalam sejarah biasanya dikaitkan dengan dua kerajaan muslim di barat dan di timur. Dibarat diwakili daulah amawiyah yang berpusat di cordova (spanyol), sedangkan di timur diwakili daulah abbasiyah yang berpusat di baghdad. Kedua kerajaan muslim itulah yang mengibarkan panji kemajuan ilmu-ilmu Islam dan sekaligus lahirnya para pemikir muslim di setiap bidang keahliannya masing-masing. Pada masa itu, kajian filsafat dan seluruh cabang keilmuan Islam berkembang sangat pesat. Selanjutnya, bagaimana posisi tasawuf, pesikologi agama, dan kesehatan mental ?.

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Oesman bakar memberikan suatu isyarat bahwa dalam khazanah intelektual muslim, pengkajian psikologi sudah mencakup proses hierarkis perkembangan berbagai daya jiwa, sifat, fungsi psikis, dan arah tujuan akhir aktivitas daya jiwa. Sifat, fungsi-fungsi psikis, dan arah tujuan akhir aktivitas daya jiwa. Pengkajian ini dipelopori al-farabi, ibnu sina, dan Al-Ghozali. Sekalipun pekajiannya masih bersifat filosufis, setidaknya usaha mereka telah menorehkan dan menelurkan benih bagi studi-studi psikologis masa mendatang.

(10)

empiris, sifat-sifat dan fungsi-fungsi jiwa dan teori mimpi yang di kemudian hari banyak diungkapkan Sigmund freud.

Pengkajian Ibnu arabi mengenal butir-butir psikologis yang tidak terpisahkan dengan penghayatan sufistiknya memberikan arti penting bagi pencarian titik persinggungan antara kajian sufistik, psikologi agama, dan kesehatan mental. Dilihat dari segi pengertian psikologi agama, kajian-kajian psikologi ibnu arabi dan Al-Farabi memberikan sumbangan cukup strategis bagi pengkajian pesikologi agama pada masa berikutnya. Pesikologi agama

yang berarti “ ilmu pengaruh” atau “ penerapan prinsip-prinsip psikologis

dalam memahami sebagai aspek keagamaan” mengisyaratkan bahawa usaha

para pemikir muslim tersebut sudah meletakan dasar-dasar strategis pengkajian dan risetnya.

Penyemai benih psikologi agama yang lahir pada abad modern sebenarnya adalah para pemikir muslim. Psikologi agama ini tidak mungkin lahir begitu saja, tetapi melalui proses panjang dan berkesinambungan. Psikologi agama yang mencoba menjelaskan perasaan, motivasi, perkembangan, dan kognisi keagamaan tampakanya sulit dilakukan bila teori tentang daya, sifat, dan fungsi kejiwaan tidak didudukkan terlebih

dahulu. Disamping itu, psikologi agama yang diartikan sebagai “ ilmu pengaruh” secara subtansional sudah banyak di kaji oleh Imam Al-Ghazali

Pembahasan seputar “ pengaruh ajaran agama terhadap kehidupan

keagamaan” banyak ditemukan dalam magnum opus-nya, yakni Ihya’ ulum

al-din dan mungids min al-Dhalal. Kedua buku ini tidak hanya menguraikan

‘pengaruh’ ajaran agama terhadap kehidupan keberagamaan, tetapi juga

tentang ‘penghayatan’ al-Ghozali terhadap adanya pengaruh ajaran Islam.

Satu hal penting masyhur dalam kedua buku tersebut adalah “ konversi Al

-Ghozali” yang kemudian hari menjadi bagian penting pengkajian pesikologi

agama. Konversi Al-Ghozali tidak dipahami sebagai proses perpindahan dari satu agama ke agama lain, tetapi merupakan proses kematangan keberagamaan. Model konversi Al-Ghozali ternyata cukup menarik bagi William james, seorang tokoh perintis ilmu pesikologi agama

William james mendiskripsikan proses konversi Al-Ghozali dalam ruang khusus di buku menumentalnya yang berjudul the vartieties of religious experiences. Penjelasan ini setidaknya memberikan sesuatu isyarat bahwa kedua karya Al-Ghozali tersebut dapat diposisikan sebagai “ karya pemberi

inspirasi kelahiran pesikologj agama” .

Ilmu kesehatan mental juga tidak jauh berbeda dengan pesikologi

agama. Hasan langgulung mengatakan, “ sekalipun kesehatan mental

merupakan istilah dan ilmu baru, hakikatnya sama dengan konsep kebahagiaan, keselamatan, kejayaan, dan kemakmuran.” Sementara menurut

Salomon, istilah kebahagiaan merupakan’ sebutan kebaikan hakiki’ yang ada

(11)

summum bonum”. Kebahagiaan merupakan arah dan tujuan semua tindakan dan harapan setia manusia

Apabila kesehatan mental diartikan kebahagiaan, keselamatan, dan sebagainya, sebenarnya para filusuf muslim terdahulu sudah banyak membicarakannya. Ibnu Sina, Al-Farabi, Al-Ghazali, dan Ar-Razi menguraikan hal demikian dalam tulisan-tulisanya. Penganalongan konsep kesehatan mental dengan konsep kebahagiaan itu menunjukkan bahwa kesehatan mental merupakan suatu kondisi jiwa yang sehat secara wajar dan optimal.

Adapun jalal syaraf megistilahkan dengan al-Mustawa al-Shahi al-Aqly’ ammatan. Suatu kondisi jiwa yang sehat biasa dibahas ketika berbicara

tentang “ terhindarnya seseorang dari gangguan dan penyakit kejiwaan,

kemampuan ber-adjustment, pengendalian diri, dan terwujudnya integritas antara berbagai fungsi kejiwaan”. Ibnu Sina, dalam karya monumentalnya, Ash-Shifa (The Book of Healing) sudah membahas teori-teori sehat mental. Ia mengatakan, diskusi mengenai kabahagiaan tidak bisa lepas dari pembahasan teori akhlak.3

Kebahagiaan tanpa akhlaq mulia tidaklah mungkin. Ini kadang sering tidak difahami ooleh setiapinsan, Kebahagiaan akan diperoleh apabila seseorang memilih mana yang lebih baik dan menyingkirkan yang tidak baik. Kebersihan dan kesucian kalbu menjadi kunci utama perolehan kebahagiaan. Kalbu atau jiwa yang suci, suci berarti diawali dengan suci dzahir, artinya bersuci dari hadath, kemudian dengan sendirinya akan muncul jiwa yang bersih dan membuat seseorang jauh dari gangguan dan penyakit kejiwaan. Dengan kata lain, orang berakhlak baik menjadikannya mencapai kebahagiaan, ketentraman, kejayaan, dan keselamatan hidup. Allah berfirman dalam surat surat Al Syams اهاكزنمحلفادق اهاوقتواهروجفاهمهلااف

دقو باخ نم

اهسد 9.8 Allah mengilhamkan kepada yang salah dan yang benar,

sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan jiwanya, dan sesungguhnya rugi besar bagi orang yang mengotorinya. Rasullulah perbuatan yang baik adalah yang membuat hatimu tentram, perbuatan buruk yang membuat hatimu gelisah.

Sementara itu, Ar-Razi4 - dalam Al-Thib al-Ruhany melekatkan carra perawatan dan penyembuhan penyakit-penyakit kejiwaan dengan melakukan pola hidup sufistik. Melalui konsep zuhudnya, Ar-Razi menguraikan, secara teori dan praktis, perawatan dan pengobatan gangguan dan penyakit kejiwaan. Pengendalian diri, kesederhanaan hidup, jauh dari akhlak buruk, serta menjadikan akal sebagai esensi diri merupakan kunci

3 Ibnu Shina, Al-Shifa’ al-llahi, t.tp., (Cairo : 1966 ). 445. dilihat: Ibnu al-Qayyum Al-Jauziyah, Al-Da’ wa al-Dawa’, ( Kairo: Dar al-Hadist, 1992),94 dan 140.

4 Ar-Razi, Pengobatan Ruhani, terj. M.S. Nasrullah dan Hilman, (Bandung: Mizan,

(12)

pemerolehan kebahagiaan hidup. Demikianlah bahwa ilmu kesehatan jiwa

dan psikologi, jauh sebelum kelahirannya, telah diprakarsai ‘persemaian benihnya’ oleh Ibnu Shina dan Ar-Razi.

Sementara itu, Al-Ghazali menguraikan “teori kebahagiaan” sebagai cerminan kesehatan mental dalam balutan akhlak sufitik. Ia mendeskripsikan “teori kebahagiaan” dalam karya khusus yang disebutnya Al-Kimia al-Sya’adat (Kimia kebahagiaan) di samping dalam Ihya Ulum al-Din,

khususnya dalam satu bab yang diberi judul “rubu’ al-Munjiat”. Dalam tulisan tersebut, Al-Ghazali menempatkan terma-terma “al-fauz, an-najat, dan al-Sya’adat” untuk menjelaskan tujuan dan akhir kehidupan manusia. Aspek penting lain dari pemikiran Al-Ghazali berkaitan dengan pengembangan ilmu kesehatan mental, yakni bab keajaiban hati dan penyingkapan jiwa. Kedua bab itu secara jelas mengungkap hakikat jiwa, watak, fungsi-fungsi kejiwaan dan peranannya dalam kehidupan manusia. Al-Ghazali mengatakan kebahagiaan manusia sangat bergantung pada pembahasan terhadap jiwanya. Sukses dan tidaknya manusia karena kebersihan jiwanya. Sebaliknya, kegagalan memahami jiwanya menyebabkan ketidakmampuannya dalam memperoleh kebahagiaan hidup. Dalam konteks kajian ini, deskripsi akhlak sufistik Al-Ghazali tesebut dapat dijadikan dasar-dasar penting bagi pengkajian dan pengembangan ilmu kesehatan mental.

Dari uraian diatas, dapat diambil pemahaman bahwa para ilmuan

muslim masa klasik sudah banyak membahas “psikologi agama, kesehatan mental, dan tasawuf” secara terpadu. Dikatakan demikian, karena para

pemikir muslim yang telah berhasil meletakkan dasar-dasar ilmu-ilmu kontemporer tersebut merupakan para ahli sufi. Menurut data sejarah, baik Ibnu Shina, Ar-Razi, Al-Ghazali, dan lainnya merupakan ahli sufi, ahli jiwa, dan sekaligus ahli kesehatan mental.

Sebenarnya, tasawuf dan psikologi agama secara langsung tidak berhubungan. Tasawuf berkaitan dengan penghayatan keagamaan (Islam) esoterik. Oleh karena itu, tasawuf banyak menggunakan qalb dari pada aql. Tasawuf lebih bersifat religius karena tasawuf berasal dari ajaran agama Islam. Pembenaran terhadap ajaran Islam menjadi syarat kajian tasawuf. Pengkajian tasawuf tanpa keyakinan tidak akan menemukan kebenaran yang hendak dicapai.

Sementara psikologi agama membatasi kajian pada prinsip-prinsip studi psikologis belaka. Psikologi agama tida membicarakan soal benar atau salah ajaran agama (Islam). Oleh karena itu, kebenaran yang dicari psikologi

agama bukan kebenaran teologis ataupun kebenaran fiqh (syar’i), melainkan kebenaran psikologis semata. Pembicaraan mengenai “bagaimana manusia beriman misalnya?”, kajiannya hanya ditekankan pada tindakan “gejala

(13)

manusia melakukan agamis, psikologi agama tidak membahas motif-motif bersifat teologis metafisis, tetapi hanya berbicara motif-motif yang mampu di sentuh dan observeable secara psikologis.5

Dengan mencermati uraian di atas, tampak jelas perbedaan dan sekaligus adanya isyarat bahwa persinggungan antara tasawuf dan psikologi agama tidak ditemukan secara langsung. Sekalipun demikian, jika ditelaah lebih teliti, ternyata ditemukan adanya keterkaitan antara kedua ilmu tersebut. Berkaitan dengan pencarian titik singgung antara keduanya dapat diungkapkan beberapa temuan berikut.

Pertama, tasawuf dan psikologi agama sama-sama berpijak pada kajian kejiwaan manusia. Perbedaannya hanya terletak pada metode pengkajianya. Tasawuf lebih banyak menggunakan metode intuitif, metode nubuwah, metode ilahiah, dan metode-metode yang berkaitan dengan “qalb” lainnya. Sementara itu, psikologi agama menggunakan metode pengkajian psikologis empiris. Tasawuf membahas cara mensucikan jiwa spiritualitas manusia beragama, sedangkan psikologi agama membahas pengaruh ajaran agama terhadap seluruh aspek kahidupan manusia yang observeable.

Kedua, tasawuf dan psikologi agama berbicara tentang kondisi

keberagamaan seseorang. Tasawuf menggunakan pendekatan “rasa”,

sementara psikologi agama, menggunakan pendekatan “positivisme”, cara berfikir positif, dan rasional empiris.

Ketiga, kedekatan hubungan tasawuf dan psikologi agama ditemukan ketika salah satu kaitan psikologi agama adalah perilaku para sufi. Hanya, psikologi agama melihat ketasawufan para sufi melalui fenomena yang dapat diteliti dan diobservasi. Psikologi agama tidak mengkaji tasawuf dari segi ajaran dan ritus-ritusnya, tetapi hanya mengkaji bukti-bukti empiris ketasawufan seorang sufi. Psikologi agama tidak melibatkan diri dalam pembelaan atau penyangkalan terhadap hasil penghayatan para sufi. Psikologi agama hanya mengungkap pengaruh ajaran tasawuf terhadap perilaku dan kepribadian seseorang. Berkaitan dengan ungkapan tersebut,

Bernard Spilka secara jelas menyatakan, “amalan mistik (tasawuf)

berpengaruh terhadap proses kejiwaan seseorang.”6 Kesimpulan hasil risetnya dilakukan dengan menggunakan data-data temuan secara empiris dan keterangan-keterangan dari pengalaman para sufi.

Keempat, persinggugan tasawuf dan psikologi agama dapat ditemukan dalam objek kajian. Psikogi agama bersinggungan dengan tasawuf dikarekanakan ada kepentingan objek kajian atau objek penelitian. Sebagaimana dalam uraian tersebut, salah satu objek kajian psikologi agama

5 Nico Syukur Dister, Pengalaman dan Motivasi Beragama,( Yogyakarta: Kanisius,

1994), 15.

(14)

adalah kesadaran dan pengalaman keberagamaan seseorang. Kedua hal tersebut banyak ditemukan dalam ajaran dan perilaku kehidupan para sufi. Berkaitan dengan itu, Nicholson menyatakan “Sufism is the type of religious

experiences”7 (Sufisme, tasawuf, merupakan suatu bentuk berbagai

pengalaman keberagamaan).

Dengan demikian, titik persinggungan antara tasawuf dan psikologi agama dapat ditemukan dalam beberapa aspek, sebagaimana diungkap di atas, sekalipun persinggunganya tidak bersifat esensial. Secara hakiki, kedua bidang tersebut memiliki titik kajian, metode, tujuan, dan pendekatan yang berbeda. Bahkan, dapat dikatakan tasawuf lebih bersifat pasif, sedangkan psikologi lebih bersifat agresif. Penghayatan tasawuf para sufi sama sekali tidak pernah berorientasi pada kepentingan keilmuan. Mereka hanya memiliki satu orientasi, yaitu bagaimana memperoleh kebahagiaan dan kedekatan dengan Allah, Sang Khaliq, sementara psikologi agama cenderung terus mencari dan meneliti semua perilaku dan perikehidupan para sufi. Kapan pun psikologi agama berdiskusi, aspek kehidupan osoterik sufistik umat beragama tidak bisa ditinggalkan. Bahkan, aspek tasawuf menjadi bagian kajian yang menyita ruang buku-buku dan riset-riset psikologi agama. Kalau menurut pendapat lain justru tasawuf lebih bersifat agresif, karena untuk mencapai maqam tasawuf, ada beberapa tahapan yang harus di lalui di antaranya adalah mulai tingkatan, Syariat, tariqat, hakikat dan makrifat, karena tasawuf juga melalui proses ( mencari, meneliti, mempraktekan, bahkan munajat kepada sang pencipta). Dengan melihat alam yang terjadi disekitar kita.

Sekalipun bersifat pasif-aktif, dapat dikatakan bahwa persinggungan tersebut bersifat mutualisme. Persinggungan antara keduanya saling memberi keuntungan dan saling memberi manfaat, terutama, bagi upaya pengembangan dan pemahaman masing-masing ilmu tersebut. Studi terhadap pengalaman para sufi dapat memberikan kesempurnaan pengkajian psikologi agama, sedangkan pengalaman para sufi yang diungkap melalui kajian psikologi agama dapat memberikan pemahaman dan sekaligus manfaat bagi orang yang hendak mengkaji dan atau mendalaminya.

Adapun titik singgung psikologi agama dengan kesehatan mental bisa dilihat dari beberapa aspek berikut.

Pertama, induk ilmu psikologi agama dan kesehatan mental adalah sama, yaitu psikologi. Hanya, terapan perbedaan antara keduanya, terutama dalam tujuan pengkajiannya. Psikologi agama mengkaji dan menemukan pengaruh keyakinan agama terhadap orang-orang yang memeluknya, proses pertumbuhan dan perkembangan jiwa keagamaan, serta berubahnya

(15)

keyakinan seseorang pemeluk agama, sedangkan kesehatan mental bertujuan mengembangkan semua potensi yang ada pada diri manusia seoptimal mungkin, serta memanfaatkan dengan sebaik-baiknya agar terhindar dari gangguan dan penyakit kejiwaan.

Kedua, kedua ilmu ini memiliki kajian objek yang sama, yakni aspek kejiwaan manusia. Apabila diperbandingkan dengan persinggungan antara tasawuf dan psikologi agama, agaknya persinggungan psikologi agama dan kesehatan mental lebih bersifat kokoh dan langsung. Hal itu karena pengembangan ilmu kesehatan mental tidak bisa dilepaskan dari kajian yang ada dalam psikologi agama.

Psikologi agama membicarakan pengaruh ajaran agama dan proses kejiwaan orang beragama, sedangkan kesehatan mental melanjutkan dan memperdalam apa yang dikaji psikologi agama tersebut. Dapat juga dikatakan, ketika kajian psikologi agama ditindaklanjuti ke arah implementasi dan pemanfaatannya dalam kehidupan manusia, disitulah kesehatan mental dikaji dan dikembangkan. Kesehatan mental membicarakan bagaimana ajaran agama dapat diimplementasikan sebagai terapi kewajiban, bagaimana ajaran agama dapat menumbuh kembangkan seluruh potensi personalitas manusia secara optimal dan seimbang, dan bagaimana memanfaatkannya dengan sebaik mungkin dalam kehidupannya, sehingga pemeluk agama tersebut terhindar dari gangguan dan penyakit mental.

Ketiga, kajian kesehatan mental berusaha melanjutkan studi dan kajian yang dilakukan pskologi agama. Apabila psikologi agama hanya berbicara mengenai bagaimana pengaruh ajaran agama terhadap kejiwaan para pemeluknya, kesehatan mental membicarakan bagaimana ajaran agama mampu membentuk kepribadian para pemeluknya secara integral sebagai perwujudan tingkat kesehatan mentalnya. Persinggungan pesikologi agama dan kesehatan mental makin tampak jelas ketika membicarakan mengenai kesehatan mental sebagai terapi kejiwaan. Tanpa bantuan psikologi. Terapi kejiwaan, terutama ketika menyentuh soal pengaplikasian dan pengembangan metode dan teknik-teknik terapi klinis tidak mungkin dapat dilakukan karena hal-hal tersebut memang sudah banyak dikembangkan jauh lebih awal oleh kajian psikologi. Penghayatan tasawuf pada dasarnya berkaitan erat dengan persoalan kesehatan mental. Akan tetapi, tidak berarti bahwa penghayatan tasawuf itu semata-mata bertujuan untuk memperoleh kesehatan mental.

(16)

dalam menghayati hidup sufistiknya tidak pernah memedulikan, apalagi membicarakan perolehan kesehatan mental atau tidak. Mereka hanya ingin memperoleh kedekatan dan kerelaan dari Allah sedekat-dekatnya dan serela-relanya. Deman demikian, dalam Islam, persinggungan kesehatan mental dan tasawuf sudah dapat dilihat pada makna kesehatan mental itu sendiri. Ajaran kesehatan mental menurut pendangan Islam sebenarnya merupakan ajaran tasawuf itu sendiri. Kesehatan mental yang bisa diartikan sebagai bentuknya induvidu yang terhindar dari gangguan dan penyakit kejiwaan dapat ditemukan dalam kehidupan kaum sufi. Ketika ajaran tasawuf dimaknai sebagai proses penyucian jiwa, itu dapat di identikan dengan usaha pembentukan induvidu yang sehat mental. Kondisi sehat mental rasanya sulit diwujudkan apabila jiwa terkotori. Seseorang yang ingin memperoleh kesehatan mental, sementara dirinya banyak berlumuran dosa, jalan satu-satunya untuk itu hanyalah dengan menyucikan jiwa. Melatih sabar, menerima putusan yang diberikan Allah dengan ikhlas, mengampuni orang yang berbuat salah, mendoakan orang yang menganingaya kita, dari sinilah Pembersihan jiwa seluruh dosa dan

perbuatan buruk merupakan jalan untuk memperoleh” sehat mental .

Persinggungan selanjutnya antara mental dan tasawuf dapat dilihat

pada” tujuan yang hendak dicapai keduanya.” Tasawuf ingin memperoleh

kebahagiaan dan ketentraman jiwa di dunia dan di akirat. Semetara itu, kesehatan mental berusaha mendapatkan kebahagiaan dan ketentraman hidup di dunia. Erich from mengatakan, persoalan sehat mental terkait erat dengan problem moral. Pembicaraan soal moral tentu terkait erat soal kejiwaan. Moral yang baik (baca: akhlak) mencerminkan jiwa yang tersucikan. Jika jiwa suci menjadi syarat terbentuknya sehat mental, orang bermoral baik adalah orang yang bermental sehat. Yusuf musa mengatakan, kebijakan membuat jiwa menjadi tenang (thuma’ninah), sedangkan kejahatan menyebabkan jiwa menderita. Ungkap ini semakin mempererat persinggungan antara tasawuf dan kesehatan mental.

Persinggungan tasawuf dan kesehatan mental juga dapat dilihat dari suatu ungkapan bahwa kesehatan mental merupakan efek diterapkanya sikap keberagamaan, sedangkan tasawuf merupakan bagian integral dari ajaran agama. Tasawuf merupakan ajaran penyempurnaan efek syariat. Muhammad aqil menegaskan, setiap sesuatu memiliki hakikat, dan hakikat syariat adalah tasawuf. kesempurnaan amalan syariat sangat di tentukan amalan tasawuf. Kesimpulan tersebut di pertegas Husein Nasr yang

mengatakan, “ sebenarnya tasawuf merupakan perwujudan ihsan, sebagain

(17)

bahwa ajaran sufistik dapat dijadikan sarana terapi penyakit-penyakit mental. Mereka menyatakan, ajaran sufistik Islam sebenarnya berisikan tuntunan dan pedoman pembinasaan, parawitan, dan pengobatan jiwa atau mental agar tetap sehat.

Ar-Razi menyebutnya dengan istilah thib Al-Ruhani (pengobatan rohaniyah), syekh Hakim menyebutnya dengan istilah the sufi healhing (pengobatan sufistik), dan Al-Ghazali dengan istlah shihhat an-Nafs (kesehatan jiwa). Tiga istilah tersebut semakin memperkokoh persinggungan antara tasawuf dan kesehatan mental, tepatnya ketika Amir An-najjar mengistilahkannya dengan sebutan At-tasawufan Nafs (yang diterjemahkan

dengan “ psikotrapi sufisti”). Ajaran sufistik (Islam ) tidak hanya milik para

sufi di menara gading semata, tetapi ajaran sufistik dapat dikejawantahkan oleh siapapun dalam usahanya memperoleh ketenangan dan kebahagiaan hidup sesuai dengan derajat ilmu dan pemahamannya

Dengan demikian, persinggungan tasawuf dan kesehatan mental tampak lebih kuat dibandingkan persinggungan kedua bidang sebelumnya. Kesimpulan ini diambil mengingat, persinggungan antara tasawuf dan kesehatan mental dapat ditemukan pada berbagai aspek kajian kedua bidang ilmu tersebut. Persinggunganya merentang dari objek kajian hingga tujuan yang hendak dicapai keduanya.

E. KESIMPULAN

1. Dalam pandangan tasawuf merupakan inti atau rahasia yang paling dalam dari syariat dan akhir dari perjalanan yang di tempuh oleh seorang sufi, sehingga manusia harus benar benar mendekatkan diri pada Allah. Jika gerak gerik dan bacaan bacaan sholat adalah syariat, dialog spiritual (bertemu) antara seorang abid (hamba) dengan makbud ( yang di sembah) adalah khakikatnya, jika gerak gerik dalam bacaan bacaan yang ada dalam ibadah haji adalah syariat, berjumpa dengan Allah adalah hakikatnya. Dalam pandangan para sufi, syariat dan hakikat adalah dua hal yang tidak dapat di pisahkan. Hal ini karena setiap syariat yang tidak didukung dengan hakikat, urusanya tidak diterima. Setiap hakikat tanpa di dasari dengan syrait, urusanya tidak berhasil. Dalam pandangan kaum sufi seperti Al Qusyairi dan Al Ghazali, pelaksanaan seluruh ibadah tidak dapat hanya berkosentrasi pada khakikat dengan mengabaikan syariat, Demikian pula sebaliknya. Pandangan pandangan yang mengabaikan syariat tidak dapat mereka terima, dan dianggap sebagai ajaran yang telah keluar dari hakikat Islam. Oleh karena itu, pandangan mereka tentang tasawuf lebih menekankan pada jiwa (nafes),

(18)

hak preogratif saya, dan tidak ada yang mampu tentang hakikat ruh, ruh berada di dunia yang lebih halus, sebuah dunia yang lebih dekat dengan Allah, Di sini tidak ada tabir antara ruh dan Allah, Manusia telah terwujud selama seribu tahun lebih di dunia yang halus, berada di dekat Allah, bermandikan pancaran Allah,

3. Kesehatan mental sering disebut juga dengan istilah mental health dan atau mental hygiene historis, ilmu ini di akui berasal dari kajian psikologi. Usaha psikologi yang kemudian menelurkan ilmu baru ini berawal dari keluhan-keluhan masyarakat sebagai akibat dari munculnya gejala-gejala yang menggelisahkan. Fenomena psikologis ini tampaknya tidak hanya dirasakan oleh induvidu, tetapi dirasakan pula oleh masyarakat luas. Ketika kegelisahan itu masih berada pada taraf ringan, induvidu yang mengalaminya masih mampu mengatasinya. Akan tetapi, ketika kegelisahan tersebut sudah bertaraf besar, biasanya si penderita tidak mampu mengatasinya. Apabila kondisi itu dibiarkan, yang terganggu tidak hanya induvidu si penderita saja, melainkan mengganggu orang lain di sekitarnya. Inilah pentingnya kesehatan mental dan mempelajari akhlak tasawuf bagi manusia.

DAFTAR PUSTAKA

Ar-Razi, Pengobatan Ruhani, terj. M.S. Nasrullah dan Hilman, Bandung: Mizan, 1994.

Bernard Spilka, The Psychologi of Religion, An Empirical Approach, Prentice Hlml: New Jersey, 1985.

Ibnu Shina, Al-Shifa’ al-llahi, t.tp., Cairo : 1966.

Ibnu al-Qayyum Al-Jauziyah, Al-Da’ wa al-Dawa’, Kairo: Dar al-Hadist, 1992.

Nico Syukur Dister, Pengalaman dan Motivasi Beragama, Yogyakarta: Kanisius, 1994.

Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al Quran, Jakarta: Lenteran hati 2002.

Referensi

Dokumen terkait

Dengan demikian, untuk dapat menaksir banyaknya penjualan produk yang sebenarnya, diperlukan sebuah analisis yang dapat memodelkan hubungan antara banyaknya produk

SMK Negeri 1 Takisung, dalam melakukan proses administrasi ini terutama pada proses administrasi Praktek Kerja Industri (Prakerin) selama ini masih bersifat manual, hanya dengan

evaluasi untuk percobaan M1.3H dan percobaan M2.1H menunjukkan tidak signifikannya perubahan garis pantai. Akan tetapi, dari hasil evaluasi ploting profil memanjang dan

1) Kartu barang dibuat oleh petugas yang mengelola gudang/tempat Penyimpanan. 2) Saldo awal kartu barang berasal dari hasil Inventarisasi persediaan atau sisa dari

Perhitungan waktu dalam proses metode penimbangan 1 batch ( Sumber : PT. Jadi, walaupun metode standart paling cepat daripada metode yang lain, namun metode tersebut

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk implementasi pengembangan S-IT untuk pelayanan akademik mahasiswa yang ada di STT Garut dengan fitur informasi layanannya

Banyak penelitian telah dilakukan untuk mengetahui efek fentanil dan klonidin terhadap respon kardiovaskuler pada tindakan intubasi. Ko mengatakan fentanil dosis 2

Organel merupakan sub bagian dari sel yang memiliki fungsi tertentu, memiliki membran tersendiri yang memisahkannya dengan sub bagian sel yang lainnya. Hubungkan dengan