• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konflik agama di INdonesia Kekuasaan Negara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Konflik agama di INdonesia Kekuasaan Negara"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

KONFLIK ANTAR AGAMA DI INDONESIA

I. PENDAHULUAN

Masalah konflik antar agama di Indonesia merupakan sebuah masalah yang rumit

dan kompleks. Jika kita menengok kembali ke belakakang kepada masa Orde Baru sampai

pada saat ini, kasus konflik antar agama tidak pernah absen mewarnai perjalanan kehidupan

bangsa Indonesia. Banyak korban yang sudah berjatuhan akibat dari konflik antar agama,

baik oleh negara maupun masyarakat sipil.

Konflik agama seakan-akan tidak pernah menemukan solusi yang terbaik untuk

dapat menyelesaikan masalah yang ada. Apakah hal yang menyebabkan masalah ini selalu

menjadi masalah yang keberlanjutan? Jika melihat lebih lanjut dalam konflik antar agama

ini, ada tiga komponen yang harus diteliti. Kita perlu untuk mengkaji seberapa jauh

keterlibatan komponen-komponen tersebut memberikan peran dan pengaruhnya terhadap

keberlangsungan konflik antar agama yang ada di Indonesia. Ketiga komponen tersebut

adalah komponen negara dengan berbagai aparaturnya, komponen konstitusi/ hukum dan

komponen masyarakat sipil. Dari ketiga komponen ini kita akan menganalisis komponen

mana yang sesungguhnya paling menghambat terbentuknya toleransi beragama di

(2)

II. ISI

1. Pemerintah

Konflik agama berbeda dengan konflik-konflik pada umumnya. Untuk mengetahui

apa hal yang membedakan konflik agama dengan konflik-konflik lainnya, kita perlu

merujuk kepada pengertian yang sebenarnya mengenai konflik antar agama itu sendiri.

Konflik antar agama adalah konflik antar kelompok pemeluk agama yang berbeda dengan

alasan non agama (misalnya politis, ekonomi, sosial) dan bisa juga dengan menggunakan

dalil/ tujuan agamawi yang sempit atau bahkan salah (Musahadi, 2007, hal. 80). Jadi,

konflik antar agama adalah konflik yang sesungguhnya bukan terjadi karena agama

melainkan lebih mengarah kepada masalah polik, ekonomi, maupun sosial tapi tetap

dibungkus dengan agama. Konflik jenis inilah yang terjadi di Indonesia.

Pada masa Orde Baru, campur tangan pemerintah terhadap keyakinan dan

kehidupan keberagamaan rakyat sangat tinggi. Hal ini disebabkan penguasa pada masa ini

menganut sistem developmentalisme. Sistem yang mengejar pertumbuhan ekonomi dan

meyakini bahwa pertumbuhan ekonomi akan meningkat apabila stabilitas politik terkendali.

Untuk terkendalinya stabilitas politik ini, negara melakukan intervensi yang sangat besar

terhadap segala potensi konflik yang mungkin terjadi.

Paham developmentalisme yang dijalankan pemerintah, telah membawa dampak

yang cukup baik yaitu berupa kemajuan dalam bidang ekonomi. Namun, tidak dapat

dipungkiri, disisi lain masalah sosial juga tidak dapat dielakkan. Masalah sosial tersebut

adalah adanya kecemburuan sosial di mana masyarakat merasa hanya golongan tertentu

(3)

yang dirasakan masyarakat ini harus dipendam karena pemerintah selalu berusaha untuk

menjaga stabilitas politik dan keamanan yang ada di Indonesia.

Sesungguhnya di dalam negara, agama bisa melebur dalam dua wujud yang

berbeda. Pertama, tampil sebagai penyangga status quo dan memelihara integrasi dan kedua

tampil sebagai prophetic religion yaitu berperan lebih aktif sebagai kekuatan pembebas

(Rahardjo, 1999, hal.186). Dari kedua wujud ini, pemerintah memiliki ketakutan bahwa

agama akan lahir dalam wujud yang kedua. Yaitu, lahir sebagai oposisi, alat penghimpun

kekuatan untuk mengkeritik ketidak adilan yang dilakukan pemerintah. Ketakutan itulah

yang mendorong pemerintah untuk mengadakan intervensi terhadap agama. Intervensi yang

bertujuan mempertahanka kekuasaan pemerintah. Pemerintah tidak menyadari bahwa

sesungguhnya konflik bukanlah sesuatu hal yang harus dihindari karena konflik merupakan

konsekuensi dari masyarakat Indonesia yang majemuk. Kesadaran mengenai kemajemukan

tersebut justru dapat dilatih melalui penyelesaian konflik yang ada.

Tetapi sumber konflik itu bukanlah agama, melainkan proses ternbentuknya masyarakat ekonomi baru yang menimbulkan persaingan (competition), sebagai suatu bentuk konflik yang telah direduksi menjadi konflik terkendali, berdasarkan kerangka aturan main yang disepakati. (Rahardjo, 1999, hal. 178).

Pada perkembangan selanjutnya, Reformasi telah membawa perubahan yang

sebesar-besarnya dalam kehidupan masyarakat. Secara tidak langsung, reformasi telah

berdampak kepada kebebasan masyarakat yang tidak terkendali. Keterkungkungan selama

masa Orde Baru, membuat rakyat Indonesia ingin memiliki kebebasan sepenuhnya dalam

setiap sendi kehidupannya. Termasuk dalam hal ini adalah agama.

Fenomena yang terjadi pada saat ini adalah terjadi perubahan sifat agama.

(4)

lebih sebagai suatu identitas. Agama sebagai sebuah identitas tak hanya merupakan suatu

kebutuhan psikologis, namun juga membangun tembok pemisah dan berakibat pada

pertentangan kepentingan- kepentingan duniawi antar anggota dan komunitas agamawi

yang berbeda-beda (Musahadi, 2000, hal. 81). Seperti yang kita ketahui kelompok yang

dibentuk berdasarkan sebuah identitas tertentu memiliki kecenderungan untuk memiliki

sifat primordial dan cauvinisme yang berlebihan. Kelompok-kelompok ini akan cenderung

melakukan kepentingan-kepentingan kelompok yang sesunguhnya tidak bersifat religius.

Pada perkembangan selanjutnya, Reformasi telah membawa perubahan cara

bertindak pemerintah dalam menghadapi konflik beragama. Reformasi yang menuntut

diadakannya perubahan terutama dalam menjamin kebebasan rakyatnya justru membuat

pemerintah terkesan tidak memiliki otoritas yang besar dalam menyelesaikan konflik

beragama. Pemerintah cenderung bersifat netral dan tidak dapat berdiri tegak dalam

konstitusi yang ada. Pemerintah bahkan menyerahkan otoritas untuk menilai sebuah ajaran

agama dan kepercayaan kepada organisasi keagamaan korporatis (Susetyo, 2008). Hal ini

dapat kita lihat dalam kasus penyimpangan terhadap tafsir mayoritas yang ditunjukkan

dalam kasus Ahmadiyah. Di beberapa daerah, hak-hak mereka dibatasi, mulai dari soal

membangun tempat ibadah hingga ke persoalan ibadah haji. Bahkan di Lombok,

Tasikmalaya, dan Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, mereka mengalami pengusiran dan

pengrusakan pemukiman dan tempat-tempat ibadah (Mulia, 2008).

Selain bersifat netral, negara juga terlihat cenderung tidak adil pada beberapa

golongan tertentu hanya karena memperhatikan kepentingan golongan mayoritas. Negara

gagal menjadi penengah dan fasilitator yang baik. Kasus SKB dua mentri mengenai

(5)

yang merasa diuntungkan memandang umat yang merasa dirugikan bertindak tidak dewasa

karena tidak dapat menjalankan ketentuan yang telah ditetapkan.

Pemerintah yang sepertinya berusaha menghindari kediktatoran dalam menghadapi

keanekaragaman masyarakat yang ada karena ketakutan mengulangi kesalahan yang sama

seperti rezim sebelumnya. Namun, pemerintah tetap saja gagal untuk meminimalisir

terjadinya konflik antar agama karena pemerintah sendiri kehilangan otoritas dalam

bertindak. Sungguh merupakan sesuatu yang sangat disayangkan.

2. Konstitusi

Konstitusi yang ada di Indonesia sesungguhnya menurut saya sudah sangat

menjamin kebebasan beragama yang dimiliki oleh rakyat Indonesia. Jaminan-jaminan

tentang kebebasan beragama tersebut terdapat dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945

yang menyatakan bahwa negara menjamin kebebasan beragama dan berkepercayaan (Pasal

28E juga Pasal 29). Bahkan, dalam Pasal 28I UUD 1945 dinyatakan bahwa kebebasan

beragama tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. Ketentuan itu masih diperkuat lagi

dalam Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik mengakui hak kebebasan beragama dan

berkeyakinan (Pasal 18) maupun Pasal 22 UU No 39/1999 tentang HAM. Setiap orang

mempunyai kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama.(Mulia, 2008) Hak ini

mencakup kebebasan untuk menganut atau menetapkan agama atau kepercayaan atas

pilihannya sendiri.

Walaupun memiliki jaminan konstitusi yang jelas tentang kebebasan beragama,

sering sekali konstitusi-konstitusi dimodifikasi sedemikian rupa (ditambah/ dikurangi)

(6)

konstitusi alat yang potensial untuk tetap menjaga keeksisan rezim yang berkuasa. Dengan

kehadiran UU No. 1/PNPS/1965 tentang pencegahan penyalahgunaan dan atau penodaan

agama yang dikukuhkan UU No. 5/1969, jelas menguntungkan arus mainstream dalam

agama-agama resmi untuk mengontrol tumbuhnya kelompok “pembaharu” dalam tubuh

mereka, yang mungkin juga bisa mengganggu kekuasaan Orde Baru.

Sedangkan pada masa Reformasi, konflik antar agama yang berhubungan dengan

konstitusi lebih banyak terjadi dikarenakan kesalahan tafsir kelompok masyarakat tertentu

terhadap konstitusi yang ada dan akhirnya berujung pada tindak kekerasan. Misalnya dalam

kasus yang terjadi penafsiran Peraturan bersama 2 Menteri (SKB Dua Mentri mengenai

rumah ibadah). Peraturan ini, justru dipandang kelompok tertentu sebagai peraturan yang

melegitimasi tindakan penutupan rumah ibadah. Sehingga muncullah aksi penutupan rumah

ibadah secara serentak. Selain itu, terdapat juga penyerangan FPI ke STTI Arastamar di

Jakarta Timur yang menuntut agar sekolah tersebut ditutup karena merasa terganggu

dengan kegiatan mahasiswa dan juga menyatakan bahwa sekolah tersebut ilegal walaupun

terdapat fakta bahwa sekolah tersebut memiliki ijin (Mulia, 2008). Kasus-kasus ini

menunjukkan kepada kita bahwa sering sekali konstitusi diperalat hanya untuk

melanggengkan keinginan individu atau sekelompok golongan tertentu saja.

3. Masyarakat

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa dalam masyarakat reformasi telah

meningkat politik identitas yang semakin memperkeruh konflik antar agama. Meningkatnya

politik identitas merupakan faktor yang cukup mempengaruhi konflik antar agama karena:

identitas ini dipakai sebagai alat artikulasi atas keresahan sosial yang terjadi (Sitompul,

(7)

memiliki nilai lebih dari kelonpok identitas lainnya. Hal inilah yang mendorong terjadinya

sikap-sikap fanatik dari golongan agama tertentu terhadap golongan agama lainnya.

Ketika identitas yang dipakai untuk mengartikulasi keresahan sosial, hal inilah yang

akan memperkeruh suasana yang ada. Misalnya, ketika suatu masalah diartikan dengan

menggunakan bahasa agama, maka biasanya agama cenderung akan memaksa seseorang

untuk bersikap absolut dan susah untuk melakukan negoisasi. Jika negoisasi tetutup karena

keabsolutan yang ditimbulkan dari bahasa agama itu, maka dengan sendirinya jalan

kekerasanlah yang akan segera membayang. Sehingga tidak mengherankan bila hasil

tingkat “Toleransi Sosial Masyarakat Indonesia” yang dilaksanakan di tigapuluh tiga

provinsi dengan 1.200 responden, menunjukkan tingkat toleransi antarumat beragama di

negeri ini cukup rendah. Sebanyak 42,3% responden menyatakan keberatan jika penganut

agama lain mendirikan tempat ibadah di lingkungannya. Hanya 38,1% saja yang tidak

merasa keberatan. (Kholid, 2006).

Perlu ditekankan, bahwa konflik antar agama yang terjadi selama ini adalah lebih

dikarenakan oleh konflik antar individu (sebagai provokator) yang berkembang menjadi

konflik antar golongan. Setiap agama memiliki tradisi dan ajaran-ajaran yang mengajak

agar umatnya untuk dapat saling menghormati kebebasan beragama dan toleransi. Agama

Kristen sendiri selalu mengajak umatnya untuk mencari dan memelihara perdamaian sesuai

dengan Alkitab sebagai pedoman hidup (Mazmur 34: 15) dan (Roma 12:18). Selain itu, kita

juga dipanggil untuk menjadi garam di tengah dunia (Markus 9:50) serta memiliki kasih

dan pengampunan terhadap sesama (Kolose 3: 13-14). Jadi, yang menjadi inti

permasalahan yang sesungguhnya bukanlah agama melainkan individu yang memeng

(8)

3. PENUTUP

Ketiga komponen yakni pemerintah, konstitusi dan masyarakat memang memiliki

peran dan pengaruh masing-masing terhadap konflik antar agama yang masih terus

berlangsung hingga saat ini. Menurut saya, dari antara ketiga komponen tersebut,

konstitusi, hanya merupakan alat yang digunakan pemerintah maupun masyarakat untuk

mendukung tercapainya tujuan yang mereka inginkan. Sesungguhnya pemerintah dan

masyarakatlah yang paling bertanggungjawab terhadap konflik antar agama yang masih

terus berkepanjangan. Namun, bila harus memilih siapa sesungguhnya yang memiliki

pengaruh paling besar dalam konflik antar agama ini, saya akan memilih masyararakat.

Walaupun tidak dipungkiri bahwa kekecewaan terhadap pemerintah dan sifat netral dari

pemerintahan jugalah yang membuat masyarakat bersifat anarkis.

Dalam negara demokrasi di mana pemerintahan sesungguhnnya berada di tangan

rakyat, maka rakyat sudah seharusnya memiliki civic competence (kesadaran berwarga

negara yang dilandasi peghargaan atas prinsip-prinsip toleransi) dan civil responsibility

(tanggung jawab kewargaan) yang tinggi untuk dapat menjalankan kedaulatan yang

dimiliki. Ketika masyarakat tidak memiliki kedua hal ini, maka sulit bagi negara untuk

(9)

REFERENSI

Kholid, M. (2006). Belajar toleransi dari klenteng. Retrieved, May 5, 2009, from: http://islamlib.com/id/artikel/belajar-toleransi-dari-kelenteng/

Mulia, S., M. (2008). Potret kebebasan beragama dan berkeyakinan di era reformasi. Retrieved: May 5, 2009, from: http://72.14.235.132/search?q=cache:t_bDyWZy-lMJ:komnasham.go.id/portal/files/Musdah%2520Mulia_Potret%2520Kebebasan %2520Beragama%2520di%2520Era

(10)

Susetyo, B. (2008). Kekerasan dalam Beragama. Retrieved May 5, 2009 from http://www.ob.or.id/modules.php?name=News&file=article&sid=548

Musahadi. (Ed.). (2007). Mediasi dan resolusi konflik di Indonesia: Dari konflik agama hingga mediasi pengadilan. Semarang: WMC

Rahardjo, D. (1999). Masyarakat madani: agama, kelas menengah dan perubahan sosial. Jakarta: LP3ES

Referensi

Dokumen terkait

Keempat, bagaimanakah persepsi wisatawan Jepang terhadap iklan hotel berbahasa Jepang yang dimuat pada media cetak. Keempat permasalahan di atas di analisis dengan teori

Karena IC seringkali didefinisikan sebagai sumber daya pengetahuan dalam bentuk karyawan, pelanggan, proses atau teknologi yang mana perusahaan dapat menggunakannya

arus yang sebanding dengan besarnya intensitas cahaya yang mengenai

Perancangan Algoritma Distributed Color Selection adalah pembuatan program dan penerapan algoritma pada sistem RFID multi- reader dengan tujuan untuk mengatasi collision

Kriteria pengambilan keputusan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu: Apabila thitung> ttabel, Ho ditolak dan Ha diterima, artinya ada pengaruh status

Analisa biaya minimum dilakukan terhadap pekerjaan tanah urugan dan pekerjaan beton K-300 untuk mendapat lebar optimum Bangunan Pelimpah.. Dari hasil perhitungan yang telah

penelitian lapangan Dari banyaknya penelitian yang telah membahas program BUMDes, maka penulis belum menemukan judul penelitian yang membahas tentang Peranan

ija>rah bahwa obyek harus dimiliki oleh orang yang menyewakan atau diijinkan untuk disewakan tidak terpenuhi, dimana dalam hal ini ketua RT 01 menyewakan tanah tanpa ijin