• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kisruh Pajak Film Kapitalisme di Dunia P

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Kisruh Pajak Film Kapitalisme di Dunia P"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

BERMULA DARI CEMBURU

Oleh: syaiful HALIM

oorca M. Massardi, juru bicara 21 Cineplex—salah satu jaringan bioskop terbesar di Indonesia—menulis di salah satu media online. Noorca menyatakan bahwa Motion Picture Association tak akan lagi mendistribusikan filmnya di Indonesia. “Film baru yang sudah masuk tak akan ditayangkan, sedangkan yang telanjur tayang sewaktu-waktu bisa dicabut. Semuanya, lantaran ada perbedaan persepsi mengenai pungutan bea masuk hak distribusi film,” tulisnya.1

N

Seketika kegemparan mengguncang dunia maya. Saling share

informasi makin memanaskan situasi. Semuanya diburu satu kekhawatiran bahwa khalayak di Tanah Air tidak bisa lagi menyaksikan simulasi-simulasi ala Hollywood. Media massa pun ramai-ramai mengepung berbagai narasumber untuk memastikan kebenaran “bencana” yang bakal dialami budak-budak hedonisme.

Laporan Tempo online berikutnya, perwakilan asosiasi industri film Amerika Serikat (Motion Picture Association of America/MPA), produsen film Walt Disney Studios Motion Pictures, Sony Pictures Entertainment Inc., Twentieth Century Fox Film Corporation, dan Warner Bros Entertainment Inc, menemui Direktur Teknis Kepabeanan Heri Kristiono. Heri mengundang para juragan film itu untuk membahas rencana tambahan pungutan bea masuk dan pajak bagi film impor. Bersama timnya, Heri diberondong pertanyaan tentang aturan main perpajakan dan kepabeanan. Tetamu berkeras bahwa bea atas royalti (bagi hasil) yang dibayar importir dari hasil pemutaran film

(2)

asing itu tak lazim di dunia internasional. Sebaliknya Heri berkukuh aturan ini sesuai dengan Undang-Undang Kepabeanan dan aturan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Dua jam berdebat, tak ada kesepakatan. Ujung-ujungnya salah satu dari mereka mengancam. "Ada kemungkinan kami menyetop distribusi film ke Indonesia," ujar Heri menirukan. 2

auh sebelum kasus itu terjadi, pada 10 Februari 2010 lalu, Deddy Mizwar, Rudy Sanyoto, dan Ukus Kuswara, menemui Anggito Abimanyu-saat itu Kepala Badan Kebijakan Fiskal-di Kantor Kementerian Keuangan. Mereka adalah rombongan dari Badan Pertimbangan Perfilman Nasional (BP2N). Deddy menjabat sebagai ketua, Rudy merupakan wakil, dan Ukus yang juga Direktur Perfilman Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata menjadi sekretaris. Deddy dan kawan-kawan menyodorkan hasil kajian BP2N kepada Anggito. Kajian itu menunjukkan pajak produksi film nasional jauh lebih tinggi ketimbang film impor. Perbandingannya bisa lima kali lipat lebih.

J

Menurut Rudy, selama ini importir tak memasukkan nilai royalti yang disetorkan ke produsen film asing. Akibatnya, bea masuk atau perpajakan dalam rangka impor lain sangat rendah. Jika perhitungan nilai royalti dihitung secara benar, kewajiban bea masuk film impor bisa sepuluh kali lipat dari yang selama ini dibayar importir.

Sejak pertemuan itu, BP2N intensif menanyakan respons pemerintah atas hasil kajian tadi. Empat bulan kemudian, Badan Kebijakan Fiskal menyurati Direktorat Jenderal Bea dan Cukai agar nilai pabean film impor ditetapkan sesuai dengan Undang-Undang Kepabeanan. Tak butuh waktu lama, Juli 2010, Dirjen itu menggeber

(3)

audit kepatuhan penerapan bea masuk impor film periode 2008-2010. Dan hasilnya, PT Camila Internusa Film, salah satu importir dan distributor film di bawah bendera Grup 21, bolak-balik dipanggil ke Rawamangun. Akhir tahun lalu audit tuntas.

Dari pemeriksaan diketahui bahwa proses bisnis impor film bermula dari importir membeli hak edar dari studio film—produsen film di luar negeri, misalnya di Hollywood. Lalu studio meminta laboratorium mencetak filmnya buat importir. Cetakan film dikirim ke Indonesia dengan harga US$ 0,43 per meter—rata-rata satu rol film panjangnya 3.000 meter. Harga pembelian cetak film ini diklaim importir sebagai nilai barang yang akan kena bea masuk 10 persen, pajak pertambahan nilai impor barang 10 persen, dan pajak penghasilan 2,5 persen.

Setelah film asing diputar di Indonesia, importir membayar royalti kepada produsen film di luar negeri tadi. "Royalti ini tak pernah dilaporkan importir," ujar Heri. “Padahal, sesuai dengan Undang-Undang Kepabeanan 2006, royalti barang impor diperhitungkan sebagai komponen nilai pabean alias wajib dikenai bea atau pungutan.

Kami meminta importir menambahkannya agar bea atas royalti film bisa dihitung. Tapi mereka menolak."

Direktur Jenderal Bea dan Cukai Thomas Sugijata memperkirakan, pungutan atas royalti film impor selama dua tahun terakhir yang belum dibayar sekitar Rp 30 miliar dari 1.759 judul film.

Lalu mengapa baru sekarang diterapkan?

(4)

Bos Grup 21 Harris Lesmana membantah tuduhan bahwa perusahaannya melanggar aturan perpajakan, apalagi sengaja menutup-nutupi royalti agar tak dikenai bea masuk. Justru, katanya, produsen film anggota Motion Picture Association menilai aturan Organisasi Perdagangan Dunia tak memperhitungkan royalti atas pendistribusian film. Negara lain yang juga mengimpor film dari Hollywood, katanya, tak pernah menerapkan bea atas royalti.

Menurut Harris, sebagai satu-satunya pemegang hak distribusi film Hollywood, Grup 21 tak bisa memaksa asosiasi tetap memasok film ke Indonesia. Apalagi jika Grup 21 dianggap sengaja berkomplot tak mengimpor film sebagai protes kepada pemerintah. Aroma persaingan bisnis tercium dari ribut-ribut ancaman penghentian peredaran film Hollywood ini. Terasa ada saling sikut di antara pemain bisnis perfilman.

Bukan rahasia lagi, jaringan bioskop di Indonesia dikuasai Grup 21. Dulu grup ini ditukangi Sudwikatmono, adik sepupu mantan presiden Soeharto dan Benny Suherman (Grup Subentra). Belakangan Sudwikatmono "menarik diri". Sekarang Grup 21 dioperasikan Harris Lesmana dan Benny. Grup 21 menguasai jalur distribusi dari enam produsen film atau studio utama anggota Motion Picture Association.

Perusahaan importir Grup 21, di antaranya Camila yang dipimpin Harris, PT Satrya Perkasa Esthetika Film, dan PT Amero Mitra Film. Amero khusus merambah film Amerika non-MPA. Tak hanya itu, Grup 21 juga mengendalikan jaringan bioskop lewat PT Nusantara Sejahtera Raya. Jangan heran bila importir film dari Grup 21 berani "mengancam" menghentikan peredaran film Hollywood.

(5)

gelontoran film impor. Tahun lalu, Rudy Sanyoto mencatat 144 judul dari 207 film asing berasal dari Amerika Serikat. Sedangkan film nasional hanya 77 judul. "Sebagian besar dari studio Motion Picture Association. Bagaimana film nasional bisa bersaing dapat tempat?"

erdasarkan laporan TEMPO online di atas, Penulis mengindentifikasikan masalah kisruh pajak film impor sebagai berikut:

B

- Kajian BP2N menunjukkan bahwa pajak produksi film nasional jauh lebih tinggi ketimbang film impor, karena importir tidak membayar komponen royalti kepada produsen film.

- Pemerintah melalui Dirjen Bea dan Cukai mempertanyakan kewajiban para importir sesuai Undang-Undang bahwa royalti barang impor diperhitungkan sebagai komponen nilai pabean alias wajib dikenai bea atau pungutan—pungutan atas royalti film impor selama dua tahun terakhir yang belum dibayar sekitar Rp 30 miliar dari 1.759 judul film.

- Melalui perwakilan distributor Hollywood, para importir balik menggertak untuk tidak memasukkan film asing. Ini bisa dilakukan, bisa jadi, karena mereka menguasai jalur distribusi dari enam produsen film atau studio utama anggota Motion Picture Association (144 judul dari 207 film asing dari Amerika Serikat) dan mengendalikan jaringan bioskop (menguasai 130 bioskop dari total 178 bioskop di Indonesia).

(6)

keringannya. Dalam bingkai idealis, alasan kecemburuaan itu bisa dikaitkan dengan kekhawatiran nasib film nasional yang tidak pernah menjadi ruan rumah di negeri sendiri dan berbagai alasan lain. Di balik itu semua, harus diakui bahwa kisruh ini makin memperlihatkan deret panjang kekisruhan perfilman di Tanah Air.

(7)

KISRUH DARI

SONONYA

artawan senior JB Wahyudi dalam buku Nonton Film

Nonton Indonesia mengurai data menarik soal peredaran

film impor dan film nasional di Tanah Air. Bahwa sepanjang 1969-1970, 751 film impor dan 11 film nasional lolos sensor, serta diputar di 600 bioskop. Lantas pada 1976, 620 film—sebaian besar film impor—lolos sensor dan diputar di 1025 bisokop. Saat itu, paling ada 200 pengedar, meliputi 72 pengedar pusat dan 114 pengedar daerah, serta importir sebanyak 54 orang. Pendistribusian film impor diserahkan kepada pengedar.3

W

Kondisi itu memberikan gambaran bahwa kuantitas film impor dibandingkan film nasional tidak pernah sebanding alias jomplang. Film impor sejak dulu menjadi tuan rumah dan menguasai pangsa pasar di Tanah Air, sekaligus menggilas kreativitas para sineas dalam negeri. Situasi itu juga memaksa munculnya Golun-Globus (produser film-film kacangan di Hollywood) lokal yang ramai-ramai memproduksi film berselera rendah (seks dan kekerasan) demi meraih penonton dan bertahan di bioskop (kelas bawah). Di sisi lain, para importir harus bersaing ketat untuk mendatangkan film-film box office demi memanjakan pada pengedar pusat dan daerah—raja-raja kecil di bidang perfilman.

Banyaknya raja-raja kecil itu menjadi penyebab ruwetnya peredaran film di Tanah Air. Karena mereka bertempur dan

3 Kristianto, JB. 2004. Nonton Film Nonton Indonesia, Hlm. 355. Jakarta:

(8)

menghalalkan segala cara demi meraih pundi-pundi keuntungan. Situasi itu diperparah dengan adanya sistem “jual-beli” untuk waktu dan wilayah tertentu lantaran pengedar tidak memiliki modal yang memadai untuk membuat jaringan bioskop.4 Tidak ada monopoli,

namun tidak ada pengedar yang kuat juga. Namun situasi bisnis yang tidak sehat itu memaksa tumbuhnya hukum rimba—dengan sistem pemasaran dan peredaran yang sudah pasti tidak sehat. Hal itu dibuktikan dengan cara transaksi yang didasarkan kepercayaan dan sistem jual-beli, tapi penerapan sistem bagi hasil yang memungkinkan semua pihak meraih keuntungan. Termasuk, pemerintah denganb perolehan yang tidak dimanipulatif melalui sektor pajak.

Beranjak ke era 2004, semarak kepemilikan bioskop mulai bergeser. Sejak 1987/1988, khalayak mulai mengenal bioskop dengan sejumlah studio dan masing-masing dengan judul film tertentu. Studio 21—secara tidak resmi—mengukuhkan diri sebagai raja bioskop (sekaligus importir) teranyar yang menguasai sekitar 400 layar (paling tidak di 100 bioskop).5 Keberadaan jaringan bioskop inilah yang

menggilas bioskop-bioskop di berbagai kelas dan di berbagai kota. Tidak perlu heran, karena grup yang ditukangi Sudwikatmono, adik sepupu mantan presiden Soeharto dan Benny Suherman (Grup Subentra), itu menguasai jalur distribusi dari enam produsen film atau studio utama anggota Motion Picture Association dan mengendalikan jaringan.

Bila pada era 70-an, pemerintah, produser film, importir, pengedar, dan pemilik bioskop, saling berebut uang tiket dengan kebijakan pasar yang cenderung liberal. Pemerintah menjadi “wasit” dan melepaskan situasi pasar kepada alam persaingan, tanpa mengindahkan nasib film nasional yang belum siap bertarung. Pada

4 Ibid.

(9)

akhirnya, pihak yang harus menerima kekalahan itu adalah film nasional. Hal itu ditandai dengan jumlah produksi yang tidak meningkat dan kualitas film yang jauh dari bermutu. Bahkan, Festival Film Indonesia yang pernah cukup berjaya di masanya sempat terhenti lantaran tidak ada produser di Tanah Air yang memproduksi film.

Maka pada era 2000-an, kehadiran bisnis Grup 21 menghadirkan aroma baru dalam bisnis film di Tanah Air. Kekuatan modal dan kepintaran membaca tren—ditandai dengan pembangunan studio-studio yang lebih kecil, tata gambar dan suara yang lebih canggih, atmosfir ruangan lebih nyaman, dan film-film lebih anyar. Khalayak menjadi sangat dimanja dan memiliki banyak pilihan untuk menyalurkan minatnya menikmati dunia simulasi. Wangi monopoli tidak bisa dipungkiri ikut “membunuh” importir-importir dengan modal dan relasi pas-pasan, pengedar-pengedar dengan modal dan relasi pas-pasan, dan pemilik bioskop dengan modal dan relasi pas-pasan. Serta sudah pasti, produser-produser film di Tanah Air.

paya bertahan para pemain di industri film itu, menurut teori ekologi media, dipadang sebagai makhluk hidup yang

berupaya mempertahankan kehidupan. Untuk

mempertahankan kehidupan, media membutuhkan sumber-sumber kehidupan, yakni isi (content), khalayak (audiences), dan iklan (capital). Media saling berkompetisi memperebutkan sumber-sumber kehidupan itu.6

U

Film termasuk dalam kategori spesialis dalam perspektif ekologi media—kategori lain adalah generalis seperti ditunjukkan RCTI, SCTV,

6 Ks, Usman. 2009. Ekonomi Media: Pengantar Konsep dan Aplikasi, Hlm. 18-19. Jakarta:

(10)

dan sejumlah stasiun televisi swasta lain.7 Untuk memperpanjang

kegiatan bisnisnya, film sangat bergantung pada isi dan khalayak. Kalaupun ada unsur iklan, jumlahnya relatif kecil. Pemasukan terbesar bisnis film adalah tiket penonton. Dan dalam upaya menggaet penonton, film harus bersaing melawan media lain, terutama televisi, dan keping-keping DVD (terutama bajakan) yang saat dijual bebas dan relative murah.

Persaingan bisnis ini cenderung antarstudio di bioskop itu sendiri, dan bukan dengan bioskop-bioskop tunggal yang cenderung telah lama kolaps. Persaingan di antara importir juga tidak terjadi, karena sejumlah importir itu cenderung mengerucut ke satu kepemilikan. Monopoli. Grup 21 menjadi penguasa untuk mendapatkan dan mengedarkan film impor, bahkan memutarkanya di bioskop-bioskop 21 yang dikelolanya. Dari hulu ke hilir, bisnis film ini mutlak menjadi penguasaan penuh kelompok ini. Kalaupun ada pemain baru dalam pengelolaan bioskop (Grup Blitz), jumlahnya relatif kecil dan kaitannya pun masih kuat dengan para importir raksasa di Tanah Air.

Menurut JB Wahyudi, kekuasaan Grup 21 selama 20 tahun ini membuat membuat mereka bisa “berunding” dengan pemerintah, termasuk dalam penentuan bea masuk seperti yang sampai sekarang berlaku 43 sen dolar per meter untuk film Amerika-Eropa, dan 35 sen dollar untuk film Asia, Australia, Selandia Baru. Dari mana angka itu didapat? Tidak jelas.

Para importir tidak pernah mau membuka harga kontrak jual-beli film mereka yang konon berkisar antara 5.000 dollar hingga 1 juta dolar. Padahal, penentuan bea masuk seharusnya didasarkan dari harga kontrak jual-beli tadi. Dan sewaktu mengajukan permintaan impor film importir sebenarnya diharuskan melampirkan kontrak

(11)

beli. Hal yang tak pernah dilakukan. Biasanya, importir hanya melampirkan “pernyataan” sudah mengikat kontrak dengan pihak luar negeri tanpa menyebutkan ”harga”.

Lalu kenapa mereka berteriak-teriak ketika diberlakukan pajak royalti? Dan kenapa yang berteriak hanya MPA, dan bukan puluhan produser film AS yang dikategorikan sebagai produser independen?

Kembali ke soal ekologi media. Konsentrasi kepemilikan media bisa mengurangi derajat persaingan di antara media.8 Kenyataan itulah

yang terjadi di ranah bisnis film. Bila dulu banyak pemain yang terjun di bisnis ini, maka sekarang hanya beberapa pemain yang tergabung dalam kelompok bisnis yang sama. Pebisnis masa ini dengan langkah pasti membidik kalangan menengah ke atas sebagai target khalayak, sekaligus membiarkan segmen di bawahnya untuk menikmati film-film layar lebar di televisi![]

(12)

KAPITALISME, BIANG SEMUA KISRUH

apitalisme adalah sistem ekonomi yang mengizinkan individu atau korporasi bisnis (bukan pemerintah, publik, atau negara) memiliki dan mengontrol sumber-sumber kekayaan atau capital negara. Menurut teori ini, individu atau perusahaan bebas berkompetisi untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya, misalnya melalui harga, promosi, dan lain-lain. Industri media dimiliki swasta, industri media bebas berkompetisi untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya.9

K

Seperti sudah dipaparkan pada bab terdahulu bahwa jaringan bioskop di Indonesia dikuasai Grup 21. Dulu grup ini ditukangi Sudwikatmono, adik sepupu mantan presiden Soeharto dan Benny Suherman (Grup Subentra).10 Kedekatan Sudwikatmono dengan para

petinggi di negara ini dan kepemilikan modal yang sangat memadai harus diakui menjadi bekal untuk mengusai kisruh peredaran film di Tanah Air.

Menurut JB Wahyudi, sejarah impor film sepanjang zaman Orde Baru adalah kisah pungli, bagi-bagi lisensi, pemerasan dan lain sebagainya. Setiap Menteri Penerangan selalu mencari cara untuk memeras sapi perahan—yang bernama importir film itu—atas nama “mengembangkan perfilman nasional”. Tanpa disadari perlakuan tadi membuat si sapi menumbuhkan kekuatan tersendiri. Untuk memudahkan “pengaturan”, maka monopoli impor diberikan kepada

9 Ks, Usman. 2009. Ekonomi Media: Pengantar Konsep dan Aplikasi, Hlm. 22. Jakarta: Penerbit

Ghalia Indonesia.

(13)

PT Suptan Film—awal dari “kerajaan” yang sekarang dikenal sebagai Grup 21. Kelompok ini praktis “memonopoli” peredaran film dengan jaringan bioskopnya yang tak tertandingi, tapi juga “memiliki” tiga usaha impor film: Camila Internusa Film, Satrya Perkasa Esthetika Film, dan Amero Mitra Film yang lagi-lagi ‘memonopoli’ impor film.

Dari 180 film yang diimpor selama 2010, ketiga perusahaan itu memasukkan 119 film yang hampir seluruhnya berasal dari Amerika. Importir yang banyak memasukkan film lainnya adalah Parkit Film yang sebagian besar impornya berasal dari India (36 film). Sisanya: importer “kecil”: Teguh Bakti Mandiri (11 film—semua Mandarin), Rapi Films (3 film) yang boleh dibilang di bawah ‘naungan’ Grup 21. Satu importer lain, Jive Entertainment (10 film) merupakan organ impor film jaringan bioskop Blitz. Ada satu lagi importir yang memasukkan satu film pada 2010, tidak perlu dihitung, karena boleh dikategorikan ‘tidak aktif’. Jadi hanya ada tujuh importir yang aktif. Tidak jelas berapa jumlah importir yang sekarang tergabung dalam Ikatan Perusahaan Film Impor Indonesia (Ikapifi).

(14)

Jamahan kapitalisme itu tak menghiraukan kerinduan para penonton di kelas pinggiran yang dulu leluasa menikmati film nasional, film Mandarin, atau film India. Segmentasi khalayak yang dibentuk adalah dengan social economy status (SES) mapan, pendidikan menengah ke atas, bermukim di kota-kota besar, dan dengan gaya hidup yang cenderung hedonisme atau bisa dijadikan budak-budak kapitalisme. Segmen khalayak ini akan merasa resah dan merasa kehilangan pegangan ketika tidak bisa menikmati film-film Hollywood baru. Terlebih lagi yang saat itu menjadi perbicangan di media online

atau dunia pergaulan.

ipikal monopoli yang sesungguhnya khas otoritarian dan komunis justru menjelma dengan sempurna di alam liberal Indonesia—atas nama persaingan pasar. Kondisi ini mirip kepemilikan stasiun televisi swasta di Tanah Air saat ini yang sesungguhnya dalam cengkeraman segelintir pemilik modal. Ketika teks televisi diuraikan secara rinci menurut medan wacana (field of discourse), pelibat wacana (tenor of discourse), dan sarana wacana (mode of discourse)—analisis wacana kritis yang dikembangkan Halliday dan Hassan,11 akan menjelaskan penanda-penanda yang ada

di dalam pesan. Artinya, dari sana akan terjawab juga persoalan bentuk dan rupa artefak yang dihadirkan dan hegemoni di dalamnya.

T

Bahwa pada akhirnya teks itu lebih berisikan selera rendah, ringan, dan mengutamakan unsur hiburan, maka hal itu terkait

positioning yang didesain media itu yang mencoba meraup segmen

pemirsa sebanyak-banyaknya. Dengan rating dan share sebagai acuan dalam penyusunan agenda. Bahkan, program berita yang mestinya

11 Sobur, Alex. 2009. Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis

Semiotik, dan Analisis Framing, Hlm. 148. Bandung. Remaja Rosdakarya.

(15)

mengedepankan aspek idealism pun ikut menuhankan rating dan

share, hingga memodifikasi berita-berita agar lebih entertaining.

Media memiliki aspek-aspek dan kepentingan untuk menjalankan roda usahanya. Khalayak juga sangat berkepentingan untuk mengawal “aspek-aspek dan kepentingan” itu agar tetap mendapatkan informasi tentang lingkungannya —bahkan meski dalam keadaan bias. “Watak kolusif genre—produser dan khalayak punya kepentingan yang saling menguntungkan dalam menjaga formula bersama-sama—menyeret perhatian kita pada fakta bahwa konservatisme ideologis dalam berita adalah sesuatu yang dipersekongkolan khalayak untuk dipelihara, sama banyaknya dengan sesuatu yang sekadar ditimpakan kepada pemirsa,” kata Graeme Burton.12

Hubungan sinergis itulah yang menjadikan pesan media dibingkai dalam suasana market-based powers atau kekuasaan pasar. Dalam bahasa lain, di bawah kendali pengusaha media. Situasi ini menandakan media baru saja beranjak dari fase pengelolaan media yang secara ketat di bawah kekuasaan Negara (state-based power).

Agus Sudibyo menggambarkan secara kritis fenomena

state-based power dalam penyelenggaraan kegiatan penyiaran pada masa

Orde Baru. Persisnya, ketika pemerintah memegang kendali penuh atas izin frekuensi, izin usaha, dan pengawasan, stasiun-stasiun televisi yang milik segelintir pengusaha. Memasuki era reformasi, ketika semangat mengembalikan kepemilikan ranah publik ke publik melalui Undang-undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 membara, sempat mencercahkan sedikit cahaya public-based power. Belakangan, tambah Sudibyo, atas dasar kompromi-kompromi para politisi, pemerintah, dan pengusaha, perlahan-lahan public-based power bermetamorfosis menjadi bauran state-based power dan market-based powers. Dalam

12 Burton, Graeme. 2007. Membincangkan Televisi: Sebuah Pengantar Kepada

(16)

artian, penguasaan kegiatan penyiaran yang dikendalikan Negara dan keinginan pasar (baca: pengusaha media).13

Dalam kondisi itu, masalah objektivitas dalam penyajian berita di televisi pun mulai dipertanyakan. Ketika rating dan share mendapatkan kesempatan menjadi “dewa”, mungkinkah media masih memperlihatkan rona idealismenya? Dalam pengertian, tetap objektif, netral, dan independen? Jangan-jangan kondisi ekonomi dan politik media membentuk format berita menjadi makin tidak objektif? Bahkan, tidak malu-malu memuat kekerasan simbolis, yakni kekerasan yang berlangsung dengan persetujuan dari korbannya sejauh mereka tidak sadar melakukan atau menderitanya—seperti dikemukakan Pierre Bourdie dalam Sur la Television, Paris: Raison d’Agir.14

Gambaran suram isi televisi yang asli tontonan itu pula yang membuat film impor yang dihadirkan di Tanah Air dan film-film nasional di bioskop cenderung sampah. Asli produk industri budaya poipular. Dan khas produk kapitalisme. Bahkan, lebih jauh lagi, akibat kepemilikan yang cenderung monopoli itu para pebisnis film berani “menggertak” pemerintah. Padahal, pemerintah memiliki landasan hukum kuat untuk mendapatkan haknya seraya melindungi industri film di Tanah Air. Namun, monopoli tersamar—seperti di dunia televisi —membuat para pemain di bidang tetap tersenyum di tengah terpaan badai sekuat apa pun. Dan hal ini berbanding terbalik dengan ruang lingkup regulasi seperti digagas Colin Rowat, yaitu dalam lingkup ekonomi dan nonekonomi.15 Artinya, tidak ada regulasi yang menjamin

terciptanya kompetisi dan kepemilikan (ekonomi) atau keyakinan isi memberikan perlindungan terhadap kaum minoritas (nonekonomi).[]

13 Sudibyo, Agus. 2009. Kebebasan Semu: Penjajahan Baru di Jagat Media, Hlm.

xxi. Jakarta: Penerbit Kompas.

14 Haryatmoko. 2007. Etika Komunkasi:Manipulasi Media, Kekerasan, dan

Pornografi, Hlm. 31. Jakarta: Penerbit Kanisius.

(17)

SEKADAR REFERENSI

Burton, Graeme. 2007. Membincangkan Televisi: Sebuah Pengantar Kepada Studi Televisi. Bandung. Jalasutra.

Haryatmoko. 2007. Etika Komunkasi:Manipulasi Media, Kekerasan, dan Pornografi, Hlm. 31. Jakarta: Penerbit Kanisius.

Kellner, Douglas. 2010. Budaya Media: Cultural Studies, Identitas, dan Politik: Antara Modern dan Postmodern. Yogyakarta: Jalasutra.

Kristianto, JB. 2004. Nonton Film Nonton Indonesia. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Ks, Usman. 2009. Ekonomi Media: Pengantar Konsep dan Aplikasi.

Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia.

Noor, Henry Faizal. 2010. Ekonomi Media. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Sobur, Alex. 2009. Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing. Bandung. Remaja Rosdakarya.

Sudibyo, Agus. 2009. Kebebasan Semu: Penjajahan Baru di Jagat Media, Hlm. xxi. Jakarta: Penerbit Kompas.

(18)

Referensi

Dokumen terkait

Segel atau Tanda Pengaman Kertas yaitu segel atau tanda pengaman berupa lembaran kertas berperekat atau tidak, dengan tanda atau lambang Bea dan Cukai dan nomor pengawasan

Berdasarkan data mutakhir mengenai prakiraan beban dan ketidaksiapan pembangkit sebagai akibat dari pemeliharaan, maka prakiraan neraca daya beban puncak malam sistem

103 Pernyataan  Koefiensi  Korelasi  Keterangan  1.  Untuk mendapatkan pekerjaan yang cocok, koneksi yang anda 

variabel yaitu variabel bebas dan variabel terikat. Sebagai variabel bebas adalah jarak.. bahan konduktif dan waktu. Disisi lain variabel terikat adalah tegangan keluaran dari

(3) Pemasukan sebagian petikemas ke Kawasan Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah mendapat izin dari Kepala Kantor Pabean atau pejabat bea dan cukai

Persetujuan pengeluaran barang impor dengan penangguhan pembayaran Bea Masuk, Cukai dan Pajak dalam rangka impor diberikan oleh Kepala Kantor Pabean apabila

P.O Bluestar adalah salah satu perusahaan penyedia bus pariwisata di Kota Salatiga, Jawa Tengah Indoensia. P.O Bluestar merupakan perusahaan jasa yang bergerak pada

lembaran yang menonjol pada dasar terumbu, berukuran kecil dan membentuk lipatan melingkar. Karang ini berbentuk oval dan tampak seperti jamur, memiliki banyak it beralur dari